JOURNEY FOR IDENTITY CHAPTER 19 – THE DAY

Journey For Identity
Penulis: Bid’ah Slayer
.
.
Suara…
Gemericik air, terdengar saat Bellatean kecil bersurai hitam mencoba melangkahkan kaki mungilnya tepat di atas bebatuan, dengan hati-hati, juga tetap merentangkan kedua tangannya, agar tubuhnya tetap seimbang, agar tak kuyub bila terjatuh ke sungai.
“Ah! Sedikit lagi.” Ucapnya saat melihat daratan tanah tinggal beberapa meter saja.
Hup!
Hup!
Hup!
“Fiuh~ akhirnya berhasil juga” ucapnya seraya mengelap dahinya yang hanya sedikit berkeringat. setelah menapakkan kaki mungilnya di tanah beralaskan rumput, ia berlari. Menghampiri padang bunga yang berbagai macam warnanya.
Biru, kuning, merah, putih, ungu.
Tulip, dandelion, lavender, dan lain-lain
Berbagai macam dan warna bunga bertebaran menyambut lelaki itu. Senyumanpun merekah di wajahnya.
“Ahahaha…”
Tawanya menari di tengah hamparan bunga-bunga.
“!”
Setelah beberapa menit, ia tersadar, bahwa tujuannya datang kesini bukanlah untuk menari ataupun bersenang-senang. Segera ia bangkit, lalu ia arahkan pandangnnya dengan fokus, memperhatikan tiap bunga yang ia lihat, Dengan teliti.
…
Sinar matahari Niger semakin terik, sang bocahpun tak kunjung menemukan apa yang ia cari, iapun memutuskan untuk istirahat sejenak, bernaung dibawah pohon yang jaraknya tidak jauh. Pohon besar yang seakan menjadi pusat dari padang bunga ini.
Trekk..
Gluk gluk gluk…
“Ahh…”
Setelah meminum minuman yang ia persiapkan dari rumah, iapun bersandar, rileks, dan tertidur…
Zzz…
.
.
Tuck tuck…
Seseorang menyentuhnya dengan ujung ranting.
“Engghh…”
Reaksi bocah yang sedang tidur membuat posisi baru.
Tuck tuck…
“Ummm…”
Bocah itupun terbangun, dengan kesadaran yang masih belum penuh, ia mengucek-ucek matanya.
“Kamu gak papa?” seru seorang yang mengganggu tidur bocah bersurai hitam.
“Uhh?”
*celingak-celinguk*
Tanpa menjawab pertanyaan, ia seperti sibuk mencari sesuatu.
“Apa yang kamu cari?” Tanya bocah bertopi yang membangunkannya.
“Aku… lagi nyari bunga.” Jawabnya singkat, tanpa mempedulikan siapa lawan bicaranya.
“Bunga? Itu bunga, itu bunga, itu juga bunga.” Sahut lawan bicara sambil menunjuk macam-macam bunga.
“Bukan, bukan bunga yang biasa. Aku lagi nyari bunga yang special.”
“Spesial? Kaya gimana?”
“Pokoknya gak ada yang nyamain.” Jawabnya, kemudian kembali melanjutkan pencarian.
“Buat apa?”
“Buat urusan penting, penting banget.”
“Ooo…” bocah bertopi itu terpaku mendengar jawabannya.
Dilihat, mereka berdua nampak sebaya, tepatnya sama-sama berumur lima tahun.
“Oh iya, kata Kakak ku, kalo kamu mau cari bunga yang bagus, kamu harus muterin pohon ini dulu delapan kali sambil matanya merem, nanti pasti ketemu.” Seru bocah bertopi sambil menepuk pohon yang ia maksud. Pohon satu-satunya.
“Hemm? Kamu serius? Kamu pasti mau ngerjain aku ‘kan?”
“Enggak, aku gak ngerjain kamu kok. Itu kata Kakak aku.” Jawab anak itu memecah keraguan.
“Oke deh aku coba. Aku tadi gak langsung percaya, soalnya Kakak aku suka ngerjain aku.”
Surai hitampun melangkah, bersiap melaksanakan ‘ritual’ agar apa yang ia cari dapat ia dapatkan.
“Jangan ngintip.”
“Iya, aku gak ngintip, aku ‘kan orangnya jujur.”
“Yaudah, ayo mulai.” Seru bocah bertopi.
“satu” “dua” “tiga” “empat” “lima” “enam” “tujuh” “delapan.”
Seru bocah-bocah itu bersamaan.
Setelah melakukan ‘ritual’, Bocah bersurai hitampun perlahan menyingkirkan kedua tangan mungilnya dari wajahnya.
Whussss…
Anginpun berhembus cukup kencang, membawa hawa sejuk.
“!” surai hitam menyadari sesuatu.
“Gimana? kamu ketemu apa yang kamu cari?”
“Topimu, kebawa angin.” Serunya sambil menunjuk topi yang perlahan jatuh.
“Waaa… topiku.” Ujar pemilik topi sambil menggenggam letak dimana harusnya topinya berada.
“Hahaha… bil bil bil, ketemu aku ambil.” Seru surai hitam sambil berlari, berusaha meraih topi itu lebih dulu dari sang empunya.
Drap… Drap.. Drap…
Iapun akhirnya berhasil, lalu mengambil topi itu.
“Wah!…”
Hosh… hosh.. hosh..
“Hoii, kamu curang, itukan punyaku. Itu ibu aku yang beliin…” seru sang empunya dari belakang.
“Coba liat sini, aku nemu bunga yang bagus.” Timpal surai hitam sambil mengayunkan tangannya, menyuruh agar bocah yang ia tak kenal itu cepat menghampirinya.
“Ada apa?”
“Itu, bagus ‘kan?” seru surai hitam sambil menunjuk bunga, bunga yang entah apa jenisnya, namun berwarna biru muda cerah, dan dihiasi warna putih dibagian tertentu.
“Wah, bagus banget. Urusan penting kamu pasti bisa selesai dengan bunga itu.”
Bocah bersurai hitam itupun mengangguk senang, lalu berpaling menghadap lawan bicaranya.
“Ini, aku mau- ehh?” saat ia hendak mengembalikan topi milik sang empunya, ia lagi-lagi tersadar
“Ada apa?” Tanya empunya topi heran.
“Kamu… perempuan?” ucap si surai hitam baru menyadari saat melihat potongan rambut pendek ala perempuan.
“Emang, dari tadi kamu ngira aku laki-laki?”
“Iya, soalnya kamu pakai topi sama celana pendek sih, jadi kukira kamu laki-laki. Yaudah nih.” Si surai hitampun memakaikan topi pada sang empunya.
Setelah memakaikan topi, ia kembali berlari kearah pohon, lalu mengitarinya kembali, melakukan ‘ritual’.
“Satu… dua… tiga…”
“Hei, bukannya bunga yang kamu cari udah ketemu?” Tanya gadis bertopi heran.
Tanpa menjawab pertanyaan, surai hitam tetap melanjutkan ritualnya.
“Tujuh… delapan…”
*celinga-celinguk*
“Hoii… aku kan nanya kamu, kok gak dijawab?”
“Tunggu.. ah! Itu dia!” surai hitam kembali menemukan apa yang ia cari, kemudian ia berlari kearahnya.
Tak mau ketinggalan, gadis bertopipun mengikuti si surai hitam. “Apa yang kamu cari?”
“AWW…” teriak reflex bocah bersurai hitam saat berusaha mencabut sekuntum bunga. Iapun berusaha menghilangkan duri tajam dari tangkai bunga tersebut sebisanya. “Nih, buat kamu, karena udah mempermudah urusan penting aku. Hehehe…” ucapnya sambil menyerahkan bunga, diikuti senyuman lebarnya.
Lawan bicaranya masih tak percaya, ia sedikit ragu, namun perlahan tangannya bergerak menerima pemberian bocah tersebut.
“Terimakasih, terimakasih banyak.” Iapun tersenyum.
“Gimana? cocok ‘kan? Sama warna rambutmu, sama-sama putih.”
Belum sempat gadis itu menanggapi, terdengar suara yang kencang dari arah sebrang sungai.
“DZOFIII… KAMU DISANA ‘KAN? UDAH SORE, KAMU DICARIIN KAKEK.”
“Ah! Itu Kakak ku manggil, udah dulu ya, aku pulang dulu.” ucap surai hitam.
“Kamu… besok kesini lagi?” Tanya gadis bertopi.
“Iya. Besok kita main bareng lagi.”
“Janji?” Tanya sang gadis.
“Janji” jawab surai hitam sambil meraih jari kelingking lawan bicaranya, lalu ia kaitkan dengan jari miliknya, sehingga membentuk simpul sederhana.
Suara kembali terdengar menyebut nama si surai hitam.
“Ah! Iya Kak!” “Oke, sampai besok, Bye…” ujarnya seraya melambaikan tangan.
Sosok gadis itu perlahan tak mampu tertangkap oleh pengelihatannya, mungkin gadis itu juga pulang. Dan kini, dengan sigap bocah yang dipanggi Dzofi itupun menghadap kakaknya, yang berada disebrang sungai.
Sungai sebenarnya bukanlah sungai besar, melainkan aliran air yang tidak deras dan tidak juga dalam. Ada beberapa batu yang difungikan sebagai ‘jembatan’ dengan cara melompatinya satu persatu.
“Kamu dari siang main, gak pulang-pulang. Pasti nanti kakek marahin kamu.” Ucap gadis berponytail coklat di sebrang sana sambil bertolak pinggang. “Emang kamu habis ngapain?”
“Hehe… ra-ha-si-a” jawab adiknya sambil mengeja kata terakhir. Iapun melompat, mendarat diatas batu demi batu, Sambil keduanya tangannya kembali direntangkan. Hup! Hup!
“Kamu tadi ngomong sama siapa Dzof?”
Hup!
Bocah yang diajak bicarapun menghentikan lompatannya, lalu berfikir…
Ia lupa, kalau gadis yang sedari tadi ia ajak bermain bersama tak ia ketahui namanya, berkenalanpun tidak. Iapun menjawab “Gak tau Kak.”
Hup! Ia kembali melompat.
Namun saat ia ingin melompat untuk kedua kalinya…
Syut…
Jebyur…
“Haha… makanya jangan lompat-lompat, kamu jadi kecebur ‘kan. Ayo bangun.” Ucap sang Kakak setelah menertawakan adiknya yang terjatuh dan pakaiannya basah.
“Huu~ uhuu… Kak Ulfa… sakit Kak.. huuu…” ujar Dzofi diikuti isak tangis yang pelan, sebisa mungkin ia tahan, karena ia tau, pasti yang keluar dari lisan kakaknya adalah
“Jangan nangis, kamu ‘kan laki-laki.”
ponytail coklatpun menjulurkan tangannya, membantu sang surai hitam. “yang mana yang sakit?” tanyanya sembari menyamakan tingginya.
“Yang I-ini…” ucap Dzofi. Seketika, mata Ulfapun melebar, diikuti tatapan ngeri,
“D-Dzofi… kamu…”
Dzofipun menyentuh bagian yang luka, dirasanya agak basah, kemudian ia lihat apa yang ada pada tiga jarinya.
“Darah” “Kak, kepala Dzofi… berdarah…”
Perlahan, tubuh Dzofi lemas, lunglai, lalu iapun tak sadarkan diri.
“Dzofi! Dzofii!..” “Tolongg…”
Ulfapun dengan ekspresi panik, meminta bantuan pada warga sekitar.
Beruntung, ada beberapa orang lewat, kemudian membawa tubuh Dzofi ke kelinik terdekat. Bagaimana dengan Ulfa? Ia menangis, ketakutan. Khawatir terjadi hal buruk pada sepupu yang sudah ia anggap sebagai adik kandungnya sendiri.
Sang kakek yang merupakan orang yang cukup berpengaruh di desa, dengan cepat mendapat kabar tentang apa yang menimpa cucunya. Iapun bergegas ke lokasi yang dimaksud.
Sesampainya ia disana, ia mendapati cucu perempuannya tengah menangis, sedangkan cucu lelakinya tengah terbaring tak sadarkan diri dengan kepala berbalut perban.
“Ulfa, kau baik-bak saja?” seru kakek menanyakan keadaannya.
“Kakek… ia kek, Ulfa baik-baik aja, tapi Dzofi…” ucapnya dengan nada yang pilu, berjalan memeluk sang kakek.
“Sudah sudah, gak apa-apa, semuanya pasti baik-baik saja. Dokter pasti bisa sembuhin Dzofi. Kamu jangan sedih ya.” Hibur sang kakek sambil menepuk-nepuk punggung cucunya. Kemudian, ia menatap cemas cucu lainnya yang terbaring disana.
Ia sebetulnya ingin mengetahui, bagaimana kronologis peristiwa yang menimpa Dzofi, namun dirasa bukan waktu yang tepat untuk menanyakannya sekarang, terlebih Ulfa merasa sangat tertekan tampaknya. Yang terpenting kesembuhan, ya, kesembuhan dan keselamatan. Semoga Tuhan memberi keselamatan pada anak dari anaknya tersebut.
.
Hari mulai malam, dokter disana mengatakan kalau Dzofi sudah boleh dibawa pulang, walaupun ia belum sadar, namun kondisinya stabil. Yosuropun membawa pulang Dzofi beserta Ulfa.
.
.
“Kek.. ughh…” ucap Dzofi sedikit meringis kesakitan setelah membuka kedua matanya, ia tersadar. “Kakek…” seru Dzofi memanggil Yosuro.
Suara langkah kaki dengan terburu-buru menghampiri sumber suara.
“Iya Dzofi…” ucap pria tua yang dipanggil kakek. “Syukurlah kamu sudah sadar…” peluk sang kakek sambil mengusap surai hitam milik cucunya.
“Kakek, Dzofi haus…” seru sang cucu sambil memijat tenggorokannya.
“Ah! Iya iya, sebentar ya, kakek buatkan teh dulu.” Jawab Yosuro lalu mengecup kening cucunya. Iapun melangkah keluar menuju dapur. Ditengah ia melangkah, terdengar ia mengucapkan sesuatu.
“Ulfa, sana temenin Dzofi, dia udah sadar tuh..”
Tak berapa lama, suara lantai kayu seperti dilangkahi orang berlari
Drap.. drap.. drap…
“Dzofiii!”
Brukk…
Ucap gadis berseragam sekolah putih merah melompat ke kasur yang sedang Dzofi singgahi.
“Kamu udah baikan Dek?” Tanya sang Kakak sambil menempelkan telapak tangannya pada dahi Dzofi.
“Umm.. emangnya Dzofi kenapa Kak?”
“Kamu gak inget? Kamu jatuh kepeleset waktu pulang dari bukit bunga.” Jelas Ulfa.
“Bunga…” ucap pelan Dzofi, iapun menyadari sesuatu “Kak tolong ambilin tas Dzofi dong Kak. Yang itu yang itu…”
Ulfapun turun dari ranjang, lalu mengambilkan tas yang dimaksud Dzofi. “Yang ini?”
“Iya”
Setelah mendapatkan tas, ia dengan cepat membuka retsleting tas itu,
Srett…
Ia senang, apa yang berada di dalamnya dalam kondisi baik-baik saja, tidak rusak. Iapun mengeluarkannya dan menyerahkannya pada kakaknya.
“Ini, buat Kak Ulfa.” Ucapnya dengan senyum tulus. Memberikan setangkai bunga berwarna biru cerah yang jarang ditemukan, setidaknya untuk anak-anak seperti mereka.
Bersamaan dengan itu, Yosuro menapakkan kakinya ke dalam kamar, dan melihat cucu laki-lakinya tengah memberikan bunga pada cucu perempuannya.
“…”
Ulfa tampak heran, juga Yosuro yang ada dibelakangnya. Kemudian, masih dengan senyuman tulusnya, Dzofi mengatakan…
“Selamat ulang tahun Kak…”
/
.
.
“U-ughh… Mimpi…” Ucapku setelah terbangun sambil memegang dahiku. kupandangi ruang dengan warna dominan putih ini. sepertinya aku sekarang berada di rumah sakit. “Mimpi… atau tepatnya ingatan masa lalu.” Sambungku, Akupun meraba-raba pelipisku yang sudah ditutupi perban.
“Gak salah lagi, itu bener-bener terjadi. Tapi…” akupun memejamkan mata “siapa nama tuh cewe ya? Mukanya… ughh… gak bisa gue inget” ujarku mencoba membongkar muatan memori lebih jauh.
“Lagi coba nginget-nginget siapa?” ucap seorang laki-laki entah siapa dari ‘kamar’ sebelah, hanya bertembokan kain horden, jadi wajar ia bisa mendengar ucapanku.
“Eh? Enggak, cuma mimpi aja kayanya.” Balasku mencoba tak mengungkitnya kembali.
“Btw, lu sakit apa?” Tanya orang asing itu lagi kepadaku.
“Ini, kepala gue tadi dapet benturan keras pas lawan Crawler di Bellato outpost. Kondisi gue gak fokus saat itu, jadinya memperparah dampak yang gue derita sekarang.” Jelasku singkat.
Srekkk…
Iapun menyibakkan kain pembatas antara kami, terlihatlah sosok yang mengajakku bicara, seorang Bellatean dengan rambut berwarna coklat caramel.
“Ohh.. itumah masih mending, masih bisa selamat karena lawannya Crawler.” Ucapnya dengan nada enteng. Matakupun tertuju padanya, lebih tepatnya kakinya yang kini tengah digantung sembari dibalut gips.
“Emang kalo elu kenapa? Kaki sampe digantung-gantung begitu, patah?” tanyaku masih memperhatikan kakinya. Disatu sisi bersyukur, gak bernasib kaya dia, disatu sisi prihatin juga, Pasti repot kalo mau BAB.
“Iya. Dari beberapa mingu yang lalu gue disini. Gue masih harus ada disini semingu lagi. Tapi semoga bisa rawat jalan, bête disini terus.” Jelasnya sambil mengeluarkan keluh kesahnya.
“Engg… emang monster apa sampe bisa buat kaki lu begitu?”
“Monster yang paling buruk yang pernah lu hadapin, kalau lu melakukan sesuatu yang buat dia gak nyaman, dia langsung nyerang membabibuta, kalau enggak, dia keluarkan kemampuan serangan psikologis sehingga membuat emosi inner kita gak beraturan. Kadang dalam suatu kasus, dia juga memakai muslihat kuat untuk memperdaya kita.” Jelasnya dengan nada serius, seperti mendeskripsikan makhluk dari cerita creepypasta.
“Njirr… tuh monster pasti tingkat tinggi, agresif banget. Monster apa tuh?” tanyaku antusias.
Perlahan, ia mendekatkan bagian tubuhnya kearahku, lalu melihat sekitar. Lalu melanjutkan “Bellatean betina.” Hemm… ucapnya diakhiri dengan anggukan yakin.
“…” mataku menatap tajam wajahnya, dia pasti bercanda. “Yang bener aja?! Lu serius?”
“Serius gue, emang lu gak kenal seseorang perempuan yang saban hari kalo lu ngalakuin kesalahan lu pasti dapet penghakiman detik itu juga.” Ucapnya seeakan menyajikan fakta yang aktual.
Akupun teringat sosok wanita ponytail yang mendekati kriteria tersebut,
“Hah, adakan?” serunya menebak isi kepala ku.
“Iya.” Jawabku. “Emang, kesalahan apa yang lu perbuat sampe kaki jadi begitu.”
“Engg… biasa sih, kelakuan anak muda.” Jawabnya nanggung, seperti ada yang ditutup-tutupi.
“yang jujur! Gak mungkin kalo hal biasa kaki lu sampe dipatahin begitu.”
“Haha… ngintip cewe mandi, biasa ‘kan?” jawabnya diiringi tawa beraura mesumnya.
“NDASMU! Harusnya bukan cuma patah, tapi diamputasi sekalian!” makiku kesal, bertemu seorang yang gak jelas asal-usulnya seperti ini. Kok bisa ngintip dibilang biasa sebagai kelakuan anak muda. Atau guenya yang gak biasa? Entahlah, tapi yang jelas itu jelas melanggar norma dan perbuatan asusila.
“Tapi gue gak sepenuhnya niat kok, awalnya ‘kan gak sengaja gue.” Elaknya mempertahankan diri.
“Tapi lu pasti keterusan liatin dia ‘kan?” tebakku
*Angguk-angguk*
“Pantes…”
Suasanapun menjadi diam sesaat, hening. Tak ada hal yang dibicarakan. Teringat, kalau masing-masing dari kami sama sekali belum mengetahui nama lawan bicara.
“Nama lu siapa?”
Ucap kami berbarengan.
“Ehh.. dah kaya jodoh aja, nama gue Dzofi, Baydzofi Hardji. specialist, leutnant. Salam kenal.”
“Gue Lace Lachrymose, panggil gue Lace. Gue ranger, pangkat samaan.” Jawabnya.
Kamipun beusaha berjabat tangan, namun tak sampai, karena ruang geraknya yang terbatas. Terpaksa aku turun dari ranjang dan menggenggam tangannya.
Kembali terjadi momen hening, tidak ada pembicaraan setelahnya, sempat beberapa kali detak jam dinding yang mengisi kesunyian.
.
“Sebagai laki-laki, lu pernah gak sih berfikir. Kenapa makhluk kaya kita selalu kalah sama perempuan? Maksudnya, kalau dari segi fisik, kita laki-laki jelas lebih kuat, tapi kenapa ya? Kita selalu kalah, sepertinya mereka punya kekuatan terpendam.” ujarnya sambil melipat kedua tangannya sebagai bantal, menatap langit-langit kamar.
Aku yang mendengar perkataannyapun dalam hati mengiyakan
Bener juga, kenapa kok bisa begitu?
“Hemm…” aku berfikir mencari jawaban.
“Gue, selalu kalah kalau dihajar sama Lumia.” Ucapnya menyebut nama seseorang.
“Saat dihajar dia, harusnya dengan kekuatan fisik, gue bisa bales ‘kan? Tapi ini bertahanpun enggak. Kenapa gak para wanita itu ditaroh dibarisan paling depan buat ngelawan Accretia sama Cora?” setelah ia berujar seperti itu, akupun teringat kalau Kak Ulfa pernah membantingku di kamar mandi.
Akupun mulai angkat bicara
“Gue juga, punya Kakak sepupu yang kami udah berasa kaya Kakak adik. Namanya Kak Ulfa. Dia sama kaya temen lu, si Lumia. Bisa over power gitu. Dia kalau marah serem, hawa membunuh bisa terasa begitu kental. Ngebales? Itu malah memperburuk keadaan, gue rasa.”
“persoalan kita sebagai laki-laki kaya dirapalin mantra Power Drain sehingga gak punya kekuatan ngebales, gue rasa itu karena ikatan dan garis alam bawah sadar kita.”
“Ikatan? Garis Alam bawah sadar?” ucap Lace mengulang.
“Iya. Hemm… gini, kalau buat gue, gue dan Kak Ulfa itu udah bersama sejak kecil, dia selalu merasa bertanggung jawab atas diri gue. Karena dia lebih tua, dia juga yang menjadi panutan gue. Jadi gue sebagai seseorang yang selalu dilindungi olehnya tau, bahwa dia itu bukan musuh, akal rasional bawah sadar gue seakan membuat garis pembatas antara mana musuh, mana bukan musuh. Berdasarkan ikatan itu. Makanya tanpa gue harus berfikir untuk mengingat-ingat jasanya, gue dah pasti kalah dan gak mungkin melawan atau ngebales secara fisik ke orang yang selalu ada buat gue. Sekalipun, ya jadinya badan gue dibanting hehe…”
“Lagipula, entah ya, tapi gue suka aja tuh kalau Kak Ulfa bercanda atau ngambek sampe mukul-mukul gue, hehe… asal gak sampe masuk rumah sakit.” Tambahku, akupun kini berpaling melihat Lace,
“?” dia menatapku dengan menyipitkan matanya, tajam kearahku.
“Kenapa Lace?” ucapku heran.
“Maso, dasar maso!” ucapnya seperti menghakimi.
“Eh? Maso? Apaan tuh?” ucapku kembali heran.
“Masochist, lu tipe orang masochist.”
“Masochist?”
“Orang yang suka disiksa, semakin disiksa semakin puas. Biasanya orang kaya elu bakalan H*rny kalo disiksa, apalagi sampe menjurus ke hasrat S*xual. Pokoknya lu Maso!” jabarnya.
“Wut! Enak aja! Kan udah gue bilang, kalo gue sama sepupu gue itu dah kaya sodara, itu makanya gue bilang ada unsur ikatan. Kalo masalah di’siksa’ gue kan gak mengarah kesana, lebih ke.. kedekatan, akrab begitu.” Timpalku membantah tuduhannya.
“Ohh begitu, yaudah, pokoknya lu tetep maso.” Ucapnya mengakhiri debat dadakan ini.
“Kalo elu? Menurutlu kenapa gak bisa berkutik ngadepin Lumia?” tanyaku memperalihkan pembicaraan.
“Mungkin jawaban lu bener tentang ikatan dan alam bawah sadar. Do’i itu temen masa kecil gue, ya dari dulu kita udah main bareng, becanda, pokoknya deket deh. Mungkin itu yang membuat gue gak bisa ngebales yang otomatis pasti menyakiti dia secara fisik.
Tapi tetep aja… disiksa itu gak enak, beda sama lu yang maso.”
“Udah gue bilang, gue bukan maso!”
.
.
“Oh ya Dzof, tadi pas lu masih belum siuman, cewe Senior yang rambutnya ijo tua nitip pesen, dia bilang begini ke gue, Kalau elu udah bangun dan belum bisa keluar dari rumah sakit hari ini, dia udah bilangin sepupu lu kalau elu hari ini nginep di meshnya Ryan. Jadi sepupu lu gak akan khawatir. Begitu.” Ujarnya memberitahuku pesan yang Kak Istifa berikan pada Lace.
“Ohh… iya.” Balasku. Lalu akupun merubah posisi tidurku menghadap kekiri, memunggungi Lace.
“Engg.. Dzof. Ngomong-ngomong sepupu lu itu orangnya kaya gimana?” ucapnya kembali membuka pembicaraan. Sebenarnya aku sedang tidak terlalu mood untuk berbicara saat ini, karena aku masih dibayangi mimpi/kenangan masa lalu yang tadi aku alami. Mereka masih memenuhi benakku.
“Emang kenapa?” tanyaku balik padanya. Masih memunggunginya.
“Ya, cuma pengen tau aja.”
“Dia orangnya…”
akupun teringat wajah Kak Ulfa saat hari-hari kami lalui bersama, saat ia memarahiku, bercanda, makan bersama, sedih, ngambek, menangis, Semuanya. layaknya scane-scane film yang dimainkan secara otomatis oleh otak ku.
Kemudian, timbul rasa sesak di dada ku. Aku serasa telah menipunya, membiarkan ia tak tau kondisiku yang sebenarnya. Memang, aku tak mau membuatnya khawatir, namun bagaimanapun, ia punya hak untuk itu.
Akupun bimbang,
Gue mesti gimana?
“Dzof! Kok bengong?” ujar pria berambut coklat caramel membuyarkan fikiranku.
“Ah! Iya-iya.” Akupun kini menghadapnya, lalu ku keluarkan ponsel ku, kemudian kutunjukkan bagaimana rupanya. Foto saat ia masih diakademi akhir beberapa tahun yang lalu. “Nih.”
“I-ini sepupu lu?”
Batss..
Iapun langsung merampas ponsel dari tangan ku dengan cepat.
“Hei?! Santai aja bro, emang kenapa?” tanyaku heran.
“U-ukurannya… gak salah lagi, ini pasti D, enggak ini E. ya, E” ucapnya tak berkedip dari memandangi layar ponsel.
Batss…
Ku rampas kembali apa yang menjadi milikku sambil berkata, “Dah jangan lama-lama. Dasar mesum.”
“Dzof, pliss… blututin ke ponsel gue ya. Pliss…” ucapnya sambil memohon.
“Gak!” Ucapku tegas menolak.
“Yaelah Dzof, gue gak bakal macem-macem sama gambar Kakak lu kok. Blututin ya..”
“Lu bilang begitu justru gue makin curiga. Gue bilang enggak ya enggak.” Timpalku sambil berpaling darinya.
“Kok lu ngotot gitu sih nolaknya? Diakan cuma sepupu lu.”
“Emang sepupu gue, terus?”
“Kesannya lu terlalu protektif gitu, gue rasa ada hal yang gak wajar, hemm…” ucapnya kini sambil mengelus-elus dagu saat aku melirik kearahnya.
Mata itu lagi…
Batinku saat melihat mata yang dibuat sipit. Pasti dia bakal ngomong yang enggak-enggak.
“Lu… incest ya?” akhirnya kata itu yang keluar dari lisannya.
“I-incest? Enggak lah! Gila lu ya?!” elakku mentah-mentah. Akupun bangkit dari dudukku menuju ranjangnya.
“Ngaku aja, pengidap incest. Lu suka sama sepupu lu ‘kan” Ucapnya dengan nada seakan mengejek.
Akupun mendekat kearahnya lalu kugenggam kerahnya.
“Gue gak kenal siapa elu, dan lu gak kenal baik tentang gue. tapi bisa-bisanya lu ngomong begitu. Gue minta lu tarik kata-kata lu barusan…” ucapku tak sudi dihujat dengan perkatannya lebih jauh.
Namun bukannya ia menyesal, sudut bibirnya malah menekuk keatas, dia tersenyum!
“Heh! Liat, lu terlalu protective, over protective. Bahkan buat sosoknya yang gak ada diantara kita sekarang.
Permainan psikologi… lu kalah, lu buka kartu lu sendiri.” Ucapnya berbeda dari nada biasanya, kalau tadi ia terlihat konyol, namun sekarang… seakan ia sedari tadi hanyalah melakukan penyamaran di depan muka ku. Iapun tak berusaha melepaskan genggamanku yang tengah meremas kerah bajunya.
“Lu salah! Gu-gue… gue gak seperti yang lu kira. Ma-mana mungkin gue…” perlahan namun pasti, intonasiku berubah. Akupun melepaskan genggaman tanganku.
Aku bukan berarti mengakuinya… hanya saja, aku benar-benar tidak tau.
‘Kejadian pagi itu…’
Ughh.. Sebenarnya ada apa dengan diri gue!
Gerakan tangan Lace tiba-tiba membuatku kembali pada kenyataan. Ia mengangkat kedua tangannya seakan orang yang menyerah, lalu berkata
“Oke, gue nyatakan kalau gue salah. Bisa jadi karena ikatan yang terjalin antara elu dengan sepupu lu adalah suatu hal yang diluar dasar perkiraan gue.
Tapi disini gue cuma mau kasih satu clue yang bisa menandakan tuduhan gue ke elu bener atau enggak. Kalau suatu saat sepupu lu berpasangan sama orang lain, lihat kedalam diri lu sendiri…”
Tatapan matanya menandakan ia telah selesai bicara.
“Omong kosong, gue cuma gak mau Kak Ulfa dapet orang yang salah, terlebih orang kaya lu Lace. Selebihnya gue dan Kak Ulfa cuma sodara.” Seruku padanya, aku lalu mengenakkan armor ku, kemudian menggendong inventory ku.
“Eh? Lu mau kemana? Dokter disini galak lho, jangan asal cabut lu.” Ujarnya memperingatiku. Akupun hanya menatap keluar jendela, memandangi langit yang mulai petang.
“Cari angin.” seruku melontarkan jawaban.
“Eh?”
Akupun bergerak menuju pintu keluar, lalu menutupi kepalaku yang berbalut perban dengan tudung jaket ku.
“Oii Dzof, jangan-“
Srakk…
Aku langsung menutup pintu sebelum mendengar ia selesai bicara. Dan kini, aku berjalan menyusuri lorong, keluar dari rumah sakit ini. entah menuju kemana.
Drap.. drap.. drap…
.
*Kamar pasien*
Seorang berambut coklat caramel memandang langit-langit kamar yang ia tempati. Tersirat senyum diwajahnya. Kemudian ia bergumam,
“Heh, gak pernah gue ketemu maso sekaligus incest dalam satu orang, fufu… unik. Walau bagaimanapun, lu bakal jadi adek ipar gue fufufu…”
Kemudian
“Njirr.. E~ ukurannya E kapten…” ujarnya sambil meremas-remas bantal.
.
*Bellato Central Town*
“Ha-hatchu!” tiba-tiba aku bersin, mungkin udara yang mulai dingin karena menjelang malam. Akupun memalingkan pandanganku pada sinar Niger yang tersisa disebelah barat.
Aku kemudian menengok chronometerku.
“Hemm.. dah jam -:17.46:-” gumamku sambil terus berjalan.
Akupun melewati sebuah taman, dan kuputuskan untuk duduk dahulu disana sambil melihat anak-anak yang masih bermain, mereka sedang bermain bola sepak.
Tawa dan seru komando terdengar dari lisan kecil mereka, akupun teringat kalau dulu sering sekali memainkan permainan itu. Aku selalu menjadi back.
keeper? Striker? Gak, aku tak ahli sebenernya dalam bermain bola, makanya selalu jadi back.
Duk.. duk…
Si kulit bundar menggelinding kearah kakiku sampai akhirnya ia menabraknya. Disebrang sanapun terdengar teriakan bocah sambil melambai-lambai kearahku.
“Kak, oper bolanya kesini!”
Akupun menyiapkan kakiku untuk menendangnya
Dash!
“Pfftt.. hahaha! Tendangan apa tuh” maki mereka terpingkal-pingkal setelah aku menendang bola itu, tendanganku salah kodrat, melenceng, dan gak jauh.
“…”
Akupun bergerak dengan maksud memungut bola, bola itu menggelinding ketempat para anak perempuan sedang bermain terpisah dari anak laki-laki.
Saat aku menghampiri bola yang juga menghampiri para anak perempuan, disana nampaknya mereka sedang asik mengumpulkan bunga.
Aku tertegun, setelah melihat anak berambut pirang sedang memungut bunga yang warnanya sama persis dengan yang pernah kupetik.
“Selamat ulang tahun Kak Ulfa.”
Suara itu terngiang dikepalaku begitu saja.
Kemudian aku tersadar karena seorang bocah laki-laki berteriak pada semuanya yang sedang bermain di taman ini.
“OII! Hari udah pengen malem, balik cepet balik, nanti dicariin bu panti!” serunya lantang, sedikit terdengar keluh kesah dari mereka kemudian. Namun mereka semuapun akhirnya pergi.
Akupun masih terbayang hari dimana aku memberikan bunga sebagai hadiah ulang tahun Kak Ulfa. Akupun kembali melihat chronometerku.
“Tanggal berapa sekarang?”
-:11 July:-
“Besok, 12 july, ulang tahun Kak Ulfa.” Gumamku sambil memandangi mereka yang tengah berjalan pulang.
Akupun ikut melangkahkan kaki pulang menuju ke rumahku.
.
Dijalan menuju rumah, aku masih memikirkan apa yang akan kuberikan kepadanya. Akupun melihat-lihat kios, lalu pandanganku berhenti di salah satu toko.
“Ya, gue rasa itu adalah pilihan yang tepat.” Ucapku bermonolog sambil berjalan menuju toko disebrang sana.
.
.
“Terimakasih, semoga pasangan anda menyukainya.” Seru petugas toko setelah membungkus pesanan dan menyerahkannya padaku.
Mukakupun memerah, “Sebenernya ini bukan buat pasanganku… tapi buat… emm… sudahlah lupakan.” Ucapku langsung pergi menuju pintu keluar tanpa menjabarkan apa maksudku sebenarnya.
JEGLERR!
Suara halilintar menggema dilangit yang sudah mulai gelap ini, tak berapa lama, rintik air dari atmosfer novus mulai berlomba mencapai daratan.
Zrashhh…
“…” aku kehabisan kata, sepertinya akhir-akhir ini takdir sedang mempermainkanku. Tanpa berlama-lama, aku betulkan kembali posisi jaketku, kemudian berpacu cepat menuju rumah.
.
.
Drap.. drap.. drap…
“Hah.. hah.. hah..”
Hanya engahan dari lisanku yang bisa kuucap, setelah berlari dan menaiki tangga hingga sampainya di depan pintu rumah ku. Akupun merogoh kantong celana, dan disitu aku mematung.
Srek.. srekk..
“Kunci.. rumah… dimana…”
Sekian menit menggerepeh-gerepeh diri sendiri, aku baru ringat. Pagi tadi aku tak membawanya, kunci rumah kutitip Kak Ulfa.
Akupun mencoba membuka pintu…
Ceklek…
“… Harusnya dah gue duga pintunya…
kebuka…”
“Bisa dibuka?!” ucapku heran. Namun aku juga bersyukur karena tak mesti menyusul ke mesh Kak Ulfa.
Akupun melepas sepatuku dan melangkah masuk.
“Aku pulang…”
Aneh, kok gak dikunci, rumah juga sepi…
Apa dibobol maling?!
Gak. Apanya yang mau dimalingin?
Saat aku melangkah memasuki ruang makan, kulihat disana…
“Kak Ulfa?” ucapku lirih, ia nampaknya tertidur di meja makan. Kualihkan pandangan ke meja, disana ada beberapa masakan.
“Hemm.. udah dingin..” ujarku pelan saat menyentuh sisi mangkuk.
“Sudah hampir jam tujuh malam, sebaiknya aku bergegas mandi sebelum masuk angin.” Batinku diikuti langkah menuju kamar mandi.
.
Zrashh…
Kubiarkan air dari shower membasahi tiap inci dari tubuhku. Dari ujung rambut, hingga ujung kaki, Membawa semua lelah dan penatku.
Rintik air dalam kamar mandi tak mau kalah dengan rintik diluar sana, saling beradu dan sahut seakan memiliki bahasa.
“Aghh…” erangku pelan. Kurasa luka di pelipis ini masih belum sepenuhnya sembuh.
Akupun mematikan kran shower dan mulai menyabuni sekujur tubuhku, termasuk muka ku.
Srakk…
“?!”
“H-hah!”
ZRAKK!
Pintu kamar mandi sepertinya dibuka dan kembali ditutup dengan keras saat aku tengah memejamkan mata ku, gawat! I-itu pasti…
“Dzofi! Kalau Mandi Pintunya Dikunci!” bentak Kak Ulfa dari luar sana.
Memang… sudah jadi tabiatku lupa mengunci kamar mandi. Akupun kembali melanjutkan mandiku.
.
Akupun selesai mandi dan berprilaku seakan tak terjadi apa-apa, nampaknya Kak Ulfa sedang menghangatkan masakan yang telah ia masak.
Aku kemudian duduk menghadap meja makan, Kemudian ia menaruh makanan yang ia hangatkan diatasnya.
Saat kuperhatikan wajahnya, merah mewarnai bagian mukanya yang putih. Ia sepertinya menahan malu, karena kejadian saat aku mandi?
Tar dulu! Ta-tadi pas Kak Ulfa ngeliat gue di dalem sana, posisi badan gue ngadep mana ya?
Ngadep pintu, iya ngadep pintu!
Ja-jadi Kak Ulfa sempet ngeliat si do’i?!
“Dah cepet kamu makan dulu” seru Kak Ulfa membuyarkan pergelutan batinku.
“A-ah, iya.” Seruku denga muka yang mulai memerah menahan malu.
Kami makan bersama, kesunyian yang cukup lama kami lalui, sampai dipertengahan makan, Kak Ulfa menghadapkan wajahnya padaku.
“Kenapa?” ucapku heran.
“Kepalamu, kenapa?” ucapnya sambil menujuk pelipis ku. Akupun menepis tangannya saai ia hendak menyibakkan rambut yang menutupi pelipisku.
“Gak kenapa-napa.” Ucapku berdusta, sepertinya aku memang belum bisa terbuka padanya. Belum bisa membiarkan dirinya khawatir terhadapku.
Grep!
“A-adaw..” ucapku kesakitan saat kepala ku dicengkram dengan tangan kirinya.
“Gak kenapa-napa?” tanyanya. Memandangiku bukan dengan tatapan khawatir seperti pada umumnya. Melainkan dengan tatapan tajam meminta pengakuan.
“O-oke, kepala ku luka gara-gara diserang Crawler pas lagi njalanin misi.” Ujarku sambil mengaduh.
Kemudian ia melepas genggamannya lalu melanjutkan makan, tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Ia selesai makan lebih dulu, Lalu pergi dari dapur. Sedangkan aku masih berurusan dangan makanan ku.
Sepertinya hujan diluar sana masih belum berhenti juga, namun sudah lebih reda dari sebelumnya.
Selesai ku menyantap makanan ku, Kak Ulfa tiba-tiba saja sudah berada disampingku, kemudian ia menundukkan posisinya agar sejajar dengan tinggiku yang sedang duduk.
“Gak peduli mau bagaimana kamu mencoba menyembunyikannya. Aku adalah salah satu orang yang selalu mengkhawatirkanmu…” ujarnya, lalu ia menempelkan plester tepat dibagian luka. “Karena kamu satu-satunya…” iapun tertegun, menghentikan kalimatnya bersamaan dengan pandangannya yang beralih dari menatapku.
“keluarga yang kumiliki.” Sambungnya kini kembali menatapku, Dengan senyuman.
“Jadi berhati-hatilah selalu, jangan ceroboh. Sepupu.” Kemudian ia menyudahinya dengan mencubit hidung ku.
“Aww..” kini hidung ku merah, bersamaan dengan muka ku karena dirinya yang terlalu dekat.
Tiba-tiba terdengar video call masuk melalui VirCellnya. Kak Ulfapun meng-accept sehingga muncul layar hologram, menunjukkan siapa yang telah menghubungi Kak Ulfa.
[“Hai Ulfa, kau sedang dimana?”] seru seorang lelaki berambut pirang.
“Ah! Kak Denny, aku lagi di mesh adik ku.” Jawabnya dengan ekspresi senang.
[“Oh, aku udah di lokasi, ayo sebentar lagi kita berangkat. Disana hujan ‘kan? Sebaiknya kamu bawa jaket, dan jangan sampai sakit. Dan sebaiknya cepatlah kesini, kamu gak mau liat Conquer Valkrit marah-marah kan?”]
“Ahaha.. siap siap, tenang aja Kak, aku otw kesana. Sampai ketemu di lokasi. Bye.” Ucap Kak Ulfa melambai kearah pria pirang itu.
[“Bye-“]…
Setelah Kak Ulfa menyudahi video call, aku bertanya padanya. “Tadi siapa Kak?”
“Tadi itu Kak Denny, dia Senior ku. Kita satu tim buat pengawasan sector Solus malam ini.”
Setelah menjawab pertanyaanku, Kemudian ia berdiri, lalu mengambil peralatan dan jaket miliknya.
“Kakak-” seruku padanya. Sebelum ia melangkah melewati hujan.
“Ada apa?”
“Engg… Hati-hati.” Sambungku menyelesaikan kalimat.
Iapun hanya tersenyum, lalu melambaikan tangan kearahku seraya berkata “Bye~” Perlahan, tubuhnya hilang ditelan malam beratapkan hujan.
Akupun kembali kedalam. merapihkan sisa makan malam, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya yang harus ku kerjakan sendiri. setelahnya kurebahkan tubuhku di atas kasur.
Kulihat chronometer ku, waktu menunjukkan pukul -:22.02:- harusnya aku sudah sangat lelah hari ini, mengingat banyak, sangat banyak kejadian dan pristiwa yang kulalui hanya dalam waktu satu hari.
namun, seakan fikiranku tak sinkron dengan raga. Sesuatu dalam diriku berkelut, bukan, bukan aku yang sengaja memikirkannya, melainkan hal itu melintas dan bersinggah begitu saja dalam fikiran ku.
Aku teringat Kak Ulfa. Kembali, fikiran ku membuka ‘file-file’ dalam memori yang menunjukkan keberadaannya dalam momen-momen yang pernah kulalui.
Akupun melirik hadiah yang telah kubelikan untuknya, kemudian kuteringat lanjutan dari mimpiku, atau lebih tepatnya masa laluku.
.
.
Ia sangat senang saat menerima bunga pemberianku. Iapun mencoba mencium aroma bunga yang kuberikan untuknya.
Aku tidak terlalu yakin bunga itu wangi seperti mawar atau apa, namun yang kutahu, ia sangat senang setelahnya. Kakekpun datang bersama minuman yang kuminta.
“Wah, selamat ulang tahun ya Ulfa…” ucap kakek sambil mengelus kepala berambut coklat miliknya. “Udah bilang terimakasih belum sama Dzofi?” sambung kakek.
“Ah iya…” iapun berpaling kearahku, kemudian…
Cup~
“Makasih ya Dzofi.. hihi…” ujarnya setelah mencium pipiku.
Aku masih ingat, pipi sebelah kanan ini yang ia cium saat itu. Akupun mengelus kembali letaknya.
Setelah itu, kakek mengizinkan Kak Ulfa menemaniku sepanjang hari di dalam kamar. Sore harinya kakek pulang dengan membawa kue berukuran sedang yang bisa kami makan bertiga. Kami memang bukan orang kaya, ulang tahunpun tak pernah dirayakan sampai mengundang banyak orang. Namun saat itu benar-benar hangat, sangat hangat…
Layaknya sebuah keluarga yang sesungguhnya…
.
.
Kenangan masa laluku saat perlahan redup, aku kembali pada kenyataan, menatap langit-langit kamar berwarna krem. Kini ku meraih hadiah yang sudah kupersiapkan untuknya. Sambil membayangkan wajahnya…
Saat menerimanya nanti…
Sial!
Umpatku dalam batin. Aku memang membayangkan Kak Ulfa senang, namun bukan karena ini, melainkan karena…
‘Tadi itu Kak Denny, dia Senior ku. Kita satu tim buat pengawasan sector Solus malam ini’
Aku terbayang lelaki pirang itu! Ekspresi Kak Ulfa…
Sangat senang saat itu.
Tanpa kusadari, aku mencengkram hadiah yang tengah kugenggam dengan keras, hamir saja menghancurkan kotaknya.
“Huh! Mendingan gue tidur!” ucapku kesal, lalu mematikan lampu.
Pek..
.
.
Senyap, gelap, dan hanya terdengar suara desahan nafasku. Entah sudah berapa lama aku menatap kegelapan dalam ruangan ini. Aku berusaha untuk tidur, namun sesuatu dalam diriku tidak.
Fikiranku seakan sibuk memikirkan kaitan Kak Ulfa dengan pria pirang yang bernama Denny itu. Siapapun tau, saat kau melihat ia tengah bicara melalui video call dengan orang asing itu, kau pasti mengira mereka berdua..
“Enggak! Gue gak peduli! Gue ini cuma-“
‘Jadi berhati-hatilah selalu, jangan ceroboh. Sepupu.’
“-sepupu… ceroboh…”
“Gak lebih…”
.
.
.
#
Gulita semakin pekat, namun tangis dari sang langit masih belum berhenti. Rintik air seakan membuat orkesta bagi yang mengerti, tentu hanya alamlah yang faham.
Drap.. drap.. drap..
Langkah lari seseorang tengah menghindari hujan. Tak berapa lama sosok itu terpapar serambi lampu jalanan.
Ah! Ternyata bukan seorang, melainkan sepasang, gadis dan lelaki. Sang lelaki tampaknya tengah menaungi gadis itu dengan jaketnya.
Drap drap drap…
Dipersimpangan. Mereka berdua berhenti. Sang lelaki berambut pirang masih setia menjadi naungan bagi si gadis yang mengkuncir rambutnya layaknya ekor kuda.
“Sampai disini saja Kak, terimakasih udah mau nganterin aku.” Ujar si gadis.
“Haha.. no problem, kita emang searah kok.”
“…”
“…”
Sejenak, tak ada sepatah kata yang keluar dari kedua insan itu setelahnya.
“engg… kalau begitu… aku pergi sekarang.” Ucap si gadis entah apa yang membuat ia bicara seperti itu, mungkin ia merasa sedikit canggung. Mengingat ditengah malam yang hujan, seakan hanya mereka berdua yang memiliki.
“U-Ulfa!” seru lelaki berambut pirang. Gadis yang dipanggil Ulfapun menolah.
Iapun menggerakkan tangannya untuk menyentuh bahu si gadis. Perlahan jemarinya memainkan ujung rambut ekor kuda miliknya.
Si priapun menyadari apa yang ia telah perbuat saat si gadis menatapnya.
“Hati-hati…” ujarnya sambil menarik tangannya agar tak menyentuh gadis di depannya lebih jauh.
Tanpa sepatah kata, perlahan mereka berdua menggerakkan kaki mereka, bergerak mundur…
Tap.. tap..
Lalu berjalas menghadap kearah yang seharusnya
Tap.. tap.. tap…
ditengah lelaki melangkah, ia kemudian berpaling melihat sisi belakang, ia pandangi terus sosok disana sampai kegelapan menelan sosoknya.
.
.
Ceklek…
Ulfa melangkahkan kaki memasuki meshnya. Bagian tertentu tubuhnya basah oleh air hujan, nampak bila diperhatikan, bagian yang condong kedepan itu ketara.
Dengan telapak kaki yang tak kering sepenuhnya, ia melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Terlihat jejak air yang dibuatnya saat ia melangkah kesana.
Pip!
Ia tekan tombol pemanas air di dalam kamar mandi. Butuh waktu sampai ia bisa menikmati mandi air hangat. Iapun menanggalkan tiap helai pakaiannya, satu demi satu, hingga ia tak tertutupi sehelai benangpun.
Kini ia berjalan tanpa busana keluar kamar mandi. Tak perlu khawatir, karena tak ada seorangpun selain dirinya. Sosoknyapun terrefleksi cermin yang ia lalui. Bila ada seseorang yang menyaksikan, cukuplah dengan cermin itu yang ia perhatikan. Niscaya darah berdesir, dan bagian tertentu menegang…
Iapun memasuki dapur, lalu menyiapkan alat dan bahan untuk membuat coklat panas. Setelah persiapan selesai, ia pergi keruangan lain untuk mempersiapkan baju yang akan ia kenakkan, juga handuk berwarna putih untuk mengeringkan tubuh setelah mandi.
Tap.. tap.. tap..
Ia berjalan kembali ke kamar mandi, ia buka kran shower, lalu ia biarkan air mengalir melewati tiap liku tubuhnya.
Zrashhh…
.
.
Tess.. tes…
Suara tetesan air menggema dalam ruangan tertutup itu, perlahan ia ambil handuk, lalu ia keringkan rambut coklatnya, kemudian tubuhnya. Iapun kini beranjak keluar untuk melakukan hal yang ia telah rencanakan sebelumnya.
Ting-tong!
Suara bel terdengar, tanda seseorang ada ingin bertemu dengannya. Ia yang tengah menyeduh coklat panas menghentikan seruputannya.
“Siapa yang datang tengah malam begini?” ujarnya bermonolog sambil melihat kearah chronometer digital yang tak jauh dari posisinya. -:01.14:-
Iapun teringat cerita horror dari seniornya ; Denny, saat menjaga sector solus tadi malam. Ulfa bukanlah wanita penakut, namun siapapun juga pasti bergidik ngeri saat pukul satu dini hari ada seseorang yang memencet bel rumahmu.
Sempat di dalam dada Ulfa jantung berdebar. Namun sebisa mungkin ia tepis fikiran negative maupun cerita yang ia tak sengaja ingat itu.
Ting-tong!
Bel kembali ditekan, Ulfapun menarik nafas panjang, lalu melangkah menuju pintu.
Krieett…
Iapun membuka pintu.
Ulfa tertegun, mendapati sosok dihadapannya.
Seseorang dengan jaket bertudung yang basah akibat langit yang masih meneteskan rintik-rintik hujan.
S-siapa?
Batin Ulfa penuh tanda Tanya.
“… Selamat ulang tahun…”
Ucap sosok itu sambil menggerakkan tangannya kearah Ulfa.
.
.
.
To Be Continue…
“Penghematan adalah nafasku.” -Dzofi and Ryan’s Motto- |
CHAPTER 19 END.
Next Chapter > Read Chapter 20:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-20/
Previous Chapter > Read Chapter 18:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-18/
List of Journey For Identity Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-list
Catatan Author:
JFI WIKI/Trivia :
Mandi menggunakan shower bisa menghemat air hingga 60%, ini bisa jadi solusi buat Senior yang lagi bolak-balik nimba aer. Atau enggak mandi dengan gayung, tapi diguyurnya jangan langsung tumpahin semua, sedikit aja (tapi gak terlalu sedikit banget.)