Journey For Identity
Penulis: Bid’ah Slayer
BRUAKK!
“Ehh? Ada apa ini?!” ucapku heran.
Nampak, dipagi hari yang menurutku masih buta, Kak Ulfa datang mendobrak pintu kamar ku, sambil masih membawa barang-barang yang sepertinya dari belanja di pasar.
PRAKK!
Ia melemparkan sesuatu tepat kearah muka ku.
“Eh? Koran? Apa-apaan ini Kak?” ucapku heran
“Coba kamu lihat halaman pertama!” balasnya masih dengan nada kesal.
” ‘Maximus’ ini lebih peduli keselamatan Kapten dibanding orang-orang terdekatnya” ucapku membaca secara idzhar agar bisa didengar Kak Ulfa.
“Apa masksudmu lebih peduli dibanding keselamatan sepupumu ini hah?! Apa aku kurang baik padamu?!” Tanya Kak Ulfa sambil bertolak pinggang.
“Ehh… ya ampun Kak, pelanin sedikit suaranya, malu sama tetangga, masih pagi” ucapku sambil mengarahkan telunjuk didepan mulut ku.
“Biarin! Biar semua pada denger! Pokoknya jelasin SE-KA-RANG!” jawabnya masih dalam nada yang keras.
Ya ampun, lagi dapet kali nih ya orang?
Keluhku dalam hati sambil ber-poker face
“I-iya.. iya, sekarang kakak masuk dulu ya” bujukku dengan senyum yang dipaksakan.
huh! Kenapa gara-gara judul berita begini aja bisa bikin salah faham sih? Judul jelas provokatif,kalo di Planet Nilben, dah kaya saluran Metro TiVu sama Koran Kompos ini mah.
Setelah berhasil kuajak masuk, Kak Ulfa walaupun masih marah, ia langsung pergi ke dapur dan kembali dengan membawakan dua cangkir coklat panas untuk diminum kami berdua.
“Kamu bakal dapet nih coklat kalau kamu jelasin terlebih dahulu apa maksud judul berita ini” sahut Kak Ulfa tegas sesaat aku hendak menggerakkan tanganku menggapai salah satu cangkir, dan akupun mengurungkan niatku lalu memulai bicara.
Aku jelaskan apa yang kemarin sore terjadi padaku, tentang wartawati yang telat memperkenalkan dirinya dan apa yang ia tanyakan.
“Oh, jadi begitu” *Sruput* ucapnya dilanjutkan dengan meminum coklat panas yang ia buat.
Kini aku menggapai coklat panas yang dibuatkan untuk ku, lalu meminumnya.
“Makanya, kalau ada berita itu dibaca dulu isinya, jangan asal marah liat judul yang provokatif, tabayyun” ucapku disela meminum minuman buatan lawan bicaraku.
“Pantas aja masyarakat akhir-akhir ini lebih anarkis, satu sisi, media mungkin punya kepentingan terselubung, disisi lain masyarakat juga males mbaca. Klop deh” lanjutku lagi diikuti tegukkan terakhir.
“Iya-iya… kamu bicara bak pengamat sosial” sahutnya sambil mengambil cangkir yang sudah kosong.
Kini Kak Ulfa beranjak dari tempatnya menuju dapur, memakai apron, lalu membenarkan posisi kuncir ekor kudanya.
“Siapa yang gak marah sih, kalau orang udah menganggap seseorang itu penting tapi ternyata ia gak dianggep” ucapnya sembari memunggungiku karena sedang mencuci cangkir di westafel.
Aku yang mendengar perkataannyapun, sekejap itu pula membatu, namun kujawab seserius mungkin sesuai pikiran terdalamku.
“Kakak… emm… kakak lagi dapet ya? Dari tadi bicaranya emosional banget”
. . .
“Bukan urusan laki-laki!”
Bletak!
Sendok tepat mendarat di dahi ku.
-:06.21:-
Selesai aku mandi dan bergegas memakai pakaianku, Kak Ulfa-pun selesai dengan masakannya.
“Kak Ulfa… masak?” seruku heran.
“Iya”
“Kenapa?”
“Kenapa? Ya supaya kamu gak makan makanan instan yang gak sehat itu lho, mie rebus lah, mi goreng lah, mi cup lah, dan juga supaya kamu gak jajan terus diluar” jawabnya sambil menyiapkan piring dan sendok yang tadi ia lempar.
“iya deh, makasih, tapi bukan itu, maksud ku apa kakak nanti jadi gak telat, emang kakak gak ada misi?” jelasku.
“Ada sih,di sector Solus, tapi nanti, sekitar jam delapan lah kakak berangkatnya” jawabnya, lalu ia melanjutkan “Kalau kamu dah jadi prajurit tingkat expert, kamu gak mesti berangkat pagi dan menyelesaikan misi pagi itu juga kok. Ditingkat expert kamu dikasih deadline, biasanya 24jam satu hari pada misi itu. Juga tergantung tingkat kesulitan misi sih, ada yang deadlinenya tiga hari juga kok”.
Kamipun kini duduk saling berhadapan sambil menyantap makanan buatannya. Tiba-tiba aku teringat percakapanku dengaN Kak Rolf…
“… Bangsa Accretia tak mempunyai force, maka sepatutnya kita bersukur dan memanfaatkannya dengan baik, dengan begitu kita satu langkah di depan mereka…”
“Ya.. kau benar..”
“Selepas perjalanan ini, kau bisa temui seorang guru force di markas, dan belajar padanya…”
Kurasa ini merupakan waktu yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang ku ingat pada Kak Ulfa.
“Kak, menurut kakak, aku masih harus ambil kelas pelajaran force gak?”
“Force?” ucapnya mengalihkan pandangannya padaku. “Ambil aja kalau kamu mau” lanjutnya kembali fokus pada makanan yang sempat tertunda.
“Tapi specialist kaya aku kan cuma bisa ngambil force tingkat basic Kak, menurut kakak apa gak percuma?”
“Percuma? Ilmu itu gak ada yang percuma Dzof, kakak sendiri juga mendalami force kok” jelasnya menambah penasaranku.
“Kakak juga? Kakak kan ranger”
“Gak cuma kakak aja, ada kok temen-temen kakak yang mendalami force, lumayan buat hunting, apalagi yang force area, jadi lebih praktis deh”
“Tapi… apa gak susah Kak? Kakak kan harus fokus juga sama kemampuan primer kakak sebagai ranger”
“Tahun-tahun awal emang sulit sih, mengingat waktu itu kakak masih cadet. Tapi karena kekonsistenan kakak, kakak bisa kok, dan sekarang kakak dah gak ikut kelas lagi karena dah tau mantra dan teknik force itu”
“Kakak mah enak, ranger, cuma fokus sama satu kemampuan primer, lah aku, melle juga ranger juga, mau tambah force pula” keluhku diakhiri dengan helaan nafas yang berat.
“Gak usah merasa terbebani gitu, percaya deh sama kakak, kalau kamu konsisten dari awal begini, kamu kalau dah gede gak akan nyesel. Dan perlu kamu tau, mempelajari force itu membuat kapasitas energy force di dalam tubuh kita menjadi lebih besar dibanding yang enggak melakukannya” jelasnya sekali lagi padaku.
Aku tak tau harus bicara apa lagi, aku selebihnya fokus pada sarapanku. Kak Ulfa pun berkata
“Banyak kok temen kakak yang masih belajar force basic hehehe… itu karena mereka diawal gak sadar kalau force itu penting. Kalau kamu daftar sekarang, kamu akan sekelas sama mereka, jadi gimana? mau ambil kelas force?” tanyanya padaku yang masih dilanda kebimbangan.
Dengan sepertinya agak terpaksa, aku menjawab “Iya”
Ya, aku menjawab agak terpaksa karena sepertinya berat untuk menjalaninya, namun aku takut menjadi makhluk yang merugi bila tidak ditempa dari sedini mungkin.
“Nah, gitu dong, nanti kamu kakak daftarin, kalau kamu diterima, kamu kakak wisp deh”
“Hemm..” jawabku menggumam.
“Gak usah cemberut gituuu” ucapnya sambil menarik pipiku “Kamu kakak masukkin kelas karyawan, eh.. maksud kakak kelas ya semacam kelas karyawan gitu, bukan yang pure spiritualist, jadi lebih menyesuaikan diri dengan waktu kamu”
“A-adaww.. iya iya.. makasih kak”
Setelah kami sarapan bersama, kami berduapun meninggalkan kamar mesh ku dan melakukan kegiatan masing-masing.
.
Menunggu… duduk… sambil melihat orang-orang mengawali aktivitasnya, aku menanti Senior Shinta bersama dengan rekan-rekan lain yang datang lebih cepat darinya.
*Tingtung…
Terdengar pesan masuk di Virtual Celluler ku, segera aku cek, apakah itu pesan dari Kak Ulfa.
[“From RyanGiant : to Baydzofi.
Oii Dzof, Senior Shinta dah dateng blom?”]
ohh ternyata Ryan, gue kira Kak Ulfa.
[” /RyanGiant : blon bro… cepetan, sebentar lagi dia dateng.”]
Lima menit setelah aku mengirim pesan, iapun datang dengan nafas yang terengah-engah.
“Hah.. hah.. gimana? gue telat gak?” tanyanya sambil mengatur nafas.
“Emm.. tepatnya pas, tuh, Senior baru dateng” ucapku ambil menujuk Senior Shinta yang juga baru tiba.
Kami selaku muridnyapun langsung bergegas kearahnya lalu mendengarkan intruksinya, ya, langsung mendengarkan intruksinya karena orang seperti dirinya bukanlah orang yang mau membuang waktunya dengan berbasa-basi untuk kami para ensign.
“Baik, sekarang lihat alat yang berada ditangan kiri kalian masing-masing. Virtual Cellular milik kalian secara otomatis dapat mengukur statistic kemampuan kalian. Caranya dengan menekan tombol berhuruf ‘C’ “
Serentak kami semua menekan tombol C. setelah menekan nampak diagram dilayar Virtual cellular kami. Diatas tertulis PT dan dibawahnya tertulis Melle, Range, Force, Unit, Perisai dan Pertahanan diikuti tabel yang sudah penuh, setengah penuh dan sisanya kosong.
Senior Shinta-pun kembali menjelaskan “Itu adalah statistic kemampuan kalian, itu menentukan kekuatan kalian dari masing-masing bidang, berpengaruh pada kekuatan dan senjata yang mungkin kalian pakai” sekarang ia mengeluarkan pisau dari inventorynya dan menancapkan ditanah.
“Aku yakin, sebagian besar dari kalian masih memiliki statistic yang kosong dibidang melle, jadi tolong yang memiliki PT Melle kosong maju” lanjutnya.
Kemudian, aku mendorong Ryan untuk maju kedepan.
“Sono lu maju”
“Sial lu!” makinya.
Karena sudah terlanjur kudorong, dengan langkah yang sedikit enggan iapun terpaksa maju.
“Nah, sekarang kamu pegang ini” ucap Senior Shinta memberikan Dagger pada Ryan, Ryan-pun dapat menggenggamnya.
“Lalu sekarang, kamu coba cabut pisau itu” Perintahnya ke Ryan untuk mengambil Kukri yang tertancap ditanah.
Pertama, Ryan memang merasa yakin, namun setelahnya, ia sama sekali tidak dapat mengangkat Kukri itu barang sesentipun.
“Hah.. hah.. aku menyerah Senior” ucapnya sambil membetulkan posisi kacamatanya.
“Baiklah, sekarang siapa yang sudah memenuhi PT Melle diantara kalian”
Sontak, Ryan menimpali “Kak, dia Kak, yang disana, dia udah penuh PTnya” serunya sambil menunjuk kearahku.
“Ehh! Sial, gue dicounter sama mata empat” keluhku bergumam.
“Kau yang disana , cepat kesini” seru Senior Shinta, lalu ia memintaku memperlihatkan data statistikku. Setelah aku memperlihatkannya, ia berkata “Coba kau cabut pisau itu”
Akupun berusaha mencabut Kukri itu, tidak seperti Ryan yang mesti bersusah payah, aku mencabutnya dengan sedikit tenaga saja.
“Whaw.. mudah sekali” ucapku reflek.
Sekarang Senior Shinta mengeluarkan pisau bermata putih dengan genggaman kuning keemasan, kalau tidak salah namanya Sickle Knife. Kemudian ia menyuruhku mencabutnya setelah ia menancapkannya ketanah. Hasilnya sudah bisa ditebak, sekuat tenagapun aku mencoba mencabutnya, aku takkan bisa.
“Nah, kuharap kalian mengerti fungsi dari PT, PT mengukur kelayakan kita dalam menggunakan senjata, termasuk armor. Pisau ini adalah Sickle Knife, pisau tingkat 45 dengan persyaratan PT 68. Jadi seberapapun kelas ranger mencoba, walaupun dia berada ditingkat tertinggi termasuk Archon sekalipun, dia tidakakan mampu menggunakan Sickle Knife karena maksimum PT mereka adalah 66 poin. Jadi kita sebagai specialist tidak perlu merasa minder, karena kita mampu menggunakan semuanya” jelas Senior Shinta pada kami.
Setelah itu ia meminta kami menekan tombol J.
Ia menjelaskan, bahwa tombol J untuk melihat misi yang harus kami jalani. Profesi kami memang tidak seperti profesi kebanyakan, kami tidak mendapatkan misi sampai kami memasuki tingkat 4. Dan saat memasuki tingkat 4 kami diwajibkan berburu 20 Lunker disekitar Goa Chink dengan 40 kuku jari kaki besarnya sebagai bukti.
Tombol L untuk mengetahui tingkat Skill kami, baik itu ranger atau melle.
Tombol F untuk mengetahui tingkat Skill Force.
Tombol M untuk melihat peta hologram, namun yang kami miliki hanyalah peta daerah kekuasaan Union dan Crag Mine. Selebihnya kami harus membeli atau mencarinya.
Setelah ia menjelaskan tentang maksud dari tombol-tombol yang berada di Virtual Cellular kami, ia menanyakan, siapa diantara kami yang telah memasuki tingkat 4, aku dan yang lainnya, sekitar 4 orang mengangkat tangan.
Menghela nafas, Senior Shinta memberikan kami armor baru berwarna biru dongker bergaris putih dan menyuruh kami untuk mulai melaksanakan misi dan bertingkah lebih mandiri. Sedangkan ia harus mengawasi para ensign yang masih belum ditingkat 4 untuk cepat menyusul kami agar ia tak perlu repot lagi.
Memang berat sepertinya bila menjadi mentor para pendatang baru, terlebih ia harus menangani 40 murid seorang diri. Entah mengapa, aku sedikit iba padanya.
Lalu bagaimana dengan Ryan? Apa ia ada diantara kami? Tidak, ia tidak termasuk, karena terakhir kali aku bertemu ia tidak melawan satu makhluk pun,ia asik membuat amunisi. Aku jadi bersukur karena telah dikeroyok makhluk lemah itu (Flem) sehingga aku kini berada ditingkat yang lebih tinggi.
.
Tap.. tap.. tap…
Aku menyusuri Goa Chink seorang diri, baru beberapa menit yang lalu aku memasuki mulut goa dan kini cahaya Niger sudah tidak bersamaku lagi. Seorang diri? Ya, karena yang lainnya memutuskan untuk melakukan rencana mereka masing-masing. Arist dan Mi, dua orang yang belakangan ku tau mereka berteman, memutuskan untuk melalui mulut goa selatan dengan terlebih dahulu mampir ke pos Bellato, seorang lagi yang berambut biru yang aku tak tau namanya, menghilang begitu saja sebelum aku sempat bertanya apa yang akan ia lakukan. Dan aku memutuskan melalui jembatan utara dan memasuki goa via barat.
“Kruu… Kruuaa…”
Nampaknya itu suara lunker, segera aku persiapkan senjata berserta perisaiku. Beruntung, reptile yang satu ini bukanlah makhluk yang agresif atau mempunyai sikap kebersamaan, sehingga saat aku…
Slash!
…tebas salah satunya, yang lainnya tidak datang membantunya, melainkan lari berhamburan.
Dash! Claw!
Blass!
Block! Dash!
“Slasher!” Slash! Slash! Slash!
“Kruu…” ucap makhluk berkulit kadal itu seraya menghembuskan nafas terakhirnya.
“Huh, armor baru ini sudah kotor gara-gara lawan satu makhluk ini, apalagi kalau 20 ekor” keluhku sambil mempreteli organ tubuhnya yang bisa dijual.
Sekitar 10 menit berlalu kulalui bersama makhluk berdarah dingin ini sampai kusadari aku tidaklah sendiri.
Kutajamkan indra pendengaranku,
Tap… tap.. tap..
Seseorang mengawasiku
Sedikit merinding memang, terlebih lagi suara yang kutimbulkan bergema layaknya ada seorang yang mengikuti ucapanmu.
Glek…
Aku menelan ludah dan langsung kutodongkan hand gun milik ku kearah sumber langkahan, kearah kegelapan.
“Jangan bergerak! Aku tau kau berada disitu” gertakku agar langkah kaki itu berhenti. dan benar saja, langkah itupun berhenti.
“Aku tak berniat merugikan siapapun di sini” seruku berharap ia membalas, emm.. tidak, aku tidak tau lebih baik ada sosok yang membalas atau tidak didalam goa minim penerangan seperti ini.
“Hemm…”
Hembusanan nafas terintonasi jelas terdengar seakan menandakan dia memang ada dan mengawasiku.
“…” aku sekejap tak bisa berkata, layaknya menunggu balasan perkataannya.
“… Kau mengarahkan senjata kearah yang salah” ucap sosok misterius itu dari arah berbeda dari yang kuperkirakan. Reflek, aku langsung mengarahlan pistol ku kearah sumber suara.
“Siapa kau sebenarnya, tunjukkan dirimu!” bentakku padanya.
“Hmph… manusia, ketidaktahuan membuat mereka lemah” balasnya tak menggubris pertanyaan ku.
Tetes keringat hanya bisa mengalir membasahi kening ku sebagai balasan.
“Kau bilang, kau tidak merugikan siapapun di sini?… lihatlah sekelilingmu! Kau membunuh binatang tidak bersalah!”
“Mereka hanyalah binatang, dan aku hanya menjalankan misi yang diberikan padaku” jawabku *ceklek* sambil melepas pengaman hand gun, bersiap untuk menembak.
“Turunkan senjata mu, aku tak berniat menyakitimu” jawabnya dengan suara masih menggema.
Kuturuti perintahnya sambil terus waspada.
“Biar kukatakan padamu dua hal, pertama, apa bedanya kau dengan binatang yang kau bunuh bila kau membunuh hanya atas nama misi. Kedua, kau masih salah mengarahkan senjata pada kami”
Mendengar jawaban itu, aku sontak kaget dalam benakku, dan kudongakkan kepalaku keatas.
Disana! Selama ini dia berada di atas tebing sana! Ba.. bagaimana mungkin?!
Kulihat, pantulan cahaya yang sedikit di bola matanya melihatkan tatapan binatang buas. Fisiknya tidak jelas karena benar-benar terselimuti gelap bayangan.
Grep!
Dari belakang seseorang menggenggam pundak ku, sontak aku langsung menghindar dan menodongkan senjata ku.
“Huwooo… tenang bro tenang, kita bukan makhluk reptil itu”
“Arist, Mi? dari mana aja kalian?” ucapku heran sekaligus lega mengetahui sosok mereka yang datang.
“Kami kesini lewat selatan, dan ternyata jalannya muter jauh” jawab Arist.
“Kau kenapa? Ekspresi mu Seperti habis melihat sosok yang menakutkan” timpal Mi, laki-laki berambut putih.
“Sosok…” aku langsung kembali mengarahkan pandanganku keata tebing tadi, namun orang itu sudah tidak berada di sana.
“Sosok lunker, ya, aku terlalu lelah menghadapi sosok lunker yang banyak ini” sambungku menutupi apa yang aku hadapi tadi.
“Kalau begitu, ayo tunggu apa lagi? Segera kita mulai perburuan kita”
“Ya” jawabku.
.
.
Kurang lebih satu setengah jam aku lewati dengan berburu, dan kini aku berjalan kembali ke markas sambil memikirkan siapa sosok yang tadi mengajakku bicara.
Gedebuk!
“Adaww…” aku mengaduh kesakita akibat tersandung.
“Besi rongsokan sialan, siapa yang naroh barang loakan begini di tengah jalan?!” makiku kesal.
Aku bangkit, mengelus bagian yang sakit sambil terus berjalan.
.
“Senior, ini hasil buruan ku” ucapku pada Senior Shinta, memberikan 40 cakar kaki yang besar milik makhluk lunker itu sebagai bukti.
“Hemm… ya, ini benar cakar milik lunker” ucapnya, kemudian ia seakan berusaha mengambil sesuatu dari inventorynya, dan melanjutkan “Kesinikan tanganmu”.
Kujulurkan kedua tangan, kemudian ia memberiku dua stel armor yang sama seperti yang kupakai beserta beberapa dalant.
“Kerja bagus Dzofi” ucapnya sambil tersenyum manis yang tak terbayangkan olehku. Seketika itu mukaku memerah melihat kecantikkannya. Secepat mungkin aku menyibukkan diriku supaya ia tak melihat ekspresiku.
“Hei ensign Dzofi, apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya.
“Dua, tiga, empat… sedang ngi.. ngitung duit ini, takutnya kurang” jawabku.
“Cadet sialan, kau kira aku bakal korupsi apa?!” balasnya marah dengan rambut pirang panjangnya mengembang.
“Ehh.. ma-maap senior” ucapku langsung cabut dari tempat.
Drap.. drap.. drap..
Buakk!
Tiba-tiba aku menabrak seseorang, orang itupun terjatuh.
“Ah, maaf, aku benar-benar gak sengaja” ucapku sambil menawarkan tangan sebagai bantuan.
Pria bertopi itu membalas dengan menggapai tanganku, dan tersenyum.
“Tidak apa-apa, aku juga sedang terburu-buru, aku duluan ya” Drap.. drap.. drap…
Aku hanya melihat punggungnya yang semakin lama semakin menjauh, Suasana ramai di markas pusat hari ini wajar membuat orang kadang saling bertabrakkan, pikirku sambil melanjutkan perjalanan ke mesh ku.
.
“Aku pulang” seruku monolog sembari melepas kedua sepatuku lalu merebahkan lelah yang melekat pada tubuhku ke padang kasur yang empuk.
“Huahh, masih belum siang, mungkin aku terlalu cepat menyelesaikan misi” ucapku sambil melihat chronometer yang berada di alat multifungsi, Virtual Cellular.
“Wahh~ kalo begini jadi bosen, mendingan… bangun teruszzz…”
.
.
*Di gang yang gelap, pelosok ibu kota (Markas Bellato)*
“Jadi gimana?” Tanya seorang yang duduk dibalok kayu tersusun pada orang dihadapannya.
“Tenang aja brother, dia udah konfirmasi, kalau target masih memegang benda itu, Iyakan Com?” jawab yang ditanya.
Seorang yang duduk kemudian bertanya kembali “Coma, kau yakin?”
“Ya, aku sudah memastikan dengan kedua mata kusendiri, Cincin itu ada ditangannya” jawab pria bertopi yang dipanggil Coma.
“Baguss” ucapnya seraya senyum lebar merekah di wajahnya.
| “Percuma? Ilmu itu gak ada yang percuma…” -Ulfa Hardji- Ch. 12 |
CHAPTER 12 END.
Next Chapter > Read Chapter 13:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-13/
Previous Chapter > Read Chapter 11:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-11/
List of Journey For Identity Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-list