LAKE CHAPTER 28 – I HAVE A TEAM

Lake
Penulis: Mie Rebus


Keadaan ga bisa lebih runyam lagi saat Sabilla, Infiltrator berwajah imut, kalo ngomong seringnya lemah lembut, mengonfrontasi Elka yang lagi dalam keadaan tukang jagal. Perubahan warna pada mata Sabilla juga diikuti perubahan tabiat kayanya. Gw merasa tekanan force gadis itu jadi lebih intens dari yang tadi.

Adu kemampuan antar Infiltrator benar-benar ga terhindarkan. Dan itu terjadi di depan mata gw. Gerakan Sabilla sedikit lebih gesit, dan… beda. Memberi kesan ancaman pada siapa aja yang berada di sekitarnya. Tanpa ragu, dia menerjang Elka dan berkali-kali coba meraih headband yang terikat erat di kepala bermahkota coklat dengan penuh napsu.

Elka, di lain pihak, masih tetap keliatan tenang dan terkendali. Ga kehilangan ketajaman sorot mata biarpun lawannya begitu gencar incar kepala. Seolah ia mampu melihat dari mana serangan datang. Dia miringkan kepala sedikit ke kanan pas tangan kanan Sabilla meluncur dari depan, lalu langsung menunduk begitu sadar itu cuma tipuan.

Gadis berambut putih melayangkan tangan ke kiri, namun sia-sia karena Elka udah menunduk duluan dan dengan cepat melakukan tendangan rendah ke arah kaki seraya berputar satu kali, supaya Sabilla hilang keseimbangan.

Tapi, Sabilla kayanya juga bisa baca gerakan dan niat Elka sehingga dia lompat untuk hindari sapuan rendah itu, dan langsung melakukan serangan balasan. Satu tendangan voli menghujam deras bagian sisi wajah Elka, namun tentu dia ga akan biarkan semua berjalan gampang bagi Sabilla.

Satu tangan. Cuma itu yang dibutuhkan Elka untuk antisipasi tendangan voli yang pastinya begitu bertenaga. Suara ketika kaki Sabilla bertemu tangan Elka beradu aja sangat nyaring terdengar. Cengkraman kuat Elka bikin Sabilla ga bisa menarik kembali kakinya. Hanya bertumpu pada kaki kiri, gadis berambut putih coba melayangkan tinju agar Elka lepaskan kakinya.

Gagal. Justru sebaliknya, Elka kembali menangkap kepalan tangan Infiltrator berambut putih pake tangan yang satunya. Biarpun lagi ditekan terus oleh serangan bertubi dari sang lawan, gw bisa liat senyum tipis di bibir Elka. Senyum tipis khas saat dia lagi merasa tertantang. Yang bikin gw terhenyak, ternyata Sabilla pun sama. Menyungging senyum di sela pertarungan.

Senyumnya bukan senyum kaya pas disemangati Dzofi, bukan. Lebih tepatnya seringai. Seringai seram maniak haus darah, mengingatkan gw sekilas pada Black Knight yang pernah gw lawan di Ether.

Sempat bengong liat tontonan seru, akal sehat kembali ke kepala. Gw harus bantu! Mumpung perhatian Elka lagi fokus ke Sabilla, ini kesempatan buat rebut Headbandnya. Gw lari mendekat, berusaha sebisa mungkin ga menarik perhatian Elka. Begitu tegang pas mau nyomot headbandnya, sampe tahan napas.

“Ga secepat itu, Sentinel.” Ucap seorang Berserker, seraya mengaitkan lengannya pada lengan gw, supaya ga menyentuh headband Carry timnya.

“Ugh,” kampreet! Padahal tinggal dikit lagi.

“Elka! Ga perlu meladeni Support mereka! Ga akan dapat poin!” Teriak Royal Ulfa pada rekan Infiltratornya, yang masih belum meloloskan kaki dan tangan Sabilla. “Incar Carrynya aja!” Lanjutnya, sambil dengan cepat menerkam gw yang masih dalam kuncian lengan Rect. Sial, ternyata Ulfa berperan sebagai Support tim Elka! Artinya, headband gw terancam!

“… Maaf, aku ga bisa biarkan kakak melakukannya!” Liat Royal Ulfa beringas menerkam, Dzofi pun melakukan lompatan dari samping dan julurkan tangan kiri pada Sepupunya.

Semua bak terjadi dalam gerak lambat. Keliatan jelas tangan kiri si teknopat itu pas banget menyentuh.. ehem.. bemper depan sepupunya sendiri. Ouu deeeeemmm… Gw dan Rect yang melihat seksama kejadian itu, sampe ga berkedip dan susah mingkem.

“KYAAA! DZOFI!” Dia memekik histeris. Perlahan, tubuh semoknya kehilangan gravitasi, melayang sembari melipat kedua tangan di area sakral tersebut, wajahnya keliatan memerah nahan malu.

“A-aku udah minta maaf dulu tadi!” Armor Rider itu berusaha membela diri.

“Permintaan maaf DITOLAK, Sepupu sintiiiing!”

“Yah, sedikit banyak gw membunuh diri sendiri.” Ujar Dzofi, tengok ke gw dengan muka memelas, kaya ini hari terakhir dia hidup. “Tolong jangan mati juga..” Dia coba senyum, tapi ketara banget dipaksakan. Lagian sih, aneh-aneh bae. Bemper sepupu sendiri, masih aja..

“Uhm … apa cuma gw yang mikir, dia agak-agak …?” Rect bertanya pelan.

“Enggak, bang. Bukan cuma lu doang.” Jawab gw dalam volume rendah juga.

BREEGH!

Mendadak, Ish’Kandel menyeruduk Berserker yang lagi mengait lengan gw, membuatnya lepas kuncian, dan berseru kaget. “AAAGHH!”

Gw jadi ikutan goyah juga, dan tersungkur. Tapi, dengan cepat gw kembali berdiri. Satu hal yang ganggu pikiran gw, dimana satu orang lagi!? “Oritzi! Dimana dia!?”

“O’ow,” Gumam Dzofi sembari dongak, liat tubuh sepupunya yang masih melayang. Gw ikuti pandangan Armor Rider muda ke atas. Dan di sana, bukan cuma ada Ulfa, tapi ada Oritzi juga. Armor Rider yang lebih senior memanfaatkan energi booster untuk mencapai posisi Ulfa, kemudian memegang kedua lengan wanita itu, dan bersiap melempar balik ke … uhm, antara gw atau Dzofi. “Kayanya mulai sekarang, lu harus berusaha lindungi diri lu sendiri, bro.”

Masih dongak, gw belum bisa mencerna makna perkataan rekan setim yang satu ini. “Kenapa gitu?”

“Soalnya gw bakal sibuk lari dari kejaran malaikat maut,” dia berkata, terus balik badan dan ambil langkah seribu.

Oritzi langsung mengubah arah dan melempar Royal Ulfa sekuat tenaga. “DZOFIIIIII!” Teriak wanita itu, geram, penuh amarah pas tubuhnya melesat balik menuju tanah. Mati dah lu.

BADAGUUM!

Dentuman kecil tercipta saat Ulfa menimpa Dzofi, diiringi kepulan debu beterbangan tutupi sekitar area mendarat. Saya tidak akan lupa jasa-jasamu, Kamerad.

Sekarang, kembali pada headband Elka. Etdaah, ini perempuan dua masih ngotot-ngototan ternyata. Sama sekali belum ganti posisi dari tadi.

Baru aja gw mau gerak ke belakangnya, Hash’Kafil udah muncul di sana. Dia berujar buat Elka, kasih senyum sinis, “Terlalu asik dengan apapun yang lu lakukan sampe lupa dengan gw bukanlah satu hal bijak, Nordo.” Dan langsung merebut headband Elka dari belakang.

Hadeuuh, gw tarik pikiran yang tadi. Ternyata keadaan bisa lebih runyam lagi dengan kehadiran orang ketiga. Oke, baiknya gw ga terlibat perseteruan diantara mereka.

“…” Kehadiran Hash’Kafil sangat ga disangka, bahkan oleh Elka. Dia terhenyak sejenak, mata coklat melebar liat kibaran headband yang tadi terikat di kepala, kini ada di genggaman Hash’Kafil. Untung Hash’Kafil ga ikutan incar poin 6.000.000 gw. Sepertinya, cuma Elka yang ada di kepalanya.

Tatapan Elka kembali menajam. Malah, lebih parah. Terlihat lebih buas.

Dia berdiri hingga bikin Sabilla terangkat pijakannya dari tanah. Dengan satu gerakan memutar, Elka melempar Sabilla menuju titik gw berdiri tanpa kesulitan berarti.

“Ufft!” Sigap, gw tangkap tubuh gadis berambut putih yang melayang cepat, dan bikin gw terdorong tahan energi lemparan Elka.

“… Cari mati,” Elka mendesis kemudian meregangkan jemari tangan sembari melangkah menuju Hash’Kafil. Njir, ga ada takut-takutnya tuh perempuan berambut hitam. Ini pertama kali gw rasakan tekanan Force Elka segini gelap. Setidaknya, gw harus berterima kasih pada Hash’Kafil. Karenanya, Elka jadi ganti sasaran dan ga lagi mengancam tim kita.

“Ah sialan! Headband kita direbut!” Rect berseru, kasih tau rekannya yang lain.

Ulfa yang sibuk ‘perkosa’ sepupu edannya, jadi kehilangan fokus. “Haah..!?”

“Antara merebut kembali, atau merebut yang lain,” ujar Oritzi, barulah kemudian berkumpul kembali buat bantu Sang Carry yang kehilangan ikat kepala, namun taring masih ada.

“Hahh.. hahh.. hahh.. hahh..” Terdengar Sabilla atur napas di dekapan. Entah apa yang tadi itu, tapi kini matanya membiru kembali. Berkat gadis ini, pergerakan Elka sedikit terhambat pas menyudutkan gw. Biarpun ujung-ujungnya, dia dilempar dengan mudah.

“… Siapapun dia, berkat dia, kita terbebas dari duo Warbeast.” Dzofi berkata lirih dengan sekujur bonyok di muka. Keadaannya compang-camping. Bajunya sobek di bagian bawah, dan celananya agak turun.

“Abis perang di mana … lu?” Tanya Ish’Kandel, yang beranjak ke sisi gw, heran.

“Ah, diamlah.”

Raungan kedua udah berlangsung 40 menit. Sejak kehilangan Headband, Elka ngamuk. Ngamuk di sini bukan dalam artian teriak-teriak hilang kendali, bukan. Justru sebaliknya, dalam diam, mata coklat tajamnya senantiasa incar mangsa. Mereka yang diincar berasa ga berdaya. Ga bisa melakukan apa-apa begitu Elka mendekat.

Dia ‘memakan’ semangat juang tim-tim lain, tunjukkan jurang kemampuan yang memisahkan Elka dengan mereka. Sampe bikin tim-tim tersebut bahkan enggan untuk sekedar coba kembali rebut ikat kepala yang ada padanya.

Setidaknya ada 3 tim yang jadi korban keganasan lulusan terbaik Ranger Corps. Hebatnya, dia merebut ketiga headband itu secara solo. Alias, ga dibantu. Seakan belum merasa cukup, akhirnya berhadapan dengan tim Hash’Kafil.

Tim gw sendiri, bukan tanpa masalah. Sabilla terlihat begitu kelelahan terus menerus melindungi gw, Carry tim. Awal rencana cuma Ish’Kandel yang berperan jadi Interceptor, tapi namanya keadaan lapangan, sama sekali ga bisa diprediksi. Ya … bisa sih, gw udah tau bakal jadi incaran utama peserta yang berharap lolos ke raungan selanjutnya.

Mau ga mau, Sabilla dan Dzofi ikut ambil andil ganggu ancaman yang datang. 5 menit tersisa, terasa lama banget bagi kami yang berusaha mati-matian bertahan, berharap detik bisa berputar lebih cepat. Sedangkan, bagi mereka yang masih mencari poin, 5 menit terlalu singkat.

“Bertahan, Kamerad! 5 menit! Tinggal 5 menit lagi!” Teriakan Ish’Kandel memberi secercah semangat bagi kami.

“Yaaa!” Kami membalas serempak, diantara keringat yang membasahi tubuh, debu dan tanah sebagai ganti perias wajah.

Mendadak, ketika fokus kami teralihkan oleh sesuatu yang lain, hembusan angin kuat menerpa dari samping, “Death Gale!”

“WAAGH!” hempaskan ketiga kamerad gw jauh-jauh, sehingga ada ruang terbuka. Sedangkan gw, tutupi mata dengan lengan biar ga kelilipan.

Gw telan ludah, penuh ketegangan. Di depan gw berdiri sesosok Holy Chandra berambut hitam. Matanya yang juga hitam legam, beradu dengan mata ungu. Dia melakukan gerakan sapuan ke area sekeliling dengan tangan kiri, membuat dinding es tercipta, melingkar, membatasi ruang gerak kami.

Sebagai pertanda ga ada yang boleh keluar ataupun masuk ganggu saat konfrontasi itu. Ikat kepala bernilai 905 masih ada di kepalanya, tambahan 4 ikat kepala tergantung di leher. Ga keliatan berapa nilai-nilainya, karena semua sisi yang ada angkanya dibalik. Berarti selama ini, dia merebut ikat kepala tim lain dulu, ya? Baru kemudian … ah kampret! Kenapa harus dia yang nyamperin di saat waktu menipis?!

Seperti biasa, dia terlihat begitu tenang. Ugh, satu hal yang justru bikin gw makin tegang. Mengira-ngira gimana dia akan menyerang. Gigi gw gertak kuat dan coba buat ga terlihat bimbang.

Sebenarnya, pilihan terbaik adalah menghindar. Cari aman, tapi sialnya, ruang gerak gw dipersempit.

“Kekalahan tadi bikin gw cukup kesal,” ujarnya padat dan jelas, tetap tajam dan tegas. “Sekarang, gw akan makan lu hidup-hidup, tulang flem.” Lanjutnya seraya kumpulkan api oranye di tangan kiri. Pasti dia mau lempar Ignite lagi. Gw harus menghindar begitu dia melakukan gestur melempar!

Ternyata gw salah. Dia ga lempar bola api, malah mendekat lari! Berniat menyerang dari jarak dekat. Saat gw mau angkat kaki, ga bisa! Liat ke bawah, udah ada tanaman rambat mengikat kuat kaki gw biar ga pindah ke mana-mana.

Ahasil panik sendiri, “Eekh! Tu-tunggu! Curang, curang!”

Rokai ga gubris permintaan gw. Lompat dengan tangan berbalut api, mata ga lepas dari lawan di depannya. Ekspresi muka gw udah ga karuan, absurd dah. Gila kali ni orang! “Ignite!”

KABOOM!

Ledakan itu berhasil gw belokkan. Terima kasih Elka, atas perawatan berlebihan! Berkat lilitan perban tebal, sesaat sebelum ayunan tangannya mendarat di muka, gw beranikan diri buat tepis serangan berbalut Force api itu dan badan gw condong ke kiri. Karena gw tau Rokai itu kidal. Serangan ke target yang berada di sisi berlawanan dari sisi dominannya tentu bakal menyulitkan.

Ledakannya gede banget, sanggup hancurkan dinding es di belakang gw. Kebiasaan buruk dokter sinting ini; kalo lagi di lapangan suka lupa diri. Alibinya napsu kebawa suasana, tapi yang begini sih jelas napsu bikin gw modar! Gw pasien lu, woi!

Sedikitnya bisa lega, serangannya gagal. Biarpun suhu tinggi bikin gw mengertak gigi. Segera setelah sadar mantra Ignitenya ga kena, dia langsung ambil ancang-ancang, menendang perut gw, “UFFFT!”

Gw mental keluar dari area dinding es dalam keadaan terguling-guling, melalui lubang akibat mantra Force api tadi. Rokai ga berhenti sampe di situ, lanjutkan serangan mantra. Kali ini menggunakan Force tanah, “Land Wave!”

Kaki kanannya menginjak kuat permukaan tanah, kirim tanah bergelombang cepat menuju gw. Dan membuat jalur berbatu keluar dari bawah.

Ga biarkan diri terguling lama, gw kembali di atas kedua kaki. Lompat ke kiri guna mengelak dari jalur serangan Rokai. Begitu kaki gw menapak tanah lagi, tetiba ada yang berbisik di belakang telinga gw.

“Ada untungnya, kenal banget sama lu.” Hah!? A-Alecto!? Kehadirannya sama sekali ga terasa! Dia berkata, “Gw tau lu akan datang kemari!” Di kedua punggung tangan, terdapat senjata Grappler. Faak! Apa dia Support? Decoy? Celakalah.

Alecto menembakkan Grapplernya … tapi melenceng! Ya kali, masa iya dari jarak sedekat ini ga bisa kenain gw? Tulul amat. “Ga bisa nembak!? Kebanyakan minum susu deterjen sih!” Ledek gw padanya.

Alih-alih balas ledekan, dia malah senyum penuh makna sebelum berkata, “… Lu ga tau aja apa yang jadi niatan gw.”

Setelah dengar dia ngomong gitu, mata gw langsung ikuti arah kawat besi tembakan tadi, cari ujungnya berakhir dimana. Ternyata… di Rokai. Holy Chandra itu terlihat lagi membentuk topan kecil di kedua tangannya, dan ambil ancang-ancang mau melesat kencang. Kawat besi melingkar di batang tubuhnya, dan mengikat cukup erat.

Gawat.

“AMBIL, ROKAAAI!” Teriak Alecto sambil tarik Rokai balik ke tempat gw berada. Di saat bersamaan, Holy Chandra itu membuang topan kecil di tangan ke belakang sebagai tenaga pendorong. Mengirim tubuhnya melesat sangat cepat!

Dia lewati gw sembari menyambar ikat kepala 6 juta. Sedangkan gw cuma tercengang, kaget, terdiam, masih liat ke depan, “A-ah,” ikat kepala berpindah hak kepemilikan setelah lebih dari 40 menit susah payah dipertahankan.

Seolah ga tau apa yang udah terjadi, gw balik badan menghadap dua lawan di belakang. Rokai mengikat headband yang baru direbut di lehernya, tambah jumlah jadi 5.

“Ke-kenapa…?” Tanya gw heran. “Bukannya lu mau satu lawan satu!?” Gw sama sekali ga nyangka, dia bakal terima bantuan dari Alecto. Padahal tadi sampe bikin dinding es. Apa jangan-jangan, itu cuma permainan pikiran?

“… Gw punya tim, ngapain harus satu lawan satu?” DEG! Ga berharap Rokai yang arogan, songong, dingin, dan menganggap diri sendiri begitu tinggi mengucap kalimat itu. Alecto nyengar-nyengir di sebelahnya. Dia punya tim. Artinya, percaya dengan anggota yang dipilih. Ketegangan akibat berhadapan dengannya bikin lupa satu fakta. Ini bukan pertarungan individu.

Ketenangan yang dimiliki Si Holy Chandra bikin salah kaprah. Sulit untuk mengira-ngira, karena semua jalan pikiran tersimpan di balik kokoh dinding determinasi. Gw pikir, gw kenal dia. Tapi ternyata enggak

“Lake!” Dzofi manggil sembari menghampiri. “Headbandnya!?” Terkejut liat di kepala gw ga ada apa-apa.

“Maap.” Ucap gw. Sialan! Gara-gara lengah dikit aja, usaha tim bisa sia-sia! “Waktu?!” Gw nanya, sedikit membentak. Ga, ga akan gw biarkan percuma!

“30 detik! Cukup untuk cari poin dari tim lain!” Dzofi masih belum putus asa, sesuai dugaan gw. Tapi, dia menyarankan buat incar tim lain, demi kemungkinan berhasil lebih tinggi.

“Ga! Ga ada waktu mengira-ngira tim mana yang pegang poin gede!” Bantah gw mentah-mentah. “Kita harus rebut kembali headband 6 juta.”

“… Lu yakin?”

“Banget.”

“…” Si Armor Rider cuma menatap gw, lalu sudut bibirnya nekuk ke atas. Dia tersenyum, “Oke! Gw selalu di belakang lu, Kapten!” Ya, gw pun punya tim.

Kapan lagi saat yang pas buat pake skill andalan kalo bukan saat genting kaya gini? Biarpun efeknya bikin badan ngilu-ngilu, tapi, mau ga mau.

DEGDEG!

“Accel… Walk…” irama detak jantung yang meningkat, memompa aliran adrenalin begitu cepat. Desiran darah di urat nadi bergerak ga normal, bikin seluruh otot di badan gw menegang dan hasilkan rasa sakit bak ditusuk ribuan jarum dari dalam keluar, “UUUGH!”

Gw liat ke sekeliling, waktu udah berjalan lebih lambat. Gerakan orang-orang di sekitar gw jadi keliatan lucu dan aneh.

Ga buang waktu, gw lari sekencang-kencangnya menuju Rokai yang masih terpaku. Tinggalkan Dzofi yang awalnya bergerak duluan. Alecto ga tinggal diam, dia coba menghadang laju lari gw dengan berdiri di depan target. Kaki gw sontak menendang tanah di pijakan selanjutnya begitu tepat di depan Hidden Soldier berambut Denim, buat berganti arah lari.

DUAASGH!

Hentakan tadi bikin gw berbelok tajam ke kiri, tinggalkan jejak kaki sedalam beberapa senti. Setelah itu belok lagi ke kanan, kembali menuju Rokai. Lewati Alecto dari samping. Kayaknya, Alecto bisa liat pergerakan dan manuver gw, tapi ga sanggup berbuat apa-apa karena gw dalam kecepatan tinggi.

Alecto lewat, sekarang tinggal nebak-nebak diantara 5 headband yang melingkar di leher Rokai, mana yang bernilai 6 juta. Kayanya tadi dia ikat di paling atas dah. Oke, gw ambil yang itu!

Raut wajah Rokai terlihat berubah. Dari yang tenang, sekarang jadi tegang. Rapatkan gigi pas liat gw datang menerjang. Tangan kirinya secara reflek melintang di depan leher. Gw harus meraih headbandnya sebelum tangan itu menghadang total! Tangan kanan gw terjulur sebagai perjuangan di detik-detik terakhir.

Mendadak, masih dalam gerak lambat, dari tangan dominan si Holy Chandra keluar percikan listrik. Dari kecil, lama-lama makin besar. Sampe menjalar di seluruh lengannya, “Pe-petir!?”

Faak! Kenapa harus sekarang!? Selama ini, padahal dia ga pernah sekalipun pake Force badai! Sebelum peraduan terjadi, gw siap-siap menebalkan urat. Benturannya pasti bakal berasa.

“UUUAAAGGHH!” Gw kesetrum begitu tangan kita beradu. Tau ini tindakan bodoh, tapi ga liat ada pilihan lain. Kilatan petir kini menjalar juga di tangan gw. Panas rasanya, sangat menyengat. Sakit! Tapi coba tahan sekuat tenaga. Perban gw sampe kebakar dan terbuka sebagian.

Lagi-lagi ledakan tercipta. Benar-benar dah, kalo berantem dengannya mesti heboh. Sering banget terjadi ledakan elemen. Sesaat sebelum ledakan terjadi, sempat liat Dzofi mendekat juga. Entah apa yang dia rencanakan, gw ga sempat cari tau.

Gw terpental lewati atas kepala Rokai dengan satu headband tergenggam di tangan! Yeaah! Berhasil! Misi merebut kembali headband tim, sukses!

TTREEEEEEEEEEEEENNNN!

Bunyi nyaring langsung terdengar ketika badan gw menabrak tanah. Pertanda waktu abis. Njirr pas banget. Ah shite! Efek nyetrum-nyetrum unyu masih kerasa. Ada beberapa bagian tubuh gw yang kejang-kejang, gak apa-apalah. Yang penting kerasa di tangan ada ikat kepala 6 juta.

Napas yang keluar masuk mulut dan hidung gw sangat ga teratur. Jantung gw masih berdetak lebih cepat. Rasa pegal luar biasa merembet dari betis sampe paha. Padahal cuma bentar doang pake Accel Walk.

Gw berdiri pelan-pelan lalu tengok ke arah Rokai. Holy Chandra itu cuma pegangin tangan kiri dengan tangan yang satunya sambil menatap hampa ke telapak tangan kirinya yang membuka di depan wajah.

“Heyy, gimana!?” Dzofi berlari menghampiri. “Dapat ga?”

Gw tersenyum penuh kemenangan sambil pamer tangan kanan, di mana ada ikat kepala.

“Yeah! Mantap banget lu! Dengan deh.” Ucap si Armor Rider girang.

Ga berapa lama, Ish’Kandel mendekat ke kami sembari memapah Sabilla. Liat itu, Dzofi langsung berseru. “Sabilla!”

“Aku gak apa-apa kok. Cuma capek aja.” Ujar si gadis berambut putih, menenangkan kawannya yang terlihat khawatir. “Wah, kalian hebat. Sukses ambil kembali apa yang jadi milik kita.”

“… Enggak. Kita yang hebat. Kontribusi kalian pun ga ternilai.” Kata gw. Ish’Kandel, Sabilla, dan Dzofi, mereka udah berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi gw, “makasih banyak.”

“Kita adalah anggota yang lu pilih, udah sewajarnya.” Ish’Kandel merespon. “Dan lu udah bilang makasih tadi, jadi secara harfiah, lu udah banyak bilang makasih. Jadi ga perlu pake ‘makasih banyak’. Paham, kan? Makasih banyak karena lu udah banyak bilang makasih.” Lanjutnya sembari nyengir. Kali ini kelakar ga lucunya bikin kita semua ketawa kecil.

“Baiklah! Perhatian para peserta, akan diumumkan ke-4 tim yang akan lolos ke raungan utama!” Seru Conquest Borr di atas panggung. Di layar besar, muncul 4 slot dengan jumlah poin masing-masing. Dan kami berempat kaget banget, liat nama tim yang muncul pertama. “Tim pertama, dengan total poin 6.001.560; Rokai!”

Gak- ga mungkin! Gw langsung buka telapak tangan kanan, dan cek angka yang tertulis di headband di tangan; 125.

DEEEENGGG! Ish’Kandel dan Sabilla terdiam, pun begitu gw. Rasa lega tiba-tiba hilang, berganti lagi jadi panik dan gelisah. Gw salah … ambil!?

Bedebaah! Si kampret itu, dia acak posisi ikat kepala di lehernya ternyata! Faak! Untuk kesekian kalinya, dia selangkah di depan gw. Biarpun berada di urutan pertama, tapi dia ga keliatan senang. Masih aja megangin tangan kiri sambil diliatin. Tapi kali ini dari matanya gw menangkap kegeraman, kemarahan, kesal. Semua itu coba disembunyikan dari lingkungan sekitar.

Kenapa dia? Harusnya kan gw yang kesal.

“Tim kedua, total 1750; Elka!” Oh wow, Elka berada di urutan kedua rupanya. Dia melambai ke arah gw, pamer senyumannya. Aduh! Gw lagi terjepit gini, malah senyam-senyum.

“Tim ketiga, dengan poin mencapai 1025; Hash’Kafil!” Kayanya, Hash’Kafil kalah lawan Elka, keliatan. Dia masih memandang Elka dengan tatapan penuh napsu… napsu bertarung, maksudnya.

“Tim keempat..” Yah, inilah dia. Tim terakhir. Kayanya, bukan tim kami. “Dengan total poin 845..” Yup, fix bukan tim kami. Secara, kita cuma punya dua headband. Masing-masing nilainya 125 dan 185. Kalo ditambah, cuma 310. Nunduk lesu, bila ingat ini akibat kecerobohan gw. Udah bikin perjuangan Ish’Kandel, Dzofi, dan Sabilla sia-sia, “… Lake!”

“Ha-hah!?” Ga salah dengar nih!? Gw, Ish’Kandel, dan Sabilla kaget dengar pengumuman Conquest Borr. Kok bisa!? Gimana mungkin? Apa sistemnya ada kesalahan?

“… Gw percaya, ada kemungkinan lu bakal mengacaukan kesempatan terakhir tadi.” Tukas Dzofi, kasih unjuk tangan kiri. Dia pegang ujung headband yang melayang ke atas, kehilangan gravitasi. Ga berkibar, cuma bergerak perlahan, dengan angka 535. “Berkat kenekatan lu, membuka banyak celah di pertahanan Rokai. Gw jadi bisa ambil satu. Hehehe.” Si Armor Rider nyengir, perlihatkan deretan gigi. Terus lepas ikat kepala itu, kini ikat kepala tersebut mengambang di udara. “Ini bukan pertarungan individu, kan?”

-Beberapa saat sebelum raungan kedua dimulai-

“… Gw yakin, lu akan jadi Decoy terbaik.” Kata gw pada Sabilla, sambil memberi pin berlambang Federasi.

“Siap!” Jawabnya tegas.

“Kalo gitu, gw akan jadi Support terbaik.” Dzofi keliatan ga mau kalah. “Dan kayanya gw ada ide bagus.”

“Apa itu?” Ish’Kandel bertanya.

“Sini…” Ajaknya kumpul lebih dekat biar rencananya ga terdengar luas. “Kita akan mengaburkan presepsi antara Decoy dan Support.” Alis kami bertiga naik, belum menangkap maksud yang pengen disampaikan. “Sabilla, selama pertandingan nanti, bertindaklah seolah kamu Support. Coba pura-pura rebut Headband lawan.”

“Eh!? Emang boleh?”

“Tentu, selama kamu ga menyentuh headband lawan, ga masalah.” Dzofi berkata begitu yakin. “Yang paling susah di permainan ini, ya tentukan Decoy dan Support. Salah presepsi, bisa jadi kelemahan yang menentukan hasil akhir.” Lanjutnya menjelaskan. “Gw akan tetap tenang tunggu kesempatan. Saat itu tiba, kita bisa selangkah di depan mereka.”

“… Oke juga ide lu. Patut dicoba.” Ujar gw, mengakhiri penyusunan rencana kami.

.

.

“Apa gw bilang, Support terbaik!”

Kaki gw lemas, kaya ga ada tenaga. Jantung serasa mau copot. Semua rasa gelisah, tegang, maupun kecemasan, seketika dicabut keluar dari raga. “UWAAAA! DZOFIII!” Gw langsung lompat ke dia dan meluk-meluk unyu, sembari berlinang air mata. Lolos lewat lubang jarum, INI DRAMATIS!

“A- WOYY! STOP, JIJIK!” Dia menghindar, alhasil, gw jadi nyusruk. Ish’Kandel dan Sabilla ketawa liat tingkah kami. “Bagian mana dari ‘jangan meluk-meluk’ yang ga lu pahami?!”

“Saya ucapkan selamat, pada keempat tim, KALIAN TELAH MENUNJUKKAN APA ARTI SEMANGAT JUANG!” Teriak Conquest Borr, sangat membara.

Kata-kata dari Conquest Borr bagai obat penghilang lelah. Apalagi bagi tim gw, yang udah mikir ga bakal lolos. Gw berdiri dan menghampiri tim, angkat tangan, ajak tosan di atas kepala. Mereka bertiga paham maksud dari gestur gw. Langsung ikut angkat tangan juga, sehingga keempat telapak tangan kami bertemu di udara diiringi nyaring suara. “YAAAAAAAAHHHHHHH!” Teriak kami meluapkan emosi.

Bahkan Sabilla yang tadinya dipapah juga ikut larut. Lupa sama capek di seluruh badan, ga pedulikan masalah urutan.

“Ahhh, Kuya! Hoki banget sih lu, masih bisa lolos!” Kata Alecto, jalan ke arah kami. Elka ada di belakangnya. Sialan ni anak, berharap gw terjungkal ternyata.

“Heyy!” Pas baru pengen bilang, ’emang itu hoki’, mendadak Dzofi nyela. “Itu bukan hoki, itu disebut kerjasama.”

Dengar kata-kata itu, Elka tepuk tangan pelan, “Hmm, kata-kata yang bagus.”

“A-ah.. Elka..” Terdengar suara lembut Sabilla memanggil.

“Mm?” Yang dipanggil cuma jawab dengan gumaman.

“Kamu… kuat banget. Teknikmu juga… luar biasa.” Puji Sabilla, sambil tersipu-sipu. Tapi memancarkan kekaguman dari mata biru.

Elka sedikit tercengang dengar pujian itu. Tentu dia udah sering dapat pujian, tapi kayanya yang satu ini, ga disangka. Dia melempar senyum untuk Sabilla, lalu berkata. “Kamu juga hebat kok. Tinggal harus yakin aja dengan kemampuan yang kamu punya.”

Bola mata gadis berambut putih melebar, kulit wajahnya yang bening pun agak memerah di sekitar pipi. “Kapan-kapan, kuharap bisa sparing lagi lawan kamu.” Dia menjulurkan tangan, ajak salaman.

“Boleh. Kapan aja akan kuladeni.” Jawab Elka kalem, dan menyambut uluran tangan itu.

“Uhh, bro.. Sist, tinggal dulu ya. Mau cek sodari gw. Makasih, kamerad! Pertandingan yang seru!” Ujar Ish’Kandel sambi lari menghampiri Hash’Kafil.

“Harusnya gw yang bilang makasih!” Seru gw padanya yang udah menjauh. Makasih atas jasa menghadang lawan, Ish.

“Bayd-zo-fi… Hard-ji…” Suara perempuan menyeramkan, sebut nama si Armor Rider. “Kuharap kamu ga lupa… urusan kita belum… kelarrrr…” Royal Ulfa terlihat geram, mata menyala, urat-urat nongol semua, asap hasil pernapasan keluar dari mulut dan idungnya. “Tiada tempat bagimu untuk larrrrii… sepupu sinting…”

“WAAKH! Mampus gw.” Kami ketawa liat dia dikejar-kejar Royal Ulfa. Ada sedikit rasa kasian sih, tapi mau bantu, seram juga liat sepupu ngamuk gitu.

“Makasih ya perawatan berlebihannya,” kata gw pada gadis berambut coklat pendek. “Berkat ini, gw bisa menepis mantra Rokai.” Gw angkat tangan, perban yang dibalut Elka kini sebagian udah kebuka lagi. Menjuntai ke tanah dengan noda hangus di sana-sini, “jangan-jangan, ini ya ‘pencegahan’ yang lu maksud?” Tanya gw memastikan, curiga apa ini anak bisa liat masa depan?

Dia cuma angkat bahu, “Siapa yang tau?” Dasar, anak ini. Selalu tau apa yang gw butuhkan. Selalu bantu gw biarpun hanya dari hal kecil yang dilakukannya. Dia tau, gw akan berhadapan langsung dengan Rokai. Dia tau, Rokai sering pake Force api juga. “… Dia percaya ya, sama lu.” Ucapnya, tatap mata ga lepas dari Armor Rider yang dichokeslam sepupu galak.

“Begitulah…” Jawab gw. “… Lu tau? Dia ga cuma percaya pada apa yang bisa gw lakukan, tapi juga percaya pada kelemahan gw.” Bibir gw menyungging senyum, kalo ingat kesempatan terakhir tadi. “Dia percaya, terhadap kemungkinan gw ceroboh dan mengacaukan kesempatan yang kami punya.”

“Enak kan, kalo ada seorang yang percaya diri lu apa adanya?”

“… Ya. Bebas dari rasa khawatir.” Gw jawab pertanyaan itu dengan singkat. Baydzofi Hardji … padahal belum ada 2 minggu kenal, tapi dia bisa memahami plus minus yang gw punya. Salut.

“Kepada para peserta diharap berkumpul. Karena akan diumumkan susunan pertandingan Raungan Utama; Duel Sekali Jatuh!” Pengumuman dari Conquest Borr, kembali mengalihkan perhatian kami. “YAAK! Inilah dia bagan pertandingan!” Terpampang lah bagan dengan 16 slot di layar besar, dengan masing-masing nama kami dipasangkan. Yang artinya; bakal saling menjatuhkan satu lawan satu.

Bagannya terbagi dua blok, ada nama gw di duel pertama. Ahh, shite! Gw selalu malas kalo harus jadi acara pembuka. Bikin grogi. Kira-kira, begini susunan bagannya;

Blok 1

Lake v Lace.

Hash’Kafil v Rugaray.

Elka v Sabilla.

Ish’Kandel v Ulfa.

Blok 2

Thisack v Meinhalom.

Oritzi v Hevoy.

Dzofi v Rect.

Rokai v Alecto.

Liat bagan pertandingan ini, bikin gw bertanya-tanya, ke Elka maupun Alecto. “Lace itu yang mana dah? Kok namanya mirip-mirip gw sih?”

Elka gelengkan kepala, pertanda ga tau.

“Uh.. kalo ga salah..” Raut wajah Alecto berubah, raut wajah pikirkan sesuatu begitu serius. Kalo si Kuya ini udah kasih ekspresi itu, bisa berarti satu hal; ga bagus.

“It was not luck, it was called teamwork!” – Baydzofi (Ch. 28)


CHAPTER 28 END.

Next Chapter > Read Chapter 29:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-29/

Previous Chapter > Read Chapter 27:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-27/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *