JOURNEY FOR IDENTITY CHAPTER 20 – DECIDE & DEAL

Journey For Identity
Penulis: Bid’ah Slayer


Decide and Deal

.

Ditengah kesiagaan Ulfa menghadapi kemungkinan terburuk, sosok itu menyibakkan tudung yang menghalangi pandangan Ulfa dari melihat wajahnya.

“D-Dzofi?” ucap gadis itu heran “Apa yang kamu lakukan ditengah malam seperti ini?” ujarnya pada sepupu laki-lakinya.

Dengan sedikit menggigil, surai hitam menjawab…

“A-aku… ingin ngasih hadiah pertama ini buat Kak Ulfa…” ucapnya sambil menyerahkan kotak seukuran telapak tangan yang berikatkan peta merah, sedikit kusut dibagian sampulnya.

Pandangan Ulfa berubah, yang semula siaga menjadi lebih lembut secara perlahan. Iapun menggerakkan tangannya untuk meraih pemberian sepupunya itu.

Set-

“Jangan Dibuka!” seru reflex Dzofi menghentikan laju tangannya. “Dibukanya nanti aja. Pas hari ulang taun, maksudku nanti pas aku dah gak ada.” sambung Dzofi dengan muka sedikit kemerahan.

Ulfapun menatap geli kearah sepupunya saat mendapati reaksinya yang mengejutkan, iapun sedikit tertawa

“Kenapa?” seru Dzofi heran melihat reaksi sepupu perempuan itu.

“Hihi… Makasih Dzofi.. tambah gede tambah lucu ya kamu…” ucap Ulfa geli.

*Blush*

Suara rintik hujan masih menyelimuti kedua insan yang tengah berjumpa diambang pintu. Angin dinginpun sesekali berhembus menggoda mereka.

“U-udah ya Kak…” Seru Dzofi memecah keheningan malam. Iapun beranjak melangkah pergi.

“Kamu mau kemana?” cegah Ulfa dengan pertanyaannya.

“Aku mau balik ke meshku.”

“Diluar masih hujan.” Ujarnya mengkhawatirkan keadaan lelaki dihadapannya.

“Gak apa, besokkan-” belum selesai Dzofi menyelesaikan kalimatnya, Ulfa memotong

“Nanti kamu…”

Greb!

“Demam…” lanjutnya setelah berhasil menggenggam pergelangan tangan Dzofi sebelum pergi.

Terasa hangat seperti yang Ulfa ucap, seperti yang Ulfa khawatirkan. Iapun secara tersirat menatap sepupunya itu dengan tatapan cemas, namun Dzofi tidak mengetahui.

“Kamu… malam ini tidur disini aja…” ucap Ulfa, dengan sedikit memalingkan wajah dari lelaki yang ia ajak bicara.

Dzofi tampak ragu, menurutnya bukan masalah menembus malam yang tengah hujan, namun sulit untuk menolak tawaran realistis yang disajikan sepupunya. Karena kondisinya saat ini tidak bisa dibohongi, badannya tengah hangat, ia demam.

Gemuruh langit menandakan akan semakin banyak dan intensnya air yang akan turun dari atmosfer Novus, sewaktu-waktu petir bisa saja menampakkan cahaya kilat dan suara gemuruhnya.

“Iya Kak… baiklah kalau begitu.”

.

Ceklek…

Ulfa mengunci pintu, lalu berjalan menuju ke dalam bersama Dzofi yang mengikuti. Ini adalah pertama kalinya Dzofi memasuki mesh sepupu perempuannya. Ia sedikit banyak mengetahui, bahwa seorang laki-laki tidak boleh sembarangan bertingkah seperti layaknya ia bermain ke mesh milik Ryan ataupun Adan.

“Lepas bajumu, nanti demammu makin parah.” Ucap Ulfa sambil menawarkan baju tidur yang ia miliki.

“Aku? pakai itu? Itu ‘kan baju cewe.” Keluh Dzofi mengetahui apa yang harus ia kenakkan.

“Udah jangan banyak ngeluh. Cepet sana pakai, terus minum obat.” Seru Ulfa tegas. Dzofipun memasuki kamar tidur Ulfa, kemudian memakai stel pakaian yang disediakan.

Setelahnya, Dzofi menghampiri Ulfa dengan pakaian yang dipinjamkan Ulfa.

“Hihihi… kamu cocok pakai itu dek.” Seru Ulfa geli melihat sepupunya memakai piyama garis putih pink. Girlish boy.

“Geez… jangan ketawa!” sahut Dzofi sebal.

“Yaudah, kamu tidur di sini.” Ujar Ulfa sambil menuntun Dzofi agar berbaring di kasur miliknya. Dzofi tak bisa mengelak, karena dia sendiri merasakan tubuhnya kian panas, mungkin obat yang ia minum belum bereaksi.

Kemudian Ulfapun menyelimuti Dzofi, “Jangan perlakukan aku kaya anak kecil.” Ujar Dzofi dingin, merasa tak nyaman diperlakukan demikian. Ulfa kemudian terdiam sejenak, memandangi arah lain.

“Kamu inget? Dulu kamu sempet difoto pake topi beruang sekaligus meluk boneka teddy juga?” Ulfa membicarakan memori masa lalu.

“i-itu! Itu hal yang gak akan aku lupakan. Saat SMP, aku Kalah taruhan dan mau-maunya aku dibodohin Kak Ulfa waktu itu.”

“Hehe.. dan kabar baiknya, aku masih nyimpen foto itu.” Seakan tak peduli bagaiman reaksi sepupunya selanjutnya, Ulfa langsung berdiri dan mematikan lampu. Ulfapun meninggalkan Dzofi dalam kegelapan.

.

.

.

Srekk… srek..

Dzofi sedikitnya tersadar dari tidurnya, seseorang tengah menaiki kasur yang sama, setelahnya orang itu berbaring di belakangnya. Dzofi tau, sosok itu adalah Ulfa, sepupu perempuannya.

Sunyi terisi dalam ruangan gelap nan dingin, suara rerintik air juga masih terdengar, menandakan hujan belum akan berhenti. Yang bisa ia dengar karena kini terjaga adalah suara air, detik, juga nafas.

Nafas

Suara konstan itu, muncul baik dari dirinya sendiri, maupun sosok di belakangnya.

Grep…

Tangan dari belakang menyentuh tubuh bagian samping miliknya. Dzofi terkejut dalam diam, nafasnya perlahan memburu, perlahan.

Detik memainkan orkestanya, ditengah malam yang kian larut.

Suarapun memecah kesunyian setelah beberapa menit yang rasanya lebih lama dari itu. Suara itu tak lantang, melainkan halus…

“Kamu kebangun ‘kan?” seru gadis dibelakangnya.

Sempat agak lama Dzofi menjawab, sampai ia mengatakan

“Ya.”

Suasana kembali sunyi, tak ada perkataan setelahnya. Namun… tangan Ulfa bergerak lebih jauh, bergerak menyentuh dada milik Dzofi, memeluk lelaki dihadapannya dari belakang. Juga merapatkan dada miliknya pada punggung saudaranya.

Dzofi tampak tidak melawan, tidak bereaksi. Namun telapak tangan yang tengah menyentuh dada bisa merasakan, detak yang berkerja lebih keras. Juga sama ia rasakan dari belakang pungungnya.

“Maafkan aku Dzofi… a-aku…”

“aku bingung…” ujar suara dari belakang punggungnya, pelukan yang ia rasakanpun sedikitnya semakin erat. Dzofi tidak merespon, mencoba membiarkan gadis yang dibelakangnya menyelesaikan perkataannya.

“Aku tak tau apa yang harus kuperbuat, aku tak bisa mengatakannya… a-aku…”

“Takut…”

Suara isak yang coba ditahan sekuat mungkin serasa menggema, air mulai memberontak dari sudut mata Ulfa, mengalir melewati wajah mulusnya, bersinggah dan berakhir pada bantal tempat ia menyandarkan kepalanya.

ditengah ketidakfahaman Dzofi kenapa sepupunya berkata demikian, ia mencoba sebisa mungkin untuk mengerti (dengan tidak perkata apapun, atau diam)

Ulfapun merapatkan wajah pada tubuh saudaranya, tetes airmatanyapun membekas disana…

“Setidaknya, kumohon padamu Dzofi… ijinkan malam ini, aku meminjam tubuhmu… walau hanya punggungmu…”

“Tentu Kak… tentu…” kata itu yg setidaknya dirasa tepat untuk menjawab pertanyaan Ulfa.

Pelukan kembali semakin erat, seakan tak merelakan sesuatu pergi, atau tak merelakan kehilangan, atau…

Mengisyaratkan sesuatu yang tak mungkin terucap…

.

.

#

Suara gaduh terdengar layaknya langit memperingatiku bahwa badai besar akan datang, tak lama, bumi tempatku berpijak bergetar hebat..

Grusak-Grusak!

Semacam itu, sampai-sampai, bayangan hitam nan pekat muncul begitu saja, lalu menyelimutiku… dan menyeretku paksa entah kemana.

.

“Geerrr…” erangku sedikit kesal sambil mengucek-ucek mata. Aku terbangun karena suara yang lumayan ribut dari luar kamar.

Setelah ‘nyawa’ kurasa sudah cukup terkumpul, akupun melemparkan pandanganku menuju jam dinding.

“Jam -:09.11:-, untung aja libur.” Ujarku bersyukur bisa bangun se’siang’ ini.

Suara gaduh kembali terdengar dari luar.

Kak Ulfa, ngapain dia seribut ini? Kebiasaannya kah?

Batinku bertanya-tanya. Akupun hendak melihat apa yang ia lakukan, namun sebelum itu, aku rapihkan kamar miliknya terlebih dahulu.

.

“Kak, ada apa sih dari tadi ribut-ri-…”

Aku menghentikan ucapanku, aku tertegun, mematung. Menyaksikan tiga ‘orang asing’ berada di mesh milik sepupuku.

“ka-kalian kenapa ada disini?” “Dzofi, kamu kenapa ada disini?”

Seruku dan gadis yang tidak lain adalah Kak Istifa bersamaan. Sedangkan dua orang lainnya, lelaki berambut putih yang tak kukenal namanya dan gadis dengan warna rambut yang sama, yaitu Sabila, menatapku tak percaya.

“Dzofi, kamu…” ucap Sabila sambil menutup kedua mulutnya.

“E… ini… AGHHHH!” teriakku sambil mengacak-acak rambut, kembali memasuki kamar, dan membanting pintu. Dengan cepat.

BRAKKK!

Ku coba mengatur nafas, memikirkan apa yang akan kujawab pada mereka, secara jelas.

Hah.. hah.. oke, begini, gue disini cuma nginep… karena tadi malem hujan, dan badan gue demam, gak diijinin pulang sama Kak Ulfa.”

Pasti nanti ditanyain begini ; emang kenapa malem-malem main kesini… gue jawab… gak! Gue gak mungkin bilang kalo gue ngasih kado tengah malem, itu aneh, Aneh!”

Lagi pula Kak Istifa pasti tau kalau Kak Ulfa kemaren dapet tugas malem, dan pulangnya tengah malem…”

Agghhh…

Aku frustasi sambil kembali mengacak-acak rambutku.

tar dulu! Kenapa gak gue aja yang nanya mereka?! Ngapain mereka di dalem mesh Kakak gue? Yaudah gue Tanya mereka”

Setelah ‘rapat’ dengan fikiranku, aku kembali keluar kamar.

Ceklek…

“Dah ketemu alasannya.” Ucap Kak Istifa dengan nada menelisik sambil membawa beberapa peralatan.

“Engg… tar dulu! Kalian sendiri kenapa disini? Masuk-masuk rumah orang tanpa izin? Terus dimana Kak Ulfa?” ucapku kembali bertanya pada mereka dengan nada lebih keras.

“Si Ulfa lagi nyerahin laporan dari hasil kerja semalem, dan dia ada misi setelahnya sampai nanti sore…” jawab Kak Istifa.

“Terus kedatangan kalian kemari?”

“Kami lagi nyiapin acara buat Ulfa, diakan hari ini ulang tahun…” jawabnya lagi.

“Kami mau buat kejutan…” sambung Sabila.

“Gue yang ngusulin…” sambung lagi lelaki yang entah namanya siapa dari ruang berbeda.

“Ohh..” ucapku setelah mengetahui mereka menerobos masuk ke mesh ini untuk membuat pesta kejutan.

WAIT! MENEROBOS MASUK?!

“Gimana kalian bis-“

“a…” ucapku menurunkan tekanan nada, lalu terdiam

Kak Istifa memainkan kunci pintu dijemarinya, diputar-putar layaknya baling-baling…

“Jangan meragukan skill Sniper sepertiku…” ujarnya sambil meminum air yang ia ambil dari lemari es.

Dasar belut…

“Sekarang aku balik nanya, kenapa kamu disini?”

“Ehh… itu…” ucapku ragu, karena Sabila nampak penasaran menunggu jawaban yang keluar dari mulutku, sedangkan lelaki yang tak kukenal juga ikut memunculkan kepalanya yang berbeda ruang dengan kami bertiga.

“Itu karenaa… setelah aku keluar dari rumah sakit, aku pulang ke mesh, tapi aku baru ingat kalau kunci meshku kutitipkan Kak Ulfa. Jadi aku kesini, namun aku ujan-ujanan, dan setibanya aku demam, lalu Kak Ulfa memaksaku untuk menginap… begitu, iya begitu.” jelasku pada mereka semua.

Kurasa semua dapat menerima penjelasanku. Semua, kecuali Kak Istifa yang menatapku tajam, menyipitkan matanya.

dia tau apa yg sebenarnya terjadi…

“Lalu? Kamu tidur-“

“Iya Kak, Iya! Gue tidur bareng! Tapi gak ngapa-ngapain sumpah! Layaknya saudara! Bisa kita gak mbahasi ini lagi? Anggep aja gak terjadi apa-apa, Oke?!” jelasku kembali sambil menggebu-gebu, mengacak-acak rambutku. malas menutupi semua yang sebenarnya Kak Istifa sudah tau. Dasar picik, Ular!

“Kamu… tidur bareng Ulfa?” kata itu keluar dari mulutnya.

“Iya!- eh? Jadi Kakak gak tau?”

“Enggak, aku malah tau dari kamu, tadi aku mau nanyain, kamu tidur pake baju kaya gitu?” ujarnya sambil menunjuk piyama putih garis pink yang masih kupakai.

Syok- aku mematung

“Udah jangan dipikirin, rahasia gak ada yang tertutup secara sempurna…” ucap lelaki teman dari Kak Istifa sambil memasang spanduk bertuliskan “Happy B’Day”

Tok.. tok.. tok…

“Dia emang iseng jadi orang, iseng se-federasi.” Tambahnya sambil memasang paku.

“Ciee~ yang bobo bareng, dikelonin ya?” ucap jahil dari ruangan berbeda. Siapa lagi kalau bukan si ‘medusa’ itu.

“Udah napa Is! Ni bocah syok, Bego!” ujar lelaki itu membelaku.

“Oh ya, nama lu Dzofi kan? Kenalin, nama gue Virjman, Virjman Valyd. Bisa dipanggil Vir, Man, ato Virjman. Salam kenal…” kini lelaki berambut putih cepak itu memperkealkan diri.

“Nama gue Baydzofi Hardji. kok Kak Virjman tau nama gue?” tanyaku heran, yang kini sudah tidak terlalu syok atas ‘pengakuan terlarang’ yang kuucap.

“Soalnya Ulfa pernah ngomongin elu, Adan juga.” Jawabnya

“Adan? Oh iya! Kakak ‘kan seniornya Adan. Yang waktu itu bantu dia cari informasi tentang Kakak-kakaknya…” ujarku mengingat, ternyata sebelumnya Adan telah menyebut namanya*.

“Begitulah…” sahutnya tenang.

Setelah itu, Kak Istifa datang kepadaku, lalu menyerahkan beberapa peralatan yang ada di dalam kotak yang ia bawa, ia memerintahku untuk membantu, setelah ia meledekku lagi tentunya.

Akupun menurutinya, dengan membersihkan sisa-sisa potongan kertas, merapihkan meja disusun sedemikian rupa, sampai ia menyuruhku membelikan kue.

“Dzofi, tolong pesan kue di toko kue Lechia Bakery…” perintah wanita bermata kuning madu itu.

“Apa? Aku? Aku ‘kan masih pakai pakaian begini, dan gak ada gantinya di rumah ini. Kak Istifa pengen mbuat aku dipermalukan lebih jauh?” tanggapku memberi alasan “Lagi pula aku gak tau Lechia Bakery disebelah mana”

“Udah jangan banyak alasan, yang lain sibuk, jadi kamu yang pergi keluar…”

kamipun berdebat, aku menolak, sedangkan Kak Istifa entah, mungkin ini momen yang sangat langka untuk mengerjaiku lebih jauh, ia terus memaksaku. Atas perintah Senior katanya. Namun, akhirnya seseorang menyela kami, seorang wanita lain yang sedari tadi tidak bersuara, yup, itu Sabila.

“Biar aku aja Kak yang beli.” Tawar Sabila memadamkan api konflik, dengan mendengus, Kak istifapun setuju

“Huh… baiklah, ini uangnya, dan ini kertas berisi alamatnya. Suruh mereka kirim tepat pukul tiga sore. Kuenya kau yang pilih ya Sab, pastikan yang terenak, sesuai bajet juga tentunya…” iapun tertawa.

“Baiklah. Aku pergi dulu semua…” ujarnya seraya melangkah pergi.

.

“Dzofi…” Kak Istifa menyeru namaku.

“Iya Kak?” sahutku.

“Kamu harus patungan 20.000 dalant.”

.

.

Hari mulai siang, menunjukkan tepat pukul -:12.00:- dan persiapan telah selesai sepenuhnya, kecuali kue yang nanti datang pukul tiga. Aku dan Kak Virjman duduk di depan meja makan menunggu minuman yang Kak Istifa buat.

Bunyi dentingan gelas, saat Kak Istifa meletakkan minuman yang ia buat untuk kami. Akupun meminum sebagai langkah pembuka.

Ahh~ lemon tea, emang minuman paling pas saat hari terik begini…

“Oh ya Kak, kira-kira siapa aja yang diundang, dan berapa orang?” tanyaku pada para Senior membuka pertanyaan.

“Emm…” Kak Istifa setidaknya sedang berfikir, mengumpulkan nama-nama dibalik tempurung kepalanya.

“Gak sampe puluhan kok, cuma belasan aja. Toh ini bukan acara besar, dan kami-kami sendiri yang buat. Kami ngundang… temen-temen seangkatan yang gak ada misi, dan yang masih idup tentunya.” Jelasnya enteng.

Akupun sempat bergidik ngeri, gimana dia bisa enteng bicara kaya gitu?

Kak Istifapun melanjutkan, “Aku, Virjman, Inaki, Sirvat, Hevoy. Dan lain-lain…”

“Termasuk Juga Senior yang kita kenal deket.” timpal Kak Virjman.

“Iya, Conquest Valkrit juga, semoga sifat marah-marahnya gak dibawa-bawa…” sambung Kak Istifa.

“Untung gue gak masuk ranger corp.” ucap syukur Kak Virjman.

Akupun terdiam sesaat, ada yang masih ingin kutanyakan pada mereka, tentang seseorang..

“Kak, yang namanya Denny juga diundang?” ucapku yang seakan menjadi pemecah saat mereka asik membicarakan sesuatu yang tak kuketahui.

“Eh, iya, emang kenapa?” Tanya gadis berambut hijau gelap penasaran.

“Enggak, aku cuma pengen tau aja… emang dia orangnya kaya gimana?” ucapku ingin tau tentang ‘orang itu’.

“Dia itu orangnya supel, pandai bergaul, gampang nyenengin orang, juga popular, tapi ya gak kaya di manga atau anime yang sampe jadi idol gitu…” jelasnya padaku.

“Profesi dan ciri fisik?” tanyaku sekali lagi.

Dihadapanku, mereka berdua sempat saling pandang, kemudian kali ini giliran pria berambut putih cepak yang menjawab.

“Dia warrior – berserker, nama lengkapnya kalo gak salah… eumm…” ditengah ia berfikir, Kak Istifa menimpali

“Denny Hollymoon.”

Hollymoon? Kalo gak salah itu…

iya! Satu clan sama Chandra.

“Ah, iya, Hollymoon. Kalo ciri-ciri sih, dia pirang, idung mancung, tamvan, matanya biru… pokoknya genteng deh…”

Seketika saat ia mendeskrepsikan, aku dan Kak Istifa memandang dengan tatapan curiga.

“Apa? Gue jujur kok. Lu semua kenapa jaga jarak?”

.

“Ya, pokoknya begitu…” ujar satu-satunya warrior diruangan ini setelah menjelaskan. “emang ada apa? Lu pernah ketemu si Denny?” lontarnya sebuah pertanyaan padaku.

“Ehh… iya, waktu itu gak sengaja.”

“Oh Begitu…” ucapnya mengerti.

“Oh ya, kalo lu mau undang temen juga gak apa, soalnya adik angkatan yang baru diundang baru elu sama si imut itu, siapa namanya?” kembali, pria berambut putih itu lupa nama seseorang.

“Sabila…” ujar ku dan Istifa bersamaan.

“Sabila. Iya gue lupa. Lu undang aja temen lu yang kenal sama si Ulfa… lumayan ngeramein.” Usul Kak Virjman sambil meminum tengukkan terakhir lemon tea yang tersaji untuknya.

“Oh ya, ngomong-ngomong, udah jam segini Sabila kok belum balik kesini ya?” seru Kak Istifa sambil melihat chronometer yang berada ditangan kanannya. Akupun reflex mengikutinya. Sudah pukul -:12.56:- hampir satu jam dia diluar sana.

Saat aku menghadapkan kembali pandanganku kedepan, sudah kulihat di hadapanku, mata Kak Istifa menatap kearahku, seakan mengatakan suatu perintah, sebagaimana dari tadi ia memerintahku.

“Oke-oke…” aku bangkit, lalu mengambil jaket yang tergantung dekat pintu.

Ceklek…

Akupun melangkahkan kaki keluar, sambil mengirim pesan singkat pada dua sahabatku, Adan dan Ryan. Menanyakan apakah mereka mau hadir dalam pesta sederhana yang dibuat untuk sepupu perempuanku.

Alasan karena kenapa aku hanya mengunang mereka saja, bagaimana dengan Antho, Angga dan Chandra? Selain mereka tidak kenal Kak Ulfa, juga karena aku belum mengetahui kontak VirCell milik mereka.

Tidak lupa kutanyakan dimana keberadaan Sabila, supaya aku bisa menyusul keberadaannya.

.

.

*In Ulfa’s Mesh*

Kedua Senior Dzofi tampak tak mengeluarkan kata sepatahpun, sampai suara tutupan pintu terdengar.

“Lu tadi nyuruh apa ke tu bocah?” Tanya pria berambut putih cepak membuka percakapan.

“Seperti yang lu liat, gue gak ngomong maupun nyuruh sepatah katapun…” jawab Istifa.

“Bo’ong… lu pasti ngancem lewat ‘mata ular’ lu ‘kan?”

“Gue gak ngancem. Emang sih cuma terbesit nyuruh dia keluar, tapi itu juga baru dalem hati. Jadi intinya dia sendiri yang mau nyari si Sabila.” Elak si gadis pada pria yang menuduhnya.

“Umm… mereka berdua pacaran ya? Care banget kayanya”

“Enggak. Enggak tau sih lebih tepatnya…” jawab si gadis berambut hijau gelap.

“Sial, masa gue.. ngiri…” kini pria itu sedikit lemas menghadapi kenyataan kalau dia adalah seorang hamba johones.

“Makanya tembak dong, dah dari kapan tuh perasan. Keburu lapuk…” Jlep… perkataan tajam dari perempuan yang laki-laki itu sebut wanita teriseng sefederasi. Realita pedih.

“…”

.

.

*Bellato Central Town*

Aku telah mendapatkan balasan dari Sabila, ia menjawab kalau tadi sempat mengantri karena toko roti itu lumayan laris. Namun sekarang ia sedang di taman. Akupun menuju kelokasinya.

Sekian menit aku berjalan, akhirnya aku melihat sosok wanita berambut putih itu, dengan potongan pendek yang khas miliknya, seakan-akan gaya seperti itu adalah trademark-nya.

“Haii Sab!” seruku sambil berjalan menghampiri, menuju dirinya yang sedang duduk pada ayunan dibawah pohon.

“Haii…” jawabnya. Setelah melihatku, iapun tertawa geli.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Kamu keluar-luar nekat pakai piyama begitu..” jelasnya menunjuk pakaian dibalik jaketku. Kemudian tawa kecilnya mengikuti.

“Biarin lah, cuek aja… toh gak bikin mati ini.” Jawabku ketus.

Dia masih memandangku dengan tatapan yang tak berubah.

“Apa?” aku jadi heran ia menatapku seperti itu.

“Hihi… dorongin dong…” ucap dan ekspresinya saat mengatakan itu… *ehem* manis.

“Huhh.. baiklah…” tanggapku sambil mendenguskan nafas, seolah sedikit terpaksa, padahal aku tidak keberatan sama sekali. Dan kurasa iapun juga tau kalau aku tak mungkin keberatan.

Kretekk.. kretekkk…

Bunyi suara rantai dan katrol dari besi yang agak usang saat aku melakukan dorongan pertama.

Lalu kedua..

Ketiga..

Dan seterusnya…

“Wiii…” sempat ia lontarkan kata itu dengan pelan saat aku mendorong punggungnya, akupun menikmati suara kecilnya.

“Dzofi.”

“Ya?” jawabku tak berhenti mendorong saat tubuhnya datang.

“Maaf..” ujarnya dengan nada sedikit murung, membuatku heran.

“Untuk apa?” tanyaku sekali lagi.

“Saat aku melihatmu di mesh Kak Ulfa, aku…” tubuhnya menjauh saat kudorong, kemudian datang dan ia melanjutkan.

“Aku memikirkan yang gak seharusnya kufikirkan, aku udah berburuk sangka…”

“Haha… Gak usah dipikirin, kurasa semuanya juga bakal ngira hal yang sama… makanya aku kasih penjelasan, iya ‘kan?” balasku sambil kembali mendorong punggungnya untuk kesekian kalinya.

“Makasih. Seharusnya aku gak berfikir terlalu jauh…”

“Kamu dan Kak Ulfa hanyalah saudara…” sambungnya.

“Ya, kamu benar. Gak lebih dari itu…” tambahku mengoreksi.

.

“Mau gantian?” ujarnya sambil berusaha mengerem dari tubuhnya yang tengah berayun. Iapun kini berhenti

“Enggak, kamu aja yang naik..” tawarku kembali.

“Ayo dong kamu naik, aku juga mau dorong.” Ajaknya memaksa, akupun mau tak mau melakukannya, duduk dan bertukar posisi.

Awalnya terasa berat saat ia mencoba mendorong ponggungku, namun setelahnya terasa lebih ringan.

Enak juga… dah lama gak main ayunan…” batinku menikmati.

Setelah sekian menit berlalu, aku memutuskan untuk mengakhiri permainan dan mengajak Sabila pergi dari sini.

“Udahan yuk, tuh, kamu juga cepek ‘kan?”

Sabilapun mengangguk tanda setuju, beberapa helai rambut putihnya ikut bergerak saat ia menggerakkan kepalanya.

“Mumpung belum ada jam dua, gimana kalo main ke mesh ku? Aku mau Sekalian ganti nih baju.” Ajakku.

Ia membisu…

“A-aku gak niat macem-macem, sumpah.” Sambungku sambil mengangkat dua jariku. “Maksudku, kan jarak meshmu lebih jauh, jadi kuajak mampir dulu ke mesh ku yang lebih deket. Lagipula dulu kan kamu sering main ke tempatku kan?”

Awalnya kukira ia tidak akan setuju, namun akhirnya ia mengiyakan. Kami berduapun kini menyusuri jalan menuju mesh ku.

.

“Selamat siang, aku pulang.” Ujarku sembari melangkahkan kaki masuk.

Tap.. tap..

“Oh ya Sab, aku dah namatin game Fire Emblem yang dulu sering aku mainin itu lho, semua karakter udah aku dapetin. Nih…” akupun menyalakan laptop abu-abu kesayanganku, lalu menunjukkan padanya. “Kamu mainin game itu dulu ya, aku mau ganti baju.” Akupun meninggalkan ia dengan dia yang kusayang (leptop).

Sekitar lima belas menit aku meninggalkan Sabila berdua dengan leptopku, aku kini menghampirinya dengan sepotong pertanyaan

“Sab, bagusan yang kiri atau yang kanan?” tanyaku sambil menunjukkan baju yang akan kupakai. Baju putih dengan warna merah sebagai motiv, atau biru dengan garis putih.

“Yang biru kurasa.” jawabnya, akupun segera menyetujui rekomendasinya.

Setelahnya, aku segera mengantar Sabila menuju rumahnya, namun tidak seperti tadi yang kulakukan. Ia menyuruhku menunggu diluar. Bukan, bukan diluar meshnya, melainkan diluar gedung. Demi keselamatan kurasa… keselamatan bersama…

Ditengah penantian, kudengar suara langkah kaki sedang menuruni tangga

Tukk.. tuk.. tukk…

Akupun menoleh kesumber suara

“Maaf ya menunggu lama…” seru suara yang kukenal, yup, itu dia Sabila.

Saat aku melihatnya, aku rasa aku sempat tak berkedip sekitar lebih dari lima detik, memandangi rupanya yang kini memakai baju yang sangat pantas untuk ia kenakkan, aku tak tau nama baju yang ia pakai, namun baju (pakaian) itu dikombinasikan dengan rok yang panjangnya sekitar lutut, sehingga kau bisa melihat betisnya yang bersih dan indah.

Terlebih lagi warnanya juga cocok, biru langit dan putih, sewarna dengan warna mata dan rambutnya.

“Dzofi? Ayo.” Seru Sabila membuyarkan lamunanku.

“A-ah! Iya, ayo.” Tanggapku. Kamipun kembali ke mesh Kak Ulfa bersama. Namun saat melewati taman, ada seseorang yang memanggilku.

“Dzofi, lu Dzofi ‘kan?” seru seorang laki-laki. Akupun menoleh kesumber suara.

Nampak lelaki bersurai coklat caramel dengan tongkat yang menyangga sebelah tubuhnya, sedangkan satu kakinya dibalut gips.

“Dzofi, dia siapa? kamu kenal?” Tanya Sabila yang juga ikut menoleh.

“Enggak, yuk cepet…” akupun segera menuntun tangan Sabila agar cepat menjauh dari orang itu.

“Dzof! Dzofi!” ucap lelaki itu masih memanggil namaku.

“Dzofi, dia manggil-manggil kamu tuh” ujar Sabila ditengah kami mempercepat langkah.

“Jangan diladenin Sab, dia penguntit, stalker, mesum-er. Pokoknya hati-hati aja sama dia…” ucapku, dan kamipun berlalu, ia tak mengikuti.

.

“Dari mana aja kalian?” Tanya Kak Istifa menyambut kedatangan kami, matanya tajam menelisik tiap senti bagian tubuh.

“Dari mesh masing-masing, sekalian mandi sama ganti baju.” Jawabku sambil melangkah masuk. Namun ternyata sudah ada beberapa orang yang datang, yang pasti muka mereka asing. Ada wanita berkulit lebih gelap dibanding wanita yang lain, bisa dilihat biseps yang bentuknya mengalahkanku yang specialist ini (specialist = lemah, sedih dengan persepsi yang sudah melekat ini), kutebak dia pasti warrior. Ada juga lelaki berambut hitam dengan google sebagai headband. Dan ada beberapa orang lain yang cirinya tak terlalu menonjol.

Aku dan Sabilapun duduk, lalu berusaha memperkenalkan diri…

“Salam kenal Kak, Saya adik sepupunya Kak Ulfa, Leiutnant Baydzofi hardji.” ucapku sesopan mungkin.

“Aku Leiutnant Sabila Rosseblood, salam kenal.” Ikut Sabila memperkenalkan diri juga.

“Haha… gak usah formal-formal, santai aja, aku Sirvat, Sirvat Mess’Ennera.”

“Hevoy Kene. Pilot Skuardon 2 ‘Terror Wave’ Bellato Air Force, dengan jam terbang 2500 ja-“

“Gak usah pamer!” sikut Kak Sirvat menimpali.

“Ughh… Salam kenal..” ujarnya menyelesaikan kalimat sambil memegang bagian perut yang disikut. Aku hanya bisa tertawa garing melihat tingkah Senior-Senior di depanku ini.

“Inaki Khulzi.”

“Darr, Darr Kandarr.”

“Oritzi Istoris.”

Setelah mereka memberitahu nama mereka dan saling bersalaman, kamipun terlibat bincang-bincang ringan. Salah satu dari mereka ada yang bertanya padaku kelak mau mengambil profesi lanjutan apa, lalu kujawab kalau aku akan menjadi Armor Rider. Langsung pria yang bernama Inaki menepuk bahuku, ia mengatakan…

“Wah wah, kita bakal dapet calon junior baru nih, Carters…” serunya sambil mengarahkan pandangan pada Senior Oritzi. Yang ditujupun hanya tersenyum.

“Tenang aja, kita gak kejem-kejem amat kok sama Junior, hehe…”

.

Waktupun menunjukkan hanya tinggal 10 menit lagi menuju pukul empat, kami semua bersiap diposisi masing-masing. Sedangkan Kak Istifa dengan mode menghilangnya mengawasi dari luar dan memberi kabar terkini.

Czettt… zettt…

“Ada Apa Is?” Tanya Kak Virjman.

“Siap-siap, target ke lokasi…” jawabnya dari walkie talkie.

“Roger…”

Setelah kami mengkonfirmasi kabar terkini, kami nemunggu kedatangannya. Rasanya tiap detik menjadi tak boleh terlewat sampai momen yang sangat-sangat tepat. Beberapa orang yang memegang semacam alat yang bila ditembakkan mengeluarkan kertas sudah bersiap, meng-stand by jari mereka pada pelatuk. Sedang yang lainnya bersiap dengan pose sebaik mungkin.

Tap..

Tap…

Ceklekk…

Perlahan cahaya memasuki ruang gelap yang kami singgahi ini.

Batss…

Targetpun menyalakan lampu

SEKARANG!…

DORR! DORR!

“SELAMAT ULANG TAHUN!”

Sambut kami akan kehadirannya, beberapa serpihan kertas warna-warni melayang di udara. Senyum dan tawa merekah di wajah kami, sedangkan Kak Ulfa masih tercengang, tidak percaya apa yang sedang ia saksikan dihadapannya.

Perlahan air membendung dikedua mata coklatnya, lalu membentuk garis yang membasahi pipinya. Ia menangis haru…

“Pantesan, aku tadi sempet lama nyariin kunci ku, ku kira ilang… hiks… panik tau…” ujarnya sambil berusaha menyeka airmata dengan lengan bajunya…

Kamipun tertawa

Aku sebenernya juga gak tega liat Kak Ulfa nangis begitu, tapi kapan lagi? Akupun mengambil kamera dan memotretnya, juga suasana yang meriah ini.

“Istifa, mana dia, pasti Istifa yang ngadain ini! Mana orangnya…” ujar Kak Ulfa dengan nada kesal.

“Disini…” ujarnya secara tiba-tiba dan…

Brushhh…

Ia menumpahkan tepung dalam jumlah banyak pada Kak Ulfa, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Sontak kami kembali tertawa, dan aku tak akan melewatkan momen yang berharga ini.

.

.

Tak terasa hari mulai petang, Kak Ulfapun kini sudah berpenampilan menarik dengan pakaian yang ia kenakkan. Walaupun sebelumnya ia harus terpaksa mandi dan mengganti baju, masalahnya kamar mandi dan kamarnya terpisah, sehingga ia harus rela berjalan hanya menggunakan handuk menuju kamar, dan diperhatikan para lelaki dengan mata mereka yang auto fokus. Gue? Gak usah ditanya, walaupun itu sepupu, tetep aja bikin ‘ON’.

Setidaknya itu masih menandakan gue normal…

Ryan dan Adanpun datang menyusul dengan membawa kado. Juga seseorang yang sudah ‘kutunggu’ kehadirannya. Yup, ia adalah Denny Hollymoon, ia juga membawa hadiah yang lumayan besar, orang-orang disini mengatakan kotak itu bernama Master’s Large Gift.

.

Lagu wajib atas berulang tahunnya seseorangpun dinyanyikan, diiringi kue produksi Lechia Bakery yang kami pesan, yang diatasnya diberi lilin berbentuk ’21’ menandakan usia Kak Ulfa malam ini.

“Tiup lilinnya sekarang juga…

Sekarang juga…”

Huff…

Setelah Kak Ulfa meniup lilin hingga cahaya hangat itu padam, suasana hening, membiarkan yang berulang tahun hari ini untuk memohon apa yang paling ia inginkan…

Dirasa cukup, Kak Ulfa kembali membuka matanya dan senyum terukir diwajahnya, menatapku, lalu menatap yang lain.

Kami semuapun kini memakan jamuan yang disajikan, asik berbincang dengan yang lainnya, termasuk Sabila disana yang sudah membaur dengan para wanita lainnya. Aku hanya bisa memandangi orang-orang yang setidaknya banyak dari mereka yang baru kukenal, dari sofa yang tengah kududuki…

“Fi, lu gak makan? Mending ambil dulu, keburu diabisin Adan, liat tuh..” ujar Ryan sambil menunjuk kearah sahabatku yang tengah ‘memborong’ hidangan.

“Gak, gue dah kenyang…” jawabku menoleh padanya, lalu kualihkan kembali pada seseorang yang sedang kuperhatikan.

Dari sudut mataku, bisa kulihat kalau Ryan penasaran, lalu ia ikut mencari apa yang sedang kuperhatikan.

“Ohh… lagi merhatiin orang yang rambutnya pirang itu, kenapa lu? Demen sama dia?” Tanya si kutu buku disebelahku, ah bukan, lebih tepatnya kutu kupret.

“Endas mu! Gue normal! Dah ah, ganggu aja lu…” akupun beranjak pergi menuju balkon, untuk menyejukkan suasana dalam diriku. Entah mengapa saat aku melihat si pirang itu, suasana menjadi tak semenyenangkan seperti seharusnya.

Saat aku hampir sampai, aku tak sengaja mendengar seseorang sedang bicara, suara yang ku kenal. Yaitu Kak Virjman, sepertinya ia tidak sedang bicara sendiri…

Akupun memasang pendengaranku sebaik mungkin untuk menangkap apa yang sedang ia katakan.

“kata Istifa, semua ini ide lu Man, makasih ya…” ucap seorang wanita yang tak asing, itu Kak Ulfa. Akupun makin serius mendengarkan dan sebisa mungkin kucari celah agar dapat melihat apa yang sedang mereka lakukan.

“Iya, sama-sama Fa. Gue denger dari istifa juga, katanya lu jarang ngadain acara begini, jadi gue usulin aja ke mereka, dan mereka setuju.” Jawab Kak Virjman sambil mengusap-usap belakang kepalanya.

Angin malam terlihat berhembus diantara mereka, mengisi kesunyian. Diikuti sinar rembulan juga bintang-bintang, kulihat Kak Virjman melangkah mendekat kearah Kak Ulfa.

“Fa, gue mau jujur dimalam yang istimewa ini…” ujarnya dengan berani sambil menggenggam tangan Kak Ulfa.

Dheg!

Entah mengapa, aku yang melihatnya, jantungku seakan ikut memacu. berdebar layaknya pria berambut putih cepak yg sedang bicara serius dengan sepupuku.

“Gue dah lama suka sama lu Fa, semenjak kita ketemu saat akademi akhir dulu, semenjak gue tau siapa nama lu. Diwaktu istirahat gue selalu sempetin untuk cari keberadaan lu dan menghabisi waktu dengan memandangi lu Fa…”

“Tawa lu, senyum lu, suara lu… seakan… seakan jadi bait buat gue untuk terus melangkah sampai bisa menjadi prajurit seperti sekarang, ini semua karena lu Fa…

Lu yang buat gue terpacu untuk mengejar lu, untuk bisa terus berada setingkat dengan lu, walau mungkin gue ada dibelakang lu. jauh dibelakang… tapi gue seneng takdir udanh ngizinin gue untuk bisa bertemen dengan orang seperti lu Fa”

Gue tau, mungkin telat, atau mungkin gue adalah seorang pengecut di balik raga ini, tapi gue cuma gak mau menyesal lebih lama, ataupun menderita… setidaknya malem ini gue udah berani mengungkapkan apa yang gue rasa ke elu…”

Eksprei Kak Ulfa hanya terdiam, sambil menutupi mulut dengan kedua tangannya, sedangkan Kak Virjman hanya merunduk sambil terus mengungkapkan apa yang selama ini terpendam.

“Jadi… maukah elu jadi pacar gue, untuk menjawab apa yang selama ini hati gue nanti semenjak hari itu?”

Suasana hening, alam seakan mengijinkan dua orang dihadapanku saling mendengar suara hati mereka.

Lirih, terdengar suara isak yang lirih dari wanita yang berulang tahun hari ini…

“Ma-maaf Man… gue gak bisa nerima, gue gak bisa menyetujui permintaan lu. Sekali lagi maaf Man…” jawab Kak Ulfa dengan suara isak tangis mengisi…

Akupun langsung teringat perkataan si Lace saat dirumah sakit ;

Kalau suatu saat sepupu lu berpasangan sama orang lain, lihat kedalam diri lu sendiri…

Dadaku juga ikut merasakan sesak saat mendengar penolakkannya pada Kak Virjman.

kak Ulfa.. dia.. punya seseorang yg dia suka..

“Hati gue, udah mengarah pada orang lain… gue gak mungkin biarin lu tersiksa dengan jawaban bohong yang hanya buat lu senang sesaat Man. Lu temen gue Man, dan maaf gue harus nolak elu, karenapun, gue juga gak mungkin bohongin hati gue…” sambung Kak Ulfa, ternyata dugaanku tepat dan kini yang terbayang dibenakku untuk pertama kali adalah seseorang bernama Denny.

Setelah jawaban itu, senyum tersimpul dari wajah pria dengan rambut putih cepak itu. senyum yang siapapun tau, itu senyum yang dipaksakan, senyum agar terlihat tetap tegar

“Haha… gak apa Fa, gue udah duga kok, anggap aja ini hukuman buat gue yang sedari dulu gak berani ngungkapin, gak berani jujur sama diri sendiri.

Terimakasih, Ulfa hardji… lu sosok yang telah mengisi ruang di dada lelaki ini.

Sekiranya, lu mau nerima hadiah sederhana ini…” iapun menawarkan sekotak hadiah, setelah Kak Ulfa menerimanya, ia membungkuk memberi salam hormat yang formal.

Namun sebelum mengangkat kembali tubuhnya seperti semula, sepasang tangan mengusap rambut putihnya, membuat Kak Virjman menghentikan gerakkannya.

“Sekali lagi maaf Man, gue harap lu mengerti, dan kita tetep bisa bertemen seperti semula…”

Lelaki itupun membalikkan tubuhnya, bersiap untuk pergi, namun sebelum melangkah ia mengatakan

“tentu, gak akan gue sia-siain hari selagi bisa gue habiskan bersama lu Fa. Permisi…”

Tap.. tap.. tap…

Suara langkah menuju keluar dari balkon, akupun segera pergi dari tempatku memata-matai mereka.

BRUKK!

Kulihat siapa orang di depanku sambil mengelus hidungku yang kesakitan, aku menabrak punggung orang yang ada di depanku.

“Ohh… kamu adiknya Ulfa ya? Maaf ya.” ucapnya saat memalingkan wajahnya menatap wajahku.

“Engg… iya.” Jawabku.

“Oh, perkenalin, nama ku Denny, Denny Hollymoon.” Jawab pria berambut pirang yang sudah kuketahui namanya.

“Dzofi, Baydzofi Hardji.” jawabku kembali dengan singkat.

“Oh ya, kamu liat Ulfa gak? Kemana ya dia?” mata sapphirenya bergerak ke kanan dan ke kiri, mencari sosok yang ia cari.

“Dia, gak ada… ke kamar man-“

“Ah, udah ya. Itu dia” ujarnya memotong kalimatku setelah menemukan sosok Kak Ulfa, kemudian berjalan menghampiri wanita berponytail coklat.

“Hei Ulfa, kamu kenapa?”

“Gak apa Kak.”

“Kamu habis nangis ya?”

Percakapan yang kudengar membuatku tak betah berlama-lama diradius sekitar mereka, akupun memutuskan kembali duduk di sofa dan memakan hidangan yang masih ada sampai pesta ini usai.

“Kenaba lu bro… gekgi amat tampang lu.” ujar Adan sambil mengunyah makanan.

“Bukan urusan lu…” jawabku sambil melahap potongan kue.

.

Akhirnya, sekitar jam sembilan malam, tamu-tamu yang diundang sudah pamit pulang, hanya tersisa beberapa orang saja, termasuk aku. Namun sekitar sepuluh menit kemudian para tamu benar-benar kembali ke rumah masing-masing. Hanya menyisakan aku dan Kak Ulfa.

“Dzof, kamu besok ada jadwal ‘kan?” tanyanya padaku. Akupun tak menjawabnya, hanya berjalan menuju ke tumpukan kado yang tersusun, lalu kuambil hadiah milikku.

Kini aku hadapkan hadiah yang kuberikan padanya.

“Kamu mau apa?” tanyanya penasaran. Akupun merobek kertas pembungkus, lalu kuperlihatkan isi dari hadiahku.

“I-ini… buat Kakak?” ujarnya masih tak percaya, aku hanya mengangguk mengiyakan bahwa kalung yang kubeli kuberikan untuknya.

Ia memandang sayu kearahku. Aku lalu bergerak untuk memasangkan kalung dari arah belakang

“Makasih ya Dzofi…” kata itu tak henti-hentinya ia ucapkan. Tangankupun bergerak mengalungi lehernya. Dari posisiku sekarang, aku mampu menyium aroma tubuhnya lebih jelas. Lebih jelas dari siapapun.

“Kak…”

“Apa?”

“Ka-Kakak suka sama orang lain?” tanyaku, diikuti jantung yang kembali berdebar-debar. Entah mengapa, namun pertanyaan itu seakan tak tahan untuk bersemayam di dalam fikiranku lebih lama lagi.

“…” ia terdiam.

Posisi kami masih tak berubah, tanganku masih mengalungi lehernya. Layaknya reverse dari kejadian sebelumnya, aku yang kini menempelkan dadaku pada punggungnya, sehingga ia mampu merasakan getaran debar jantung ku.

“A.. aku tau aku gak punya hak, karena Kak Ulfa sekarang udah dewasa. tapi… aku-“

“Enggak.” Ujarnya memotong perkataanku. Aku sontak terdiam dan menantikan kata apa yang selanjutnya ia katakan.

“… Kakak emang menyukai seseorang, tapi Kakak merasa belum waktunya untuk… berhubungan lebih jauh dengan orang itu. Kakak masih ragu, dan…”

Ia menghentikan sejenak perkataannya. Kurasakan ia menghembuskan nafas, lalu menghirup dengan dalam. Kemudian menggenggam tanganku dan berkata…

“Kakak masih punya tanggung jawab dengan sifat ceroboh permanenmu itu.” Terlihat dari posisiku, ia menekukkan bibirnya keatas, ia tersenyum.

Entah mengapa, walau aku sejujurnya tidak bisa percaya pada laki-laki lain, dan juga tak rela Kak Ulfa dilukai oleh mereka. Aku juga merasakan, seakan akulah yang memasung haknya. Cinta adalah nafas, kau harus bebas untuk memiliki dan membagi pada orang yang kau pilih, dan posisiku sekarang layaknya tembok penghalang baginya.

“Jadi… kalau aku udah gak ceroboh lagi. Kakak gak perlu repot-repot jagain aku dan bisa siap berhubungan lebih jauh dengan orang itu…” ucapku memberi kesimpulan.

Agak lama ia terdiam, namun ia mengangguk dan berkata “iya”.

Akupun menarik tanganku dan segera mengenakkan kalung yang kuberikan pada lehernya.

“Baiklah, aku akan berusaha supaya gak ceroboh lagi. Dan Kak Ulfa gak perlu repot-repot bertanggung jawab atasku.”

Setelah itu, akupun meninggalkannya dan kembali ke mesh ku.

.

.

.

“Petir adalah bagian dari elemen angin, bisa dikatakan merupakan perubahan bentuk dari angin. Bila kita menggunakan force angin cukup dengan memanipulasi udara disekitar kita, petir berbeda, bisa dikatakan sedikit lebih rumit, karena pembentukannya sama seperti teori terjadinya halilintar, bertemunya udara panas dan dingin, membentuk gesekan dan keluarlah petir… sekian.”
-Kasetsu Aqblerry- Ch. 13

CHAPTER 20 END.
Next Chapter > Read Chapter 21:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-21/
Previous Chapter > Read Chapter 19:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-19/
List of Journey For Identity Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-list


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *