PEJUANGNOVUS

LAKE CHAPTER 13 – SENSE OF DEPRIVATION

Lake
Penulis: Mie Rebus


Bellato’s Headquarter…

“Ka, pelan-pelan dong jalannya.”

“…”

“Oi… lu dengar ga sih?”

“…”

“Ampun deh.”

Elka ga peduli Alecto ngoceh di sebelahnya. Moodnya pagi-pagi lagi ga baik. Mereka menyusuri lorong-lorong Headquarter, sampe tiba di depan ruang salah satu Wakil Archon. Pintu otomatis yang terbuat dari titanium campuran jadi satu-satunya penghalang. Mereka terhenti, sebelum beberapa saat pintu itu terbuka. Di dalam terlihat pria berambut spike lagi bersandar santai di kursi kerja.

“Pe-permisi, Maximus Gatan.” Sapa Alecto terbata-bata.

“Ohh… pagi.” Balas si Wakil Archon santai. “Ada perlu apa nih pagi-pagi?”

“Saya… Hidden Soldier, Captain Alecto Adastan dari Badan Intelijen Pusat (Central Intelligence Service).”

“…” Elka masih belum mengucap sepatah katapun. Dari tadi cuma kasih Gatan tatapan tajamnya dan mendekat ke meja kerja.

“Ehm, begini, Maximus. Kita mau-” Liat sikap Elka yang udah mau meledak, Alecto ngambil alih pembicaraan.

Tapi, langsung dipotong oleh gadis itu, “Izinkan kami ke Ether!” Elka berkata. Tatapannya ga lepas dari Wakil Archon paling santai seantero Novus.

Untuk sesaat, Gatan balik menatap mata coklat Infiltrator perempuan tersebut sebelum berkata, “… Saya ragu, bisa kasih kalian izin,” dengan nada serius. “Lagian, kamu kan dari Intel. Saya ga punya hak buat kasih izin ke kamu.” Lanjutnya melirik ke Alecto.

“Kalo begitu, biar saya sendiri yang ke sana!” Tegas Elka, sebelum Alec sempat jelaskan apapun kepada Gatan.

“Negatif! Untuk saat ini saya ga mengizinkan skuad lain dari Satuan Tugas Gabungan buat ke sana.”

Dengan penuh emosi, Elka melayangkan kepalan tangan ke meja kerja Sang Wakil Archon. Gatan tetap tenang hadapi prajuritnya yang lagi kesal.

“Ka! Lu gila ya!?” Alecto berseru panik seraya menahan tubuh Elka yang kayanya udah ga tahan pengen nampol Gatan,”So-sopan sedikit pada Komandan!”

“Skuad pertama Resimen 18 disergap pasukan Cora. Satu Prajurit hilang, satu tewas, dan satu lagi tiba di HQ pagi ini dalam keadaan koma…” Elka bersikeras, tapi tetap coba buat ga teriak bak orang gila. Sekuat tenaga dia tahan getir di dalam dada, “… Lake ada di antara mereka! Tolong, izinkan saya ke sana sekarang juga, sebelum dia kenapa-napa!” Dia gerakkan bahunya supaya lepas dari pegangan Alecto.

“… Dan apa yang akan kamu lakukan begitu sampai sana?” Gatan balik nanya.

“Melakukan apa yang ga bisa dilakukan anak buah anda.” Elka jawab pertanyaan itu tanpa keraguan, agaknya Gatan merasa gadis ini udah kelewatan meski volume suaranya tetap rendah.

Emang sih, selama ini Gatan bersikap seolah terancam oleh keberadaan Elka yang over-protektif terhadap Lake. Tapi, bukan berarti Gatan beneran takut pada Elka. Semua itu semata-mata biar ga ada kekakuan aja di antara Komandan dan anak buah. Dan liat kelakuan Elka yang kurang ajar, Gatan tersenyum sinis. Hal yang jarang banget dia lakukan.

“Hoo… begitu. Kamu tau apa yang ga bisa dilakukan anak buah saya, tentu kamu tau apa yang saya bisa, kan?” Tanya Gatan penuh makna. Elka ga gentar, sedangkan Alecto udah merasa ga enak dengan ketegangan yang terjadi antara Infiltrator Junior dan Sentinel Senior, berharap bisa segera keluar dari ruangan ini. “Saya Maximus Gatan Valsynvis, Wakil Archon sekaligus Komandan Resimen 1 dan juga bertanggung jawab atas seluruh Resimen Satuan Tugas Gabungan, yaitu Satuan Tugas di mana kamu ditempatkan. Artinya saya punya hak buat mencabut semua embel-embel keprajuritanmu, serta memulangkanmu ke Bellator sekarang juga, Captain Elkanafia Yeve Nordo! Tolong sikapnya dijaga.”

Dengar ancaman begitu, Elka merasa dikalahkan. Biar gimanapun Gatan emang punya kuasa lebih tinggi. Di dunia militer di mana hierarki pangkat adalah segalanya, ga ada lagi yang bisa dilakukan gadis berambut coklat ini buat bantah kalimat Sentinel tersebut selain gertakkan gigi dan mengepal tangan dalam diam.

“Elka…” Bisik Alecto yang juga ikut dengar kata-kata Gatan. Ia mengiba, tapi sama kaya Elka, dia ga tau harus ngapain.

“Setidaknya percaya sedikit dong pada Lake.” Kata Gatan melanjutkan. “Saya percaya, dia ga selemah itu sampai kemana-mana harus kamu lindungi.” Pria itu beranjak dari meja kerjanya, dan menatap ke luar jendela. “Dia bakal pulang dalam keadaan utuh, seperti janjinya.”

Elka ga bergeming. Kepalanya tertunduk memikirkan apa yang baru diucapkan Sang Komandan. “Apa iya, selama ini gw ga percaya kalo Lake bisa jaga diri?” Gerutunya dalam hati.

Merasa kalo usahanya minta izin berangkat ke Ether ga membuahkan hasil, Infiltrator itu berbalik untuk segera keluar dari ruangan Gatan tanpa sepatah kata.

“O-oii, Ka!” Alecto cepat menyusul Elka, tapi dia sempat pamit dan minta maaf atas sikap temannya itu, “Ahhm, kami mohon diri, Maximus Gatan. Mohon Maaf segala perbuatan kurang mengenakan teman saya.” Katanya seraya memberi hormat.

Gatan berbalik dan balas sikap hormat Alecto dengan anggukan kecil. Pertanda ia memaklumi perbuatan Elka, yang semata-mata didasari perasaan cemas berlebihan.

Kedua Ranger muda itu angkat kaki dari ruangan Wakil Archon yang menatap ke ruang kosong. Pintu otomatis itu pun menutup dengan sendirinya begitu mereka menjauh. Hela napas lega, Gatan kembali menghempaskan badannya ke kursi kerja.

“Pacarmu seram amat sih, Grym.” Dari sudut bibirnya tersungging senyum ingat-ingat kejadian barusan. “Apa semua perempuan selalu berlebihan saat khawatir terhadap orang yang mereka peduli?” Terbesit di pikiran Gatan sesosok wanita Bellato berambut orange yang memiliki masalah tempramen.

Situasi Ether lagi panas, kemampuan pacarmu emang terlampau bagus. Tapi, bukan berarti dia bisa bertindak konyol.

Sementara Elka jalan cepat di depannya, Alecto berusaha mempercepat langkah buat menyusul. Hidden Soldier bertubuh kekar ini ga tau ke mana tujuan Elka selanjutnya. Tapi, dia merasa kalo saat ini Elka harus diawasi biar ga bertindak nekat.

“Jangan gitu lah. Gw tau lu khawatir, tapi ga bentak Komandan juga kali.” Kata Alecto. Dia ingatkan Elka kalo tindakannya tadi bisa berakibat fatal. “Yang ada, lu bisa disidang di pengadilan Militer. Pait-paitnya ya, lu pulang ke Bellator dan ga bisa ketemu Lake lagi.”

Sontak langkah si Infiltrator berhenti. Begitu juga dengan Alecto.

“Kalo Lake mati saat gw ga ada buat dia, sama aja ga akan bisa ketemu dia lagi… selamanya, kan?” Alecto sedikit terhenyak. Bukan karena kata-kata Elka, melainkan karena Elka meliriknya udah kaya monster buas yang siap mangsa apa aja. Ga pandang kawan atau lawan.

Oh shite.. ekspresi itu lagi. Duh pawangnya ga ada, jadi gini nih.” Pikir Alecto bergidik ngeri. “Woii, kuya! Awas aja lu ampe kaga balik dari Ether!” Dia mengumpat buat Lake, dalam hati. Alecto merasakan rasa kehilangan Elka. Biasanya, Lake dan Elka emang nempel terus dan baru kali ini kayanya mereka terpisah cukup jauh. “Mungkin itu yang bikin dia uring-uringan.”

“Seandainya gw ketemu cara buat ke Ether… lu mau bantu gw ga, Lec?” Tiba-tiba Elka bertanya. Alecto berpikir sebentar lalu nyengir.

“Pastilah! Lu dan Lake kan teman gw juga! Pasti gw bantu sebisa mungkin.” Jawabnya tanpa ragu.

Elka keliatan senyum lega. Amarah dan kesalnya hilang sedikit begitu tau dia masih punya seorang teman yang bisa diandalkan, “Makasih ya, Alecto. Cuma lu satu-satunya yang gw percaya selain Lake,” tatapan tajamnya seketika hilang, berganti mata lembut menatap Alecto.

Alecto terperangah, ga nyangka Elka segitu percaya padanya. “Ehehe, sama-sama. Suatu kehormatan bisa dipercaya Infiltrator elite.” Elka menyikut ‘pelan’ perut Alecto sembari cengengesan maksa begitu dengar sebutan untuk dirinya. “DOOH!”

.

.

Bellato Wharf, Ether…

“Hahh.. hahh.. hahh..” Napas gw begitu berat. Udara dingin Ether terasa membekukan paru-paru. Leher serasa dicekik sesuatu, padahal pas diliat, ga ada apa-apa. Ini masih di Ether, kan? Dalam pikir ragu-ragu, biarpun jelas-jelas membentang di hadapan gw, padang salju. Tapi, entah kenapa ada yang aneh.

Di tengah hujan salju, berjalan tanpa arah tujuan. Gw sendiri ga tau mau kemana, tapi benak gw bilang, harus cari sesuatu.

“Elka! Elka!” Mulut gw dengan sendirinya, menyebut nama itu beberapa kali, sembari berkeliling. Lho? Lho? Kenapa tubuh gw bergerak tanpa diperintahkan? Situasi yang aneh. Seingat gw, Elka kan di HQ, dia ga ikut ke sini. Kenapa gw jadi nyari dia? “Elkaaaa!” Gw masih berusaha cari Elka, dari tadi belum ketemu juga.

Lama juga nih gw jalan-jalan. Tau-tau, agak jauh di depan, tergeletak sesosok tubuh kecil perempuan. Bukan, bukan Cora. Ukurannya terbilang kecil untuk disebut Cora. Jangan-jangan… Elka…?!

Masa sih? Ga mungkin ah! Elka ga selemah itu! Ga… ga mungkin dia geletak ga berdaya gitu! Dari berjalan pelan, langkah gw jadi makin cepat. Dari jalan cepat, langkah jadi lebih cepat lagi, dan akhirnya gw berlari sekuat tenaga buat memastikan kalo dugaan gw benar… benar-benar salah.

Ga peduli sama paru-paru yang terasa makin sakit ditusuk udara dingin. Padahal, rasanya udah kaya ditusuk-tusuk banyak banget jarum kecil. Gw cuma pengen bisa sampe ke sana secepatnya.

“ELKAAAAAA!” Gw teriak memanggil namanya. Karena makin dekat, makin yakin kalo itu Elka.

Benar aja, begitu gw sampe, semua keliatan jelas. Perempuan ini… beneran Elka! Rambut cokelatnya tergerai ga beraturan. Headband merah yang biasa dia pake, kebelah tinggal setengah. Tubuhnya luka parah. Lengan kirinya hancur, ada luka tembak di bagian perut dan paha. Armornya retak di segala bagian, malah ada bagian yang pecah.

“Elka! Elka!” Panggil gw sembari nampar-nampar pelan pipinya, berharap kalo ni anak masih hidup. Pelan tapi pasti, sebelah matanya membuka begitu dengar panggilan gw.

“L.. L.. Le.. La.. Lake..” Balasnya pelan dengan sangat sangat susah payah. Suaranya ga kaya Elka yang gw kenal. Ternyata pas gw liat, tenggorokannya ada bekas hantaman benda tumpul. Barangkali pita suaranya terluka. Faak! Siapa yang bikin lu jadi gini, Ka?! SIAPA!? BIAR GW BUNUH DIA!

Itulah yang ada di benak gw dan gw pengen banget nanya ini itu. Apa yang sebenarnya terjadi, apa yang dia lakukan pas ga ada gw, kenapa dia bisa ada di Ether, dan lain-lain. Pengen marah, pengen mukul-mukul tanah, pengen teriak kaya orang sinting liat Elka sekarat sedangkan gw sama sekali ga bisa jaga dia.

Tapi tubuh gw ga terima perintah. Napas gw makin berat, sedih banget liat Elka dalam keadaan begini. Kaya mau nangis sejadi-jadinya, anehnya air mata gw sama sekali ga keluar.

Gw berlutut di sebelahnya, dan merangkul kepala Elka di lengan gw. Berusaha buat sedikit angkat kepalanya.

“Uhukk! Ehuuhk! Eheegk!” Elka terbatuk pas gw melakukan itu, dan darah pun ikut keluar dari mulutnya berbarengan dengan batuk tadi. Satu matanya, sebelah kanan, menatap lemah ke mata gw. Dengan sisa tenaga yang udah tinggal sedikit, dia berusaha angkat tangan kanannya, dan menyentuh pipi gw.

Yo.. Your.. e.. eyes, are.. Uhhukkg!.. Beautiful. Like.. Al.. ways.” Ha.. hah?! Elka terbata-bata bilang sesuatu, tapi gw ga ngerti. Ga tau dia pake bahasa apa. Terdengar asing banget di telinga. “When i.. said, i lo.. love y.. your eyes.. i didn’t lie.. Ahhagh! Ahhak!”

“Jangan ngomong lagi, gw mohon. Tenggorokan lu hancur.” Kata gw singkat. Biarpun gw ga paham kata-katanya, tapi gw tau dia berusaha sekeras mungkin buat bilang itu, sampe batuk-batuk.

Th.. thank.. you, for knowing.. me so well.”

“Ka, tolong…”

“You.. know.. i ju.. st,

Udah, gw mohon…”

Don’t wa.. want to, i’m affraid.. to, die.. alone.”

“Diam! Jangan bicara lagi!”

Untuk selanjutnya, gw ga dengar apa-apa lagi dari Elka. Tangan kanannya yang memegang pipi gw dari tadi mulai terkulai lemas. Matanya tetap tertuju ke gw, tapi sinarnya udah hilang sama sekali. Kosong, ga ada lagi kehidupan di dalamya. Jantung berhenti berdetak, napasnya tercabut dari raga gadis ini. Elka… telah berpulang.

Ga perlu ditanya perasaan gw saat ini. Parah. Sesak. Sakit. Dada gw seolah berlubang ditembak dari jarak satu inci mengalami semua ini. Pusing. Kepala gw terasa nyut-nyutan. Tapi, biarpun perasaan gw berkecamuk, gw tetap tenang. Ga melakukan hal gila, bahkan nangis pun engga. Kenapa?! Jiwa dan raga gw kaya ga sinkron.

Gw ga bisa melakukan apapun sesuai kehendak. Cuma bisa liat tubuh gw bertindak sendiri, dan menonton kematian Elka. Seolah ini bukan tubuh gw, tapi gw ada di dalamnya.

Gw peluk sejenak tubuh Elka, sebelum rasakan ada sentuhan di bahu.

“Kamu harus merelakan. Dia udah ga ada.” Sahut suara itu dari belakang. Hmm, suara perempuan ini sih.

“Iya… udah tau.” Jawab gw sekenanya.

“Yuk, balik ke Wharf. Yang lain lagi cari kamu tuh.”

“Oke. Ayo.”

Akhirnya, gw bangkit dari posisi berlutut, dan berbalik ke sumber suara. Di depan gw berdiri sesosok gadis Corite berambut ungu. Eh?! Co… Cora? Kenapa gw bisa paham bahasa Cora!? Sedangkan perkataan Elka, yang notabennya sesama Bellato, ga ngerti sama sekali?

Dan lagi, gadis ini ga asing. Dia… yang waktu itu nyaris gw penggal lehernya. Masih ingat jelas mata kuning, dan wajah yang luar biasa rupawan ciri khas Bangsa Cora itu. Apa maksud semua ini? Kita jalan berdampingan, kaya udah saling kenal. Padahal, seumur-umur baru kemarin gw ketemu Bangsa Cora.

Woiiiii! Apa yang gw lakukan? Meninggalkan Elka yang udah ga bernyawa gitu aja!? Biarkan tubuhnya terkubur hujan salju yang makin lebat buat menerima ajakan musuh yang harusnya gw perangi? Faaak! Apa yang sebenarnya terjadi pada gw?!

“Ngun… Bangun.” Gadis Corite itu bergumam di sebelah gw.

“Hmm?”

.

.

“Bangun, bangun.”

“Hemfft? Hash?! Bwehh!”

Gw kaget pas buka mata, soalnya liat Hash’Kafil memandangi wajah gw dari jarak yang dekat banget

“Haha, lu mimpiin kakak gw ya?”

“Weleeeh.. Muka lu kelewat dekat, kuya!” Begitu pandangan gw mulai ga ngeblur akibat efek nyawa belum terkumpul, baru keliatan jelas kalo yang ada di depan gw ini kembarannya Hash’Kafil. Reflek, tangan gw dorong mukanya menjauh. Ngapain coba laki ngeliatin laki lain tidur?! jijik!

“Santai aja kali, pagi-pagi udah ngomel aja.”

Gw celingak-celinguk kaya orang blo’on buat memastikan keberadaan. Padang salju tadi berubah jadi kamar Mesh Bellato Wharf yang ditempati gw dan Ish’Kandel buat bermalam. Oh ya, abis duel lawan Sirvat, gw emang langsung tidur. Berarti, itu… mimpi?

Sialan, selama ini gw emang sering mimpi aneh yang ga gw pahami maksudnya apa. Tapi, tadi benar-benar mimpi paling menyakitkan dari semuanya. Gw selalu dibikin bangun dalam keadaan keringetan, deg-degan, dan gelisah kalo lagi kejadian. Soalnya, mimpi itu terasa amat nyata bagi gw.

Biarpun gitu, selama ini sih cuma gw anggap bunga tidur aja. Mungkin gw terlalu mikirin sesuatu sebelum tidur, sampe kebawa mimpi. Semoga aja.. benar-benar ga ada hubungannya dengan kehidupan nyata.

“Lu keringetan banyak amat? Kok bisa sih, cuaca lagi sedingin ini?” Ish’Kandel keheranan liat kondisi gw.

“Ah… ya. Gw… mimpi buruk aja kok.” Jawab gw datar.

“Buruk banget ya pasti? Mimpi apaan?”

“… Mending ga perlu gw ceritakan deh,” gw beranjak dari kasur, buat ke kamar mandi. Butuh cuci muka nih kayanya biar segar, “malas ingat-ingat lagi.” Sembari lempar senyum maksa ke Ish, biar ga canggung.

Ka, jangan ke Ether.” Terbesitlah di pikiran gw kata-kata itu. Sedikit banyak, gw takut mimpi barusan tuh pertanda Elka bakal kenapa-napa kalo dia menginjakkan kaki di Ether.

Aneh, padahal sebelum-sebelumnya gw ga pernah merasa segelisah ini gara-gara mimpi. Semoga aja… perasaan gw salah total.

Malas-malasan gw menuju ke kamar mandi. Di kamar mandi, gw melakukan “tugas” yang biasa dilakukan abis baru bangun tidur. Pipis, cuci muka, sikat gigi, dan lain-lain. Gw tampung air sedingin es itu pake kedua telapak tangan, terus langsung guyur ke muka.

SPLAASHH!

Anjreet! Brrr, brr… Urat-urat muka langsung mati rasa. Tiga kali basuh muka, tiga kali menggigil sampe badan ikut bergelinjang juga. Pas lagi cuci muka, Ulkatoruk masuk dan melakukan hal yang sama di wastafel sebelah.

SPLAAASH! CEBUURR! JEBUUR!

Buset dah bang, ga nyantai amat. Cuci muka apa mandi? Selepas cuci muka, dia dongak liat langit-langit kamar mandi, menatap hampa ga mengucap apapun. Gile jugak ni anak. Kayanya kehilangan orang yang dia sayangi ikutan ngefek ke indra perabanya, yah. Udah ga bisa rasakan apa-apa lagi, atau gimana?

“SEMPAK BOCOR!” Sumpah, gw tersentak kaget setengah mampus begitu dia teriak tiba-tiba, “INI DINGIN AMAAAT!”

“YA IYALAAH, GUOBLOK! MAKANYA, CUCI MUKA TU MIKIIIR!” Reflek, gw ikutan teriak juga. Kesal sendiri jadinya. Lu pikir ini Sette, boss?

“WOI, BERISIK BANGET LU PADA!” Terdengar suara Jizzkar dari salah satu bilik kamar mandi. “GANGGU GW LAGI NYETOR AJA!” Rupanya dia lagi melaksanakan panggilan alam dari sebelum gw masuk kemari.

“…”

“…”

Gw dan Ulkatoruk terdiam, lalu timbul niat iseng yang ga tau dari mana asalnya. Seringai iblis muncul di wajah kami berdua pas saling berhadapan satu sama lain. Bergegas gw ambil ember yang ada di salah satu sudut kamar mandi, terus Ulkatoruk mengisi ember dengan air dari keran.

Begitu udah penuh, kami berdua mengangkat ember yang penuh air es itu, dan berdiri di depan bilik kamar mandi di mana Jizzkar berada. Sekuat tenaga, kami melayangkan tendangan ke pintunya buat mendobrak.

Di dalam, Jizzkar yang lagi duduk ngeden, kaget bukan main, “EEEYY!”

“SELAMAT PAGEEE!” Seru gw dan Ulkatoruk barengan, diiringi guyuran air yang tadi kita kumpulkan. Membasahi seluruh tubuh Jizzkar dari kepala ampe kaki. Baju ama celananya pun ikut basah, gw yakin basahnya ampe ke celana dalem.

“WUANJRREEET! KAMPRETT! ANAK HARAM!” Segala macem umpatan keluar semua dah pokonya dari mulut Jizzkar. Gw dan Ulkatoruk ngakak sejadi-jadinya liat ekspresi Shield Miller senior itu, dari yang asik ngeden, tau-tau nganga ga jelas. “Lu… berdua… mau mati, ya…?” Tanyanya menggigil sambil memicing ke kita.

Oke, saatnya ambil langkah seribu! Ulkatoruk udah duluan ngacir keluar dari kamar mandi, diikuti gw.

“JANGAN KABUR LU, BEDEBAH!” Teriak Jizzkar sambil ngejar-ngejar kita. Oh shite, dia keliatan marah sambil bawa ember, dan celananya belum berada di tempat semestinya.

“Ahahahahahah,” gw dan Ulkatoruk ketawa puasss. Kami jadi main kucing-kucingan memutari Wharf. Divisi ke-4 Artileri yang siaga, dibikin geleng-geleng kepala akibat ulah kami. Sirvat yang baru bangun sampe kaget liat pemandangan absurd ini.

“INI PADA NGAPAIN DAH?” Tanya gadis berambut hijau.

“HEEEYY, SIAPA NIH YANG ABIS ‘NYETOR’ GA DISIRAM?” Ish’Kandel ikutan bikin suasana pagi di Bellato Wharf makin riuh. Wakakakak! Pasti bekasan Jizzkar tadi. Napsu ngejar-ngejar sampe lupa nyiram toilet. Lu makan tuh pisang goreng! “ASLI LAH, BINATANG KALIAN!”

“Astaga… benar-benar deh. Tua-tua, kelakuan kaya bocah semua,” Sirvat tepok jidatnya sendiri, pusing akan kericuhan yang kita perbuat.

“Haha, bagus lah. Anggota lu masih semangat berarti.” Celetuk kawannya, Oritzi si Armor Rider. “Liat keadaan ini, mengingat kejadian kemarin, kita tau kalo mereka bermental baja.”

“Yah, gw beruntung… punya anggota kaya mereka. Sanggup menanggung beban bersama.”

Gw dan Ulkatoruk memilih buat sembunyi di balik batang pohon besar yang ada di luar Wharf. Kayanya Jizzkar ogah kejar kita sampe sini dalam keadaan kuyup begitu. Yeaah! Lolos! Kita duduk buat istirahat sejenak dengan napas tersengal-sengal, terus tanpa diduga dia bilang, “Makasih ya, Lake.”

“… Buat apa?” Tanya gw heran.

“Tadi itu… menyenangkan,” Katanya sambil nyengir, “untuk sesaat, gw ga merasakan sakit lagi.”

Yah, syukur deh kalo ini anak masih bisa ketawa. Masih bisa diajak gila-gilaan.

“Hati…? Gw udah isi hati ini dengan kebencian,” tadinya gw sempat khawatir pas dengar kata-katanya kemarin. Takut kalo misalnya dia udah jatuh terlalu dalam ke lubang kesedihan yang ada pada dirinya sendiri. “Untunglah… gw pikir, hati lu udah penuh kebencian.” Balas gw padanya.

“Emang udah kok,” jawabnya pelan, “gw paham, kehilangan adalah hal biasa. Dan gw udah belajar merelakan,” dia menatap kedepan dengan tatapan kosong, “tapi ga bisa disangkal, kalo sampe ketemu para Cora lagi, khususnya Assassin yang udah bunuh Namaste… bakal gw tunjukkan kaya apa neraka yang membeku,” sejumlah besar Force kebiruan keluar menyelimuti tubuh Ulkatoruk. I-itu sih sama aja lu kaga rela!

Sepertinya dia dapat istirahat yang cukup. Kemarin, katanya dia sangat kelelahan sampe ga bisa pake force lagi. Liat force keluar dari tubuhnya gitu, lega terasa.

“Gw dengar banyak hal tentang lu,” katanya kemudian. Menyandarkan badan ke batang pohon tempat kita sembunyi, “dari cerita yang beredar di masyarakat, dari orang tua gw.”

“Oh ya? Hmm… gw harap yang lu dengar hal-hal bagus.”

“… Sayangnya, enggak. Orang tua gw di rumah bilang, ‘jauh-jauh deh kalo ketemu yang punya nama Grymnystre’.” Shite! Ga kaget sih, hal itu udah biasa banget buat gw. Tapi, tetap bikin gw terhenyak. “Orang bilang, dalam tubuh Grymnystre mengalir darah terkutuk. Mereka berbahaya, ga peduli mana teman mana musuh, yang penting bunuh.”

Faak! Sebenarnya, apa salah keluarga gw sampe bisa dibilang begitu oleh bangsa sendiri? Salah satu teka-teki yang belum gw temukan kebenarannya. Apa pengabdian keluarga gw, termasuk Ayah, masih kurang di mata Federasi?

“Mungkin ada benarnya,” balas gw menahan luapan emosi, “gw udah terlalu lelah dengan penilaian orang lain. Lebih milih buat jauhi orang-orang yang ga ada berhentinya menggunjing.” Tangan gw terkepal penuh kekesalan. “Kalo lu pikir gw sama kaya yang lu dengar di cerita-cerita itu, ga masalah. Gw ga akan menyalahkan lu,” hening melanda kami berdua setelahnya.

“… ahaha, karena itulah gw ga punya banyak teman.” Lanjut gw lagi memecah keheningan.

Ulkatoruk menatap gw. Tatapannya antara memelas atau menyelidik seolah pengen memastikan kalo apa yang dia dengar tentang Grymnystre itu salah.

“… Buat gw, lu ga se-terkutuk apa kata orang.” Dia bilang, seraya membuat salju yang digenggamnya melayang-layang. “Pas pertama sih, gw bertanya-tanya. Apa iya ini anak berbahaya kaya di cerita? Terus gw merasa apes banget harus satu tim dengan lu. Gimana kalo misalnya lu mulai lepas kendali kaya leluhur-leluhur lu?”

Weyy, weyy, yakali! Jangan samakan gw dengan orang yang udah lama ga ada lah!

“Yaa, mungkin lu bisa membekukan gw dalam kubik es kaya dua Cora kemarin?”

“Hahaha. Mau tau pendapat gw tentang lu?” Gw jawab pertanyaannya dengan mengangguk sedikit. “Fleksibel. Tau gimana caranya berperilaku tergantung kondisi yang terjadi. Selalu coba buat pura-pura cuek terhadap semua gunjingan orang atau terhadap lingkungan tempat lu berada, tapi ujung-ujungnya ga bisa. Karena di balik kecuekan itu, lu suka perhatikan hal-hal kecil yang sering dianggap remeh orang lain.”

Gw ternganga dengar penjabaran Ulkatoruk, merasa sebagian besar… emang gw banget, meski selama ini ga nyadar kalo gw kaya gitu. Pas. Gw berkata dalam hati, “Iya juga sih…” Yah, yang bisa nilai kita, emang cuman orang lain. “Wauw.” Gumam gw singkat sebelum Ulkatoruk melanjutkan.

“Dan, lu pendengar yang baik. Selalu lebih banyak dengarkan pemikiran orang lain ketimbang menuturkan apa yang ada di pikiran lu sendiri.”

“Gile… jago banget lu baca orang.” Sontak gw memujinya, ga nyangka kalo itu semua bakal keluar dari mulut Ulkatoruk. “Seolah-olah kaya… lu udah kenal gw sejak lama.”

“Itu bakat, hahaha.”

“Ga nyangka, lu pun bisa jadi orang yang menyenangkan. Biarpun mempelajari Force Air dan sering main es, tapi gw ga kedinginan di dekat lu.”

“Ya kali. Apa hubungannya Force yang gw pelajari dengan hal itu!?”

“Ahaha… coba aja, kita kenal dari dulu. Yakin kita bisa jadi sahabat baik.”

Asli ngobrol bareng Ulkatoruk ga sangka bisa seasik ini. Sampe lupa kita lagi sembunyi dari Jizzkar. Salut pada Holy Chandra ini… mengerti gw yang sebenarnya padahal baru juga ketemu kemarin.

“Ga pernah telat untuk mulai sesuatu kok,” celetuk Ulkatoruk sambil terpejam, “kondisi mental gw yang sekarang, kayanya butuh kehadiran seorang sahabat,” hela napas panjang terdengar di telinga, “mau jadi sahabat baik mulai detik ini?” terus dia nyengir ke gw.

Mata gw melebar liat ekspresinya, bertambah lagi orang baik yang mau jadi kawan gw. Orang yang ga semerta-merta menilai gw berdasarkan cerita dari sumber ga jelas. Dengan senang hati gw terima tawaranya sambil balas tersenyum, “Hal kaya gitu, ga perlu ditanyakan lagi lah.”

Dia bangkit dari duduknya, lalu menepuk bagian belakang kedua pahanya buat bersihkan salju yang menempel. “Hey Lake, apa lu punya seseorang yang amat dekat dengan lu? Sangking dekatnya, sampe-sampe lu ga kebayang gimana hidup tanpa orang itu?”

“… Ada,” Satu-satunya wajah yang muncul di benak gw pas Ulkatoruk nanya gitu, adalah wajah Elka.

“Begitu,” Ulkatoruk tertunduk dan membuang salju yang dari tadi dia terbangkan. “jaga orang itu dengan taruhan nyawa. Tetap di sisinya selama mungkin, jangan biarkan dia sendirian. Apapun yang terjadi, jangan jadi kaya gw.”

“Ulkatoruk…” Dari kata-kata yang dia ucapkan, ternyata ini anak masih merasa bersalah. Masih menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Namaste. Gw pengen bilang, “Itu bukan salah lu.” Tapi takutnya dia tersinggung dan malah bilang gw ga ngerti rasanya kehilangan.

Ga paham rasanya kehilangan karena dari awal emang ga punya apa-apa.

KREEEEEEEEEEEEEEESSSSSS!

GABRUUUSSHH!

Mendadak, pohon yang kita pake buat sembunyi dibelah jadi dua secara vertikal. Belahannya tumbang ke kiri dan kanan bersamaan.

“Mau ke mana sih, bro!? Buru-buru amat…” Dari belakang terdengar suara berat Shield Miller yang ga asing, penuh napsu membunuh, bikin kita merinding.

“EEEEKHH!” Udah aja, gw dan Ulkatoruk tengok pelan-pelan pasang muka panik, mau pastikan benar ga kalo yang punya suara ini… Jizzkar! Faak! Mampus dah, doi udah pake equip Shield Miller lengkap kaya mau tempur. Niat banget mau ngeratain kita!

“Plis deh, jangan pikir lu bisa lolos dari gw.” Kali ini, gantian seringai devil menghias wajah Jizzkar. “MAKAN NIH! PRESSURE BOMB!”

“UUUGGYAAAA!”

Fix, gw dan Ulkatoruk langsung jadi tempe bacem.

-Beberapa menit kemudian-

“Oke, apa kalian udah siap?” Tanya Sirvat pada kami semua.

“SIAP, CATERS!” Jawab kami serempak. Muka gw bonyok-bonyok dan keluarkan asap abis dihajar Jizzkar. Kampret tu orang, napsu amat gebukin gw. Ulkatoruk pun mengalami hal serupa. Yang lain mah cuma ketawa doang liat kelakuan kita. Sedangkan Jizzkar, mukanya masih bersungut-sungut.

Masih kesal kali momen sakralnya (re: B.A.B) terganggu. Wakakak, sangat sepadan!

“Udah ya, main-mainnya. Sekarang, serius nih.” Nada serius terdengar dari kata-kata wanita bermata krem ini. “Kita bakal kembali ke White Hole dan lanjutkan misi ini.” Kami yang mendengar, agak terhenyak. Well, kecuali gw.

“T-tapi… kita tinggal berlima! Beneran nih kita harus balik lagi ke tempat itu?!” Tanya Ish’Kandel ga percaya.

“Skuad pertama Resimen 18 belum dapat perintah buat pulang ke Headquarter. Kayanya Divisi Sains dan Teknologi bersikeras mau meneliti Etheron.” Sirvat menjelaskan, buat menenangkan Ish. “Gw tau, kita kehilangan anggota. Maka dari itu, kali ini, beberapa anggota dari Divisi Artileri akan ikut kita.” Lanjutnya.

“Cih! seperti biasa, Satuan Tugas Gabungan dianggap kumpulan Prajurit yang bisa ‘dibuang’ demi orang-orang pintar di belakang meja.” Umpat Jizzkar kesal. Seolah dia udah pernah berada di situasi gini sebelumnya.

“Entah itu benar atau enggak, yang jelas, gw ga bisa melakukan ini sendirian. Gw butuh kekuatan kalian yang ada di sini buat bikin misi ini sukses.” Kata Sirvat sambil memandang satu-persatu anggota skuadnya. “Jadi, sudi ga pinjamkan kekuatan kalian sekali lagi, untuk bantu gw?”

Sinar keyakinan terpancar di mata Sirvat. Dia beri kita pilihan, mau bertarung bersamanya, atau mundur dari pertempuran. Ga ada unsur paksaan sama sekali. Kita cuma harus mikir baik-baik.

Sirvat ga memaksa kita buat ikut dia ke White Hole, ga menahan kita buat tetap di sini juga. Semua kembali pada diri masing-masing. Siapkah kita, bila harus dihadapkan situasi kaya kemarin? Harap-harap cemas, saling menunggu sampai salah satu buka suara duluan.

“… Gw ga akan biarkan kematian Namaste jadi sia-sia,” Ulkatoruk yang pertama jawab, “kalo perlu, gw mutilasi semua Cora!”

“Haaahh… ya udah lah. Cuma ada 2 pilihan kalo mau pulang. Selesaikan misi, atau jadi koma kaya Samus. Opsi 1 jelas lebih baik,” diikuti Jizzkar.

“Ga perlu nanya lagi kan, skuad leader?” Sirvat tersenyum dengar kata-kata gw, pertanyaan yang udah diketahui jawabannya.

Tinggal Ish’Kandel, yang masih keliatan ragu. Kami berempat melirik ke arahnya. Menanti jawaban apa yang bakal dia kasih. Dia tarik napas, lalu buang napas memantapkan pikiran, “Lebih banyak perisai, lebih baik,” dia bilang. Jawaban yang bikin kita tersenyum lega.

“Terima kasih banyak, Prajurit. Gw sangat hargai keberanian kalian semua.” Mungkin saat ini Sirvat merasa terharu. Dari sudut matanya keluar setetes air mata. Mungkin yang lain ga ada yang sadar, soalnya dia langsung balik badan sembunyikan ekspresinya, “15 menit lagi, kita berangkat!”

“SIAP, CATERS!”

.

.

Cora Wharf, Ether…

“Kamu ga tidur ya semalam?” Tanya seorang Grazier muda pada gadis Corite berambut ungu.

“Tidur kok,” jawab gadis itu, “tapi, ga begitu nyenyak… huaaaammfftt…” Dia menutup mulutnya pas menguap.

“Masa tidur tapi menguap terus?” Selidik si pemuda, liat kantuk masih bersarang di mata kuning si gadis.

“Aku… mimpi aneh semalam.”

“Mimpi apa emang?”

“Mimpi… si rambut kelabu.”

“Astaga, dia lagi?!” Gann terlihat kesal. “Itu gara-gara sebelum tidur, kamu mikirin kejadian itu terus!”

“Tapi ini beda!” Faranell menyanggah. “Dengarkan dulu dong!” Gadis itu jadi ikutan jengkel.

Gann terdiam setengah kaget. Rasanya baru kali ini dia liat Faranell bersikeras. Akhirnya, dia memutuskan buat dengar Faranell cerita.

“Semalam, aku… mimpi berjalan di tengah padang salju. Ga tau ngapain, rasanya kaya ada sesuatu yang harus kucari. Tapi, ga tau apa. Lama berjalan… terus tiba-tiba jauh di depan, aku liat sesosok laki-laki berlutut. Terus, makin dekat, makin dekat, makin jelas keliatan rambutnya yang kelabu. Tapi, kelabunya ga sama kaya yang aku liat kemarin. Ada beberapa helainya bercorak coklat kekuningan. Dia.. lagi meluk tubuh wanita Bellato yang belum pernah kutemui. Tubuhnya terluka amat parah. Saat itu, kayanya udah ga bernyawa. Aku merasa.. prihatin banget ama si rambut kelabu. Seolah bisa ikut merasakan pahit kehilangan. Pengen banget menutup lubang di hatinya.

“Terus, tau-tau, aku menepuk pelan bahunya dan bilang, ‘Kamu harus merelakan, dia udah ga ada.’ Lalu, dia jawab, ‘Iya… udah tau kok.’ Aneh, kok dia bisa bicara bahasa Cora? Tadinya kupikir, mungkin dia bukan si rambut kelabu. Eh, pas dia berpaling, wajahnya ga salah lagi. Aku masih ingat jelas sepasang mata ungu itu.”

“Ya itukan cuma mimpi, Faranell. Hal-hal aneh bisa aja terjadi.” Kata Gann, menganggap hal itu biasa.

“Ta-tapi bukan cuma itu.” Faranell kembali menyanggah. “Si rambut kelabu… di mimpiku… pake Armor Cora! Di akhir mimpi aku berkata, ‘Balik yuk ke Wharf, yang lain mencarimu tuh.’ Lalu, kita jalan berdampingan ke Cora Wharf! Ka-kaya udah lama banget saling kenal. Dia… dia… bagian dari kita!” Faranell gelisah, berusaha ambil kesimpulan dari mimpi tersebut.

“Heyy, heyy, Faranell! Dengar aku, dia itu Bellato! Musuh kita! Ga ada secuilpun bagian Cora darinya.”

“Tapi gimana kalo itu suatu pertanda dari Decem, Gann?

“Pertanda apa? Itu cuma mimpi! Bunga tidur! Ga rasional!”

“En-entahlah. Pertanda… sesuatu. Mungkin,” Faranell berusaha menghindari mata Gann yang menyorot marah ke arahnya.

“Decem ga akan menciptakan Cora kaya dia, Faranell.” Gann berbalik, mempersiapkan peralatannya, karena skuad mereka akan kembali ke White Hole untuk mencari Etheron. “Jangan sampe kamu prihatin juga pas berhadapan lawan mereka.”

Faranell masih terdiam dan menolak buat melihat ke arah Gann. Dia masih kepikiran akan mimpi tersebut. “Kenapa ya, ada perasaan kemarin ga akan jadi pertemuan terakhir dengan si rambut kelabu?” Pikirnya dalam hati.

Tentu saja. Karena kedua belah pihak memiliki tujuan yang sama. Membulatkan tekad buat kembali ke White Hole.

“Heart…? I’ve filled my heart with hatred.” – Ulkatoruk (Ch.11)


CHAPTER 13 END.

Next Chapter > Read Chapter 14:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-14/

Previous Chapter > Read Chapter 12:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-12/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list