JOURNEY FOR IDENTITY CHAPTER 18 – BLUE SKY

Journey For Identity
Penulis: Bid’ah Slayer


“Tikungan!” ucapku entah mengapa merasa sangat bersyukur di tengah ributnya raungan monster yang tengah marah. Aku merasa tikungan itu adalah kunci kemenanganku agar bisa lolos, soal bagaimana caranya, biar itu kupikirkan nanti.

Drap.. Drap.. Drap…

Sepuluh detik kemudian aku tepat di depan jalan berkelok kanan itu, kurasa lebar jalan yang sedang kulalui ini tidak terlalu luas, lebarnya hanya satu setengah si Cloned Thunder Lizard itu, jadi pastinya kalau aku menjadi dia, aku tidak akan terlalu gegabah dalam melangkah.

Syut…

Jress… trak.. trak..

Suara bebatuan jatuh, menuju lembah di bawah sana.

“Hah! Ja-jalan buntu!” ucapku dengan spontan menghentikan langkah, memandangi berapa tingginya tempatku berpijak saat kulihat dasar permukaan tanah sana terasa cukup jauh.

Dengan keringat bercucuran, ritme jantung yang cepat dan nafas tak beraturan. Aku berusaha menelan ludah, walau tenggorokanku sangat kering. Tak hentinya aku memandangi tempatku berdiri, walau pendengaranku tidaklah tuli, aku masih bisa mendengar dengan jelas langkah monster itu kian detik kian mendekat.

“Huhh… Hah…” aku mencoba menghembuskan nafas, agar rileks atau lebih tepatnya menipu diriku sendiri. Aku berbalik arah, berpaling ke jalan yang mungkin untuk terakhir kalinya aku melihat sesuatu yang marah kepadaku.

“Gak! Gue gak boleh nyerah! Gue gak akan mati dengan cara seperti ini!” ujarku lantang pada diriku sendiri. Ku keluarkan senjata ku, Stout Gun dan Sosun Patta. Kupegang dengan erat sampai-sampai gagang yang sedang kugenggam menjadi slip akibat tanganku yang berkeringat.

Jdum

Jdum..

Jdum…

Trangg…

Tangan ku bergetar, senjata yang kupegang terlepas karenanya. Akupun hanya bisa memandangi kedua tanganku.

“Kenapa… kenapa disaat seperti ini tubuh gue… kenapa.”

Aku sadar, akal rasionalku jelas menolak semua tipuan yang berusaha aku berikan, situasi yang sedang berada di depanku bukanlah sebuah scane film layar lebar, yang mana pemeran utama selalu bisa selamat menghadapi rintangan apapun.

Semakin dekat takdir itu, dengan sendirinya kakiku melangkah mundur. Takut akan ending yang sudah jelas bagaimana itu akan terjadi.

GHRROAA… RRR… RRR…

Raungan yang diikuti langkah beratnya membuat bumi yang kupijak ini bergetar, aku tidak bisa menjelaskan bagaimana keadaanku sekarang, selain tubuh yang seakan tak bisa kukendalikan. Mungkin yang terjadi pada tubuhku sekarang adalah situasi terburuk. Raga yang tak mengikuti perintah tuannya.

Saat titik dimana aku mampu mendengar dengan jelas suara nafasnya. Aku sadar…

Kematian…

Dia datang…

.

Jress…

Untuk pesekian detik, aku masih belum menyadari suara apa itu, sampai…

Tubuh ku kehilangan keseimbangan…

Seakan tubuh ku melayang untuk sesaat…

Aku tak bisa merasakan lagi tanah untuk kupijak…

Grep!

trakk.. trak..

tangan ku, dengan sigap seakan gerak reflex, mereka berdua langsung mengcengkram bumi yang bisa digapai sebelum tubuh ku terhempas kedasar lembah. Sekarang posisiku sungguh serba sulit, dengan tubuhku yang ‘tergantung’. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

Langkah monster itu tak berhenti, tiap langkah yang mendekat, membuat beberapa kerikil dari tempatku mencengkram berguguran. Walau kini langkahnya melambat, Hanya masalah waktu sampai ia berhasil menemukanku. cepat atau lambat.

“Si-sial… ke-kenapa jadi begini.” Makiku, entah aku harus bagaimana, namun kurasa umpatan dalah kata yang tepat untuk saat ini.

Nafas dari makhluk berdarah dingin itu semakin mendekat, aku tak berani untuk menatap ke atas maupun ke bawah. Yang bisa kulakukan adalah memejamkan mata, sekuat tenaga.

Hrrrr… Hrrr…

Aku tau dia di atas sana, dia sangat dekat, mungkin sedang menatapku. Namun aku lebih memilih kegelapan yang kuciptakan, yang kutatap saat ini. Karena untuk saat ini, kegelapan terasa jauh lebih bersahabat daripada kenyataan.

.

.

.

/

Aku ingat, hari itu…

Musim gugur, 13 tahun yang lalu…

“Permisi, Selamat Pagi!” seru seorang wanita. Kalau tak salah, saat itu pagi jam 10, saat aku dan Kak Ulfa masih asik menonton kartun pagi.

Akupun menghampiri pintu, mengintip terlebih dahulu siapa dibalik sana.

Kakak perempuan? Siapa?

Akupun membukakan pintu. Lalu bertanya.

“Ada perlu apa Kak?” ucaku pada perempuan berambut lavender terurai.

“Paman Yosuro ada?”

“Paman? Eumm.. Ada, kupangilin sebentar ya.” Jawabku, lalu berlari kearah kebun belakang.

Drap.. drap.. drap..

Ditengah kuberlari, Kak Ulfa bertanya.

“Siapa?” sambil mendongakkan wajahnya menengok kearah pintu masuk.

“Gak tau.” jawabku seraya melanjutkan lariku.

.

“Kek, ada yang nyariin.” Ucapku padanya yang sedang melakukan pekerjaan kebun.

“Siapa Dzof?”

“Gak tau, Kakak perempuan, rambutnya warna ungu muda. Dia nyariin kakek, tapi mengilnya paman” Jawabku memberi penjabaran sederhana.

“Perempuan… oh, iya-iya. Suruh dia masuk.” Ucap kakek, iapun berdiri dari posisinya dan membersihkan tubuhnya alakadarnya.

Aku kembali berlari menghampiri Kakak yang menunggu di depan pintu masuk.

“Kak, kata kakek silahkan masuk. Selamat datang.” Ucapku diikuti salam dan membungkukkan badan.

“Haha… kamu pinter, kamu Baydzofi ‘kan?” ujarnya memujiku, kemudian menebak namaku.

“Eh? Kok Kakak tau? Kita kenal?” ucapku dengan tampang polos.

“Kenal dong, kamu yang gak inget.” Jawabnya dengan memberi senyum padaku.

Tak berapa lama kakek datang, nampaknya ia habis mencuci tangannya sebelum bertemu tamu yang tak kukenal namanya.

“Ohh.. Amethyst, kapan kau datang?” ucap kakek menyebut nama perempuan itu, lalu memeluknya. Dilihat dari ekspresinya, sepertinya kakek sangat senang, aku tidak pernah melihat kakek sesenang ini, melainkan saat aku bertemu kekek untuk pertama kalinya. Ya, muka itu sama seperti saat itu.

“Kau mau minum apa?” tawar kakek memberi suguhan.

“Ah, tidak usah Paman, merepotkan.” Tolak Kakak perempuan itu.

“Hush, tamu itu harus dikasih suguhan. Gimana kalau teh sakura? Aku suka teh itu.” Ucap kakek, lalu ia pergi ke dapur. Biasanya kalau ada tamu, Kak Ulfa akan ikut membantu kakek membuat minuman.

Aku hanya berdiri, memandangi muka orang asing dihadapanku. Aku masih belum mengerti apa maksud dari perkataannya yang mengatakan kalau aku lupa, seingatku aku tak pernah bertemu dia.

“Umur mu berapa? Udah kelas berapa? Dan aku harus memanggilmu apa Baydzofi? Tanya Kakak itu.

“Umurku enam tahun, aku kelas satu. Kakak bisa mangil aku Dzofi.”

“Ohh Dzofi, kelas satu ya? Kamu memang mirip ayahmu ya.”

“Ay-ayah? Kakak kenal ayahku?” tanyaku padanya. Serasa sebuah mukjizat atau semacamnya, karena aku sudah lama tidak bertemu orangtuaku. Sejak sore hari dimana mereka berdua mendapatkan panggilan mendadak.

“Uhmm… kenal” jawabnya. Kemudia ia memalingakan mata ungunya, tidak menatapku lagi.

“Ayah, sekarang lagi ngapain Kak?” tanyaku layaknya bocah seumuranku yang penasaran.

“Ayahmu…” sempat agak lama ia menjawabnya, namun ia melanjutkan “Ayahmu lagi jalanin misi rahasia.”

“Sama ibu?”

“Iya… sama ibu.”

Seketika, bibir ku menekuk keatas, tersenyum yakin dan senang atas jawaban yang kuperoleh saat itu, Selang percakapan singkat kami, kakek datang bersama Kak Ulfa yang membawakan makanan kecil untuk tamu.

“Oh.. kalian lagi ngobrol ya? Dzofi, kamu kok senyum-senyum sendiri. kenal sama dia gak?” seru kakek padaku.

“Enggak kek, Kakak ini siapa?”

“Dia itu anak dari saudara kakek, dia bibi mu.”

“Paman Yosuro! Aku gak pantes jadi bibi-bibi tau. Aku ‘kan masih muda.” Timpal Kakak perempuan itu.

“Hahaha… terus apa, emang panggilannya bibi ‘kan? Bibi Amethyst” seru kakek sambil meminum teh kesukaannya.

“Bay de way, Kamu udah punya pacar belum?” Tanya kakek diikuti tawa khasnya.

Nampaknya Kakak yang menjadi bibiku tidak menjawab, ia meunjukkan raut kesal seperti saat Kak Ulfa kesal padaku. Lalu meminum teh yang disajikan untuknya.

Dia menggeleng ditengah menggenggam cangkir teh.

Hahaha…

Tawa kakek terdengar, aku dan Kak Ulfa saat itu tidak memahami kenapa kakek tertawa sedangkan bibi kesal.

Selanjutnya, percakapan hanya diisi obrolan nostalgia dan pertanyaan penasaran kakek pada keponakannya. Tidak bisa kuingat semua apa yang mereka bicarakan, sampai pada satu pertanyaan yang terus ku ingat sampai saat ini.

“Gimana kabar Rays dan Fath? Apa mereka baik-baik saja?”

Bibi nampak tidak langsung menjawab pertanyaan kakek. Matanya tertuju pada kakek, kemudian berpaling kepada aku dan Kak Ulfa.

Saat itu aku masih tidak faham, bagaimana kakek dan bibi bisa faham. Kemudian kakek menyuruhku dan Kak Ulfa untuk kembali menonton kartun pagi.

Ditengah langkah kami menuju ruang tv, aku mendengar…

“Eng… Paman, Paman dipanggil pihak militer, ada keperluan dan sesuatu yang perlu dibahas disana…”

.

Tidak berapa lama, kakek masuk ke kamarnya, lalu beberapa menit setelahnya kakek mengenakkan baju rapih. Baju berlapiskan jas. Ia juga memakai minyak rambut yang aromanya sungguh menunjukkan ciri khasnya.

“kakek mau pergi? Kemana?” tanyaku.

“Iya, kakek ada perlu. Kamu sama Kak Ulfa jaga rumah ya. Di meja makan ada kue bawaan bibi mu, makan saja kalau lapar, jangan tunggu kakek ya.”

Aku hanya mengangguk, menatap matanya yang beratapkan alis yang telah memutih. Kak Ulfa juga tak banyak bicara saat itu. Kemudian kakek mengusap kepala kami.

“Jangan nakal ya.” Ucap kakek sebelum bangkit dan pergi.

Aku, yang saat itu tidak mengerti apa-apa, hanya bisa merasakan satu hal. Tatapan mata kakek, tidak seperti biasanya.

.

Sore hari, angin musim gugur memainkan perannya…

membawa mereka yang menguning pergi dari tempat pertama kali mereka menapak, kesuatu tempat yang baru… yang lebih baik…

tidak seperti biasanya, hari sudah cukup sore, tetapi kakek juga belum pulang.

Aku yang saat itu masih kecil tidak tau harus menghubungi kakek. Begitupun Kak Ulfa, kamu berdua haya menunggu, kepulangan kakek. Menungu.

.

Ceklek…

Pintu rumah ada yang membuka, kami harap itu adalah kakek, dan saat kami melihatnya…

“Kakekk…” ucapku dan Kak Ulfa seperti biasa. Berlari, berlomba siapa yang tercepat yang bisa digendong olehnya lebih dulu.

“Kakek, kakek dari mana?” Tanya Kak Ulfa. Akupun menanti jawabnya.

Kakek tidak menjawab, membuat kami berdua bingung.

Kemudian, kakek berlutut…

Lalu memeluk kami berdua…

Erat…

.

Terdengar, suara layaknya suara tangis yang berusaha ia tahan di dalam tubuhnya yang telah senja. Sekuat tenaga tak menunjukkan pada kami, namun ia tetap tak sanggup, karena…

“Maafkan kakek… Ulfa, Dzofi…” ucapnya tetap membenamkan mukanya pada pundak mungil kami saat itu.

“Kakek kenapa minta maaf? Kakek kan gak salah.” Ucap Kak Ulfa.

Namun kembali, hanya ucapan maaf bernada seperti orang yang tengah menahan beban berat dari dalam dirinya yang keluar dari lisannya, kelu.

Aku saat itu mulai merasa suasana yang tidak enak, melihat apa yang terjadi pada kakek. Aku seakan mengerti, tapi tidak tau apa itu. Kulihat mata Kak Ulfa, ia mulai berkaca-kaca.

“Kek, ada apa? Kenapa minta maaf?” ucap Kak Ulfa dengan nada sedih.

Dengan mulut yang bergetar, mata yang mulai basah, kakek mangatakan…

“Orang tua kalian… meninggal…”

Kosa kata yang sulit kumengerti saat itu, namun aku tau, kata itu mengartikan aku tak akan bisa bertemu kedua orangtua ku.

Kakek kembali memeluk kami dengan erat. Kak Ulfa tak bisa menyembunyikan tangisnya, ia menangis dipundak kakek. Sedangkan aku…

“Enggak! Ayah ibu gak ninggalin Dzofi. Ayah sama ibu lagi ngerjain misi rahasia… bohong… ka-kakek… bohong…” tangisku saat itupun pecah. Aku hanya bisa berdiri, sembari air mata terus membasahi pipiku.

Akupun terus memanggil

“Ayahh… ibuu…”

.

.

.

“Ayah… Ibu..” ucap lisanku lirih mengingat kepergian mereka. Tak terasa, mataku yang sedang terpejam ini, dari sudutnya ikut mengeluarkan airmata, seperti 13 tahun yang lalu.

GRAOOOO!

Raungan keras diikuti langkah berat membuatku tersadar dari ingatan masa lalu.

Jress… trakk…

“AHH!”

Tanah tempat tangan kiriku mancengkram runtuh, dan kini hanya dengan tangan kananku aku bertahan. akupun mencoba sekuat tenaga agar tangan kiriku menggapai tempat untuk kucengkram, namun… semakin aku bergerak, aku merasakan ada retakan ditempat tangan kananku mencengkram.

kini hanya tangan kananku yang berusaha sekuat tenaga agar tubuh ku tak terhempas menemui dasar lembah.

Detik demi detik yang kulalui terasa sangat berarti, aku merasakan tanganku mulai keram, berkeringat, sakit layaknya disayat secara perlahan. Juga telapak kaki ku mulai terasa dingin. Hanya masalah waktu, sampai…

Jrass…

.

.

/

“Dzofi… bangun nak, ayo bangkit.” Seru seorang wanita, suara itu… terdengar familiar… terdengar…

suara yang ku rindukan…

Aku di ruang putih antah berantah ini, mendongakkan mukaku kesumber suara. Melihat sosok yang bicara padaku, dengan posisi masih duduk memeluk kedua lutut ku.

Nampak wanita itu, berambut panjang berwarna biru langit, muda dan cantik.

“I-ibu? Kau ibu ku?” seruku meyakinkan.

Ia tak menjawab, hanya mengangguk dengan senyuman sambil mengarahkan tangannya kepadaku.

Akupun menerima tangannya, dan bangkit.

“Kamu udah besar… kamu udah lebih tinggi dari ibu sekarang.”

Tanpa menjawab perkatannya, aku langsung memeluknya. Erat.

“Bu, Dzofi kangen sama ibu… a-aku rindu bu…” ucapku sambil memebenamkan mukaku pada pundaknya.

Iapun membelai kepalaku sambil berkata…

“Maafkan ibu ya Nak, ibu tau kamu pasti sedih.”

Dengan isak tangis, aku berusaha mengucapkan keluh kesahku.

“Bu… aku.. aku ingat dimana hari itu terjadi… hari dimana aku sendirian. Gak punya siapa-siapa… lagi”

Tak henti-hentinya aku menumpahkan keluh kesahku padanya. Belasan tahun dalam hidupku, aku tak lagi melihat sosoknya, dan sekarang, ia tepat dihadapanku.

Setelah memakan beberapa saat, ibu berkata.

“Kamu gak sendirian. Kamu kehilangan, namun bukan berarti gak ada yang menggantikan. Ibu yakin, setelah peninggalan ibu, kakek memperlakukanmu dengan baik. kamu mempunyai teman-teman yang membantumu ‘kan?”

“I-iya…”

Kemudian ibu meletakkan kedua tangannya pada pipiku, agar pandanganku selaras dengan matanya.

“Dengar Dzofi, kamu anak ibu dan itu adalah pasti. Namun masa depanmu masih sebuah misteri. Teruslah berlari… hingga kita bisa bertemu di alam yang kekal nanti.”

“Ma-maksud ibu… aku belum…”

“Belum” Potongnya. “Sudah, jangan nangis melulu. Kamu laki-laki ‘kan?” ujarnya seraya menyeka airmataku.

Dengan terisak, aku menjawab perkataannya. “I-iya… bu.”

“A-aku cuma, aku gak mau terpisah dari momen bahagia ini sekarang. Banyak yang mau aku bicarakan keibu.”

“Dzofi, disana, teman-teman mu menantimu, mereka tengah berjuang untuk membantumu. Ibu mohon, jangan menyerah sekarang Dzofi. Tataplah langit, disana ibu akan selalu mengawasimu.” Ucapnya seraya menyudahi pelukanku.

“I-ibu… ibu…” seruku, karena, kini sosoknya perlahan menjauh.

Airmata begitu saja kembali membasahi jejak airmata sebelumnya, namun aku segera menyekanya walau itu tak membuatnya berhenti.

“I-ibu… Ayah…, bagaimana keadaan ayah bu?”

Sosoknya hanya tersenyum, seakan mengatakan sesuatu namun aku tak bisa mendengar apa yang ia ucapkan, iapun menghilang… bersama ruang hampa ini…

dan juga tubuhku…

/

.

.

Pemandangan berubah menjadi menyilaukan, sampai aku sadar bila aku tengah terjatuh…

Tataplah langit…

Aku teringat kata itu, lalu aku mendongakkan wajahku keatas, bersama tanganku…

Aku melihatnya, Biru… langit…” ucapku berbisik.

.

Grep!

.

Persekian detik saja terlambat, tangan yang sekarang menggenggam tanganku hanya akan menangkap angin.

.

“Dzofi, Kau baik-baik saja?” “Dzofi, kau bisa mendengarku?” “Dzofi! Jangan khawatir, aku akan menolongmu”

Dalam benakku, hanya terngiang perkataan ibu ku, semua perkataannya benar… aku tidak boleh menyerah sekarang, teman-teman ku… masih ingin berjuang, masih ingin melangkah…

Bersamaku…

“Iya Sab, tolong… tolong aku.”

.

.

Akhirnya, entah bagaimana, Sabila datang disaat yang sangat tepat. Aku berhasil diselamatkan olehnya. Aku masih tak miliki daya untuk berdiri, bicara padanya untuk menanyakan apa yang telah terjadi dan bagaimana ia berhasil kesinipun tidak.

“Ini Dzo, minumlah dulu.” Ucapnya seraya memberiku minuman. Akupun menerimanya.

“Te-terimakasih.” Jawabku terbata-bata.

“Iya.”

Iapun kini mengeluarkan saputangan miliknya, berwarna merah muda dengan motif bunga berwarna putih di tengahnya.

Tangannya bergerak, membersihkan muka ku.

Tidak banyak kata yang terucap setelah itu, sampai aku mengucapkannya kembali.

“Terimakasih Sab, te-terimakasih…” tak terasa, airmata kembali keluar dari ujung mataku, membuat aliran air di pipi.

“A-aku gak tau, kalau kamu gak datang, mu-mungkin aja aku…”

“Suttt…” ucapnya seraya mendaratkan telunjuk mungilnya dibibir ku. “Gak perlu ucapin kata itu. Aku bersyukur, aku bisa selamatin kamu. Aku senang bisa berguna, menolong orang yang kusa-” perkataannyapun berhenti tepat saat ia menyeka airmata dari pipi ku, tepat saat ‘biru langit’ miliknya selaras dengan ‘brownies’ milikku.

“Kusa?” ucapku mengulang kata yang tak kumengerti.

“Ku.. sang…” ucapnya. Bersamaan dengan itu, ia memalingkan pandangannya dari mata ku namun tangannya tetap membersihkan muka ku.

“O-ohh… maaf Sab, gara-gara aku, kamu jadi ngeladenin cowo cengeng kaya aku. Maaf karena udah biarin kamu ngeliat kondisiku kaya gini… harusnya aku gak boleh nangis di depan perempuan…” ujarku sembari menggerakkan tangan ku untuk menyeka airmata yang tersisa.

Namun Sabila menghentikan lajur tanganku, ia menggenggamnya bersamaan dengan saputangan miliknya.

“Enggak”

“Enggak apa-apa. kamu ini laki-laki, tapi kamu juga makhluk hidup yang berperasaan. Kita udah lama saling kenal, dan kamu selalu nunjukin kalau kamu itu selalu kuat dihadapanku Dzofi… aku ingin…” iapun menuntun tanganku dan tangannya, menyeka airmata yang tersisa.

“Lebih banyak melihat perasaanmu…”

Hembusan angin. Membuat beberapa helai rambut kami ikut bergerak mengikuti sang pembawa. Ikhlas menunjukkan arah. Menunjukkan ketulusan.

Aku bisa merasakannya, wanita dihadapanku ini… mengatakannya dengan tegas dari lubuk hatinya. Dengan tulus, sesuai apa yang benar-benar ia inginkan… hangat tangannya, mampu mengalahkan dingin tangan yang hampir bertemu dengan sang kematian.

Aku bersyurur, sangat bersyukur. Dirinya menjadi bagian, salah satu dari sekian sosok yang ikut melangkah bersamaku sampai detik ini.

Akupun ikut menggerakkan tangan ku yang lain untuk menggenggam tangannya. Aku tak mampu menatap matanya, aku hanya bisa memalingkan netra ku ketanah, lalu mengatakan…

“Baik Sab, a-aku gak akan jadi seperti itu lagi, aku… akan berusaha lebih terbuka, menunjukkan perasaanku, emosiku…”

“padamu…” ucapku terbata-bata.

Darah hangat seakan memenuhi kepala ku, sehingga daun telinga dan wajah ku memerah dibuatnya. Perlahan, kuangkat wajah ku untuk melihat reaksinya.

Dan saat melihatnya, kulihat mukanya yang memerah merona sambil tersenyum. Menunjukkan senyuman yang hanya ia peruntukkan padaku.

Akupun tersenyum sambil menggaruk belakang kepala ku yang tak gatal. Semuanya… terasa lebih baik.

“Dah selesai pacarannya?”.

Aku dan Sabila Shock, menyaksikan wujud seorang wanita yang tiba-tiba saja langsung muncul ditengah-tengah kami. Benar-benar shock, terkejut sampai tak mampu mengeluarkan reaksi kaget seperti pada umumnya.

“Kalian… kalian baik-baik aja ‘kan? Hoii?”

.

Butuh beberapa saat sampai kami tersadar dari ke-shock-an kami.

“Ka-Kak Istifa! ngapain Kakak ada disini?” seruku menyebut nama si sniper berambut hijau.

“Kamu ini! Yang nyelamatin kamu dari komodo raksasa itu aku tau!”

Tack!

Jawabnya seraya menyentil dahi ku.

“Gi-gimana caranya? Kakak bunuh Cloned Thunder Lizard itu?”

“Bunuh? Hah… itumah gak jaman. Kalo aku mau, aku bisa aja bunuh tuh kadal.” Ucapnya seraya bertolak pinggang.

Huh.. sombong…’ batinku sambil bersweetdrop.

“Bilang aja Kakak gak kuat bunuh tuh monster. Jadi Muslihat apa yang-“

Bletak!

“Aku belum selesai ngomong!”

Ia menepak kepala ku sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Akupun hanya bisa mengusap kepala ku. Sedangkan Sabila hanya menatapku khawatir.

“Karena kamu memaksa, oke, maka Kakak akan kasih tau caranya dan kronologi kenapa aku dan Sabila bisa sampai sini. Tapi kondisimu, udah bisa buat jalan?”

“Udah Kak.”

“jadi begini…” iapun memulai ceritanya. Sambil berjalan menuju Bellato outpost, aku dan Kak Istifa di belakang, sedangkan Sabila berada sekitar lima meter di depan. Mengawasi jalur yang kami lalui.

.

.

/

Jadi, sekitar jam 9an, Kakak waktu itu lagi bantuin Sabila berlatih…

“Captain, captain Istifa.” Seru seorang lelaki memanggilku secara formal. Akupun menoleh kesumber suara, memastikan suara yang kukenal.

“Ah, Major Olivier. Ada yang bisa saya bantu?” ujarku mengetahui kalau seniorku yang memanggil.

“Apa kau sedang dalam bertugas?”

“Tidak Royal. Aku hanya sedang melatih junior ku”

“Kalau begitu aku minta bantuanmu.”

Iapun menceritakan kronologi permasalahan, ia mengatakan kalau beberapa jam yang lalu federasi menunjuk tim yang terdiri dari tiga orang leutnant untuk mengamankan area kependudukan di wilayah bellato outpost, tujuannya adalah menghalau bangsa crawler yang mulai memenuhi wilayah itu, dan mengusir mereka. Namun sampai detik ini tidak ada laporan kalau utusan federasi sampai area tersebut.

Terlebih, portal kini sedang maintaince sehingga tak bisa digunakan untuk berpindah lokasi ke Bellato outpost, pastilah mereka menempuh jalan manual, entah lewat utara, goa atau selatan.

“Kalau boleh tau, siapa mereka bertiga, Major?” tanyaku pada pria berambut hitam.

“Mereka… prajurit baru… seperti prajurit yang sedang kau latih itu.” Ujarnya sambil menunjuk Sabila.

“Namanya Major”

“Umm…” ia berfikir sejenak, mencoba mengingat. “Kalau tidak salah, salah satunya satu clan dengan temanmu, si Ulfa.”

“Hardji?” celetukku memastikan. Pupil matanyapun melebar

“Baydzofi Hardji, anak yang tempo waktu menerima mendali itu ‘kan?” ucapku sebelum ia mengeluarkan kata-kata.

“Ah! Iya, dia salah satunya. Kau mengenalnya Captain?”

“Tentu saja Major. Aku mengenal anak itu, sangat baik.” Jawabku, iapun menyudahi percakapan ini, namun saat hendak memalingkan badannya, aku tahan bahunya.

“Major”

“Ada apa?”

“Apakah aku boleh menyertakan orang lain dalam tugas ini?”

“Silahkan Captain. Kau bebas mengajak orang lain dalam tugas.” Ujarnya seraya melangkahkan kaki.

“Terimakasih, Major.”

Akupun mengajak Sabila. sebelum melangkahkan kaki lebih jauh, untuk memilih jalan yang kemungkin kau dan teman-temanmu pilih, aku tanyakan pada Sabila.

“Kira-kira Dzofi lewat mana Sab?”

“Umm..” ia berfikir sejenak, memandangi sekitar, lebih tepatnya memandangi permukaan tanah. “Ku rasa mereka lewat sini Kak Istifa.” Jawabnya sambil menunjuk kearah lode falls.

“Kau yakin?” ujarku memastikan.

“Yap. Di depan sana ada jejak sepatu, bisa jadi itu milik Dzofi dan teman-temannya.”

Sambil menghembuskan nafas, akupun menuruti insting Sabila.

Kamipun berjalan menyusuri jejak sepatu milikmu, harusnya aku tak perlu meragukan Sabila saat itu, karena dia dari clan Rosseblood, yang terkenal akan kelihaian dalam berburu.

Sekitar belasan menit kami menyusuri jejakmu, dipersimpangan, Sabila mengatakan kalau ia menemukan jejak yang basah. Jarak waktunya tidak terlalu jauh, itu menandakan kau dan teman-temanmu tidaklah jauh. Aku dan Sabilapun mempercepat langkah kami.

Dari rute yang kau coba lewati, aku mulai memiliki prasangka, kau dan teman-temanmu benar-benar tidak tau apa yang kau hadapi. Maksudku, jalur lode falls adalah jalur berisikan monster-monster tingkat tinggi, sebut saja Cloned RHS (Red Haired Splinter), Cloned Blue Scaled Klan sampai serangga kecil yang sangat berbahaya. Biasanya prajurit elite tingkat tinggilah yang berburu makhluk-makhluk berbahaya itu untuk berlatih. Tapi kau, anak kemarin sore melewati jalur ini, kau pasti ingin bunuh diri atau kau benar-benar gila.

“Sab, sebaiknya kau kembali ke markas, sampai sini biar aku yang menjalani pencarian ini sendirian.” Ucarku padanya, karena aku tak mau terjadi hal buruk pada anak baru.

“Tidak Kak, aku juga ikut dalam pencarian ini.” Balasnya.

“Sabila Rosseblood, sebagai Senior mu, aku memerintahkan kau untuk menundurkan diri!”

“Aku menolak untuk mengundirkan diri!”

Suasana di tengah naungan kanopipun terasa sedikit menegang, ia bersih keras untuk molak perintahku.

“Kenapa… kenapa Kakak memintaku mengundurkan diri saat ini? Bukankah Kakak yang tadi memintaku untuk bergabung dalam pencarian ini.” Ucapnya ditengah suasana, memecah keheningan sesaat.

“Itu.. itu karena zona ini terlalu berbahaya, aku tak bisa membiarkan prajurit baru sepertimu menerima resiko yang besar.” Jawabku padanya.

“Resiko? Apa karena daerah ini dipenuhi binatang buas, kak? Kalau itu Aku sudah tau.”

“Kau.. kau tau kalau wilayah ini dipenuhi binatang buas?” ucapku sedikit terkejut.

“Tentu, sedari tadi kita lalui jalur ini, ada beberapa bagian tubuh binatang yang asing yang tidak pernah kujumpai selama menyelesaikan misi. Ukurannyapun lebih besar. Jadi pastilah itu makhluk buas tingkat tinggi, aku bisa mengantisipasinya.” serunya dengan tatapan biru langit yang yakin.

“Aku tak mau mengatakan ini, tetapi… bisa saja kalau Dzofi… dan teman-temannya… mati…”

“Tidak! Aku yakin ia dan teman-temannya takkan mati semudah itu.” Elaknya sambil memalingkan tubuhnya dari hadapanku.

Beberapa detik terisi tanpa sepatah katapun, sampai…

“Dzofi… dia itu… temanku, aku tak bisa membiarkan hal buruk terjadi padanya, Kak. Aku… aku tau dia masih hidup. Karena, ia masih memiliki sesuatu yang harus ia lakukan.” Ucapnya dengan intonasi yang berbada dari sebelumnya.

Akupun melangkah mendekatinya, lalu menepuk pundaknya.

“Baiklah, kita pasti bisa menemukan mereka. Tetaplah pada keyakinanmu, Sab.” Seruku padanya, karena yang kurasakan, jauh di dalam dirinya, ia merasa khawatir, terlebih ia mengetahui bila jalur yang kau lalui adalah jalur yang berbahaya.

“Ya, terimakasih Kak Istifa.”

Setelahnya kami berlari, kuyakin, disetiap langkah kakinya, ia mendoakan keselamatanmu, agar segala hal buruk tidak terjadi padamu.

“Kak, disini ada jejak makhluk besar, mengikuti jejak mereka Kak.” Ujarnya sambil menunjuk suatu jejak ditanah.

“I-Itu!” ya, jejak reptile raksasa itu, Cloned Thunder Lizard yang tadi mengejarmu. akupun langsung mempercepat langkah lariku, “Sab, kau tetap dibelakangku, bila kuperintahkan sembunyi, sebaiknya kau cepat sembunyi.” Ucapku memberi intruksi.

“Baiklah.”

Selang semenit kemudian, di depan sana aku melihat, cairan berwarna merah.

“Darah!”

Aku sempat shock, melihat cairan itu membasahi langkah makhluk berwarna biru itu. Sabilapun hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangannya. Seakan tak percaya apa yang ia lihat.

Akupun berusaha mencermati lebih detail, kulihat ada serpihan kaca disekitarnya, juga jejak tak beraturan yang sepertinya adalah jejak tubuh dari C-TL yang tersungkur.

“Tenang Sab, ini adalah potion HP Bless.” Ucapku sambil mendekat kelokasi, lalu menggerakkan telunjukku untuk menyentuhnya. Sebenarnya saat itu aku tak telalu yakin dengan hipotesisku, namun demi meyakinkannya, aku mencoba mencicipi cairan itu, dan memang benar kalau itu potion.

Ekspresi lega Sabila bisa dibilang sama denganku, walaupun aku tak menunjukkannya.

Kami melanjutkan pencarian, sampai ada tiga jalan yang menuju tempat berbeda, sepertinya kau dan teman-temanmu berpencar, dan hanya satu orang yang dalam bahaya. Yang menjadi umpan demi menyelamatkan yang lainnya.

GRAOOO…

Suara raungan menyita perhatian kami, asal suara itu berasal dari jalur sebelah kanan. Aku dan Sabilapun dengan cepat dan juga berhati-hati mencoba menyelamatkan seorang yang tengah dalam bahaya.

Tak butuh waktu lama sampai aku bisa melihat binatang itu tengah berdiri ditepi jurang. Akupun menyiapkan Lightning Gun milikku.

“Sabila, kau cepat sembunyi, aku akan memancing perhatian monster itu.”

“Ta-tapi Kak, Kakak bagaimana?” ucapnya khawatir.

“Tenang, aku ini ‘kan Sniper handal, pokoknya setelah aku memancing perhatiannya, kau segera cari orang itu, aku yakin ia tak jauh dari sini.”

Iapun mengangguk dan segera menepi.

Kupusatkan perhatianku pada titik di kepala kadal itu, lalu kulepaskan tembakan dengan akurasi terkonsentrasi.

“Hei Komodo! Rasakan ini! Aiming Shot!”

Saat ia menoleh, tembakanku tepat mengenai matanya. Sontak, ia kembali meraung diikuti langkah berat mengejarku.

Saat kurasa aku telah cukup jauh memancing perhatian kadal itu, aku memakai skill Shadow Walk, alhasil, ia bingung dan kembali kesarangnya, haha…

/

.

.

“Ohh… jadi begitu…” ujarku.

“Cuma ohh doang? Gak bilang apa-apa ke aku?”

“Makasih ya Kak Istifa, makasih banyak.” Balasku memberi pujian yang ia minta.

“Yaudah, tapi kanapa kamu sekarang? Kamu gak enak badan? Kok murung gitu?” tanyanya melihatku yang tengah memikirkan sesuatu.

“Enggak, enggak ada apa-apa.”

Tidak sampai 15 menit, kami bertiga sudah sampai di depan pintu masuk area kependudukan Bellato outpost. Akupun berpapasan dengan Ryan dan beberapa prajurit tingkat tinggi dengan armor dan persenjataan yang lengkap. Ryan tampak panik, juga berkeringat. Iapun menghampiriku.

“Fi! Lu beneran Dzofi ‘kan? Lu gak papa? Lu masih utuh ‘kan?” ucapnya sambil tangannya bergerak memeriksa tiap bagian tubuhku, memastikan salah satu lengan atau kakiku tidak berakhir dalam perut Cloned TL.

“Iya, iya dan iya.” Ujarku menjawab semua pertanyaan yang ia lemparkan padaku.

“Lu!” iapun mendekat kearahku dan…

PLAK!

“Bangset…” ucapku reflex mendapat tamparan pedas dari pemuda berkacamata di depanku ini.

“Mumpung lu gak kenapa-napa.” tanpa pernah kuduga sebelumnya, ia memelukku, erat. Setelah beberapa detik terlalui, ia melepaskannya dan kembali bicara “Tadi gue yang berhasil sampe kesini lebih dulu, untung mentennya udah selesai, gue balik ke markas dan langsung minta bantuan prajurit Senior ini.” Serunya sambil menunjuk beberapa prajurit Senior yang ada dibelakangnya. “Sekarang elu malah selamet, kenapa gak mati aja.” ujarnya sambil membetulkan posisi kacamatanya.

Ebused… tadi dia bilang bersyukur kalo gue idup, sekarang pengen gue mati… ya, kalo gak begini emang bukan Ryan sih.

Kami berduapun kemudian meminta maaf dan berterimakasih pada Senior yang Ryan panggil, karena sudah sudi untuk direpotkan. Mereka memang tidak keberatan, hanya saja percakapan kami tadi terdengar lucu ditelinga runcing mereka, tampak dari gesture mereka yang cengar-cengir menyaksikan ‘kekonyolan’ kami. Aku hanya bisa berdoa, semoga kejadian ini tak jadi buah bibir.

“Btw, Adan gimana? dia belom sampe?” ucapku membuka percakapan baru.

“Dia… cuma kesasar sedikit, sebentar lagi palingan nyampe.” Ujarnya setelah melihat radar. Rupanya Adan sedang ada di dalam goa chink, kamipun memutuskan untuk tak mencarinya, “Orang bodoh hokinya gede.” Itu yang Ryan bilang.

Aku dan Ryanpun memutuskan menuju lokasi dimana para Crawler dan juga beberapa Grumble memenuhi area yang dimaksud. Pembatas antara area yang mereka penuhi dengan area kependudukan adalah jembatan, warga sekitar membuat tembok seadanya dari berbagai barang agar para makhluk pribumi novus itu tak merusak lebih jauh.

“Jadi disini lokasinya?” ujar Ryan sambil mengokang Assult Riflenya.

“Iya, tapi bukannya lebih baik kalo nunggu Adan? Dilihat, jumlah mereka lumayan banyak, udah gitu ada kecoak rasaksa juga lagi. Gak sesuai apa yang log misi bilang.”

“Yaudah.” Jawabnya singkat. Kemudian ia membuka VirCell miliknya, lalu memencet suatu tombol sehingga diradar milikku ada sebuat titik berwarna biru, menunjukkan lokasi dimana aku dan Ryan berdiri.

“[Dan, lu nyasarnya jangan kelamaan! Gue ama Dzofi udah di depan lokasi, cepet susul kami.]” seru Ryan pada Adan melalui talk party, sebuah percakapan yang menampakkan muka masing-masing pada layar hologram dengan alat VirCell.

“[Dzofi dah disana? Bagusdeh, tapi gue bingung, disini jalannya gelap. Gue nyasar cuk.]”

“[Dah, lu pake teleport scroll aja kemarkas, terus kesini via portal, mentennya udah selesai.]”

“[Dari tadi kek, yaudah gue tele dulu, lu pada nungguin gue… -]” percakapan mereka berduapun berakhir, sekarang tinggal menunggu satu-satunya seorang warrior dalam tim ini.

Ditengah kami menunggu, Kak Istifa dan Sabila menghampiri kami.

“Dzof, gimana kalau aku bantu selesain misi kamu?” ucap Sabila sambil mengeluarkan senjatanya.

“Emangnya kamu gak ada misi Sab?”

“Misi untuk bulan ini aku udah selesain semua, dan sekarang gak ada panggilan. Jadi sekarang aku bebas.”

Dia… emang tekun, beda sama gue, masih tingkat segini aja dah numpuk misi, gimana nanti…

“Yaudah, makasih Sab.” Ucapku berterimakasih, lalu kupalingkan perhatianku ke Kak Istifa, “Kak Istifa juga?”

“Aku? Haha… tentu aja enggak. Itukan misi bocah, aku cuma mau ngeliatin doang.” Jawabnya sambil memilah tampat untuk ia duduki.

“Mending pulang aja, ganggu…” ucapku sedikit jengkel. Iapun hanya tertawa kecil sambil bersender pada tembok.

“Oke, gimana kalau kita mulai sekarang? Lebih cepat lebih baik ‘kan?” seruku pada mereka sambil menyiapkan dua bilah senjata yang berbeda.

“OKE” seru Sabila dan Ryan. Kamipun melompati pembatas dan segera mengusir mereka.

.

.

“Fast Shot!”

Duarr.. duarr..

“Ughhh..”

Brukk…

salah satu crawler kembali tumbang setelah Sabila berhasil membidik kepalanya. Kami memang sudah berhasil membersihkan area jembatan dari para mekhluk yang tingginya hampir 1,5 kali tinggi kami, namun belum ada tanda yang lainnya akan pergi. Terlebih, jumlah mereka masihlah banyak. Sangat banyak untuk kami bertiga.

DORR!

“Dengar Crawler! Kembalilah ketempat asal kalian, tidak ada alasan untuk kalian memenuhi sector wilayah kekuasaan Bellato union!” ujar Ryan pada makhluk pribumi itu setelah menembakkan tembakan peringatan.

“Kalian… kalian penjajah! tanah ini milik leluhur kami, dan kami ingin mengambilnya kembali! Enyahlah kalian!” jawab salah satu crawler yang mampu berbahasa Bellato.

“Kau, kau pemimpin mereka?” tanyaku padanya. Yang berwarna lebih gelap dibanding crawler yang lain.

BRUAKK!

Tampaknya ia tak menghiraukan pertanyanku, ia mengarahkan tinju besarnya dan gagal menghantam tubuhku, sehingga tanah menjadi retak.

“Bangsa Crawler tak akan membiarkan dirinya tertindas, tak akan membiarkan haknya diambil. SERAANGG!” seru Crawler yang kurasa pimpinan mereka, setelah ia mengomandoi, sekitar lima Crawler lainnya mengerubungi kami bertiga.

Brakk! Brakk! Brakk!

Jbumm!

Pukulan sekaligus didaratkan pada kami, namun kami semua berhasil menghindar.

Tanpa dikomandoi, Ryan dan Sabila mengambil bagian mereka masing-masing.

Dorr.. Dorr..

Dorr.. Dorr…

Ryan dan Sabila menembak Crawler dengan Assult Rifle milik mereka.

Zlashhh…

Dorr…

Sedangkan aku menahan serangan seekor Crawler dengan pisau ditangan kananku, dan tangan yang lain menembak Crawler yang lain.

“Rasakan ini! Slasher! Fast Shot!”

Zrashh! Zrash! Zrashh!

Dorr! Dorr!

Kuluncurkan dua skill sekaligus pada monster yang berbeda.

Pertarungan berlangsung sengit, sepertinya masing-masing dari kami hampir mencapai batasnya. Armor yang kukenakkan sudah basah, tak jelas oleh keringat atau darah mereka.

“Hah… hah…” aku mengatur nafas, lalu memperhatikan sosok yang sedang duduk santai bersandar.

Kak Istifa, dia masih disana ngeliatin kami, dasar gak punya hati… hah… hah.. dah tau juniornya pada kerepotan, bukannya turun tangan.

“Dzofii! Jangan meleng!” ucap Ryan, akupun kembali memalingkan perhatianku pada…

BRUAKKK!

Brakk… brakk…

Bogem mentah salah satu Crawler berhasil mengenaiku, sehingga aku terlempar beberapa meter.

Terasa, pelipisku mengeluarkan cairan beraroma getir, dan merah.

“Hah… hah..”

Aku serasa belum bisa fokus, mengatur nafaspun sulit.

Sosok besar, kembali menghampiriku. Hanya warna hitam dari bayangan tubuhnya yang bisa kulihat, karena ia menghalangi sinar Niger dari pandanganku. Kemudian, tangannya bergerak… tangan besar berupaya melakukan serangan yang sama.

BRUKKK!

“Lu gak papa cuk?”

Ucap sosok hitam lain yg muncul begitu saja dihadapanku. Suaranya ku kenal, namun aku masih belum bisa sepenuhnya sadar.

“Dzof! Bangun!”

Sosok itu perlahan dapat kukenali dengan jelas, seorang yang tengah menahan serangan Crawler dengan prisai, ia juga menggenggam kapak berwarna biru langit ditangan lainnya.

“Adan.” “Makasih, lu dateng disaat yang tepat.” Ucapku dengan nada lemah.

“Pahlawan emang dateng belakangan.” Ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya pada monster yang tengah ia hadapi. “Cepetan minum potion lu, lu pendarahan itu!”

“Potion… punya gue dah gue buang tadi, buat ngadepin komodo raksasa.”

Sejenak ia tak bicara apa-apa, mungkin sedang konsentrasi menghadapi musuh yang sengit.

Zrashh!

Tebasan bertenaga, mengoyak dada Crawler yang ia hadapi sehingga darah segar membasahi matras hijau menjadi merah, serangan itupun menjadi serangan terakhir yang bisa Crawler itu rasakan, kemudian Adan berpaling kearahku, lalu menyenderkanku ke pohon.

“Tenang aja, tinggal sedikit lagi.” Ucap Adan padaku. kemudian ia berseru pada yang lainnya.

“Tolong, yang masih punya stok potion, kasih ke Dzofi, dia pendarahan!”

Akupun sebisa mungkin merapalkan mantra force suci yang kupelajari agar mempercepat regenerasiku.

“So-Soul Ballad…”

Efek cahaya seperti kunang-kunang kemudian menyelimutiku, hangat.

Tidak langsung terasa memang, namun ini jauh lebih baik dibanding tidak sama sekali.

Tak berapa lama, Sabila datang menyusulku, bersamaan dengan itu, Adan pergi menjauh. Kembali menghadapi creawler yang tersisa.

“Kamu terlalu memaksakan diri Dzofi. Kau melakukannya lagi.” Ucapnya seraya mengeluarkan saputangan yang sebelumnya ia gunakan untuk menyeka airmataku.

“Jangan.” Ujarku agar tangannya tak mendekat pada bagian mukaku yang bersimbah darah. “Nanti saputanganmu kotor.”

“Gak apa, kalau dicuci pasti bersih lagi.” Jawabnya. Namun siapapun tau, noda darah tidak semudah itu untuk dibersihkan. Walaupun menggunakan deterjen yang ngakunya dengan kekuatan sepuluh MAU.

Akupun menggapai pisauku, lalu kuayunkan…

Srattt…

Kupotong bagian lengan armorku, dan kusuruh Sabila menggunakan bagian armor itu untuk membersihkan darahku.

“Kamu, gak sayang sama armor mu? Kalau saputangan emang gunanya buat bersihin sesuatu ‘kan?” ucap Sabila sekaligus memberi potion padaku.

“Ighhh… kalau armor, ughh.. bulan depan ‘kan dapet lagi buat tingkat 19, tapi kalau saputanganmu, bisa-bisa motif bunga putih itu berubah jadi merah…” jawabku diikuti meringis ketika beberapa kali Sabila membersihkan pelipisku.

“Saputangan itu pasti pemberian keluargamu ‘kan?” sambungku.

Entah kenapa, untuk sesaat ia tertegun.

“A-ah, iya, lebih tepatnya dari seseorang yang kusayangi.” jawabnya.

Itu pasti saputangan buatan tangan dari ibunya, aku jadi merasa iri. Memiliki barang kenang-kenangan dari ortu adalah suatu hal yang tak kumilik. Aku hanya memiliki barang peninggalan kakek, ya walau barang peninggalannya masih harus diperbaiki sampai aku tau kegunaannya.

Tak terasa, waktu kami berdua habiskan bersama, ia menepuk kedua tangannya tanda ikatan kain armor dikepalaku sudah menutupi luka di pelipis.

“Sudah selesai, kamu merasa lebih baik sekarang, Dzofi?”

“Ah, makasih Sab, walau masih agak nyeri, tapi semua baik-baik saja.” Jawabku sambil berusaha berdiri.

Hugg…

Ia dengan cepat menahan tubuh ku sebelum aku terjatuh karena tubuh ku yang hilang keseimbangan. Rupanya kaki kiri ku sedikit terkilir.

“Ughh.. Makasih sekali lagi, hari ini kayanya aku banyak banget hutang sama kamu Sab, hehe…” ucapku pada gadis berambut putih yang lagi-lagi membantuku.

“Kamu mau kemana? Istirahat dulu, tubuhmu belum pulih 100%.” Serunya dengan tatapan biru langit yang seakan memaksa.

“Aku ‘kan masih ada misi Sab.” Jawabku tanpa berani membalas tatapannya. Semua wanita kalau memaksa entah mengapa terlihat seram, tidak terkecuali gadis ehem… i-imut seperti dia…

“Yaudah, aku aja yang gantiin kamu. Jadi kamu istirahat.” Ucapnya menawarkan diri.

“Gimana kalau kita lakuin berdua, aku pakai Stout Gun milikku, kamu pakai senjatamu. Jadi aku gak usah maju-maju, cukup dari sini bantuin mereka.” Balasku memberi usulan. Kukira ia tak setuju, namun ternyata ia mengangguk.

Dengan setengah badanku bertumpu padanya, aku dan ia mulai menembakkan beberapa proyektil secara bersamaan dari jauh.

Ditengah-tengah kami menyerang, aku berkata

“Sab, sekali lagi makasih. aku denger dari cerita Kak Istifa, kamu sampai berani lawan komandonya demi nyari aku. aku… aku gak tau kalau kalau sampai seberani itu… demi aku.” Akupun menatap lebih rendah, mencoba melihat wajahnya.

“A-aa engg… pokoknya makasih, yu are de ril mvp…” sambungku langsung mengarahkan pandanganku kembali ke depan. Tak berani bertatapan mata. Ya, memang aneh gelagakku saat ini. Berasa agak canggung-canggung gak jelas. Padahal gak perlu canggung, dan Sabilapun biasa aja.

Akupun kembali fokus pada target.

“Iya, sama-sama, akupun senang kamu selamat…” balasnya.

Mendengar jawabannya, aku baru sadar, badan kami terlalu dekat, bisa jadi jantungku yang berdebar saat ini bisa ia rasakan getarannya. Tu-tunggu dulu… di-dia.. dia juga… berdebar?

“Dzofi, Sabila Merunduk! Fast Shot!”

Dorr.. Dorr…

Aku dan Sabila dengan cepat menunduk, namun aku yang tidak seimbang membuat Sabila juga tak seimbang sehingga kami berdua…

Brukk…

Terjatuh, di atas matras rerumputan ini.

Posisi tubuhku kini berada diatas tubuh Sabila yang terlentang, bisa saja tubuhku menimpanya bila tangan dan kakiku yang tak terkilir tak sigap menopang berat tubuhku.

Entah takdir yang merencanakan atau sekedar kebetulan, tatapan biru langitnya… selaras dengan brownies milikku. Erangan makhluk sekarat yang Ryan tembak tadi seakan tak menjadi penghalang antara aku dan Sabila dalam momen singkat, saling tenggelam menatap mata yang banyak disebut orang sebagai jendela hati.

“Dibelakang kenap- WOII PACARAN JANGAN PAS MISI OII! TAU TEMPAT LU DZOFII…”

Teriakan Adan dengan efektif membuatku tertarik keluar dari momen yang sangat singkat itu, akupun tersadar apa yang telah kuperbuat. Walaupun tak ada gerakan maupun kata yang terucap, baik dariku maupun Sabila. Akupun mendorong tubuhku agar menjauhi Sabila yang jaraknya sangatlah dekat.

“Ma-maaf Sab, aku sama sekali gak sengaja…” ucapku, kemudian aku berusaha berdiri dengan usahaku sendiri.

“Dzof… l-lu.. lu melanggar kode etik perbujangan lu Dzof, gue kecewa sama lu…” seru Adan sambil mensayat beberapa bagian musuh yang tengah ia hadapi.

“Gue gak macem-macem cukk! Sumpah, itu kecelakaan.” Seruku lantang membalas teriakannya.

“Jangan banyak cakap! SEKARANG DARAH JOMBLOKU BERGEJOLAK LUAAARRR BIAASAAAA…” teriaknya seraya melompat ketengah kumpulan monter dan menghadapi mereka, ada sekitar lima monster lebih.

Zrashhh!

Brukk..

Jebrumm…

Bzett! Bzett! Bzett!

“Dah, gak usah dipikirin, diamah emang begitu orangnya.” Seru Ryan sembari berjalan kearah kami.

“Tapi gak apa dia ngadepin monster-monster sendirian?” tanyaku pada Ryan, dengan khawatir.

“Gak apa, toh mereka yang terakhir kok. Gue aja udah selesai, mending kita rapih-rapih. Itung-itung itu sisa biar Adan aja yang beresin karena dia tadi datengnya telat.” Ucap Ryan sambil menjulurkan tangan, menawarkan bantuan agar aku bisa berjalan menuju Bellato outpost.

.

.

“*yawn… kalian dah selesai?” seru Kak Istifa sambil meregangkan tangannya lalu melepas kacamata hitam. “Kepalamu kenapa tuh?” tanyanya menunjuk luka di kepalaku.

“Ka-Kakak…” “Kakak dari tadi tidur?! Aku ini kena serangan telak dari salah satu tuh makhluk! Ini seniornya malah asik-asikan tidur! Dasar gendeng! Kalo juniornya mati gimana?!” bentakku tak tahan melihat kelakuan Senior yang gak bertanggung jawab.

“Hei, begitu caramu ngomong, aku seniormu lho.” Ucapnya santai, seakan tak benar-benar peduli kenapa aku benar-benar jengkel adanya.

“Senior? Persetan sama Senior! Aku sama Sabila juga tadi celaka kalo Ryan gak ngingetin kami berdua.”

“Fi-“

“Belom, gue belom selesai ngomong…” ucapku memotong perkataan Ryan.

“Dzofi, kamu…”

“Nanti Sab, aku dah kesel banget sama orang yang ngakunya Senior tapi- mmpphh…” seruku juga pada Sabila, namun Kak Istifa dengan sigap langsung membekap mulut ku.

“Mphh! Hmphhhh!” Ughh.. lepasin gue!

“Kamu luka ‘kan? Lihat tuh kepala mu, ngeluarin darah lagi.” Ucapnya dengan nada tenang, seakan tak terprovokasi dengan omelanku sebelumnya, setelah itu ia melepaskan tangannya dari mulut ku.

Akupun menggerakkan tangan kepelipisku yang luka, dan basah…

“Darah? Lagi?…” tiga jemariku kini berlapiskan carian merah. Kemudian kepalaku seakan berat, tubuhku juga perlahan tak kuat untuk tetap berdiri…

Diambang kesadaranku, entah mengapa aku teringat.. teringat sesuatu seperti ini, teringat seseorang…

teringat Kak Ulfa…

“To-tolong… jangan kasih tau Kak Ulfa… semuanya…”

Brukkk…

.

.

“Aku disini pulang buat apa? aku mengambil cuti untuk menjemput sepupuku yang pemalas, ayo cepat bangun!”
-Ulfa Hardji- ch. 1

CHAPTER 18 END.
Next Chapter > Read Chapter 19:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-19/
Previous Chapter > Read Chapter 17:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-17/
List of Journey For Identity Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-list


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *