LAKE CHAPTER 12 – AFTERTHOUGHT
Lake
Penulis: Mie Rebus
Chapter 12: Afterthought
Peristiwa penyergapan pasukan Cora bisa dibilang jadi pukulan telak bagi Skuad pertama Resimen 18. Kami kehilangan 3 anggota sekaligus di hari pertama misi ini dimulai. Seorang tewas, seorang hilang tanpa jejak, sedangkan seorang lagi terluka cukup parah sampe ga bisa bertarung lagi. Gw anggap diri ini masih beruntung, karena luka yang gw derita cuma satu sabetan di bahu dan kemungkinan retak di salah satu rusuk.
Setelah perdebatan cukup intens dengan Jizzkar, gw langsung masuk ke kamar dan coba untuk tidur. Sumpah, lelah banget. Kelopak mata pun coba pejamkan, berharap bisa segera terlelap. Namun sia-sia, gw ga kunjung tidur. Segala macam posisi udah dicoba, siapa tau kan kalo dapat posisi enak, langsung ngorok. Entah kenapa kaya ada yang ganggu pikiran.
Ish’Kandel, di lain pihak, keliatan amat pulas. Ya, gw berbagi kamar dengan Shield Miller kembaran Hash’kafil ini. Sejenak mata gw menyelidik kondisi Ish yang terpejam di ranjang terpisah sebelah gw. Memar-memar terdapat di sekujur lengan dan mukanya. Dia udah berjuang keras jadi perisai buat kami semua.
Mata gw kembali menerawang langit-langit kamar. Agaknya gw salut dengan Ish’Kandel dan Ulkatoruk. Biarpun sama-sama anak baru, sama-sama baru dilantik jadi class akhir, tapi mereka keliatan lebih kompeten dibanding gw. Pas pertarungan tadi, mereka keliatan percaya diri. Percaya kalo mereka sanggup hadapi apapun walau situasi udah ga memungkinkan. Percaya kalo mereka punya kemampuan untuk hadapi lawan yang bahkan lebih hebat dari mereka.
Sedangkan gw? Lagi-lagi cuma bisa diselamatkan orang lain. Apa semua latian yang udah gw jalani sia-sia? Ditambah lagi, gw masih kepikiran percakapan dengan Jizzkar tadi. Beban dibaliknya keliatan lebih berat dari yang bisa gw tanggung. Mungkin gw terlalu berlebihan mikirin sesuatu, mungkin hal ini sebenarnya ga perlu terlalu jauh untuk dicari solusinya, tapi ya tetap aja berputar-putar di kepala gw.
Arrghh! Pusing! Gw ngacak-ngacak rambut sendiri pake dua tangan dengan segenap rasa frustasi. Hah! Mending cari angin dulu deh! Daripada ga jelas gini di kamar. Akhirnya, gw beranjak dari kasur dan menuju keluar. Buat jaga-jaga, gw bawa inventori 4 dimensi.
Kondisi cuaca Ether di waktu malam jelas dinginnya berkali lipat. Kalo pas siang aja dingin udah menusuk tulang, ini lagi, malam-malam. Berasa ditaro di dalam kulkas. Alhasil, untuk menangkal rasa dingin, mau ga mau gw pake Armor suite. Di landasan ketemu Hevoy dan Co-pilotnya, Thisack, lagi sibuk membenahi peralatan mereka.
Thisack yang pertama sadar akan keberadaan gw. Tanpa keluar sepatah katapun, pandangan kita saling bertemu. Ini orang jangan-jangan bisu juga kali ya? Dia ga pernah mengucap apapun lho. Kasih tatapan menyelidik ke gw, seolah nyari tau apa yang gw lakukan malam-malam gini belum tidur.
Baru kemudian, Hevoy liat gelagat aneh Co-pilotnya yang tiba-tiba ga bergerak dan terpaku ke satu arah. Major itupun langsung ikutan mengalihkan pandangan ke gw.
“Oi,” dia berucap sedikit terhenyak. “Ngapain lu malam-malam gini? Bukannya tidur malah keluyuran.” Alisnya diangkat sebelah pertanda heran.
“Uhm, ga bisa tidur,” jawab gw singkat sambil melangkah mendekat ke mereka. “Kalian sendiri, malam-malam ngapain sibuk banget?” Gantian gw yang nanya, Hevoy dan Thisack melanjutkan kegiatan mereka. “I- Itu … Samus?” Gw kaget pas tengok ke bagian dalam pesawat, tergeletak Samus yang masih belum sadar.
“…” Mereka berdua liat-liatan sebelum jawab pertanyaan gw. Barulah Hevoy berkata, “Kayanya luka yang diterima anak itu lebih parah dari yang terlihat. Fasilitas medis di Wharf ga cukup buat mengobati dia, ” Pilot itu kasih jeda di antara kalimat, “kita harus bawa balik ke Headquarter supaya bisa dirawat lebih lanjut.”
“Ha-hah? Apa ga ada yang bisa menyembuhkan dia di sini?” Gw seolah menolak untuk terima fakta harus kehilangan satu lagi anggota skuad. “Ulkatoruk! Dia pasti bisa kok!”
Namun, respon Hevoy ga seusai harapan gw, diiringi gelengan kepala pelan. “Holy Chandra itu udah coba bantu sebisanya, tapi dia sendiri ada pada titik di mana ga bisa lagi pake force. Menurut lu, apa gunanya Holy Chandra tanpa force?”
“Ibarat Ranger …” Gigi gw geretak, tangan mengepal, dan tertunduk lesu. “… Yang kehabisan peluru. Jadi kaya orang-orangan sawah, cuma bisa nonton dari jauh.” Satu-satunya jawaban yang kepikiran di otak gw begitu dengar pertanyaan si Pilot.
“… Tepat sekali,” Hevoy cuma balas sekedarnya lalu pake helm. “Oh ya, ati-ati kalo keluyuran malam di Ether. Cuaca ekstrim, fluk magnetis, ditambah momon buas. Paket lengkap mimpi buruk. Hahahaha.” Terus dia masuk ke kokpit.
Si-sial. Semoga dia cuman nakut-nakutin doang.
Abis dengarkan kata-kata Major Skuadron 2 Armada Udara itu, Thisack meletakkan telapak tangan di dada gw, tepat di jantung. Gw cukup terkejut dan bertanya-tanya … buat apa? Tapi pertanyaan itu terucap cuma di batin. Mulut gw terkunci rapat. Percuma nanya, ga bakal dijawab juga.
Mungkin gegara liat kelesuan gw. Mukanya seperti biasa, datar. Baru kemudian balik badan, menyusul Hevoy ke kokpit. Tinggalkan gw yang masih penasaran atas perbuatannya.
Deru mesin pesawat transport BEO-212 terngiang di telinga, bersiap berangkat dari Wharf. Angin yang dihasilkan jet pendorong di sekitar meniup rambut kelabu gw, bikin berantakan. Beberapa menit gw berdiri menyaksikan proses lepas landas vertikal sampe cahaya dari lampu pesawat tersebut hilang di antara kegelapan malam bertabur bintang.
“Semoga mereka selamat selama perjalanan,” harap gw dalam hati.
.
.
…Cora Wharf, saat bersamaan…
Sesosok gadis Corite lagi bengong sambil liat bintang-bintang di tengah dinginnya suhu udara. Asap putih keluar diantara kedua bibir tipis merah muda tiap kali dia bernapas. Pikirannya menerawang entah ke mana. Ga keberatan hembusan angin mainkan rambut ungu panjangnya yang dikuncir ala ekor kuda. Selepas kemudian, jemari lentiknya melepas kunciran itu dan biarkan rambutnya kini tergerai sepunggung guna merelaksasi kepala yang terasa penat.
“Faranell,” tiba-tiba terdengar suara lelaki menyebut namanya dari belakang. Diapun sedikit tersentak. “Tidurlah, kamu butuh istirahat. Biar aku yang gantian jaga,” Ujar Corite lelaki itu pada si gadis.
“Hai Gann … aku belum ngantuk.” Faranell menolak halus permintaannya, biarpun dia ga memungkiri kalo sebenarnya kelelahan udah melanda seluruh badan. Tapi, si Grazier ga bisa tidur. “Mending kamu sana tidur. Kamu pasti juga capek banget, kan?”
“Gimana luka di lehermu?” Si lelaki bertanya sambil ikutan duduk bersila sebelahan, setelah liat leher Faranell dililit perban akibat pertempuran lawan Bellato tadi.
Faranell memegang leher jenjangnya dengan tangan kanan sembari tersenyum tipis. “Cuma luka kecil kok, bukan masalah.”
“Bukan masalah? Kamu tuh tadi nyaris mati!” Nada Gann tiba-tiba naik, bikin Faranell kaget. “Kalo tadi aku telat sedetik aja, kamu ga bakal ada di sini!” Faranell tampak bingung harus gimana buat redam amarah Gann.
Sebenarnya, dalam hati Faranell ga menganggap dia bisa selamat karena pertolongan Gann. Lelaki ini ga tau detail kejadiannya. Di dalam kepala Faranell, terulang kembali ingatan yang masih segar itu. Pengalaman nyaris mati yang benar-benar bikin bulu kuduknya berdiri.
…
“Nature’s Bind!” Seru Faranell, merapal mantra pengikat pada Shield Miller yang menahan serangan 3 templar sekaligus. Mendadak, sesosok Bellato berambut kelabu berlari cepat dengan dua bilah pedang di tangannya.
Merasakan hawa membunuh kuat, Faranell dilanda kepanikan. Karena dia sama sekali ga berpengalaman dalam pertarungan jarak dekat. Selama ini, Isisnya lah yang jadi andalan kalo lagi melawan Prajurit-prajurit bangsa lain.
Sayangnya, Isis tengah bertarung lawan salah satu Shield Miller Bellato lainnya. Dan dia ga mungkin sempat menarik kembali Isis terus panggil Paimon, sedangkan jarak antara dia dan Bellato berambut kelabu tersebut makin sempit.
Faranell kehilangan fokus, mantra pengikatnya jadi batal. Terbesit segala kemungkinan di kepalanya guna selamat dari keadaan ini. Tapi, ga satupun keliatan memungkinkan.
“Oh Decem, bila ini saatnya Hamba berpulang, janganlah Kau biarkan Hamba merasakan sakit kematian.” Sepenggal doa terucap dalam batin gadis ini liat mata pedang tertuju ke lehernya.
“KILL HER, LAKE!”
“U-Ungu.” Sesaat sebelum Faranell tutup mata, dia sempat liat tatapan tajam Bellato tersebut dari bola mata ungu menatap mata kuningnya. Setelah itu pandangan Grazier itu gelap, karena dengan cepat dia menutup mata serta bersiap terima kenyataan kalo umurnya bakal abis.
Satu tusukan ke leher harusnya cukup buat bikin orang mati seketika. Faranell cuma berharap dia langsung tewas tanpa sempat merasakan sakitnya ditembus pedang.
Terasa perih di salah satu titik lehernya. Dia bisa merasakan sensasi ujung lancip pedang menyentuh kulit.
“Uuuuuhh … Ini nih.” Gumamnya membatin. Dia menunggu dan menunggu, sambil masih terus menutup mata. Tapi ga terasa ada perubahan. “Hmm, apa Aku udah mati? Wah, ga terlalu sakit rupanya.” Ga berapa lama, Faranell memutuskan buat kembali buka mata. Pengen tau kaya apa pemandangan dunia setelah kehidupan.
Betapa terkejutnya gadis Corite ini begitu liat pemandangan sekitar ga berubah sama sekali. Dia tetap berdiri di atas permukaan penuh salju, udara dingin setia menggelitik kulit putih tubuhnya. Sebilah pedang berwarna biru menodong leher. Dia mengalihkan pandangan bingung ke arah Bellato tersebut, dan kebetulan Bellato itu melakukan hal yang sama sehingga mata mereka kembali beradu.
“Eh!? Kenapa!?” Lagi-lagi dia berucap di pikirannya.
Faranell berusaha mengurai situasi yang lagi dihadapi. Bercak darah terlihat jelas dari bahu kiri si Bellato, giginya mengertak dan gadis berambut ungu ini merasa kalo tangan yang lagi pegang pedang di lehernya sedikit gemetar. Napas berat keluar dari sistem pernapasan Bellato itu seolah… dia ragu buat mencabut nyawanya.
“HEEGH!” Erangan Bellato itu terdengar begitu mendadak ditabrak Paimon milik Gann.
“Beraninya lu sentuh dia, makhluk kotor nan busuk!” Gann berseru kepada si Bellato, tanpa peduli dia bakal mengerti atau ga kata-katanya. “Kamu ga apa-apa?” Cemasnya pada Faranell.
“A.. aku.. aku ga apa-apa. Makasih ya.”
…
Bukanlah Gann penyebab dia masih hidup. Melainkan Bellato itu yang ga jadi menusukkan pedang ke lehernya. Padahal tinggal dikasih tekanan dikit lagi pada pedangnya, tembuslah. Terlambat sedetik? Yang benar aja, harusnya dia udah beneran tewas walau ga ada Gann.
“Aku ga bisa kehilangan kamu.” Kalimat yang bikin mata Faranell melebar, ia menatap Lelaki berpostur tegap itu yang kini ikutan dongak menatap bintang. “Jadi tolong, jangan anggap itu ‘bukan masalah’.” Sikapnya berlawanan dari yang tadi. Kali ini, ucapannya lirih.
Rasa bersalah menyelimuti Faranell seketika, membawa tubuhnya buat memberi pelukan hangat pada Gann. “Iya iya, maaf yah.”
“Wahh, wah, wah, mesra betul kalian berdua. Iri deh liatnya. Hehehe.” Ucap gadis Corite lain yang ikut nimbrung, ganggu momen kemesraan Faranell dan Gann. Mereka buru-buru lepas pelukan.
“Apa sih, Raha! Rese deh ah!” Ambek Faranell pada Adventurer bernama Raharata yang lagi membalut tubuhnya dengan 5 lapis selimut.
“Hehehe. Aduuhh brr, brrr … dingin banget astaga. Kok ga hilang-hilang yah efeknya?” Sekujur tubuh Raha menggigil. Bukan gara-gara kondisi cuaca Ether, tapi akibat dibekukan oleh Holy Chandra Bellato.
“Rasakan! Emang enak! Week!” Juluran lidah Faranell tertuju pada Raha dibarengi ledekan. Sebenarnya Faranell merasa kasian sih, soalnya tadi aja setelah pasukan Bellato mundur, butuh waktu sejam lebih buat keluarkan dia dan seorang Black Knight dari kubik es hasil dari mantra Holy Chandra itu. Tapi rasa kesal lebih dominan dalam diri Faranell saat ini.
“Kalo kamu iri dan kedinginan,” Lagi-lagi seorang Corite lain bergabung dalam obrolan mereka. Dia telanjang dada, mengekspos tubuh bagian atasnya yang kekar dan penuh bekas luka. Luka sabetan pedang, luka tusukan tombak, luka ditembak peluru ataupun dihujani panah, ada semua. Yang terbaru, luka melintang di dada hadiah dari seorang Bellato. “Kenapa ga bilang aku?” Kemudian ia mendekap erat tubuh Raha dari belakang.
“Kyaaa! Sada!” Pekik Raha tertahan begitu merasakan tangan berkulit agak kasar mulai menjelajah perut, lanjut naik ke dadanya. Raha memalingkan muka berusaha menatap wajah Corite di belakangnya sambil bilang, “Ja-jangan di sini doong. Malu diliat- uuumpphhh!” Kalimatnya ga sempat selesai karena bibir Raha keburu disambar Sada.
Awalnya Raha terbelalak, tapi lama-lama tutup mata dan mulai nikmati perlakuan Skuad Leader yang ternyata pacarnya juga. Bibir kedua Corite tersebut saling pagut satu sama lain. Tangan Raha ga tinggal diam, mulai main dan menekan bagian belakang kepala Sada supaya ciumannya makin lekat.
Selama beberapa detik, kedua insan Corite ini pamer kemesraan pada level yang lebih tinggi dari yang dilakukan Faranell dan Gann barusan.
“Ahhh~ Sada,” Nama itulah yang pertama diucap Raha pas Sada melepas pagutannya. Adventurer itu menatap sayu pupil hitam Black Knight, rona merah muncul di tiap jengkal wajah Raha akibat terbuai permainan lidah serta rabaan sang kekasih.
“Emang kamu malu diliat siapa? Ga ada yang liat juga lagian,” Kata Sada sembari senyum. Raha yang ga mengerti apa maksud omongan Sada, diam sejenak. Ga ada yang liat? Jelas-jelas mereka melakukannya di depan Faranell dan Gann.
Tapi, semua jadi jelas pas Raha berpaling ke arah mereka berdua. Ia pun ketawa kecil liat Faranell yang menutup mukanya dengan kedua tangan, dan Gann lagi buang muka ke samping, berusaha buat ga peduli terhadap adegan lumayan panas di depan mereka.
“… Iya kan, Faranell? Gann?” Lanjut Sada, bertanya pada mereka.
“Si-siap! Ka-kami ga liat apa-apa, Anclaime!” Seru Gann salah tingkah. Mukanya ga kalah merah dari Raha.
“Wahai Decem, kenapa Engkau perlihatkan pemandangan itu padaku!? Akhh!” Faranell mengeluh pada Dewa yang selalu jadi pujaan Bangsanya, dengan tangan masih tetap menutup muka.
“Ihihi, lucu deh. Nanti juga kalian bakal merasakan kok.” Kata Raha menggoda Faranell sambil tarik tangan yang menutupi mukanya supaya dia bisa liat ekspresi Si Junior. Ga jauh beda dengan Gann, mukanya jadi kaya tomat.
“Ra-Raha. Kamu tuh ya, benar-benar deh.”
“Ngomong-ngomong, Anclaime,” Gann menyahut, berusaha belokkan topik pembicaraan biar keadaan ga canggung. “Misi kali ini … apa Bellato juga mengincar hal yang sama?”
“Hmm, ada kemungkinan begitu. Berita cepat sekali menyebar yah. Intel masing-masing bangsa ga bisa dianggap remeh.”
“Ta-tapi intel kita lebih hebat, kan? Buktinya kita jauh lebih dulu tiba di sini ketimbang mereka!” Faranell berkata antusias.
“Iya dong.” Perkataannya dibalas Raha. “Sampe kita bisa merencanakan buat sergap pasukan mereka. Pokoknya kita ga boleh biarkan Etheron jatuh ke tangan Accretia ataupun Bellato.”
Faranell sumringah dengar kata-kata penuh percaya diri dari Raha, lalu kemudian beralih pada Skuad leadernya. Ia sadar, luka di dada Sada belum dapat perawatan optimal. Dan Faranell khawatir akan hal itu.
“Anclaime, luka anda…” Namun, si Grazier ga berani lanjutkan kalimatnya karena liat perubahan sikap Sada.
“Hmm? Ini?”
“Perlukah … saya panggil Inana buat merawat luka anda?”
“Ga usah.” Seringai maniak kembali muncul di wajah Sada, persis kaya pas lagi lawan Bellato bersenjatakan dua pedang tadi siang. “Setelah sekian lama, akhirnya ada juga lawan yang sanggup mengukir luka di tubuh saya lagi!” Sada merasa darahnya berdesir bila ingat lagi pertarungan antara dia dengan si Bellato. “Bellato itu, darahnya luar biasa manis … ha… haha … hahaha.” Lagi-lagi sisi lain diri Sada keluar. Sisi liarnya, yang gila tempur dan ga pernah puas akan pertumpahan darah. Membuat pasangan Grazier muda bergidik ngeri liat kelakuannya.
Sedangkan Raha santai-santai aja, seolah udah biasa hadapi kelakuan aneh pacarnya. Wajar sih, dia udah memutuskan buat jalin hubungan dengan Sada, pasti mau ga mau harus bisa terima diri si Black Knight seutuhnya.
“Rambut kelabu, lain kali kalo ketemu lagi, akan saya hancurkan!” Serunya tegas.
“Rambut kelabu?!” Spontan Faranell berkata. Menarik perhatian Sada.
“Kamu, tau sesuatu tentang dia?” Sada bertanya dengan antusias. Namun Faranell gelisah dan merasa ga aman soalnya Skuad leader satu ini mengeluarkan aura pembunuh yang pekat.
“Ah- engh.. engg,” Kata-katapun jadi susah meluncur dari mulut begitu Sada mendekatkan wajahnya pada Faranell.
“Dia nyaris dibunuh oleh Bellato itu.” Liat kegelisahan Faranell, Gann ambil posisi antara Sada dan Faranell. “Luka di lehernya … kalo aja saya telat sedikit, Faranell pasti …” Gann menolak buat menyelesaikan kalimatnya.
Si Black Knight terdiam sebentar.
“Besok kita akan kembali ke White Hole dan lanjutkan misi ini. Lebih baik kalian istirahat. Hari ini, kita baru ketemu Bellato. Siapa tau besok kita akan ketemu lagi sama mereka. Lalu, bisa jadi Accretia bakal gabung berpesta dalam waktu dekat.” Kata Sada tersenyum buas abis jeda agak lama. Di kepalanya cuma ada tempur, tempur, dan tempur. Ga peduli perasaan anak buahnya yang tertunduk takut buat kembali ke medan liar. “Tenang, saya akan bantai habis semua yang menentang Decem.” Akhirnya dia berlalu, kembali ke dalam Wharf untuk istirahat.
“…”
“…”
Kedua Grazier muda itu ga merasa lebih baik biarpun abis dengar kata-kata Sada. Apa mereka bisa bertahan? Apa mereka cukup beruntung buat lolos lagi dari kematian? Biarpun Skuad Leader mereka kuatnya bukan main, tapi gimana kalo kejadian hari ini terulang lagi? Gimana kalo lain kali lawan mereka ga melakukan apa yang dilakukan si Bellato berambut abu-abu ? Ga ragu buat menikam jantung, gorok leher, menembak kepala mereka?
“Jangan takut. Di balik kegilaannya, Sada juga peduli kok terhadap anggotanya.” Raha yang dari tadi diam, buka suara. “Sebenarnya dia mau bilang, kalo dia ga akan biarkan anggotanya tewas. Dia merasa bersalah lho, pas tau Faranell hampir terbunuh. Kalo sampe itu terjadi, semua gara-gara kelengahan dia, kan? Beban tanggung jawabnya berat.” Kata Si Adventurer wanita, “Ya udah, pokoknya sekarang kalian istirahat ya! Tenaga kalian dibutuhkan buat misi ini.” Raha segera balik badan, menyusul pacarnya yang udah duluan masuk kamar.
Faranell dan Gann terpaku di satu tempat. Menatap punggung Adventurer wanita itu. Si Grazier berambut ungu bergumam dalam hati, “Rambut kelabu, saat itu … kenapa? Apa yang ada di pikiranmu..?”
.
.
…Bellato Wharf…
“HUAACHIIEEOOWW!” Tiba-tiba aja, gw bersin kencang banget. Mungkin jalan-jalan keluar dari Wharf malam hari gini bukan ide bagus. Ditambah lagi, tanpa sebab yang jelas, kuping gw kok berasa panas ya? Wahhh, kayanya ada yang lagi ngomongin gw nih.
Gw memutuskan buat ga keluyuran jauh-jauh dari Wharf, ngeri juga ama kata-kata Hevoy tadi. Ga lucu kan kalo tau-tau gw diculik Chooty. Ya udah, alhasil gw main salju aja, jongkok lalu ambil segenggam. Teringat mantra Ulkatoruk yang bisa mengubah salju jadi salep.
Jemari mulai beraksi, kedua telapak tangan gw kepal dan menekan salju tersebut sampe berbentuk bola. Setelah selesai, gw pun berdiri lalu coba sekuat tenaga buat lempar bola salju yang tadi gw buat. Abis itu kaki gw ga berhenti menendang salju di bawah sepatu. Ini… benar- benar kurang kerjaan. Udah tau kurang kerjaan, tapi kenapa tetap gw lakukan, ya?
Pas lagi asik main, Deg deg! Tetiba, gw merasa kaya ada yang memerhatikan. Shite! Jangan-jangan pasukan Cora lagi! Gw langsung ambil sikap siaga dan waspada terhadap lingkungan sekitar. Duh, mana gelap gini lagi. Dari balik pohon yang ada di sebelah kanan, terdengar sesuatu. Asumsi gw sih, jumlahnya ga banyak. Paling satu… pait-paitnya yaa … tiga. Tapi jangan sampe deh.
Oke, kali ini gw ogah kena sergap lagi. Kali ini, gw yang harus lancarkan serangan kejutan. Kali ini, gw ga akan ragu! Dengan cepat berlari ke arah pohon itu, sambil cabut keluar kedua pedang andalan. Sinar merah dan birunya keliatan mencolok banget kalo lagi malam gini.
Sekuat tenaga gw ayunkan kedua pedang di tangan, berusaha menyerang apapun yang ada di balik batang tubuh pohon berumur itu. Gw masih belum bisa liat tampangnya karena gelap banget. Yang bisa gw liat cuma perawakannya doang … pendek, tingginya sedagu gw.
Sadar kalo pemilik siluet itu bisa aja sesama Bellato, gerakan gw langsung terhenti sebelum menebas kepalanya.
“Waww,” pekiknya datar begitu liat ayunan pedang gw berhenti di sebelah kepalanya, “instingmu beneran tajam yah.” Lanjutnya tersenyum memuji, tanpa ada rasa takut.
“C-Caters Sirvat!” Seru gw kaget pas liat wajah familiar pemimpin skuad pertama. Dia pake mantel tebal warna putih corak-corak abu-abu yang ada tudung kepalanya. “Aduhh! Jangan menakuti saya dong! Nyaris kepala anda rata, kan!”
“Lho harusnya aku yang bilang gitu, kamu kan menodong kepalaku pake senjatamu itu.” Ujar Sirvat dengan nada riang membuka tudung mantel seraya telunjuknya colek lembut hidung gw.
“A-ahaha. Maap, saya kira bakal disergap lagi oleh Cora.” Gw jadi agak tegang digituin, salah tingkah sih lebih tepatnya. “Apa yang anda lakukan di sini?” Kedua pedang gw kembali masuk ke inventori.
“Liatin kamu.”
Pernyataan yang bikin mulut gw ga bisa nutup. Hah? Ngapain ni cewek liatin gw? “Se-sejak kapan?”
“Dari pas kamu nonton Hevoy lepas landas. Tadinya aku cuma pengen ke kamar mandi, eh terus liat kamu jalan keluar. Penasaran, jadi diam-diam ikut aja.”
Oh demm, perempuan ini liat gw dari saat itu? Berarti kegiatan gw main salju ga jelas tadi juga … arrghh! fix sekarang, gw pasti bakal dianggap orang aneh. Udah gede tapi noraknya kebangetan pas liat benda putih dingin di Ether.
“Kamu suka banget salju, ya?” Pikiran gw dibuyarkan pertanyaan Sirvat.
“Hmm, lumayan sih. Tapi, kayaknya ga pake banget.”
“Masa? Buktinya dari tadi keliatan senang betul main-main di sini.”
“Ahha, ya- um … Mu-mungkin karena jarang-jarang bisa liat salju. Anda sendiri? Suka?”
“Benci,” gw terdiam dengar jawaban itu. “Benda ini begitu dingin.” Sirvat menunjukkan ekspresi yang ga pernah gw liat sebelumnya. Menatap sendu ke bawah seolah kesedihan mengambil alih sejenak wajahnya. “Aku… kehilangan orang yang paling berharga di kala musim dingin.”
“Waktu itu terasa sakit banget, sesak dan berat di dalam sini,” dia meletakkan tangannya di depan dada, “yang kubutuhkan adalah kehangatan, tapi justru matahari melemahkan sinarnya dan cuma ada salju yang bikin hatiku makin kedinginan,” duh jadi ga enak, gw mengingatkan dia pada kenangan pahit yang lama terpendam.
“Maap, Caters. Bukan maksud saya buat … ungkit masa lalu anda.”
“Ahha, ga kok. Kamu ga salah. Aku sendiri yang memilih buat ingat itu semua.”
Kenangan, satu-satunya hal yang tersisa tentang kita dari masa lalu. Tentang orang-orang yang pernah ada ataupun meninggalkan kita gitu aja. Tentang kesedihan, kesenangan yang kita alami sekecil apapun itu. Kenangan manis, kenangan pait.
Perubahan waktu itu seram yah, di satu saat lu lagi berpegangan tangan dengan orang yang paling lu cintai, dikelilingi oleh orang-orang yang peduli pada diri lu. Dan semenit kemudian, tiba-tiba lu bisa aja kehilangan semua itu tanpa peringatan sebelumnya. Kadang, gw sendiri bergidik ngeri liat perubahan yang teramat cepat pada hal-hal di sekitar gw. Bayangkan gimana kalo gw ga bisa mengimbangi perubahan tersebut, dan akhirnya, gw jauh tertinggal.
Dari kata-kata Sirvat, gw berasumsi dia dan Ulkatoruk punya kesamaan. Yaitu, sama-sama kehilangan orang yang mereka sayangi dalam kondisi dikelilingi hawa dingin. Entahlah, mungkin kalo gw jadi mereka, boro-boro mikirin suhu udara. Pasti bakal sibuk mewek yang ada.
“Heyy, Lake?”
“Ya, Caters-“
Kata-kata gw langsung dipotongnya, “Sirvat, panggil aja Sirvat. Udah kubilang kan, denganku ga perlu formalitas.”
“Okey … Ss … Si-Sirvat,” Canggung. Manggil Skuad leader nama langsung, canggung. Berasa ga sopan hhaha. “Ada apa?”
“Kamu suka ga sama aku?”
Bfffft … dengar pertanyaan itu, gw nyaris tersedak ludah yang gw telan sendiri, “Emh, ahmm … saya, ga benci kok. Tapi, ahduh … bingung kalo ditanya begitu.”
“Begitu ya…” Jawabnya singkat, “waktu aku bilang ‘suka’ ke kamu di pesawat aku ga bohong.” Diapun melanjutkan.
Pikiran gw agaknya jadi ga menentu. Ga nyangka kalo wanita perkasa macam Sirvat bisa juga bikin laki deg-degan plus salah tingkah. Ya wajar sih, biar kata wanita macho, tapi Sirvat dianugrahi rupa yang ga kalah mentereng dari wanita kebanyakan. Cuma, kelakuannya emang rada mirip preman.
“Ehem, emang apa yang kamu … suka dari aku? Padahal kita baru aja sehari kenal.”
“Kekuatanmu,” Dia tersenyum nakal.
“Hah?!” Belum sempat menangkap maksud dari perkataannya, Sirvat melepas mantel putih yang sedari tadi menutupi tubuhnya. Di balik mantel itu, ternyata dia pake armor suite lengkap!
“Sentinel, Captain Lake Grymnystre! Aku, Berserker, Caters Sirvat Mess’Ennera, menantangmu untuk duel!” Astaga … Serius?
“A-apa maksudnya ini?” Tanya gw kebingunan.
“Duel ya duel, masa ga ngerti?” Dia balas kata-kata gw seraya mengeluarkan kapak yang biasa dipakenya. “Lagian, kamu kan utang janji kencan denganku.”
Weeew, kapan gw janji kaya gitu yaa? Perasaan keputusan itu dibuat sepihak! Lagian, hasilnya udah bisa ditebak! Mana bisa gw lawan Berserker?!
“Wow, wow, wow, tunggu dulu … aku menolak! Ga mau ah lawan kamu!” Gw mencoba sebisa mungkin untuk ga terlibat keinginannya. Cedera gw masih belum pulih, ditambah lagi, masa gw harus lawan perempuan? Kalo kalah kan malu juga nanti.
“Huhuhu, sayang sekali.” Tawa kecil lolos dari mulutnya. “Aku ga terima ‘enggak’ sebagai jawaban.” Abis ngomong gitu, Berserker wanita ini langsung menerjang dengan kapak di tangan.
Shite! Ini bukan kencan yang gw pikirkan!
Ayunan kapaknya kuat, tapi ga terlalu cepat, yah setidaknya bagi Ranger. Dengan gampang, gw menunduk hindari serangan pertama Sirvat.
“Si-Sirvat! Plis! Jangan gila dong!”
“Hmm, ini lagi waras kok. DEATH BOMB!” Buset! Napsu amat. Tanpa ragu kapaknya menghujam tanah sekuat tenaga. Gw lompat ke belakang sebelum kena telak. “Heaaah!” Seperti biasa, Sirvat selalu nyerang dengan penuh semangat, siapapun lawannya. Kembali dia mendekat.
Berkali-kali dia ayunkan senjata di tangannya itu ke kiri, ke kanan, balik lagi kanan kiri, atas bawah, bawah atas, segala arah deh pokoknya! Tapi, ga ada satupun yang mendarat di sasaran. Keliatannya, gw cukup mengelak terus-terusan aja nih sampe Sirvat kehabisan tenaga. Sebagai tanda penolakan gw untuk melawan. Kalo kepancing menyerang, berarti gw melakukan sesuai kehendaknya.
“Ayo, cabut pedangmu! Lawan aku sekuat tenaga, seperti waktu kamu duel lawan Rokai dan Black Knight tadi siang! Aku ga segan-segan lho!” Uggh! Sial kenapa Sirvat jadi bersikeras yak? Gw mulai berlari menjauh darinya, berusaha mengelak dari segala serangan buas yang ga kira-kira.
Pas gw menoleh ke belakang, dia ga terlihat lagi. Kayaknya berhasil mengecoh dia nih. Mending balik ke Wharf dah sekarang.
“Jackpot~”
“Eh!?” Mendadak dari samping, sesosok Bellatean melompat keluar dari bayang malam sembari layangkan kapak hitam bercorak merah pada sisi tajamnya.
“FURY SWIPE!” Kilau merah di kapak tersebut terefleksi jelas di kedua mata gw yang melebar akibat terkejut liat itu kapak makin dekat buat membelah kepala. Sialaan! Terpaksa deh!
Detik-detik terakhir sebelum serangannya kena, gw keluarkan kedua pedang dan gw posisikan vertikal di depan guna menangkis Fury Swipe Sirvat. Tubuh gw sedikit terdorong dari titik awalnya. Gilee! Apa ini beneran tenaga perempuan?! Ga normal amat! Dan lagi, gimana caranya dia bisa muncul di samping gw dengan cepat? Padahal tadi dia jauh di belakang!
“Nah, gitu dong! Kan kencan kita jadi makin panas kalo begini,” seringai puas tersimpul di wajahnya.
“Sirvat! Sebenarnya ini buat apaan sih? Kurasa bukan waktu yang tepat untuk duel!” Bentak gw di tengah adu kuat.
“… Sejak nonton duelmu lawan Rokai, aku langsung jadi fansmu. Aku pernah bilang, kan?!” Ujarnya, sambil terus melancarkan serangan kapak. Sedangkan gw sesekali menangkis dan terus melangkah mundur, “Bahwa aku suka banget liat kegigihanmu, liat gimana kamu susah payah melawan musuh yang jelas jauh di atasmu,” lutut kanan Berserker wanita itu sempat mendarat keras di perut gw, di antara serangan kombinasi, “seolah sekuat tenaga berusaha menjebol tembok raksasa yang teramat kokoh di hadapanmu.”
“Huff, huff, huff,” napas gw jadi ga teratur.
“Padahal cuma dari bangku penonton, tapi ketegangannya menjalar ke seluruh tubuhku. Aku mau merasakan itu secara langsung dari lawan kamu! TERRA STOMP!”
Aaayaa … dia serius. Serius jadi gilanya! Apa semua Berserker cuma mikirin kelahi di kepala mereka? Kapak Sirvat berhasil menyerempet badan beberapa kali pas dia lagi mengoceh sambil menyerang. Dari tekanan force di sekelilingnya aja, gw merasa tertekan! Belum lagi satu dengkulannya tadi, sukses masuk telak area perut gw. Agaknya, dia terus-terusan bikin gw tersudut.
Gw berusaha perkuat genggaman, supaya pedang di tangan ga lepas.
“Kita kehilangan kawan seperjuangan, Sirvat! Tiga orang! Tiga sekaligus! Bukan saatnya kita duel ga jelas gini!” Gw mulai berseru ke skuad leader, mengingatkan kembali kondisi kita sekarang, berusaha menyadarkan dia dari kegilaan ini.
mendengar teriakan gw, dia tertunduk sambil mengertakkan gigi.
Genggaman pada kapaknya keliatan makin erat, “AKU TAU! TANPA PERLU DIKASIH TAUPUN, AKU TAU!” Teriaknya kesal, “Kamu pikir, aku berusaha menyangkal kalo anggotaku tewas!? Kamu pikir, aku berusaha menyangkal kalo aku gagal jadi pemimpin!? Kamu pikir, aku cari pelarian dari rasa bersalah akan kegagalan!? Iya!?” Teriakannya ga sekeras tadi. Kali ini, kalimat penuh kefrustrasian dilampiaskan ke gw.
“Enggak. Aku sama sekali ga berpikir kaya gitu, sumpah!” Sanggah gw cepat setelah dengar reaksinya. “Tapi, ini semua cuma buang-buang tenaga.”
“RABID! BERSERKER TRANCE!” Seru Sirvat. Force tipis berwarna lime keluar dari tubuhnya. “Kalo kamu ga berpikir begitu, biarkan pedangmu yang bicara!” Kemudian dia keluarkan sebuah Gada dari inventori 4 dimensinya. Sekarang, Berserker di hadapan gw pegang dua senjata!
Hmm, gerakan Sirvat ga terlalu cepat pas pake kapak doang. Mungkin bakal jadi lebih lambat begitu dia bawa gada. Harusnya ga jadi masalah.
Tapi, pemikiran gw salah total! Langkah Sirvat justru makin ringan! Berat dari kedua senjatanya kayak ga ada pengaruh! Sekelebat, dia udah berada di depan gw lagi. Menyerang gw dengan kombo-kombo mematikan yang begitu cepat!
Rentetan ayunan kapak dan gada ga ada yang berhasil gw antisipasi. Kecepatan geraknya meningkat jauh, pun begitu dengan kecepatan serang. Tapi, bisa gw rasakan, kekuatannya melemah. Turun drastis dibanding awal-awal. Mungkin efek dari kemampuan tadi?
“Ughh!” Gw berusaha untuk tetap di atas kedua kaki walau agak sulit. Serangannya emang jadi lemah, tapi kalo secepat itu, gw jadi ga bisa menghindar atau menangkis. Bahaya juga.
“Masih bisa berdiri ya? Luar biasa,” puji Sirvat. Luar biasa apanya? Jelas-jelas ini pertarungan sepihak. Sedari tadi gw ga ada niat buat menyerang. “Ahh, kuharap bisa jadi kayak kamu, Lake.”
“Jadi … kayak … ?” Gw tunjuk diri sendiri.
“Iya, berjuang sekuat tenaga memegang teguh apa yang kamu yakini. Gigih pertahankan keinginan bertarung sampe penghabisan. Andai aku kayak kamu, mungkin aku bisa jadi pemimpin yang lebih baik. Pemimpin yang ga akan biarkan anggotanya tewas, pemimpin yang ga ragu di setiap keputusan yang diambilnya.” Ada sedikit getir di balik nada bicaranya, ada semacam … penyesalan? Atau lebih tepatnya perasaan ga bisa maapkan diri sendiri.
Heyy, heyy, ngomong apa sih lu? Semua itu sama sekali bukan gw! Memegang teguh apa yang gw yakini? Faak! Sampe detik ini aja gw belum tau atas dasar apa gabung militer! Gigih pertahankan keinginan bertarung sampe penghabisan? Itu … itu cuma karena gw ga pengen mati tanpa perlawanan! Seringnya, insting gw lah yang mengambil alih akal sehat. Tubuh tinggal bergerak dengan sendirinya. Gw … ga setangguh yang lu pikirkan, Sirvat.
“Lawan aku layaknya Prajurit, Captain Lake! Tunjukkan kekuatanmu! Atau kamu bakal menyesal ga bisa liat mentari esok! YAAAAAAH!”
Dengan gerakan yang ga bisa ditangkap mata biasa, lagi-lagi Sirvat menyerang. Sialan, kalo ga pake ini, bisa-bisa gw bakal jadi samsak lagi!
“ACCEL … WALK!” seraya detak jantung gw meningkat, aliran darah di sekujur urat nadi pun terpompa kencang banget, “Arrrghh!” Gw mengerang tahan sakitnya letupan adrenalin yang melimpah dari dalam tubuh.
Demmit! Gw ga pernah suka efek samping dari skill ini. Perlahan tapi pasti, benda-benda di sekitar gw bergerak lebih pelan. Kini, pergerakan Sirvat mulai keliatan seiring melambatnya sang waktu.
Si Berserker kaget bukan main ketika gw berhasil membaca semua serangannya. Kayaknya dia ga menyangka, dalam keadaan Rabid dan Berserker Trance-nya aktif, ada yang sanggup mengimbangi kecepatannya. Entah ya, gw merasa ini belum apa-apa dibanding serangan yang biasa gw terima dari Maximus Gatan kala latihan.
Dalam keadaan ini gw melihat begitu banyak celah buat menyerang sebenarnya. Perutnya bisa dibelah, tusukan gw mampu menjangkau dadanya, atau bahkan, gw bisa melumpuhkan pergerakan Sirvat dengan memotong persendiannya. Tentu, gw ga segila itu sampe sanggup motong-motong sesama Bellato. Akal sehat gw masih berfungsi.
Asalkan bisa bertahan dari serangan Sirvat, semua ga jadi masalah.
Sekilas, gw tatap matanya. Berkaca-kaca. Seakan mau nangis. Kenapa? Perempuan sekuat dirimu … apa yang bikin kamu menumpahkan air mata?
Tu- tunggu. Kayaknya gw mulai paham situasi ini.
Senjata gw dan dia kembali beradu. Lalu, kita sama-sama lompat mundur jauh. Itu semua ga lama, karena dia bersiap melancarkan serangan terakhir dengan sisa-sisa Force dan stamina yang dia miliki. Kecepatan abnormalnya pun udah mau abis.
“TUMBANGLAH!” teriaknya.
Hal yang sama gw lakukan, yaitu menerjang ke arahnya sambil berpikir apa yang harus gw lakukan buat kalahkan Sirvat tanpa perlu menyerang?
“A-ahh!” Belum sampe pada titik peraduan, efek skill penambah kecepatan milik wanita itupun habis. Kesempatan! Tanpa kedua skill itu, mustahil Sirvat bisa mengimbangi kecepatan gw. Berserker wanita tampak belum mau menyerah.
Dia fokuskan penglihatan kedepan, berusaha membaca gerakan gw dan dari mana gw akan datang. Dengan mantap, dia mengayunkan kedua senjata Warrior di tangannya ke sebelah kanan, karena emang dari situ gw berniat mendekat. Hehehe, percuma, cantik. Gerakanmu terlalu lamban, bak di slow 50%.
Tanpa rintangan berarti, serangan tersebut berhasil gw hindari. Dan akhirnya …
“Ha-hah!?” Pekik Sirvat kaget begitu tau tubuhnya gw peluk. Ya, memutuskan untuk akhiri duel yang bagi gw tanpa tujuan ini, dengan sebuah pelukan. Sirvat keliatan ga terima, setelah itu sedikit berontak. Namun gw perkuat lengan, ga biarkan Sirvat lepas dari dekapan, “Kenapa? Kenapa… pelukan di tengah duel?” Tanya Sirvat heran. Tenaga dorongan wanita ini lemah, ga kayak sebelum-sebelumnya. Ada yang ga beres.
“Menangislah,” ujar gw pelan, “menangis itu wajar kok, apa lagi saat sakit di hati udah ga tertahan,” Berusaha berkata selembut mungkin.
Hal yang gw pelajari dari Elka, saat sakit mulai berontak naik ke permukaan dari dasar hati terdalam, yang lu butuhkan adalah seseorang yang rela menanggung rasa itu bersama, dan sebuah pelukan hangat dari orang kepercayaan.
“Lake, kamu …” Dia sedikit dongak biar bisa menatap mata gw. Saat dia melakukan itu, gw cuma bisa kasih senyum tulus. Matanya jadi makin berkaca-kaca. Kapak dan Gada yang dipegangnya terlepas dari genggaman, jatuh di atas tumpukan salju, “Aku… aku… sebenarnya takut,” dia mulai benamkan wajah di dada gw. kedua tangannya melilit erat pinggang ini.
“Bukannya kita semua takut?” Kata gw singkat. Tangan gw mulai mengelus-elus rambut hijaunya.
“Semua ini… semua ini terlalu berlebihan buatku. Aku belum punya pengalaman memimpin tim. Ini misi pertamaku sebagai skuad leader,” Sirvat mulai membuka perasaannya. Biarpun sambil sesegukan. Tubuhnya gw rasakan bergetar, “aku udah berusaha sekuat tenaga untuk jadi skuad leader yang baik. Dan berusaha buat melindungi semua anggotaku. Berbulan-bulan aku latihan dan latihan demi semua itu. Tapi apa? Pada akhirnya aku gagal! Gagal!” Rengek wanita yang berkulit lebih gelap, “Semua latihan itu belum cukup. Karena itu … karena itu … sadar kalo ada yang kurang, aku menantangmu buat duel dengan harapan bisa sedikit belajar darimu. Karena selama ini, aku selalu terbayang-bayang akan kegigihanmu.”
Ahh sial. Gw ga pernah baik dalam berkata-kata. Biasanya, Elka ahli banget nih masalah ginian. Apa yang harus gw katakan?
“Aku ga sekuat itu kok, Sirvat.” Dia masih tetap membenamkan mukanya di dada gw. “Emang sih, pertarungan lawan Rokai itu jadi yang paling menegangkan selama aku hidup. Beberapa orang bilang mereka terkesan terhadap aku yang bisa mengimbangi Rokai. Tapi itu ga benar. Bagiku, itu sama sekali ga imbang. Jelas Rokai menang telak waktu itu, karena aku ditinggal di arena dalam keadaan hampir mati,” Sirvat mendengar penjelasan gw secara seksama, “Anggapanku, itu kegagalan besar. Entah kenapa banyak orang yang berpikir sebaliknya. Kamu, mentorku, sahabat, orang yang baru kukenal. Entah dari mana kalian liatnya.”
“Di mataku, apa yang kamu lakukan bukan kegagalan,” wanita ini menyanggah, “justru, itulah teladan seorang Prajurit. Selalu menolak untuk jatuh, ga pernah ragu hadapi lawan.”
“Dan di mataku, kamu bukanlah pemimpin gagal.” Ujar gw kepada wanita ini. Gw balikin kata-katanya, biar dia paham, ga semua hal keliatan seperti yang terlihat.
Dia kembali dongak biar bisa liat mata gw lagi. Raut wajah ga percaya tersirat di sana.
Gw berkata, “Kamu kuat, keras kepala, dan tegar. Sanggup menyimpan rapat kecamuk batin di balik sikap seorang Berserker. Di kala Ulkatoruk kehilangan Namaste, ga ada orang lain yang lebih paham rasanya selain dirimu. Tapi, sebagai pemimpin, kamu ga bicara sepatah katapun padanya. karena kamu tau, pemimpin ga boleh menunjukkan kelemahan pada anak buahnya, meski berat bagimu untuk melakukan itu.”
“Ta-tapi, aku-” Kata-kata Sirvat langsung gw potong.
“Inilah medan perang. Neraka kehidupan bagi siapapun yang ada di dalamnya. Prajurit kayak kita, udah paham betul bahwa kematian lebih dekat dari urat leher sendiri. Tiap hari kita hidup dengan nyawa sebagai taruhan. Satu-satunya cara biar bisa bertahan adalah saling bekerjasama, saling bantu, saling menjaga,” gw teringat perkataan Ayah dari cerita Maximus Gatan, dan Kalimat yang diucapkan Elka tempo hari. Alhasil, gw gabung-gabung aja. Keren juga hasilnya, “ga ada satupun keputusanmu yang salah. Buktinya, kami semua masih bisa selamat. Sirvat Mess’Ennera bukanlah pemimpin gagal. Melainkan, pemimpin yang siap belajar untuk jadi lebih baik. Setidaknya itulah dia, di mataku.”
“Kamu … menilaiku terlalu tinggi,” ujarnya tersipu malu.
“Sama, kamu juga. Kata siapa aku ga pernah ragu? Justru aku ragu dalam setiap hal yang kukerjakan. Semua itu cuma masalah sudut pandang. Intinya, kamu ga sendiri, anggota skuad pertama resimen 18 selalu berjalan di belakangmu. Siap menanggung semua beban bersama.”
Sirvat ga bicara agak lama, mencerna makna di balik perkataan gw, “… Heyy Lake, maaf udah kasih liat sisi lemahku,” akhirnya, wanita ini menyapu air matanya, “pinjamkan kekuatanmu sekali lagi, untuk membuat misi kali ini sukses.”
“… Ish’Kandel, Jizzkar, Ulkatoruk, mereka semua Prajurit hebat yang siap berjuang di bawah komando seorang Sirvat,” kata-kata gw meluncur dengan mantap, “dan tanpa dimintapun, aku juga bakal lakukan hal yang sama.”
“Kalo gitu, boleh aku perintahkan satu hal?”
“Boleh.”
“Cium dong. Di bibir.”
“…”
“U-uwaak! Jangan! Saya masih perjaka!” Reflek, gw jauhkan tubuhnya pas dengar kata-kata itu. Anjerlah, frontal amat nih cewek. Sampe detik ini, gw belum pernah cium siapapun, SIAPAPUN! Bahkan kedua orang tua gw pun ga.
“Lho?! Ahaha! Kan cuma ciuman. Kenapa jadi nyambung ke perjaka?” Yah, bagi kebanyakan orang mungkin itu hal biasa. Tapi, gw merasa hal-hal macam gituan bukan sesuatu yang bisa lu lakukan sembarangan.
“Ahmm- ehmm … udahlah, ga usah dibahas. Lebih baik kita balik ke Wharf,” gw pun balik badan menuju ke Wharf, ga peduli akan apa lagi kelakuan Sirvat berikutnya.
“… Lake,” dari belakang, Sirvat memanggil. Gw sedikit menoleh buat respon panggilan tersebut tanpa ada perasaan apa-apa. Lalu … cupp. Bibir kenyalnya mendarat lembut di pipi, bikin gw beku di tempat seketika, “aku hormati keputusanmu. Suatu saat di masa depan, bibirmu akan jadi milikku seutuhnya,” diiringi kedipan mata serta senyum genitnya.
Setelah itu, dia berjalan dengan langkah riang melewati gw. Pas sadar gw masih ga bergerak, dia berbalik ke belakang, melambai seraya berkata, “Heyy! Kok diam? Ayo balik!”
Hahaha dasar. Bibir gw menyungging senyum. Kayaknya semua perempuan emang susah dimengerti. Malam ini, gw liat sisi lain dari Sirvat yang mungkin ga bakal ditunjukkan ke orang lain. Sisi kewanitaannya. Di balik lapisan otot seorang Berserker, dia membuktikan kalo bendungan air matanya bisa jebol saat udah kepenuhan. Memendam kenangan pahit kehilangan. Di balik sikap kasar, diapun ga lupa cara jadi gadis yang begitu menarik dan sanggup menggoda lawan jenis.
Sekeras-kerasnya Sirvat, dia tetap seorang wanita yang melibatkan perasaan dalam tiap keputusan. Bagaimanapun, dia tetap butuh tenaga kita, para lelaki buat dukung mengingat ini misi pertamanya sebagai pemimpin skuad. Dibebankan tanggung jawab keselamatan anggota serta kewajiban misi, itu besar banget. Tentu ga gampang.
Oh ya, satu lagi yang kepikiran, “Apa semua kencan bikin badan secapek ini?“
Selagi balik ke Wharf, saat itu, gw belum sadar. Kalo ternyata ada sesuatu yang lain mengawasi kita berdua, di balik rimbun semak, di tengah terang sinar satelit alam Planet Novus.
“Battlefield is the cruelest place. A living hell for those who are in it. There are no way to pass through, other than take care of each other’s back.” – Actassi (Ch.6)
CHAPTER 12 END.
Next Chapter > Read Chapter 13:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-13/
Previous Chapter > Read Chapter 11:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-11/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list

