JOURNEY FOR IDENTITY CHAPTER 15 – TRUE FACE OF NOVUS

Journey For Identity
Penulis: Bid’ah Slayer


Ya, karena aku tak bisa turun dari pohon, aku terpaksa menggunakan teleport scroll.

*Zwungg..

*Markas Bellato Union*

Sampai di portal dengan posisi merangkak, membuat orang yang lalu lalang sontak melihatku dengan ekspresi keheranan. Akupun segera bangkit sambil menahan malu.

True Face of Novus

Suasana area kependudukan di union ini memang ramai, Tidak dipagi hari maupun dihari menjelang malam ini. Namun nampaknya aku tak menemukan seseorang untuk kusapa.

Berjalan sambil melihat suasana kota, memandangi mereka yang pulang kerja atau baru akan memulai bisnisnya, sedikit banyak aku terkenang akan suasana Nilben, tempat ku berasal. Namun perjalananku inipun sama saja, ke tempat yang bisa disebut ‘rumah’. Harusnya akal rasionalku bisa menerimanya, tak perlu menanggapi perasaan yang berkelut yang entah di mana disuatu tempat di dalam diri ku.

Homesick. Mungkinkah itu kosakata yang tepat? Namun rasional haruslah diatas segalanya. Tak perlu merasakan itu.

Seharusnya…

.

Tap.. tap.. tap…

“A-Adan?..” ucapku lirih saat melihat sosoknya memunggungiku, agak jauh letaknya di depan sana. Akupun segera mempercepat langkahku, menyingkirkan orang-orang yang berjalan melawan arah dariku.

Gak salah lagi, itu Adan. Batinku mantap saat melihat surai coklat miliknya, punggungnyapun mudah kuhafal, karena kami berteman sejak kecil, Akademi pertama lebih tepatnya.

Adan, ada yang ingin gue…

GUE BILANG GAK SEKARANG! URUSAN BANGET SIH LU PADA!”

tanyakan…

Tiba-tiba aku teringat bentakannya, saat ia marah pada ku dan Ryan, Entah apa sebabnya. Akupun mengurungkan niatku, membiarkan ia tertelan sosok Bellatean lainnya.

.

Kerongkonganku entah mengapa terasa kering. Akupun mendekati salah satu mesin penjual otomatis di sisi jalan yang ramai ini.

“Hemm… yang mana ya… sepertinya semuanya sama aja”

Saat aku hendak memasukkan koin yang ‘diminta’, tiba-tiba seseorang menyenggolku.

Bhugg!..

“Ah, maaf…” ucapku reflex, entah mengapa malah aku yang meminta maaf terlebih dahulu.

“Harusnya aku yang meminta maaf, Ah! Kau kan Baydzofi, anak yang waktu itu mengaku menjadi Maximus itukan? Hai, sini teman-teman, dia Maximus Baydzofi” seru seorang pria yang lebih tua dariku, dan sepertinya mengenalku, iapun memanggil teman-temannya.

“Umm.. maaf, rupanya kalian masih berfikir begitu. Aku tidak bermaksud menipu kalian” ucapku meminta maaf sekali lagi pada mereka.

“Tidak papa, lagian berkatmu kami bisa selamat. Walaupun kami diperintah oleh bocah sepertimu haha…”

“Ya, saat kami diperintah untuk membetulkan pesawat tempur yang tingggal satu-satunya itu” timpal yang lainnya.

“Diperintah? Pesawat tempur?” ucapku entah sedikit lupa, apa karena benturan di kepala ku saat itu, aku jadi melupakan mereka jika memang pernah bertemu.

“Kau lupa? Aku yang bicara melalui pesan di bagian pesawat itu. Kau ingat?” Tanya yang menyenggolku balik.

“Ohh.. kalian berenam yang ku perintah untuk membetulkan pesawat tempur… ya, aku sudah ingat, lalu kalian semua kalah menghadapi Kak Ryu yang berusaha…

Mengorbankan diri…” ucapku diakhiri dengan nada yang turun. Karena saat aku mengucapkannya, aura suram menyelimuti mereka.

“Engg… begitulah, gimana kalau kau ikut kami? Kami akan meneraktirmu minum. Bagaimana?” ucapnya dengan senyum yang dipaksakan. Karena ku yakin, mereka berusaha tidak menyebut nama Kak Ryu sebisa mungkin saat mencoba mengingatkanku.

“Umm.. bagaimana ya, aku tidak biasa minum” ucapku dengan nada yang ragu.

“Ayolah, kau tadi ingin meminum sesuatu dari kotak itu kan?” serunya sekarang merangkulku sambil menunjuk mesin penjual otomatis.

“Ta-tapi.. sekarang sudah..”

“Gak papa, itung itung ini namanya Ospek, kuyakin Shinta pasti tidak mengospekmu kan? Jadi urusan itu biar kami yang mengatur.” Ucapnya kini menggiringku.

Aku mau tak maupun mengikuti kemana mereka pergi.

.

Tring tring…

Bunyi lonceng kecil saat kami memasuki kedai ini.

“Pak, tolong satu ruangan untuk tujuh orang” ucap salah satu pria yang tak kutahu namanya.

“Baiklah… silahkan ke ruang nomer 5”

Kamipun menghampiri ruangan yang disebut untuk kami bertujuh. Nampak meja yang lumayan lebar dan bantal berjumlahkan delapan buah untuk kami duduki, lesehan.

“Kak, apa gak ngelanggar aturan. Akukan baru jadi prajurit, masih ensign” ucapku cemas.

“Gak masalah, kan ada kami. Gak perlu cemas” jawabnya, namun itu justru membuatku makin cemas.

Setelah kami menduduki posisi yang menurut kami nyaman, beberapa menit kemudian seorang wanita datang menghampiri kami. Pakaian yang menunjukkan betis sampai paha dan belahan dada, seketika membuat darah ku berdesir.

“Mau pesen apa Rief?” Tanya sang pelayan.

“Biasa enam” jawab yang baru ku tahu, bahwa ia dipanggil Rief.

“Jangan segitu, kan kita kedapetan tamu baru Rief, pesen aja paket. Lumayan ada makanannya juga” timpal yang lain.

“Masalahnya dia belum tentu mau Jay. Eh Cil, lu mau minum juga gak?” palingnya bertanya padaku setelah menanggapi perkataan yang dipanggil Jay.

“Umm.. aku? Minum? Aku es teh aja” jawabku diselimuti ragu, karena aku tau, apa yang disebut minum bukanlah sekedar minuman biasa.

“Wah, ada anak baru nih. Masih kesegel lagi. Dapet dari mana Rief?” ucap sang wanita menggodaku sambil memainkan tangannya membelai pipiku.

Segel? Apa maksudnya? Emang gue makanan? Batinku sambil bergidik ngeri.

“Jangan begitu lu, kecil-kecil gini dia nyelamatin nyawa kita semua, satu generasi malah.” Jawabnya.

“Ohh.. ini anak yang diberita itu ya, yang ngaku ngaku jadi Maximus” timpalnya diikuti tawa kecil.

“Dah, jangan lama-lama, cepet bawain kemari pesenan kita. Keburu bête nih gue” ucap Jay memotong pembicaraan.

“Iye bawel” jawab pelayan. Lalu iapun pergi.

Sambil menunggu pesanan, banyak dari mereka yang saling bercakap-cakap atau sibuk dengan Vircellnya masing-masing.

Akupun menanyakan sesuatu padanya.

“Kak Rief, Kak Rolf kemana? Kakak temenan sama dia kan?”

“…”

Semenit…

dua menit…

nampaknya ia tidak menjawab pertanyaanku. Mungkin aku melontarkan pertanyaan yang salah. Mengungkit luka lama.

Akupun berusaha memikirkan hal yang lain untuk ditanyakan. Namun akhirnya, iapun membuka mulutnya.

Srakk…

pintu dibuka, dan pelayan wanita tadi datang dengan pesanan, enam gelas kosong, satu wadah berisikan air berwarna keemasan, dan pesananku, satu gelas es teh dengan sedotan berwarna hijau. Juga beberapa makanan seperti kentang goreng.

“Ini pesanannya. Jangan ngutang lagi ya” ucapnya seraya mengundang tawa yang lainnya.

“Adik kecil, ini pesenanmu”

“Adik kecil? Aku ini udah gede mbak!” elakku sambil menerima minuman yang ia suguhkan.

“Ohh udah gede~ kalo gitu, tehnya mau ditambah susu gak?” ucapnya seraya tubuhnya mendekat padaku.

“Susu?” ucapku lirih, dan dengan otomatis pandanganku turun dari mukanya ke…

“Uhukk…” akupun sontak tersedak, dan muka ku memerah. Salah tingkah.

“Hahaha…” baik wanita itu atau yang lainnya langsung menertawaiku. Sepertinya ini benar-benar bukanlah tempatku berada.

“Aku mau dong ditambahin susu” ucap Jay menggoda.

“Cih… ogah amat…” balas wanita itu dengan membuang muka. baru ku tahu ia bernama Mima dari name tag yang menempel di dadanya.

Tawa kembali meriah, dan Mima meninggalkan kami.

“Rolf, semenjak hari itu. Ia tidak pernah melakukan ini lagi” ucap Kak Rief. “Kami tetap berteman, namun ia tak membuang waktunya untuk hal semacam ini. Aku tau ia sangat dekat dengan Ryu, maka tiap kali aku bertemu dengannya. Sebisa mungkin aku tak mengungkit tentangnya. Bahkan mengajaknya berkumpul seperti ini. Hal yang dapat mengingatkan pada Ryu kembali.”

“…”

“Sekarang ia berubah menjadi orang yang rajin, kabarnya ia akan diangkat menjadi kapten kapal.” Ucapnya diselangi meminum minumannya, “Mungkin ia akan terus rajin begitu sampai diangkat menjadi Admiral” “Sedangkan kami terus menjadi teknisi yang mungkin dibawah kepemimpinannya”

“…” aku masih belum bisa menanggapi, aku tak tau harus menjawab apa. Namun dari ekspresinya, kurasa ia lega menceritakan itu.

“Btw, Si Ryu mati dah seminggu yang lalu. Berarti besok delapan harian ya?” timpal Jay yang mungkin mendengar percakapan kami.

“Delapan harian? Penting amat, Bid’ah tuh” timpal temannya.

“Eh Wil, jangan asal Bid’ah-bid’ahin ya, itukan baik. Jadi kenapa gak dilakuin selama baik?” balas Jay pada temannya yang dipangil Wil.

“Baik gundulmu, lu berharep dapet ganjaran pahala. Tapi nyatanya Sang Panutan gak pernah melakukan atau menganjurkan, lu beribadah mau ngikut siapa? Nenek moyang?” seru Wil.

“Baik, kita bisa makan makan gratis wkwk” timpal teman mereka berdua berusaha mencairkan suasana.

“Pantes, orang kaya lu pada getol mbelain lapak Bid’ah, wong kalo dikasih pencerahan, lu pada khawatir lapak penghasilan ilang. Iya kan?” timpal Wil pada mereka berdua. “Itu justru membebani mereka yang udah ditinggalkan, coba lu bayangin. Keluarga lu dah mati, lu masih dibebani pengeluaran buat orang-orang pengeretan macem lu makan gratis.”

“Kan kita ngedo’ain juga” timpal Jay.

“Do’ain? Sok yakin lu do’a lu mabrur. Do’a itu yang khusuk, habis ibadah. bukan rame-rame gitu. Itu juga gak ada tuntunannya. Inget, setiap Bid’ah itu Sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di Neraka.” Jelas Wil sambil menatap lawan bicaranya.

“Alah, lu ngomong begitu belagak Holy Chandra. Kalo Bid’ah emang bisa menjerumuskan ke neraka, kenapa lu ngumpul-ngumpul di sini? Sama aja coeg”

“A.. i-itu..” iapun speechless lalu langsung meminum minumannya. “Gue kan cuma nyampein apa yang gue tau”

Merekapun tertawa, termasuk aku yang merasa terhibur dan mendapat sedikit ilmu, tanpa mempedulikan apa yang sekarang mereka lakukan. Kecuali satu, Kak Rief tidak tertawa.

“Kak, kalau memang kakak gak bisa menerima melihat temen kakak ; Rolf berada di depan. Setidaknya saingi dia, jadikan ia roda penggerak yang memotivasi kakak untuk meraih cita-cita. Iya kan?” ucapku padanya, diantara yang lainnya yang asik bernyanyi.

“Cita-cita…” serunya lirih. Iapun meneguk minumannya dan kembali bicara. “Kau tau apa cita-cita ku?”

Aku menggeleng tanda tak tau.

“Aku ingin menjadi penulis, penulis yang menceritakan petualangan hidup ku. Menceritakan apa yang kualami, bersama teman-teman ku, pergelutan dalam batinku, semuanya. Karena itulah, aku memasuki milliter union. Menjadi teknisi di pesawat angkasa.”

“…” aku terpaku mendengar ucapannya.

“Mungkin judul yang akan kugunakan untuk buku ku adalah… Black Cloud In the Novus Sky, ya, itu tepat. Bagaimana menurut mu?” tanyanya kini padaku.

“Ya, itu cukup bagus Kak. Oh ya nama kakak siapa?” ucapku penasaran, karena aku hanya tau nama panggilannya saja.

“namaku Rieffslay Hyde. Itulah namaku”

“Baiklah, bila ada buku dengan nama penulis Riffslay Hyde, aku akan membelinya hehehe…” seruku diikuti tawa. Iapun tersenyum.

“Sekarang giliranmu. Tadi aku sempat meliahatmu di depan mesin itu dengan tatapan yang ku kenal. Apa masalah mu?” tanyanya padaku.

“A-aku tak punya masalah”

“Jangan bohong. Aku tau kau sedang menutupi masalah. Ceritakan saja padaku” perkataannya yang tidak memaksa. Entah mengapa membuat lisanku ingin angkat bicara.

“Umm… Tadi aku bertemu dengan sahabatku. Aku ingin sekali bicara padanya, namun saat aku hendak bicara padanya. Aku kemudian teringat kalau hari sebelumnya ia marah padaku. Akupun mengurungkan niatku. Dan membiarkan ia berlalu.”

“Hanya itu?” tanyanya padaku seakan menelisik.

“Ya” jawabku tanpa menatap matanya.

“Hemm… tadi kau bilang ia sahabat mu kan?… kalau begitu, mungkin masalah yang ia hadapi sama halnya dengan persoalan yang kau hadapi baru-baru ini.”

“Kenapa bisa begitu? Kenapa persoalan kami bisa sama?” tanyaku masih tak percaya.

“Pertama, kau ini masih seminggu di sini. Anak seperti mu pasti merasakan apa yang disebut homesick.”

Dheg!

Pe-perkataannya seakan tepat. Ya, mungkin apa yang kualami sekarang benar benar homesick. Tapi Adan jugakah demikian?

Ia pun tersenyum saat aku membatin. “Kalian sahabat. Sudah sewajarnya kalian merasakan hal yang sama pada saat ini.”

Akupun kini menatap matanya.

“Ikatan, kalian mempunyai itu. Gunakan itu untuk merasakan, dan memulihkan.” Sambungnya.

Akupun seperti membantu, menyerap semua perkataan itu. Menatap kosong, namun menggali jauh kedalam fikiranku.

Ikatan…

Terekam saat kami bertiga menghabiskan waktu bersama.

Ikatan…

Menghadapi dan lampaui permasalahan yang bisa kami hadapi bertiga.

“Ikatan…”

Akupun menggapai minumanku, kusingkirkan sedotan, lalu kuminum melalui bibir gelas.

Glukk… glukk..

“Uhukk… mi-minuman apa ini?” ucapku kaget, mengetahui minumanku berubah rasa.

“HEI JAY, KAU APAKAN MINUMAN ANAK INI?” bentak Kak Rief pada Jay yang tepat di sebelahku.

Yang ditanya pun menjawab “Apa? Aku hanya memindahkan sedotannya ke gelas ku. Lalu ia meminum milik ku.” Ucapnya santai.

“KAUU!..”

“Sudah Kak Rief, aku tidak apa-apa…” ucapku agar kekacauan tak terjadi.

“Lihat, ia tidak mengapa, dia sendiri yang mengakuinya Reif…”

Tiba-tiba kepalaku terasa berat, pandangankupun kabur dan berkunang-kunang.

Brugg!…

“Hei Baydzofi, HEII!”

“Lihat apa yang kau perbuat! Sekarang cepat panggil…”

.

.

.

Tukk.. tukk..

“Hei, bangun! lu belum mati kan?” seru seorang anak berambut coklat sambil menusukkan ranting pohon kepada anak yang terlentang di atas rerumputan, di bawah naungan pohon.

“Dia gak akan mati dengan mudah. Orang bodoh susah matinya” timpal seseorang yang menyandarkan tubuhnya di pohon, bicara tanpa berpaling dari buku yang sedang ia baca, seakan tak peduli pada dua orang rekannya.

“Ughh…” anak yang dibicarakanpun bangkit. “Bodoh? Seingat gue, guelah yang menjadi juara umum tahun ini. Dan lu hanya menjadi si nomer dua.”

“Tidak selalu, gue juga pernah menjadi juara satu-” elak lelaki yang membawa buku.

“-Kelas delapan. Sedangkan gue kelas tujuh dan tahun ini” potong lelaki lawan bicaranya. Perbicaraan antar dua pemuda itu memanas, seakan membuat arus listrik yang beradu diantara dua pasang netra yang saling memandang satu sama lain.

“Sudah sudah, itu hanya susunan tak berguna, tidak ada gunanya mempedulikan itu” lerai lelaki berambut coklat.

“DIAM LU ADAN! ORANG MACAM LU TAK AKAN MENGERTI!” ucap kedua pemuda yang sedang bertikai bersamaan. Yang meleraipun hanya bisa mematung. Akan sulit dihentikan saat kedua rekannya sudah saling beradu argument menentukan siapa diantara mereka yang terbaik. Terbaik.

.

“Cih! Ya, Gue akui lu memang yang terbaik, itu terbukti saat detik ini. lu yang mampu memenangkan persaingan antara kita. Menjadi juara umum angkatan kita. Sepertinya percuma gue mengelaknya.” Seru lelaki berambut caramel.

Pengakuan ditengah perdebatan sengit antar kepala batu, membuat yang lainnya tak percaya apa yang mereka dengar.

“Ryan, lu waras kan? Lu kenapa ngomong begitu, gak kaya biasanya. Apa itu pengaruh dari buku yang lagi lu baca?” Tanya Adan yang tadi berusaha melerai.

“Gak papa, gue cuma mikir dah gak ada gunanya gue ngelakuin hal ribut kaya biasanya. Di hari terakhir kita berkumpul ini, gue mengakui. Kau Baydzofi Hardji, adalah rival ku yang berhasil mengalahkan ku dalam kompetisi antar kita berdua. Ku ucapkan selamat…” ucap pemuda berkaramel sambil menjulurkan tangannya.

Lawan bicaranya yang bernama Baydzofi Hardji-pun bangkit dari posisi duduk, berdiri dengan menggapai tangan yang mengarah padanya.

“Ya, dan gue gak akan menjadi nomer satu kalo gak ada nomer dua” balasnya, “juga nomer sekian” sambungnya menatap pemuda berambut coklat.

“Gue seneng, tiga tahun di akademi pertama ini bisa ngabisin waktu bersama lu pada” ucap Baydzofi.

“Gue juga, gak berasa, tiga taun kayanya cepet banget. Padahal awalnya kita gak saling kenal, tapi menjelang perpisahan gini. Kayanya lu semua dah kaya sodara gue” sambung Adan.

“…” Ryan tak bersuara.

Sunyi diantara mereka bertiga sempat menaungi, sampai Adan melontarkan kalimat…

“Kami berdua itu nyariin lu Dzof, lu malah di sini… ngapain lu disini?”

“Ohh.. tadi itu gue kesini karena dibawah pohon ini gue liat ada anak perempuan diganggu sama sekumpulan cowo.”

“Jangan-jangan mau diper…”

“Belon tentu…” potong lelaki bersurai hitam. “Ya gak tau juga sih, tapi tiga lawan satu gitu, mereka yang bertiga cukup kelelahan ngepung seorang perempuan. Si perempuan cuma kalah jumlah, gue jamin kalo ada tiga mecem orang kaya dia, perempuanlah yang menang”

“Perempuan emang serem…” timpal Adan. Lagi, Ryan tak menanggapi.

“Gue samperinlah mereka, pengen bantuin perempuan itu. Awalnya gue ajak ngomong baik-baik, tapi mereka gak terima, terus kita terlibat perkelahian.”

“Pantesan dahi lu sampe memar begitu yang sebelah kanan.” Timpal Ryan.

“Ohh?” Dzofi-pun menyentuh area luka yang disebut “Aghh… iya, gue lupa sama luka ini.”

“Itu luka gara-gara lu kena pukul sama bocah begundal itu?” Tanya Adan.

“Umm… bukan, ini gara-gara perempuan yang pengen gue tolong” jawab Dzofi.

“Ehh?” sontak jawaban Dzofi membuat kedua temannya bingung.

“Kok elu yang mau nyelamatin dia malah elu yang kena pukul dia”

“Ini bukan pukulan, ini lontaran dari ketapel. Perempuan itu bawa ketapel buat ngadepin mereka bertiga. Dan gue kena serang mungkin karena ngagetin dia pas dateng.” Jelas Dzofi.

“Perempuan emang aneh…” seru Adan lirih.

“Gak, menurut gue itu belum cukup aneh. Yang aneh itu…”

“Hemm?” Adan dan Ryan kini penasaran.

“Dia bilang dia kenal gue, sedangkan gue gak kenal sama dia. Inget pun enggak.” Jawabnya.

“…”

“Mungkin lu lupa kalo lu pernah ketemu dia” seru Adan.

“Dah gue bilang, inget mukapun enggak gue” jawab Dzofi.

“Mungkin dia ngira lu itu orang lain, secara. Liat kondisi lu yang berantakan, dan luka memar di dahi, hampir-hampir gue gak kenal sama lu. lu mungkin mirip orang lain di mata dia” ujar Ryan menanggapi dengan sedikit hiperbola.

“Yap, mungkin lu ada benernya Yan.”

Selang beberapa menit, Dzofi kembali angkat bicara.

“Eh, lu pada ke sini nyariin gue kan? Ada apa?” Tanya Dzofi pada yang lain.

“Duh! GOBLOK! Cepetan kita kesekola” seru Ryan sambil memaki.

“Ada apa emang Yan?”

“Kita ke sini nyariin elu, soalnya di sekolah habis istirhat bakalan foto angkatan buat buku tahunan.” Jawab Adan.

“Yaudah, ayo cepet!”

Mereka bertigapun berlari secepat mungkin menuju sekolah mereka.

.

Drap.. drap.. drap…

“Hahh… hahh.. hah..” mereka sampai di aula sekolah, tempat pemotretan diselenggarakan. Namun aula sudah sepi, hanya ada beberapa orang dan alat untuk memfoto.

Tap.. tap.. tap…

Seorang berjanggut merah tak terlalu lebat, Berbadan kekar, berjalan menghampiri mereka.

“Dari mana saja kalian?!” tanyanya tegas pada tiga pemuda yang baru saja sampai.

“Emm… Pak Hendri, kami dari nyariin si Dzofi Pak.” Jawab Adan.

“Bener, hah.. hah.. kami nemuin dia dideket bukit sebelah utara Pak.” Timpal Ryan.

“Begitu. Dzofi, apa yang kalu lakukan di sana?” tanyanya pada seorang yang belum bicara.

“Saya cuma ngabisin waktu istirahat di sana Pak.”

“Tapi kamu tau kan, kalau sehabis istirahat ada pemotretan?”

“Sa-saya lupa Pak.” Jawab yang ditanya sedikit terbata-bata.

“Huh…” sang guru menghela nafas, “Lalu kenapa kamu berantakan begitu? Dahimu terluka, kamu habis tauran?”

“Tauran?… enggaklah Pak. Saya masih Waras. Gak akan ngerayain kelulusan dengan buang-buang tenaga macem itu”

“Lalu lukamu?”

“Ini…”

“Habis terjatuh, tadi dia terperosok di lubang yang ada di bukit saat menuruninya” timpal Ryan memotong perkataan Dzofi.

“Begitu? Yasudah, sekarang cepat kalian rapihkan penampilan kalian. Lalu segera kalian bertiga difoto” perintah Pak Hendri.

“Fotonya cuma kami bertiga aja Pak?” Tanya Adan memperjelas.

“5 menit!” ucapnya sambil melangkah pergi. Nampaknya ia tak berupaya mengulang perkataannya. Ketiga pemuda itupun tau kalau dia sudah bicara seperti itu, berarti harus segera dilakukan tanpa mengulur waktu. Merekapun bergegas ke kamar mandi siswa.

“Duh, gimana nih, pakean gue agak kusem lagi” keluh Dzofi.

“Dah, bersiin aja sebisanya, gak terlalu kotor kok, cuma debu doang, gampang diilangin.” Tanggap Adan.

Mereka berduapun membasuh muka dan merapihkan penampilan mereka sebisa mungkin dengan waktu yang terbatas.

“Satu menit!” ucap suara yang mereka kenal. Merekapun langsung bergegas menuju aula.

.

“Siap…” seru sang photographer.

“Entar dulu!” timpal Adan. “Dzo, luka lu keliatan, sini gue rapiin rambut lu” ujar Adan mengatur rambut rekannya supaya menutupi lukanya.

“Adaww… sa-sakit Dan” ucap Dzofi lirih.

“Sebentar lagi… Sip”

Merekapun siap untuk difoto. Ryan, Dzofi, Adan.

Ryan, dengan menggenggam buku yang belum selesai ia khatamkan. Berada di sebelah kanan.

Dzofi, merangkul tangan kedua sahabatnya, melihat kearah kamera dengan senyum lebar. Tengah.

Adan, menyeringai, menatap kedua sahabatnya. Disebelah kiri.

“Baiklah, tahan…

Satu…

Dua…

Tiga…

.

.

.

Ughh… silau” ucapku lirih.

Aku terbangun langsung menatap lampu yang tepat berada di atasku.

Di-di mana ini? Perasaan tadi lagi ngumpul-ngumpul teruss…

Akupun sadar, kini aku sudah ada di tempat yang berbeda. Kini aku seperti di dalam kamar, di atas spring bed nan empuk. Akupun berusaha membetulkan posisiku agar bersandar.

Saat aku bersandar, sontak aku terkejut. Di depan ku ada seorang wanita berambut hitam panjang memunggungiku, ia menghadap lemari. Dan hanya berpakaian celana dalam.

A-apa yang udah gue lakukan? Ja-jangan-jangan gue udah melakukan ‘itu’! tapi kan gue gak sadar. Atau saking maboknya gue jadi sampe gak sadar kalo dah ngelakuin itu, sampe tertidur? WADUUHHH… jadi sampah masyarakat gue!

Tenang Dzof tenang.

Kepala lu tenang! Ketauan bisa dihajar massa Gue!

Bisa aja bukan elu yang ngelakuin, coba liat pakean lu. Masih rapih gak, kancingnya kebuka gak.

Akupun memperhatikan pakaian ku.

Baju gue masih rapih. Sekarang celana.

Pandanganku pun turun. Dan kudapati celanaku…

CELAANA GUE MELOROTT… WAA… DAH GAK PERJAKA GUEE, TOLONGG!

Apa… apa yang mesti gue lakukan? Pura-pura tidur? mati? Ato langsung cabut?

Ditengah pergelutan batinku. Kulihat sosok wanita itu sudah akan berpaling. dengan kecepatan cahaya, akupun langsung menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhku.

.

“Udah bangun?” serunya padaku.

Mula-mula aku tak berniat menjawabnya. Namun kurasa atmosphere di kamar ini mulai terasa aneh. Untuk mencairkan suasana, aku putuskan untuk menanggapinya.

Baru saja aku mau menjawab, entah disengaja atau memang ia tak tau. Ia menyentuh kaki ku yang berselimutkan selimut, lebih tepatnya paha.

“S-sudah” jawabku sontak karena sentuhannya.

“Dari tadi ya?”

“B-baru kok” jawabku dengan tetap muka kututupi selimut.

“Gak sopan loh kalo ngomong sama orang gak tatap muka” ujarnya.

Dengan canggung, akupun perlahan menyingkirkan selimut. Dan hanya memperlihatkan kedua bola mataku.

“K-Kak Mima?” seruku mengetahui bahwa ialah yang sedang berbicara dihadapanku. Namun tidak sampai disitu, ia kini hanya mengenakan handuk, itupun tak mampu menutup semua bagian ‘depannya’. Seketika, membuatku harus merapatkan kedua paha ku agar sesuatu tak menonjol dari dalam selimut.

Tahan! Tahan Kapten! Jangan bangun! Jangan Bangunn! Tidurlah, tidur…

“Wah, kamu kok tau nama ku. Si Ajay ya yang ngasih tau?”

“Bukan” jawabku singkat seperti orang menahan nafas. Sepertinya muka ku sudah memerah.

“Terus, tau dari siapa?”

“Name Tag” seruku.

Sontak, aku dan Kak Mima langsung terdiam. Kami sepertinya sama-sama sadar. Kalau yang ku ucapkan Itu sama saja kalau aku memperhatikan dadanya.

Malu, akupun menutup kembali seluruh tubuh ku dengan selimut. Namun ia malah menahannya.

“Ka-Kak Mima…”

“Kau boleh menyebutku Mima…”

/

“Oh iya Kak.. emm maksudku Mima, kita lagi berada di mana sekarang?” tenyaku masih belum tau lokasiku.

“Kita sekarang ada di kamar istirahat pegawai.” Jawabnya sambil merapihkan rambutnya.

“Kamar istirahat pegawai? Ku kira hotel hehe…”

“Begitukah? Enggak kok, kamar ini emang buat istirahat karyawan. Karena kedai ini kan buka sampai jam dua pagi. Biasanya pegawai yang ganti shif atau terlalu lelah biasa istirtahat di sini. Juga termasuk buat orang kayak kamu.”

Blush! Muka ku kembali memerah.

“Haha, bercanda. Kamu yang pertama kok.” Ucapnya kini melangkah ke kamar mandi dengan handuk yang ia kenakkan.

Aku sebenernya masih membatu, namun lagi, kupaksakan untuk bicara. Agar aku tak teralu kaku. “Kamu mau mandi?”

“Iya, mau ikut?” jawabnya dengan ekspresi yang jikalau semakhluk jomblo melihatnya, niscaya ia pasti langsung mencari sabun dan tisu.

“A-aa… enggak. Aku cu-cuma mau ngingetin kalau nanti bisa rematik kalo mandi jam segini…” akupun menoleh kearah chronometerku.

“A-apa? Dah hampir jam Dua?” ucapku panik. “Mima, aku pulang dulu ya, besok takut kesiangan”

“Iya, hati-hati ya” jawabnya dari dalam kamar mandi.

Akupun segera membuka pintu yang terkunci. Lalu menutupnya kembali. Dan berjalan terburu-buru kearah pintu keluar. Nampaknya kedai ini memang sudah ingin tutup. Kawanan Kak Rief-pun sudah tidak ada. Segera aku pacu kecepatan lariku di tengah malam markas Bellato ini menuju mesh H-009.

Mungkin kalau esok pagi tak ada kelas force, tentu aku tak perlu repot-repot berlari. Dan malam inipun akan beda ceritanya. Badanku akan basah mungkin? Tidak ada yang tau.

.

.

*Keesokan harinya*

Seperti yang bisa diduga, aku hari ini bangun kesiangan, tepatnya jam -09.11- sedangkan kelas force mulai tidak lebih dari 20 menit lagi. Penyebabnya tentu bukan karena kekurangan jam tidur. Melainkan sesampainya di kamar ku. Aku tidak bisa langsung tidur, otak ku sibuk terbayang kejadian dimalam sebelumnya. Entah harus memaki sial atau bersyukur.

Akupun langsung memanaskan air dengan api kecil, lalu kutinggal mandi. Jadi selesai aku mandi, air itu bisa kugunakan untuk menyeduh Energon ; Energy tuk semangat tiap hari.

Njirr… lima menit lagi. Batinku, akupun langsung berlari sekuat tenaga ke kelas outdoor.

.

Seperti biasa, pelajaran kali ini melanjutkan materi sebelumnya ; praktik force angin bagian listrik.

Pak Rudy-pun datang. Diikuti seseorang di belakangnya.

“Anak-anak, kali ini kembali, kita mendapatkan teman baru. Ayo, perkenalkan dirimu.”

“Ryan?” ucapku lirih.

.

Pelajaran kali inipun dapat aku lampaui dengan baik, termasuk anak baru, yaitu Ryan, walaupun ia agak kesusahan diawalnya. Setsu yang sudah mendapat jaminan nilai A dengan mudahnya membuat kami terpukau. Seharusnya ia menjadi sprirtualist, batinku.

.

Pelajaranpun berakhir, aku dan Ryan-pun meniti jalan yang sama.

“Yan”

“Hn?” jawabnya seperti biasa, sambil membaca buku.

“Umm.. kemaren gue ketemu Adan.” “Kemaren sore, tapi begitu gue udah deket pengen samperin. Gue urungkan niat.” Sambungku dengan nada sedikit lesu.

“…” “Kita ngomongnya sambil duduk aja” serunya menunjuk bangku yang tak jauh dari kami.

Iapun menghampiri salah satu mesin penjual otomatis di tepi jalan lalu melemparkan sebotol teh rasa sakura, kesukaanku.

“Gratis?” ucapku telisik curiga. Orang tipe ekonomi kaya dia takkan memberi sesuatu yang percuma tanpa alasan.

“ya” jawabnya sambil menengguk jus jeruk kalengan. “Itung-itung itu karena elu dah ganti mesin pencetak peluru kita.” Sambungnya.

Hehehe… gue sama sekali gak keluar sedalantpun. Mumpung gak gue kasih tau kalo Setsulah yang minjem.

“Oh ya, tadi apa yang pengen lu omongin?” serunya kembali.

“Gue kemaren sore ketemu sama Adan, tapi dia gak tau kalo gue liat dia. Sebenernya gue pengen nyapa, tapi entah mengapa, saat hampir tinggal tepok pundaknya, gue teringat sama bentakkannya. Guepun mengurungkan niat.” Jelasku sambil membuka segel botol.

“Gue juga ketemu dia.” Seru Ryan sambil meneguk minumannya.

“Kapan?”

“Kemaren sore, selesai gue belanja dari beli makanan. Gue liat dia di depan tangga markas. Entah apa yang dia fikirin, tapi sepertinya sesuatu yang berat sedang dia alami. Dia hanya meminum minumannya sambil melihat kearah Timur, arah bulan terbit.”

“Homesick, apakah itu yang dia rasakan saat ini. Elu ngerasain juga gak?”

“…” Ryan tak bersuara.

“Mungkin gue sempet merasakannya, kangen akan rumah di jauh sana. Berkumpul sama keluarga, dan mengenang masa lalu. Tapi gue fikir lagi. Toh gue dah gak punya siapa-siapa di sana. Jadi buat apa gue bersedih? Walaupun sangkalan yang tujuannya buat memperkuat gue di sini sebenernya gak berpengaruh terlalu banyak.”

“Ya, gue malu mengakuinya, tapi gue merasakan hal yang sama. Gue kangen sama ayah gue di sana. Gue gak berhenti mikirin dia. Dia di sana sendirian, anaknya merantau dan ibu gue dah gak ada. Disitu terkadang gue merasa sedih. Gue juga mempermainkan fikiran gue, gue bilang ; ‘lu disini buat bantuin hidup bokap lu, harumin nama keluarga lu yang dari keluarga biasa-biasa aja! Jangan cengeng!’ itu. Tapi tetep aja, gue yang mempermainkan fikiran gue sendiripun pasti tau apa yang sebenernya yang gue rasakan. Yang hati gue rasakan.” Ujarnya sambil menatap kaleng minuman yang ia genggam.

“Seseorang bilang ke gue, kalo persahabatan itu punya ikatan. Apa yang lu rasain saat ini, sahabat lu pasti ngerasain di sana. Ikatan, bisa digunakan untuk merasakan dan memulihkan.” Ujarku mengulang perkataan Kak Rief. “Jadi gue rasa, Adan-pun sedang mengalami persoalan yang sama dengan apa yang kita hadapi.”

“Huhh…” iapun meneguk sekaligus minumannya yang tersisa, berdiri dan melemparkan kaleng pada tong sampah berlambang daur ulang. “Ayo, kita susul sahabat kita” ucapnya sambil mengulurkan tangannya padaku.

Sontak, akupun langsung teringat kejadian masa lalu, saat ia menjulurkan tangannya untukku.

Tap!

“Ya. Kita bantu dia melalui semua ini.”

Kamipun bergerak menuju mesh Adan.

“Lu ingat? saat Akademi Pertama, dia mengatakan kalau lu terlalu sering membaca, lu akan menggunakan kacamata.”

“Ya, gue ingat.”

.

.

.

Beberapa menit kemudian, kami berhasil sampai di gedung mesh D-E-F. F-022, itulah tujuan kami, namun seperti biasa, saat kami berusaha mencari penghuninya, ia tak ada.

“Kemana Adan kira-kira ya?” ucapku bingung. Ryan-pun mencoba menarik daun pintu.

Cekrek…

Gak dikunci!” seruku berbisik, “Yan, apa yang kau lakukan?” Ujarku mengetahui Ryan mulai nyelonong masuk.

“Dia memang ceroboh, tapi gak seperti biasanya kalau dia sampe lupa ngunci rumah” “Liat, kuncinyapun masih nyangkut dibelakang pintu.” Sambungnya.

Aku dan Ryan-pun mulai memasuki mesh Adan.

“Apa yang akan kita lakukan di sini?”

“Berjaga-jaga, takutnya ada barang yang dicuri” jawabnya sambil melihat sekitar, lebih tepatnya justru kaya orang mau maling.

“Gue rasa bila ada orang yang sedang berusaha mencuri sesuatu, kitalah orang yang tepat.” Seruku sambil terus melihat sekitar.

Ditengah aku melihat-lihat, aku terpaku pada sesuatu yang berada diatas meja.

“Yan, lihat sini!”

“Ada apa?”

“Itu!” sambil aku menunjuk foto yang terbingkai. “Dia masih menyimpannya” lanjutku mengetahui foto itu adalah foto kami saat perpisahan akademi pertama.

“Dan yang disebelahnya?” giliran Ryan yang menunjuk bingkai beserta foto yang terbalik terletak tak jauh.

Tampak seperti foto yang sama dengan yang sebelumnya, sama-sama ada tiga orang lelaki di sana, dua orang yang sudah besar. Dan anak kecil di tengah.

“Gue gak tau foto yang satu ini, tapi gue yakin yang ditengah pasti Adan.” Ucapku menanggapi.

“Tar dulu, lu inget gak? Adan pernah bilang kalau dia punya abang.”

Akupun teringat perkataannya ; “Gue bakal jadi orang yang berguna, layaknya abang-abang gue, dan gue akan pulang dengan membawa kebanggaan”

“Abang-abangnya. Berarti dia punya lebih dari satu, kedua orang inilah berarti Kakaknya Adan!”

“Bener. Dan kita gak pernah tau rupa mereka karena mereka dah terlebih dahulu berangkat ke Novus.”

“Huh…” eluhku menghembuskan nafas berat sambil memijat kening. “Sebenarnya apa yang terjadi.”

.

“Yuk, udah waktunya kita pergi dari sini.” Seru Ryan. Akupun mengikutinya menuju pintu keluar.

“Eumm.. Yan, apa yang lu bawa?” tanyaku heran.

“Sesuatu yang akan membantu” jawabnya. “nih, lu bawa kunci meshnya” lanjutnya sambil melemparkan kunci itu kearahku.

“Eh? Kok gue? Elu mau ke mana?” tanyaku padanya yang juga ia sudah berlari meninggalkanku.

“Ada perlu sebentar. Dah, gue duluan ya…” ucapnya seraya pergi.

.

Akupun menuruni tangga sendiri kali ini.

Tap.. tap.. tap…

Saat hendak menuruni tangga terakhir, aku bertemu dengan seseorang…

“Setsu? Dari mana?” tanyaku saat melihat sosok berambut biru itu.

“Dari nengokin Liora. Kau sendiri mau ke mana?” tanyanya balik.

“Ahh.. engg… aku sendiri entah mau ke mana, bingung hehe..” jawabku sambil menggaruk kepala yang tak gatal.

“Dari gesturmu sepertinya kau ada masalah, mungkin ada yang bisa ku bantu?” ujarnya menawarkan bantuan.

“Ahh… tidak-tidak, bukan masalah besar.”

Kamipun Sempat berdiam agak lama, seakan ia menungguku bicara.

“Baiklah kalau begitu, aku duluan ya…”

“Umm.. sebenernya begini…”

.

.

“Ohh, jadi begitu. Kau sudah belakangan hari ini mencari keberadaan temanmu namun tak kunjung berjumpa dengannya.” Tanggapnya setelah aku memberitahu di mana letak kesulitanku sekarang. Tidak semuanya.

“Begitulah…”

“Seperti apa orangnya?”

“Seperti apa ya?… memiliki rambut coklat, tingginya sepantaran denganku” jawabku memberi deskripsi yang tak terlalu membantu.

“Baiklah, aku akan membantu mu. Tapi sebelumnya, apa kau memiliki suatu barang miliknya?”

“Barang… kalau ini? Ini kunci miliknya” jawabku menunjukkan barang yang kusebut.

“Oke, sekarang kita ke goa Chink”

“G-goa Chink?” Ucapku ragu

.

“Kau gak kapok, masih nekat ke sana?”

“Ngapain kapok, hantu kan adanya malem jumat, sekarang malem Ahd (Minggu).”

“Njirr.. bener juga, lebih horror buat kita-kita…” ujarku sambil bergidik ngeri.

“Sama…”

Sambil bercakap-cakap mengenai kejombloan kami, membuat kami tak terasa sudah sampai di depan mulut goa Chink.

“Buat apa kunci itu?” tanyaku penasaran saat ia mengeluarkan dari kantongnya.

“Kita akan minta bantuan sang ahli” ucapnya yakin.

Sa-sang Ahli? Ja-jangan-jangan dia bakalan minta bantuan sama penunggu goa ini. Makanya dia dah gak takut karena dah akrab. Dan gue di sini akan berperan sebagai mediator. Kesurupan, ngeraung-raung dan menjadi perantara pembicara dari jin yang masuk ketubuh gue. Kaya di film Duo Dunio…

“E-ehh.. Kaset, apa yang akan kau lakuin hah? Tanyaku sedikit panik.

Tanpa menjawab, mulutnya mulai bergerak seperti mengucapkan sesuatu. Sambil jari yang dimainkan.

Merasa terganggu, iapun mengalihkan pandangannya kearahku. “Memanggil” ucapnya dengan ekspresi kapten Yamato dan cahaya senter tersorot dari bawah mukanya.

“Waa… Sejak kapan kau nyiapin senter begitu”

“Dah, jangan ganggu!” iapun melanjutkan ritualnya, ia siapkan mulutnya seperti gerakan menghirup, kemudian ia mainkan jarinya, mengarah kemulut.

“Suuuuiiiitt…” terdengar nyaring, memantul disetiap dinding goa.

“Si-siul?” ucapku dengan facepalm.

“Iya, Kau kira aku mau ngapain? Manggil dedemit?” balasnya. Tak lama kemudian suara langkah kaki cepat menghampiri kami.

Sosok itupun kini terlihat jelas,

“Li-o-ra!” seru Setsu berlari slowmotion menghampiri peliharaannya itu. Aku yang melihatnya menjadi agak aneh – -“

Merekapun saling berpelukan, layaknya majikan dan peliharaan yang sudah sekian lama tak berjumpa. Hiperbola.

Sambil mengelus-elus rambut hitam milik Liora, Setsu berkata “Liora, tolong kau cari pemilik kunci ini yah” yang dimintai tolongpun mengendus barang yang ditawarkan.

“Gruwff…” ucapnya sambil mengarahkan moncongnya ke utara.

“Dzof, ayo kita ikuti Liora” seru Setsu.

“Ya” jawabku sambil mengangguk.

Kalian akrab sekali, entah mengapa aku sedikit iri… batinku.

.

.

Kami berduapun mengikuti kemana Liora menuntun kami. Hewan-hewan agresif macam ratmoth tak menyerang mengetahui kami bersama Liora.

“Gruwwf…”

“Target sudah dekat” sambung Setsu seakan penerjemah.

Dan beberapa belas meter di depan, aku sudah bisa melihat seseorang di depan sana. Ia tengah menyerang warbeast, mengerjakan quest kurasa.

“Setsu, selebihnya biar aku saja yang mengurusnya. Terimakasih, kau juga Liora”

“Baiklah, kalau begitu kami akan pergi. Semoga kau beruntung” balasnya sambil menyerahkan kunci yang tadi kuberikan.

.

“Gyah! Hah! Heaa!” suara terucap dan diikuti bunyi tulang yang retak maupun hancur.

Adan, ia melawan beberapa Warbeast sekaligus dengan menggunakan Kapak berwarna merah, Intense Great Axe di tangan kanannya dan Intense Round Shield di tangan kirinya.

“Graoo…” raung salah satu warbeast dari belakangnya. Sepertinya ia tak menyadari untuk yang satu itu. Akupun segera mengeluarkan Enforcer ku.

DORR!…

Binatang itu terkapar, semuanyapun telah mati.

“Elu, mau apa lu ke sini?” ucapnya menoleh dengan menatap dingin.

“Apakah itu cara lu berterimakasih sama orang yang udah nyelamatin hidup lu?” jawabku diiringi langkah mendekat.

“…” iapun duduk disalah satu batu.

“Dan, Sebenernya lu kenapa? bicara aja sampe begitu sama gue, sama Ryan. Sebenernya apa yang terjadi?”

“Bukan urusan lu”

“Hn… lu tau, seorang sahabat gak akan ninggalin sahabatnya, meskipun dia sama sekali gak dianggap sahabat sama orang itu.” Kini kutuntun tangannya agar menggenggam HP Bless 100cc pemberianku. Kemudian aku duduk, kami saling memungungi.

“…”

“Sahabat itu kalau temannya merasa kesusahan, entah bagaimana caranya ia pasti merasakan hal yang sama.”

“…”

“Baru-baru ini, gue ngalamin apa yang disebut Homesick. Merindukan mereka yang di sana, Nilben. Walaupun sebenernya gue dah gak punya siapa-siapa lagi di sana. Ryan-pun juga merasakan yang sama. Jadi gue rasa, lu merasakan masalah yang sama dengan kita.”

“…”

“Merindukan. Kenangan memang menyakitkan namun juga bisa membahagiakan. Rasa dari kejadian manis bisa menjadi pahit bila telah menjadi kenangan, demikian sebaliknya.”

“… hiks…” aku mulai mendengar isak tangis dari balik pungungku.

“Ikatan Dan, ikatan. Selama kita mempunyai itu, semuanya akan bisa kita lalui bersama.”

“ikatan…” serunya bersuara dengan lirih.

“LU GAK TAU APA-APA!” kini ucapnya membentak diikuti bantingan botol kaca sehingga suaranya menggema di tengah sunyi.

Akupun hanya bisa terkejut mendapati reaksinya.

“Ikatan! Lu tau apa yang gue dapet satu minggu di Planet terkutuk ini?” serunya kini menggenggam kerah bajuku.

Kami berhadapan, saling tatap muka. Dia… dia bukan Adan yang aku kenal.

Dengan mata yang sudah berkaca-kaca disertai aliran airmata dan noda darah, ia melanjutkan.

“Kedua Kakak Gue Mati!”

Brukk…

Ia melepaskan genggamannya, akupun hanya bisa tersungkur lemas.

A-apa… apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kejadian macem ini begitu cepet, bahkan belum satu bulan, salah satu dari kami harus merasakan kehilangan.

Apakah ini medan yang sesungguhnya kami hadapi…

True Face of Novus

.

.

.

“Apa kalian tahu? Setibanya kalian di Planet Novus, kalian akan dihidangkan peperangan…”
-Capt. Dr. Zappeto- Ch. 4

CHAPTER 15 END.
Next Chapter > Read Chapter 16:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-16/
Previous Chapter > Read Chapter 14:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-14/
List of Journey For Identity Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-list


Catatan Author

JFI WIKI/Trivia :

Weapon : Great Axe sebenernya senjata dua tangan, level 5 dan berwarna merah. tapi karena menurut author senjata itu terlalu kecil, maka seperti halnya Enforcer, itu aku ubah menjadi senjata satu tangan yang bisa digunakan dengan prisai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *