PEJUANGNOVUS

JOURNEY FOR IDENTITY CHAPTER 17 – IM ON THE RIGHT PATH

Journey For Identity
Penulis: Bid’ah Slayer


11 July 133 Novus Era…

Chronometer sudah menunjukkan pukul lima, dan ini saatnya aku mengawali kembali aktivitasku. Aku tau, seperti biasa Kak Ulfa akan datang setelah ia olahraga pagi, makanya aku berjalan kearah pintu lalu membuka kuncinya, agar saat ia datang, ia tak perlu mengetuk pintu dengan caranya.

Akupun pergi menyiapkan amunisi dan beberapa perlengkapan lainnya, karena hari ini aku, Ryan dan Adan akan menyelesaikan misi bersama yang kami dapat sore tadi. Yaitu untuk mengamankan sector bellato outpost.

Belakangan ini, entah apa penyebabnya Crawler mulai memenuhi sector itu. Dan sudah menjadi tugas kami untuk mengusir mereka dan melindungi area kependudukan agar tak terjadi masalah yang tidak diinginkan.

“Peluru, ada. Setengah Stout Gun, ada. Sosun Patta, ada. HP, FP, SP… SP gak usah lah, menuh-menuhin tas aja. Oke, semua lengkap. Sekarang tinggal mandi, terus sarapan.” Ucapku selesai meng-recheck segala keperluanku.

Akupun kini berjalan kearah kamar mandi, lalu melihat Chronometer

“Udah jam 05:40, sebentar lagi pasti Kak Ulfa dateng.” Gumamku seraya melilitkan handuk ke pinggulku. Lalu memasuki kamar mandi.

Pagi yang memang terasa dingin sampe-sampe kali ini bukan gue aja yang ‘bangun’ atau hanya perasaan gue? Batinku sambil menanggalkan pakaian.

Namun entah mengapa, sekarang pikiranku diikuti bayang-bayang sesuatu yang membuat darahku terpacu… membayangkan sosok seseorang…

Njirr… kok malah makin tegang?”

.

-05:59-

Aku selesai mandi dan kini melangkah keluar

“Kamu mandi lama amat sih?” Tanya wanita yang tidak lain adalah Kak Ulfa.

“Ehh? Kak Ulfa… udah dari tadi?” tanyaku padanya. Jujur saja, aku kaget, karena Biasanya saat ia datang, aku dapat mendengar suaranya. Namun kali ini tidak.

“Tadi kamu manggil Kakak di dalem mandi? “

“Ma-manggil? Mu-mungkin Kakak salah denger.” Mukaku langsung pucat pasi, khawatir kelakuanku terbongkar.

“Enggak kok, tadi dari dalem kamar mandi Kakak denger kamu manggil nama Kak Ulfa berulang-ulang. Emang ada apa?” tanyanya dengan tubuhnya mendekat kearahku. Tank top dan celana pendek sepaha yang ia kenakkan, basah oleh keringat di sisi-sisi tertentu. Membuatku makin tidak berkutik dan sulit bicara.

“O-ohh, itu… tadi mataku kelilipan sampo Kak, terus aku menggil nama Kakak minta ambilin handuk. Ya untungnya ternyata aku udah bawa handuk. Jadinya aku bisa ngelap mataku yang pedih gara-gara busa sampo. Begitu, iya begitu. Hehe…” ucapku diikuti tawa yang dipaksakan.

“Yaudah, lain kali kalo manggil itu yang jelas, jangan kaya orang mengerang.” Ucapnya berlalu, kemudian ia menggunakan apron menuju dapur.

Lega, namun kesempatan ini tak kusia-siakan, aku segera kembali ke kamar mandi, kemudian menutupi semua jejak. Sesempurna mungkin.

.

.

Semoga Kak ulfa melupakan kejadian itu, semoga cepat lupa.” Batinku sambil melangkah menuju ruang makan, aku tak henti-hentinya berdo’a agar ia benar-benar melupakan hal itu. Minimal tak mengetahuinya.

“Masak apa Kak hari ini?” ucapku membuka perbincangan.

“Flem goreng. Sama susu kocok.” Jawabnya sambil mendekatkan segelas susu kepadaku.

Kocok…”

Entah mengapa, kata itu terdengar amat sangat sensitive. Kekhawatiranku semakin meningkat, takut sebenarnya ia menyadarinya. Namun sebisa mungkin aku bertingkah seperti biasa.

“Flem? Flem mulu, gak ada yang lain?”

“Jadi maunya apa? Kamu mau makan Wing goreng?”

“E-enggak enggak, emang aku Accretian grogotin makhluk besi itu, haha…”

“Yaudah, yang ada aja yang kamu makan. Gak usah nyari yang gak ada. Nasinya sisain yah, Kakak minjem kamar mandi kamu dulu.” Ucapnya berjalan menuju kamar mandi.

Sebenarnya aku makin panik, namun aku berfikir kalau aku sudah menutupi jejak serapih mungkin. Bahkan sudah kuhilangkan barang bukti. Jadi sedikit banyak rasa percaya diriku meningkat. Semoga…

Ada sekitar lima menit Kak Ulfa berada di dalam sana, sampai akhirnya ia keluar, duduk di depanku, lalu berkata.

“Kamu… gadoin susu kental manis ya?”

!

BRUSHHH!

“Uhukk uhukk…” aku sontak tersedak dan seketika itu pula speechless, bingung harus berkata apa, apakah aku harus mencari alasan lain, mengiyakan ucapannya atau mengaku atas apa yang sebenarnya telah aku lakukan.

Kurasa bila aku terlalu lama berdiam diri itu juga tidak bagus, akupun terpaksa mengatakan kalau…

“Aku… gadoin susu kental manis…” ucapku mengiyakan sangkaannya.

“Tuh! Kamu jangan suka begitu ah! Nanti kalo diabetes gimana? dah, sekarang cepet habisin sarapannya, kamu ada misi ‘kan?”

“I-iya Kak, iya.” Jawabku dengan nada melas.

Fiuhh~ ternyata Kak Ulfa gak berfikir kemana-mana. Akupun segera menghabiskan sarapanku sesuai perintahnya.

Awalnya kami berdua, khusunya aku tak mau mengatakan apapun. Namun ditengah menyantap sarapan, Kak Ulfa berkata

“Hehe…” Kak Ulfa tampak tertawa sendiri, membuatku heran.

“Ada apa Kak?” jawabku masih mengunyah makanan.

“Kamu inget? Dulu waktu di Nilben, kamu sempet ngelakuin hal yang sama. Kamu dimarain kakek gara-gara gadoin susu kental manis juga, hihihi…” jawabnya dengan senyuman yang menurutku manis, dan mata yang sayu saat menatapku.

“I-itukan waktu aku masih umur enam tahun Kak, wajar dong kalo masih suka yang manis-manis. Kakak juga kan?” jawabku dengan muka agak memerah, malu juga karena wajahnya yang membuatku berdebar.

“Sampai sekarang pun kamu masih ‘kan? Hihi…” balasnya sambil mencoreng pipiku dengan noda susu kental manis yang berada diluar dinding gelas miliknya. “Hihihi… Iya, Kakak suka yang manis-manis. kamu jadi makin manis tuh.” Timpalnya dengan tawa kecil.

“Ih! Kakak sembarangan, akukan udah mandi. rasain nih!” balasku mengambil noda yang sama yang berada di gelas ku.

“Haha… rasain pembalasanku.” Ujarku dengan tawa setelah berhasil menodai hidungnya. “Haha.. Kakak lucu banget, ngaca sana…”

“Uhh… awas kamu ya.” kini ia mulai menuangkan di atas telunjuknya susu kental manis yang berasal dari kaleng yang berada di sebelahnya. Dan mulai berjalan kearahku.

“Ehh? kak jangan.. aku dah mandi, nanti jadi lengket.” Seruku memperingatinya, namun tampaknya ia tidak menggubris dan mengarahkan telunjuknya kepipiku yang satunya. Aku sebisa mungkin melawan, namun sepertinya dia menikmatinya. Senang membuatku kerepotan nantinya.

“Kak Jangan!”

“Pokoknya kamu harus manis, hihi…”

“Eggakkk…”

Kekuatan wanita di depanku entah berasal dari mana, aku sampai tak sanggup untuk menahan kedua tangannya. Aku sampai berpindah posisi manjadi terduduk dilantai akibat dorongannya yang membuat aku terjatuh. Didetik-detik terakhir, aku tidak kuasa menahan tangannya dan kuputuskan untuk menyerah.

Posisinya akibat tanganku yang menyerah tiba-tiba membuat tubuhnya menempel terlalu dekat di atas tubuh ku, jarak muka kami hanya sejengkal. Namun kurasa Kak Ulfa tidak mempedulikannya.

Syuutt…

“Haha… kamu manis sekarang.” Ucapnya tertawa ringan setelah berhasil mencoreng pipi ku.

Mukanya… ekspersinya… mungkin ia tidak menyadarinya, namun itu semua cukup membuat ku berdebar, memacu jantung ku untuk berkeja lebih keras.

Untuk persekian detik, aku memandangnya dengan pandangan berbeda, bukan sebagai sepupu. Tetapi…

“Hah.. hah.. hah..” suara nafas perlahan terdengar menjadi jelas oleh indra pendengaranku. Hanya dalam hitungan detik, kurasa ritme nafas kami menyatu.

Iapun menatap ku, tepat kedalam iris coklat yang sama dengan miliknya. Badan ku… seakan tak mampu menerima perintah akal ku untuk bergerak, mematung. Tubuh ku hanya pasrah tertimpa tubuh Kak Ulfa.

Tess…

Tetes Susu kental manis yang tempo waktu berhasil kuoleskan ke hidungnya jatuh tepat ke bibir ku. Reflex, aku menelan ludah, tanpa bisa tatapanku berpaling dari wajahnya, demikian juga dengannya, kurasa.

“Hah.. hah… hah…”

Suara nafas semakin jelas… di netra ku, kulihat wajah Kak Ulfa kian lama kian mendekat.

Senti demi senti… sampai…

Kulihat ia memejamkan matanya. Aku tak tau harus berbuat apa selain juga mengikutinya, memejamkan kedua mata ku.

Tokk.. Tokk.. Tokk..

“Dzofii… Dzofii… jadi ngejalanin misi gak?”

Sontak aku membuka mata, nampaknya Kak Ulfa juga sedikit terkejut setelah mendengar Adan dan Ryan memanggilku. Kamipun bangun, dan awkward momen antar kami berdua tidak bisa dihindari. Setidaknya aku yang merasa begitu.

“I-iya, tunggu sebentar!” seruku pada mereka sambil melihat chronometer ku.

-06:18-

“Oii, lama amat, gue tinggal nih!” ucap Adan mengancamku dari luar.

“Sebentar coeg! Gue rapih-rapih dulu!” balasku berteriak.

Akupun bergegas mengenakkan Tender Leather Shirt Set milikku, namun saat aku hendak mengenakkan baju ku, Kak Ulfa menghampiriku dan berkata

“Sini Kakak bantuin.” Tawarnya memberi bantuan.

“Eng-enggak usah Kak, aku bi…” saat aku berusaha menolaknya, kulihat tatapan matanya berbeda, seakan ia benar-benar ingin, kurasa. Akupun mengurungkan niatku untuk menolaknya. Tanpa berkata, aku lepaskan isyarat tubuhku agar ia yang mengenakkan baju ku.

Srett…

Bunyi retsleting baju ku selesai ditutup. Tanpa berkata setelahnya, aku segera bergegas mengambil inventory ku dan melangkah keluar.

“Kak, aku pergi du-“

“Dzofi!” seru Kak Ulfa tegas memanggil nama ku.

“A-ada apa?” ucapku sedikit kaget. Sehingga membuatku mengurungkan niat untuk membuka pintu.

“Mukamu masih belum rapih.” Jawabnya, iapun kini mengambil saputangan dari kantung celananya, lalu mengelap muka ku.

“Makasih… Kak.” Ucapku pelan. Jarak kami yang dekat mengingatkanku akan kejadian sebelumnya, sehingga aku sulit untuk berbicara sambil menatap matanya.

“Belum selesai.” Dia bilang sambil terus membersihkan muka ku.

Semenit kemudian, dia berhasil membuat muka ku menjadi bersih.

“Dah beres, sekarang kamu boleh keluar.” Ucapnya ambil tersenyum. Senyum yang sama yang membuat jentungku memompa lebih cepat.

Dengan memberanikan diri, aku menggerakkan tangan ku dan berkata…

“Belum, masih sisa sedikit.” Ucapku membersihkan noda susu dari hidungnya yang masih tersisa dengan telunjuk ku. “Hihihi…” lanjutku dengan senyum menunjukkan deretan gigi putih ku. Kulakukan itu agar tidak ada yang aneh atau merasa canggung.

Kemudian, diluar dugaanku, Kak Ulfa menggerakkan tangan ku mendekati mukanya, kemudian…

“Haapp…”

Dan iapun menghisap telunjuk ku.

“Ennn… Kak… Ulfa… apa yang kau lakukan?” ucapku benar-benar tidak tau harus berbuat apa, sedang ia masih menghisap jari ku. Mukakupun memerah dibuatnya.

“Kenapa? mubazir ‘kan?” jawabnya sejenak menghentikan aktivitasnya, lalu melanjutkannya lagi.

“Kakk… a-aku…” jujur, aku sungguh benar-benar dibuat tidak berkutik, aku sungguh tidak menyangka akan ada perempuan yang berbuat ini padaku, dan perempuan itu adalah dia.

Ditengah aku mematung dan Kak Ulfa melakukan itu, tiba-tiba…

Ceklek…

“Dzofi, ayo kita be-…” Ryan langsung menghentikan perkataannya saat kami.

. . .

Kini, aku, Ryan, Adan juga Kak Ulfa terdiam tak bergeming. Kak Ulfapun langsung menyudahi apa yang ia lakukan padaku.

“Dzofi, kami ganggu ya?” ucap Ryan membuka perkataan, dan hendak kembali menutup pintu.

“Eng-enggak! Jangan tinggalin gue!” jawabku salah tingkah menarik kerah baju mereka berdua.

“Umm… K-Kak Ulfa, makasih banyak ya… b-bye…” ucapku membungkukkan badan dan langsung berlari meninggalkan mesh ku sambil menyeret kedua teman ku.

.

.

Kami bertigapun kini berjalan menuju portal utama .

“Dzo, elu-“

“Kalo lu mau ngomongin masalah yang barusan, gue gak akan jawab!” potongku sebelum Adan menyelesaikan kalimatnya.

“Dah lah Dan, mungkin dia merasa terganggu gara-gara kita dateng diwaktu yang gak tepat.” Timpal Ryan mengejekku.

“Apa yang lu pikirin gak sama dengan kejadian yang sebenernya terjadi!” balasku tegas.

“Iye-iye, dasar tukang ngambek.” Timpal Adan .

“Jangan begitu Dan, nanti dia ngambek beneran lho.” Sambung Ryan gak mau kalah.

Tanpa mempedulikan mereka, aku memaju langkah berjalanku lebih cepat.

“Tuhkan, gara-gara lu tu Yan.”

“Woii, Fi, tunggu .” “Dzof, tunggu.” Ucap Ryan dan Adan bersamaan.

.

Beberapa menit kemudian, kami bertiga berhasil sampai di depan portal utama. Namun…

‘Mohon maaf

Teleport sedang dalam masa maintenance, teleport hanya bisa digunakan untuk jangkauan keluar sector ibukota. Demi memprioritaskan jarak penggunaan.

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.’

“Wutt? Itu tandanya…”

“…Kita gak bisa teleport…”

“menuju Bellato outpost.”

Ucap kami bertiga bergantian. Kemudian muka masing-masing dari kami menjadi pokerface.

“Badluck.” Ucap kami bertiga bersamaan.

.

.

“Jadi gimana? kita mau lewat mana?” tanyaku membuka musyawarah antar kami bertiga.

“pilihannya?” Tanya Adan, akupun lallu membuka map hologram.

“Utara, lewat tempat biasa waktu kita nyelesaiin misi big ratmoth. Tengah, lewat goa. Selatan, lewat lode falls. Pilih yang mana?” jawabku memberi pilihan.

“Yang biasa aja lah.” Jawab Adan. Kemudian Ryan menimpali “kita mau ke outpost lho, dijalur itu banyak banget monster agresif, vafer nipper, big ratmoth, juga lapis yang ngeselin.

“yaudah, kalo begitu tengah aja.” Ucap Adan lagi.

“Pilihan paling cepet, gue setuju.” Timpal Ryan.

“Gak! Gue gak mau lewat goa itu. Tempo hari gue sama Ryan ketemu bandit disana, bisa jadi mereka nunggu prajurit newbie kaya kita buat dipalakin.” Elakku menolak.

“Yaelah, kita bertiga ini, ngapain takut coba?” balas Adan remeh, tapi Ryan mendukungku, ia mengatakan benar dan bisa saja walau kita bertiga, jumlah mereka bisa lebih banyak di dalam sana.

“Lagi pula, disana gue ngelihat sesuatu yang menyeramkan. Gue melihat arwah seorang prajurit dari masa lalu. Berjalan dengan suara zirah beratnya.” Tambahku. Namun sepertinya hal itu membuat mereka gak yakin.

“Lu percaya sama yang begituan? Lu lahir dari jaman kapan? Jaman Lothan the third masih jadi lempengan besi? Sekarang dah gak ada yang begitu-gituan Dzof.” Balas Adan meremehkan.

“Terserah, lu bisa ngomong begitu karena lu gak pernah ngeliat. Gue do’ain lu ngerasain hal yang sama kaya gue.”

“Udah-udah, jangan pada ribut. Gue gak tau si Dzofi bener apa kagak, tapi gue mending milih gak lewat sana karena alasan bandit yang bisa aja ada disana.” Seru Ryan menengahi kami.

“Jadi, pilihannya tinggal… lewat selatan? Jalur lode falls?” ujar Adan memastikan.

“Iya, emang agak sedikit jauh sih, tapi ya itung-itung nambah pengalaman. Iya ‘kan Yan?” ucapku sambil menyebut namaya.

“Ah, iya-iya.”

“Lu kenapa? Apa ada sesuatu?” ucapku memastikan.

“Entahlah, kayanya gue inget sesuatu tentang jalur itu, tapi apa, entah gue lupa.” Jawabnya.

“Yaudah, keburu kesiangan, ayo kita selesain misi ini terus pulang.” Timpal Adan yakin sambil melangkah lebih dulu dari kami.

.

.

“Gak ada yang salah kan Yan? Sedari tadi kita cuma ketemu Stink Bug, Heavy Wing sama konco-konconya.” Ucapku pada Ryan sambil membuka percakapan.

“Iya, mungkin cuma guenya aja yang terlintas ingetan samar-samar.” Jawabnya sambil tetap mengutak-atik alat yang sedang ia pegang.

Kamipun sampai di jalan setapak, tampak beberapa langkah di depan kami kumpulan pohon rindang yang membentuk kanopi menyambut, sehingga suasana menjadi sangat sejuk.

“Ahh, adem banget, jarang-jarang liat pemandangan begini di markas.” Seru Adan sambil mengangkat kedua tangannya, menghirup sebanyak mungkin okseigen yang dikeluarkan pepohonan sekitar.

“Perjalanan kita masih panjang, sekarang bukan waktunya leha-leha Dan.” Seruku mengingatkan. Ryanpun nampak setuju, dengan tidak mengatakan apapun.

“Huh, gue kayanya sial bisa setim sama lu pada. Seratus orang aja pemikiran sama lu, dunia pasti lebih cepet kiamat.” Keluh Adan. Kamipun melanjutkan perjalanan.

Sebenarnya bukan aku tidak senang dengan pemandangan asri seperti ini, justru sebaliknya, aku sangat senang. Tetapi misi adalah misi, harus diselesaikan hari ini juga.

Sekitar lima menit kami berjalan menyusuri jalan bernaungkan pepohonan. Tiba-tiba Adan mengatakan sesuatu.

“Sutt! Kalian dengar itu?” ujarnya sambil mengisyaratkan jarinya agar kami berhenti melangkah.

“Umm… gue gak dengar apapun.” Jawabku setelah mencoba memperhatikan seksama.

“Coba lebih pertajam lagi pendengaran lu.” Ucapnya. Akupun kini memejamkan mata sambil mencoba memfokuskan perhatianku pada indra pendengaranku.

Suara serangga…

Suara angin…

Suara binatang…

Tes…

Gemericik air. Batinku menyadari apa yang Adan maksud.

“Air terjun.” Seru Ryan mendahuliku berbicara.

“Betul. Ayo kita kesana.” Ajak Adan, langsung saja ia melangkah meninggalkan kami berdua.

“Oii! Inget misi, kita gak ada waktu buat yang begituan.” Seru Ryan memanggil ada yang sudah berada agak jauh di depan.

“Ayolah, jangan kaku. Kapan lagi kita sempet kesini?” balasnya sambil tetap berjalan.

Huft~

Kami berdua menghela nafas setelah saling lirik sebelumnya.

“Kenapa lu gak gerak nyeret dia?” Tanya Ryan, sambil mengikuti langkah Adan.

“Gue kira elu yang bakal nyeret dia, makanya gue diem.” Jawabku.

Kami berdua pun berjalan menyusuri tempat yang Adan dituju.

.

Cukup lumayan jarak yang ditempuh, untuk ukuran jalan yang belum diketahui sebelumnya. Mungkin ada sekitar kurang dari sepuluh menit sampai kami menemukan sumber ‘gemericik’ air yang dimaksud.

Suara semakin dekat semakin jelas terdengar, suara air yang deras. Lode Falls.

“Gimana? gak nyeselkan ngeliat yang beginian.” Ucap Adan dengan senyuman lebar.

Iapun melepas sepatunya, lalu merendamkan kakinya ke air.

“Wah, pemandangan langka nih.” Seruku sambil mendekat kearah air terjun. Lalu ikut membuka sepatu, mencelupkan kaki ke dalam air.

“Gimana? adem ‘kan?”

“Iya. Hehehe..” jawabku sambil senyum cengengesan.

“Kalo begini berasa kurang.” Ucap Adan kini bangkiti, lalu membuka armornya. Setelah itu, iapun berlari menuju kolam, namun sebelum itu aku dengan sigap mencengkram lehernya dari belakang.

“Eh eh, lu mau ngapain?”

“Berenang lah, nanggung banget kalo cuma ngerendemin kaki.”

Akupun langsung menatap Ryan, melihat reaksinya apakan ia menyetujuinya atau tidak.

“Jangan lama-lama, kita masih punya misi.” Ujar Ryan.

Akupun melepas cengkraman tangan ku.

Drap.. drap.. drap…

JEBYURR…

“HAHH… seger banget bro! ayo sini ikutan.” Ajak Adan. Nampaknya itu asik, akupun ikut melepas armor ku.

“Haha.. ketara tuh ‘adek’ lu,” ujarnya sambil berenang setelah aku melepas celana ku.

“Jangan diperhatiin, dasar maho!” balasku memaki. Tidak seperti Adan, aku terlebih dahulu melakukan pemanasan sebelum berenang.

“Dah, jangan lama-lama. Tadi ‘kan kita dah jalan kaki sampe kesini. Itu namanya pemanasan, iya ‘kan?” seru Adan.

“Ah, bener juga lu. Oke, pahlawan kita datang… Geronimoo…”

JEBYURR…

“Brr… seger, bener-bener seger.”

“Yan, lu ikut gak? Ayo sini. Kapan lagi coba bisa berenang.” Seru Adan kini mengajak Ryan.

“Gak ah, gue gak mau.” Jawabnya segar, sesegar air yang kini kurasakan (baca : dingin).

Akupun kini menghabiskan waktu berdua bersama Adan, berenang dikolam yang hanya kami bertiga yang menempati.

.

Setelah asik berlomba berenang, aku dan Adan menatap Ryan yang sedang sendirian duduk ditepi kolam, menyeburkan kaki kedalam air sambil digerak-gerakkan.

Sekejap, terlintas ide dalam benak ku, akupun menatap Adan. Memberi isyarat dengan mengerakkan arah mata dan kepala.

Tanpa mesti mengeluarkan bahasa, Adan tau maksudku. Akupun kini menghampiri Ryan.

“Dah selesai berenangnya?” ucap Ryan saat aku sampai dipinggir kolam.

“Udah, gue gak bawa salin, bakal repot kalo kelamaan renang. Bantuin gue dong.” Jawabku lalu diikuti menjulurkan tangan.

“Dih, pake usaha sendiri lah.” Jawabnya enggan membantuku.

Akupun kini bangkit, lalu menghampiri inventori yang letaknya dibelakang Ryan.

“Yan, lu bawa senjata apa?”

“Assult Rifle. Lu? Seperti biasa? Masih coba dua senjata berbeda sekaligus?” ucapnya tanpa melihat kearahku, tertuju pada Adan yang masih di kolam.

“Iya, senjata yang bisa dipake nanti paling banter sampe Uzi doang buat dipake satu tangan. Makanya gue latihan dengan teknik ini. Gue jamin gak banyak orang yang coba gaya bertarung kaya gini.” Jelasku padanya.

“Jarang, karena yang waras masih banyak. Apa aja senjata yang lu pake?”

“Stout Gun sama Sosun Patta.” Jawabku seraya mendekat padanya.

Nampaknya dia tidak mengatakan sesuatu, perlahan tanpa membuat suara sedikitpun, aku benar-benar kearahnya…

Tap

Tap..

Tap…

“Fi… elu pernah merasakan sesuatu yang sulit untuk akal atau perasaan lu terima, dan semua itu berasal dari orang yang lu anggap dekat.” ucapnya tiba-tiba membuat aku berheti mengendap-endap.

“Hmm… coba lebih spesifik.”

“Ya, kaya merasa… terancam gitu.”

“Maksud lu… kaya Gini?”

JEBYURR…

“Hahaha, I did it. Mission success!” ucapku diikuti tawa kemenangan.

“BANGKE! Gua-.. gak bisa-.. berenang…” ucapnya diawali makian, lalu ia tetap berusaha agar tubuhnya tetap mengapung. “Kaki gue gak napak, kaki gue gak bisa napak…”

“Ayolah Yan, elu lebih tinggi dari kita, kenapa gak bisa berenang?” ucap Adan sambil berenang mengitarinya.

“Ba-Bacot! Tolongin gue sekarang!” ucapnya kini kelabakan.

Huft~ akupun memberi kode ke Adan agar menolongnya. Kan gak lucu kalo nanti sampe ada kasus prajurit mati tenggelam saat bolos dari misi akibat ulah kedua temannya. Bisa-bisa gue diwawancara lagi sama wartawati temennya Kalusa (Rhie Vrataski).

Tap

Aku menggenggam tangannya agar keluar dari kolam.

“HATCHU!… Dah gue bilang, gue gak mau berenang kenapa lu berdua iseng?! Dasar kamvret!” makinya pada aku dan Adan sambil mengelap kacamatanya yang berembun.

“Kan solidaritas…” timpal Adan, namun itu justru memancing perkara.

“Solidaritas Gundulmu! Kalo lu mati gue gak mungkin mau mati cuk!”

Kini ia memeras armor rangernya agar tidak terlalu basah.

“Solidaritas? Nih namanya solidaritas. Tangkep sana.” Kini Ryan mengambil Parshal Jacket set milik Adan, lalu menyeburkannya ke kolam.

“Jancokk!”

JBYURR…

Armor warior yang beberapa bagiannya mengandung unsure logam otomatis membuat pakaian itu langsung tenggelam.

“Hahaha…” aku hanya bisa tertawa melihat reaksi Adan.

“Lu ngapain ketawa? Lu juga ambil armor lu.” Seketika tawa dari wajah ku hilang. Ryanpun menceburkan armor ku ke kolam.

“Sittt…”

JEBYUR…

.

“Hah.. hah..” suara aku dan Adan tidak beraturan setelah berhasil menyelamatkan semua bagian armor kami.

“Gimana? masih bisa bilang solidaritas?”

. . .” aku dan Adan kicep, tidak menanggapi dengan sepatah katapun, hanya memeras pakaian yang basah.

.

.

“sekarang kita lewat mana? Kiri atau kanan?” ucap Adan di depan kami.

“Tar dulu…” jawab Ryan sambil melihat peta. “Kita belok kiri, lurus terus, nanti nyampe.”

“Kiri? Yang tanjakan itu?” ujar Adan sambil menunjuk jalan yang akan kami lalui.

“Yap.”

“Huh… Kenapa gak lewat kanan? Kanan ‘kan selalu baik.” Keluhnya memberi alasan irasional.

“Kalo ke kanan kita bakal lewat Dry Moor, lu mau lewat gurun tandus? Lagi pula ujung-ujungnya nanjak juga.” Jelas Ryan.

“Okelah kapten, ap tu yu aja.”

Kamipun kini menyusuri jalan yang dimaksud.

Di tengah kami berjalan, aku teringat sesuatu dan kukatakan pada Ryan

“Yan, tadi lu sempet nanya ke gue ‘kan? Tentang sesuatu yang sulit untuk akal atau perasaan terima.”

“Iya.”

“Gue pernah ngerasainnya, tapi masalah itu suatu hal yang bisa diterima akal atau perasaan. Jujur, sampe detik inipun gue masih gak bisa bedain mana itu suara dari akal maupun hati. Mungkin lu salah nanya orang, karena saat gue ngerasain sesuatu yang abstrak kaya gitu, gue cuma bisa… pasrah…”

Tiba-tiba aku teringat kejadian saat tadi pagi, terbayang dibenakku saat Kak Ulfa memejamkan matanya tepat diadapanku. Saat itu… aku benar-benar tidak tau harus berbuat apa selain menyerah, layaknya air yang dikendalikan takdir.

“Eh, lu pada ngomongin apa sih?” ucap Adan membuyarkan lamunanku.

“Dah, lu perhatiin jalan aja. Inget, jangan sampe ganggu makhluk hidup disini. Disini banyak monster tingkat tinggi.” Ucap Ryan mengingatkan Adan.

“Prihal pertanyaan lu tentang sesuatu hal yang sulit dicerna akal atau perasaan yang berasal dari orang yang lu anggap deket. Lu bilang hal itu kaya sesuatu yang mengancam. Mungkin sebaiknya lu jauhin orang yang lu anggap deket itu, karena lu sendiri bilangnya orang yang masih lu anggap deket, bukan bener-bener deket. Bukan begitu?” ujarku memberi pendapat.

“Hemm..” sejenak, Ryan bergumam.

Dengan mengecilkan suaranya, tanpa menghilangkan kesan serius. ia berbicara padaku

“Sebenernya…” ia tahan kalimatnya, mambuat keringat yang mengalir di pelipis ku dapat kurasakan.

“gue lagi deket sama cewe belakangan ini.”

“AP- hnnn!” Ryan langsung membekap mulut ku selama beberapa saat sampai dirasa aku mampu menahan reaksiku.

“Hah.. hah.. lu gak bercanda ‘kan? Dia pasti buta.”

BLETAK!

Ia langsung mengemukul kepala ku menggunakan buku, entah sejak kapan ia mengeluarkan buku itu dari inventorynya. Iapun memasukkan buku itu kembali ketempatnya.

“Adaw~ maksud gue, coba liat diri lu, gue memposisikan diri gue jadi seorang gadispun enggan deketin orang bermata sinis kaya lu.” Ucapku sambal mengusap bagian kepala yang sakit.

“…” tanpa bersuara, ia menatapku tajam dari balik dua lensa yang memantulkan cahaya itu.

Srak-Srak… Srak-Zragg…

Terdengar sesuatu dibalik semak-semak, kami bertiga langsung statis, diam mamatung keheranan.

“Yan, itu suara apa? Tanyaku sedikit ngeri.”

“Gue gak tau, tapi sepengetahuan gue, di daerah ini emang banyak monster tingkat tinggi, tapi gak Agresif kok, soalnya monster itu hasil cloning. Tapi-“

“Temen-temen…” Adan kini memalingkan wajahnya pada kami yang berada dibelakangnya. Tampak wajahnya begitu pucat.

“Dan, lu kenapa? Muka lu pucet.” Ucapku menanyakan keadannya.

“Kayanya kita dalam bahaya deh. Soalnya…” iapun menunjuk kearah apa yang ia injak.

Sesuatu berwarna biru yang panjang. Aku masih belum mengerti benda apa itu. Perlahan, Adan mengangkat kakinya agar tak menginjak benda itu dan lama kelamaan benda itu bergerak.

“Perasaan gue gak enak.” Ucap Ryan kemudian sesuatu yang berat seperti melangkah kearah kami.

GRRAAOOOO!

Sosok besar bergerak dari balik rimbunan semak-semak. Sesuatu pasti telah terganggu dari tidurnya…

Biru..

Besar..

Marah…

“Tu-Thunder Lizard!”

.

.

“Lari cokk!” ucar Ryan langsung memacu kecepatan maksimal. Aku dan Adan reflek ikut berlari dibelakang.

GRRAOOO!

Drap.. drap.. drap…

Jdum.. Jdumm.. Jdumm…

Tidak tau pasti berapa sebenarnya ukuran reptile raksasa yang sedang mengejar kami, atau lebih tepatnya tidak ada waktu untuk memikirkan itu, yang kupikirkan sekarang adalah, bagaimana bisa keluar dari masalah ini. HIDUP-HIDUP.

“Di depan ada persimpangan, itu… itu satu-satunya cara supaya kita bisa lolos dari kejaran Thunder Lizard itu.” Ujar Ryan.

“Kata lu dia gak agresif, kok di-dia ngejar-ngejar kita?” tanyaku keheranan, tanpa menurunkan kecepatan lariku.

“Coba lu Tanya sahabat lu itu, kayanya dia barusan nginjek ekor Thunder Lizard.” Jawab Ryan dengan nafas yang tidak teratur.

Akupun mencoba melirik Adan. Dia berada dibelakangku, armor warriornya pasti yang membuat ia berlari tidak secepat kami.

Tampak akspresi panik melekat erat diwajahnya, sama seperti kami. Tidak, apa yang dialami Adan lebih buruk, karena semakin lama Repril raksasa itu semakin memperkecil jarak dengannya.

Akupun mencoba menyamakan posisiku dengan Adan.

“Dan, kita pasti.. pasti bisa lolos dari kejaran monster itu.” Ucapku memberi ucapan positive padanya, dengan terpaksa.

“…” Adan tidak menanggapi perkataanku. Karena siapapun tau, prajurit tingkat awal seperti kami pasti langsung mati bila berhadapan dengan yang di belakang.

Akupun mencoba mengambil beberapa potion dari inventory ku. Lalu…

Crang! Crang! Crang!…

Kulempar seluruh potion yang kubawa ketempat yang mungkin dipijak oleh Thunder Lizard, berharap ia tergelincir…

BRUKK!

Syukurlah, nampaknya rencanaku berhasil. Ia kini terpeleset, walaupun itu tidak membuat ia berhenti mengejar kami, setidaknya memberi peluang lebih besar agar kami bisa keluar dari masalah ini.

GRAOOO! GRAAA!

Jdum! Jdumm!.. Jdumm!…

Gini ia sudah bangkit dan kembali mengejar kami, siapapun bisa menebak, kini ia makin marah terhadap kami.

“Cepet! Di depan udah ada persimpangan, Kita berpencar! Kemanapun jalan yang menuju Outpost, kita harus cepet-cepet minta bantuan sama prajurit elit secepatnya.” Ucap Ryan. Ryanpun mengambil jalur tengah.

Drap.. Drap.. Drap…

Adan yang berada di depanku mengambil jalur kiri, berarti aku…

Drap.. Drap.. Drap…

Jalur kanan.

Tekstur jalannya agak menanjak dibanding jalur yang Ryan dan Adan lalui. Namun seakan tak peduli itu, aku tetap memacu kecepatanku agar sesegera mungkin sampai di Bellato Outpost. Ditengah kuberlari, kusempatkan melihat kearah jalur yang dilalui Ryan dan Adan,

“Hah~ syukurlah kalian gak diikutin makhluk itu.” Ucapku lega sambil terus memacu kecepatan, karena kini langkah berat tengah berada di belakangku, mengejar.

.

.

Jdum.. Jdumm.. Jdumm…

GRRRAAHHH!

.

.

“Huh… Kenapa gak lewat kanan? Kanan ‘kan selalu baik.”
-Adan Bravehert- Ch. 16

CHAPTER 17 END.
Next Chapter > Read Chapter 18:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-18/
Previous Chapter > Read Chapter 16:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-16/
List of Journey For Identity Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-list


Catatan Author

JFI WIKI/Trivia :
Armor :
– Tender Leather Shirt (set) : armor jauh level 16.
– Parshal Jacket (set) : armor jarak deket level 16.

Weapon :
– senjata yang dipakai Dzofi
Stout Gun : senjata level 12, tipe dua tangan tapi Dzofi menggunakannya satu bagian. Atk : 35 – 64
Sosun Patta : pisau level 18. Atk : 156 – 192

-Sejata yang dipakai Ryan
Assult Rifle : senjata level 18. Atk : 136 – 255

– Senjata yang dipakai Adan
Beam Axe (senjata tangan kanan) level 18. Atk : 167 – 200
Kite Shield. Tameng level 16