LAKE CHAPTER 14 – SECOND ENCOUNTER SUDDEN OUTBURST

Lake
Penulis: Mie Rebus
“AAAAAARRRRGGHH!” Gw teriak sampe tenggorokan lecet, menahan rasa sakit yang luar biasa. Di atas padang salju di sektor White Hole, tubuh bergeliat, guling sana-sini buat mengurangi apa yang lagi gw rasakan.
Satu-dua ledakan jadi suara latar di telinga. Pasukan kami kembali bertemu pasukan Cora yang kemarin. Pertempuran lagi-lagi ga terhindarkan. Sayup-sayup senjata para Warrior saling menabrak masih terdengar. Gw berusaha sekuat tenaga pertahankan kesadaran yang sedikit lagi hilang dari diri.
“Haah.. hahh.. UUUUAAAAAAAAAHHHHHH! Huff..hufft.” Lagi, erangan keluar dari mulut gw. Sebisa mungkin atur napas, tapi percuma. Pas rasa sakit akibat mantra aneh Spiritualist Cora mendera, gw ga berdaya. Hidung pun mulai mimisan.
“Lake! Tahan, boy! Lawan rasa sakitnya!” Pandangan gw rada kabur, tapi dari suaranya, gw yakin yang ngomong nih Ulkatoruk. “PRAJURIT TERLUKA!” Teriaknya lantang.
Sirvat yang dengar teriakan tersebut, kehilangan fokus sejenak. “Hah?! Lake? EGGH!” Bogem mentah dari Templar Cora mendarat mulus di wajahnya karena lengah sesaat. Ga pake lama, dia langsung balas melayangkan kapaknya. “Sialan lu! Makan nih! FURY SWIPE!” Serangan sapuan area, menerbangkan tubuh si Templar. “ISH’KANDEL! COVER LAKE DAN ULKATORUK!” Perintahnya pada Ish.
“SIAP!”
Rasa sakit yang gw rasakan, datang dan pergi. Sesaat hilang, terus nanti balik lagi. Pas sakitnya datang, buseet dah… serasa di gampar Red Goliath bolak balik. “AAAAAAAAAAHHHHHHGGG! HEEEEEENGGGGHHHHH! HUFFFT! haahh.. hahh..! FAAAAKKKK!” Tangan gw remas dada sendiri, terasa sesak banget. Jantung terasa diblender.
“Kenapa tu anak?” Tanya Ish’Kandel sambil membentang perisai besarnya buat melindungi kami.
“Hell Bless,” pertanyaannya langsung dijawab cepat oleh si Holy Chandra. “mantra Force kegelapan yang mematikan kemampuan regenerasi sel dalam tubuh korban, dan membuatnya merasakan sakit luar biasa sebelum mati.”
“E-edan. Sakit banget tuh kayanya. Lu bisa sembuhkan?”
“Negatif. Penyembuhan Force air gw cuma meningkatkan kemampuan regenerasi dari subjek itu sendiri. Sedangkan, Hell Bless memblok segala macam regenerasi sel.” Jelas Ulkatoruk. Shite! Apa ga ada cara buat bebaskan gw dari rasa sakit ini? “Sel ga bisa regenerasi, kemampuan pembekuan darah pun jadi hilang. Penyambungan tulang pun mustahil. Dengan luka-luka di tubuhnya, dia bisa mati kehabisan darah,” Ulkatoruk meraba-raba sekujur lengan gw.
“EEEEEEERGHHJJ!” Dengan dua kali gerakan mendadak, dia mengembalikan tulang siku gw yang mengalami patah, dan dislokasi ke posisi semula. Rasanya? Ga usah ditanya boss. Pedas!
“Mau ga mau, gw harus buka jalan ke urat sarafnya, dan keluarkan racun Hell Bless secara manual.” Holy Chandra ini mengeluarkan kotak kecil dari inventori. Isinya seperangkat alat medis. Pisau bedah, silet, sarung tangan, dan kawan-kawannya.
“AAAAAHHHH! SAKIIIT! UUUAAAAGGHH!” Kembali, sakitnya datang. Lagi-lagi gw guling-guling ga jelas. Meronta. Kaya cacing dikasih garam. Anjrit! Kalo mau menolong, buruan kek! Ga usah pake penjelasan segala!
“Jangan banyak gerak, woi!” Bentak Ulkatoruk. Dari mukanya, keliatan sih kalo dia panik juga sebenernya.
Ya abis gimana? Ga tahan banget coy. Kalo gw diem aja, malah makin kerasa.
“A-anu,” tiba-tiba terdengar suara perempuan terbata-bata di sebelah gw. Mukanya ga keliatan jelas, tapi dari warna rambutnya yang pink, se… sejak kapan dia?! “A-aku… bisa, sembuhkan temanmu.”
Ulkatoruk keliatan ga percaya pada ucapan Meinhalom, “Sembuhkan? Elu? Bukannya yang lu bisa cuma menghancurkan?”
Meinhalom terperangah dengar cibiran itu. Mulai gelisah dan ga tenang. Biasanya langsung kabur nih sebentar lagi. Tapi di luar dugaan, dia geleng kepala kuat-kuat.
“Engg-enggak!” Jawabnya lantang sambil terpejam. “Aku… aku bisa… sembuhkan dia!” Pelan-pelan dia buka mata, tapi kepalanya tetap menunduk. “Lagipula… kamu tau kan, terlalu beresiko buka… urat saraf ketika, dia lagi… begini.” Kata-katanya logis, tapi diliputi keraguan.
“Kasih dia kesempatan, Ulkatoruk.” Ish’Kandel menyeletuk tanpa balik badan.
“… Sial. Gw benci mengakui, tapi lu ada benarnya.”
Ulkatoruk bergeser dari posisinya, menyerahkan tanggung jawab buat menyembuhkan gw pada Wizard perempuan tersebut.
“UUUUUUUGGGGHHH! Haaaahh.. hahhh..”
Tangan kiri mungil Meinhalom menggenggam erat telapak tangan kanan gw. Terasa agak panas, kontras sekali dengan suhu udara Ether. Tangan satunya lagi ada di dahi gw.
“Heat… Addict…” Setelah mengucap mantra itu, tangan yang di dahi, bergerak menyapu seluruh badan sampe ke ujung kaki. Seketika, gw kaya diselimuti lapisan udara panas. Ga terasa lagi salju dingin yang tertindih, atau angin beku yang kerap berhembus. Meski panas, anehnya gw malah merasa amat nyaman.
Ulkatoruk cuma diam memerhatikan apa yang bakal dilakukan Meinhalom selanjutnya. Wizard itu mengeluarkan tongkatnya, meletakan kedua telapak tangan di depan dada sendiri, lalu berkonsentrasi mengumpulkan force. Seikit-sedikit, segumpal bola energi berwarna merah mulai terbentuk.
“Lu mau menembak dia pake bola api?! Udah gila ya?!” Liat hal itu, Ulkatoruk bangkit dari posisinya, langsung mencegah Meinhalom lanjutkan mantra itu. Bola energi tadi lenyap gegara Meinhalom hilang konsentrasi. “Yang ada lu bukan menyembuhkan, tapi bikin dia mati!”
“Aakkh,” pekik Meinhalom begitu kehilangan energi yang susah payah dikumpulkan. Matanya keliatan sedih, “kamu… harus percaya… padaku…” Ujarnya tersenyum kecut. “Api… ga cuma, bisa… menghancurkan.” Ia menatap Ulkatoruk, ratap memelas rasa kepercayaan.
Ditatap mata memelas begitu, Ulkatoruk cuma hela napas “Hhhh…” Dan balik ke tempatnya.
Sekali lagi, Meinhalom mengulang hal yang coba dilakukannya tadi. Mengumpulkan segumpal energi dan membentuk bola api merah… bukan oranye.
“Ember’s End…” Setelah dirasa cukup, dia melepaskan bola api itu ke tubuh gw.
Bola api meluncur cepat dan berbenturan dengan badan gw. Terus berubah bentuk lagi jadi tali-tali api yang mengikat kuat badan gw, lalu meresap ke dalam kulit. Ditodong bola api, harusnya gw merasa terbakar dong? Ajaibnya, gw malah merasa nyaman. Panas sih, tapi gw malah pengen lagi.
Selepas beberapa saat, tubuh gw mengeluarkan sepancar energi panas. Diikuti aura hitam pekat bercampur merah. Tubuh gw… terasa… normal. Sakit yang dari tadi mendera, ataupun lapisan panas hasil mantra Meinhalom hilang ga berbekas! Kaya gw ga pernah mengalami apapun! Tapi badan masih lemas, luka parah. Tersisa pendarahan dari luka yang gw terima gara-gara pertempuran.
“A-apa-apaan… barusan itu!?” Ulkatoruk ternganga.
“Aura hitam pekat, kemerahan… itu efek, Hell Bless. Berhasil… kuhilangkan.” Kata Meinhalom menjelaskan.
“Tanpa luka bakar?! Bohong! Gw ingat dengan jelas! Bahkan Namaste kesulitan buat menyembuhkan luka bakar akibat mantra lu tadi!” Entah kenapa, Holy Chandra lelaki yang satu ini sering marah-marah ke Meinhalom.
“E-Ember’s End adalah, energi panas murni… dalam bentuk bola, yang bisa membakar… sekaligus hilangkan semua… efek. Positif atau negatif, dari mantra… force apapun.” Meinhalom agak ciut menghadapi Si Holy Chandra di depannya, tapi tetap aja menjelaskan. “Dia ga mengalami… luka bakar… karena Heat Addict, memblok efek… damage. Dari force, yang bersifat… panas.”
Ulkatoruk kaget bukan kepalang dengar penjelasan itu. Mungkin dia ga pernah menyangka Force api bisa dipake dengan cara demikian.
“Sekarang tinggal… satu hal lagi.” Meinhalom menatap dalam mata gw. “Untuk sembuhkan… lukamu, aku harus tanya… kesediaanmu. Apa kamu sanggup, tahan rasa sakit… dibakar hidup-hidup?”
Ga sempat mikir, gw mengangguk aja. Soalnya, udah mau pingsan sangking parah kondisi gw. Yang ada di benak ini, apapun rela gw lalui biar bisa pulih cepat.
“Sakit yang kumaksud, bukan sakit biasa… tapi sakit yang, benar-benar mengerikan. Lebih menyiksa… dari Hell Bless. Kamu… bakal berharap, lebih baik… mati.”
“Kalo gw balik dalam keadaan amburadul gini, Elka bisa ngamuk.” Balas gw lirih. “Sama… aja mengerikannya.”
“Elka…?” Meinhalom berpindah pandangan ke Ulkatoruk, yang mengangkat kedua bahu pertanda ga tau maksud ocehan gw.
“Baik… kuharap semangat, itu bisa… mempertahankan nyawamu.” Ujar Meinhalom seraya membujurkan tongkatnya di atas tubuh gw. “Tolong… tahan temanmu.” Pintanya pada Ulkatoruk. Meinhalom menarik napas panjang dalam satu tarikan, “Overheat Purgation…”
“WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!” Faaaak! Gw beneran dibakar hidup-hidup! Selimut api muncul di beberapa titik badan. Sontak, gw berontak. Kejang-kejang akibat syok. Badan sampe menegang ke atas, Ulkatoruk menahan gw biar tetap di tempat. Teriakan kepedihan memecah ke segala penjuru Ether, sampe bikin semua perhatian yang ada di White Hole tertuju ke gw, “AAAAAAKHH! PANAAAAS! PERIIIH! UWAAAA! TOLOOONG!”
“APA YANG LU LAKUKAN, GOBLOK?!” Liat api makin menjalar, Ulkatoruk menerjang Meinhalom, dan mendorong dia sampe terjengkang. Sedangkan gw? Guling-gulingan lagi kaya cacing kremi.
“Kyaaa!” Respon Si Wizard berambut pink, terjerambab di atas padang salju.
Ternyata benar, sakitnya gila-gilaan! Gw pikir Meinhalom cuma melebih-lebihkan aja. Taunya itulah kenyataan, lebih parah dari Hell Bless. Ahh… sial. Pandangan gw makin ga fokus. Terakhir, gw liat Ish’Kandel coba menahan kemarahan Ulkatoruk terhadap si Wizard berambut pink itu… sebelum Jizzkar berseru lantang, “AWAAAAS! DOOMBLAAAASST!”
Mati weh, mati.
Aduuh… kenapa ini semua bisa terjadi?
.
.
-Beberapa Jam Sebelumnya, Bellato Wharf-
Ada satu anggota dari Divisi ke-4 Artileri yang menarik perhatian gw sejak pertama datang ke Ether. Yaitu satu-satunya pengguna Force di bawah komando Royal Oritzi, si perempuan berambut pink kuncir dua, Meinhalom. Dia aneh. Bukan dalam artian mencurigakan atau gimana sih, mungkin lebih ke unik. Ga tau kenapa, dia sering banget berada di balik punggung Oritzi.
Ga tau apakah dia pemalu tingkat dewa, atau ga punya kepercayaan diri sama sekali buat tampil di depan orang banyak. Yang jelas, ini anak sering kedapetan memerhatikan gw dari balik tembok. Bukannya gede rasa lho ya, tapi emang kenyataan. Tau sendiri kan, feeling gw rada tajam kalo masalah ginian. Nah, di beberapa kesempatan, gw memergoki dia yang lagi memerhatikan dari sudut Wharf. Begitu dia sadar kalo gw menatap balik, biasanya dia langsung panik-panik gitu dan berusaha berpaling.
Penasaran, kadang gw coba dekati. Eeeh… pas didekati, dia malah kabur. Kalo ga sembunyi lagi di balik tembok, paling cari Oritzi terus berlindung di belakangnya macam anak kecil yang takut diperkosa om-om pedopil. Padahal belum juga bilang apa-apa. Muka gw seram kali ya? Ah kaga! Perasaan tampan gini dah.
Akhirnya, merasa buntu buat dekati perempuan itu, gw putuskan buat buka sesi wawancara bareng Ulkatoruk. Siapa tau dia kenal. Secara, sesama Spiritualist.
“Meinhalom? Ya, kenal kok,” jawab Ulkatoruk sambil membersihkan tongkat kesayangannya, “kenapa emang?”
“Merasa ga sih, kalo gelagatnya aneh? Dia suka perhatikan gw gitu dari pojokan. Kalo gw liat balik, dia buang muka. Apa lagi kalo gw hampiri, kabur pasti.”
“Suka kali sama lu.” Balasnya enteng.
“Ya kali. Banyak amat yang suka ama gw.”
“Abis lu ganteng sih. Kalo gw jadi perempuan, mungkin gw bakal suka juga.”
We-weew. Dafaak ni anak! Dengar kata-katanya gitu, gw menatap Ulkatoruk dengan tatapan ngeri. Senang sih dibilang ganteng, tapi kalo yang bilang laki… Rasanya merinding disko cok. Pelan-pelan gw berjingkat mundur.
Begitu sadar gw makin menjauh ketakutan, dia berkata, “Woiii! Bercanda, woi! Gw masih doyan perempuan, kali!”
“Ma-makanya jangan ngomong yang aneh-aneh kenapa.” Ucap gw. Sedikit kepanikan masih tersisa.
“Hmm, Meinhalom. Dari dulu di Spiritualist Akademi, dia emang gitu orangnya.” Kenang Ulkatoruk datar. “Penyendiri. Padahal bukannya para Kadet ga pernah coba buat berteman. Tiap mau diajak ngobrol, dia kaya orang gelisah gitu. Ga tenang, panik. Terus, tau-tau beranjak pergi entah kemana.”
“Ooh,” ternyata udah dari pabrikannya toh. Sepertinya Royal Oritzi punya suatu hubungan istimewa dengannya, abis cuma ama orang itu, Si Wizard perempuan tersebut ga takut, “keliatannya tipe perempuan lembut super pemalu yang canggung dalam bersosialisasi.”
“Hahaha. Jangan tertipu dengan tampilan luarnya, bro.” Ujar Ulkatoruk, masih asik elus-elus tongkatnya. “Gitu-gitu, dia Spiritualist terkuat kedua se-akademi.”
“Se-serius?! Perempuan kaya dia?!” Ulkatoruk cuma senyum, lalu mengangguk, “Tu-tunggu. Jangan bilang kalo Spiritualist terkuat…”
“Ya yang pernah lu lawan dulu, Rokai.”
Astaga, ga menyangka level kekuatan Meinhalom cuma berada satu tingkat di bawah Rokai. Gw pikir dia sama modelnya kayak mendiang Namaste, yang lemah-lemah gitu. Emang sih, kalo diingat lagi, mantra Fireflies yang dipake kemarin cukup mengerikan sebenarnya. Kalo dia lemah, ga bakal jadi Wizard lah!
“Di Spiritualist Akademi, ada tradisi kasih nama panggilan buat para Kadet Spiritualist dengan kemampuan unik.” Ulkatoruk meneruskan, ganggu pemikiran gw. “Contohnya, Rokai. Dia punya banyak nama. Gudang Mantra, Penyihir Agung, Monster Elemental, dan lain-lain gara-gara sanggup menguasai hampir semua mantra dari ke-4 force yang ada.” Woaah… gilee juga tu orang! Gw terperangah dengerin penjelasan Ulkatoruk.
“Berlawanan 180° dari Meinhalom.”
“Maksud lu?” Tanya gw masih bingung.
“Dia dijuluki Meinhalom ‘Mempelai Wanita Sang Lidah Api’ di Akademi.” Jawab Ulkatoruk, “Umumnya, kami para Kadet diwajibkan buat menguasai minimal dua Force. Kaya gw, Udara dan Air.” Usai lap tongkatnya, Ulkatoruk memeragakan mantra sederhana manipulasi Udara. “Tapi, federasi memberi pengecualian buat Meinhalom. Dia satu-satunya Spiritualist yang cuma bisa pake satu Force saja… Api.”
Gw manggut-manggut dengarkan penjelasannya, seraya mencoba buat mencerna lebih lanjut. “Jadi, kalian udah kenal? Kenapa pas pertama ketemu di sini, ga saling sapa?”
“Namaste ga suka pada Meinhalom.” Jawabnya kembali datar. Raut sedih muncul akibat teringat akan kawannya yang telah tiada. Gw terdiam, sedikit terperanjat.
“Hati-hati, Lake. Mungkin diliat sepintas, dia rada canggung dan rapuh. Tapi beda banget kalo dia udah di lapangan.” Nada serius keluar dari mulutnya. Ulkatoruk menarik kerah tinggi ciri khas Armor Spiritualist yang dipake, menunjukkan bekas luka bakar cukup serius dari leher sampe ke dada. “Gw rasa kepribadiannya rada cengkok. Ini yang gw dapat waktu dulu sparing lawan dia.”
Gw kaget banget pas liat lukanya. Gilaaa gedee banget. Beneran tuh gara-gara Meinhalom?!
“Anjrit! Ngilu liatnya!” Kata gw sambil bergidik.
“Hahaha. Ini belum seberapa. Lu harus liat gimana badan gw sebelum dirawat Namaste.” Senyum kecut tersimpul dari bibir Ulkatoruk, lagi-lagi karena bawa-bawa Namaste. “Dia rela ga tidur 4 hari 4 malam cuma buat merawat luka ini.”
“Terus, terus… lu sendiri julukannya apa?” Tanya gw berusaha mengalihkan topik pembicaraan biar ini anak ga murung. “Tukang pecahkan es batu, ya?” Tebak gw asal.
“Hahaha, ga ada kok. Itu cuma buat yang ‘menonjol’ aja di akademi. Sedangkan gw, ga suka jadi pusat perhatian kaya gitu. Sebisa mungkin pengen jadi kadet yang biasa-biasa aja. Jago enggak, cupu enggak.”
“Lu berdua lagi bicara tentang apa? Seru banget kayanya.” Tetiba sosok pria berambut kuning acak-acakan nongol dari belakang kami, bikin gw sport jantung.
“Asem! Bikin kaget aja lu, cuk!” Bentak gw pada Ish’Kandel.
“Haha maaf, maaf.”
“Si Lake punya fans baru lagi tuh.” Waaat!? Sembarangan aja bocah Holy Chandra! Cengar-cengir pula!
“Gilee… jadi, skuad leader kita belum cukup buat lu?!” Seru Ish’Kandel sambil mengapit kepala gw di bawah ketiak, terus dipoles-poles. “Bagi-bagi kenapa ama teman! Perempuan disikat semua dia mah. Siapa yang jadi korban si ‘bengal’ kali ini?” Kampreet! Kulit kepala gw jadi panas, woi!
“Aaa- woiii! Apaan dah! Sakit, bangke!” Gw berontak, berusaha melepaskan diri dari tangan betonnya, “lu juga, Ulkatoruk! Sekata-kata! Belum tentu Meinhalom-“
Kata-kata gw langsung dipotong Shield Miller sebaya gw ini, “Waaa! Jadi Meinhalom?! Dari wanita tomboy, lu beralih ke gadis pemalu-pemalu gitu nih?” Asli ini anak mulutnya sowek amat. Gw cuma bisa memutar bola mata, malas menanggapi.
Ulkatoruk cengengesan aja liat gelagat gw. Ahh… biarpun kesal, tapi suasana kondusip ini benar-benar bikin hati adem. Di tengah ketegangan misi yang lagi kita emban, obrolan-obrolan random santai begini bisa mengurangi kengerian di dalam diri.
Kita ga lupa, tentang apa yang terjadi kemarin. Kita ga lupa, kawan-kawan kita yang gugur. Semua itu tetap ada di memori kita. Tapi, hari terus berganti. Waktu ga menunggu pribadi yang terus-terusan bermuram durja. Hari baru, perjuangan baru.
“Heyy, heyy.” Terdengar suara khas wanita Bellato yang jelas kami kenal mendekat. “Kondisi optimal nih kayanya.” Sirvat tersenyum tipis ke kami bertiga. Armor Berserker mempertegas postur tubuhnya. “Gimana luka bahumu, Lake?” Ia bertanya.
“Jauh lebih baik. Berkat Ulkatoruk, pulihnya jadi lebih cepat!” Jawab gw semangat.
“Hahaha. Itulah kerjaan gw.”
“Dan lu, yakin masih bisa tempur?” Kali ini, Berserker berambut hijau bertanya pada Si Holy Chandra.
“Gw udah mengembalikan sebagian besar Force yang hilang. Belum sepenuhnya sih, tapi udah lebih dari cukup dan siap berangkat, Caters.” Kalimat Ulkatoruk tanpa keraguan sedikitpun.
Usai jawaban Ulkatoruk, Sirvat melirik ke arah Ish’Kandel. Shield Miller itupun merespon, seolah udah tau maksud lirikan Sirvat. “Ga ada yang bisa bikin gw ragu lagi, Sirvat.”
“Ngomong-ngomong, Jizzkar kemana ya? Udah waktunya nih.” Tanya Sirvat pada siapapun diantara kami bertiga.
“Lagi ‘panggilan alam’ kali. Tadi kan ga tuntas.” Gurauan Ulkatoruk bikin gw ikut cengengesan juga, tanpa sadar… lagi-lagi dari belakang, kepala kita digetok keras banget!
“Aiiishh!” Kami memekik tahan pedih.
“Belum pernah tersedak perisai ya? HAH?!” Kalimat bernada kesal keluar dari Shield Miller yang lebih senior dari kami, kayaknya masih belum bisa melupakan perbuatan kami.
“Udah, udah. Haha.” Royal Oritzi tertawa liat kejadian itu. “Gimana, Sirvat? Skuad lu siap kan?”
“Siaplah! Mereka mah urat baja semua.”
“Oke, perjalanan kali ini, anggota Artileri akan ikut kalian. Mengingat, kalian kehilangan 3 anggota.” Ujar pria berambut burgundy belah pinggir itu. “Darr dan Gaizka.” Dengan isyarat dari Oritzi, Infiltrator Caters Darr dan Shield Miller Captain Gaizka pun bergabung bersama kami.
“Lalu untuk Armor Rider, yaitu saya, Inaki, dan Chubasca akan berangkat belakangan. Biar ga terlalu menarik perhatian musuh. Oh ya, Meinhalom juga ikut nantinya.” Tuh kan, Anak itu menempel terus pada Oritzi. Jangan-jangan pacarnya ya? Ah, tapi mereka ga keliatan kaya sepasang kekasih.
“Itu aja dari saya, selanjutnya saya kembalikan ke Sirvat.”
“Mohon kerjasamanya, Darr, Gaizka.” Ucap Sirvat pada kedua prajurit pinjaman itu.
“Iya, mohon bantuannya.” Balas Darr merendah. Wah, sopan betul. Padahal, dia dan Sirvat pangkatnya sama.
.
.
…Near White Hole, Ether…
“Kamu ga apa-apa?” Tanya Darr seraya tengok belakang, ke arah gw.
“Si-siap! Saya baik-baik aja, Caters!” Jawab gw semangat. “Ini sih belum apa-apa. Hehehe.” Pembohong! Padahal napas gw makin cepet selagi mengikuti dia.
Seperti sebelumnya, sebagai Ranger yang punya kecepatan, ketangkasan, dan stamina lebih dari prajurit lain, gw dan Darr ditugaskan buat pantau area terlebih dulu. Masalahnya, gw yang masih minim pengalaman, agak kesulitan buat mengimbangi pergerakan Darr yang kelewat cekatan. Medan Ether masih terasa asing bagi gw. Di lain pihak, segini sih cuma jadi tempat main doang buat Si Infiltrator senior itu.
Alhasil, gw jadi sering tertinggal. Tapi dia baik sih. Pas sadar gw ketinggalan terlalu jauh, dengan tenang dia menunggu gw sambil mengamati area sekelilingnya. Baru kemudian kalo gw udah menyusul, lanjut lagi. Tipe orang yang jarang ngomel juga kayanya. Mungkin dia maklum kali ya, partnernya masih hijau. Ga ada keluhan, atau racau kesal keluar dari mulutnya.
“Tunggu di sini. Jangan beranjak ke mana-mana,” bisiknya pelan lalu hilang dari pandangan gw. Langkah kakinya terdengar jelas di telinga, dia mengendap-endap menuju arah jam 11 dari tempat gw berdiri. Udah beberapa kali dia melakukan itu sejak dari awal kita diinstruksikan untuk jalan duluan.
Bilangnya sih, ada saat di mana dia bisa merasakan bahaya. Dan dia lebih suka memastikan benar atau enggaknya sendirian, tanpa melibatkan orang lain. Apa lagi kalo orang lain itu masih junior kaya gw. Ya udah, gw disuruh menunggu aja kaya gini. Keadaan di daerah ini berkabut, biarpun ga setebal kemarin. Gw ga merasakan ada musuh yang mengintai atau apa. Hmm, lebih tepatnya… belum.
Kita berdua terpisah cukup jauh dari anggota lainnya. Sirvat dan kawan-kawan belum terlihat. Ada baiknya, gw laporkan situasi dulu. “Sirvat, masuk Sirvat.”
“Sirvat di sini. Laporkan status, Lake.” Suara Sirvat terdengar jelas dari komunikator di telinga gw.
“Keadaan aman. Belum ada tanda-tanda Cora atau Accretia. Cuma ada beberapa Hobo, tapi harusnya ga jadi masalah.”
“Bagus. Kami akan segera sampe ke tempatmu. Lanjutkan ya.”
“Dimengerti, Caters.”
Wooott! Usai kontak dengan Sirvat terputus, Caters Darr udah berdiri di depan tanpa gw sadari. Bikin kaget aja! Gw kira siapa!
“Kenapa kaget?”
“Ah- ahaha. Tadi saya lagi pikirkan sesuatu sampe ga fokus, Caters.”
“Oh,” cuma satu kata singkat keluar dari mulutnya. Kami saling diam beberapa menit. Gw kembali liat sekeliling, tunggu perintah selanjutnya dari senior ini. Caters Darr keliatan sibuk menyiapkan sesuatu.
Gw agak malas tanya-tanya apa yang lagi dia siapkan. Jadi, biar aja si Infiltrator ini sibuk sendiri. Dari kejauhan, mulai terlihat Sirvat dan sisa tim mendekat. Raut lega di wajah gw liat mereka baik-baik aja, berubah karena ketegangan menghias muka-muka mereka.
“Ada yang aneh.” Ucap Sirvat pas gw dan Darr kembali ke dalam tim. “Liat nih.” Dia tunjukkan Radar di tangannya, ada titik hijau dan merah. Titik hijau ini jelas kami, dan merah mengindikasikan musuh dari bangsa lain. Titik-titik merah muncul dari Barat dan Timur.
Tunggu, tunggu, tunggu! Jadi kita punya radar?! Kenapa ga ada yang bilang ke gw? Ngapain susah-susah pantau area kalo perempuan ini pegang radar!?
“Mereka jelas punya tujuan yang sama dengan kita.” Celetuk Jizzkar, setelah liat pergerakan titik merah makin lama makin makin mengarah ke satu titik. “Baiknya kita bergegas, Kamerad. Kali ini kayanya Accretia juga mulai bergerak.”
“Saya udah set banyak trap di beberapa titik. Jaga-jaga semisal kita harus berhadapan dengan mereka.” Ohhh, ternyata tadi Darr menghilang sekalian pasang trap.
“Tugas kita adalah ambil Etheron, jangan lupa! Tabrak kalo perlu aja.” Sirvat menegaskan. Kami mengangguk paham. Gw juga ogah kalo harus bertarung lagi. Capek!
Baru aja pikiran itu lewat, eh tebing es di samping kami meledak akibat kekuatan besar! WAT DA FAK!? Seketika runtuh tanpa sisa. Tentu kami terkejut bukan main. Ketegangan makin mendera dalam tim pas di balik kepulan asap dari es yang menguap, muncul seonggok besi besar bawa-bawa launcher. Accretia!
Kelas Striker, eh? Launcher yang dibawanya terlihat cukup mengerikan. Dari moncongnya menyala oranye bukti abis dipake menembak tadi. Di belakang Striker tersebut muncul beberapa Accretia lainnya. 2 Mercenary, 2 Punisher, Dementer dan satu Striker lagi.
Ini… pertama kalinya gw liat Accretia dalam keadaan aktif. Sebelumnya, gw cuma pernah liat mereka dalam keadaan udah ga aktif lagi alias goler waktu ambil kelas bengkel di Ranger Corps. Hasilnya? Pfft. Gagal! Mesin ga pernah bersahabat dengan gw.
“Shite! Kayanya emang harus bertarung ya, kalo di sini.” Ujar Sirvat sambil mengeluarkan kapak andalannya.
“Lu ga bakal di sini kalo mencari kedamaian, Sirvat.” Balas Ulkatoruk. Yang lain pun mulai pasang kuda-kuda, ga terkecuali gw. Siaga akan bahaya yang mengancam di depan.
“Ulkatoruk, Lake,” Panggil Sirvat, “kita akan tahan mereka. Kalian berdua terobos ke tengah, ke tempat Calliana bersemayam. Ambil Etheron!” Perintahnya dengan tegas.
He? Ke tempat Calliana, dia bilang? Suku asli Ether yang bentuknya kayak wanita salju pake sayap di kepala dan pinggang itu? Gak … ga salah?
“Buruan! Ga pake lama!”
“Siap!” Jawab gw dan Ulkatoruk kompak. Lalu beranjak lari diliputi keraguan.
“Gimana nih?” Tanya gw pada Ulkatoruk, “lu pernah menghadapi Calliana sebelumnya?”
“Gak tau dah. Ya udah sih, jalani dulu aja.” Jah… ketauan sama-sama ga punya pengalaman nih kita.
Degg! Degg! Degg!
Saat di tengah pelarian kita, rasa was-was mengusik dada gw. Tulang punggung gw merasakan sensasi tegang menjalar. Detak jantung meningkat tiba-tiba, merasa ada sesuatu membelah angin dingin yang setia meraba kulit, meluncur cepat dari depan. Yakin, sesuatu itu menargetkan kita berdua.
Dengan sigap, gw tarik kerah tinggi Ulkatoruk yang lari di depan gw sampe bikin dia tercekik dan berhenti, “HUUEEEK!”
Terdengar suara panah menembus tepat di tanah tempat kaki Ulkatoruk berpijak selanjutnya, kalo aja gw ga hentikan langkahnya. Tapi pas diliat, ga ada apa-apa.
“Corite,” Desis gw pelaaan banget.
Mereka masih pake trik yang sama. Yaitu membuat panah tembus pandang yang membuat Samus koma. Percuma! Gw ga akan terjebak! Makasih, instingku. Muahaha.
“Eeey! Lu mau bikin gw mati, ya!?” Omel si Holy Chandra ini, ga sadar kalo gw baru aja menolong dia. Pasalnya, dia ga bisa liat anak panah transparan itu. Hadeuuh. Gw julekin aja kepalanya ke arah panah transparan yang kini perlahan mulai tampak wujudnya, “euw- wew,” dia merasa bersalah karena ga tau apa-apa, dan mukanya keliatan bego, “e-ehehe. Makasih ya.” Untung lu punya teman kaya gw.
“Hello, Grey Hair. So we meet again.” Si-sialan! Suara ini … dari balik kabut tipis muncul sesosok Corite berarmor lengkap dengan sebilah pedang dan perisai sebagai senjata. Black Knight maniak!
“Aww, he’s with that Cold Guy again. I Wonder if they’re a couple?” Perlahan-lahan, Adventurer wanita berjalan ke sisinya. Sepertinya, dia yang menembak panah transparan itu. “Do you want to fight him again, dear?” Sisa timnya pun mulai berdatangan.
Dan si gadis Corite berambut ungu yang muncul di mimpi, yang kemarin hampir tewas di tangan gw pun ga ketinggalan. Dia… menatap gw? Mata kuning itu ga lepas dari mata ungu, kasih pandangan penuh rasa bimbang, ga yakin.
“Want?” gw telan ludah begitu liat si Black Knight menatap gw dengan tatapan mengerikan. Bagai predator yang siap menerkam herbivora. Di bibirnya tersungging senyum keganasan. Sumpah ini orang, psikopat abis, “i wish for it.”
“Lake, Assassin yang kemarin,” Ulkatoruk bertanya dengan berbisik. “kasih tau gw, di mana dia?” Ekspresi Si Holy Chandra penuh amarah. Aura dendam menyeruak dari tubuhnya. Gw khawatir dia bakal bertindak gegabah.
Jujur, gw ga tau dimana Assassin itu berada, sama sekali ga terasa hawa keberadaannya. Langkahnya pun belum bisa tertangkap telinga.
“Entah.” Jawab gw singkat.
“Hey! Ngapain lu berdua masih- oh shite!” Umpat Ish’Kandel begitu sadar apa yang lagi terjadi, “Corite!”
“Cih. Gw pikir keadaan ga bisa lebih buruk lagi.” Kata Sirvat.
Pelan tapi pasti, Ulkatoruk dan gw ambil langkah mundur. Selangkah demi selangkah. Salju Ether ga bakal cukup buat dinginkan panasnya atmosfer yang dirasakan ketiga bangsa. Ketiga fraksi masih belum bergerak, sambil saling beri komando dalam bahasa masing-masing, dan pikirkan langkah apa yang harus dilakukan. Belum ada satupun yang berani bergerak buat buka pertempuran.
Pertempuran 3 arah begini nih yang merepotkan. Ga cuma harus menghadapi banyaknya tukang santet, tapi juga harus waspada kaleng rombeng. Gw cuma bisa menerka apa yang akan mereka lakukan. Setetes keringat keluar dari dahi gw. Segini tegangnya kah gw?
“Jangan lupa rencana awal.” Kata Ulkatoruk. Yaaa… gw sih ga lupa. Tadinya gw pikir rencana itu paling rasional, tapi sekarang ada satu masalah.
“Black Knight itu … mengincar gw.” Ucap gw tanpa ragu tapi pucat. “Dan kayanya, dia ga bakal melepas gw begitu aja kali ini.” Aduh, dosa apa yak, sampe diincar maniak gini.
Black Knight itu ambil ancang-ancang. Alamak, tuhkan benar! Baru juga dibilang, dia udah menerjang gw tanpa basa-basi! Terpaksa pasang kuda-kuda, bersiap untuk ronde kedua.
Pas perhatian gw tertuju ke si Black Knight, salah satu Striker Accretia menembakkan launchernya dari samping.
“Demmit! HEAAAH!” Ulkatoruk langsung banting tongkat ke tanah, buat dinding es keluar dari balik lapisan salju, melindungi kita. Dinding es Ulkatoruk hancur seketika dihantam peluru launcher. “Astaga … kuat amat itu.”
“UGHH!” Mata pedang gw dan si Black Knight beradu tajam, pertanda pertarungan kami pun dimulai.
“Hahaha! I’ll kill you for sure this time, Grey Hair.” Katanya di tengah peraduan kekuatan. Yaelah, percuma cuk. Gw ga mengerti bahasa lu!
“Gw akan bantu mereka lawan Cora! Ish’Kandel, Jizzkar, Darr, dan Gaizka, tolong daur ulang para kaleng ya!” Perintah Sirvat dengan tegas.
“Siap!”
Satu-dua sabetannya bisa gw baca dengan baik. Agaknya, gw udah tau pola serangannya berkat pertarungan pertama kami. Biarpun dari segi tenaga, gw masih kalah jauh dari dia.
Gw menunduk untuk hindari sapuan pedangnya ke arah kepala, lalu balik layangkan satu pedang gw ke arah kakinya. Sadar akan serangan balik, dia angkat kaki kirinya yang berada satu langkah di depan kaki kanan, lalu menginjak pedang yang gw ayunkan.
“FAAK!” Injakkannya kuat amat, ga bisa menarik kembali pedang gw! Dia tersenyum meledek. Lalu dengan gerakan menusuk, incar bahu gw yang cedera.
Tubuhnya agak membungkuk buat menjangkau gw dibawah. Kesempatan! Gw lepaskan tangan kanan dari pedang yang diinjaknya, terus pegang bagian bawah lengannya yang lagi meluncur cepat ke bahu gw, biar tusukannya ga tepat sasaran.
Dari posisi jongkok, sekuat tenaga gw kontraksikan otot paha dan betis kaki kiri. Lengan yang gw pegangi, gw tarik, biar kepalanya makin nyusruk lagi. Begitu masuk jangkauan tendangan … satu tendangan over-head mendarat di telinga kanannya! Sontak, si Black Knight terhuyung-huyung dan mengangkat kakinya dari pedang gw. Buru-buru aja gw ambil lagi.
“CHANGE OF THE-” Ulkatoruk berniat merapal mantra ombak besar lagi buat melumpuhkan Si Black Knight. Emang cuma Si Black Knight deh yang paling susah dimatikan kayanya. Namun, belum kelar kalimat Ulkatoruk, dan lagi asik memutar air, tau-tau, telapak tangannya bolong. “WAAAAAGH!” Bentuk bolongannya bulat kecil, dan gw bisa liat melalui bolongan itu, sebelum sebuah anak panah muncul mengisi kekosongan. “ANJREET!”
“Hoho, dont think same spell is gonna work on us twice, Cold guy.” Ucap Adventurer yang pernah dibekukan Ulkatoruk. “Let them fight on their own, will ya?”
“Kupret lu! Mentang-mentang cakep, lu pikir bisa seenaknya jepret tangan mungil gw, hah!?” Dengan kesal Ulkatoruk mencabut panah yang menembus telapak tangan kanan. Jepret? Lo pikir dia bawa ketapel? “Oke, kalo lu minta dibekukan lagi… harusnya bilang dari awal!” Si Holy Chandra mematahkan panah itu jadi dua pake paha.
Ulkatoruk sibuk meladeni Si Adventurer. Tapi sesekali, perhatiannya masih teralih ke pertarungan gw. Biar gimanapun, sebagai Holy Chandra, perannya ya emang jadi penyokong.
“Hahaha!” Si Black Knight yang masih berdiri, walau tadi udah goyah, tertawa. “More… show me more… what you’re capable of.”
Ke-kenapa lu tertawa? Ada yang lucu? Bedebah! Lawan yang kaya begini sih ga boleh setengah-setengah! Wajib gas pol dari awal. Gw harus bisa bereskan dia secepat mungkin. Diliat dari gelagat kawan-kawannya yang menahan diri buat bantu Black Knight ini, sepertinya dia pengen menghadapi gw satu lawan satu.
“Accel walk!” Kalo gitu, gw harus bikin dia tumbang di tangan gw sendiri, gimana pun caranya. “Uuukh!”
Gw berlari semaksimal mungkin ke arahnya. Black Knight itu tersentak liat perubahan signifikan dari kecepatan gerak lawannya. Sistem pernapasan gw di saat yang sama, bekerja ekstra keras.
Liat gw mendekat dengan kecepatan di atas rata-rata, dia perkuat kuda-kuda sambil mantapkan perisai di depannya buat antisipasi. Ha! Siapa bilang gw mau menyerang dari depan!?
Sebelum dia sadar apa yang terjadi, gw udah ada di belakangnya kurang dari sepersekian detik.
“MAKAN NIH!” Gw sedikit lompat, membuat kaki mengambang beberapa senti di udara untuk sesaat. Kedua bilah pedang kembar tak serupa di tangan, terayun penuh napsu seraya putaran 360° gw lancarkan selihai-lihainya. Seolah ga sabar ingin mencicip darah Corite.
Tapi… keadaan ga pernah semulus rencana awal.
Dia menghentak tubuh ke belakang dengan posisi rebah, bak atlit lompat galah yang melompat tanpa galah. Sekarang, Black Knight maniak ada tepat di atas gw, selisih beberapa inci aja. Woot!?Apa mungkin itu bisa dilakukan selagi semua persenjataan berat itu melekat di tubuhnya?!
Lagi-lagi, gw dikejutkan oleh gerakannya yang ga masuk akal. Di udara, dia sanggup memutar badannya dan mendaratkan sikutan maut tepat di pelipis gw! “UUGHH!” dan belum selesai… masih di udara, dia menghantam punggung gw pake perisai yang jelas-jelas ga tau diri ukurannya kalo dibandingkan badan gw.
Faaak! Gw langsung mencium salju ditiban begitu. Tau sendiri kan… kalo Accel Walk aktif, tingkat kepekaan ke-5 indra jadi berkali lipat. Serangan yang gw terima, jadi luar biasa juga biarpun barang secuil. Tulang punggung gw terasa rontok di tempat.
“Looks like i expect too much from you, huh?” Sial… dia memandang rendah sambil masih menekan perisai, dan memusatkan berat badannya biar gw ga bisa gerak. “Oh well, you’ll die anyway.” Mata pedang di tangannya diarahkan ke tengkuk guna mengakhiri pertarungan singkat ini.
Shite! Shite! Ga bagus, ga bagus! Gw berontak sekuat tenaga buat lolos dari tindihannya. “MINGGIR DARI BADAN GW, BANGSAT!”
Entah gimana caranya, tapi Black Knight itu agak lengah sehingga pemberontakan gw ga percuma. Dengan sigap, gw berdiri dan secepatnya ambil jarak, “Njir… nyaris.”
Corite yang satu ini ga bisa diremehkan ternyata. Dia bisa sempurna prediksi gerakan saat menggunakan Accel Walk tanpa skill apapun! Dasar monster psikopat! Pelipis gw sobek cuma dengan sekali sikut. Cairan merah mulai mengalir keluar. Adududuhhhh… punggung gw.
Jarak antara kita berdua kira-kira 5 langkah. Gw perhatikan, tubuhnya masih tegap berdiri. Padahal, tadi yakin banget kalo ini Corite udah sempoyongan akibat menerima tendangan gw.
Sekali lagi, gw mendorong tubuh ke arahnya dengan cepat. Kedua pedang biru dan merah terhunus ke depan, menuju Black Knight yang tersenyum sinis.
Kenapa? Kenapa lu tersenyum!? Apa usaha gw sesuatu yang lucu?
Oke, gw tau ini bodoh. Coba menabrak perisai Black Knight dari depan. Aki-aki mabok genjer juga tau kalo ini sia-sia. Tapi ada kekesalan yang entah dari mana sumbernya, siap meledak liat kelakuan Si Black Knight.
Selagi saling dorong, mata gw bertemu dengan matanya di satu titik. Pandangannya tetap sama kaya tadi, tatapan tajam predator yang siap menerkam herbivora. Namun, anehnya kali ini ga ada lagi rasa takut, atau gugup, atau gelisah dalam diri gw. Melainkan berganti rasa marah dan kesal karena merasa dipermainkan.
“Kenapa… lu tersenyum? Lu pikir ini semua lucu, HAH?!” Gw sembur mukanya dengan omelan sepenuh jiwa. “Gw bakal tunjukkan betapa tipis garis antara hidup mati, dan kita liat apa lu masih bisa senyum, Corite ampas!”
Ya, gw marah karena dipermainkan. Ya, marah karena dia memandang rendah. Tapi, yang paling bikin gw marah… dia menertawakan nyawa yang sedang bertaruh di atas medan perang seolah itu semua cuma rutinitas membosankan lainnya dari kehidupan.
Kami kehilangan beberapa kamerad. Meski cuma beberapa, tapi biasanya mereka yang meninggalkan kita adalah kerabat dekat. Sahabat, bahkan saudara. Pribadi yang meninggalkan kenangan mendalam. Membayangkan gimana ekspresi Ulkatoruk saat kehilangan Namaste, senyum penghinaan Assassin yang udah bunuh dia, ditambah lagi… tawa Corite di depan gw. Ga bisa dimaapkan!
Adrenalin gw masih meletup ga tertahan. Gw menghilang dari hadapannya, berusaha cari celah buat menyerang. Akhirnya, gw lompat setinggi mungkin, coba serangan dari atas.
Dia membujurkan pedang buat menangkis. Secepat kilat gw pindah lagi, kali ini dari depan. Kembali pedang gw ketemu perisainya.
Jangan pikir gw selesai! Sebelum benturan terjadi, gw menyelinap ke belakangnya, melebihi kecepatan makhluk hidup normal.
Bahkan gw ga kasih dia waktu untuk kaget. Tangannya yang pegang pedang masih membujur ke atas, dan tangan satunya yang pegang perisai masih ada di depan. Kali ini, ga mungkin dia punya waktu buat bereaksi kalo diserang dari belakang!
Gw ga akan melakukan kesalahan kaya di pertarungan pertama. Salto vertikal, 3 kali tebasan cepat semuanya mendarat sempurna di punggung si Black Knight. Pedang gw ga mengalami kesulitan buat menembus plat Armor yang melindungi punggungnya, dan menembus kulit kasar Corite tersebut.
Beberapa tetes darahnya menyiprat sampe muka gw, tinggalkan punggung Si Black Knight dalam keadaan tergores panjang.
Satu-satunya alasan kenapa dia ga bisa berbuat apapun karena semua terjadi teramat cepat. Satu setengah detik… enggak. Segitu pun udah kelamaan, mungkin. Gw memaksa tubuh kecil ini melampaui batas. Lebih dari ketika lawan Rokai dulu. Bodo amat! Urusan gw belum kelar dengan si kampret ini!
Kali ini, gw sikat dia dari samping. Begitu perisainya bergerak halangi serangan dari kiri, gw berpindah ke sisi satunya. Pas di sisi kanan diblok oleh pedang, gw langsung pindah lagi, menyerang dari celah terbuka! Depan!
Dalam gerak lambat, keliatan kalo Si Black Knight sadar akan niat gw. Dengan segera, kedua tangannya berusaha melindungi tubuh bagian depan. Siaaal! Sempat ga, ya? Sempat ga, ya? Celah itu makin kecil sementara jangkauan pedang gw belum sampe.
Ayunan pedang berwarna biru di tangan kanan gw sempat menggores bagian perutnya sebelum celah itu benar-benar tertutup, walau hasilnya ga terlalu dalam. Membuat Corite itu sedikit bungkuk tahan sakitnya. Ohoho, gw ga akan biarkan lu istirahat, Bung.
NYUT! NYUT! NYUT! NYUT!
“Arrrgh!” Erang gw dalam hati. Gila! Pembuluh darah serasa mau pecah. Otot-otot gw berdenyut di seluruh bagian. Kepulan asap putih keluar masuk dari hidung dan mulut, seiring napas yang makin memburu, berusaha hirup udara sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat. Bodo amaat! Urusan gw belum selesai!
Sayatan mematikan gw berlanjut, dengan bergerak cepat ke sisi kanannya dan membelah angin dari bawah ke atas pake pedang merah di tangan kiri. Langkah gw ringan. Seringan bulu ketiak terombang-ambing angin sepi.
Satu lagi luka berhasil terukir panjang di sisi tubuh Si Black Knight. Selesai? Belum!
Kali ini, gw langsung ambil jarak beberapa meter di sisi kirinya. Setelah itu, ancang-ancang sprint mendekat. Dengan sekali hentak, gw lompat. Dan lagi, fokuskan seluruh tenaga ke kaki kanan guna mendaratkan tendangan bertenaga di telinga kirinya!
Dan itulah! Serta-merta Si Black Knight sempoyongan lagi, tapi tetap berdiri di atas kedua kakinya. Yah, biarpun susah payah. Shite! Apa ini orang ga bisa tumbang?
Setelah gw perhatikan lebih teliti, ternyata kedua telinganya yang kena tendang mengeluarkan darah. Gw harap gendang telinganya pecah sekalian!
Dia menggeleng keras. Berusaha mengusir pusing di kepala kali ya, gw tendang melulu. Ga ada lagi senyum terpapar di mukanya. Yeah! Makan tuh!
Tapi mata itu… tetap ga berubah. Tetap tajam, setajam pisau dapur.
Keringat keluar banyak banget dari lubang pori-pori. Ether ga bisa mencegah metabolisme aneh di tubuh gw ini. Pertarungan satu lawan satu bikin White Hole serasa milik kita berdua. Oke … bukan itu sih maksud pemikiran gw.
Intinya, kami benar-benar ga peduli kekacauan apa yang udah terjadi di White Hole. Gimana keadaan skuad gw? Apa mereka baik-baik aja lawan para kaleng? Entahlah. Musuh gw saat ini cuma satu.
Bahkan udah ga tau gimana keadaan Ulkatoruk yang tadi bertarung di dekat gw. Yang ada di pikiran adalah seribu satu langkah buat bikin Corite badak itu tersungkur.
Gw berdiam diri beberapa saat, menanti apa lagi yang bakal terjadi. Sekalian istirahat. Menarik napas panjang buat turunkan aliran Adrenalin yang begitu tinggi. Detak jantung gw perlahan menurun. Tapi gw yakin pertarungan ini belum selesai.
Aura pembunuh Si Black Knight ga redup sama sekali. Biarpun gw udah ambil inisiatip penyerangan dari awal buat bikin mentalnya runtuh… tapi kayaknya percuma. Setidaknya tebasan-tebasan gw ga ada yang meleset tadi. Semua kena. Dan luka di tubuhnya ga bisa dibilang ringan.
Dengg dengg! Dia menatap geram ke gw. Giginya merapat, mata memicing tajam. Armornya sobek di bagian punggung dan perut. Darah menetes dari sana. Tubuh Corite itu perlahan mulai mengeluarkan… uap?
Ya, diapun berkeringat juga kayak gw. Bedanya, kulit tubuhnya yang tadi putih berubah jadi merah marun. Wew, macam bunglon aja bisa berubah warna gitu. Suhu tubuhnya juga naik. Karena itu uap panas keluar, menyelimuti seluruh badannya dari kepala sampe kaki akibat perbedaan drastis suhu badan dengan iklim Ether.
Jangan-jangan, itu… kemampuan Black Knight yang sering gw dengar? Katanya sih, Black Knight dari Cora punya kemampuan untuk meningkatkan pertahanan saat kritis. Semakin kritis, semakin keras. Namun, harga yang harus dibayar adalah kekuatan serang mereka. Bakal turun drastis. Begitulah yang gw pelajari.
Dia melangkahkan kaki, mendekat. Gw masih ga bergerak, cuma menatap datar. Sekali lagi, gw naikkan tempo detak jantung dengan manipulasi adrenalin, dan bertahan dalam keadaan Accel Walk buat jaga-jaga. Karena lawan gw belum menunjukkan tanda-tanda menyerah.
Si Black Knight berhenti tepat selangkah di depan gw, berdiri mantap. Mukanya menunduk, sedangkan gw dongak buat liat matanya. Perbedaan tinggi kami sangat mencolok. Sialan, para Cora makan apaan ya? Tinggi gw ga sampe seketiaknya coba!
“You truly are … worth to kill.” Katanya. Tanpa seringai, melainkan keseriusan.
“Gimana rasanya, pedang gw?” Tanya gw seraya senyum Meledek.
“I’ll offer your blood to DECEM.”
“Gw akan bikin lu lebih babak belur lagi.”
Lalu, kalimat selanjutnya kami ucapkan berbarengan sambil tukeran mimik muka. Kalo tadi dia serius gw menyeringai, sekarang kebalik.
“No matter how…”
“Gimanapun caranya…”
“I’LL BRING YOU DOWN!”
“GW BAKAL JATUHKAN LU!”
Seringai buas kembali menghias bibirnya, ini Cora mukanya jadi makin menyeramkan aja sejak berubah warna. Dan gw? Seumur hidup ga pernah merasa seserius ini!
Selepas berkata-kata, kami saling tusuk dengan gerakan yang sama, mengincar jantung masing-masing. Gw menusuknya ke atas, dia sedikit ke bawah. Serangan gw sukses menembus dadanya!
Pedang gw di tangan satunya sempat menepis mata pedangnya dari bawah, sehingga dia ga berhasil menusuk jantung gw.
“ARRRGHH! SIALAAAN!” tapi nyasar sedikit ke bahu kiri… lagi. Demmit! Sakit banget! Sumpah! Luka yang kemarin udah tertutup, jadi terbuka. Logam dingin membelah kulit dan serat daging tanpa ampun, langsung terasa basah oleh darah di bagian itu.
“Eh?!” Tu-tusukan gw … meleset!? Ga mungkin! Tadi gw liat dengan jelas! Dan terasa kok, kalo pedang gw menembus dadanya! Tapi, kenapa!? Ternyata serangan gw melenceng ke mana-mana!
Tanpa terduga, dia membenturkan kepalanya ke dahi gw! ANJIR! Kuda-kuda gw goyah, dan gantian sekarang gw yang sempoyongan. Kaget, tersentak, ga siap antisipasi. Headband di kepala langsung pecah berantakan. Ke-keras benar! Dahi ini terluka kena pecahan headband sendiri.
Lapisan ototnya makin keras. Uap panas dari tubuh Si Black Knight makin banyak. Matanya makin tajam memburu, bersamaan makin pekat Force yang menyeruak, bergesekan dengan Force dari tubuh gw.
Uugh… apa gw… berhalusinasi? Kok pandangan jadi berbayang begini, ya? Di mata gw, Si Black Knight jadi ada … tiga? Tangan gw genggam erat kedua pedang, dan mulai lancarkan serangan. Handalkan kecepatan, kombo lima tebasan sukses mencabik salah satu dari mereka.
Tapi, di saat perhatian gw teralih, dua yang lain menyerang bersamaan. Gw melakukan side-step buat hindari serangan pertama, namun langkah tadi terbaca, dan bayangan ketiga udah melayangkan pedang buat membelah punggung, tepat di titik gw berada selanjutnya.
Serta-merta gw berguling begitu merasakan tajam pedangnya berada di punggung gw, supaya luka jadi ga terlalu dalam.
“Hahh … hahh … hahh,” sialan! Pasti cuma ada satu diantara mereka yang asli! Dua lainnya pasti ilusi! Soalnya, yang tadi dibacok-bacok ga terluka sama sekali. Pantas! Tadi tusukan gw melenceng, padahal yakin banget udah menusuk jantungnya. Ternyata ini toh.
Kali ini, ketiga Black Knight itu maju menerjang. Kayaknya, udah cukup kasih gw ruang terus dari tadi. Dengan brutal, sekali ayun 3 pedang melayang.
Heh … lambat. Berkat Accel Walk, waktu masih berjalan lambat bagi gw. Mau 3 pedang, 30 pedang, pasti bisa gw hindari.
Sayangnya, gw terlalu congkak sampe ga sadar akan satu hal.
“GAAAAH!” Penggunaan Accel Walk yang terlampau lama, membuat tubuh hampir sampe batas maksimal. Udah ga dengarkan perintah, susah banget buat digerakkan. Untung aja serangannya ga kena bagian vital. Cuma mengiris paha, lengan, dan… nyaris memenggal leher gw.
Entah harus bersyukur atau mengutuk kemampuan gw ini yang kayak pedang bermata dua. Luar biasa, tapi merugikan juga kalo sampe penggunanya kena serang. Plus, sebenarnya ga bisa dipake lama-lama. Pokoknya, umur gw berasa makin pendek aja tiap pake Accel Walk. Haaah!
Tenang, Lake! Kalem … pikir langkah apa yang harus gw ambil selanjutnya?
Gw harus akhiri dengan satu serangan terakhir nih. Kalo gak, bahaya. Bisa blunder gara-gara skill sendiri.
“You’ve fought well, Grey hair. For that, i salute you.” Ujar Corite itu. “Now, just die! HAAA!” Dia meraung keras lalu melompat, mengangkat tinggi pedang dan perisai di kedua tangan, diikuti dua ilusi lainnya.
“Percaya aja dengan instingmu.”
“Ciptakan momentum.”
“Selama Force mengalir di tubuhmu, pedang itu ga akan bisa patah.”
“Ini yang harus diingat; kamu bukan saya. Ga perlu meniru teknik-teknik yang saya lakukan. Kuasai 8 gerakan dasar, lalu kembangkan sesuai gaya bertarungmu.”
Wejangan-wejangan pas dilatih Gatan terlintas di otak. Gw pertaruhkan sisa tenaga yang ada.
“HEAAAH!” Teriakan gw ga kalah keras dari raungannya. Force ungu gelap tipis di kedua tangan gw tetiba merembes keluar.
Ke-8 gerakan dasar yang diajarkan Gatan, gw lakukan bergantian dengan sangat cepat. Sangking cepatnya … hampir keliatan kalo gw melakukannya secara berbarengan. Pedang kembar mencabik tubuh Black Knight dari 8 penjuru sekaligus. Ga begitu paham gimana bisa, tapi pedang gw seolah menembus pedang dan perisai yang menghalangi tubuhnya.
Faak! Terdengar bunyi tulang retak di beberapa bagian tubuh gw. Engkel, pergelangan tangan, jemari, sendi bahu. Terutama pergelangan tangan kanan, beuuh. Terasa diplintir 180°! Membuat genggaman gw terlepas dari pedang, dan menjatuhkannya begitu aja.
Darah segar bercampur ludah menyembur dari mulut Si Black Knight. Matanya terpejam menerima serangan dahsyat. Ototnya yang mengeras seolah ga ada apa-apanya. Sama seperti gw, pedangnya pun lepas dari genggaman, sedangkan perisainya masih tetap terpatri di tangan kiri. Tapi, mengejutkan. Dia… masih berdiri!
Gila! Sumpah, gila! Monster macam apa dia?!
Telapak tangan kanan besarnya memegang erat kepala gw. Erat banget! Seolah tiap jemari Black Knight maniak, sanggup menembus batok kepala mungil lawannya. Sakit! Apa dia berniat remas kepala gw sampe pecah!? Gw mengerang kesakitan, “UAARGHH!”
Panas. Telapak tangannya terasa panas dan berat, serta begitu kokoh. Ga nyangka tenaganya tersisa sebesar ini! Matanya kini membuka. Gw syok! Amat syok karena tatapannya ga ada perubahan. Tetap ganas dan tajam. Ga kehilangan sorotnya meskipun udah melalui pertarungan keras.
Mental gw sempat down. Karena jujur, gw ciut liat determinasi Black Knight ini. Kalo dia masih melawan, udah ga tau deh mesti gimana lagi. Badan gw udah ga bisa diajak kompromi sama sekali. Yang tersisa tinggal naluri.
Tangan kanan gw reflek mengepal, dan meluncur mulus ke dagunya. Sebelum upper-cut mendarat, dia berkata lirih, “Those moves … Blood Raider … Gatan.”
“Hah? Gatan, dia bilang?”
Pas tangan gw menghantam dagunya, terasa keras betul kayak batu kali! Anjreet!
KRAAAK!
“HEGH! HAAAHH!”
Ga peduli dengan bunyi tulang retak, ga peduli nyeri yang makin parah terasa, gw terus dorong tangan hingga tubuh Si Black Knight yang dilengkapi persenjataan berat, yang seluruh badannya merah marun dan keras banget, melayang di udara.
Tau-tau benda putih menyembul keluar, merobek permukaan kulit siku… tulang siku gw… patah!? Seketika tangan kanan gw ngilu luar biasa, dan ga bisa digerakkan sama sekali. Lunglai, kehilangan segala daya seketika. Aah, sial. Armor gw sobek di sana-sini.
Tapi akhirnya, untuk pertama kali, gw liat Black Knight maniak tumbang.
“I honor your decision. Someday in the future, your lips will be mine completely.” – Sirvat
CHAPTER 14 END.
Next Chapter > Read Chapter 15:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-15/
Previous Chapter > Read Chapter 13:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-13/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list