LAKE CHAPTER 11 – FIRST ENCOUNTER FAITHFUL ENCOUNTER

Lake
Penulis: Mie Rebus
Kabut yang ditarik kembali oleh Ulkatoruk jadi satu-satunya perlindungan bagi skuad kami. Dibaliknya, 10 prajurit Cora udah menunggu buat menyerang. Jumlah skuad kami yang bisa melawan cuma 6 orang akibat Rhenesagg hilang entah ke mana dan tumbangnya Samus. Jelas kesempatan buat menang kecil banget, belum lagi Namaste memusatkan perhatian untuk pulihkan luka Samus. Bisa-bisa 5 lawan 10 ini sih.
“Kita harus balik ke Wharf. Bisa mati konyol kalo melawan di sini.” Sirvat kasih solusi paling rasional pada keadaan terjepit. Tapi, gimana caranya?
“Posisi kita terlalu jauh dari Wharf, mereka pasti bisa mengejar pas keluar kabut. Jangan lupa, kita pun harus gotong Samus.” Jizzkar menimpali.
“Satu-satunya cara, gw akan kontak Hevoy dan minta dia jemput pake pesawat.” Ujar Sirvat sambil menyembunyikan ketegangan di balik suaranya. “Hevoy, masuk Hevoy! Lu dengar ga?!”
“… Apa maksud lu ganggu tidur siang, HAH?! Kami disergap! Seorang anggota terluka! Butuh penjemputan! Koordinatnya; 112° – 57 – 18; 07° – 37 – 19! Bawa pesawat rongsok lu kemari sebelum gw ke sana, dan menghajar muka lu!” Skuad leader kami berkata setengah teriak kepada pilot pesawat transport melalui komunikator.
Kesal pas kita lagi menghadapi situasi hidup-mati, eh kawannya malah enak-enakan santai di tempat aman. “Sekarang, kita harus bertahan sampe jemputan tiba!” Ia melanjutkan.
Wah kayaknya ini bakal jadi pertarungan pertama gw sebagai Sentinel. Dan langsung lawan Corite! Salah langkah bisa tamat riwayat gw. Tenang, tenang. Gw harus tenang. Gw hirup udara dingin Ether sebanyak-banyaknya biar santai, biar otot-otot ga tegang.
“SEKARANG, ULKATORUK!” teriak Sirvat pada Holy Chandra di depannya. Dia minta Ulkatoruk buat menghilangkan kabut kaya tadi. Begitu kabut hilang, terjang siapapun yang bukan Bellato! Begitu perintahnya.
Ulkatoruk menyalurkan Force ke tongkatnya, dan mengumpulkan energi angin di sekitar dia. Lalu Holy Chandra itu berputar sambil merapal mantra, “TEMPEST!”
Energi Angin yang terkumpul di ujung tongkatnya berhembus kuat ke segala arah, dan membuat semua kabut kali ini benar-benar hilang. Hembusan angin bikin para Cora sedikit terdorong ke belakang. Mungkin mereka ga menyangka gerakan tersebut bakal dilakukan.
“PASSIVE SURGE!” Sebelum kita menyerang, Ulkatoruk merapal mantra Force air yang bikin darah kita bergejolak! Widiiih gw bisa merasakan tiap bagian tubuh gw serasa lebih ringan dan bisa bergerak lebih cepat.
Ga pake lama, kami segera menerjang ke Cora terdekat dengan kecepatan ga normal. Gw cabut keluar pedang pemberian Maximus Gatan yang gw simpan di inventori 4 dimensi di paha kiri dan kanan. Sasaran pertama gw adalah Cora yang pake perisai. Aduuuh! Black Knight!
Tusukan pertama gw beradu dengan perisainya. Tangan Si Cora yang lagi pegang pedang ga tinggal diam begitu gw masuk jarak serang. Dia balas layangkan satu tebasan menyilang yang sukses gw hindari dengan lompat ke samping, tapi… ebuset!
Sebuah panah melayang dari belakang Si Black Knight dan hampir kena telak kepala gw. Kalo aja tadi ga miringkan kepala, bolong pasti. Untungnya panah tadi cuma menggores pipi gw sedikit.
“Heyy! This guy is my prey!“
“Don’t act so cocky, you might actually die. Haha!“
Mereka berdiskusi dengan bahasa yang ga gw pahami. Setelah itu, kembali bersiap buat lawan gw. Ugh, satu aja belum tentu menang, ini lagi lawan dua. Apa ga bisa lebih sial lagi?
Si Black Knight maju ke arah gw, lalu sekali lagi melancarkan serangannya. Dari jarak sedekat ini, ga mungkin menghindar. Terpaksa gw tahan pake kedua pedang.
Astaga! Tenaganya kuat banget! Tangan gw sampe gemetar pas adu kekuatan. Padahal gw menahan tebasannya pake dua tangan. Disusul kombo dua tebasan horizontal dan vertikal bertenaga, faak! Lagi-lagi bikin tangan gw sakit menangkisnya, diakhiri satu tusukan ke perut. Ga berani adu tenaga, gw berguling karena tadi dibikin berlutut pas menangkis sabetan vertikalnya.
Ahh! Gw lupa akan Adventurer tadi! Dia udah bidik pake panahnya! Sepersekian detik dia melepas banyak anak panah dalam sekali tembak. Karena kelengahan sedikit aja, gw telat bereaksi. 7 panah meluncur cepat, gw coba lindungi kepala dengan angkat sebelah lengan sembari tutup mata, bersiap hadapi sakit yang bakal terasa.
“PALLADIUM OF THE ICEWRACK!” Tetiba, dinding es bangkit dari bawah permukaan salju di antara gw dan jalur laju panah-panah itu. Melindungi tubuh gw dengan kokoh. Ulkatoruk! Cinta deh pada lu!
“Lake! Urus Black Knightnya!” Dia berseru. “Biar gw lawan Adventurer ini,” percaya diri juga anak ini. Okelaaaah!
“Ehh?!”
CRASSHH!
Ugghh! Bahu gw teriris oleh serangan mendadak Si Black Knight. Rupamya dia pengen mengajari ga boleh alihkan perhatian dari lawan kalo lagi bertarung. Luka gw ga terlalu dalam, tapi tetap lumayan perih. Untung armor Sentinel lebih tebal dari Ranger.
Abis sukses melukai bahu gw, dia tersenyum sadis. Dan… menjilat darah gw yang tersisa di pedang, lalu ditelan! Anjreet! Maniak! Psikopat! Kembali dia ambil inisiatif serangan. Dengan brutal mengayunkan pedangnya, sebisa mungkin gw hindari. Karena kondisi bahu yang terluka, genggaman gw jadi terasa melemah.
Pedang di kedua tangan gw membelah udara dari tanah ke langit, berusaha membalas serangan si Black Knight di tengah gencar gerakan penuh aura membunuh mengarah ke tubuh gw.
Di tengah gerak pedangnya, dia melompat tinggi! Gilee bawa perisai gitu masih bisa lompat?! Dengan segenap tenaga, dia menghantam lawan dari atas! Gw silangkan kedua pedang di atas kepala buat menangkis. Genggaman yang tadi melemah, gw paksakan biar kuat lagi.
Benturan ga terhindarkan, “FAAK!”
Bah, salah banget! Tenaga yang luar biasa! Tekanannya bikin kaki gw sampe melesak beberapa senti ke dalam tanah. Bahu gw serasa pindah sendi! Yakin, kalo aja ga pake Twin Razer Blade, pedang biasa pasti udah patah akibat serangan barusan. Belum sadar sepenuhnya dari syok, dia menabrak gw pake perisai begitu kakinya kembali menginjak tanah.
Alhasil, tubuh kecil ini terlempar beberapa meter akibat ditabrak perisai yang ukurannya berkali lipat dari badan gw sendiri. Gw berusaha bangkit secepatnya, sebab orang gila ini ga kasih waktu buat napas sedikit pun. Shite! Kalo itu yang lu mau, sini maju!
Gw berdiri menyamping, kuda-kuda gw perkuat sekaligus bikin serendah mungkin kayak ajaran Maximus Gatan. Kedua ujung pedang terarah ke depan, ke arah Black Knight yang lagi berlari dengan kecepatan tinggi ke gw.
Pedang Si Black Knight udah bersiap menusuk leher. Sebenarnya pada pertarungan ini, gw kurang diuntungkan. Lawan lebih tinggi dari gw, artinya serangan harus mengarah sedikit ke atas biar bisa kena.
Tapi, ini bisa gw jadikan senjata utama! Harus bisa, lebih tepatnya! Gw menunduk buat hindari serangannya seraya mendekat cepat. Pedangnya cuma membelah rambut abu-abu. Seperti kata Maximus Gatan, “Intinya adalah momentum. Kalo momentum ga kunjung datang, ciptakan aja sendiri.”
Si Corite kaget setengah mati pas gw tepis tangannya ke atas. Membuka celah kecil di pertahanan ga tertembus itu.
Salto vertikal seraya 3 kali tebasan cepat gw lancarkan. Sialnya, kaki gw keserimpet sedikit. “Ah! Kutu loncat!” Diantara ketidaksempurnaan itu, dia sempat lompat mundur, sehingga cuma satu serangan yang masuk, meninggalkan segaris luka membujur di dadanya.
Kami terdiam, baru kemudian sama-sama menekan luka akibat bertukar sabetan tadi. Darah dari luka bahu gw mulai merembes basahi Armor. Sama hal dengan luka di dada Black Knight itu.
Ekspresinya malah keliatan makin senang dilukai begitu. Seringai jahat muncul, dan dia meracau ga jelas. “Finally, an opponent worth to kill! Almighty Lord DECEM! Thank you!“
Jarak antara kita kurang dari 10 meter, terus dia tutup mata sembari atur pernapasan. Weetsss enak aja lu! Gw ga akan biarkan istirahat, sama kaya yang lu lakukan tadi! Segenap kekuatan, gw pusatkan pada betis dan paha buat mendorong tubuh secepat mungkin kearahnya.
“HOOOOOAAAA!” Tau-tau dia meraung keras. Dari tubuhnya keluar tekanan force yang besar. Jauh lebih besar dari sebelumnya. Auranya meledak seketika. Deg! Deg! Perasaan gelisah kembali menghantui. Untuk kesekian kalinya, dia ayunkan pedang buat menyerang gw yang lagi menerjang dengan kecepatan maksimal.
Pedang kembali bertemu pedang. Tapi, kali ini gw ga kuat tahan serangannya yang bertenaga jauh melebihi tadi. Tangan gw terpental ke arah sebaliknya, sedangkan dia ga berhenti sampe di situ. Ayunan pedangnya makin membabi buta dengan kecepatan yang berkali lipat!
Sial! Meski masih bisa mengikuti pergerakannya, namun ga ada celah buat balik menyerang! Yang bisa gw lakukan murni cuma bertahan dan menghindar. Efek luka juga makin terasa. Jemari gw perih dibuatnya pas menangkis hujaman pedang bertubi-tubi.
“Hahh … hhah … hahh …” ga semua serangannya mampu gw antisipasi. Beberapa sukses mengiris-iris kulit, tinggalkan goresan luka dan memar di sekujur tubuh. Gw udah mulai kelelahan meladeni permainan Black Knight ini.
Jantung gw seolah berhenti berdetak pas dia arahkan tusukan cepat ke dada dari arah bawah. Beruntung! Reflek seperti biasa, selalu bisa diandalkan di saat kritis!
Gw sikut aja punggung pedangnya, sehingga tusukannya melenceng ke ketiak sebelah kiri. Tapi, gerakan ini bikin hilang keseimbangan. Corite itu ga buang kesempatan, dia menyapu kaki dengan tendangan rendah. Alhasil, gw langsung jatuh di atas tumpukan salju akibat ga liat serangan itu datang.
Tanpa buang waktu, dia sekali lagi lompat dengan mata pedang tertuju ke gw. Bersiap mengerahkan seluruh Force buat mengakhiri hidup gw di pulau langit nan dingin. Ga ada keraguan sedikitpun. Ah… haruskah berakhir di sini?
“THOSE WHO DARE TO OPPOSE DECEM, SHALL HAVE THEIR BLOOD SPILLED!” Ini orang ngomong apa sih? Teriak-teriak macam hilang akal sehat aja. “AND THEIR FLESH TORN APART FROM BONES BY THE TIP OF MY BLADE!”
Sekelebat memori tentang perjalanan hidup gw terlintas di kepala. Orang bilang, kalo udah mau mati emang suka gitu, suka liat kilas balik kehidupan lu sendiri sebelum menghembuskan napas terakhir. Wajah orang yang gw kenal, kejadian yang gw alami bersama mereka, canda, suka, duka… semua kenangan ikut naik ke permukaan.
Kenangan pas dikejar Warbeast saat semasa akademi dulu gw, Elka, dan Alecto melakukan misi, juga pas jatuh ke kubangan air seni Lunker gegara kelakuan seorang yang lu sebut ‘teman dekat’, segimana mengerikannya kemampuan Force Rokai, liat wajah Maximus Gatan begitu bersahaja ketika kita berbincang… semua hal itu berkelebat di depan pandangan.
Seraya tubuhnya di udara, Black Knight itu tersenyum penuh kemenangan. Udah yakin banget pertarungan ini miliknya. Kali ini gw putuskan buat hadapi kematian dengan mata terbuka. Gw ga mau menutup mata ketakutan liat pedang Cora membelah Bellato.
“DIE, INFIDEL!”
Namun tiba-tiba, Si Black Knight dihantam bola salju besar dari samping, membuatnya batal mencabut nyawa Bellato super hoki yang lagi asik tiduran di atas empuk salju Ether. Di bola salju itu kayanya ada Cora lain yang ikut terbawa deh. “Woow! Apaan tuh!?“
Pas gw tengok ke arah datangnya, di sana berdiri Ulkatoruk, kembali merapal mantra Force menandakan serangannya belum usai. Berarti Cora yang ikut terbawa, Adventurer tadi kali ya. Dengan mantap, Ulkatoruk memijak kakinya ke tanah.
Lapisan salju yang ada di permukaan tanah terangkat semua. Sekali lagi, dia melakukan gerakan sapuan cepat kaya pas menarik kabut tadi. Salju yang terangkat akibat injakan kakinya langsung berubah jadi air dalam jumlah besar! Dia kumpulkan momentum dengan tarik tangannya sedikit ke belakang. Air yang melayang-layang, mengikuti pergerakan telapak dan jemarinya, berputar lembut di sekeliling tubuh.
“CHANGE OF THE TIDE!” Dia berteriak.
Air yang tadi bergerak lembut nan anggun, kemudian menerjang buas bagai ombak ganas kala badai di laut ke arah Black Knight dan Adventurer yang masih berjibaku buat keluar dari timbunan salju.
“Decem, show us mercy…” Ucap salah satu dari kedua Cora itu pas liat gelombang besar menuju mereka. Gemuruh ombak sekejap memenuhi telinga semua yang ada di Ether.
“SOLIDIFY!” Kembali mantra lain keluar dari mulut Holy Chandra ini, seraya mengepalkan telapak tangan terjulur ke arah musuhnya, langsung membekukan gelombang besar, guna melumpuhkan kedua Cora yang terjebak di dalam. Weew, jago juga ni anak. Jujur, gw dibikin melongo ama aksi barusan.
“Waahh! Mantap banget aksi lu!” Gw mencoba bangkit, belum lepas dari rasa kagum.
“Hehehe, untung lagi di Ether.” Balasnya merendah dan memeriksa luka gw. Lalu dia ambil segenggam salju. “Salve of The Clarity!” Dengan sejumlah Force terkonsentrasi, salju tersebut berubah jadi cairan bening kental semacam salep gitu.
Emang deh Spiritualist ga pernah berhenti bikin gw tercengang. Ada aja trik-trik manipulasi alam yang ga pernah gw liat sebelumnya. Salep dari salju itu dia oleskan di luka bahu yang terbuka makin lebar akibat terlalu dipaksakan. Brrr! Rasanya dingin-dingin geli, tapi nikmat!
“Aa-ahaha!” Tubuh gw bergelinjang pas salep itu membalur luka-luka. “Ge- geli bro! Geli!”
“Etdah, diam kenapa! Belum meresap ini!” Bentaknya kesal. Ini juga lagi nahan-nahan geli!
Sementara beberapa meter dari tempat pertarungan gw, terlihat Jizzkar, Ish’Kandel, dan Sirvat bahu-membahu menghadapi beberapa Templar, Spiritualist, dan Assassin sekaligus. Kondisi mereka ga bisa dibilang baik. Dikeroyokin gitu bisa bikin mereka memar-memar juga.
“Kita harus bantu mereka!” Ucap gw spontan.
“Tapi, bahu lu…” cemas Ulkatoruk pas selesai obati luka gw, “nanti makin parah!”
“Ga apa,” Gw bergegas menuju ke sana buat bantu. Disusul Ulkatoruk yang geleng-geleng menatap gw.
Perlawanan yang diberikan ketiga Warrior Bellato tersebut cukup sengit, biarpun dikepung dari berbagai arah, mereka masih sanggup berdiri. 3 Templar menerjang Ish’Kandel dengan tombak mereka bersama-sama. Liat serangan datang, Ish ga gentar.
“MAJU LO SEMUA! HEAAAAHH!” Teriakan Ish’Kandel membahana ke seluruh penjuru Ether, dia memukulkan pedang ke perisai layang-layang itu. Secara mengejutkan, force hijau keluar dari perisainya, dan mulai berubah bentuk. Bagian sampingnya membuka, menjadikan perisai tersebut lebih lebar hingga sanggup menutupi hampir seluruh badan Ish.
Tompak-tombak Templar menghajar perisai Ish’Kandel, namun si Shield Miller muda mampu bertahan tanpa terdorong sedikitpun dari titik dia berdiri. “The hell with this Bellato?! He’s ridiculously strong!”
Seringai puas muncul di wajah Ish begitu liat reaksi kaget lawan-lawannya. Tapi, itu ga lama. Pas dia sadar akar-akar tanaman muncul dari bawah kakinya dan mengikat kuat, wajahnya berubah tegang.
“ARGHH! Apaan nih?” Ia mulai dilanda kepanikan. Ternyata itu ulah Spiritualist yang berada di belakang ketiga Templar tersebut.
“NUNDUK, ISH’KANDEL!” Merasa anak buahnya kesulitan, Sirvat ga tinggal diam. Dia langsung lompat dan menyerang Templar-templar yang masih berusaha menembus pertahanan Ish. Satu ayunan bertenaga dari kapak besar wanita kekar itu menghajar ketiga Templar sekaligus. Biarpun mereka sempat tahan pake senjata masing-masing, tenaga benturan membuat para Cora terpental mundur. Ga sampe di situ, dia masih terus menyerang ketiga Templar dengan penuh semangat.
Kapak andalan si Berserker berambut hijau menghantam tanah berturut-turut, meledakkan area sekeliling! Gileee! Dan melukai Templar-Templar tadi. Serpihan tanah bercampur salju putih berhambur ga beraturan.
“SIRVAT! AWAS!” Teriak gw, begitu liat sesosok Animus menerjang cepat dari titik butanya. Kedua tangan Animus itu merupakan pedang panjang berwarna emas. Di bahunya terdapat semacam booster hitam besar dengan lingkaran emas di kedua sisi. Membangkitkan kenangan lama di Gurun Sette… Isis.
Sirvat kaget dengar teriakan gw, lalu baru sadar kalo Isis udah angkat pedang buat mengakhiri napasnya.
Suara pedang Isis membahana begitu menabrak sesuatu yang halangi momentum menuju tubuh Sirvat. Ternyata Jizzkar sukses mencegah tubuh Sirvat terpotong-potong dengan perisainya pada detik-detik terakhir, “Duh aduh, jangan lengah dong di saat begini.”
“Upss, maaf dan makasih.” Tukas Sirvat pada penyelamatnya. “LAKE! Grazier itu!” Gw mengangguk tanda mengerti dan langsung berlari menuju Spiritualist Cora yang ternyata seorang Grazier.
Sementara Jizzkar ladeni Isisnya, dan Grazier itu lagi teralih perhatian dari Ish, ini kesempatan buat bunuh sang pemilik!
Tapi, apa gw sanggup mengakhiri sebuah kehidupan? Kenapa pikiran ‘bunuh-membunuh’ terlintas segitu gampang di otak gw? Gimana kalo misalnya Grazier ini punya orang-orang terkasih yang menunggu kepulangannya dari Ether? Pasti mereka bakal sedih luar biasa.
Aduh! Bukan saatnya berpikir yang aneh-aneh! Musuh tetap aja musuh! Kalo ga dibunuh, mereka yang bakal bunuh kita, kan? Lagian kenapa juga baru kepikiran sekarang? Perasaan tadi ga kenapa-napa pas melayangkan puluhan ayunan pedang pada si Black Knight.
Grazier itu kaget liat gw yang tau-tau mendekat. Dia berpaling ke gw. Dari gelagatnya, keliatan kalo dia panik, seolah ga tau harus berbuat apa untuk balas serangan. Mantra pengikat pada Ish pun langsung hilang karena dia hilang konsentrasi.
Dia udah masuk jangkauan pedang gw! Kalo gw serang dari sini, pasti ga bakal bisa menghindar. Gw incar leher jenjangnya pake gerakan menusuk. Dia cuma bisa pasrah akan keadaan. Menerima kenyataan bahwa sebentar lagi bakal pulang ke pangkuan Dewa yang mereka puja.
“BUNUH DIA, LAKE!” Sempat terdengar teriakan Jizzkar.
Grazier itu menutup mata, berharap kematiannya ga menyakitkan. Pedang gw meluncur tanpa ada penghalang… kecuali… tangan gw sendiri.
Errr… sedikit lagi! Ujung lancip pedang gw udah menyentuh kulit lehernya padahal! Setitik luka muncul akibat goresan pedang. Tapi, ga tau kenapa gw malah berhenti.
Sial! Ga bisa! Mungkin gegara liat ini perempuan Cora cuma pasrah aja kali ya, malah muncul perasaan ga tega. Kalo Black Knight tadi kan nyolot tuh, jadi terbawa napsu.
Di tengah keraguan, dia perlahan kembali buka mata. Kami saling bertatapan. Sorot matanya penuh tanda tanya. Mungkin heran, kenapa dia masih hidup, padahal ada Bellato dengan pedang yang berjarak kurang dari satu senti lagi buat menembus tenggorokannya.
GABRUUGGHH!
“HEEGH!” Anjreet! Tau-tau gw ditabrak (lagi) oleh sesuatu yang besar dari samping. Ga diajari sopan santun apa? Main tabrak-tabrak aja dari tadi!
Gw terguling-guling akibat tabrakan itu. Sakit melanda rusuk gw, kayaknya mengalami keretakan pada salah satu tulangnya. Adalah Paimon, sesosok Animus lain dengan armor ekstra tebal dan sebilah pedang besar yang jadi pelakunya.
Beda dengan Isis, yang berwujud wanita anggun bawa-bawa kulkas aneh di bahu, Paimon lebih mirip monster besar menyeramkan dan terlihat gagah perkasa.
“How dare you touch her, you filthy rotten imbecile!” Grazier pemilik Paimon terlihat marah, dan bilang sesuatu dalam bahasa Cora. “Are you alright?” Dia bicara dengan Cora wanita yang tadi gw serang.
“I-I’m… I’m fine… thanks.”
Cih, masih ada Grazier lain rupanya.
“Kacau… mereka punya Animus, tapi kita ga ada MAU.” Tukas Ish’Kandel.
“Dari awal, komposisi pasukan kita emang bukan buat tempur.” Kata Sirvat seraya menyeka keringet di dahi. “Baiknya kita kumpul dulu dan mundur sedikit!”
Kami mengangguk setuju. Memutuskan buat kembali ke tempat di mana Namaste berada.
“NA-NAMASTEEE!” Kami tersentak begitu Ulkatoruk berteriak. Dialah yang pertama balik badan dan liat posisi kawan sesama Holy Chandra.
Kami ga kalah terkejut dengan Ulkatoruk. Ga mungkin! Gi-gimana bisa dia melewati kita?! Kenapa ga ada satupun dari kita, atau bahkan gw, yang sadar akan keberadaannya?
Sesosok Cora… berdiri di depan Namaste… dengan sebilah belati menembus jantung Holy Chandra perempuan yang sedari tadi fokus menyembuhkan Samus. Darah segar mengalir keluar dari dada dan mulutnya. Untuk sejenak, Namaste tampak mencari pegangan pada armor yang dipake Cora tersebut, seolah ga rela tubuhnya jatuh walaupun udah ga ada kekuatan.
Tapi percuma, pelan-pelan Holy Chandra itu kehilangan pegangan. Mulai tersungkur, mengubah warna salju jadi ternoda merah. Sedangkan, Si Cora masih tetap berdiri menatap korbannya tumbang tanpa perlawanan. Sesaat dia liat kami, dan melempar senyum penghinaan!
Mata Ulkatoruk melotot selebar yang dia bisa, penuh amarah, frustasi, dan tertekan putus asa.
“BIADAAAB!” Ulkatoruk kehilangan kendali dirinya sendiri. Ga pake mikir, dia berlari sekuat tenaga menuju Cora tersebut. Kami ikut di belakangnya.
Ish’Kandel, Sirvat, Jizzkar dan gw saling pandang. Ya, kami bisa merasakan amarahnya, kesedihannya. Gw sampe gigit bibir sendiri sangking kesal akan perbuatan Cora sialan terhadap rekan satu tim kami. Senyum penghinaannya itu lho! Ga bisa diampuni!
Tiap langkah Ulkatoruk membuat salju di sekitarnya kembali terangkat, kali ini salju dalam jumlah banyak berubah jadi batu-batu es besar bergerigi tajam di sisinya.
“WRATH OF THE FREEZING CARNATION!” Batu-batu yang tadinya melayang mulai berjatuhan bagai hujan meteor es. Cora tadi terkena lumayan parah, tapi ga menyerah meski susah payah buat menghindari serangan Ulkatoruk sebelum menghilang dari pandangan kita semua. Biarpun wujudnya ga keliatan, tapi gw bisa merasakan di mana dia berada. Langkahnya terdengar makin menjauh, kembali menuju pasukan Cora.
“SIALAN! CORITE BANCI! KELUAR LU, BANGSAT!” Ulkatoruk kian menggila, ga berhenti menjatuhkan batu es ke area Assassin tadi menghilang. Berharap serangan buta mampu melukai atau bahkan membunuh dia. “KALO BERANI LAWAN GW, LAWAN GW! JANGAN NAMASTE! ARRRGH!”
“Hati-hati, siapa tau Assasin itu masih di sekitar sini.” Jizzkar memperingatkan. Gw menggeleng pelan.
“Dia udah balik ke pasukannya.” Kata gw singkat. Dapat respon tatapan bingung dari ketiga Warrior. “Ah.. Insting.”
“Keparat! Hevoy ngapain aja sih? Masa belum sampe juga?!” Umpat Sirvat penuh amarah.
Sejenak gw palingkan muka ke Ulkatoruk yang sekarang berlutut di sebelah tubuh bersimbah darah Namaste. Dia balikkan ke posisi telentang supaya bisa liat muka kawannya.
“Healing! Restoration!” Ulkatoruk merapal mantra penyembuhan. Air mata Holy Chandra spesialis Force udara dan air itu mulai berjatuhan di atas dingin daratan Ether. “Healing! Restoration! Hea… ling, Re… resto… ration.”
Berkali-kali … ga terhitung lagi berapa kali dia mengulang kedua mantra tersebut. Tapi, ga juga membuahkan hasil. Yang disembuhkan ga bangun-bangun. Dia mulai sesegukan, terisak, dan napasnya makin berat. Pemandangan yang menyayat perasaan. Kita cuma bisa liat punggung si pemuda Holy Chandra, ga tau harus bilang apa buat sekedar hibur anak ini. Gw hampiri aja, dan menepuk bahunya.
“Turut berduka atas kehilangan lu. Gw mengerti kok rasanya.” Itulah yang ada di benak gw, tapi mulut ini ga kuasa berucap. Ga berhak gw bilang ‘gw mengerti kok rasanya’, padahal enggak. Ga perlu menambah kebohongan di hatinya yang tengah berlubang.
Tiba-tiba bola api berjatuhan. Para Spiritualist Cora mulai menembaki kami dengan beragam Force api. Sialan! Di saat duka begini. Gw hitung ada 4 Spiritualist, 2 diantara mereka Grazier. Berarti sisanya, kalo ga Dark Priest, Warlock. 3 Templar tadi kembali bangkit dan berada di garis depan. Mereka berencana menyerang bersamaan. Kedua Grazier tadi ganti Animus, sekarang jadi pake Hecate.
Walau berhasil mengurangi jumlah mereka, rasanya tetap sulit menang. Dengan kondisi sekarang, terkepung lagi oleh mereka, pikiran serta tenaga kami dibikin hampir kering.
Saat kita udah kehabisan akal buat keluar dari situasi terpojok ini, terdengarlah deru mesin pesawat melintas di atas kami. Para Cora pun terdiam liat pesawat yang terbang rendah tersebut.
“Laho, Sirvat. Kangen ga dengan gw?” Ujar sang pilot melalui radionya.
“… Kangen?! KE MANA AJA SIH LO DARI TADI?! Udahlah, cepat turun dan bawa kita keluar dari sini!”
Spiritualist-Spiritualist Cora mulai menyerang satu-satunya jalan keluar kita dari situasi genting. Mereka mulai membombardir BEO-212 dengan sejumlah Force jarak jauh.
“Oke, oke, sebelumnya amankan dulu dong zona pendaratannya. Mana bisa mendarat nih kalo ditembaki melulu!”
“Manja banget si lu ah! Tembak aja sendiri! Lu kan bawa pesawat!”
“Woy sarap! Ini pesawat transport! Bukan jet tempur! Kasih gw jet tempur, gw ratakan semua Cora sampe ga bersisa.”
Cih! Bahkan setelah jemputan datang pun, kita masih harus melawan lagi? Entah masih sanggup atau enggak, tapi, kayanya ga ada pilihan lain. Gw kembali pasang kuda-kuda, bersiap hadapi mereka.
Tanpa diduga, pasukan penyergap Cora berhenti menyerang. Malah, mereka ambil langkah mundur sedikit demi sedikit. Di saat bertanya-tanya apa penyebabnya, sepasang telinga lancip gw menangkap suara mesin lainnya. Kali ini datang dari darat, bukan langit. Bala bantuan kami akhirnya tiba! Yeaah! Divisi Ke-4 Artileri dengan ketiga MAU ikut juga ternyata!
Black Catapult yang dipiloti oleh Inaki muntahkan peluru sebanyak mungkin sebagai tembakan perlindungan.
“Maaf telat, Sirvat! Lokasi kalian lumayan susah dicari.” Suara Royal Oritzi terdengar dari Black Goliath yang langsung aktifkan boosternya biar cepat berada di garis depan. “Chubasca! Ayo amankan zona pendaratan!” Perintahnya pada Pilot Black Goliath terakhir.
Ga bisa dikira lagi deh sebesar apa rasa lega di dada gw, liat ketiga MAU beraksi memukul mundur pasukan Cora yang sekarang lagi ketar-ketir. Di sebelah gw, Meinhalom, Si Wizard berambut Pink udah berdiri. Wew, sejak kapan… dia?
Matanya sayu, melihat ke arah skuadnya yang sibuk berjibaku. Di tangan kirinya terdapat tongkat sihir berukuran melebihi tinggi tubuhnya sendiri. Di kelima jari tangan kanannya ada 5 bola api kecil seukuran bola pingpong.
“Fireflies…” Dia meniup jemarinya, dengan Cora sebagai sasaran. Kelima bola api itu terbagi lagi jadi lebih banyak titik-titik api seukuran kunang-kunang dan mulai berterbangan ke tempat para Cora berpijak begitu cepat.
Wooow! Ledakan yang dihasilkan segitu banyak titik api kecil yang dilepaskan Meinhalom ternyata teramat besar! Dalam waktu singkat, zona pendaratan sukses diamankan sehingga Hevoy bisa mendarat. Lebih tepatnya terbang amat-amat rendah. biar gampang terbang lagi nanti.
“Buruan naik! Bawa yang terluka juga! Yang tewas tinggalkan aja!” Begitu palka pesawat terbuka, Hevoy ikutan turun buat bantu gotong korban luka, menyerahkan kemudi pada Co-pilot kepercayaannya.
“Gw ga sudi tinggalkan dia di sini!” Perkataannya dibantah keras oleh Ulkatoruk, yang lagi berusaha bawa jenazah Namaste.
“…” Akhirnya, Hevoy bantu Ulkatoruk bopong tubuh Namaste yang udah ga bernyawa. Sedangkan Jizzkar dan Ish’Kandel mengangkut Samus.
Gw tarik tangan Meinhalom, yang selesai merapal mantra force api untuk ikut ke dalam pesawat. Dia sempat kebingungan liat tindakan gw, tapi ga ada penolakan sama sekali.
“Thisack, berangkat!” Perintah Hevoy pas semua udah naik. Para Armor Rider yang sadar pesawat udah pergi segera menarik diri. Black Catapult Inaki mengeluarkan beberapa bom asap.
“Pasukan darat sekarat, Armada Udara cuma nonton sambil terbang,” Sirvat menyindir Hevoy, napasnya masih tersengal-sengal. Kesal soal keterlambatan si Pilot.
“Itulah kenapa gw cinta banget kerjaan gw.” Hevoy balas sindirannya dengan nada meledek, tapi Sirvat seolah ga mendengarkan.
Malah, gadis berambut kehijauan ini tersenyum tulus. Ga marah-marah seperti biasa. Dia berkata lirih, “… Makasih banyak, Hevoy.”
“… Ga masalah, itulah kerjaan gw.”
Kami nonton percobaan kabur ketiga MAU dari pesawat. Raut cemas menghias wajah Meinhalom karena Cora-Cora itu kaya ga kenal kata menyerah. Gagal tembak jatuh pesawat, mereka mengalihkan sasaran ke MAU.
Ulkatoruk menatap kosong tanpa sepatah katapun keluar dari mulut. Dia beranjak dari sisi Namaste, berdiri di sisi palka yang masih terbuka sembari membujurkan tongkatnya. Dia menarik napas dalam-dalam. Berkonsentrasi kumpulkan sisa-sisa Force di tubuhnya. Kali ini, apa lagi yang bakal dia lakukan?
Holy Chandra itu mengangkat tinggi tongkatnya, sampe mentok langit-langit pesawat, “Bless… of The Frozen Hell.”
Gambar lambang federasi Bellato raksasa muncul di atas permukaan salju, di ruang kosong antara pasukan Cora dan MAU. Dan dari area seluas gambar itupun keluar ledakan besar sebanyak 3 kali! Salju terhempas tinggi banget akibatnya, hampir mencapai ketinggian pesawat. Bukit es raksasa muncul tiba-tiba, menyediakan perlindungan bagi MAU-MAU Bellato buat kabur dari kejaran Cora. Setelah itu Ulkatoruk langsung mimisan! Dari hidungnya mengalir darah banyak banget.
“Ahh … gw terlalu banyak pake force hari ini.” Kata dia seraya mendongak dan menadah hidung pake tangan, pada kita yang khawatir akan keadaannya. Emang sih di pertarungan tadi, kita semua kelelahan dan mengalami luka-luka. Tapi, ga bisa dipungkiri anak inilah yang dapat luka paling parah. Bukan luka fisik, melainkan luka batin dan pikiran, liat orang yang berharga baginya tewas di depan mata.
Inikah medan perang? Biarpun dalam skala kecil, tapi berdampak besar bagi kita. Kehilangan 3 anggota dalam sehari, entah apa yang akan terjadi nanti. Entah berapa orang yang bakal mati kalo terus begini.
Sepanjang perjalanan balik ke Wharf, ga ada satupun dari kami yang berkata-kata. Semua diam seribu bahasa. Mungkin lelah, mungkin lagi memikirkan duka yang baru kita lalui, entahlah. Gw sendiri ga tau mau ngomong apa. Ulkatoruk senantiasa ada di samping jasad Namaste seraya berusaha bendung air matanya supaya ga keluar lebih banyak.
Hal pertama yang kita lakukan begitu sampe di Wharf adalah mengubur jenazah Namaste. Upacara pemakaman yang terbilang seadanya berlangsung khidmat. Sebagai penghormatan terakhir atas perjuangannya. Setelah selesai, satu persatu dari kita meninggalkan lokasi makam. Tersisa dua orang terakhir, yaitu Ulkatoruk dan gw. Untuk beberapa alasan, gw merasa perlu temani dia.
“Lu pasti sayang banget ya, padanya?” Tanya gw tiba-tiba.
“… Entah, tepat atau enggak kalo dibilang sayang.” Jawabnya tersenyum paksa. “Sebenarnya kita baru beberapa bulan kenal.”
“Dia begitu pendiam ya. Kayanya, selama misi ini gw belum pernah dengar suaranya sama sekali.”
“Waktu masih di Spiritualist akademi, pikiran gw pun sama kaya lu.” Ulkatoruk mulai coba mengingat kembali masa-masa itu. “Dulu kita ga dekat, soalnya gw pikir gadis ini pendiam banget. Selalu menyendiri. Ya, gw ga ambil pusing kalo ada orang yang memilih untuk jadi sok misterius. Itu urusan mereka. Gw ga tertarik pada orang yang terlalu menutup diri.”
“Semua berlalu cepat, akhirnya kami lulus dari pelatihan Spiritualist. Tepat 4 bulan lalu pada suatu misi, kami dipasangkan bersama-sama. Dan kala itulah gw baru tau kalo dia itu diam bukan karena ga mau ngomong atau sok misterius. Melainkan, emang ga bisa ngomong.” Gw sedikit kaget dengar ceritanya.
Jadi, selama ini Namaste…
“Dia… bisu?” Alis gw terangkat sebelah seakan ga percaya.
“Pita suaranya mengalami disfungsi akibat dihantam benda tumpul waktu dia masih kecil. Selama ini, dia selalu bawa catatan kecil biar bisa komunikasi dengan gw.” Dia kasih liat catatan kecil yang dimaksud. Penuh dengan tulisan.
“Dari catatan ini, bisa lu liat. Sebenarnya dia suka banget ngobrol. Sifatnya juga lumayan ceria, bukan gadis pendiam murung seperti anggapan banyak orang. Dari dulu, Namaste itu lemah dan ga bisa bertarung. Ga ada satupun Force penghancur yang dia kuasai. Tapi hatinya kuat banget untuk selalu menolong orang di sekitarnya. Makanya… makanya… liat dia dibunuh dengan cara seperti itu… gw… gw…” Air matanya kembali tumpah mengingat kejadian tewasnya Namaste. Gimana Holy Chandra perempuan itu tersungkur pelan-pelan tanpa bisa melawan, atau sekedar teriak minta tolong, “ga ada di sana buat melindungi dia… mungkin bakal jadi penyesalan gw seumur hidup.”
“… Dari hati yang paling dalam, gw turut berduka, bro.”
“Hati…?” Mendadak ekspresi wajahnya berubah. Ratapan kesedihannya berubah penuh amarah. Dari sudut mata masih tersisa air yang mengalir ke pipi, “gw udah isi hati ini dengan kebencian,” ujarnya tegas. Gw dibuat terperangah oleh kata-kata barusan.
Mulai bingung gimana harus menanggapi, “… Ehmm, oke deh. Bagus kalo gitu. Udah makin dingin nih, balik yuk ke Wharf.”
“Duluan… gw mau di sini bentar lagi.” Ia menolak ajakan gw seraya gelengkan kepala.
Akhirnya gw balik sendiri, meninggalkan Ulkatoruk di makam Namaste. Pas sampe, Jizzkar menyender di depan gerbang masuk Wharf, seolah menanti kedatangan gw.
“Gimana keadaannya?” Ia bertanya soal Ulkatoruk.
“Baik … gw rasa.” Sebenarnya ga yakin juga sih apa emang dia baik-baik aja atau enggak.
Kami terdiam. Ga tau kenapa, gw langsung merasakan hawa-hawa canggung di antara kita. Karena ga ada lagi yang dibicarakan, ya udah gw melangkah lewati Jizzkar. Menuju Mesh Wharf yang merupakan fasilitas penginapan bagi tentara Federasi yang lagi bertugas di Ether.
Begitu posisi kita saling memunggungi satu sama lain, dia berkata, “Lu… punya kesempatan buat bunuh Grazier itu tadi.” Deng! Benar kan, ternyata dia mau bahas itu! “Kenapa ga lu lakukan?”
Gw ga sanggup langsung jawab. Agak lama berpikir, jawaban apa yang mesti gw beri, “… Gw terlalu takut untuk mengakhiri hidupnya.” Hela napas panjang terselip diantara kalimat yang gw ucapkan, “Gimana sedih orang-orang yang menunggu kepulangannya dari Ether, keluarganya, pacar atau suaminya, atau sahabat-sahabatnya.”
“Jadi lu lebih memikirkan Corite dari pada bangsa sendiri? Gimana dengan orang-orang yang menunggu kepulangan Namaste? Apa lu ga memikirkan perasaan Ulkatoruk? Atau keluarga Rhenesagg!? Samus!? Ga terlintas di pikiran lu!? Liat sendiri kan, penghinaan Assassin itu!? Mereka mana peduli dengan pemikiran lu!”
Intonasinya perlahan makin meninggi, lama-lama Jizzkar jadi setengah teriak. Gw pun balik badan buat menghadapi perdebatan ini.
“Iya, gw paham! Gw paham maksud omongan lu! Di sudut batin gw pun merasa bersalah pada Ulkatoruk! Liat gimana sedihnya dia, marahnya dia, tangisnya! Belum lagi liat Namaste dibunuh tanpa sempat melawan, tersungkur dalam diam! Penyesalan itu… penyesalan itu langsung mendatangi gw secepat kilat.”
“Kalo lu paham, kenapa? Kenapa masih memikirkan hal ga penting begitu? Gw… ga habis pikir… nyawa kita dipertaruhkan di sini.”
“Maap… kalo jawaban gw ga sesuai harapan lu. Kasih tau gw Jizzkar, apa yang harus gw lakukan!? Apa saling bunuh adalah hal yang benar buat atasi masalah!?”
Si Shield Miller yang lebih senior menatap mata ungu gw lekat-lekat, “… yang namanya peperangan, lumrah antara kita atau mereka yang mati. Saat dihadapkan situasi kaya tadi, lebih baik bangsa lain yang mati, kan?” Jizzkar berjalan mendekat, “Ada masa di mana gw pernah meragukan lu, Lake. Cukup sekali, gw benar-benar ga mau terulang lagi.”
Dia berlalu menuju kamarnya, tinggalkan gw yang masih terpaku. Banyak orang bilang ke gw, saat lu kehilangan arah, ga tau apa yang harus lu lakukan, dengarkan aja kata hati lu. Lakukanlah apa yang lu anggap benar. Tapi, sebenarnya… apa sih hal yang benar itu? Menurut Jizzkar, bunuh Grazier itu adalah tindakan yang tepat. Namun, di lain sisi ada perasaan gw yang mengatakan ‘jangan’.
Apa kata hati gw salah?
Setiap orang pasti punya sudut pandang masing-masing. Sesuatu yang gw anggap benar, belum tentu demikian di mata orang lain. Hidup untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain emang merepotkan ya.
“You’re strong. Never let anyone or even yourself tells you otherwise.” – Gatan. (Ch.9)
CHAPTER 11 END.
Next Chapter > Read Chapter 12:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-12/
Previous Chapter > Read Chapter 10:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-10/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list
Like!! Really appreciate you sharing this blog post.Really thank you! Keep writing.