LAKE CHAPTER 15 – THE FLAMES BRIDE & FROST POINT ICEWRACK
Lake
Penulis: Mie Rebus
“Pertanyaannya bukan ‘gimana‘, tapi ‘apa‘. Kalo ga ada yang bilang ‘Sentinel itu lemah, ga bakal bisa mengalahkan Warrior’, dan saya kasih kamu senjata, dan minta kamu lawan seorang Warrior, ‘apa‘ yang akan kamu lakukan? Biar naluri yang jadi pemandumu.”
Agaknya gw masih ga percaya bisa menumbangkan seorang Black Knight dari Cora yang terkenal akan kebadakannya. Ya, dia terbaring ga berdaya di atas salju… dan gw masih berdiri. Biarpun… keadaan tubuh gw ga bellatowi.
Selain luka tebasan, yang paling bikin nyeri adalah keretakan tulang di beberapa bagian setelah melakukan serangan terakhir tadi. Belum lagi patah tulang siku gara-gara bikin si dia melayang di udara. Kaki gw gemetar menumpu tubuh kecil ini. Seolah hampir ga mampu menahan berat badan. Kedua telinga pengang, hampir ga bisa menangkap suara apapun. Cuma ada bunyi ngiiiiiiiing panjang. Gontai, pilu, lelah, campur aduk jadi satu.
Gw berulang kali menarik napas panjang dan buang lewat mulut buat tenangkan pikiran. Sayup-sayup suara latar pertempuran mulai kembali terdengar secara perlahan.
“DA… SADAAA!” Teriakan seorang Wanita Corite jadi hal pertama yang kembali terdengar setelah pengang berlalu. Adventurer yang dilawan Ulkatoruk langsung berlari tinggalkan pertarungannya, dan menghampiri Si Black Knight. Dia letakan jemari di leher si Black Knight guna cek denyut nadi, “You… killed him. YOU KILLED SADA!”
Dia berteriak pada gw sambil menatap marah. Tetes air mata berurai di balik kemarahan itu. Kenapa dia terlihat marah? Kenapa dia menangis? Si Black Knight itu ga mati, kan? Reaksinya terlalu berlebihan gw rasa.
“FARANELL!” Teriaknya lagi, kali ini dapat respon dari perempuan Corite berambut ungu panjang dikuncir ekor kuda. Dia … yang hampir gw tusuk lehernya kemarin. Faranell … itukah namanya?
“Oh my Decem… Anclaime!” Pekiknya kaget liat si Black Knight terkapar, “Inana! Come fort!” Grazier itu memanggil Inana, Animus penyembuh milik Decem. Lingkaran sihir muncul dari tanah, sesosok Animus bertudung keluar. Raut kepanikan dan cemas keliatan dari tempat gw berdiri. Sedangkan, Si Adventurer masih memandang gw dengan geram.
“Ra-Raha, I’m so sorry. But… Anclaime Sada… is gone.” Ujar Grazier itu pada temannya. “Inana… can’t heal him if he’s… not alive,” kalimatnya terdengar penuh duka.
Adventurer itu berdiri tanpa melepas matanya dari gw, lalu mengangkat busurnya, bersiap menembak anak panah. Sial! Kalo dia serius, gw ga akan punya kesempatan buat menghindar, “Die, Infidel!”
Dia lepaskan tiga buah anak panah bergantian, dengan gw sebagai sasaran. Ugh! Gw berusaha buat mengelak, tapi nyeri-nyeri langsung menyerang begitu gerakkan badan. Gak bisa! Arrgh! Gawat!
“LAKE! KENAPA LU DIAM AJA!?” Ulkatoruk berseru sembari mengayun tongkatnya dalam sudut lengkung. 3 buah untaian air mulai terbentuk dari udara dingin. Untaian tersebut langsung membeku, dan jadi tajam ujungnya. Masing-masing seukuran lengan. Es tersebut makin terasah setajam tombak dengan tekad bertarung Ulkatoruk.
Begitu si Holy Chandra mengayun tongkat untuk kedua kalinya, ketiga batu es itu melaju secepat peluru ke arah panah yang ditembakkan si Adventurer.
Es batu pertama mengenai satu anak panah. Pas esnya berbenturan dengan anak panah, langsung pecah berserakan bak serpihan kaca yang berkilau diterpa sinar matahari siang.
Diikuti juga dua sisanya. Mencegah badan gw ditembus anak panah. Senyum lega tersimpul di bibir Ulkatoruk, “Fuuh, nyaris.” Tapi, senyum itu sirna pas liat hal berikutnya. “Hah!?”
Rasa sakit mendera perut dan dada gw sebelah kanan. Bercak darah mulai merembes dari situ. Seolah ada benda panjang tajam menusuk perut dan dada. Benar aja, kenapa gw ga menduga sebelumnya? Anak panah transparan mulai tampak kokoh sampe tembus punggung.
Ternyata, si Adventurer itu menembak 5 panah. Yang terlihat cuma tiga. Dua lagi luput dari penglihatan Ulkatoruk. Begitu dua anak panah transparan itu tampak, semua udah terlambat.
Gw mencabut paksa kedua panah yang menancap di perut dan dada, “Egh!” Lalu buang entah ke mana.
“Faranell, use your Hell Bless!” Katanya pada kawan Grazier, yang seolah ga percaya pendengarannya sendiri.
“Bu-but … he’s already dying! It will torture him even more,” balas si Grazier.
“That is exactly what i want. I could just blow his head away and kill him. But I don’t want this filthy creature die quickly. I want him suffer the pain. I want him die as slow as possible, i want you to-” Tetiba, hal super aneh terjadi. Entah penyebabnya apa, kedua Corite di depan gw itu berganti bahasa… sehingga… gw… mengerti kata-kata dari mulut mereka, “membalas kematian Sada! Aku ingin kamu tunjukkan seperti apa rasanya diteror kematian!”
“T-tapi Raha … dia…” Grazier ini berusaha menolak apapun yang diperintahkan ke dia.
“Apa kamu berani bantah perintah atasanmu, Faranell Trinyth!?” Ancam si Adventurer. “Lakukan, demi Sada! Bellatean kotor di hadapanmu udah bikin Skuad leader kita menghembuskan napas terakhir! Kalo kamu bantah perintahku, kuanggap kamu pengkhianat!”
Ragu-ragu, Si Corite berambut ungu itu pun berdiri beberapa meter di depan gw. Tongkatnya ragu menodong. Muka pucat, mata kuningnya mengiba. Mulutnya bergerak-gerak, kayak ada yang pengen diucapkan. Tapi apapun itu, sama sekali ga keluar barang sepatah kata dari sana.
Jadi … gw udah membunuh Si Black Knight itu, ya? Padahal gw sama sekali ga berniat melakukannya. Gw kan cuma meladeni aja. Dia duluan yang mulai sih.
Tapi biar gimanapun, gw paham. Membunuh tetaplah membunuh … ga peduli segala macam dalih. Pada akhirnya, gw mencabut sebuah kehidupan dari raga makhluk hidup yang meninggalkan memori berharga bagi orang-orang terdekat. Gw yakin betul, dua Corite wanita ini pasti mengalami duka mendalam kehilangan salah satu kawan seperjuangannya.
“Maap,” ucap gw lirih pada kedua Corite di depan gw, “maap atas apa yang udah gw perbuat. Semua itu … ga disengaja.”
Kedua pasang mata itu tampak melotot bagai hendak melompat keluar. Mereka kaget bukan kepalang mendengar kata-kata gw… karena… “Kamu … mengerti bahasa kami!?”
Hah? Bahasa… siapa? Bukannya kalian yang… berbicara bahasa Bellato? Lah? Gw jadi ikutan bingung.
“LAKE! CEPAT PINDAH DARI SANA!” Ulkatoruk berlari mendekat.
“FARANELL! LAKUKAN!”
“Tapi… dia… kenapa paham bahasa kita, Raha!?”
“AKU GA PEDULI! YANG PENTING DIA MATI PELAN-PELAN!”
“LAAAKE! SADAR, BOY!”
“UUUWWAAAAA! HELL BLEEEESS!”
Semua teriak-teriak kayak orang gila. Bikin pusing bukan kepalang dengarkan suara-suara mereka. Dunia serasa berputar di kepala gw. Semua terjadi dalam gerak lambat, padahal gw lagi ga pake Accel Walk. Si Grazier berambut ungu itu mengayunkan tongkat keemasannya. Angin langsung berdesir lumayan kencang, diikuti aura kehitaman menggulung-gulung.
“SIALAAAN! PALLADIUM OF THE ICEWRACK!” Ulkatoruk berusaha melindungi gw dengan tebing es panjang, karena posisinya sendiri masih agak jauh. Tapi percuma. Aura kehitaman itu dengan mudah menembus tebing es, kemudian membungkus tubuh gw.
Napas gw langsung sesak dan berat, mata berkunang-kunang, organ dalam seolah diobok-obok tangan ga bertanggung jawab.
“AAAAAAAAAAAARRRRRRRRGGGGGHHHHHH!” Gw teriak sampe tenggorokan lecet, tahan sakit yang luar biasa.
.
.
“UDAH, WOII! UDAH!” Shield Miller sebaya gw berusaha sekuat tenaga menahan badan sesosok Holy Chandra, yang terlihat marah-marah pada seorang Wizard perempuan. “GA PERLU TAMBAH PERTIKAIAN DI TIM SENDIRI DALAM SITUASI BEGINI!”
“DIA MEMBAKAR LAKE, ISH’KANDEL! TANPA PIKIR PANJANG!” Telunjuk Ulkatoruk tertuju tegas pada Meinhalom yang cuma tertunduk lemas. “LU KEBAYANG GA? ORANG LAGI SEKARAT MALAH DIBAKAR HIDUP-HIDUP!? OTAK LU TU DIMANA?!” Matanya memicing tajam ke si Wizard.
“A-aku… menyembuhkan dia…” Jawab Meinhalom pelan, “Lagipula, itu semua… atas persetujuannya.”
“KALO GA BISA MENYEMBUHKAN, BILANG DARI AWAL!” Jawaban itu malah bikin Holy Chandra muda ini makin naik darah, “WIZARD GA USAH SOK BERLAGA HOLY CHANDRA!” Lanjutnya kasar.
Betapa terkejutnya Ulkatoruk menerima satu pukulan telak di wajahnya. Pelakunya ga lain ga bukan, adalah Ish’Kandel. Meinhalom pun ga kalah kaget atas perbuatan kameradnya, “Kenapa lu jadi tempramen gini sih, bro?” Tanya pemuda berambut kuning acak.
Ulkatoruk terdiam.
“Lu harus ingat, setidaknya dia melakukan satu hal yang ga lu bisa. Dia menghilangkan efek Hell Bless.”
JLEB! Kata-kata Ish menusuk Ulkatoruk aja deh tuh. Pait bet pait.
Sial. Keadaan ini benar-benar di luar kendali. Semua gara-gara gw. Cuma gara-gara mau sembuhkan luka aja, sampe perang urat sarap semua
“Ulkatoruk,” akhirnya gw angkat bicara, dan mengubah posisi dari tiduran jadi duduk. Mereka bertiga mengalihkan pandangan ke gw, “dia berkata jujur kok. Dia … menyembuhkan gw,” lengan gw terulur, menunjukkan ke mereka. Kepulan asap bekas mantra Meinhalom masih terus keluar dari luka-luka.
Sssssshhhh! Ssshhh! Sssshh! Kira-kira begitu bunyinya.
Mantra penyembuhan Meinhalom benar-benar ekstrim. Ekstrim sakitnya, tapi ekstrim juga manjurnya. Setelah sakit dan panas yang sangat mengerikan, efek penyembuhan barulah terasa kemudian. Goresan-goresan di lengan, bahu, leher, paha … luka bolong di dada, dan perut menutup sendiri.
Tulang-tulang keseleo, remuk, retak, bahkan siku patah terasa menyambung lagi dengan kecepatan yang ga bisa dipercaya. Luka yang harusnya butuh berhari-hari buat sembuh, jadi cuma butuh setengah jam doang. Kurang malah.
Berulang kali gw mengepalkan telapak tangan kanan yang tadinya mati rasa dan ga bisa gerak sama sekali. Seolah tangan kanan gw diamputasi. Terus buka lagi, mengepal lagi, buka lagi. Untuk pastikan kalo tangan gw benar-benar masih ada di tempatnya.
Ulkatoruk dan Ish’Kandel terbelalak liat gw. Syok tergambar jelas di wajah mereka liat beberapa saat lalu keadaan gw parah banget, eh sekarang bangkit dari keadaan hampir mati dalam waktu berapa menit doang.
“Seumur hidup … kuhabiskan untuk, pelajari … satu-satunya Force, yang kukuasai; mengendalikannya, cari tau apa … aja yang bisa, dilakukan energi panas … memahami sampai, partikel terkecil …” kata Meinhalom memecah keheningan, “dengan api, aku bisa melakukan… apapun,” senyum kecil polos diberikan perempuan imut ini.
Apa iya kepribadiannya cengkok kayak kata Ulkatoruk? Ah, perasaan kagak deh.
Tubuh gw udah jauh lebih baik dari yang tadi. Gw sigap berdiri tanpa kesulitan berarti. Ga lupa gw berterimakasih pada Sang Penyelamat, “Makasih ya, Meinhalom.”
Dia cuma mengangguk sembari masih tersenyum. Ish’Kandel menyikut pelan lengan Ulkatoruk, seolah mengisyaratkan sesuatu.
“Ma-maaf. Gw udah marah-marah dan salah sangka,” Ujar Si Holy Chandra sambil megang bagian belakang leher sendiri.
“Gak apa … aku mengerti, kamu masih, kesal. Gara-gara, sparing … itu.”
“Lu … masih ingat?”
“Tentu. Ga ada, lawanku yang … menguasai Force, Air dan Udara … sebaik kamu,” kata Meinhalom kalem. “Aku tau … agak telat. Tapi … turut berduka, buat … Namaste,” Dia keliatan ragu-ragu buat mengucap itu. Takut menyinggung perasaan Ulkatoruk. “Dan aku, minta … maaf juga. Dulu, sebenarnya … aku ingin, menyembuhkan lukamu. Karena itu, semua … gara-gara, aku … kelewatan. Padahal … ga pernah, ada niatan … untuk melakukan … separah itu. Tapi, mendiang Namaste… bersikeras mencegahku.”
“… Kayaknya kita impas yah sekarang.” Akhirnya, Ulkatoruk tersenyum pada Meinhalom untuk pertama kali. Ciee ciee… udah baikan nih.
“AWAS DOOM BLAAAAAST!” Moment kita terganggu oleh teriakan peringatan Jizzkar yang lagi bertarung lawan Accretia bersama Darr dan Gaizka. Ohh sial .. para Striker Accretia udah masuk Siege mode, dan mengarahkan moncong Launcher mereka … ke tempat gw berdiri! OH AYOLAH! Kenapa selalu gw yang diincar? Kayak ga ada yang lain aja sih!
Mampus dah. Baru juga keluar dari keadaan sekarat! Yah, mungkin sebenarnya serangan mereka tertuju ke pasukan Cora. Apesnya, kita berempat ada di tengah-tengah jalur tembakan para kaleng. Ish’Kandel ga tinggal diam. Dia bersiap menyerap benturan dahsyat dari peluru-peluru launcher, dilengkapi ekspresi panik.
“CHUBASCA! INAKI!” Royal Oritzi terdengar memberi arahan dari radio Black Goliath, “HALANGI JALUR PELURU PARA KALENG ITU, JANGAN SAMPE KENA PASUKAN KITA DI SANA!” Suaranya terdengar lantang melalui komunikator.
Woooh … jadi para Armor Rider yang jalan belakangan udah tiba rupanya. Tapi mana sempat MAU-MAU itu blok Doom Blast-nya para kaleng? Kami cuma bisa berharap perisai besar Ish’Kandel ga hancur lebur dihujani roket.
Tiba-tiba, Meinhalom udah berdiri agak jauh di depan Ish’Kandel. Seperti berusaha buat gantikan Si Shield Miller itu dalam tugasnya melindungi kita. Gila kali ya ini Wizard!? apa yang ada di kepalanya sampe bisa kepikiran mau menghadang? Tembok es Ulkatoruk aja langsung berantakan kena tembakan biasa, ini lagi Doom Blast! Ish’Kandel pun keliatan ragu-ragu.
“MEIN! APA YANG LU LAKUKAN?” Sontak gw berseru.
“WAH PEREMPUAN ITU PASTI UDAH SARAP BENERAN!” Ish’Kandel ga kalah tegang.
Pas kita berdua mau cegah Meinhalom supaya ga bertindak nekat, Ulkatoruk menghadang dengan tangannya. Berbeda dari kami berdua yang panik dan tegang, Si Holy Chandra keliatan santai-santai aja. Dia malah bertanya, “Lu mau tau ga, kenapa dia yang terkuat kedua se-Akademi?”
Kedua peluru Doom Blast Accretia bertabrakan dengan tubuh kecil Meinhalom. Efek ledakan teramat panas berwarna kuning kehijauan berbentuk kubah raksasa tercipta! Areanya makin lama makin meluas dari titik pusat ledakan. Seketika, salju dalam ruang lingkupnya meleleh, berubah jadi asap. Menghilang, seolah ga pernah ada salju di sana. Batang-batang pohon ga berdaun terbakar semua.
Bahkan, radiasi ledakannya aja sampe di tempat gw menyaksikan kejadian itu.
“MEEEIIN!” Teriakan gw penuh putus asa, menggema ke seluruh penjuru Ether. Ga bakal ada yang hidup setelah kena ledakan sedahsyat itu. Gak ada! Pasti langsung lenyap! Sisa mayat aja masih untung. “BEDEBAAAH! SOK IDE BANGET SIH TU ANAK!”
Dada gw diselimuti rasa kesal ga mengenakkan. Sangking kesalnya, tangan ini sampe meninju tanah sekuat-kuatnya. Kesal karena biarkan orang yang udah menyembuhkan gw tewas tanpa bekas di tangan Accretia, sedangkan yang bisa gw lakukan cuma mengumpat. Ga ada usaha buat menolongnya.
Perasaan Ish’Kandel pastinya ga menentu abis liat kejadian itu. Di satu sisi, dia menyesali pengorbanan Meinhalom yang suka rela gantikan dia buat menghadang Doom Blast. Malu. Agaknya dia malu, sebagai Shield Miller … enggak, sebagai lelaki, hatinya masih ragu-ragu untuk jadi tumbal. Sedangkan, seorang Wizard, PEREMPUAN! Tanpa takut, tanpa gentar, dengan mantap maju buat hadapi kematian absolut.
Di sisi lain, dia lega. Bahwa bukan dirinya yang berdiri di sana. Mungkin saat ini dia mengutuk perasaan itu. Apa boleh buat, ga bisa dipungkiri, ‘keinginan hidup lebih lama’ masih dominan di hatinya.
Gw ga menyalahkan Ish’Kandel atas perasaan tersebut. ‘Keinginan untuk hidup’ itu hak setiap makhluk bernyawa. Wajarlah kalo kerap diliputi keraguan, ketakutan, ga tau apa yang harus dilakukan pas dihadapkan situasi genting begini. Kami baru jadi Prajurit kemarin sore. Masih sering tersesat, dan masih butuh banyak panduan. Liat kekuatan Launcher Accretia … kayak jadi semut di tengah badai.
“Tau ga, susahnya mengumpulkan energi panas di sini?” Entah apa maksud Ulkatoruk bertanya begitu ke kita, yang jelas-jelas ga pernah belajar Force sama sekali. Kepala gw masih tertunduk, coba mencerna pertanyaan itu. “Sama kaya mengumpulkan partikel air di Sette, hampir mustahil.”
Tunggu… setelah gw pikir lagi… jangan-jangan…
Sigap gw angkat wajah, menyelidik seksama ke titik ledakan besar tadi. Di tengah kepulan asap hitam dan lidah api menjilat tinggi ke angkasa, sosok siluet kecil ciri khas Bangsa kami terlihat berdiri.
“Ga selamanya Force Air bisa leluasa dipake. Semua tergantung lingkungan gw berada.”
Edaaan! Sulit dipercaya! Rahang gw ga bisa menutup liat pemandangan di depan. Meinhalom … masih utuh! Kedua kuncirannya terbakar, membuat rambut pink panjang tergerai, dan berkibar ga beraturan diterpa angin kencang. Untung rambutnya ga ikut kelalap api. Armor Wizard yang dia pake ga ada lecet sedikitpun.
“Makanya, gw belajar Force Udara juga.”
Force merah bergejolak dari dirinya. Seolah melindungi raga Wizard tersebut dari kobaran api ganas. Kedua tangan berada di dada, tongkat tergenggam di tangan kiri. Mata menatap sayu pada Striker Accretia. Ga ada lagi senyum polos nan imut yang tadi dia beri.
“Tapi, semua itu ga berlaku. Karena Meinhalom … pengecualian.”
Posenya sama kaya waktu dia menembak bola api buat sembuhkan gw. Ya, dia memusatkan sejumlah besar Force, dan membentuk bola energi merah. Lidah api membara akibat ledakan Doom Blast yang ada di sekitarnya tersedot masuk ke bola energi tersebut.
“Satu kesalahan para kaleng, mereka ‘main api’ di hadapan Mempelai Wanita Sang Lidah Api.” Kata Ulkatoruk sembari menyeringai tegang menyaksikan kemampuan perempuan berambut merah muda yang disebut-sebut Spiritualist terkuat kedua se-Akademi.
“Ember’s End..” Dengan satu gerakan anggun, Meinhalom mendorong bola merah itu. Bola energi tersebut melaju kencang ke salah satu Striker Accretia.
Sadar lagi jadi sasaran, Striker itu melepas siege kitnya supaya bisa bergerak, lalu langsung mengaktifkan booster dan melayang menjauh. Belok sana, belok sini. Si Striker bergerak zig-zag, berusaha menghindari mantra Meinhalom. Percuma, bola energi itu tetap mengikuti pergerakan Si Striker bagai misil yang udah mengunci target.
Merasa ga bisa lari, Striker itu berhenti dengan segera balik badan, dan kembali pasang Siege Kit-nya. Dia menembakan Launcher buat hancurkan bola energi itu.
Ledakan dahsyat lagi-lagi tercipta akibat kekuatan besar saling beradu. Gw, Ish’Kandel, Ulkatoruk cuma diam menyaksikan sambil ga bisa lepas ekspresi kagum sekaligus ngeri.
Ha-hahh? Launcher dan Siege kit-nya … hancur lebur … sekalian lebih dari setengah badan sebelah kanan penggunanya dihantam bola energi merah yang tetap terbang cepat. Doom Blast ga sanggup menghalangi bola merah itu mencapai target. Lalu, tali-tali api keluar dari tubuh Striker dan mengikat kuat, matikan total pergerakannya.
Percikan-percikan listrik keluar dari bagian tubuh yang tersisa. Begitu juga dengan ledakan-ledakan kecil akibat arus pendek pada sirkuit Accretia itu. Sinar merah pada lensa optiknya makin lemah, tapi masih nyala kedap-kedip.
Si Wizard ga berkata apa-apa, namun pertahankan mata sayunya. Kini, dia senyum sinis kepada lawan yang udah ga berdaya.
Dengan cepat, Black Goliath Royal Oritzi mendaratkan serangan dari atas sebagai lanjutan serangan! Gila! Goliath hitam tersebut menghancurkan sisaan Accretia yang masih terikat mantra Meinhalom. Gepeng dah tu kaleng, Komandan.
“Bagus, Meinhalom!” Kata si Armor Rider dari radionya. Meinhalom merespon dengan anggukan kecil. Kombinasi yang cukup mengerikan bagi gw.
Akademi Spiritualist isinya monster gahar semua kali ya? Kalo dulu pernah melawan Spiritualist yang ga cuma pintar merapal seabrek mantra, tapi juga kuat bela diri, kali ini gw bertemu Wizard yang ga modar setelah berhadapan Doom Blast! Jangankan meninggal, luka barang sedikit pun ga ada! Ditambah lagi, sekali serang bisa bikin seonggok Striker kehilangan kemampuan tempur!
Gw sedikit lirik Ulkatoruk yang masih terpana liat aksi kedua anggota Divisi ke-4 Artileri, dan bergumam dalam hati, “Ini anak juga, ga kalah hebat sebenarnya.”
Kayaknya gw paham maksud pertanyaan Ulkatoruk tadi. Sumber kekuatan Meinhalom adalah Api atau apa aja yang bersifat panas. Nah, berhubung lagi di Ether, dinginnya bukan main, tentu hal itu jadi hambatan buat mengeluarkan potensi maksimal kemampuannya.
Makanya, dia percaya diri banget menghadang Doom Blast. Ledakan super gedenya itu lho. Di mana-mana kalo namanya ledakan, pasti erat kaitan dengan api dan panas, kan? Itu sih ‘makanan’ bagi dia.
Kemampuan Oritzi bermanuver pake MAU-nya juga luar biasa. Sampe bisa bikin robot yang menjulang lebih tinggi dari Accretia lompat begitu. Divisi Artileri … keren-keren! Ga heran mereka jadi pasukan Elitnya federasi.
Sementara itu, Sirvat berhasil mengalahkan seorang Templar. Pipi Sirvat tergores tombak lawannya, tapi sebagai balasan, Templar itu dibikin tepar di tengah kawah dangkal berdiameter sedang hasil kreasi Berserker tersebut. Dia melambai ke gw setelah menumbangkan Templar itu sambil tersenyum girang. Dasar. Kayaknya ga ada yang perlu dikhawatirkan dari dia.
“Lake! Cepat ambil Etheronnya, supaya kita bisa pergi dari sini!” Perintahnya. Oh iya! Sampe lupa rencana itu!
Mendadak, terasa aura membunuh pekat dari belakang Sirvat walaupun ga ada siapa-siapa. Assassin! Pasti Assassin keparat itu mau ambil kesempatan pas Sirvat lengah! Ga akan gw biarkan! Ga akan gw biarkan lu lolos dari pengawasan gw kali ini!
Gw kembali pake Accel Walk buat percepat langkah, langsung gw ambil pedang yang tadi lepas dari genggaman lalu mulai lari sebelum semua terlambat, “AWAS, SIRVAT!”
“Hah?!”
Gw tepat waktu! Tubuh Sirvat gw dorong sekuat tenaga sampe ambruk ke samping. Pedang gw sigap menangkis belati transparan yang tertuju pada leher skuad leader kami.
Dalam posisi terduduk, perempuan berambut hijau pendek ini keliatan bingung apa yang lagi terjadi karena Si Assassin belum tampak wujudnya. Dan dia ga kalah heran, kenapa pedang gw bisa berdenting begitu, padahal cuma menusuk angin.
Semua jelas, ketika mulai muncul batang hidung Si Assassin.
“Cih, you little …” Ujarnya geram. Hmm, aneh. Perasaan pas gw sekarat, untuk sesaat tadi gw paham kata-kata para Corite. Kok sekarang ga lagi, ya? Apa tadi cuma halusinasi gw aja? “What the-” Ekspresinya terlihat kaget seraya menunduk.
Penasaran, gw ikutan nunduk juga. Ternyata kaki Assassin itu … keduanya beku dari telapak hingga tulang kering. Bikin dia ga bisa ke mana-mana.
“Kena lu sekarang,” suara Ulkatoruk terdengar dingin. Dia melangkah santai, tapi dari sorot matanya tenggelam penuh dendam. Salju di sekitar bergetar hebat seakan hendak mengamuk. Angin dingin tadinya tenang, jadi terasa menyayat permukaan kulit. Tiap langkah Si Holy Chandra membuat salju terangkat lalu berubah jadi batu es besar bergerigi tanpa dia melakukan apa-apa.
Batu-batu es tersebut makin bertambah jumlahnya, bergerak memutar di balik punggung Ulkatoruk. Tangan kirinya makin erat genggam tongkat. Dia udah ga peduli rasa sakit melanda telapak tangan kanannya yang bolong gegara dijepret Adventurer. Meski keliatan tenang, gw yakin banget emosinya lagi mendidih bukan main.
Si Assassin makin panik. Esnya makin lama makin naik. Tadi cuma sebatas tulang kering, sekarang udah sampe pinggang. Gw melangkah mundur, begitu juga Sirvat. Karena kami sadar, Ulkatoruk udah ga bisa dicegah. Corite itu melempar pisaunya pada Ulkatoruk. Tindakan putus asa. Lemparan pisaunya langsung diblok salah satu batu es. Sementara, es udah membekukan dada si Assassin, berlanjut ke leher.
“He-Help! Help m-” tanpa sempat selesaikan kalimatnya, es udah mencapai mulut Corite itu. Beberapa detik kemudian, ujung rambutnya udah beku. Kini, seluruh tubuh Si Assassin telah sempurna diselimuti es padat.
“Gimana rasanya, ga bisa teriak minta bantuan?” Pertanyaan sarkastik dari mulut Si Holy Chandra, ingat Namaste yang ga bisa bicara saat tewas di tangan Corite di hadapannya. Dia ga mengharap jawaban, soalnya keadaan Si Assassin udah ga memungkinkan untuk bicara.
Satu batu es melesat cepat dari balik punggung Ulkatoruk, dan hancurkan kaki kanan Si Assassin. Ga ada setetes darah pun keluar karena udah dibikin beku sampe ke tulang, “Itu untuk Namaste.”
Es batu kedua mengincar tangan kirinya. Sama kayak tadi, bagian itupun pecah berantakan, “Itu untuk Namaste.”
Biarpun serpihan esnya indah, tapi tetap ada merah-merah lapisan daging Corite yang terlihat … ugh! Kayaknya gw ga bakal sanggup liat kelanjutannya.
Es batu ketiga menembus tubuh bagian atas Si Assassin, tepat di tengah-tengah antara dada dan perut. Faak! Bolong! Organ dalam Corite yang masih merah segar itu, berceceran ke mana-mana.
Shite, shite, shite! Gw langsung buang muka. Sirvat juga pejamkan matanya. Entah apa Corite itu masih hidup, atau udah mati di balik dingin es yang teramat menusuk pilu. Ulkatoruk tepati omongan yang pernah dia katakan, “Kalo perlu gw mutilasi semua Cora!”
“Itu untuk Namaste,” 3 kali terucap kalimat sama persis. Di balik sikap biasa aja yang ditunjukannya, dia emang belum bisa lepas kepergian Namaste. Saat ini dia lagi perlihatkan pada kita, hatinya yang udah penuh dengan kebencian, “DAN INI … UNTUK NAMASTE, BANGSAT! WRATH OF THE FREEZING CARNATION!”
Seluruh batu es yang tersisa menghujani Si Assassin tanpa ampun secara terus menerus, mengikis perlahan tubuhnya sampe tinggal serpihan. Siapa sangka di balik keindahan kristal es, ada kekuatan membunuh seperti ini? Badai meteor es hebat. Siapa aja yang liat pasti bergidik ngeri, ga terkecuali gw. Bulu kuduk gw berdiri nih!
“Lake,” panggilan Sirvat mengembalikan fokus gw, “buruan deh mendingan.” Gw mengangguk tanda mengerti, dan bergegas menuju pintu masuk goa.
Sementara, Warlock Cora menyerang kami pake rentetan Force Udara. Angin bertiup kencang, diiringi sambaran gledek menggelegar. Ish’Kandel langsung lompat melindungi gw dan Sirvat dari serangan itu. Dari belakang Si Warlock, tersisa dua Templar yang masih bisa melawan. Keduanya menerjang penuh napsu.
“Di sini biar kita yang urus,” celetuk Berserker wanita singkat.
“Oke,” dengan itu, gw berlari tinggalkan mereka.
Selagi berlari, banyak hal lalu-lalang di kepala gw. Di antaranya yang baru aja terjadi. Segitu sakitnya luka hati akibat kehilangan sampe bisa bikin nurani kita buta sesaat. Cuma gegara dendam, orang yang sebenarnya menyenangkan, jadi berubah mengerikan. Terus … setelah sukses balas dendam, apa lagi? Apa lagi yang dia cari?
Pas lari di tengah medan pertempuran, gw berusaha buat fokus terhadap tanggung jawab yang diemban. Selihai mungkin hindari peluru-peluru nyasar, dentuman Launcher, roket salah tembak, amukan Force, trap-trap yang meledak di sekitar.
Tengok dikit ah cek keadaan. Dari sudut mata ungu, tertangkap adegan pertarungan Jizzkar dan Gaizka, meladeni dua Punisher dan Mercenary. Striker Accretia tinggal satu, menyokong Warrior dalam Siege Mode. Tembakannya diarahkan ke pasukan Cora. Black Catapult Inaki berulang kali menembaki Accretia-Accretia itu.
Tadinya gw mau lurus terus. Eh, begitu sadar Siege Kit Striker berubah arah, sontak aja gw belok. Ujung Launchernya kini tengah membidik Jizzkar, “JIZZKAR! STRIKERNYA!” seru gw.
Jizzkar tersadar akan hal itu. Dia berusaha lompat ke samping, tapi ada Isis dan Hecate milik sepasang Grazier ikutan menutup pergerakan Shield Miller senior.
Hecate lancarkan serangan pada Jizzkar dari jarak jauh. Si Shield Miller langsung pindahkan perisainya di depan badan dan menangkis serangan tersebut, “CIIH!” Isis dengan cepat layangkan pedangnya dari celah pertahanan Jizzkar yang terbuka. Rusuknya kena bacok! Dia langsung berguling ke kanan, maksudnya sih buat menjauh … sayangnya satu peluru Launcher langsung menghantam telak! “BAAH!”
Untung dia sempat angkat perisainya di saat terakhir! Tapi, kekuatan Launcher Ranger Accretia bikin Jizzkar terpental jauh ke belakang. Shield Miller senior itu langsung bangkit, perisainya remuk akibat gempuran launcher barusan. Tanda hitam terbakar jadi hiasan terbaru di perisai besar tersebut. Isis milik salah seorang Grazier kian mendekat, begitu ga sabar ingin mencabik-cabiknya.
Gw lompat dan melakukan hobi yang baru gw kembangkan akhir-akhir ini; tendangan voli akrobatik ke kepala.
Ga Cora, ga Animus… sama aja! Pasti sempoyongan kena tendangan penuh tenaga. Kali ini, giliran Jizzkar yang lompat. Di udara, dia teriak penuh semangat, “PRESSURE BOMB!”
Saat bersamaan, gw ga mau kalah! Salto ke depan! “SHADOW TURN!”
Karena gw lebih cepat, serangan gw yang masuk duluan. 3 tebasan kilat tinggalkan luka cukup dalam sekujur dada Isis, bikin dia makin pusing aja. Diakhiri Pressure Bomb Jizzkar.
BLEDAR!
Busyeeet. Setelah dipikir-pikir, gokil juga nih kombinasi kita. Padahal semua spontan aja. Ga pernah direncanakan sebelumnya. Meninggal dah itu Isis.
Gw dan Jizzkar langsung melakukan toss dengan gaya cool berat. Biarpun Armor kita udah compang-camping, yang penting tingkat ketampanan meningkat 87%. Hahaha.
“P-Pao-pao!” Pekik Grazier pemilik Isis yang ternyata si rambut ungu, “Animus heal! Come back…” Dia menarik kembali Isis yang udah semaput itu, dan langsung keluarkan Paimon. Saat liat gw, ekspresi kaget, keringat dingin, ga percaya tergambar di wajahnya. Seolah lagi liat hantu. “You’re… still alive!? But… how!?” ga kayak tadi, kali ini gw ga paham apa yang dia katakan.
“A living being who can survive The Hell Bless while in dying state. What kind of monster are you?” Kawan Adventurernya yang ada di dekat situ ga kalah kaget. Kayaknya mah kesal liat gw masih hidup, “Why … WHY DON’T YOU DIE ALREADY!?”
“Itu tukang santet ngomong sama lu, ya?” Tanya Jizzkar heran.
“Ehm, iya kayaknya.”
“Ngomong apa mereka? Emang lu paham Bahasa Cora?”
“Kagaklah! Mana gw tau mereka ngoceh apaan!”
Baiknya gw ga kasih tau dulu kalo sebenarnya tadi gw sempat mengerti Bahasa Cora biarpun cuma sebentar. Bisa ribet urusan. Ngomong-ngomong, Darr ke mana ya? Dari tadi ga keliatan.
Gaizka dan Inaki makin kewalahan hadapi Punisher dan Mercenary. Perisai Gaizka tampak penyok-penyok digempur Mercenary.
Dengan satu tebasan vertikal yang kuat banget, Si Punisher memisahkan tangan kanan Black Catapult Inaki dari badannya. Yah, ngebul deh senjata andalan kita. Inaki berusaha kabur supaya ga terjadi kerusakan lebih lanjut sembari tetap menembaki pengejarnya pake senjata mesin di tangan kiri Catapult.
Punisher ini gesit juga rupanya. Dengan cepat persempit jarak antara dia dan Black Catapult. Begitu dirasa udah dekat, dia melompat ke atas Black Catapult … dan menusukkan Spadonanya berkali-kali ke peluncur roket yang terdapat di bahu kiri Black Catapult hingga meledak.
Gawat! Inaki udah ga bisa berbuat apa-apa selain kabur! MAU-nya rusak berat gitu. Persenjataannya ngebul semua. Modal satu senapan mesin doang mana cukup.
BRUUAANG!
ASTAGANAGA! Sebuah Black Goliath melaju cepat, kemudian melayang beberapa senti dari tanah! Belati super seramnya menyambar Punisher yang lagi asik merusak MAU Inaki itu. Oritzikah?
“INAKI, MUNDUR!” suara dari radionya suara perempuan. Pasti Chubasca. Setelah menghempas Si Punisher, dia langsung tancap gas, hajar abis itu Accretia. Namun di luar dugaan, Punisher ini masih sanggup melawan sengit! Anjir gw berasa nonton Teranspormer! Dua logam saling bergulat, adu kuat buktikan diri.
Black Goliath Chubasca memberi tinju maut ke bagian perut Punisher. Begitu tertunduk, bagian punggung Punisher dihajar lagi oleh Chubasca sampe tengkurap. Black Goliath angkat sebelah kaki, niatnya menginjak si Punisher… namun, si Punisher sigap menghindar dan langsung balas ayunkan Spadona bertubi-tubi.
Gila ini Punisher … kuat betul! Chubasca yang pake Goliath hitam sampe kewalahan!
Ga bisa dibiarkan! Kaleng ini berbahaya! Gw langsung bergerak buat bantu Chubasca. Ga pedulikan perhatian kedua Corite yang terheran-heran ga jelas dari tadi, serta tinggalkan Jizzkar di tempatnya berdiri.
Tuh kan benar, Si Punisher pasang kuda-kuda, bersiap menusuk kokpit MAU yang dipiloti Chubasca!
“UGHH!” Tau-tau, gw teringat mimpi tempo hari. Di mana gw lagi ada di medan pertempuran, dan terpampang pemandangan MAU yang hampir meledak. Spadona menembus kokpit sekaligus perut pilot MAU tersebut. Di mimpi itu, ga ada yang bisa gw lakukan selain mematung liat perempuan itu dilalap api gara-gara tersangkut alat pengaman pas mau selamatkan diri dan akhirnya tewas, “Accel Walk!”
Sesaknya ga bisa gw lupakan. Sampe bikin gw nangis di pelukan Elka.
Tapi, ini bukan mimpi! Ga akan gw biarkan hal di mimpi itu jadi kenyataan! Gigi gw saling beradu atas bawah. Sekuat tenaga, gw lancarkan tendangan terbang ke sisi Spadona yang lebar itu supaya tusukannya melenceng.
Usaha gw ga sia-sia, Spadona batal menembus kokpit Chubasca, biarpun lengan kanan Goliath yang jadi gantinya. Tangan kiri Goliath serta merta meluncur deras ke tubuh Punisher dan mementalkan dia jauh-jauh.
Pertempuran ini benar-benar ga kasih kita napas! Dari kejauhan, Siege Mode Striker Accretia udah bidik kita aja. Moncongnya bersinar biru muda, pertanda udah siap menembakkan Doom Blast!
Tetiba, suara senapan runduk ditembakkan begitu nyaring terdengar. Entah dari mana asalnya, yang pasti, tembakan itu tepat menembus kepala Si Striker dan membuat dia mati seketika. Meski mati, Launchernya masih tetap aktif! Eh tapi karena badan penopangnya goyah, Siege Kit-nya berubah arah … jadi muntahkan Doom Blast ke tempat Calliana bersemayam!
Ledakannya ga sampe runtuhkan goa. Tapi cukup buat bikin kita semua terdiam sejenak dari pertempuran seraya pandangan tertuju ke tempat itu. Ga ada satu suara pun terdengar, kecuali hening. Suasananya kok jadi mencekam gini ya?
Hawa dingin makin mencekik leher. Dari dalam kegelapan goa, Calliana Atroc dan Calliana Crue berhamburan keluar. Di belakang mereka, Sang Tuan Rumah … Calliana Princess! Waduh, kayaknya mereka ngamuk nih karena kita udah ganggu ketentraman rumah mereka.
Ya iyalah, siapa yang ga jengkel kalo rumahnya ga salah apa-apa tau-tau di Doom Blast? Liat kemunculan Calliana di tengah pertempuran 3 arah yang belum kelar ini, ditambah lagi tanda-tanda bakal datang badai salju, gw tepok jidat dan gumam sendiri.
“Serius nih?”
“There was once a time when i ever doubt you, Lake. Once is more than enough, i don’t want it happen again. Ever.” – Jizzkar (Ch.11)
CHAPTER 15 END.
Next Chapter > Read Chapter 16:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-16/
Previous Chapter > Read Chapter 14:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-14/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list

