JOURNEY FOR IDENTITY CHAPTER 22 – UNEXPECTED BATTLE

Journey For Identity
Penulis: Bid’ah Slayer


“Pertama-tama kita jemput dulu cewe gue di-“

“-Perpustakaan…” serobot ku memotong perkataan Ryan.

“Iya, sekalian gue perkenalin dia ke elu.”

kami berduapun pergi menuju tempat yang kusebut. Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di depan perpustakaan Bellato Union. Nampaknya Ryan sudah menemukan seseorang yang ia cari, iapun melangkah menghampiri orang itu, sedangkan aku berjalan mengikuti.

“H-hai Hagia!” ujar Ryan sambil melambaikan tangan pada seorang gadis bersurai ungu.

“Ryan!” balas gadis itu seraya melangkah menghampiri.

jangan harap ada kejadian romantic macam film-film telenovusa atau Novu-wood dimana sepasang kekasih saling bertemu, lalu melompat sambil berpelukan. mereka berdua hanya saling mendekat, lalu setelahnya tidak bicara apapun, ya, Ryan sama sekali tak bisa bicara didepan gadis itu, aku mesti berdehem

*Ehem!

Lalu dia tersadar dan memperkenalkan diriku padanya.

“Ah! Iya, Hagia, kenalin, ini temenku namanya Dzofi. Fi, ini Hagia…” ujarnya memperkenalkan masing-masing dari kami sambil menggerakkan tangannya.

“Baydzofi Hardji, salam kenal..” ujarku menjabat tangan mulusnya.

“Hagia Henrietta, senang bisa berkenalan dengan sahabatnya Ryan, Ryan cerita banyak tentang kamu lho..” ucapnya dengan sepasang iris ungu memandang ramah padaku.

“Cerita banyak? Cerita apaan?” sontak aku langsung palingkan wajahku pada lelaki yang kini menggunakan softlens.

“Banyak, namun yang aku paling suka dengerin adalah masa kecil kalian bertiga sama yang satu lagi tuh.”

“Adan.” Timpalku.

“Iya, dari yang diceritain Ryan, aku jadi penasaran Nilben itu kaya gimana…”

“Eh? Kamu bukan dari Nilben?” reaksiku berkata demikian karena terkejut.

Iapun menggelengkan kepalanya “Iya, aku besar di Novus, jadi gak tahu menahu seperti apa planet asal… bangsaku ini kecuali apa yang aku dapet dari buku…” jawab Hagia menjelaskan, namun seperti ada yang aneh dari Ryan, ia langsung mengalihkan pembicaraan, dan membuat Hagia dan aku tak mungkin melanjutkan pembicaraan.

“Eh, nanti kesiangan, kita jalan sekarang yuk, masih ada satu orang lagi yang nungguin kita.” Timpal Ryan seraya berjalan lebih dulu. Hagia yang berada di belakangnya kini mencoba menyeimbangi posisi agar sejajar dengan pacarnya.

tidak sekaku sebelumnya pada pertama bertemu (walaupun pasih kaku), Merekapun kini bercengkrama, entah apa yang dibicarakan, posisiku di belakang mereka hanya bisa memandangi ekspresi tanpa beban mereka dalam berinteraksi, ah! Mereka berdua tertawa. Sontak di dalam dadaku, kurasa Ryan tidak perlu kehadiranku, aku di sini hanya akan menjadi penghalang untuknya.

!

Sekarang mereka berdua menatap bersamaan kearahku, “Apa?” tanyaku pada dua sejoli di hadapanku.

“Jangan di belakang sendirian begitu, aku gabung sini..” ajak Hagia.

“Ayo sini Fi.” Ryan langsung menarik lenganku agar aku berada di sebelah kanannya.

Kamipun akhirnya bercakap-cakap bersama, Hagia kemudian menyinggung diriku prihal medali yang kudapat karena pernah mengaku sebagai prajurit berpangkat maximus demi menyelamatkan seluruh penumpang pesawat antarplanet beberapa bulan lalu.

“Iya, itu bener.”

“Wah, aku mesti siapin buku buat minta tanda tangan nih.. hehe…” ujar Hagia sambil tertawa.

“Tapi, harusnya kamu minta tanda tangan sama pria yang ada di sampingmu lebih dulu sebelum minta tanda tanganku.”

“Kenapa?” ujarnya dengan mimic polosnya.

“Karena di belakangku melakukan aksi heroic itu, Ryan lah yang udah banyak berjasa, dia sempet pegang kendali pesawat lho, dia juga yang ingetin adanya pendarahan di kepalaku…” jelasku pada gadis milik Ryan itu, setelahnya rona Hagia berubah menjadi kemerahan, lalu menatap Ryan dengan tatapan kagum.

Ryan yang dipandangi seperti itu, tak kuasa bertingkah normal namun tetap memaksakan diri untuk jaim. Tingkahnya menjadi kaku.

“Kamu bener Yan ngelakuin itu?” Tanya Hagia memandang Ryan dengan efek visual berbinar-binar.

“I-iya… biasa aja lagi..” jawabnya tanpa menatap Hagia, jika diperhatikan, kedua telinga Ryan memerah menahan malu.

Kemudian, tanpa diduga Hagia yang berada di sisi kiri Ryan merapatkan badannya dan memeluk tangan kiri milik Ryan. Ryan sontak terkaget…

“Eh?! A-apa yang kamu-“

“Habis, aku gak percaya kamu ngelakuin aksi haroik begitu, terlebih gak keliput media, jadi kesannya makin keren~”

“I-iya iya… tapi jangan frontal begitu, ini tempat umum… a-ada si Dzofi juga… lepasin lepasin…” ujar Ryan kagok karena malu dengan kelakuan Hagia, namun Hagia tak menolak, iapun menuruti kemauan Ryan dan kini mereka berdua berjalan dengan tingkah laku ‘normal’, setidaknya normal menurut Ryan.

“Jadi, siapa yang akan kita jemput?” tanya Hagia sambil menghadapkan mukanya menanti jawaban pada kami berdua, secara bergantian.

“Dia Sabila, pacarnya Dzofi…” jawab Ryan santai.

“Iya, dia- eh! Pacar!?” seruku saat menyadari Ryan main menetapkan status secara illegal begitu saja, akupun menatap tajam kearah Ryan!

“Ohh namanya Sabila. Lho, kalian kenapa berantem? Bukannya kita mau Double Date?” ujar Hagia heran ketika melihatku tengah mencengkram kerah Ryan bermaksud ingin meminta penjelasan darinya (sekaligus menghajarnya tentunya).

Akupun melepas Ryan sambil menatap tajam, berharap tatapanku ini mampu menembus jantungnya dan mengoyak tubuhnya.

“I-iya, kita gak berantem kok, aku cuma mbersihin kerah baju Ryan doang, berdebu.” Jawabku sambil menepuk KERAS pundaknya.

“Aduh!… iya Hagia, kita gak berantem kok…” timpal Ryan sambil memperlihatkan deretan giginya.

Maksud lu apa cuk! Ini di luar kesepakatan kita, perjanjian kita batal!” bisikku dengan nada menggeram.

Ja-jangan, gue gak punya pilihan lain, kan elu yang bilang kalau gue kudu ngajak dia keluar, dan namanya pergi keluar itu kencan. Pergi dua pasangan keluar itu istilahnya double date…”

Tapi kenapa… kenapa lu main njodohin begitu sih dasar peranakan Djancuk!” makiku.

Kan ini semua karena lu, lu bilang harus buat agenda special, yaitu kencan, kalau gue dah ajak lu dan bilang ini cuma sekedar jalan-jalan, itu sama aja gak special ‘kan?”

Lagi pula, lu mau begitu aja batalin diri secara sepihak sedangkan Sabila udah nunggu lu di luar sana sedari tadi? Bayangin Fi, bayangin! Di PHPin itu sakitnya di sini, sini dan di sini…” sambung Ryan sambil menunjuk bagian-bagian tubuh.

Geezz… Bacot! Hmph… oke oke… gue akan ikut sampai akhir, namun lu kudu mastiin kalau lu gak akan lupa 50% tagihan adalah lu yang mbayar.”

Ditengah-tengah kami sedang berbisik, Hagia membuyarkan.. sontak kamipun mengelak, dan memperalihkan pembicaraan.

Tak berapa lama, akhirnya kami bertiga sampai di depan gerbang markas Bellato Union, di sana lumayan ramai, karena memang pintu masuk utama menuju kota. Kutelisik tiap individu yang ada untuk memastikan keberadaan gadis yang tengah menungguku.

Ah! Itu dia

Akupun melangkah sambil menunjuk sosoknya kepada yang lain, namun sebelum aku melangkah lebih jauh, Ryan berbisik padaku.

Pliss.. bertingkah layaknya sepasang kekasih, supaya Hagia gak sadar kalau ini cuma sekedar jalan-jalan biasa”

Belum sempat aku menanggapi, Ryan sudah main dorong tubuhku ke lautan bellatean. Hampir mati rasanya terbawa arus makhluk-makhluk yang ramai ini.

.

“Hah.. hah.. Sab, udah nunggu dari tadi?” ujarku membuka pertanyaan sambil mengatur nafas, si gadis berambut putihpun menggeleng seraya menjawab

“Enggak kok, baru aja sampai.”

Untuk beberapa saat, aku tak menggubris jawabannya, aku terpaku memandangi penampilannya, cantik sama seperti saat acara ulang tahun kak Ulfa minggu lalu walau dengan pakaian yang lebih sederhana, entah atau hanya perasaanku saja, segala pakaian sepertinya berjodoh dengan gadis di depanku ini.

“Dzof, yang lain ada dimana?” Tanya Sabila membuyarkan lamunanku.

“Eehh.. yang lain ada disana, itu Ryan.” Jawabku sambil menunjuk sosok berambut caramel ditengah kerumunan bellatean yang ingin masuk maupun keluar kota.

“Yang mana?” Tanya Sabila masih belum mendapati sosok Ryan. Iapun berjinjit sambil meletakkan empat jarinya secara rapat di atas alis

“Yaudah, yuk langsung samperin aja.” Akupun langsung menggenggam tangannya, agar ia tak hanyut di tengah kerumunan.

“Minggir Minggir! Air panas! Air Panas!” seruku, sontak orang-orang yang berada di depanku langsung bereaksi menjauh sambil melihat. Bodo amat, yang penting bisa lewat.

“Awas melepuh! Awas Melepuh!”

Setelah berhasil menyebrangi lautan bellatean, akhirnya kami sampai menuju tempat Ryan dan Hagia berada.

“Sabila, apa kabar?” ujar Ryan menyambut kami, lebih tepatnya Ryan hanya menyambut Sabila dengan menjulurkan tengan padanya.

“Umm.. baik..” jawab Sabila dari belakang punggungku. “Kamu siapa?” tanyanya.

Yang ditanya seakan mematung.

“Dia Ryan, Sab. Dia lepas kacamata, gak tambah ganteng kan?” jelasku.

Sontak Hagia dan Sabila tertawa bersama, Ryan masih mematung.

“Haha… maaf ya Yan, aku gak sadar itu kamu.” Ujar Sabila sambil menjabat tangan Ryan yang masih mematung. Sabila gak sadar akan keadaan Ryan, juga Hagia yang masih bisa tertawa melihat pacarnya yang shock.

.

“Oh ya, namaku Hagia, Hagia Henrietta, salam kenal” seru Hagia membuka perkenalan, Sabila pun menjawab dengan menyebut nama lengkapnya.

“Kamu udah berapa lama sama Dzofi?”

Merekapun terlibat pembicaraan sebagaimana mestinya para gadis bercengkrama, Ryan yang sudah sadar dari status patungnyapun berkata.

“Gimana kalau kita langsung ke tempat festival aja?” aku dan yang lainnyapun setuju.

Akhirnya kami berempatpun menuju tkp yang dituju, namun sesampainya disana sungguh diluar dugaan…

Sepi

“Kita gak salah hari kan?” Tanya Hagia ke Ryan. Yang ditanya langsung mengeluarkan selebarannya dari inventory lalu kembali membacanya, kali ini dengan cermat.

“Um… Festival Musim Panas… Kembang Api… sore… pukul 16.00”

“Hehe… maaf, kita datengnya terlalu rajin…” ujarnya berat hati sambil menggaruk belakang kepalanya. Sontak jawaban itu menedapat tatapan tajam dari kedua gadis. Mereka menatap Ryan dengan kesal sambil menggembungkan pipinya…

Karena merasa bersalah, juga hari sudah menunjukkan tengah hari, Ryan pun menjanjikan pada mereka akan meneraktir sesuatu yang menyegarkan sebagai permintaan maaf.

Sambil melanjutkan perjalanan, mengitari tempat festival ini, berharap sudah ada kios yang buka. Beruntung, di depan tak jauh dari kami terdapat kios yang buka ditengah kios yang masih berbenah-benah..

“Pon-dok-es-krim”

eja Hagia dan Sabila dengan jelas, Nampak mata mereka berbinar, dan pipi merona kemerahan, kemudian tanpa diduga Hagia segera menyeret Ryan untuk menghampiri kios tersebut.

“Haha…” aku hanya bisa tertawa melihat Ryan dan Hagia.

“Umm.. Fi? Kok masih disini? Ayo kesana bareng.” Ujar Sabila mengajakku, akupun melangkah menyusulnya.

.

Di dalam kedai, Hagia dan Ryan tampak sibuk memilih menu yang terpampang di papan atas kasir. Lebih tepatnya Hagia lah yang sibuk.

“Pilih yang paling mahal aja Gia, Ryan gak keberatan kok, ehehe…” seruku menggoda Ryan, Hagia pun langsung menanggapi

“Serius?! Gimana kalau kita milih yang itu!” ujar Hagia antusias sambil menunjuk salah satu porsi es yang besar dengan semangat.

“Double Horn Blazing Cream‼” ujarku dan Ryan bersamaan

Đ 76.000‼

Dan kami pasti sama-sama berteriak di dalam hati melihat harganya. Kamipun saling menatap satu sama lain.

“Ehehe… gimana kalau coba yang gak terlalu banyak? Aku gak yakin bisa ngehabisin semuanya Gia… bisa-bisa kena pembekuan otak lho!” jelas (ngeles) Ryan secara ilmiah.

“Bener! Kata Ryan! Gue pernah ngerasain, sakit banget, kepala jadi pusing…” supportku membantu Ryan.

Dan kini Hagia pun tampak memandang kembali papan menu di atas, membatalkan pilihan awalnya.

“Umm… permisi, boleh saya memberi saran?” ujar pelayan yang sedari tadi mungkin, sepertinya ia tau kalau kami sulit menentukan pilihan yang tepat.

“Bagaimana kalau kalian mencoba salah satu menu terbaik kami, berhubung kalian dua pasangan, jadi silahkan coba promo Battle Date” usul sang pelayan.

“B-Battle Date?” ujarku heran, juga yang lainnya.

“iya, jadi yang akan disajikan adalah dua mangkuk es krim banana split dengan tiga rasa es krim plus tambahan satu pocky® di atasnya.” Jelas sang pelayan menihilkan rasa penasaran kami.

Namun tiba-tiba Ryan berkata “Terus, maksudnya Battle di namanya itu apa Mba?” tanyanya secara kritis…

“Sesuai namanya, jadi kalian harus bertarung untuk menghabiskan es krim yang disajikan terlebih dahulu, dan pemenangnya akan mendapatkan hadiah.” Jelas kembali sang pelayan.

“Kita-kira ada batasan waktu menghabiskannya gak?” Tanya Sabila yang sedari tadi tak bersuara.

“Iya ada nona manis, waktunya 2 menit.”

“DU-DUA MENIT?‼ KEJAM SEKALI‼…” ujarku dan Ryan berbarengan

“Anda mau membunuh kami?!” ujarku kesal.

“Peraturan yang bisa mencelakakan konsumen namanya! Anda bisa kena pasal tentang konsumen dan pelayanan!” tambah Ryan.

“Eh?! Baiklah-baiklah, berhubung kami juga baru buka dan kalian pelanggan pertama kami, kalau begitu peraturannya kami ubah menjadi 5 menit. Terimakasih sudah mengoreksi.”

“Huh~ kalau begitukan lebih bellateance… baiklah kalau begitu kami pesan satu porsi Battle Date.” Jawabku, kami berempatpun segera menentukan tempat duduk yang nyaman.

Di meja bernomorkan 4, aku dan Ryan duduk berhadapan sedangkan di sampingku Sabila, dan di samping Ryan, Hagia.

Kami sempat mendiskusikan agar saat memakan es krim jangan terburu-buru, makan santai saja sampai menit terakhir. Bagaimanapun, menikmati makanan adalah secara perlahan, juga agar tak terkena pembekuan otak.

Pesanan kamipun tiba, sang pelayan segera menaruhnya dihadapan kami. Es krim banana split tiga warna dengan satu tiang pocky® menancap.

“Oke, ini pesanannya. Apa kalian sudah siap?” tanyanya sambil mengeluarkan stopwatch.

Rupanya pelayanan disini betul-betul niat. Akupun sempat melihat kamera yang tergantung dileher pelayan tersebut, lalu kutanyakan padanya

“Mba, itu kamera buat apa?”

“Oh, ini? Karena kalian adalah pelanggan pertama kami, jadi kami akan memotret kalian dan hasilnya akan dipajang disebelah sana.” Jelasnya sambil menunjuk kearah dinding yang kosong sebelah kasir.

“Baiklah, apakah pasangan sebelah sini sudah siap?” lanjutnya bertanya pada Ryan dan Hagia, merekapun menjawab.

“Pasangan yang ini, apa kalian juga siap?”

“Ehh… aku, Dzofi, kami bukan…” Sabila mencoba mengklarifikasi penetapan status secara sepihak, akupun hanya bisa ber Facepalm lupa menjelaskan pada Sabila tentang rencana ini. Namun belum selesai Sabila menjelaskan, sang pelayan langsung berkata

“Mulai‼”

Prittt…‼

Sesuai rencana, aku dan Sabila, juga Ryan dan Hagia memakan es krim yang tersaji dengan perlahan.

Aku mengincar es yang rasa coklat, sungguh nikmat. Aku tidak habis fikir bila ada bellatean yang tidak menyukai coklat, padahal coklat sungguhlah kenikmatan yang teramat sangat nyata, jika kau mengetahui.

Sedangkan Sabila memilih es berasa vanilla, kemudian terjadi momen dimana sendok kami beradu sehingga menimbulkan bunyi

Tingg…

Kemudian aku dan Sabila menatap secara bersamaan.

Ka-kami berdua be-bener-bener kaya orang lagi kencan, makan satu wadah berdua.

Ujarku dalam hati, mukakupun memerah saat…

Melihat wajah Sabila yang putih juga tiba-tiba merona…

Shit shit shit‼! Jangan sampe dia juga mikir hal yang sama!

Tingg‼

Terdengar lagi suara sendok beradu, namun kali ini lebih tinggi dan sedikit berbeda intonasinya. Aku melihat kearah sendokku dan Sabila, kami sama sekali tidak bersentuhan…

Tingg…

Terdengar lagi, dan kali ini jelas dari arah Ryan dan Hagia, saat kami berdua lirik, ternyata hal yang tak terduga terjadi…

Pe-penghianat!

Di menit 03:46 Ryan dan Hagia kini makan es krim tersebut dengan terburu-buru, bermaksud ingin memenangkan battle ini!

“Ayo Sab, jangan mau kalah sama mereka!”

Akupun mengaktifkan ‘skill’ pengeretanku, pengeretan adalah kemampuan dimana mempercepat gerakan tubuh khususnya tangan agar cepat mengambil makanan dan cepat memakannya…

*Pengeretan Mode : ON*

Hap hap hap

Dentingan gelas beling terkadang saling bersahutan, Ryan dan Hagia yang sudah sadar kami menyusul mempercepat ritme mereka.

Hap hap hap…

“Aghh… suee~‼” erang Ryan terhenti sambil memegang salah satu pipinya. Kesempatan ini takku sia-siakan, aku segera menyantap lembut dingin ini dengan lahap.

“Ryan kamu kenapa?” Tanya Hagia

“Gi-gigiku nyilu Gia, udah kamu jangan berhenti, kalahin Dzofi sama Sabila.” Ujarnya, Sabila pun mengiyakan dan sekera melaksanakan, sedangkan Ryan berusaha memasukkan es krim ke dalam mulutnya secara perlahan.

Hap.. hap.. hap..

“Ahh…” tiba-tiba Sabila memegang kedua kepalanya

“Sab, kamu gak pap-Aghh!” tiba-tiba kepalaku terasa membeku, pembekuan otak! Pembekuan otak!

Butuh waktu agak lama sampai aku dan Sabila berada diposisi normal dan melanjutkan pertandingan yang tinggal beberapa sendok lagi.

Aku sempat melihat kearah Hagia, ia tampak memaksakan dirinya, bisa dilihat dari matanya yang sesekali memejam menahan rasa nyeri namun tetap tak berhenti.

“Ayo Sab! Jangan nyerah!”

Disaat es krim yang hampir habis, sang pelayan yang mengawasi kami selaku juri berkata

“Sesuai peraturan, kalian harus menghabisi hidangan dalam waktu 5 menit. Dan untuk pockynya, kalian harus menghabiskannya berdua, tidak boleh mengambil menggunakan tangan atau sendok.”

Bsushh‼ “Ja-jadi harus…” ucapanku berhenti, kutatap gadis di depanku yang juga tak bergeming. Wajahnya bagaikan teko yang mendidih, kemudian pasangan di sebelahku, tak kalah sunyinya setelah mendengarkan perkataan sang pelayan.

“40 detik” ujar pelayan memecahkan keheningan. Kemudian dentingan antar stainless steel dengan gelas terdengar. Akupun tak mau kalah.

Hap.. hap.. hap…

“30 detik”

Kini hanya tersisa sebatang pocky sendirian bersandar dalam gelas…

“20 detik”

*glup

Kutelan ludahku, memberanikan diri dan berkata pada Sabila

“A-ayo kita mulai…”

Ia mengangguk, namun jelas ragu…

Kutundukkan kepalaku menghampiri gelas, lalu kuraih sebatang pocky dengan mulutku…

Deg-deg deg-deg deg-deg…

Kuarahkan pocky pada Sabila, Dia meraihnya dengan bibir merah mudanya, kemudian mulai memakannya bersama…

Biru langitnya dengan brownies milikku bagaikan kutub magnet yang sama, tak bisa saling menatap, kami saling memandang sisi lain…

Bunyi kunyahan perlahan sungguh terdengar jelas…

Deg-deg deg-deg deg-deg…

Juga bunyi detak jantung yang kian berpacu

itu artinya…

Jarak kami tiap detik semakin mendekat…

“5”

Jarak antar wajah kami tidak lebih dari dari 5 cm kurasa, dan saat kuberanikan untuk menatap langsung ke depan, Kedua mataku bertemu dengan matanya.

Seakan pasrah dan tak peduli lagi dengan apapun…

Sabila memejamkan matanya…

Menghiraukan semua yang ada..

Mempersilahkanku untuk

“4”

Menghampirinya

“3”

Lebih dekat

“2”

Lebih dekat…

.

.

Strawberry…

“Selamat! Pasangan Hagia dan Ryanlah pemenangnya!” seru sang pelayan sambil bertepuktangan.

Semua tampak senang, termasuk Sabila yang tidak memenangkan pertandingan, sisa rona merah di wajahnya masih belum hilang.

Dan semenjak ‘saat itu’, mata kami seakan sulit untuk bertemu…

.

.

Siapa yang gak marah sih, kalau orang udah menganggap seseorang itu penting tapi ternyata ia gak dianggap!”
-Ulfa Hardji- Ch. 12

CHAPTER 22 END.
Next Chapter > Read Chapter 23:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-23/
Previous Chapter > Read Chapter 21:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-21/
List of Journey For Identity Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-list


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *