JOURNEY FOR IDENTITY CHAPTER 21 – INVOLUNTARY TO CERTAINLY

Journey For Identity
Penulis: Bid’ah Slayer
19 July 133 NE,
Bellato Central Town.
Tampak seorang lelaki tengah berdiri dengan berselimutkan cahaya pagi matahari Niger. Dari gesturnya, nampak orang itu tengah menunggu seseorang, bisa dilihat demikian karena ia sudah beberapa kali menengok kearah chronometer yang berada di tangan kanannya.
“Huh, lagi-lagi ngaret…” ujarnya bermonolog setelah kesekian kalinya melihat kearah penunjuk waktu.
Rambut berwarna coklat caramel yang sudah tersisir rapih, demikian pula dengan stel pakaian yang sekarang ia kenakan. Menandakan bahwa aktivitas yang ia akan lalui adalah benar-benar penting.
Niger makin lama makin menaikkan suhunya, setetes dua tetes keringat mulai membasahi dahi dan pipi Bellatean tersebut. Iapun memilih untuk berteduh dibawah naungan pohon yang jaraknya tak jauh. Melupakan manfaat sinar pagi matahari yang menyehatkan, dan pergi menghindarinya sebelum sinar itu menghancurkan penampilan yang sudah susah payah ia buat.
Iapun duduk, sambil mendongakkan kepalanya menyaksikan titik-titik sinar yang menembus sela-sela dedaunan.
Heh… gak kerasa udah tiga bulan… dan gue baru bisa melakukannya saat ini, itupun minta ditemenin sama si ‘jam karet’…
Hahaha…
Kampret emang…
Iapun menghembuskan nafas seakan melupakan problematika yang sedang ia hadapi ; menunggu sahabatnya, Dzofi.
“Hmph… kurang lebih empat bulan yang lalu, awal dari sebab gue ngelakuin ini…”
.
.
.
/
*Maret, empat bulan yang lalu*
“Ah, maap mbak, saya nyari buku tentang teori pembentukan force listrik, ada di bagian mana ya? Saya tadi udah nyari tapi gak ketemu.” Ujar Ryan pada pustakawati yang sedang bertugas. Wanita yang ia ajak bicarapun segera membuat posisi tubuhnya lebih dekat dengan computer yang ada di depannya, lalu ia bicara sambil mengetik sesuatu…
“Tadi anda nyarinya dimana ya mas?”
“Dibagian sihir, blok A untuk angin, tapi di list blok sana gak ada…” jawab Ryan menjabarkan kronologi permasalahan.
“Ohh… pembahasan tentang sihir perwujudan listrik emang terlalu luas mas, makanya kita katagoriin secara terpisah. Coba mas cari di blok L, di sana lengkap.” Jawab pustakawati.
“Begitu ya, oke mbak, makasih ya.”
Setelah berterima kasih, Ryan langsung menuju blok yang dituju dengan langkah kaki yang dipecepat.
“L… l.. l.. ah! Listrik, itu dia! Listrik!” ujarnya ketika berhasil menemukan apa yang ia cari.
Buku bersampul hitam, berada di rak ketiga dari atas, dan paling dalam untuk diambil dari posisinya, iapun membungkukkan badannya untuk meraih buku itu.
!
Ia sontak mengurungkan niatnya untuk mengambil buku itu begitu menyadari buku yang tengah ia ambil Seperti ditarik dari sisi yang berlawanan.
Iapun memandangi buku itu sejenak, Buku itu masih di sana, tak bergerak.
Ah, pasti cuma nyangkut
Batin Ryan kembali mengambil buku itu.
Lagi, buku itu susah sekali untuk diambil saat ia berusaha menariknya. Iapun berusaha lebih keras
“Ughh…” erangnya, nampak di tangannya muncul urat yang menonjol akibat kengototannya.
Ini kenapa sih? bisa bisa gue ngerusak nih buku dan suruh ganti
Iapun langsung menyudahi tarikan itu. Tidak seperti sebelumnya, kali ini buku itu bergerak semakin kedalam setelah Ryan melepaskan buku itu. Tak berapa lama ia mendengar suara
“Makasih ya mas.”
“Ugh.. iya, sama-sama.”
Ryan masih belum menyadari sepenuhnya apa yang sedari tadi terjadi, iapun menatap lurus kearah rak buku yang kini menghubungkan ia dengan lorong yang berbeda.
“Eh?!”
Ujarnya saat mendapati seorang wanita juga tengah menatap kearahnya melalui sela rak buku yang kosong itu.
Seorang wanita dengan sepasang mata berwarna ungu, demikian pula rambutnya.
Tak berapa lama setelah kedua insan itu saling bertatapan, mereka menyudahinya secara bersamaan.
Kayanya… tuh cewe pernah ketemu deh… tapi dimana ya?…
Belum sempat ia menyadari, wanita yang coba ia ingat dalam tumpukan memorinya muncul menghampirinya, bersama dengan buku yang ia incar.
“Kita pernah ketemu ‘kan sebelumnya?” ujar gadis berambut ungu panjang, panjangnya melebihi punggungnya.
“A-ah.. iya kayanya, tapi saya lupa..” jawab Ryan.
“Kalau begitu…”
Gadis di hadapan Ryan pun menjulurkan tangannya
“Nama ku Hagia, Hagia Henrietta. Salam kenal.” Sambungnya diikuti senyuman sejuk.
“Sa-saya Ryan Adani. Senang bisa berkenalan dengan anda…” jawab Ryan kaku.
“Haha… kamu gak berubah ya..” ujar gadis bernama Hagia dengan tawa geli.
“Eh?” Ryan bingung saat mendapati Hagia berkata ia tak berubah, kata itu biasanya diucapkan untuk orang yang sudah lama saling kenal, namun baru juga berjumpa, Hagia malah berkata seperti itu.
“Apa maksudnya? Saya gak berubah?”
“Pertama kali kita ketemu, kita saling tabrakan tau, aku bilang ke kamu kalau kamu akan lebih terlihat segar kalo kamu lepas kacamata. Kamu malah jawab ‘Sama-sama’. Haha… kaku banget.”
“A-aku jawab begitu?… oh iya, kita ketemu pas tabrakan.” Tanggap Ryan baru menyadari momen pertama mereka bertemu. Iapun menggaruk kepalanya.
“Umm… kamu cari buku ini ‘kan? Gimana kalau kita baca bareng?” tawar Hagia pada lelaki berkacamata. Ryan terdiam. Bukan berfikir akan menerima atau tidak, namun lebih pada tak percaya ada seorang gadis menawarinya duduk satu bangku.
Adalah suatu tawaran yang hampir ia tak pernah dapatkan dalam menjalani perannya sebagai seorang introvert, kecuali saat ini.
Ia hanya dekat pada orang-orang tertentu, dan berinteraksi dengan lawan jenis… hanya sekedar keperluan mendesak (bertemu dengan guru, atau murid sesama akademi).
“Umm.. Ryan. Kamu mau gak?” ujar Hagia membuat Ryan tersadar.
“Te-tentu, dengan senang hati…” jawab Ryan, Hagia pun kembali tertawa mendengar jawabnya.
.
“Ngomong-ngomong, kamu belajar ini buat apa? Kamu kayanya bukan spiritualist.” Ucap Hagia membuka percakapan.
“Ya kamu bener, aku seorang specialist. Dan aku belajar ini karena tuntutan seorang specialist yang harus bisa menguasai berbagai jenis persenjataan dan medan. Walaupun.. opsi force adalah gak wajib. Tapi gak ada ilmu yang gak berguna ‘kan?” jelas Ryan pada lawan bicaranya. “Kamu sendiri spiritualist?” kali ini giliran Ryan yang bertanya
“Semacam itu…”
“Semacam itu?” ujar Ryan heran.
“Aku emang menekuni force, tapi aku gak kaya kamu..”
“Hemm?” Ryan masih heran, apa maksudnya dengan tak seperti dirinya.
“Aku sipil, bukan anggota militer…”
Suasana menjadi seperti seharusnya, sepi. dibenak Ryan timbul jawaban, itu karena warga penduduk Novus non militer wajib menjalani/melaksanakan system pertahanan diri untuk mempertahankan dirinya. Penguasaan bidang tidak dipaksakan, dan yang Hagia pilih adalah pendalaman sihir.
Namun timbul pertanyaan, ‘Kenapa ia tak masuk militer?’
Yah, mungkin karena ia memiliki perkerjaan atau membantu orang tuanya. Jawab Ryan dalam benak.
Merekapun kembali melanjutkan membaca buku, tanpa mengungkit pembicaraan sebelumnya.
.
“Umm… dah jam 12, aku udah harus pulang. Kamu ya yang pegang bukunya…” seru Hagia sembari mendorong buku tersebut kesisi Ryan.
“Eh, gak usah, aku udah faham bagian yang aku pengen tau kok. Kamu aja yang pinjem bukunya.” Jawab Ryan kembali mendorong buku kesisi Hagia.
“Ohh begitu, umm.. gimana kalau besok kita ketemuan lagi. Kita selesain buku ini sama-sama. Setuju?” tawar gadis bermata violet pada lelaki bermata tinta.
Ryan pun mengangguk.
“Oke kalau begitu, aku tunggu di sini diwaktu yang sama, sampai jumpa..”
Hagia pun melangkah pergi, keluar dari perpustakaan.
Di sisi lain, tanpa Ryan sadari, rona mukanya memerah, dadanya berdebar lebih dari biasanya, dan perasaannya seperti…
“A-ada apa ini?… kenapa gue…
Jadi seneng begini?”
.
Keeokan harinya, Ryan kembali ke perpustakaan, menuju tempat yang sama seperti sebelumnya. Dan di sana sudah menanti seorang gadis yang sebaya dengannya.
“Ryan… sini…” panggil gadis berambut ungu menyebut namanya sambil melambaikan tangan, suaranya cukup keras untuk ukuran seseorang yang bicara dalam perpustakaan, sehingga setelah ia memanggil Ryan, ia mendapat timpalan “Shhtt!” dari berbagai pihak, termasuk penjaga perpustakaan.
“Kamu, dah tau perpus, jangan berisik begitu dong…” ujar Ryan saat mendekat.
“Hehe.. maaf..” balas Hagia dengan suara layaknya berbisik.
Hagia pun memandangi penampilan Ryan yang berubah. Merasa terlalu diperhatikan, dan juga dari jarak yang cukup dekat, Ryan merasa ‘risih’
“Ke-kenapa? Gak cocok ya? Aneh?” ucap Ryan tak percaya diri.
Hagia menggeleng, lalu berkata
“Enggak kok, seperti kataku tempo hari, kamu kelihatan seger lepas kacamata begitu. Softlens mu cocok…”
Mendengar jawaban dari Hagia, seakan tanpa Ryan kehendaki, bibirnya menekuk keatas, ia tersenyum kecil.
.
“Gimana? udah faham belum?” tanya Ryan pada Hagia. Walau pilihan Hagia adalah pendalaman sihir, namun mempelajari sihir elemen angin perubahan listrik adalah yang tersulit, tidak seperti api atau air yang lebih fleksibel dalam perubahan wujudnya.
“Uhh… baca dari buku ini… kenapa agak susah visualisasiinnya yah…, gak kebayang…” respon Hagia dengan nada murung, ia menyandarkan kepalanya pada dua tangan yang menopang pipinya. Melihat prilaku Hagia yang satu ini, Ryan tertawa kecil.
“Kenapa? Kenapa ketawa?” ujar Hagia dengan nada yang masih bête.
“Hehe.. gak, enggak apa-apa. Umm… gimana kalau kita praktikin apa yang ada di buku? Aku emang gak terlalu mahir, tapi aku kenal orang yang jago… mau?”
Mendapat tawaran dari Ryan, seketika Hagia bangkit dari posisi murungnya dan berkata
“MAU!”
“Shhtt!” timpal kembali orang-orang dengan tatapan tajam kearah mereka berdua. Ryan dan Hagia hanya bisa tersenyum paksa dan berbisik maaf pada mereka.
.
Mereka berduapun berjalan kearah taman, di sana Ryan dan Hagia akan bertemu dengan seseorang yang akan mengajari mereka bagaimana cara membentuk sihir listrik.
“Umm.. Hagia, kamu liatin apaan?” tanya Ryan melihat Hagia yang melempar pandangannya kesana kemari.
“Cuma ngeliatin sepenjang jalan ke taman ini, udah lama aku gak ke taman…” jawab Hagia melempar pandangannya pada Ryan.
“Ohh… kamu pasti sibuk ya.”
“Iya, soalnya aku tinggal di panti, gak terlalu banyak waktu luang selain ke perpus…”
Mendengar jawaban yang terlontar dari gadis di sebelahnya, fikiran Ryan tertegun…
Dia…
Yatim piatu…
“Umm.. Hagia, kamu…”
“Iya, aku yatim piatu..” timpal Hagia memotong pertanyaan Ryan.
Mendengar langsung jawaban yang sudah ia kira dari sumbernya, membuat Ryan menyesal mengungkit hal yang kelam bagi gadis disampingnya. Iapun meminta maaf, “Maaf ya Hagia, aku gak bermaksud ngungkit… hal itu.”
Yang diajak bicara tidak langsung merespon, sedikit membuat Ryan merasa makin bersalah.
“Hagia?”
“Sudah, gak usah difikirkan, aku gak keberatan kok.” Balas Hagia memberi tanggapan sambil tetap memperhatikan sekitar. Namun Ryan justru makin khawatir, ia merasa jawaban yang diberikan padanya hanya untuk menutupi apa yang sebenarnya Hagia rasakan.
“Hagia!” seru sekali lagi menyebut namanya, yang dipanggil kini melemparkan perhatiannya pada lelaki disebelahnya, setelah sedari tadi bicara tanpa menatap lawan bicara.
“A-aku juga kehilangan ibuku, dia pergi karena sakit, dan aku gak bisa berbuat apa-apa saat itu, jadi, aku pengen kamu gak merasa sendiri. Di sini juga ada orang yang mengalami penderitaan yang sama…” sambung Ryan menyelesaikan kalimatnya. Setelah itu, Hagia dan Ryan berdiri berhadapan, Hagia tak menimpali dengan perkataan lainnya setelah Ryan bicara seperti itu.
Beberapa detik kemudian, Ryan tersadar…
Ke-kenapa tau-tau gue ngomong kaya gitu sama dia?
Ia masih melihat gadis dihadapannya menatap kearahnya. Membuat Ryan tak tau harus berbuat apa.
Kemudian, sepatah kata membuyarkan pikirannya…
“.. Siapa?” tanya Hagia singkat.
“Te-tentu aja aku, siapa lagi yang ada di sini selain aku..” jawab Ryan sedikit ragu.
“Yang nanya… hehehe…” sambung Hagia dengan tertawa geli, iapun berjalan mendahului Ryan.
. . .
Ryan masih belum bisa mengolah apa yang sebenarnya Hagia sampaikan, dia bingung. Seperti ada gagak yang berkoak di sore hari di dalam kepalanya…
Kemudian ia sadar, dia dipermainkan. Rasa malupun timbul, muka memerah karena apa yang ia ucapkan sebelumnya sebenarnya betul-betul serius, namun malah dikerjai.
“Hei! Gak sopan! Aku serius itu! Hei! Hagia.” seru Ryan pada gadis yang jaraknya sudah cukup jauh di depannya, iapun berlari menyusul gadis bersurai lavender sambil terus memanggil namanya.
.
“Di sinikan janjian ketemuannya?” tanya Hagia pada Ryan, Ryan pun mengangguk.
Ryan memandangi tiap saung yang berada di taman dan memperhatikan orang yang berada di dalamnya. Iapun tertuju pada seorang lelaki bersurai biru navy yang sedang asik membaca buku di genggaman tangan.
“Itu dia.” Seru Ryan sambil berjalan mendekati orang tersebut.
“Hei Setsu, udah lama nungguin?” tanya Ryan pada lelaki bernama Kasetsu. Kasetsu melempar pandangannya dari buku yang ia baca ke Ryan, lalu menjawab
“Gak terlalu…”
“Oh bagus deh, kenalin, ini Hagia, dia yang pengen belajar ngolah sihir wujud listrik.” Seru Ryan sambil tangannya mengarah ke Hagia, memperkenalkan dirinya.
Hagia pun tersenyum, kemudian ia menggerakkan tangannya bermaksud mengajak berjabat.
Lain dengan Kasetsu, ia justru tampak mengemas barang yang ia bawa, lalu berjalan menjauh, meninggalkan Ryan dan Hagia.
“Eh? Lu mau kemana?” ujar Ryan mencegah Kasetsu pergi dengan menahan kerah bajunya dari belakang.
“Ekhh! Lepasin-lepasin…ekh!” ronta Kasetsu, namun apa boleh buat, Ryan lebih tinggi dari Setsu sehingga Setsu sulit untuk melepaskan genggaman Ryan.
Ryan pun melepaskan Setsu saat dirasa Setsu sudah bisa diajak bicara.
“Lu kenapa malah ngindar begitu kita dateng? Bukannya elu nungguin kita dari tadi?” tanya Ryan, namun yang terdengar dari Setsu adalah suara terengah-engahnya.
“Jawab Aqblerry!” ujar Ryan sedikit keras, sontak membuat Setsu dan Hagia sedikit kaget, Setsupun berhenti mengelus-elus lehernya.
“Umm… i-itu karena..”
“Karena?” Ryan mengikuti perkataan Setsu yang terhenti…
“Dia.” Sambung Setsu menunjuk Hagia.
“Aku?”
“Dia?”
Ryan dan Hagia saling tatap, terpancar keheranan dari mata mereka, lalu mereka berdua kembali menatap Setsu.
“Kenapa dengan Hagia? Sampai-sampai lu gak jadi ngajarin kita? Lu ada masalah sama dia?” tanya Ryan seakan mengintrogasi Bellatean berambut biru navy tersebut.
“Ma-masalah… itu karena-di-dia…”
“Dia perempuan”
Ryan dan Hagia sekali lagi dibuat saling menatap, Ryan tidak percaya apa yang barusan ia dengar sampai-sampai ia memasukkan jari kelingking ke telinganya, memastikan tidak ada benda yang membuat ia salah dengar.
“Umm? Perempuan?” ujar Ryan mengulang, Setsupun mengangguk tak bersuara.
“Ugh… bukannya emak lu juga perempuan? Terus kenapa lu mesti masalahin Hagia cuma karena dia perempuan?” ucap Ryan sambil ber-facepalm
“i-itu beda! Itu karena gue… gynophobia…” timpal Setsu diakhiri dengan berbisik pada Ryan.
“Lu takut sama perempua-“
“Shhtt!” potong Setsu dengan menggerakkan jari telunjuknya ke depan bibir Ryan.
Ryan pun memutuskan untuk duduk disebelah Hagia yang sudah lebih dulu duduk. Ia berpikir, bagaimana bisa ia menjumpai makhluk yang jelas-jelas akan menikahi lawan jenis dan ia takut akan itu. pasti Setsu akan lari saat menghadapi wanita-wanita Corite.
Ia palingkan pandangannya pada Setsu yang ia suruh duduk disebelah kanannya, kemudian ia berpaling kesebelah kiri, menatap Hagia. Lalu kembali ber-facepalm sambil berfikir
Bakalan berat nih… huft…
“Denger Setsu, gue jamin gynophobia lu itu pasti belum parah, mudah-mudahan masih ada ditingkat rendah. Kalau bisa gue tebak, apa yang lurasain saat ini cuma baru sekedar malu, gak pede, deg-degan dan gak nyaman, apa gue bener?”
Yang diajak bicarapun hanya mengangguk.
“Nah, semua penyakit ada obatnya, dan cara lu menghilangkan gynophobia adalah dengan membiasakan diri.”
“Tapi gue gak bisa!” timpal langsung Kasetsu pada Ryan.
“Dicoba dulu, kita gak tau kalo lu gak nyoba. Jadi gimana? lu mau ngajarin gue dan Hagia sebagai media pembiasaan diri lu?” tawar Ryan. Butuh waktu beberapa detik sampai Kasetsu menetapkan pilihannya, ia setuju. Namun dengan syarat, Hagia jangan menatap matanya secara langsung.
Latihanpun dimulai, masing-masing mempersiapkan tongkat untuk perantara tenaga force, kemudian Kasetsu berkata.
“Be-begini, gue yakin kalian dah pada tau teori pembentukan listrik gimana, tapi dikendala praktiknya adalah, gimana kalian bisa menciptakan dua sifat udara yang berbeda dalam satu lingkungan sesuai teori ; udara panas dan dingin?”
Ryan dan Hagia pun menyimak dengan seksama, Ryan di depan Kasetsu, sedangkan Hagia di belakangnya.
“Caranya mudah, kuncinya ada di dalam diri kita sendiri”
“Diri sendiri?” ujar Ryan dan Hagia bersamaan.
“Iya, kalau berada dalam suasana yang udaranya cenderung panas, kau tinggal menghembuskan nafas ‘fuuu…’ lalu kendalikan laju udara yang berasal dari mulut menuju udara hangat yang sebelumnya kau kumpulkan di ujung tongkat, buat mereka bergesek… dan terciptalah ‘Energy ball’.” Jelas Kasetsu sembari mempraktikannya. Kini nampak bola energy listrik di ujung tongkat yang Kasetsu genggam.
“Nah, sekarang kalian cobalah. Ini cara mudahnya. Bila dalam suasana dingin, tinggal lakukan tiupan ‘Haahh..’ untuk membuat udara hangatnya…”
Ryan dan Hagia pun berkonsentrasi pada tongkat yang mereka genggam, ‘fuuu…’
Kemudian tangan mereka bergerak seperti membuat bola udara diatas tongkat…
Bzzz… btzzz… btzztz…
“Aha, gue bisa!” seru Ryan bangga, Setsupun mendekat untuk melihat hasil kerja Ryan. “Gue bisa kan?”
“Bagus, energynya tercipta membentuk bola, sekarang lepaskan.” Ujar Kasetsu, Ryan pun mengayunkan tongkat yang ia genggam, dan bola energy yang tercipta lepas melaju ke depan sampai akhirnya menabrak pohon dan menimbulkan ledakan listrik pada kulit pohon.
Ryan pun tertawa senang karena dapat menguasai teknik listrik dengan cepat, ia kemudian melihat kearah Hagia.
“Ughh… gagal lagi, coba sekali lagi… ‘fuuuu…’.”
Hagia kembali menyoba, namun yang dapat Ryan amati adalah, saat Hagia mencoba mengumpulkan udara yang berbeda sifat, udara itu langsung membentuk kilatan listrik dan pecah, tanpa bisa membentuk bola.
“Ayo sekali lagi Hagia, jangan nyerah…” ujar Ryan dari sisi berbeda, Hagia pun memalingkan wajah pada sumber suara, tersenyum, kemudian kembali fokus pada tongkat sihirnya.
“Setsu, kira-kira apa penyebab gagalnya praktik ini?” tanya Ryan pada kasetsu yang berada di sebelahnya.
“Umm… mungkin komposisi udara panas dan dingin yang gak seimbang…”
“Komposisi, oke…” Ryan pun langsung berjalan menghampiri Hagia, meninggalkan Kasetsu yang belum selesai menjelaskan.
“Oiii! Gue belum selesai, fikiran dan emosi juga ngaruhh…” seru Kasetsu melanjutkan.
Didekatinya Hagia yang masih belum berhasil membuat energy ball, lalu memberitau apa yang kurang dari proses yang Hagia jalani.
Hagia pun mencobanya sekali lagi
‘fuuu…’
Ia gerakkan tangannya membentuk gesekan udara…
Namun lagi-lagi gagal, energy itu langsung pecah…
“Mungkin komposisi udara dinginnya masih kurang, umm.. gimana kalau aku bantu?” tawar Ryan sambil memandangi serius kearah ujung tongkat sihir yang Hagia genggam.
“Bantu?”
Ryan pun menurunkan pandangannya, menatap wajah polos yang bertanya-tanya menatap wajahnya.
“E-ehh.. maksudku-“
“Boleh.” Potong Hagia menghentikan suara keraguan dari lisan milik Ryan.
Ryan pun sedikit ragu, namun tidak akan tau kalau tidak dicoba.
‘fuuu…’
Ryan dan Hagia bersama-sama meniup udara pada tongkat yang diletakkan di hadapan mereka. Di tengah meniup, Ryan mencoba melirik ke bawah, menatap wajah Hagia yang tengah serius meniup. Entah mengapa, Hagia yang sedang serius-seriusnya serasa ada yang memperhatikan, iapun menggerakkan mata violetnya melirik pada orang di sebelahnya.
Mata merekapun saling bertatapan, sebelum akhirnya mereka langsung kembali melempar pandangan mereka ke depan.
Bzztt… Bzzztttt… Btzzztzzzz….
Untuk pertama kalinya, Hagia berhasil membentuk energy ball, bentuknya lebih besar dibanding yang diperagakan Ryan maupun Kasetsu sebelumnya, membuat mereka menatap tak percaya.
“Sekarang lepaskan!” seru Kasetsu, Hagia pun mengayunkan tongkatnya, namun bukan ke depan, melainkan ke atas. Bola energy yang besar membuat pengunjung taman yang lain tersita perhatiannya. Bola energy itu terus meluncur ke atas, sampai batas waktunya dan…
BAAATTZZZZZ…
Bola energy itu meledak, melepaskan energy yang sebelumnya terkonsentrasi. Dampak ledakannya membuat orang-orang diluar taman mendongak ke atas, memperhatikan langit yang sekejap berubah warnanya sedikit keabu-abuan dan perlahan berangsur normal, kembali menjadi biru cerah. Dedaunanpun berguguran akibat gelombang ledakan yang ditimbulkan…
Ryan dan yang lainnya menyudahi posisi berjongkok dengan tangan di atas kepala mereka, Ryan kini yakin, Hagia benar-benar seorang spiritualis yang handal.
*Pip-pip…
Bunyi chronometer menunjukkan pergantian waktu tiap satu jam, dan sekarang pukul 12 tepat, seseorang harus segera kembali.
“Umm… Hagia, sekarang waktunya kamu pulang kan?” ujar Ryan mengingatkan, Hagia mengangguk, kemudian ia berjalan kearah Kasetsu.
“Kasetsu, terimakasih ya… atas semuanya.” Ujarnya diikuti senyum manis, Kasetsu yang sedang tak waspada tak bisa menghindar lebih awal, namun saat ia memutuskan untuk lari, dari belakang Ryan memegang kedua bahunya. Memaksanya untuk menghadapi apa yang ia harus hadapi.
“Mau sampai kapan lu menghindar terus, ini langkah pertama lu Setsu. Ujar Ryan masih tetap memegang kedua bahu lelaki berambut biru navy.
Hagia pun menjulurkan tangannya, dan Ryan memaksa Kasetsu untuk meraih tangan Hagia, berjabat tangan.
“Nama ku Hagia Henrietta, salam kenal Kasetsu.”
“Na-nama ku, Kasetsu A-aqblerry…” sahutnya dengan tangan gemetaran, kemudian segera melepaskan genggamannya.
“Haha.. gitu dong, lu harus biasain. Emang lu mau nikah sama laki?” timpal Ryan setelah kedua teman dihadapannya telah berkenalan secara resmi.
Hagia pun pamit untuk pulang lebih dulu, sebelum Ryan juga pergi, ia berkata pada Kasetsu
“Lu gak phobia, lu cuma Shy-trovert. Gak jauh beda sama gue yang menjurus ke sinis. Banyaklah berteman, lu bakal berubah karena mereka… itu.”
Setelah mengatakan apa yang perlu untuk dikatakan pada Kasetsu, Ryan pergi, berjalan menyusul Hagia.
.
Kemudian, Ryan bertanya pada Hagia apakah esok hari mereka akan kembali bertemu. Hagia pun menoleh, kemudian menjawab dengan senyum
“Tentu saja…”
/
.
.
.
“Ryan… Ryan!” seru seseorang memanggil namanya, Ryan pun tersadar, ia ternyata telah bernostalgia sampai tertidur, kini ia menyingkirkan sehelai daun yang gugur tepat menutup wajahnya.
Sorotan matahari pukul sembilan membuat kedua matanya harus menyesuaikan kondisi, kemudian, ia dapati sosok lelaki bersurai hitam tengah berdiri dihadapannya.
“Lu ngapa tidur di sini? Jadi gak?” suara lelaki itu kembali bicara padanya. Tidak langsung menjawab, Ryan mencoba mencari sesuatu di tanah, kemudian ia mendapati sebuah ranting dengan panjang sehasta, ia ambil ranting itu, kemudian ia…
Bletak!
“Adowww!…” mengadu ranting itu dengan kepala Dzofi. Dzofi tampak kesakitan mendapat serangan tak terduga.
“Lu kok… kenapa mukul… aduuhh…” rintih Dzofi masih mengelus-elus letak dipukulnya ranting itu.
“Itu satu pukulan karena gue harus nunggu elu satu jam. Faham!” jelas Ryan, kemudian ia bangkit dari posisinya dan membersihkan tubuhnya.
“Lu jadi ajak dia?” sambung Ryan bertanya pada rekannya yang tengah kesakitan.
“Jadi. Dan gak akan gue lakukan kalau seandainya lu bukan temen gue…” jawab Dzofi.
.
.
.
/
Seminggu yang lalu…
“Eh? ‘Cara memperkuat hubungan baru’ ?” seru Dzofi membaca judul buku yang tengah Ryan baca dengan jelas. “Lu masih waras kan? Tumben lu mbaca buku macem itu…” ledek Dzofi sambil menempelkan telapak tangannya pada dahi Ryan.
“Hush, pergi lu kalo gak bisa beri solusi.” Ujar Ryan ketus sambil mengusir tangan Dzofi dari kepalanya.
“Oh, iya-ya, gue masih gak percaya orang kaya lu bisa punya pacar. Jadi gimana hubungan lu? Udah mulai gak berasa?” timpal Dzofi kembali meledek, namun kini tak sepatah katapun keluar dari lisan sahabatnya itu. Sepertinya tebakan Dzofi benar.
Huhh…
“Fi, tolong bantu gue…”
Ujar Ryan setelah sekian lama diam tak bergeming, mandapat permintaan tolong dari sahabatnya, Dzofi jadi bingung.. itu karena dia sendiri tak tau mesti membantu apa mengenai masalah percintaan yang dia sendiri belum pernah berpacaran.
“Gu-gue?” ujar Dzofi sambil menunjuk dirinya sendiri tak percaya, “Bisa bantu apa gue?”
“Tolong cari solusi, gue gak tau mesti nanya ini kesiapa lagi, Adan? Dia pasti jauh gak percaya melebihi elu kalo gue dah punya pacar.. pliss…”
Mendapati ekspresi jarang dari Ryan yang langka ini, Dzofi sedikit kaget, biasanya Ryan adalah orang yang jarang membuka kata kecuali itu sangat perlu. Dan kini ia nampak frustasi akan keadaannya, juga hubungannya denga seseorang di sana…
“Umm.. oke-oke, lu gak usah berekspresi kaya gitu, gue gak biasa ngeliatnya… biasain dulu tuh muka…” pinta Dzofi terlebih dahulu, dirasa keadaan sudah konduksif, ia meminta Ryan menjelaskan masalahnya.
“Jadi begini, seperti tempo hari yang udah gue bilang ke elu, kalau gue udah pacaran sekitar tiga bulan, tapi apa lu inget, gue pernah bilang ke elu kalau gue merasa… ung.. macem gak nyaman atau sejenisnya dengan orang yang gue anggap deket?”
“Iya, gue inget lu pernah ngeluh macem itu pas kita lagi di Lode Falls.”
“Yang jadi pikiran gue itu.. gue kepikiran dia, dalam arti gue mikirin apa yang mungkin dia pikirin, ngerti?”
“lanjut.” Timpal Dzofi ingin mendengarkan kelanjutan penjabaran..
“Gue akui gue bukan orang yang romantic, hubungan gue dengan dia gue rasa cukup seperti kehidupan sehari-hari dimana kita habisin waktu dengan wajar.. nah, karena kenyamanan gue yang ada dizona statis itulah gue kepikiran.. apakah dia menikmati apa yang gue nikmati… begitu…”
“Suatu saat dia gue tanya saat kita berduaan, apakah dia bosen atau enggak.. tapi dia jawab sambil senyum
‘Enggak kok, aku seneng…’
Gue yakin dia gak jujur, jadi setiap ada kesempatan dan gue tanyain, dia selalu jawab dengan perkataan yang sama…”
Dzofi pun merenung mencoba menyerap semua perkataan Ryan, 60 detik kemudian dia mengataka sesuatu
“Lu bilang lu sering menghabiskan waktu bersama, kalo boleh tau kemana aja waktu yang luhabisin berdua?”
“Perpustakaan…”
“Pe.. perpus?”
Satu jawaban membuat Dzofi keheranan, bukan, bukan heran melihat Ryan yang memang sudah biasa ‘memakan’ buku, namun kini ia sudah berpasangan, dan membawa pasangannya ke perpustakaan..
Dan bagaimana si wanita bisa tahan dengan si kutu buku ini?
“Lu bener-bener gak romantic tau gak! Masa lu tiga bulan pacaran ngajaknya ke perpus.”
“Karena emang dianya juga suka ke perpus kok.” Tanggap Ryan membela diri.
“Oke, jadi ada sepasang kutu buku, ah enggak, kutu perpustakaan yang saling cinta… hemm… selain perpus, lu ajak dia kemana? Ngapain?”
“Umm..” Ryan seperti mengingat-ingat sesuatu… layaknya menggali ingatan yang telah lampau. Beberapa saat kemudian ia angkat bicara
“Ke taman.” Ujarnya setelah berhasil mengingat perjumpaan kedua, saat ia berlatih force listrik.
Dzofi seketika menempelkan telapak tangannya kearah muka, menutupi kedua matanya sambil bergumam ‘Ya ampun’
“Denger ya, gue gak tau dia kena penyakit mata apa sampai mau jadian sama lu Yan, tapi kalau boleh memposisikan diri gue sebagai dia, gue pasti dah ngeblok semua kontak milik lu setelah dua- ah enggak, seminggu setelah kenal sama lu.
Ayolah, lu dah pernah ngajak dia nonton?”
“Belum” jawab Ryan sambil menggeleng.
“Makan?”
Ryan kembali menggeleng.
“Nge-game?”
“Piknik?”
“Melihat matahari terbenam berdua?”
Geleng, geleng, geleng…
“Demi Sang Panutan… huh… entah apa yang mesti gue katakan ke elu Yan, yang jelas lu kudu buat diri lu dan dia pergi melakukan aktifitas diluar kebiasaan selain mbaca buku, entah ke Solus, Sette, atau Ether.. terserah, pokoknya lu pergi…” ujar Dzofi frustasi ditengah memberi solusi.
Ryan pun nampak memasukkan tangan ke inventori di belakang punggungnya, kemudian menyerahkan secarik kertas setelah merogoh-rogoh selama beberapa saat.
“Ini…” ujar Ryan singkat.
“Eh? Festival Awal Musim Panas?” ujar Dzofi membaca jelas tulisan besar yang terpampang pada kertas tersebut “Wah, boleh tuh, lu kesana sama dia gih..” lanjut Dzofi mulai antusias. Namun Ryan masih tampak murung, membuat Dzofi menampilkan gesture penasaran.
“Ada apa lagi Yan?”
“Umm… gue kalo ketemu do’i walau bagaimanapun pasti dibarengi maksud belajar, jadi ketemuanpun ibaratnya punya dua niat. Namun yang satu ini bakal pure cuma buat ngabisin waktu berdua layaknya sepasang kekasih..”
“Gue malu Fi…”
Sambung Ryan dengan muka memerah, membuat Dzofi untuk satu dua detik terpaku tak percaya melihat Ryan yang tersipu malu.
“Jadi gue minta tolong lagi, lu ikut nemenin gue…”
Mendengar permohonan yang satu ini, membuat Dzofi sontak menolak
“Gak gak gak, mana bisa acara sakral ada orang ketiga, itu malah gak jelas jadinya, gaje…”
“Ayolah Fi, gue bingung mesti ngapain kalo dah sampe sana nanti, di sana gak bakal kaya perpus yang banyak buku…” Bujuk Ryan memberi alasan.
“I-iya sih, tapi tetep aja… adanya gue malah bikin… pokoknya anehlah! masa bertiga gitu… ganjil…”
“Yaudah lu ajak aja si Sabila, biar genap…” timpal Ryan menjawab keluhan Dzofi.
“Gak bisa begitu, lagi pula maksud lu apa gue ngajak Sabila? Gu-gue bukan siapa-siapanya dia..” ucap Dzofi secara spontan menolak.
“Ayolah Fi, ajak aja dia sebagai temen, atau Kak Ulfa juga boleh. lu belum pernah fetival ‘kan?”
Sejenak Dzofi terdiam, lalu berkata “Masalahnya.. hari itu Kak Ulfa pasti sibuk. Lagi pula dapet untung apa gue?” tanya Dzofi kini mencoba bernegiosasi.
“Gue bayarin makanan lu deh..” jawab Ryan.
“100%”
“1/4 total pengeluaran”
“75%”
“35%”
“50%”
“50%!”
“Deal ya! Lu nalangin 50% pengeluaran. Yaudah minggu depan gue bantu.” Ujar Dzofi menutup negosiasi dan membuat kesepakatan setelah beberapakali menyebut nominal persen secara bergantian.
: Beberapa hari kemudian :
Nampak Dzofi sedang sparing dengan seseorang, dilihat dari kejauhan, lawannya adalah seorang gadis, ya, gadis itu berambut putih, dia adalah Sabila.
Dengan penuh gigih, Dzofi berusaha melawan Sabila dengan pisau berwarna biru yang panjangnya lebih dari dua hasta. Sedangkan Sabila dengan lincahnya menghindari tiap serangan yang diberikan Dzofi dan sesekali menembakkan protektil-protektil dari senjata apinya, namun tameng yang berada di sebelah tangan lawannya selalu melindungi layaknya mengetahui di mana letak yang Sabila incar.
ZRASSHH…
DOR! DORR!
TRANGG!
Pertarungan berangsur sengit, tak terbesit dari dua mata mereka ‘mengalah’. Yang ada adalah tatapan jeli memandangi target dan lingkungan sekitar yang memungkinkan tempat bersinggahnya sang target kelak.
Dzofi kembali menyiapkan senjatanya dalam mode siap menyerang.
Satu..
Dua..
Langkah kaki beranjak berlari mendekati Sabila dengan senjata terhunus..
“HYAAAAA!…”
.
.
“Hah… hah…”
Dzofi masih tak percaya, kini ia terkapar di tanah, bila saja protektil yang digunakan Sabila bukan untuk sparing, tak bisa dibayangkan dimana ia sekarang berada..
“Ini.” Suara wanita membuat nya melirik ke ‘atas’, melihat sosok gadis yang bayangannya muncul dari arah ‘atas’ sehingga menutupi cahaya Niger yang menyilaukan. Rupanya gadis itu menawarinya selembar handuk putih untuk membersihkan keringat yang terus bercucuran. Dzofi pun meraih handuk itu dan berkata
“Terimakasih Sab…”
.
“Kamu tau gak Dzofi, di sebelah selatan markas, tepatnya daerah Rear Garden ada semacam pembangunan gitu, kira-kira bakalan ada apa ya?” tanya Sabila pada Dzofi yang tengah minum, Dzofi pun sempat tersedak sepersekian detik, ia langsung ingat janjinya pada Ryan.
“Ehemm.. Oh ya Sab, kamu minggu kosong gak?” tanya Dzofi sembari menutup botol minumnya.
“Tentu, tapi kenapa tiba-tiba nanyain itu?” sepasang biru langit kini memandang dalam pada lelaki di hadapannya. Dzofi pun menjadi gugup untuk berkontak langsung matanya dengan mata gadis itu..
“I.. engg.. itu karena aku mau ngajak kamu ke festival awal musim panas, yang diadain hari minggu besok, tempatnya di Rare Garden itu…” ujar Dzofi mengajak Sabila dengan mata yang tak bisa terus memandang sepasang biru langit yang tengah menatapnya. Mukanyapun memerah.
Sontak perubahan juga terjadi pada gadis yang ia ajak bicara, iris birunya melebar, pipinya juga merona karena tersipu, ia tak percaya Dzofi yang tengah berdiri dihadapannya mengajaknya…
“ken-can”
Ujar Sabila pelan namun terdengar jelas. Dzofi yang mendengar sontak menoleh cepat kearah Sabila dan mendapati ekspresi imut Sabila. Iapun Blushing
“Ke-kencan? Bu-bukan itu maksud ku Sab, aku ngajak kamu ke festival karena ini pertama kalinya buat aku ikut acara begini di Novus.. a-aku juga ngajak yang lain kok…” jelas Dzofi terbata-bata.
“Jadi gimana? kamu mau ikut?”
Yang diajak bicara tak menunjukkan ekspresi selain tersenyum, lalu mengangguk seraya berkata
“Ya! Tentu saja.”
“Okelah kalau begitu, kumpulnya di tangga pintu masuk markas ya. Aku pergi dulu, bye..”
Dzofi pun pergi meningalkan gadis berambut putih seorang diri, sedangkan gadis yang ditinggal tampak senyum yang terbentuk di pipi berlesungnya tak juga sirna, seakan gadis itu masih merasakan momen-momen membahagiakan, membayangkan hari yang dijanjikan…
/
.
.
.
“Kau akan terlihat lebih segar bila kau melepas kacamata mu.” -Hagia Henrietta- Ch. 16 |
CHAPTER 21 END.
Next Chapter > Read Chapter 22:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-22/
Previous Chapter > Read Chapter 20:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-20/
List of Journey For Identity Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-list
Catatan Author:
JFI WIKI/Trivia :
Nama : Hagia Henrietta
Umur : 19 tahun
Base class : Spiritualis
Pangkat : –
Penjabaran : dia adalah karakter dengan pemikiran polos sebenernya, namun sesekali juga bercanda. Kepolosannya juga terpancar dari tatapan matanya, sering saat berdua dengan Ryan, saat Ryan bicara menyinggung hal serius, Hagia malah menanggapi biasa saja. Jadi hal yang dirasakan dalam momen-momen tertentu antara Ryan dan Hagia bisa saja berbeda (180o) namun jelas punya kadar kepekaan juga (makhluk sosial)… gak kaya batu yang kalo lu rayu, terus dia diem aja.
Penampilan : mata ungu juga rambutnya yang panjang