JOURNEY FOR IDENTITY CHAPTER 23 – TOGETHER LOOKING THE SAME SKY

Journey For Identity
Penulis: Bid’ah Slayer


.

Waktu sudah menunjukkan pukul -:18.36:- dan tempat dimana festival ini diselenggarakan sudah mulai ramai oleh orang-orang, baik tua maupun muda semua larut dalam kesenangan. Atmosfer yang menaungi kami saat ini seakan membius kami dengan euphoria semunya, melupakan realita bahwa planet yang kami tinggali adalah medan perang yang sewaktu-waktu bisa saja meletus tanpa diduga.

Ya, aku tersadar akan makna kesenangan semu ini, ditengah menikmati festival bersama teman-teman. Kenapa bisa-bisanya aku memikirkan ini, entah apa penyebabnya…

“Fi..”

“Dzofi..”

“Ahh.. iya Sab, ada apa?” jawabku menanggapi panggilan Sabila yang berhasil menyelamatkanku dari lamunan suram tak berarti.

“Kamu mikirin apa sih?” tanyanya sambil tetap menatap lurus, setidaknya itu yang kulihat saat ini, setelah sebelumnya ia sempat memperhatikanku, kurasa.

“Eng.. gak mikirin apa-apa kok, Cuma ngelamun aja..”

“Kamu tau gak?”

“Apa?” tanyaku balik.

“Kita terpisah sama Ryan dan Hagia lho…” jawabnya singkat.

“ohh- APA?” timpalku keget membuat orang-orang yang berada diradius sekitar sontak melihat kearah kami. ternyata sedaritadi dia sibuk menyari sosok dua sejoli yang terpisah dari kami entah kemana. “Waduh…”

.

.

“Ka-kamu yakin?” Tanya seorang pemuda berambut caramel pada perempuan dihadapannya yang kini tengah menggenggam .tidak. menarik lengannya entah kemana.

“yakin, yakin banget…” jawab sang gadis yang memiliki mahkota violet muda nan panjang. “kita harus ngasih waktu khusus buat mereka, mereka kan pacaran kaya kita, iya kan?”

Mendapati pertanyaan balik, pemuda yang bernama Ryan hanya bisa menelan ludah, lalu mengiyakan dengan nada sedikit gugup.

Dirasa jarak untuk menjauh sudah cukup, gadis bermahkota violet muda itu berhenti diikuti pemuda dibelakangnya. Dikerumuni oleh para pengunjung dan kios-kios yang tengah sibuk menjajakan dagangan mereka, sang gadis tampak antusias, ia berfikir sambil menatap tajam spanduk-spanduk yang berkibar ditiup angin malam.

“Jadi kita mau kemana?” Tanya Ryan meridhoi segala tindak-tanduk yang akan dipilih kekasihnya yang bernama Hagia.

“gimana kalau ke situ” jawab Hagia sambil menunjuk salah satu kedai yang Nampak ramai tapi gak kebangetan, ideal lah. Nampak seorang pelayan disana yang tengah melayani pengunjung.

Merekapun berjalan menghampiri tempat yang dipilih.

Sambil berjalan, Ryan membuka dompet, memastikan berapa dallant yang bisa ia korbankan demi cinta.

Đ 120.000

Demi dallant…” ujarnya sambil mendesah pelan.

“Kamu bilang apa Yan?” Tak disangka, Hagia sedikit mendengar dan menanyakan apa yang Ryan ucapkan.

“Aa.. aku bilang.. Demi dewa…” jawab Ryan gugup sambil cepat-cepat memasukkan dompet kembali kesaku celananya.

“Demi.. dewa?” ucap Hagia heran “Kamu kebanyakan nonton serial antah berantah, kalo bisa kamu berhenti deh tonton tuh sinetron Bellerran, ckck… demi dewa..”

“ehh… kamu juga tuh, ahaha…” celetuk Ryan mendapati Hagia juga mengatakan kata yang sama.

“Ka-kamu sih, aku jadi ikut-ikutan kan!” “ya mau gimana lagi, ibu pantiku suka nonton tuh Bellerran tiap jam 14.30-16.00” jelas Hagia.

“Ciee hafalll… aa-adaww…” Ryanpun mendapat cubitan menyengat diperutnya “Aampuun… stoopp..” rintih Ryan memohon ampun.

“Yaudah.. yuk cepetan, keburu penuh.” Ujar Hagia sebal sambil menggelembungkan kedua pipinya.

Memesan menu, merekapun memilih sebuah masakan variant mie yang dimasak secara panggang dengan tambahan saus tiram dan berbagai sayuran segar. Bosan katanya, menunggu mie rebus yang lama dalam proses… matangnya. Juga terlalu banyak orang-orang yang memesan, laku keras.

Selang beberapa menit kemudian, pesanan mereka datang dibawakan oleh seorang lelaki bertubuh tegap.

“selamat menikmati” ujar pelayan dengan suara beratnya.

Ryan menatap pelayan yang mana pelayan juga menatapnya.

Ehh? Kayanya kenal” ujar Ryan dalam hati, kemudian terlontar perkataan

“Temennya Dzofi kan?” terucap oleh mereka bersaman.

“iya, kita pernah ketemu pas masih dalam perjalanan ke Novus. Nama gua Angga, lu Ryan kan?” Tanya lelaki bertubuh tegap yang bernama Angga.

“Iya” merekapun saling berjabat tangan, “Kerja disini?” Tanya Ryan singkat.

“Begitulah, itung-itung buat ngisi waktu luang dan ngisi dompet, ha ha ha..” jawab Angga diikuti tawa khas layaknya pria maco. “Lu kesini sama…” ia menahan perkataannya sambil mengarahkan pandangannya ke gadis di sebelah Ryan.

“Pacar.” Sambung Ryan dengan rona muka sedikit memerah saat mengucapkannya.

“Ohh.. bagus bagus.” Anggapun menjulurkan tangannya sebagai tanda ingin memperkenalkan diri “Angga Rageblood.”

“Hagia, Hagia Henrietta, senang berkenalan dengan mu” sambut Hagia hangat.

“Ngomong-ngomong, kalian ke festival ini sama Dzofi gak? Kok dia gak keliatan?”

“Dzofi dia lagi asik jalan-jalan sama pacarnya” jawab Hagia blak-blakan.

“Pacar?!” Angga kaget, sedang Ryan hanya bisa poker face mendapati keadaan simulasi yang sudah terlanjur menjadi ‘fakta’.

.

.

Sekarang aku dan Dzofi sudah tak memungkinkan menemukan Ryan dan Hagia di tengah kondisi yang kian ramai, orang-orang memenuhi jalan walau terbilang ramai, namun masih lancar. Aku sebisa mungkin mengkondisikan bahwa kebersamaan kami adalah wajar, tak perlu gugup. Harusnya.

Tiba-tiba, suaranya memecah dan membelah keramaian

“Hei Sab, mau itu?” tawarnya menunjuk kedai yang menjual manisan apel berbalut caramel, sontak metaku melebar dan berkata “mau”. Karena memang sangat ingin, akupun berjalan cepat menghampiri kedai tersebut. Sempat terdengar olehku tawa kecil darinya, namun tak kuhiraukan.

“Semuanya Đ 9.000”

“Nih pak, terimaka-“

“Tunggu!” potongku sebelum Dzofi membayarnya. “Biar aku aja yang bayar” lanjutku, aku tak mau merepotkan Dzofi lagi, karena tadi ia sudah meneraktirkan eskrim untukku.

“Dah gak usah repot-repot Sab”

“Gak apa, aku kan juga harus keluar duit.” Jawabku, kemudian aku berpaling pada bapak penjual “Pak, terimakasih ya”. Si bapak hanya bisa tertawa melihat tingkah kami.

Akupun segera menjilat bagian caramel yang menyelimuti apel, dan ternyata..

“enak banget~” beneran enak sampai spontan kuucapkan, Dzofi yang disebelahku terpaku akan perkataanku. “Haloo… Fi, kamu kenapa? Punya kamu enak gak?”

Dzofipun langsung menjilati manisan apel miliknya “Enak, enak banget!” ujarnya kaku, haha…

“haha… kalian memang pasangan yang serasi.”

“Ka-kami bukan pasangan!..” timpalku menjelaskan, yang ternyata Dzofi berkata demikian.

Ughh… malunya

Akupun memalingkan pandanganku kearah lain.

Syuuu….

Ditengah suara bercampur yang dibuat oleh para pengunjung, tiba-tiba ada satu suara yang memecahkan komposisi suara-suara yang tak beraturan ini. Suaranya menggema seakan menyita seluruh perhatian kami, tak terkecuali mata biru langitku dan brownies miliknya.

….jedgar…

Bunga api di langit membentuk formasi indah, sontak kekaguman kami membayar fenomena indah tersebut.

Syuuu… jegyarrr.. jegyarr… jedgarr…

Beberapa kembang api lain menyusul, kemudian suasana semakin riuh akan kekaguman. Aku sendiri terus terpaku mendongakkan kepalaku ke langit gelap, menanti atraksi selanjutnya para kembang api tersebut.

“Sab.. Sab..” panggil Dzofi

“liat itu Fi, liat… waaww…” ucapku masih terpaku langit.

“Aku tau tempat yang bagus buat ngeliat pemandangan kembang api ini.”

“Serius?” tanyaku antusias mendengar apa yang dikatakan Dzofi “Yaudah ayo kesana, cepet cepet…” ucapku tak sabar. Lagipula disini sudah terlalu ramai dan mulai berdesakan.

Dzofipun menuntun lenganku agar tak tertinggal jauh dengannya, menembus kerumunan orang-orang

“Misi.. misi…”

“Maaf.. permisi, maaf permisi…”

BHUGG‼

“Aduhh.. maaf”

tiba-tiba tanpa sengaja aku menabrak seseorang, sepertinya tubuh orang itu cukup keras hingga posisiku terduduk,

“Kamu gak apa Sab?” Tanya Dzofi memastikan keadaanku, aku menjawab kalau aku baik-baik saja. Akupun mencoba mencari tau siapa orang yang tadi sempat bertubrukan denganku, namun sosoknya dengan cepat sudah tak terlihat diantara kerumunan orang-orang.

Aneh, kurasa postur tubuhnya cukup tinggi tadi, sekarang udah gak keliatan…

“Hachimm!‼”

“Sab, kamu gak kenapa-kenapa kan? Keburu terlalu banyak momen kembang api yang kita lewatin” ucapan Dzofi dan bersinku membuyarkan lamunan sementaraku.

“Aku baik bai-” “Fi.. Dzofii…”

“Ada apa Sab?”

“A-apelku… jatuhhh…” ucapku kecewa, padahal aku baru nyobain sedikit…

“Nih, kamu bisa ambil punyaku”

“…” sempat beberapa detik aku tak bergeming namun aku tau, “makasih” aku gak bisa nolak, pasti dia akan maksa memberikan apelnya buatku.

“Dah gak usah sedih begitu, hehehe… bisa kita lanjut perjalanannya?” sambungnya sambil menjulurkan tangannya padaku

“Bisa” akupun menerima tangannya.

.

Kami berduapun sampai di tempat yang gak terlalu ramai, bukit padang rumput dengan beberapa orang dewasa dan anak-anak yang sedang asik memandang atraksi kembang api di langit sambil bermain kembang api yang mereka bakar.

“Gimana? Baguskan? Tuh liatt…” Dzofipun menunjuk kembang api yang ditembak oleh meriam markas.

DUAARRR…

Sungguh pemandangan spektakuler, formasi api membentuk logo union!

“Waaawww…” sorak kagumpun terlontar oleh kami yang tak terlalu ramai ini.

Tujuan penggunaan meriam ini selain sebagai sarana festival juga merupakan bagian dari perawatan meriam itu sendiri. Meriam raksasa yang merupakan peralatan pertahanan ini tidak pernah digunakan kecuali disaat-saat yang genting, dan itu sudah lamaa sekali, aku lupa kapan pastinya, yang jelas kapan digunakan terakhir kalinya ada dalam buku sejarah.

.

.

Di kedai terbuka dengan angin malam berhembus, dimana mereka sedang duduk menatap langit berhiasi kembang api dan santap malam yang tersaji, Ryan menatap dalam gadis dihadapannya, sang gadis sedang terpaku menatap langit yang berubah-ubah warna dari warna asalnya yang gelap.

“Hagia” dengan berani yang diusahakan, Ryan melanjutkan dengan menggenggam tangan Hagia, Terasa lebih halus dari sebelumnya. Gadis yang dipanggil namanyapun menoleh.

“Aku…” “Sayang kamu…” ucap Ryan dengan wajah memerah padam, demikian dengan Hagia. Dengan berani, Ryan mencondongkan wajahnya ke depan, kemudian…

Syuuu… jedgarrr…

Bersamaan dengan meletusnya kembang api, ia mencium pipi kanan Hagia.

Hagiapun membalasnya dengan memeluk Ryan.

“Kamu tau? Rasa ini sedikit asing… ya karena aku belum pernah mengalami ini sebelumnya…” “tapi… aku gak mau rasa ini berakhir, aku ingin terus begini…” ucap Hagia pada Ryan.

.

.

Aku memandangnya, kilatan cahaya warna-warni dari pancaran kembang api memenuhi sebagian wajahnya.

Kugenggam erat gagang apel pemberiannya…

Aku sungguh sangat bersyukur atas momen ini, tapi entah mengapa… jauh, jauh di dalam diriku, menginginkan sesuatu yang lebih.

Entah apa sesuatu itu, tak terdefinisikan…

Sebagian dari kita mengatakan…

Aku menyukai hujan.’

Namun kita memakai payung saat berjalan di bawahnya…

Banyak dari kita mengatakan…

Aku menyukai matahari’

Tetapi kita malah berteduh saat mentari bersinar…

Atau

Aku menyukai angin’

Tapi lagi-lagi kita berusaha menghalanginya ketika angin berhembus, dengan menutup jendela atau menggunakan pakaian tebal…

Disaat itulah aku tersadar…

Bahwa memendam jauh lebih baik.

Karena banyak dari kita mendapatkan, setelah pernyataan…

Mendapatkan hasil sebaliknya

.

.

.

“Sampai jumpa dilain kesempatan… aku yakin kita pasti bertemu kembali
-Baydzofi Hardji-

CHAPTER 23 END
Next Chapter > Read Chapter 24:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-24/
Previous Chapter > Read Chapter 22:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-22/
List of Journey For Identity Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-list


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *