LAKE CHAPTER 17 – LETS CUT THROUGH REALITY
Lake
Penulis: Mie Rebus
Ahh, dimana ini? Sekeliling gw gelap banget. Ga ada cahaya barang secuil. Suhu udara gw rasakan dingin menggelitik kulit. Ahh, gw kan jatuh ke jurang. Berarti, gw tewas dong? Terus kalo gitu, ini di dunia setelah kehidupan?
Aduh, jangan-jangan gw ga masuk sorga… gelap-gelapan gini. Belum sempat mengucap salam perpisahan pula ke Elka. Apa ga bakal ada yang tau kalo gw udah meninggal? Secara, matinya di dalam sarang Calliana. Mana ada yang bakal cari sampe ke sini?
Pikiran-pikiran aneh yang terus berputar di kepala gw, berhenti saat mendadak secercah cahaya berpendar dari depan sana. Gw coba bangkit berdiri.
“Adudududuh…” Badan gw sakit semua. Pinggang serasa encok. Ruas-ruas tulang punggung gw nyeri. Tapi biarpun sakit, kayanya ga ada yang patah. Eh… tunggu, “Kalo gw mati, kenapa masih kerasa sakit?” Pikir gw.
Berarti masih hidup, dong? Hmm… sebenarnya seberapa dalam sih jurang itu? Gw perhatikan keadaan sekitar. Pendar cahaya biru muda itu sekarang menerangi seluruh ruangan. Gw lagi ada di ruangan yang keseluruhannya terbuat dari es. Gadis Grazier cengeng dan Punisher tak berotak terbaring, masih ga sadarkan diri ga jauh dari gw.
Yang pertama gw observasi adalah Si Accretia itu. Waaauw. Ini robot emang deh, terlihat kuat dan menakutkan kalo dari jarak sedekat ini. Tinggi pula. 2 kali lipat Corite. Armor Punisher di tubuhnya berwarna biru navy dengan corak putih di sana-sini. Bikin badannya lebih keliatan gede lagi. Spadonanya tergeletak di sebelah.
Terus, mata gw berpindah ke si Grazier. Sama kaya Animus mereka, pemiliknya juga pake Armor yang kekurangan bahan. Perempuan ini lucu juga kalo diliat-liat. Apa lagi pas tidur gini. Iyalah! Perasaan, Corite emang kaga ada yang jelek dah.
Armornya merah marun dengan aksen pink gelap. Cuma menutupi ‘bemper depan’ yang waaaah, dan lengannya. Bagian dadanya sedikit terbuka, pun begitu dengan daerah perut. Mengekspos kulit putih super bersih. Kerahnya mirip kaya Armor Spiritualist Bellato. Tinggi, hampir mencapai idung.
Di bawah sana… minimalis abis! Pahanyaaaa, Kapten! Mulus bet mulus! Kakinya jenjang pula. Teriak-teriak minta banget dielus. Ternyata, ga semua Corite tuh tinggi ya. Gw baru sadar, kalo selisih tinggi Grazier dan gw ga terlalu mencolok. Yaa gw sedagunya dia lah kira-kira.
PLAAAK!
Gw tampar pipi sendiri sekeras mungkin sampe bunyi menggema, akibat terbuai pemandangan barusan. Dia itu musuh! Musuh! “Hell Bless nyaris bunuh lu, Lake! Hell Bless nyaris bunuh lu!”
Kembali mata gw tertuju ke si Accretia. Pas lagi liat bagian optik yang tadi sempat mengunci gw dengan seksama, tau-tau gw dikagetkan oleh nyala merah dari sana!
Tangannya sigap banget mencekik leher gw, sampe ga bisa bereaksi sama sekali, “EEHEEEEK!” napas gw tersumbat, logam dingin terasa makin erat mencekat leher kecil gw. Si Accretia itu perlahan bangkit dari tidurnya, lalu berdiri sembari terus mencekik. Bikin kaki gw terangkat dari pijakan. Optik merahnya menatap fokus mata ungu gw, “Leher… eggh, leher… LEHER!” Kata gw panik sambil tepok-tepok tangan besi yang cekik gw. Kaki gw menendang angin karena makin lama makin kehabisan napas. Suara gw melengking kaya Flem ketiban lemari.
Pas si Accretia teralih perhatian ke sumber cahaya biru muda, dia melepas genggamannya dari leher gw, “Uhhukk.. Eeuhuuk! Haahh.. Hahh.. hahh..” Gw terbatuk, langsung hirup udara banyak-banyak.
Corite itu melenguh panjang, terus akhirnya terbangun gara-gara kebisingan yang kita buat, “Ennngghh… aakh!” Omaigad! Terkutuklah kalian para wanita Corite atas dosa terlahir menggemaskan!
Gw jedotin kepala ke lantai es guna mengembalikan akal sehat. Kenapa juga dia harus bikin suara se-menggairahkan itu!? Kenapaaa!? Dengar bunyi jidat kejedot, Si Grazier dan Punisher itu penasaran apa yang lagi gw perbuat beberapa saat, keheranan.
Gw angkat tinggi jempol tangan, sambil tetap tempelkan jidat ke lantai, kasih kode kalo semua baik-baik aja. Gadis Corite ga kalah bingung abis bangun tidur. Dia celingukan kaya mencari sesuatu. Terus kedua tangannya meraba-raba badan sendiri, terus naik ke leher, abis itu ke kedua pipi. Barangkali mau memastikan kalo dia masih hidup.
Ekspresi mukanya dramatis amat. Sampe bola matanya berair.
Setelah tersadar sepenuhnya dan menerima fakta bahwa masing-masing dari kami masih hidup, kami melangkah lebih dekat ke sumber cahaya yang menerangi seluruh ruangan.
Di tengah ruangan, sebuah pecahan batu berwarna hijau muda melayang di antara stalakmit dan stalaktit yang mengapitnya. Ukuran pecahan batu itu ga lebih besar dari telunjuk gw. Pandangan kami bertiga terpaku.
“Wauw… cantiknya,” Kata si Grazier. E-eh? Gw… ngerti omongannya… lagi? Tangan gadis itu terjulur, berniat pegang pecahan tersebut, “Aawww!” semacam kilatan listrik muncul ketika jemarinya bersentuhan dengan pecahan batu tersebut. Kilatan itu sempat menjalar di sekujur lengan sebelum hilang sama sekali. Kaget, dia langsung cepat menarik tangan.
“Ahh… saya liat, kalian udah menemukan apa yang kalian cari.” Mendadak, kami dikejutkan oleh kehadiran sosok lain. Naluri prajurit kami langsung aktif, dan langsung menodong senjata masing-masing ke sumber suara. “Wowowow! Santai nak, santai.”
Di belakang kami muncul sosok pendek bermantel hitam. Ga lebih tinggi dari gw. Bellato rupanya. Dari wajahnya yang berkeriput, pastilah usianya tua. Punya rambut putih pendek dan pitak di tengah.
“Pertama-tama… saya mau minta maaf dulu, padamu.” Dia melirik ke arah gw. Minta maaf… buat? “Karena tadi saya udah bikin kamu jatuh dari atas sana. Hahaha!” Woot? Jadi dia pelakunya?
“Aduuh, Pak tua! Kenapa saya juga harus ikutan nyebur jurang?”
“Eeh! Kamu! Tuhkan kamu paham bahasa Cora!” Hadeh, apa deh ini si Corite nyamber aja.
“Apaan sih,” tukas gw padanya.
“Karena ekspresimu kala itu… benar-benar sepadan! Hahaha!” Si Kakek Bellato ketawa lepas mengingat kejadian tadi. Cuk! Gw nyaris modar cuma gegara dia pengen liat ekspresi pas gw jatuh? Terkampret. “Sekedar info, gadis manis. Anak ini ga bicara bahasa Corite.” Lanjutnya.
“Setidaknya kan bisa bilang baik-baik.” Gw menggerutu.
“Emang kalo ada yang minta baik-baik, kamu mau masuk jurang?” Tanya si Corite pada gw.
“Yaaa.. Engga juga sih.” Jawab gw.
“Hahahaha.” Si kakek melanjutkan ketawa.
“Jadi… bahasa apa yang kita gunakan, pak tua?” Gw tersentak pas si Accretia ngomong. Pasalnya, suara yang dihasilkan si robot itu… ga terdengar kaya robot. Tenang, dan gw bisa merasakan arogansi di balik nada bicara itu. Tadinya gw pikir kaya di musik-musik techno, terus kaku-kaku gitu kan. Haha.
Pertanyaan yang bagus, gw dan si Corite juga penasaran kenapa kita bisa saling mengerti satu sama lain.
“Bahasa Manusia,” jawabnya singkat.
“Manusia?” Tanya gw, masih bingung.
“Ras kuno yang telah punah, berasal dari Bumi,” Si Accretia melanjutkan. Seolah tau gw ga paham apa-apa.
“Hoo, tau aja kamu.” Ujar si kakek.
“Tentu, mereka ras nenek moyang kami.”
“Terus, kenapa kita semua yang ada di sini, Bellato dan Cora paham bahasa Manusia? Itukan bahasa kuno.” Si Grazier gantian nanya.
“Accretia, Bellato, Cora. Apa bedanya?” Kakek itu justru balik nanya, “kalian semua dulunya pun manusia, kan?”
“Emang iya?” Satu pertanyaan bodoh terlontar dari mulut gw.
“…” Si kakek itu mendekat dan nepuk bahu ini. “Nak, perbanyaklah baca buku, arsip, browsing atau apapun untuk memperkaya pengetahuanmu. Tanyalah kalo ga tau. Malu bertanya, bisa salah kamar.” Katanya dengan muka meledek. Sialan. Ya kan gw nanya karena ga tau.
“Oh ya, nama saya Aethelflaud. Kalian bisa panggil Aet, Aethel, atau Flaud supaya singkat. Seperti yang kalian liat dari tinggi tubuh, saya seorang Bellato. Dan satu-satunya penyebab kita bisa mengerti bahasa manusia adalah…” Dia menunjuk pake jempol ke arah belakang, ke pecahan batu yang melayang dan bercahaya di balik punggungnya.
“Etheron,” kata si Accretia datar.
“Etheron? Oh ya, banyak juga dari mereka yang menyebut begitu. Tapi, nama asli dari batu itu adalah…” Dia berhenti sejenak. Buat efek dramatis barangkali. “… Grymnystone.” Jawabannya bikin kita terhenyak. Terutama gw.
“Grymny… apa?” Gw nanya lagi buat memastikan ga salah dengar.
“You heard me.” Gumam Kakek Aet, “Saya yakin, kalian penasaran setengah mati, kan? Apa lagi yang di paling kanan,” Pernyataan Kakek Aet ditujukan buat gw, “Ya, batu ini hasil kreasi Ilmuwan terdahulu. Ilmuwan-ilmuwan Grymnystre, lebih tepatnya. Diciptakan dari bahan yang sangat sangat langka dan ga bisa didapat dengan cara menambang. Hanya ada dua di seluruh alam semesta. Satu tinggal serpihan ini, satu lagi tersembunyi entah dimana. Batu ini adalah energi mentah, menyimpan kekuatan, kejernihan, kebijaksanaan, pengetahuan. Itulah kenapa, kalian paham bahasa yang ga pernah kalian pelajari sebelumnya walaupun tanpa Jade Talk. Batu ini berbagi pengetahuan dengan kalian. Bahan untuk membuat batu ini diperkirakan udah punah, tapi ternyata, fakta itu salah hingga hari ini.”
“Kek! Pelan-pelan dong menjelaskannya! Aku jadi ga paham nih!” Omel si gadis Corite pas dengar penjelasan panjang Kakek Aet.
Siapa sebenarnya Kakek ini? Apa dia ada sangkut pautnya dengan keluarga gw? Gw pengen tanya banyak hal kalo emang iya. Tapi, belum sempat bertanya, dia duluan yang bicara, “Tubuhmu bereaksi terhadap batu ini, kan?” Kakek Aet mengalihkan pandangan ke gw, “Dan batu ini pun bereaksi terhadap kehadiranmu.” Dia melanjutkan.
Hah? Awalnya gw ga paham maksud perkataan kakek Aet. Terus gw coba rasakan tubuh gw sendiri. Degdegdegdegdegdeg… benar! Detak jantung cepat, dan aliran adrenalin di dalam tubuh gw makin tinggi. Sensasinya kaya Accel Walk. Padahal, gw sama sekali ga pake skill itu.
Sebenarnya dari tadi gw udah merasakan hal serupa, tapi gw pikir itu cuma deg-degan biasa gara-gara liat keseksian si Grazier. Pendar cahaya di pecahan batu itu juga makin terang dan agak kelap-kelip sesuai irama detak jantung dalam dada.
“Grymnystone terbuat dari esensi para Grymnystre. Partikel-partikel kecil dari tubuh mereka. Darah, sel, lapisan kulit, DNA, selaput otak, yang terutama, adrenalin. Direkayasa sedemikian rupa, sehingga mampu dikristalkan sebagai sumber energi besar yang bisa bertahan sangat lama,” Kakek Aet kembali jelaskan asal-usul batu itu, “dan akibat punya intisari yang sama, tubuh seorang Grymnystre akan memicu reaksi kimiawi bila dekat-dekat dengan Grymnystone.”
Uggh! Yang benar!? Jadi… itu.. sisa-sisa dari bagian tubuh Nenek moyang gw?
“Euuyy… menjijikan! Terus, apa hubungannya dengan Si Rambut Kelabu?” Corite itu bergidik tau fakta tersebut.
Kakek Aethelflaud keheranan dengar pertanyaan si Corite. Sesaat dia memandang mata kuning, lalu menengok ke arah sebaliknya, “Kamu ga kasih tau temanmu?”
“Ehm…”
“Kasih tau apa?” Tanya si Corite polos.
“Dia ini kan Grymnystre,” mendadak kesunyian mengisi udara di ruangan ini usai Kakek Aet bongkar rahasia. Si Corite dan Accretia itu sama-sama menoleh ke kanan bawah, ke gw.
“HAAAH!? Ka-ka-kamu…? Seorang Grymnystre?” Mukanya bukan main kaget. Hah… lagi-lagi. Kayanya kalo gw jadian ama dia, terus mau kasih kejutan, bukan hal sulit. Dari pertama ketemu, kagetan mulu.
“Yaa… gitu deh.”
“Kenapa ga bilang apa-apa padaku?”
Serius ini perempuan? Jangan-jangan, cantik tapi ga ada otaknya.
“Masa ketemu di medan perang, terus tau-tau gw mengenalkan diri? Ga mungkin lah, dungu. Lagian… GW GA NGERTI BAHASA LU!” Gw jadi sewot sendiri.
“Gw pikir, semua Grymnystre udah mati.” Si Accretia mengemukakan pendapat.
“Kalo gitu, bisa dibilang gw… Grymnystre terakhir?”
Mendadak si Accretia menghunus Spadona ke leher gw. “Kalo gitu, lawan gw sekarang juga… Grymnystre terakhir.”
Astaga, kenapa mendadak semua orang selalu mengincar gw belakangan ini?
“Gw udah menanti kesempatan buat bertarung lawan Grymnystre yang melegenda, tapi mereka keburu punah.” Kata si Robot dingin, “Ini jelas ga boleh dilewatkan.”
GLEK! Gw menelan ludah.
“Ohho… simpan senjatamu, anak muda. Ga perlu pake kekerasan.” Ujar Kakek Aet. Untungnya, si Accretia yang keliatan keras dan dingin itu menurut aja pada kata-kata Aethelflaud.
“Ternyata kamu keturunan Grymnystre. Ga heran kamu sanggup bertahan dari Hell Bless dalam kondisi sekarat.” ucap si rambut ungu tercengang.
“Itu sih hoki, bukan skill.” Gw bisa bertahan karena ada Meinhalom di sana. Kalo ga ada dia, sekarang tinggal nama paling.
“Tapi… tetap aja…”
“Hah?”
“Ga. Gapapa.”
“Hey, Bellatean tua, saya harus bawa pecahan batu itu ke Kaisaran. Untuk itulah saya kemari,” Ujar si Accretia.
“Lu pikir, lu doang yang pengen bawa pulang batu itu? Gw juga woi!”
“Ah, aku juga!”
“Cih, dasar makhluk berdaging.”
“Hahaha, anak muda. Selalu penuh semangat. Sayangnya, kalian ga bisa bawa batu itu keluar dari sini…” Kakek Aet berkata, seraya hembuskan napas. “… Tanpa membuat Ether jatuh dari langit.” Nadanya langsung berubah serius.
Kami bertiga cengo dengar pernyataan barusan, memandang fokus pada Mata kelabu gelap Kakek Aet.
“Kalian ga tau, ya? Ether kan bisa melayang, gara-gara pecahan kecil Grymnystone ini. Ibarat, ini tuh mesin anti-gravitasinya Ether. Kalo mesinnya dibawa pergi, ya jatuhlah pulau ini beserta makhluk hidup di atasnya.” Kakek Aet lanjutkan penjelasan.
“A-APAAA!? Jadi, sia-sia dong kita jauh-jauh ke sini!? Sia-sia dong saya mati-matian berantem lawan tukang santet dan kaleng kerupuk!?” Gw menggerutu setelah sadar kalo perjuangan selama beberapa hari belakangan bakal percuma.
“Heh, cebol!” semprot Si Grazier
“Mau jadi daging ga bernyawa, hah!?” Disusul kaleng rombeng.
Kedua ‘kawan’ gw mengomel setelah terima ejekan terhadap sebangsanya. Mata gw sekedar menyipit kesal ke arah mereka.
“Tergantung dari sudut mana kalian liatnya,” ucap Kakek Aet di tengah ketegangan kami. Senyum tipis tersungging di bibirnya. “Tau ga? Saya ini cuma serpihan memori dari seseorang yang bernama Aethelflaud. Sebuah konsep abstrak dari apa yang biasa kalian sebut kenangan. Direalisasikan ke dalam wujud multi-dimensi berkat energi Grymnystone.”
“Arti lain: Kakek sebenarnya udah ga ada?” Kata si Corite ragu-ragu.
Kakek Aet berbalik menghadap si Corite. “Yapp! Tepat sekali! Dan saya ga bisa berada terlalu jauh dari pecahan ini kalo ingin tetap mempertahankan wujud saya.”
Cakep. Dari tadi ternyata kita lagi ngobrol dengan hantu. “Jadi.. Kakek ini.. semacam hologram?” Tanya gw. Agaknya kepala gw masih belum sanggup mencerna banyak informasi baru sekaligus. Penjelasan dari Kakek Aet panjang-panjaaaang dan terus berganti topik.
“Kalo saya hologram, mana bisa menginjak tanganmu?”
“Uhm…”
“Anda mengada-ada, Kek.” Si Accretia menyela. Sepertinya omongan Kakek Aet ga logis. “Anda bilang serpihan memori, tapi anda bukan hologram. Anda udah ga ada, tapi di sinilah anda. Punya wujud solid dan bicara panjang lebar pada kami, bahkan sampe sanggup merespon omongan kami. Gimana mungkin hal seperti itu bisa dilakukan?”
“Udahlah, kalian ga bakal mengerti. Kalo dijelaskan pun, bakal makan lebih dari satu bab.” Balas si Kakek tenang. Iya juga sih, gw aja udah kesulitan buat pahami omongan sebelumnya. “Okelah. Mari kita ke bagian serunya. Saya udah lama menunggu ada yang datang ke tempat ini, untuk menyampaikan peringatan,” lagi, Kakek ini ganti topik, “dan kebetulan, yang datang adalah orang yang bersangkutan langsung.” Kakek Aet menyeringai penuh makna ke gw. Agak seram jadinya, gegara banyak lipatan kulit mengkerut di wajah tua itu. “Aahh.. takdir memainkan peran tersendiri di dunia ini.”
“Apa peringatannya, Kek? Dari tadi bertele-tele terus ih!” Gerutu gadis Corite.
“Nyawamu dalam bahaya besar, Bellato muda.”
“Hee?” gw menunjuk diri sendiri, “Kenapa gitu?” Cakep. Lagi-lagi kayanya gw terlibat hal yang ga gw inginkan.
“Pertama: karena kamu Grymnystre. Kedua: karena kamu Grymnystre.” Haah!? Jawaban macam apa itu!? “Para Grymnystre membawa kehancuran terhadap garis keturunannya sendiri dengan penemuan Grymnystone. Seperti yang udah saya bilang, dibutuhkan esensi Grymnystre guna menciptakan Grymnystone. Di luar sana, ada musuh yang sangat-sangat kuat bertujuan memakai energi batu ini untuk sesuatu yang mengerikan. Pecahan kecil batu ini tentu ga akan cukup, jadi mereka ga akan susah payah mencari ini. Pilihan mereka tinggal 2: cari Grymnystone yang tersisa atau bikin baru.”
“Sampe saat ini, lokasi batu kedua masih belum diketahui. Dan demi ambisi, agaknya mereka akan mencoba segala kemungkinan. Bikin Grymnystone baru sambil tetap cari yang satu lagi. Mereka tau keluarga pendahulumu ga akan tinggal diam. Berdiri tanpa perlawanan pas dijadikan bahan percobaan, bukan Grymnystre namanya. Makanya, mereka melakukan pendekatan lain: memburu Grymnystre satu persatu. Mereka difitnah, dibenci, dikucilkan, dikarungi ketika jalan sendirian. Kamu adalah Grymnystre terakhir. Mengekstraksi tubuhmu akan jadi tujuan utama mereka.”
GLEK! Gw cengo mencerna omongan Kakek Aet yang belum pasti kebenarannya. Jangan-jangan… itukah sebabnya… Ayah dikhianati oleh timnya sendiri!? Gw mengepal tangan kuat-kuat. Merasakan kemarahan meletup bak air mendidih di dalam dada.
Tapi, dibilang kalo tubuh gw mau di ekstrak begitu… rada bikin syok juga, “Sa-saya kan bukan kulit manggis.”
“Ini akan jadi ujian berat bagi kalian. Dan ujian yang bahkan lebih berat lagi bagi kamu, Bellato muda. Karena musuh tersebut, ada diantara bangsa yang kamu bela sepenuh hati. Sesama Bellato.”
“Biar saya tebak, pemimpin mereka… berambut kuning panjang dengan kedua bola mata semerah darah?” Jadi ingat akan serentetan mimpi yang kerap datang di tidur gw. Entah kenapa gw selalu merasa kalo itu pertanda, tapi seringnya ga gw gubris.
“Ya… tau dari mana?” Kakek Aet keliatan heran.
“Mimpi. Saya pernah mimpi ada di tengah padang rumput tandus yang jadi medan perang. Perang tersebut antara pasukan 3 bangsa lawan pasukan Bellato.” Jawab gw kembali ingat-ingat kejadian tempo hari. Kesempatan bagus buat nanya apa arti mimpi itu. “Pemimpinnya punya ciri kaya yang saya sebut tadi. Perang itu dahsyat banget, sampe bisa mengubah padang tandus itu jadi Gurun Sette.”
“Holy War of Sette,” Desis si Corite dalam bahasanya, “Perang Suci Sette.”
“Apaan lagi tuh?” Tanya gw.
“Aku ga yakin, tapi kayanya pernah baca salah satu perkamen kuno di perpustakaan Istana Numerus. Tentang perang legenda 215 tahun lalu yang konon sanggup mengubah kondisi daratan. Engga, Galaksi. Konon katanya dulu, Novus Mataharinya dua. Dan sebenci-bencinya Cora pada Bellato, betapa bangsa Cora berhutang budi pada keluarga Grymnystre dari Bellato, sampe diizinkan mengungsi dan menetap akibat eksistensi mereka terancam.” Jelas si Corite.
“Utang budi, ha? Dan sebelumnya kalian pada napsu banget pengen gw meninggal,” Gw mendengus sinis pada makhluk cantik itu.
“Itukan karena kita ga tau kalo kamu ternyata seorang Grymnystre,” sanggahnya cepat.
Hmm setidaknya kepingan teka-teki tentang keluarga gw mulai tersusun pada tempatnya, biarpun gw sendiri masih belum puas dan pengen cari tau lebih banyak lagi. Tapi.. apa iya kalo mimpi yang gw liat waktu itu adalah kejadian masa lalu? Maksud gw, bagian Novus punya dua Matahari itu, terus sekarang tinggal satu.. terlalu pas kalo sekedar disebut kebetulan.
“Saya juga sering mimpi-” belum selesai gw ngomong, Kakek Aet menyela.
Tatapannya dongak ke langit-langit es tembus pandang. Cahaya Grymnystone menembus es tersebut, dan membias, “Sebagai keturunan terakhir, tentu arwah para leluhurmu senantiasa mengawasi dari atas sana.” Ucap Kakek Aet. Dia tersenyum, dan matanya terpejam. “Ga ada yang bisa mereka lakukan selain mengunjungimu lewat mimpi, sekedar memberi potongan-potongan kebenaran baik yang udah atau akan terjadi melalui kilatan kejadian yang kamu anggap semu.”
Sial. Jadi sedikit banyak, mimpi yang gw alami emang suatu pertanda. “Si mata merah ini, siapa dia sebenarnya?”
“Sayang, saya ga punya informasi tentang hal mendetail. Serpihan memori yang ditinggalkan diri saya semasa hidup ga mencakup keseluruhan, melainkan sebagai gambaran besarnya aja. Asal kamu paham situasi yang sedang terjadi. Intinya, mereka udah mulai bergerak, nak.”
Cakep. Bukan cuma gw masih harus cari tau tentang keluarga gw lebih jauh, tapi juga harus tau siapa sebenarnya musuh yang harus gw perangi. Well, setidaknya gw dapat kata kunci baru; Perang Suci Sette 215 tahun lalu.
“Anda tau, pak tua?” Si Accretia yang dari tadi ga mengucap sepatah katapun akhirnya mulai bicara. “Saya alergi terhadap omong kosong.” Dia bilang, dengan nada sombong dan datar. Kok ni robot mirip-mirip seorang Holy Chandra belagu yang gw kenal, ya? “saya ga ambil pusing terhadap masa lalu Grymnystre atau apalah itu. Bahaya besar? Cih. Terus kenapa? Toh itu urusan Bellato ingusan ini. Sebagai prajurit, harusnya dia tau gimana cara atasi tiap masalah yang melibatkan dirinya. Dan jangan harap saya percaya kata-kata yang keluar dari mulut seorang cebol!”
“… Saya sih cuma kasih peringatan. Urusan kamu kalo memilih untuk ga percaya, ya ga apa.” Balas si Kakek Aet santai. “Kamu pikir, saya peduli? Engga juga. Karena saya udah ga ada. Mau planet Novus luluh lantah pun, bukan urusan saya,” kemudian ekspresinya jadi serius, “tapi camkan baik-baik, Accretia muda. Akan ada masa, dimana kalian bertiga harus siap bertarung sampe titik darah penghabisan demi kelangsungan Galaksi ini. Dan masa itu makin dekat. Saran saya, akur-akur deh mendingan dengan mereka berdua.”
“Blablabla, sebagai Prajurit Kekaisaran, saya ga butuh orang lain buat berjuang. Kesempurnaan diraih berdasarkan logika individual,” si Accretia mendebat sengit kalimat-kalimat Kakek Aet. Memantapkan prinsipnya. Wauw. Salut. Robot aja punya prinsip yang kuat, masa gw engga? “sekarang, kalo anda udah selesai, tunjukkan jalan keluar dari sini! Saya udah terlalu lama buang-buang waktu.”
“… Kalian ga bisa keluar dari sini.” Jawab Kakek Aet.
“Jangan bercanda, pak tua! Tunjukkan dimana jalan keluarnya, atau saya akan cari sendiri! Dan saya ga jamin keadaan bisa berjalan dengan lembut!” Tegas si Accretia.
“Apa maksud anda, Kek!? Anda berniat mengurung kami di sini?” Tanya gw heran. Jangan-jangan gegara kita tau lokasi Grymnystone, jadi ga diizinkan hidup lagi, kaya di film-film gitu.
“Lho? Kalo kalian mau keluar, silakan aja. Ga ada yang melarang kok.” Bales Kakek Aet. Pak tua yang satu ini dari awal selalu aja ga pernah to the point kalo menjelaskan sesuatu. “Tapi, Bellato itulah yang akan jadi tiket keluar kalian dari sini.” Lanjutnya menunjuk ke gw.
Gw lagi, gw lagi. Kenapa selalu gw? Kenapaaa!?
“Sebenarnya, kita lagi dimana sih? Aku penasaran dari tadi,” satu pertanyaan terlontar dari mulut Corite.
“Tempat yang sama, dasar jurang kalian jatuh tadi.” Jawab Kakek Aet.
“Ha! Berarti tinggal memanjat aja kan? Ga ada masalah bagi saya.” Celetuk si Robot. Dalam diam, perasaan gw ga enak. Pasti dikit lagi Kakek Aet bakal mengejutkan kita dengan informasi ga terduga.
“Tentu jadi masalah, kalo kalian berada di dimensi lain.” Nah lho, kan. Gw bilang juga apa.
Si Accretia dan Corite terdiam dengarnya. Lu mamam tuh. Oh ya, maksudnya ‘gw tiket keluar dari sini’ tuh apa ya?
“Dan satu-satunya yang bisa buka celah buat balik ke dimensi kalian berasal, cuma si Bellato muda itu.” Mendadak Accretia dan Corite itu memandang penuh harapan ke gw. Say waat!? Gimana caranya, cuk!?
“Kamu… bisa melakukan hal semacam itu!?” Selidik si Corite.
“Cepat buka celah itu, cebol. Gw mau balik ke Kaisaran secepatnya!”
“Wooiii! Stop!” Bentak gw pada mereka semua. “Mana ada, Pak! Buka celah ke dimensi lain? Yakali! Emang gw apaan? Ki Jaka Jenius?! Ayolah Kakek, tolong bilang kalo situ bercanda,” Lanjut gw, wajah bersungut-sungut.
“Saya ga bercanda. Itu salah satu keahlian yang hanya dimiliki Grymnsytre, selain kemampuan mereka memanipulasi adrenalin; mereka bisa memotong ruang realitas. Yaa biarpun cuma beberapa Elite mereka yang bisa melakukannya. Slogan mereka terkenal lho. Realitas adalah ilusi. Aseedap.”
Oke, Kakek ini pasti udah gila. “Ga! Mana ada hal semacam itu. Mustahil!” Seru gw.
“Banyak hal mustahil yang sebenarnya sangat mungkin dilakukan, cuma kadang karena terlalu ga masuk akal, kita lebih memilih buat menyangkal,” Kakek Aet bilang, sambil nyengir. Menunjukkan deret giginya yang udah ompong di beberapa bagian. “Pikiran kita cenderung terlalu takut untuk coba memahami hal yang ga kita mengerti. Iya kan?”
“Tapi… memotong ruang realitas… buka celah dimensi… tiket keluar dari sini… apa iya saya bisa?” Gw sangat dipenuhi keraguan saat ini. Semua itu ga masuk akal sama sekali. Apa leluhur gw pun bisa melakukan hal yang sama?
“Diantara kalian bertiga, kamu yang paling mungkin melakukannya. Karena saat ini, dan berada di sini, kamu yang paling kuat.”
“Hoo… benarkah?” Si Accretia terdengar menantang. Ga terima kayanya kalo si Kakek bilang ada yang lebih kuat dari dia.
“Merasakan perubahan ga, pas bertarung di Ether?” Kakek Aet bertanya tanpa pedulikan Accretia itu. “Pecahan batu itu kerap bereaksi semenjak kamu tiba di pulau ini. Yang artinya, tubuhmu pun mengalami reaksi serupa. Harusnya.”
Hmm, kalo diingat lagi… emang sih… gw merasa jauh lebih keras pas di sini. Kaya, gw sanggup memaksa diri buat melebihi batas yang seharusnya dalam keadaan cukup lama. Tiba-tiba terlintas semua pertarungan yang udah gw lalui di pulau salju abadi ini.
Gimana gw bisa imbangi Sirvat pas duel, pake Accel Walk berkali-kali, tumbangkan Black Knight maniak saat tubuh gw bahkan udah ga dengar perintah lagi, menolong sesama Kamerad gw pas dibutuhkan, hadapi Calliana Princess sendirian, bahkan menyapu bersih Atroc, Crue dan Archer tanpa kesulitan berarti. Semua gegara pecahan batu itu, kah?
“Luar biasa, kan?” Lamunan gw buyar oleh kata-kata Kakek Aehelflaud.
“Oke. Cukup. Cebol! Keluarkan pedang lu, dan lawan gw sekarang juga! Tunjukkan kemampuan terbaik lu!”
Lagi-lagi si Accretia ini ngajak ribut. Menodong Spadona biru cerahnya ke gw. Beneran ga terima kalo dibilang ada yang lebih kuat dari dia.
“Heh Kaleng, dia satu-satunya jalan buat keluar dari sini! Kalo sampe dia celaka, gimana!?” Corite itu geram, tapi langsung ciut pas Si Accretia tengok ke dia. Hahaha. Pemandangan yang lucu.
Dengan punggung tangan kiri, gw tepis sisi Spadona yang halangi muka gw. Saat ini, gw lagi malas berantem-berantem.
“Tunggu, Kek. Sebelumnya anda berada di dimensi kami, kan? Pas anda menginjak tangan saya?” Tanya gw berusaha memastikan. Kakek Aethelflaud mengangguk tanda membenarkan. “Kalo gitu, anda pun bisa melakukan hal itu! Kenapa ga anda aja yang bawa kita keluar dari sini!?”
“Kalo gitu, ga bakal seru dong. Hahahaha!” Uugh. Ngeselin. Sumpah. Bete. “Oh ya, saya kira kamu ga akan bisa melakukannya dalam waktu sehari atau dua hari. Dan pastinya butuh ribuan kali percobaan. Kalian bebas melakukan apapun di sini. Mau bertarung full Force pun ga apa. Ga bakal runtuh. Jadi, anggap aja rumah sendiri ya! Hitung-hitung temani saya lah, yang ga pernah kedatangan tamu selama ratusan tahun,” Kakek Aethelflaud melanjutkan, seraya berlalu menuju ruangan lain. Tinggalkan kami bertiga di ruangan Grymnystone.
“Ugh! Kenapa gw harus terjebak di situasi begini!” Kaleng itu mengeluh. Kerjaannya mengeluh, dan ngomel terus perasaan. Hidupnya terlalu serius gw rasa.
Huff… kayanya ga ada pilihan lain. Gw harus keluar dari sini, dan balik ke Headquarter sesegera mungkin. Satu tarikan napas panjang mengisi tiap paru-paru, “Alright then, lets cut through reality.”
“And now you speak Corites, huh?” Gadis Corite itu menyindir gw dengan wajah nyeleneh, setelah dengar gw ngomong bahasa Cora.
“I know. That Shard is pretty awesome stuff, right?”
“I hope you realise, that you’re about to break more than 9 Federation’s laws at once.”
“I don’t care, Lec.” – Alecto & Elka (Ch. 16)
CHAPTER 17 END.
Next Chapter > Read Chapter 18:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-18/
Previous Chapter > Read Chapter 16:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-16/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list
Catatan Author:
Waktu yang saya pake di cerita ini ukuran Bumi, 1 tahun 365 hari, biar ga ribet.
Regards,
Mie Rebus

