JOURNEY FOR IDENTITY CHAPTER 7 – TIME, NUMBER & ILLUSION

Journey For Identity
Penulis: Bid’ah Slayer


“Ughh… Huwaaahh..”

Akupun bangkit dari tidurku yang entah mengapa aku merasa tak nyenyak, sehingga aku terbangun saat ini. Aku mencoba melihat chronometer ku, rupanya sudah jam setengah dua belas malam, akupun mulai memperhatikan keadaan sekitar, keadaan kamar ini sepi, hanya ada aku seorang, beberapa saat aku isi dengan mencoba mengingat kejadian-kejadia sebelumaku terlelap.

“Oh ya, tadi Kak Ulfa pergi keluar, dan setelah itu aku tertidur, sekarang badan juga dah gak anget lagi, mudah-mudahan sekarang dah sehat” harapku seraya mencoba mencari sandal ruangan ini.

Plek, tap.. tap.. tap..

Aku kini berjalan keluar ruangan ini beralaskan sandal yang tipis,

Srakk..

Ku buka pintu lalu ku lihat ke arah kanan dan kiri

Hemm… sepi, mungkin dah pada tidur

Terbesit oleh ku kenapa aku tak merasa begitu lapar mengingat aku belum makan saat ini. Namun yang kurasakan saat ini hanya ingin berjalan-jalan, entah kemana, aku hanya berjalan menyusuri koridor yang remang-remang nan sepi ini.

Tap.. tap.. tap..

Lagi, terdengar langkah kaki ku sendiri. Berjalan tanpa tujuan kali ini, tak ada rasa takut yang menyelimuti ku. Selama perjalanan aku hanya mengamati dinding sekitar, jelas tak ada yang menarik untuk dipandang, mengingat sepanjang koridor ini semua dinding adalah sama bentuknya.

Tap.. tap.. tap..

Kini di depan ku tampak perempatan koridor, saat aku berjalan semakin mendekatinya, mulai tampak di sana sosok seseorang yang tengah berdiri sendirian. Sendirian di suasana sepi ini, tepat di tengah-tengah perempatan koridor itu.

Rambutnya hitam panjang terurai sehingga menutupi sebagian pipinya, tingginya hanya sebahuku, sepertinya ia lebih muda dariku. Lalu ku beranikan diri untuk menghampirinya seraya berkata…

“Umm.. Hai, kau baik-baik saja? siapa nama mu?” sapaku sekaligus menanyakan namanya.

“…”

Tiada jawaban sepatah katapun darinya, akupun mencoba pertanyaan lain

“Kamu, tinggal dimana? Kamu tersesat?”

“… aku.. tinggal .. disini..”

Kini ia menjawab pertanyaanku, namun cara menjawabnya dengan perkata, hemm.. tidak masalah bagiku. Mungkin ia dibilangi oleh orang tuanya yang sedang bekerja disini agar tak memberitahukan kamarnya pada orang asing.

Ohh mungkin maksudnya di koridor ini

“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”

Uhh.. gue kaya lagi ngintrogasi orang aja, kebanyakan nanya, tapi gak papa lah, siapa juga yang gak heran, hampir tengah malem begini liat anak kecil sendirian dikoridor?

“Tidak.. ada..”

Huh? Tidak ada? Gue masih gak yakin itu maksud sebenarnya, atau jangan-jangan.. dia benar-bener sedang melakukan hal itu karena mendengar petuah dari kulit kerang ajaib? Gak gak gak.. gue kebanyakan nonton kartun, jadi ngira yang enggak enggak…

Karena sepertinya dia gak nyaman karena terlalu banyak kutanyai, aku berniat untuk berpalingnya setelah pertanyaan terakhirku.

“Umm.. apa aku menggangu mu di sini?”

Pertanyaan itu kulontarkan karena khawatir aku mengganggunya

“…”

Namun sepertinya, tidak ada jawaban kali ini. Akupun hendak melanjutkan langkah kaki ku untuk berjalan-jalan, akan tetapi…

“ya.. kau.. sempat.. menggangguku..”

Ehh.. jadi gue bener bener mengusik dia ya? Yaudah deh minta maap terus pamit.

“Ohh begitu, kalau begitu aku mohon maaf” ucapku sambil menundukkan badan

“Kenapa,.. kenapa.. kamu.. berbuat tidak senonoh!” ucapnya langsung setelah aku meminta maaf.

Whuut? Di.. dia bilang gue melakukan hal tak senonoh? Jangan jangan dia tau kalo…

Belum sempat aku selesai berfikir dalam hati, ia langsung melanjutkan perkataannya

“Kau berlari sepanjang koridor.. hanya menggunakan handuk!” ucapnya dengan bagian pipi memerah disertai nada yang meninggi

Ehh? Ternyata itu?… Jangan jangan dia sempet ngeliat gue? Ato.. dia yang ada di lantai empat? Waduh..

Akupun mencoba menjelaskan maksudku atas kelakuanku sebelumnya

“Dengar dik, aku melakukan itu karena ada alasan yang kuat, yaitu untuk membantu orang yang berharga bagiku. kalau difikir secara waras, memang tidak sepatutnya ada orang yang berlari lari hanya menggunakan handuk saja, akupun pasti tak mau melakukan itu, namun rasa ingin melindungilah yang mendorong aku untuk melakukannya. Bahkan binatang yang tak berakal akan siap mati demi melindungi anaknya bukan?” jelasku sambil mengusap kepalanya

Setelah kujelaskan maksudku, sempat tak ada sepatah katapun yang keluar dari kami berdua selama beberapa detik,

Waduh? Jangan-jangan dia mulai ketakutan lagi, gue maen ngebelai kepala anak orang sembarangan sih, bisa bisa gue dianggap om om mesum entar..

lalu diapun mengucapkan sesuatu padaku

“Maukah…”

“Ya?…”

“Maukah kau berjalan-jalan melihatku?”

Ehh? Berjalan-jalan melihat dia?

Di tengah keherananku, ia mengucapkannya lagi

“Maukah kau berjalan-jalan melihatku?”

Umm.. mungkin maksudnya berjalan-jalan menemaniku kali ya? Namanya juga anak-anak, udah kemaleman ngomongnya jadi ngelantur.

“Oke deh…” ucapku disertai senyum ramah kepadanya. diapun langsung memalingkan wajahnya dari hadapanku. Namun tangannya langsung menggapai tanganku untuk mengajak bergandengan.

Kamipun berjalan bergandengan tangan menyusuri koridor dimalam hari seperti ini, aku sendiri juga tak tau mau kemana, aku hanya mengikuti langkahnya yang seakan menuntunku.

Sepanjang perjalanan dia banyak bercerita, dan itu membantah anggapanku tentangnya kalau kukira ia adalah anak yang pendiam. Ia bercerita mengenai pesawat ini tentunya, mulai dari bahan yang digunakan untuk membuat lantai koridor ini, material yang dipakai untuk tembok dan dia juga bercerita bahwa ia pernah rusak di sini (menunjukkan letak/lokasi).

Yah, mungkin yang ia maksud adalah ia pernah terluka di sini, jatuh atau terbentur barangkali. Sedikit lucu memang mendengarnya saat bercerita, beberapa kosa kata ia ganti seperti terluka menjadi rusak, diobati (saat ia terluka) menjadi reparasi, dan lain lain. Akupun hanya bisa membalasnya sebisaku, kadang disetai tawa kecil, aku tak mau bila aku tertawa lepas ia akan tersinggung. Bahasanya yang unik mungkin karena pekerjaan orangtuanya yang berprofesi sebagai ahli mekanik di pesawat ini.

Lama kami bejalan menyusuri panjangnya koridor, akhirnya ia berhenti, demikian juga aku. Kini kami berhenti yang sepertinya tengah berada di jalan menuju aula. Selang beberapa saat, iapun berbicara, namun perkataannya kali ini tak seperti biasanya…

“A.. aku.. aku akan rusak…. Huuu.. aku akan rusak…” ucapnya murung disertai tangisan, aku yang heranpun segera menanyakan apa maksudnya

“Ehh.. kamu kenapa? Apa yang terjadi” ucapku heran plus sedikit panik

“Akuu akan rusak… hiks..”

“Oke.. oke.. pertama-tama tenanglah dulu dik, tenangkan diri mu, sekarang kakak Tanya dulu, namamu siapa” ucapku menenangkannya sekaligus menanyakan namanya agar mudah dicari dimana ia tinggal.

“Na.. namaku.. huuu.. Nov.. Novi Nin Tysiksth…” ucapnya terputus-putus dengan isak tangisnya, namun aku yang kurang jelas mendengarnya mencoba mengulangi namanya yang ia sebutkan.

“Novin Intys Isk…?”

“Novi Nin Tysiksth..” ulangnya

“Ohh.. baiklah Novi Nin Tysiksth, nama kakak Baydzofi Hardji, panggil saja Dzofi ya…”

“Umm.. Dzofi..”

“Iya, kakak boleh manggil kamu Umm.. Novia? Boleh kakak panggil Novia?”

Setelah kucoba untuk memanggilnya dengan sebutan agar lebih akrab, ia yang semula dalam posisi berjongkok menundukkan kepalanya sambil menutupi tangisan matanya, kini mendongakkan kepalanya ke atas, ke arahku, seraya berkata…

“Novia?…” ucapnya dengan mata yang masih berkaca-kaca mengulangi nama sebutan yang aku berikan

“I.. iya.. emm kamu gak suka ya?” tanyaku ragu-ragu

“Suka kok, suka sekali…” ucapnya kini dengan senyuman.

Huft.. syukurlah dia berhenti nangis, kalo sampe ada yang bangun terus liat, gue bisa disangka yang enggak enggak sama anak dibawah umur ini…

Kini aku mengulurkan tanganku untuk membantunya berdiri, lalu kugiring ia untuk duduk disalah satu kursi panjang yang ada dikoridor ini.

“Umm.. jadi Novia, kenapa kamu ketakuta begitu, memangnya apa maksudmu kamu akan rusak? Siapa yang mau nyakitin kamu?”

“… aku juga gak tau… tapi Novia punya firasat, Novia mau dirusak sama mereka…” ucapnya kini tertunduk murung kembali

“Tenang Novia, siapa yang mau nyakitin kamu? Mereka siapa?… kakak masih gak faham..”

“Novia juga gak tau! Yang.. yang jelas, kalo Novia rusak, Dzofi.. juga yang lainnya dalam bahaya…” jawabnya dengan nada meninggi disertai kebingungan menyelimuti kata-katanya

Dia terluka, gue dan yang lainnya dalam bahaya?… sumpah, gue jadi makin bingung jadinya

Lalu akupun menanyakan apakah dia tinggal bersama seseorang, barangkali aku dapat mempertemukan mereka, sehingga ia tenang.

“Oke, baiklah Novia, kalo begitu tenanglah dulu, jangan panik. Kamu di sini tinggal sama siapa?”

“Umm.. Kak Ryu… sama Ryu-chan..”

Jadi nama kakaknya Ryu, gue kira sama orangtuanya dia disini, rupanya sama kakaknya doang.

“Yaudah, kakak mu pasti bakal melindungi kamu kok kalo kamu disakitin sama seseorang, dan izinkan kakak di sampingmu ini melindungimu juga, dan kalo kamu terluka, kakak punya temen ‘Perawat’ kok” ucapku disertai senyum sambil menepuk pundaknya agar ia tenang.

“Um” gumamnya singkat disertai anggukan plus senyuman.

“Baiklah kalo begitu, yuk kita kembali kekamar mu” ajakku kembali kelokasi semula yang mungkin kamarnya disekitar sana.

Lalu ia menjulurkan tangannya dan menjawab “Ayo”

Kamipun kembali bergandengan tangan dan menyusuri jalan yang kami lalui tadi. Didalam hati aku berfikir

tap.. tap.. tap..

Mungkin kalo gue punya adek cewe, begini ya rasanya, gandengan kemana-mana hehehe, lucu juga.

Tanpa sadar, bibir ku membentuk lekungan, senyuman kecil.

Huhf.. semoga perasaan bahagia ini bukan karena gue pedofil.

Tap.. tap.. Tap.. tap..

Di tengah perjalanan, sebenarnya masih ada yang mengganjal dihatiku, bagaimana dia mengetahui kalau dia akan dilukai? Terlebih siapa sebenarnya yang diaksud “mereka”. Karena rasa penasaranku sudah tak terbendung lagi, akupun memeberanikan diri untuk bertanya

“Umm.. Novia”

“Yaa?”

“Emm.. bagaimana kau tau kalau kau akan disakiti Novia?”

Saat pertanyaan itu terucap dari lisan ku, saat itu pula Novia langsung menghentikan langkahnya

“Dzofi yakin ingin tau?” tanyanya balik padaku

“Te.. tentu saja, itu kalau kau tak keberatan” jawabku yang entah manjadi agak sungkan

“Waktu dan angka…”

Ehh? Waktu dan angka, gue gak ngerti… apa maksudnya itu?

“Umm.. Novia, apa maksudmu Waktu dan Angka?” tanyaku yang masih bingung akan jawabannya

“Waktu dan Angka, Waktu dan Angka dari sisikulah yang memberitahukannya, mereka memberitahuku sebagian dari apa yang mereka tau, mereka memberitahuku sedikit dari apa yang mereka mau, waktu dan angka.. waktu dan angka… waktu dan angka..” ucap Novia tak henti hentinya menyebutkan kata “Waktu dan Angka”

A.. apa maksudnya ini? Ughh.. gue gak mengerti, mendengarkan ucapannya membuat gue terasa pusing… ke.. kepala gue terasa berat… Ughh..

Waktu dan Angka.. Waktu dan Angka… Waktu dan Angka..

Aghh.. kata itu seakan memenuhi kepala gue..

Entah, kata itu membuatku terasa pusing, akupun menutup kedua telingaku, namun nampaknya itu semua sia-sia, kedua telingaku sudah ku tutup, namun kata itu entah bagaimana masih jelas terdengar bagai tanpa penghalang

Waktu dan Angka.. Waktu dan Angka.. Waktu dan Angka…

Apa maksudnya! Stop! Hentikan! Stop This Madness!

Tak sengaja, akupun melihat kearah chronometerku, dan saat aku melihat kearah itu…

Mu.. MUSTAHIL! Waktunya… angkanya… ga.. gak berubah! Ta.. tadi gue berangkat pukul 11:34 kenapa sekarang masih angka yg sama? pasti ada sesuatu yang gak beres..

Novia.. semua ini pasti ada kaitannya, Novia pasti tau sesuatu…

“NOVIAA…”

.

Bheg!..

“Hah.. hah.. hah..”

Ini.. ini di ruang kesehatan. Kenapa gue malah ada di sini? Bukannya gue lagi di koridor? Hah.. hah.. ato jangan-jangan.. itu cuma mimpi?..

Wa.. Waktunya…

Perlahan, aku gerakkan kepala ku melihat ke arah chronometer ku

-:11.35:-

“Waktunya.. baru pindah ke 11.35… jadi ini cuma kebetulan mimpikah?.. tapi..”

Aku perlahan menatap kearah telapak tangan kiri ku,

“Hangat.. masih terasa hangat seperti telah menggenggam sesuatu, enggak, lebih tepatnya habis bergandengan tangan dengan seseorang”

Aku yang masih syok dengan perpindahan suasana dan tempat yang sekejap berganti, berusaha tetap berfikir realistis dan tenang, namun tetap saja, bayang- bayang yang ada di dalam kepalaku seakan membuat sekujur tubuhku menggigil dan pandanganku terpaku pada telapak tangan kiri ku saja.

Tenang FI, tenang, pasti semua ini ada jawabannya, semua ini pasti mengarah kesesuatu.. yang perlu lu lakuin saat ini coba rileks dan berusaha tidur kembali.

Ucapku dalam hati masih dalam terpaku memandang telapak tangan.

Huuh.. haahh.. huhh.. hahh..

Bagus, sekarang dah rileks, supaya tenang coba amati lingkungan sekitar…

Perlahan, ku tolehkan kepala ku ke kanan, tepat di sebelah ku terdapat sosok wanita berambut coklat, ia sedang tidur berbantalkan kedua lengannya yang ditekuk. dan disebelahnya, tepat di atas meja ada sekaleng susu berlogo beruang dan satu bungkus roti berbentuk reptil.

Akupun hanya sempat memandanginya beberapa saat, lalu kucoba merebahkan kepala ku diatas bantal seraya mencoba kembali untuk tidur…

Detik demi detik…

Menit demi menit..

Entah sudah berapa lama kucoba diriku untuk kembali tertidur, namun semua itu sia-sia, pejaman mataku sama sekali tidak membuatku terlelap. Akupun menolehkan kepalaku ke kanan, kini nampak wajah Kak Ulfa yang sedang tertidur, posisinya yang duduk di kursi dengan kedua lengannya yang ditaruh di atas kasur membuatku iba,

“…”

“Huft.. Kak Ulfa, pasti cape tidur dalam posisi itu”

Akupun mencoba bangkit dari kasur ku, sebisa mungkin tak menimbulkan suara ataupun goncangan yang dapat membangunkan dia.

Step..

“Kak Ulfa njagain aku sampe mbela belain tidur di sini, dia emang terlalu khawatiran.. umm ato jangan-jangan ‘urusan’ sama temen sekamarnya (Kak Istifa) masih belom kelar?”

Kini aku berusaha untuk membuatnya lebih nyaman, pertama-tama kupersiapkan posisi tanganku untuk membopongnya, lalu ku angkat dia dan kurebahkan tubuhnya di atas kasur…

Huphh… ughhhh..

Lumayan.. lumayan.. lumayan berat bro..

Happ..

“Fyuh.. beres..” ucapku sambil mengelap keringat dari dahi ku.

Aku kini meluruskan posisi kakinya, lalu keselimuti dia agar tetap hangat, setelah itu aku duduk di kursinya tadi. View dari posisinya ini rupanya hanya dapat memandangi orang yang sedang tertidur di depannya, yah.. mungkin ini yang dilakukannya selama manjagaku, ucapku dalam hati.

Wajahnya yang lemah terlelap dalam tidur, seakan menggambarkan ketenangan yang tulus

“Sudah lama sekali aku tak melihat pemandangan seperti ini” ucapku dengan lembut, khawatir akan membangunkannya. Memang, semenjak kami dewasa, kami jadi jarang melakukan aktivitas bersama, masing-masing dari kami sibuk dengan aktivitas sendiri, terlebih lagi saat ia berangkat ke Planet Novus dan aku hanya sendiri sejak saat itu.

Terlintas dalam fikiran ku kenangan masa lalu, saat kami melakukan segala aktivitas bersama. Saat dimana kami masih memiliki orangtua,

Awal kami bertemu…

/

Waktu itu, saat langit menunjukkan sisi ramah nan cerahnya, entah saat liburan musim semi atau panas. Aku berlibur ke rumah Kakek, saat itu adalah pertama kalinya (yang dapatku ingat) aku pergi ke sana. Daerah perbukitan yang jaraknya kurasa cukup jauh dari suasana perkotaan, padang rumput yang menyambutku saat hendak mencapai rumah Kakek, terasa ingatan itu menjadi segar kembali…

.

“Selamat siang…”

“Selamat siang… Oh Tuhan.. Rays? Kau kah itu?”

“Iya Ayah, aku pulang, sekaligus membawa keluarga berlibur ke sini”

“Ohh.. aku sangat senang, kau juga datang bersama keluarga mu kesini, ohh.. siapa anak laki-laki ini? Dia tamvan seperti ayahnya”

Lalu pria dewasa itu berbisik ke arah anak laki-laki itu

“Ayo nak, perkenalkan diri mu”

“Saya Baydzofi Hardji, lima tahun” ucap bocah itu sambil menunjukkan kelima jarinya

“Ohh.. anak pintar, jadi aku harus memanggilmu apa Baydzofi Hardji?” Tanya kembali Pria tua itu

“Panggil aku Dzofi”

“Baiklah Dzofi, karena kau anak pintar, aku mempunyai hadiah untuk mu” lalu Pria tua itu menghampiri lemari, dan membuka salah satu lacinya sambil mengeluarkan sesuatu

“Ini ambillah, kau pasti menyukainya” ucapnya seraya menjulurkan tangan yang menggenggam permen lollipop

Anak lelaki itu tampak ragu, lalu ia menatap kearah Pria dewasa di sampingnya. “Tidak apa, Ambillah” ucap Pria itu sambil mengusap rambut anak itu. Lalu anak itupun menerima pemberian Pria Tua itu

“Ehh.. ayo bilang apa” ucap Wanita yang berada di belakangnya

“Terimakasih”

“Wahh… kalau begitu, izinkan aku memperkenalkan diri, nama ku Yosuro Hardji” ucap Pria Tua itu

“Yosuro.. Hardji… kok nama kita sama?” Tanya bocah itu heran

“Iya, karena aku ini kakek mu hehehe” jelas Pria Tua itu dengan ramah

“Kakek?”

“Iya, Ayah dari Ayah dipanggilnya Kakek” timpal Pria Dewasa yang berada di sampingnya

“Kok kulitnya kendor?” seru bocah itu polos

-_-“

“Ehh.. karena kakek kan udah tua sayang, nanti Ayah juga begitu, kamupun juga hehehe” jelas Pria di sebelahnya, kemudian ia melanjutkan “Ayah, tadi kau bilang kalau “Aku juga membawa keluarga ke sini” apa itu artinya Kakak juga datang?”

“Haha.. iya, kau benar, Fath datang dari tiga hari yang lalu, sekarang ia dan keluarganya sedang pergi ke danau.

Mari.. rapihkan barang-barang mu dulu, masukkan itu ke kamar mu nak”

“Baiklah Yah. Ayo Sayang, Dzofi, kita bawa barang-barang ini ke kamar atas…”

Setelah mereka membereskan barang-barang mereka. Merekapun berkumpul dan menghabiskan waktu bersama sang pemilik rumah di ruang keluarga, saling bercerita, canda dan tawa, nostalgia, semua mereka lakukan untuk melepas ikatan kerinduan.

-:Sore hari, menjelang makan malam:-

Saat Istri dari Pria dewasa itu sedang menyiapkan makan malam, dan para lelaki sedang berduduk-duduk sambil membicarakan sesuatu.

Tok tok tok…

“Kami pulang”

“Oh, Fath, tebak siapa yang datang?” ujar Pria tua itu dari dalam rumah

“Ohh.. ternyata adik ku, apa kabar Dik? Apa kabar Rena?” sapa Pria berkumis tipis yang baru datang itu pada Pria yang ia sebut adik dan istrinya.

“Ohh.. siapa bocah lelaki ini? Apa dia anak mu?” timpal Fath menanyakan anak laki-laki yang bersembunyi dibelakang Rays

“ya , tentu saja”

“Kalau begitu, biarkan anak ku bermain dengan anak mu, dia pasti senang dapat teman main baru hahaha..

Ulfa, ayo beri salam”

Lalu majulah anak perempuan berambut coklat yang dikuncir ponytail,

“Selamat sore, nama ku Ulfa Hardji, kalian bisa memanggilku Ulfa, semoga diliburan kali ini kita bisa menghabiskan waktu dengan bergembira bersama, mohon bantuannya..” ucap wanita itu diakhiri dengan memberi salam menunduk

“Wah, kamu pintar sekali, berapa umur mu?” Tanya Rays seraya menyetarakan tingginya dengan gadis itu dengan berjongkok

“Enam”

“Enam? Kak, bukannya ia dan anak ku cuma berbeda 10 bulan?” Tanya ia ke Kakaknya

“Ya, namun dia tetap ngotot di sebut sebagai anak berusia enam tahun, aku tak bisa berbuat apa-apa hehehe” jawab Fath

“Iya, dan sepertinya kami mau tak mau akan menyekolahkannya tahun ajaran besok” timpal istrinya

“Ohh.. baiklah Ulfa, kalau begitu kau punya teman baru sekarang. Dzofi, ayo sini nak, perkenalkan dirimu”

Disebut namanya untuk maju, namun lelaki itu sepertinya enggan

“Ayolah Dzofi, tidak usah malu, dia cantik lho”

“…”

“Ayo dong, kamu kan cowo, ayo”

Setelah mendapat bujukan, akhirnya anak itupun maju dengan malu-malu

“Namaku Bay.. Baydzofi.. Hardji.. usiaku.. lima tahun” ucapnya terbata-bata, namun tetap menunjukkan tangannya beserta lima jari mungil yang ia renggangkan.

Namun tiba-tiba…

Plek..

Gadis kecil itu membalas perkenalannya dengan menjulurkan tangannya juga, sehingga tangan mereka saling bersentuhan. “Kamu imut deh, ayo kita main bareng” ajak gadis itu. Namun bocah itu malu mendengar reaksi dari gadis itu, iapun menoleh ke ayahnya

“Ayahh..”

“Hehehe.. mainlah nak” jawab sang ayah sambil tersenyum melihatkan giginya

Whuss..

Drap.. drap.. drap..

Gadis itupun menarik bocah itu untuk bermain.

“Hahaha… anakmu mirip seperti ibunya, namun sikapnya jelas sepertimu Kak, kuharap tidak semuanya hahaha” ujar Rays

“Haha.. kau benar.. hemm.. apa maksud mu?”

Menjelang makan malam, kedua anak itu terus bermain bersama.

“Rays, makan malam sudah siap, panggil anak-anak untuk segera makan” ucap Rena

“Baik Sayang, Dzo..”

Belum selesai Rays memanggil kedua anak itu, tiba-tiba

“HUWAAA… AYAHH..”

Dzofi berlari sambil sambil berteriak histeris

“Ada apa nak?!”

“Itu.. itu..” ucap bocah itu sambil menunjuk ke arah gadis yang berjalan menyusulnya

“Ada apa dengan Ulfa? Ulfa apa yang terjadi?”

“Itu Om, aku kan mau ngasih batu cantik yang ku temui di danau hari ini ke Dzofi, tapi dengan satu syarat…” ucapnya terputus

“Syaratnya apa Ulfa?”

“Dia harus ku cium dulu… habis dia imut sih Om, hehe..” ucap gadis itu dengan muka yang sedikit memerah

Mendengar alasan yang diberikannya, membuat orang dewasa di seluruh ruangan itu tertawa

“Hahaha.. kau terlalu agresif Ulfa, bukan begitu caranya haha” ujar Fath

“Rupanya anak ku terlalu malu untuk menerima ciuman pertamanya haha..” seru Rays

“Hoho.. kedua Cucu ku ternyata mempunyai sifat yang berlawanan, ini sungguh menarik haha” ucap Pria yang paling tua di ruangan itu.

“Yaudah Dzofi nanti kita main lagi ya..”

“Dzofii..”

/

“Dzofi!”

“A..ah Kak Ulfa.. a.. ada apa?…”

“Bangun Dzofi! Sudah pagi tau!” ucapnya sambil menarik-narik pipi ku

“A.. aww.. iya iya, aku dah bangun kok” jawabku sambil menepis tangannya

“Yaudah, kalo begitu cepet kamu cuci muka trus ke ruang makan, tapi sebelum itu, bawa dulu tuh pakean kamu ke kamarmu”

“Ehh.. iya iya..”

Akupun mengangkat satu stel pakeanku yang kemarin Kak Ulfa pakai

“Eii.. obatnya gak sekalian?” sahut Kak Ulfa

“Umm.. boleh deh, tapi yang Kapsul item aja, yang Paracetamol gak usah, aku dah gak panas”

“Yaudah, tangkep nih” ucapnya sambil melempar botol berisi obat yang kuminta

“Hap, oke makasih ya Kak, itu paracetamolnya Kakak simpen aja, bye..” ucapku sambil membuka pintu mengunakan kaki, dan melangkah pergi

Drap.. drap.. drap..

*Di ruang kesehatan*

Sambil merapihkan kasur dan selimut, ia berkata

“Huh.. anak baik.. gak berubah..”

Setelah ia merapihkan itu, ia menghampiri meja dan bermaksud untuk menyimpan obat, namun tiba-tiba…

“Remasan Pagi~” *Nyutt.. *Nyutt..

Kejut wanita sebayanya dari belakang sekaligus meremas dadanya.

“Aaa.. Ahh.. A.. apa yang kau lakukan Istifa!” bentak wanita itu

“Ahh.. masa kamu gak tau, kan harus sering diremas biar tambah gede*1 hihi..”

“Huh! Kamu datang kesini dan ngelakuin itu kaya gak punya salah yah” ucapnya angkuh sambil membuang muka

“Ohh.. yang kemarin, yang lalu biarkanlah berlalu, sekarangkan hari baru hihi..” jawab Istifa dengan tawa kecil

Namun, seperti tak mempedulikan jawaban temannya itu, ia hanya membereskan obat yang akan ia bawa tanpa menanggapi sepatah katapun.

“Ohh.. obat itu, obat penurun panas, kau tahu, tadi aku kesini melihat Dzofi sepertinya udah sehat kembali ya”

“…”

“Namun aku benar-benar gak faham lho, perasaan saat aku mau nyuapin dia obat, dia gak mau ‘minum’ itu. Dan setelahnyapun gak ada yang ngasih obat kedia, se-Kehadiranku lho.

Mengingat waktu itu kamukan ngejar-ngejar aku”

“…”

“Tapi…

aku emang gak ‘hadir’ saat itu terjadi, tapi aku melihatnya…”

“!”

“Saat seorang wanita membawakannya makanan, namun dia sudah tertidur, lalu wanita itupun menyuapinya obat”

!

“Tidak.. bukan dengan tangan, melainkan dengan bi…” *2

*Koridor*

Drap.. drap.. drap..

Tok.. tok.. tok..

“Woii.. bangun!”

Tok.. tok.. tok..

“Adan! Ryan! Bangun oii! Bukain pintunya” ucapku memanggil nama mereka

“Iya iya!…”

Ceklek..

Adan-pun membukakan aku pintu,

“Kenapa gak pake kunci lu sendiri aja sih! Ngerepotin!” ucapnya sambil mengucek-ucek mata

“Hehe.. sory, konci gue ketinggalan di situ” jawabku sambil menujuk kearah laci meja.

Lalu Adanpun kembali ke kasur, dan merehbahkan tubuhnya

“Ehh.. lu ngapain tidur lagi, sebentar lagi sarapan coeg!”

“Bodo.. nanti gue mandi terakhir aja, abis lu mandi suruh Ryan aja”

Akupun langsung memasuki kamar dan bersiap untuk mandi.

-:10 menit kemudian:-

“Ahh.. akhirnya selesai juga mandi sekaligus nyuci pakean ala Dzofi hehe..”

Pakaian yang sudah ku cuci aku gantung di dalam kamar mandi, lalu pakaian yang dipinjamkan Kak Istifa aku simpan agar nanti malam bisa kupakai kembali.

“Oii.. Ryan, bangun” ucapku sambil mencipratkan air dari tubuh ku yang masih basah

“Ughh.. ada apaan sih?”

“Dah cepet bangun, sebentar lagi nyarap. nih…” jawabku sambil menyerahkan kacamata yang ia cari-cari

“Ohh.. iya, iya” ujarnya sambil duduk, ‘mengumpulkan nyawa’

“yaudah, cepet mandi. Gue ke sana duluan ya”

Akupun bergegas memakai pakaian lalu berjalan menuju ruang makan dihari keempat ini.

Tap.. tap.. tap..

Sesampainya di ruang makan, aku melihat rupanya disini masih belum ramai, dan di depan nampak Antho, Angga dan Chandra sedang sarapan bersama. Akupun antre mengambil jatah sarapan lalu menghampiri mereka.

“Alo~ bisa kali sarapan bareng”

“Oh.. ayo sini Fi, sebelah gue” sambut Angga

“Oke makasih. Ehh.. lagi ngomongin apa nih?” tanyaku heran

“Ini, gue semalem tiba-tiba aja kaya ngerasain tekanan force di pesawat ini, bahkan gak cuma gue doang, Chandra-pun juga” ucap Antho

“He’em” angguk Chandra mengiyakan perkataan Antho

“Gak lama sih, sekitar satu menitan doang” lanjut Antho

Jangan-jangan ini ada kaitannya dengan kejadian semalem?!

“Emm.. malemnya jam berapa?” tanyaku memastikan

“sekitar setengah 12 malem Fi” jawab Antho

Dheg!

Pasti! Pasti ini ada kaitannya!

“Umm.. begini..”

Lalu sepanjang sarapan, aku menceritakan semua kejadian ganjil malam itu pada mereka.

“Ohh begitu…” tanggap Antho, lalu dia melanjutkan “Umm.. kalo gak salah, gadis itu bilang, Waktu dan Angka. Kayanya agak familiar dari apa yang gue tahu deh, tapi gue lupa hubungannya sama apa…”

“Umm.. Angka.. bu.. bukankah itu agak mirip dengan bangsa Cora yang menyembah DECEM ya?” timpal Chandra

“Apa maksud mu Chan?” tanyaku masih belum faham

“Angka, Corite berkeyakinan bahwa angka adalah sesuatu yang mempunyai arti dan kekuatan spiritual yang tinggi, angka dapat menuntun mereka pada DECEM yang memberi kekuatan, ilmu dan lain-lain” jelas Chandra

“Jadi maksud mu, Angka yang diucapkan oleh gadis itu bukanlah sekedar bilangan, namun memang mempunyai kekuatan supernatural yang dapat memberi dia suatu pengetahuan? Begitu? ” koreksiku

“Yap” angguknya

“Tapi, bukankah dia bilang Angka dan Waktu? Jadi waktu pasti ada kaitannya juga” timpal Angga yang sedari tadi memperhatikan

“Coba kau ingat Dzofi, kira-kira jam berapa semua itu terjadi?” Tanya Antho

“Jam setengah 12 malam, bertepatan saat kalian yang merasakan kekuatan force di pesawat ini kurasa, namun tepatnya pukul 11.34” jawabku

“Hemm.. 11.34, 1134, 1 1 3 4”

Kami semua yang berada di meja inipun berfikir

“AHA!” ucap Angga tiba-tiba yang membuat kami semua kaget.

“Ada apa Ngga?”

“Bukankah gadis itu bilang “Waktu dan Angka dari sisinya lah yang memberitunya” iya kan?”

“Yap, Lalu?” Tanya kami masih tak faham

“Jadi harusnya kau melihatnya seperti ini” ucap Angga sambil memutar tangannya, sehingga menunjukkan angka yang ditunjukkan chronometernya terbalik.

“…” kami semua berfikir saat melihat angka yang terbalik itu

AH! Kalo dibalik, kaya tulisan.. manusia bumi kuno!

Menyadari hal itu, akupun mengejanya dengan suara pelan

“h.. E.. l.. l..”

“Apa katamu Dzofi?” Tanya yang lainnya

“hEll, aku tau ucapannya namun aku tak tau maksudnya apa”

Lalu tiba-tiba seseorang menepuk pundak ku dari belakang dan berkata

“Dibacanya Hell, itu merupakan bahasa manusia bumi kuno lho. artinya neraka, tempat terakhir dari kehidupan, yang mana siksaan, kehancuran dan segala macam keburukan menetap selamanya.

Ehh lho kok…”

*Doeng

Mendengar penjelasan Ryan yang tiba-tiba muncul, aku dan yang lainnya langsung syok dan putus semangat karena mengetahui sepertinya kehancuran nyata yang menungu di depan kami.

“Ehh.. kok pada suram begini?” Tanya Ryan heran

“Huh.. sepertinya mimpi mu bukan sekedar mimpi Dzofi” ucap Angga

“Sepertinya sesuatu yang buruk memang akan terjadi..” timpal Chandra

“Ayolah teman-teman, apa yang kalian bicarakan! Beri tau aku” seru Ryan masih belum faham akan kondisi kami, dan juga kondisi yang akan datang. Lalu aku menjelaskan tentang apa yang kami bicarakan.

“Ayolah teman-teman, kalau memang benar akan terjadi, bukankan disana ada kata “Akan” jadi tugas kitalah untuk mencegahnya, untuk menyelamatkan seisi pesawat ini agar sampai di Planet Novus”

“Ya, kau benar Ryan, namun apa yang harus sekumpulan prajurit yang belum resmi ini lakukan? Memberitahukannya pada seluruh isi pesawat ini?” ujar Angga.

“Gak! Bila itu dilakukan, maka akan muncul kerusuhan, ataupun keputusasaan dari kepanikan missal. Kita tak bisa melakukan itu.” jawabku

Untuk beberapa saat, kami semua terdiam, lalu aku usulkan suatu gagasan yang memecah keheningan ini.

“Baiklah! Memang sudah menjadi tugas kita sejak kita mengetahui masa depan. Jadi, mari kita bagi menjadi dua kelompok, kelompok satu, Aku, Ryan, dan Antho. Akan pergi ke ruang pilot dan menjelaskan semuanya, termasuk tekanan force yang dirasakan Antho.

Kelompok dua, Angga dan Chandra, tolong ke ruang kepala kesehatan, dan minta mereka beserta seluruh para teknis tenaga kesehatan bersiap, bila mereka tak percaya, setidaknya mereka menjadi waspada sejak diingatkan. Rencana lebih lanjut tergantung kapten pesawat ini! Jadi ayo kita bergerak!” ucapku memberi intruksi lalu menjulurkan tangan ku.

Merekapun ikut menjulurkan tangannya juga

“SATU DUA TIGA… UWOO!” ucap kami bersamaan

*Sriing… (⌐.⌐”) *krik..Krik..Krik..

Semua orang di ruang makan ini langsung melihat kearah kami

“Aa.. umm.. yaudah, kita langsung berangkat aja, go go go…”

Drap.. drap.. drap…

Kamipun langsung berlari menuju tempat yang direncanakan.

*Lantai 7, pusat kendali pesawat*

“Hah.. hah.. ayo, sebentar lagi kita hampir sampai.. pintunya ada di depan” ucapku memberi semangat sambil terengah-engah.

Saat kami sudah di depan pintu, belum sempat aku memegang gagang pintu, pintu itupun terbuka.

Ceklek…

Tampak seseorang keluar dari ruang pusat kendali sambil berjalan mundur seraya berkata dengan orang di dalamnya “Ah, iya ketua, saya akan melakukannya… pokoknya tidak akan ada yang boleh mengganggu rapat. baik”

Brug!..

“Aww..” diapun memalingkan badannya kehadapan kami sambil berkata “Aduh! Apa yang akan kalian lakukan di sini bocah?!”

“Eh! Paman yang waktu itu di ruang juri kan?” balasku karena kami pernah bertemu

“Oh, kau yang waktu itu harusnya di Black list kan? Ada keperluan apa?”

“Begini paman, kami harus memberi tau sesuatu pada kapten kapal ini” terangku, namun dia langsung membalas

“Tidak bisa! Sekarang kapten dan para petinggi kru sedang rapat. Kalian tidak bisa mengganggu mereka” ucapnya dengan nada tinggi

“Ayolah Paman, informasi ini sangat penting! Menyangkut hidup orang banyak!” bujukku sedikit memaksa

“Tidak bisa ya tidak bisa! Aku juga ditolak oleh mereka bocah” ucapnya mulai kesal.

Kalau dipikir memang ada benarnya juga paman itu, karena ia sedang membawa file yang sepertinya belum dibuka oleh para petinggi.

“Bagaimana ini Dzofi?” Tanya Antho. Akupun hanya diam, tak tau apa yang harus aku lakukan.

“Bagaimana kalau kita beri tau saja paman itu?” usul Angga

“Ya, mungkin kau ada benarnya” balasku. Lalu akupun memanggil Paman tadi yang sedang berjalan meninggalkan kami.

“Paman.. Paman Rolf, tunggu kami” ucapku yang kebetulan masih mengingat namanya. Iapun berhenti setelah aku memanggilnya.

“Ada apa lagi?!”

“Apakah Paman nanti akan memasuki ruangan itu?” tanyaku

“Iya, namun tak pasti kapan, mungkin siang atau sore nanti, namun bisa juga besok. Tergantung situasinya”

“Kalau begitu ada yang mau kami sampaikan…”

Akupun menceritakan semuanya padanya, termasuk hipotesis yang berhasil kami temukan mengenai angka yang dibalik.

“Heh?! Yang benar saja, itu hanya mimpi mu nak, tidak ada artinya. Sudahlah, kau sudah membuang waktu ku” bantah Paman Rolf sambil melangkahkan kakinya untuk pergi,

Namun sebelum ia pergi, aku menarik bajunya “Tapi disini ada seorang yang bernama Ryu kan?”

Iapun menghentikan langkahnya “Ya, ada seorang di sini bernama Ryu, dia seorang teknisi pesawat ini”

“Jadi kanapa Paman tak percaya dengan kami?” Tanya Angga

“Kenapa? Karena nama gadis yang kau sebutkan itu adalah nama pesawat ini! Novi Nin Tysiksth = Nov Ninety Sixth = Nov-96th”

“Ta.. tapi.. demi Tuhan aku berani bersumpah, aku benar-benar bertemu dengannya” ucapku meyainkannya.

Angga-pun menepuk pundak ku seraya berkata

“Sudahlah Dzofi, kurasa ia benar, mungkin kau hanya bermimpi mengingat kau kan saat itu sedang sakit”

Apa? Te.. teman-teman jadi gak mempercayai gue, aa.. apa gue udah dianggap gila oleh mereka?! tapi Sebelumnya mereka percaya.

“Tapi.. Antho! Bukankah kau merasakan tekanan force itu!” tanyaku sedikit membentak untuk meyakinkan dia, tidak! Lebih tepatnya meyakinkan diriku sendiri.

“Emm.. bagaimana ya.. aku merasakannya sih” jawabnya, namun ia tak memandangku saat bicara.

Teman-teman, teman-teman… Kalian… membuat gue kecewa…

ENGGAK! Gue lah yang membuat kalian kecewa!

Aku dan Mimpi bodoh ku…

Perlahan, kusingkirkan tangan Angga dari pundak ku, dan aku berjalan meninggalkan mereka, pergi tanpa sepatah katapun…

.

*Koridor*

*Setelah Dzofi turun menggunakan lift*

“Aku merasa bersalah padanya” ucap pria berambut biru

“Aku juga, apakah kita harus menyusulnya” balas pria sebayanya yang bertubuh lebih kekar.

“Ayo..”

Namun saat mereka hendak melangkahkan kaki, kedua pundak mereka ditahan dari belakang oleh tangan orang dewasa

“Tidak usah menyusul dia” ucap pria berambut coklat sambil menyalakan sebatang rokok

“Ke.. kenapa?” Tanya mereka

“Aku tau dia tak akan berbuat yang macam-macam, tak perlu khawatir saat ini. Sekarang aku mau Tanya pada kalian, apakah masih ada teman kalian yang melakukan sesuatu semacam kalian saat ini?”

“Ya, ada. Mereka sekarang menuju ruang kepala kesehatan dan memberitahukan agar selalu bersiap, karena keadaan akan genting kedepannya” jelas laki-laki berambut biru.

“Oh begitu, baiklah, tolong sekitar jam 10 besok kalian datang kesini bersama teman kalian yang datang ke ruang kesehatan”

“Baiklah”

“Nah.. sekarang kalian lihat apa? Cepat sana pergi berlatih, kalian tak boleh bermalas-malasan! Huff…” usir pria itu sekaligus meniupkan asap rokok dari mulutnya

“Ughh.. Brengsek.. akan ku bereskan dia” gumam pemuda bertubuh kekar

“Sabar Ngga, sabar.. ayo kita segera pergi dari sini” timpal temannya.

Mereka berduapun berlalu.

“Huff.. tak usah kusuruh datang, kau pasti akan datang bocah Black List” gumamnya sendiri sambil menghembuskan asap rokok

“… hahaha aku hanya bercanda nak, tidak kusangka, aku masih bisa bertemu bocah lugu seperti mu haha”
-Luckman Judge- Ch. 2

CHAPTER 7 END.
Next Chapter > Read Chapter 8:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-8/
Previous Chapter > Read Chapter 6:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-6/
List of Journey For Identity Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/jfi-chapter-list


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *