LAKE CHAPTER 16 – FOR WHOM THE TEARS SHED

Lake
Penulis: Mie Rebus


Ranger Mesh, Bellato Headquarter…

“Eh?”

Di tengah sinar jingga Matahari sore yang menyusup diantara tirai yang menutupi jendela kamar, Elka menyiapkan segala perlengkapan yang dia butuhkan untuk dibawa dalam perjalanan. Kegiatan tersebut terhenti pas tali kalung yang menggantung di leher tiba-tiba putus tanpa sebab.

Kalung itu jatuh tepat di kakinya. Dia memandang sesaat penuh tanda tanya, sebelum membungkuk buat ambil kalung itu. Bukanlah kalung mewah dari logam mulia atau apa, melainkan cuma kuku flem yang diawetkan terus diamplas, diukir inisial E.Y.N.

Masih jelas di memori, pas dia dikasih kalung itu beberapa taun lalu. Pas dia baru jadi Kadet Ranger Corps.

“Ka, Ka!” Terdengar suara seorang lelaki yang begitu familiar, menerobos masuk gym Ranger Corps, memanggil namanya di tengah latihan rutin. Elka lagi melatih kemampuan bertarung tangan kosong, 3 kali pukulan bertenaga menghantam samsak sebelum dia jawab panggilan itu.

“Apaan?” Tanyanya seraya menoleh ke yang manggil.

Lelaki berambut kelabu itu cengo liat pukulan pedas Elka. Horor sedikit terpancar dari sepasang mata ungu, “Ranger Corps bisa rugi kalo harus ganti samsak tiap lu selesai latian,” ledeknya setelah jeda berapa saat.

“Kok lu songong sih? Minta jatah juga?” Satu pukulan ringan dari perempuan ini sanggup bikin samsak nyaris bocor.

“Be-bercanda, Ka. Gw bercanda! Sumpah!” Balas si lelaki terbata. “Istirahat dulu, nih gw bawa minum dan cemilan,” Dia duduk di bangku panjang ga jauh dari Elka berdiri.

Alis coklat terangkat tanda keheranan. Perempuan itu menyeka keringat di wajah dengan handuk di tangan. Seluruh tubuh yang dibalut tanktop ungu gelap, basah akibat keringat. Garis otot di sekujur lengan terlihat jelas, dan masih keliatan tegang seusai latian barusan.

“Ada badai apa lu belikan gw makanan? Tumben banget.” Rambut panjang coklat nan indah terkuncir, dan sedikit basah juga di beberapa bagian.

“Hahaha, ga apa kan? Sekali-kali. Gaji pertama nih.” Ujar lelaki itu sambil nyengir. Elka duduk di sebelahnya, dan buka botol minuman yang dibawakan buat dia.

“Puuaah! Segar ya rasa gaji pertama lu.” Kata Elka abis menenggak minuman itu sampe tinggal setengah.

Si rambut kelabu mengerutkan dahi dengar kata-katanya, tapi cepat banget berubah ekspresi jadi riang. “Eh, gw punya sesuatu buat lu.”

“Apaan?”

“Balik badan.”

“Ga ah.”

“Ish… Buru ah!”

“Hufff..” Abis satu helaan napas, Elka memunggungi lelaki itu, masih dalam posisi duduk, menunggu apa yang mau diberikan.

Setelahnya, dia bisa merasakan sesuatu menyentuh kulit leher putih yang dia miliki. Lelaki di belakangnya mengalungkan benda tersebut dengan hati-hati. Elka coba liat kalung itu, yang berada di depan dada sekarang. Dan matanya membuka lebih lebar. Di sana terukir inisial nama dengan huruf yang indah.

“Apaan nih?”

“Hadiah. Dari gw, buat elu.”

“Iya, tau. Tapi ini apaan?”

“Itu… kuku dari flem pertama yang gw buru di Novus. Ehehe.” Elka keheranan dengar jawaban itu. Ngapain coba ini anak bikin kalung dari kuku flem, dan dikasih ke perempuan? Ga kreatip amat. “Oke … gw tau lu pikir gw ga kreatip, tapi setidaknya gw bikin sendiri.”

“Jelek ih.” Ucap Elka ketus.

“Hah?! Tega lu Ka. Susah payah lho gw bikin ini.” Jawab si lelaki. Nadanya terdengar kecewa.

“Ihihi.” Elka ketawa kecil. Dia berbalik ke si Lelaki itu seraya genggam kuku flem berukir inisialnya erat-erat. “Tapi ini ga ternilai.” Bibir tipisnya menyimpulkan senyum tulus yang bisa bikin adem. Kedua mata coklat memandang lembut seraya bilang, “Makasih ya, Lake.”

Sejak saat itu, ga pernah sekalipun dia biarkan kalung itu lepas dari lehernya. Pas latian, jalani misi, pendidikan, mandi atau tidur. Ga pernah. Dia benar-benar menganggap kalung itu lebih berharga dari apapun. Bahkan lebih berharga dari senapan runduk hitam legam yang biasa dia pake.

Dan liat tali kalung itu putus, entah dari mana asalnya perasaan was-was langsung melanda gitu aja. Khawatir kalo itu mungkin pertanda terjadi sesuatu yang buruk pada si pemberi kalung.

Elka geleng kepala kuat-kuat, berusaha menepis semua anggapan aneh tersebut. “Semua baik-baik aja! Semua baik-baik aja!” Pikirnya membatin.

“Siap berangkat?” Fokusnya teralih pada suara ngebass dan berat lelaki kekar di depan pintu kamar. “Gw harap lu sadar, kalo lu bakal melanggar lebih dari 9 aturan federasi.”

“Bodo amat, Lec.”

“Konsekuensinya terlalu berat, Ka.”

“Lu ga harus terlibat. Gw bisa sendiri.”

Alecto cuma bisa mengangkat bahu. Dia tau kalo apapun yang keluar dari mulutnya, ga akan bisa cegah Elka buat berangkat ke Ether. “Sebaliknya, ga mungkin lah gw biarkan lu nyemplung comberan sendirian.”

Elka sekedar senyum dengar kiasan itu. Di lubuk hati, dia berterima kasih, Alecto ga ragu buat ikutan kotor juga demi ego perempuan itu. Dengan segala akses yang Alecto punya di Badan Intelijen Pusat (Central Intelligence Service), dia menemukan cara buat ‘menyelundupkan’ Elka dan dirinya ke Ether. Dengan sedikit bantuan teman Alecto.

Pas Elka masih menyiapkan amunisi, tetiba terdengar ringtone lagu BKT 48, i love you baby, baby, baby, alihkan lah padaku… yang disukai Alecto dari lognya.

Wat da fak!?” Elka mengumpat dalam hati dan memutar bola matanya.

Alecto baca pesan yang baru aja masuk, lalu ekspresi kaget tergambar di wajahnya setelah beberapa saat. “Ka, kita harus ke Hanggar sekarang!”

“Kenapa? Belum selesai nih.”

“Pasukan ekspedisi Ether udah balik!”

Elka ga kalah kaget abis dengar kabar itu, dan ga buang waktu buat melangkah keluar dari kamarnya. Diikuti Alecto di belakang. Sekuat tenaga, Elka berlari ke Hanggar Armada Udara Bellato, di mana semua penerbangan dan pendaratan berpusat. Alecto sampe susah payah ikuti langkah perempuan berambut coklat itu.

Lake, Lake, Lake, tolong … semoga lu ada di sana,” Perasaan was-was bukannya malah reda, justru makin parah. Berkali-kali di tengah lari dia telan ludah. Begitu tegang berharap Lake ada di antara mereka yang balik dari Ether.

Napas Elka teramat memburu pas sampe sana. Lari 3 kilo secepat yang dia bisa tentu sangat menguras tenaga. Tapi dia ga peduli. Di pikirannya cuma pengen liat Lake pulang dalam keadaan utuh.

Di sana, seorang Sentinel berambut spike hitam lagi mengawasi pasukan yang jadi tanggung jawabnya. Armor biru gelap melekat di tubuh Si Sentinel, ga lupa jubah kebesaran Wakil Archon.

Alecto tiba ga lama setelah itu.

Satu persatu, Elka mengamati penumpang-penumpang pesawat transport BEO-212 yang turun. Dia terhenyak liat keadaan mereka begitu parah. Petugas medis lalu lalang mengangkut penumpang terluka.

Seorang wanita berkulit agak gelap ditandu keluar. Elka ingat siapa dia. Lake sempat bengong perhatikan wanita itu sebelum berangkat ke Ether. Petugas medis berusaha hentikan pendarahan dari sebelah kakinya yang hilang. Armor Berserker merah hitam, udah hampir ga berbentuk lagi di tubuhnya. Sisakan base layer sobek-sobek yang menutupi beberapa bagian tubuh.

Lalu, diikuti Lelaki berambut kuning acak-acakan. Elka ga kenal siapa dia, tapi wajah si Lelaki itu dikenali karena mirip banget dengan Hash’Kafil. Dia dipapah oleh seorang petugas medis, terpincang-pincang. Badannya bersimbah darah dan ada luka menyilang, berbentuk X besar di tubuh bagian atas. Jidatnya terlilit perban, bernoda merah tanda luka itu masih segar.

“MEDIS! TOLONG GADIS INI AJA! DIA LEBIH BUTUH PERAWATAN KETIMBANG SAYA!” Teriak seorang lelaki yang menggendong gadis berambut pink di lengannya. Gadis itu meringkuk. Sepertinya ga sadarkan diri. Tubuh gadis itu juga sama dengan yang lain, ga luput dari luka.

“Oritzi!” Pekik Wakil Archon wanita liat anak buahnya. “Kamupun butuh perawatan segera! Lukamu ga bisa dibilang ringan!” Serunya pada Lelaki bernama Oritzi. Darah membasahi rambutnya.

“Saya ga apa, Maximus Izcatzin. Berada di dalam Black Goliath cukup melindungi saya dari gempuran musuh. Tapi Meinhalom-“

“Udah, ga usah bantah! Cepat ikut mereka ke ruang perawatan!”

“Tapi-“

“Ga usah pake tapi!”

“Siap!”

Sejenak Elka berharap-harap cemas. Menanti siapa lagi yang akan keluar dari pesawat itu. Terutama, menanti sosok pemuda berambut kelabu. Jantungnya makin dag dig dug. Tapi, udah berapa lama ga ada lagi penumpang turun selain pilot pesawat.

“Major Kene.” Gatan memanggil pilot pesawat itu. Hevoy buka helm di kepala, dan memberi sikap hormat pada Wakil Archonnya, “Apa ga ada lagi?” Tanya Gatan padanya.

Dengar pertanyaan itu, Elka makin ga karuan tegang. Dia ga siap kalo harus menerima kenyataan terburuk.

Hevoy cuma tertunduk lesu sambil mengangguk, “Cuma mereka yang tersisa.” Getir terselip diantara kalimat. Penyesalan ga bisa bawa pulang kameradnya yang lain.

Elka bagai disambar petir sore hari. Seluruh tubuhnya lemas dengar jawaban si pilot. “Ha-hah?” Gumamnya.

“Ka …” Alecto berbisik, berusaha menenangkan Elka yang sedikit lagi bakal kacau.

“Ma-Maximus… Gatan…” Ujarnya pada si Wakil Archon. “Lake… mana?”

Sepasang mata biru gelap Gatan mengiba pada gadis ini. Seakan ga tau jawaban apa yang mesti dia beri. Gatan enggan jawab karena dari apa yang terjadi di sekeliling aja, harusnya Elka tau apa jawaban dari pertanyaannya tadi.

Tapi Sentinel senior itu ga sampe hati liat sisi rapuh Elka saat ini. “Dia … ga berhasil balik dari sana.” Jawabnya ragu.

DEENG!

Semangat hidup Elka seolah langsung dicabut dari raga pas dengar kalimat itu. Kalimat yang paling ga mau didengarnya dari siapapun. Kedua kakinya bergetar dan sedikit lagi hilang keseimbangan. Elka sekuat tenaga menahan akal sehat biar ga hilang sepenuhnya.

Gatan sempat liat mata Elka dipenuhi kebimbangan, kegelisahan, pedih. Berkaca-kaca. Tangisnya nyaris pecah. Cuma untuk sepersekian detik, sebelum kedua mata coklat gadis ini kembali ke tabiat asalnya. Memicing tajam dengan tatapan mematikan.

“Begitu. Terima kasih infonya, Maximus. Saya mohon diri.” Elka berhasil mempertahankan kewarasan.

Gatan keliatan agak terkejut gadis itu bisa begitu tenang menerima realita. Tapi, Wakil Archon sekaliber Gatan ga bisa gampang dibohongi. Gatan yakin, di balik ketenangan itu, Elka benar-benar syok berat. Kehilangan seseorang yang sangat disayangi bisa bikin orang jadi gila, siapapun itu. Tanpa terkecuali.

“Captain Adastan.”

“Si-siap, Maximus!” Alecto yang lagi bengong, tersentak pas Gatan memanggil.

“Jaga dia, ya.”

“Siap!” Dan berlalu mengikuti Elka.

Elka berjalan menjauh, entah gimana menjelaskan perasaan di dadanya saat ini. Semua kepedihan campur aduk hasilkan rasa pahit yang ga mengenakan. Dia benci perasaan ini. Dia benci menerima kenyataan. Dia menolak untuk percaya kalo Lake udah tiada.

“Alecto!” Seru Elka, “ayo berangkat!”

“Ka! Lu dengar kan, tadi? Lake udah-“

Kata-kata Alecto langsung ditepis keras oleh gadis itu, “Lake ga akan mati segampang itu! Ga akan! Dia udah janji sama gw!”

Terlintas di benaknya, wajah Lake mengucap beberapa kalimat yang ga pernah dia lupakan.

Ga mungkin lah gw pulang ga utuh.”

Gw akan bertahan hidup. Supaya bisa menemani lu untuk waktu lama.”

“Tenang, saat lu terlalu takut buat hadapi ketakutan sendiri, gw bakal ada di sana buat bantu usir ketakutan itu!

“Iya, iya. Janji!”

Dia … udah janji. Dia udah janji … dia udah … janji.” Kalimat dari mulut gadis itu terdengar lirih.

“… Baiklah, baik. Yuk deh, kita berangkat.” Ucap Alecto enteng, “Si kampret itu! Awas aja kalo ga hidup pas gw sampe sana!”

.

.

-Beberapa jam sebelumnya-

White hole, Ether…

“WATTTA!” Gw kaget bukan main dikepung 3 Calliana Atroc sekaligus, sebisa mungkin menghindari sabetan-sabetan pedang hitam yang mereka pake buat nyerang.

Keadaan makin runyam. Para Calliana langsung menyerang semua yang ada di White Hole tanpa pandang bulu. Mereka ga peduli mau Bellato, Cora, atau Accretia. Amukan mereka sempat bikin kita kewalahan.

Calliana yang berada di depan gw melancarkan satu tusukan ke arah dada, sukses gw belokkan pake pedang di tangan kiri, jadi bikin dia menusuk temannya sendiri di sebelah kiri gw. Satu Atroc berada di belakang, berusaha menyambar leher gw dengan kedua pedangnya.

Sadar akan hal itu, sebelum dia mengayunkan pedang hitamnya, pedang biru dan merah gw udah memutar 360° membelah setengah badannya. Satu Artroc tersisa, yang tadi menusuk teman sendiri. Menatap pemandangan itu dengan penuh kemarahan. Serta merta, dia menerjang gw sekuat tenaga.

Malang, gw sigap salto ke depan sambil menebas dia 3 kali, “Shadow Turn!”

Atroc itu tumbang tanpa perlawanan berarti. Hmm, agaknya gw ga mengalami kesulitan lawan pasukan Calliana. Yang bikin ribet ya… jumlah mereka terlampau banyak.

Sirvat, Ish’Kandel, dan Ulkatoruk yang lagi tarung 3 lawan 3 dengan seorang Warlock, dan 2 Templar harus susah payah bagi konsentrasi gara-gara diganggu Calliana Crue, di samping harus waspada terhadap Corite yang siap menyerang pas mereka lengah.

Angin berhembus bak badai di tengah pertempuran itu, ditambah kilatan petir akibat Warlock dan Ulkatoruk beradu mantra Force Udara. Weeew silau meeen. Ga ada satupun yang mau kalah, terutama Ulkatoruk. Si Holy Chandra gertakkan gigi kuat-kuat dan keluarkan segenap kemampuan. Ga cuma udara, dia melempar Force Air andalan juga.

“HEAAAH! RABID! BERSERKER TRANCE!” Teriak Sirvat lantang lalu mengeluarkan gada dari inventori 4 dimensi. Dia mulai menyerang kedua Templar dengan kecepatan yang meningkat drastis. Lawannya kesulitan buat baca serangan Sirvat.

Sayang, kekuatan Sirvat cuma geli-geli doang bagi para Templar tersebut. Itulah kenapa, Ish’Kandel selalu siap bantu.

“MAGNETIC POLARITY!” Dengan memanipulasi medan magnet di permukaan tanah, Si Shield Miller bikin kedua Templar yang lagi sibuk menangkis serangan Sirvat, jadi menempel satu sama lain, “STEEL, DISCHARGE!” Satu hentakan tenaga maksimal yang disalurkan melalui perisai besarnya udah lebih dari cukup buat bikin kedua Templar terpental jauh kebelakang.

Ga tinggal diam, Sirvat manfaatkan situasi itu buat menyerang. Ketika kedua Templar mengambang beberapa senti dari tanah, Sirvat langsung mengejar dengan kecepatan tinggi!

Rentetan ayunan kapak serta gada menghantam lawannya yang ga bisa berbuat banyak di udara tanpa henti, secara bergantian. Ke-kereen! Abis itu, Si Berserker wanita mendarat anggun. Kecepatannya hampir setara dengan gw pas pake Accel Walk.

Tapi kedua Templar ga menunjukkan tanda menyerah. Justru, mereka langsung bangkit buat ronde 2 biarpun tergopoh-gopoh.

Di sisi lain, Gaizka dan Jizzkar bahu membahu bereskan segerombolan Calliana, sekalian hadapi Hecate dari seorang Grazier laki dan Mercenary.

Pasukan Accretia tinggal beberapa doang, setelah dua Striker mereka tumbang. Sisakan 1 Punisher, 2 Dementer dan 1 Mercenary. Menurut gw sih, kaleng-kaleng dulu yang harus didaur ulang biar ga merusak lingkungan.

Wuaanjiir! Apaan tuh cuk? Pilar merah terbentuk dan menghujam tanah dari langit. Pilar tersebut menimbulkan ledakan area saat menyentuh tanah. Ga cuma satu, tapi beberapa pilar lainnya ikutan jatuh kemudian.

“Firefall,” Ternyata itu mantra Meinhalom, memanaskan suasana dan membakar kumpulan Calliana di sekelilingnya. Matanya masih sayu, dan senyum sinis liat para Calliana meronta diselimuti api. Liat kekuatan Meinhalom, dua Dementer ga gentar menghadapinya.

Dan akhir kata, Wizard berambut pink yang tabiatnya berubah dari imut jadi ganas itu hampir bikin Ether mengalami perubahan iklim! Tornado api merah menjulang tinggi ke angkasa! Ebuset! Ngeri banget liatnya.

Gegara sibuk memerhatikan keadaan sekeliling, gw melupakan Punisher tadi. Bayangan hitam besar menutupi tempat gw berdiri.

“FAAK!” Pas tengok ke atas, seonggok besi karatan udah lompat dan menghujam tubuh kecil gw dengan Spadonanya. Gw perkuat tumpuan di kedua kaki, menyilangkan kedua pedang di atas kepala, dan siap terima benturan. “Eh!?”

Belum sempat benturan terjadi, tau-tau Chubasca melindungi gw dari serangan Si Punisher. Lengan kanan Goliath jadi perisai yang mencegah Spadona Punisher itu bersentuhan dengan kedua pedang gw. Tapi kerusakan yang tadi ga seberapa, jadi meledak akibatnya.

“CHUBASCA!” Gw berseru. Bingung, kenapa ini anak repot-repot melindungi gw?

“LAKUKAN APA YANG HARUS LU LAKUKAN! JANGAN TERPANCING KEADAAN!” Teriakan Armor Rider menyadarkan gw akan hal yang harusnya gw selesaikan, “ambil Etheronnya, supaya kita bisa cepat pulang.” Lanjutnya lebih tenang.

Gw mengangguk sebagai persetujuan. Ragu juga sih buat tinggalkan Chubasca lawan Punisher itu sendirian. Secara, kemampuan bertarung Punisher itu sanggup bikin MAU Inaki dan Chubasca kalang kabut. Belum lagi, sebelumnya kokpit Chubasca nyaris ditembus Spadona.

Tapi, gw ga boleh meragukan kawan seperjuangan! Mereka Prajurit hebat, terpilih buat bela Bangsa di Planet ini! Dan untuk saat-saat kayak ginilah mereka jalani latihan berat bertahun-tahun.

“Oh ya, Lake.” Sebelum gw beranjak, Chubasca sempat memanggil.

“Ya?”

“Makasih udah menyelamatkan gw,” dibikin terhenyak oleh ucapan terima kasih itu. Ga nyangka. Harus gw akui, ada perasaan senang juga pas usaha gw dihargai orang lain, biarpun harganya sekedar ‘makasih’.

“Ga masalah!” Ujar gw semangat. Gw kembali ke tujuan awal, menuju rumah para Calliana. Sang Tuan Rumah, Calliana Princess masih siaga jaga pintu masuk kediamannya.

Beberapa Artroc dan Crue yang menerjang, tanpa ragu gw sayat-sayat sambil terus berlari kencang. Liat ada Bellato mendekat, Calliana Archer mulai menghujani gw dengan panah. Ugh! Banyak amat panahnya!

Accel Walk!” Gw miringkan kepala, lompat, mengelak, berputar-putar macam penari balet berusaha hindari semua panah itu, “HEEEGH!” Inilah salah satu dari sekian banyak moment menegangkan dalam kehidupan!

Tetiba, sebilah pedang besar panjang berwarna hijau gelap membentang dari depan, terayun penuh napsu, dikit lagi meratakan muka ganteng gw. Ogah muka rata, gw tekuk kedua kaki, rebahkan tubuh dan meluncur di bawah ayunan pedang besar itu di atas kedua lutut.

Gw tahan napas, tegang banget! Bayangkan, jarak antara mata gw dan pedang itu cuma berapa inci pas gw meluncur di bawahnya. Pedang itu sempat menyerempet beberapa helai rambut. Setelah lewati tebasan pedang, gw langsung berdiri buat liat lebih jelas, siapa pemilik pedang itu. Atau lebih tepatnya… apa.

“Paimon,” Desis gw begitu liat Animus raksasa ga menapak di atas tanah.

Animus yang satu ini emang keliatan gagah perkasa. Jantan. Laki banget. Animus lain mah, macam mbak-mbak seksi yang bajunya kekurangan bahan.

Pandangan gw tertuju ke pemiliknya yang berdiri ga jauh dari situ. Si rambut ungu! Kenapa gw ga kaget ya, bakal berhadapan lagi dengannya setelah sembuh dari Hell Bless? Tapi kayaknya pikiran kita beda. Soalnya mata itu… dipenuhi kegelisahan dan ga percaya. Entahlah. Cuma dia dan Dewanya yang tau.

Why? Why didn’t you kill me that time!?” Dia bilang ke gw. Muka gw menunjukkan kebingungan cari respon yang tepat. Soalnya … gw ga tau dia ngomong apa! Ya udah, gw diam aja, “Stop fooling around! You spoke Corite’s tongue! You understand what i’m saying!”

Heran, kok Corite-Corite ini demen banget ngajak gw ngobrol ya? Padahal gw jarang menanggapi pas mereka bilang sesuatu. Apa jangan-jangan… dia pikir gw paham bahasa Cora gara-gara kejadian tadi!?

“Gw ga mengerti bahasa lu.” Balas gw singkat. Grazier berambut ungu itu mengangkat sebelah alis. Kepalanya agak dimiringkan, ekspresi bingung ditunjukkan wajah yang benar-benar manis itu.

Ya gw juga ga kalah bingung, sih. Akhirnya, gw tambahkan bahasa isyarat asal aja.

“Gw…” tangan gw menepuk dada sendiri.

“Ga mengerti…” kepala geleng-geleng.

“Bahasa…” telapak tangan gw menirukan gerakan mulut ngomong.

“Lu…” diakhiri telunjuk mengarah pada dirinya.

Mata kuningnya terbelalak. Kayaknya dia paham deh. Karena itu jelas muka orang yang baru paham akan sesuatu.

Liar! You spoke Corites before, now you don’t?” Lha? Si Grazier malah membentak gw. “What a non-sense!” Jangan-jangan gw salah ngomong, sampe bikin dia geram.

“Okey, gw benar-benar ga punya waktu buat berbincang, dan ga ada niat buat lawan lu juga, jadi…” Ucap gw padanya. Bodo ngerti apa enggak, lah dia juga begitu.

Gw melirik ke arah goa yang sekarang ada di belakang, cari cara buat alihkan perhatian Calliana Princess biar gw bisa menerobos masuk.

Liat gelagat gw mau kabur, dia pasang kuda-kuda dan mengarahkan tongkat keemasannya ke gw. Paimon miliknya pun perlahan melayang kemari, “You’re not going anywhere!” Katanya tegas.

Ohh demmit! Daripada kelahi, gimana kalo kita pacaran aja?

Flame Burst!” Segumpal api terkumpul di ujung tongkatnya yang terarah ke gw. Setelah berapa lama, dia menembak 4 bola api sekaligus.

Mendadak, akal bulus gw bekerja. Serangannya bisa gw manfaatkan! Posisi berdiri gw sejajar dengan Calliana Princess berjarak sekitar 20 meteran, yang artinya, kalo gw menghindar…

Eeeekkh!” Grazier itu memekik, serangan Force Apinya malah kena Calliana Princess. Dan mukanya langsung panik begitu liat Calliana Princess melayang ke arahnya. Yapp! Si Tuan Rumah mulai bergerak! “Why did you do that? Why did you dodge? Why… why you didn’t let me hit you!?” Dia sewot ke gw, dan terus meracau. Hahaha. Mukanya jadi kocak dah.

“Hahaha. Selamat menikmati, cantik.” Gw balas aja dengan ledekan.

Calliana Princess makin mendekat, dikelilingi pasukan-pasukannya: Atroc, Crue dan Archer. Grazier muda itu takut menghadapi gerombolan Calliana plus majikan sendirian, dan memilih mundur.

Calliana Princess masih ikuti Grazier itu balik ke pasukannya, dan para Corite disibukkan menolong Si rambut ungu. Kami semua sempat terdiam liat kekonyolan si rambut ungu, tapi tetap waspada terhadap pergerakan Calliana Princess seraya terus melawan Atroc dan Crue yang seakan ga ada abisnya.

Wah, ga sesulit keliatannya.” Gw bersorak girang dalam hati. Tadinya gw pikir bakal sulit bikin Si Putri Salju pindah dari pintu masuk goa. Eh, ternyata… cuma gitu doang.

Ya udah, gw melenggang santai ke pintu masuk goa. Aww yeaah! Lake, lu emang super hoki!

Tu-tunggu dulu…

Kayaknya gw terlalu cepat senang. Pasalnya, gw merasakan sesuatu yang aneh. Seperti aura dingin menusuk tulang punggung. Pas tengok ke belakang, faak! Calliana Princess sadar akan keberadaan dan niat gw! Dia berbalik meninggalkan pasukan Corite, dan melayang cepat ke sini.

Sayap di kepala dan pinggangnya mengepak anggun. Sekedar info aja, Putri Salju ini punya 16 sayap; 8 di kepala, 8 di pinggang. Sayap di kepalanya berukuran lebih kecil dari yang di pinggang, bersenjatakan pedang emas di kedua tangan. Hmm, serupa Isis.

Ga dingin apa ya, ga pake baju gitu?” Entah kenapa gw malah mikir yang bukan-bukan begitu liat cuma sedikit bagian tubuhnya yang terutup bahan.

Dua Crue menerjang gw dari dalam goa, yang dengan gampang gw penggal kepalanya sekali tebas.

“Okelah, Tuan Putri. Sudikah anda berdansa dengan saya?” Ucap gw diantara ketegangan pas Calliana Princess berada di depan gw, menunduk untuk menatap sosok mungil di depannya. Kedua tangan gw menggenggam erat Twin Razer Blade dan bersiap menerima kehormatan diajak dansa di tengah ruang pesta.

Ga pake peringatan, Tuan Putri langsung lancarkan serangan. Area di sekitar gw meledak, salju terhempas ke mana-mana. Gw lompat untuk hindari serangannya 3 kali. Satu ayunan pedang dari Calliana Princess bikin bilah-bilah es berterbangan ke gw.

Cih! Saingan Ulkatoruk nih, mainannya salju. Kedua tangan gw bergerak ikuti kecepatan serangan Tuan Putri Salju, memotong tiap bilah yang meluncur cepat, sambil cari cara buat mendekat di tengah badai salju hasil kreasinya.

Sang Tuan Putri masih tetap melayang anggun. Jarak gw udah dekat, dan dia menyabet pedangnya secara diagonal. Pedang kami saling beradu. Gw tusuk lehernya dengan satu pedang di tangan kiri. Tapi ga disangka, ternyata dibalik keanggunan dan tubuhnya yang tinggi itu, dia gesit juga.

Dia menepis pedang gw yang meluncur cepat dari atas. Sehingga tusukan gw melenceng. Shite! Posisi gw jadi ga seimbang! Kaki gw goyah, dan kesempatan ini ga dibuang gitu aja olehnya.

“UUAAAG!” Salju terhempas dari bawah kaki, bikin gw terombang-ambing di udara. Sialan! Dibikin berputar gini jadinya! Gw harus cari kendali terhadap tubuh ini!

Entah gimana caranya, putaran gw berhenti, dan gw bisa berakrobat sedikit pas badan gw mencapai titik tertinggi di udara.

Begitu kembali ditarik gravitasi, gw memutar tubuh buat kumpulkan momentum di kaki. Salto kedepan satu kali… dan… satu tendangan cangkul sukses mendarat di kepala Calliana Princess! Tumit gw langsung terasa dingin banget begitu bersentuhan dengan kulit kepalanya.

Seolah suhu tubuh Calliana yang beku itu bisa menembus sepatu yang gw pake dan bekukan darah gw juga.

Tendangan gw seakan ga ada pengaruh, Atroc dan Crue ga tinggal diam liat majikannya dapat perlakuan kurang ajar. Beberapa dari mereka langsung lompat mengerubungi gw, berusaha menimpa Bellatean lelaki ga berdaya.

“WAAAT!?” Adoooh, usia gw masih terlalu muda buat mati diperkosa wanita salju! “Vanquish!” Gw mengayunkan kedua pedang biru dan merah ini ke atas secara bersamaan, menyapu sebanyak mungkin Atroc dan Crue yang ada. Ada delay sedetik, ga terjadi apa-apa sebelum kemudian, angin akibat ayunan pedang gw mencabik-cabik tubuh Atroc dan Crue yang berusaha menimpa badan gw.

Tubuh mereka tumbang satu persatu bersimbah cairan yang gw asumsikan sebagai darah, keluar dari ukiran pedang di tubuh-tubuh Calliana tersebut. Wuiih, ternyata gw jago juga ya.

Calliana Princess terlihat marah liat pasukannya berjatuhan. Dan serta merta mengayunkan pedang menyilang buat bikin gw meninggal.

“UUGH!”

Tiba-tiba, sesosok Accretia menghantam tanah kosong di antara gw dan Calliana Princess, membuat si Tuan Putri ambil langkah mundur. Sedangkan gw mental terguling-guling. Kaleng kampret! Ga tau sopan santun! Nyerang mendadak!

Di tengah gw dan Calliana Princess, udah berdiri seonggok Punisher Accretia dengan sebilah Spadona diletakkan di bahunya. Dia… Punisher yang nyaris bunuh Chubasca! Apa yang dia mau? Apa dia mau lawan gw juga?

Gw yang masih terduduk di atas salju, dibikin tambah tegang oleh situasi ini. Masalahnya, kaleng di depan gw ini bukan kaleng sembarangan. Bisa jadi, kaleng ramah lingkungan. Dafaak! Lagi-lagi, Bung! Bukan saatnya mikir aneh-aneh!

Sejenak, optik merah di kepalanya mengunci gw. Entah maksud tatapannya apa, gw bahkan ga tau apa kita saling adu mata atau enggak. Terus dia berbalik menghadapi Calliana Princess. Kayaknya dia pengen ikutan berdansa bareng Tuan Putri juga.

Ya udah, gw sih sukarela kasih spot gw buat dia. Siapa juga yang mau repot-repot lawan Princess? Akhirnya gw berjingkat menjauh, sebisa mungkin coba ga menarik perhatian Tuan Putri atau Si Kaleng itu.

Pertarungan Punisher vs Calliana Princess pun dimulai. Mereka saling bertukar hantaman, dan kemampuan bikin salju berterbangan. Pertarungan keduanya berlangsung sengit. Gw cuma nonton sebentar, terus fokus buat menyusup masuk ke peristirahatan para Calliana yang kali ini udah ga terjaga.

Terakhir gw liat, si Grazier berambut ungu ikutan menembaki Calliana Princess dengan berbagai macam Force Api, Udara, maupun Air. Beuh, tadi aja, mau mewek dikejar-kejar Princess.

Daaan… YEEES! Gw berhasil masuk ke goa! Ohh, yeaaah! Akhirnya, setelah berbagai rintangan mengalihkan fokus gw, sampe juga di tempat ini.

Waauw… gw berdecak kagum liat keseluruhan tempat ini terbuat dari es. Ada Stalakmit dan Stalaktit di semua sudut. Dindingnya terdapat ukiran-ukiran hasil karya suku Calliana yang ga gw pahami maknanya. Gambarnya cukup indah. Pun begitu dengan pahatan-pahatan pada batu es di sana sini.

Goa ini ternyata lebih besar di dalam ketimbang keliatan dari luar. Gw berlari kecil menyusuri lorong-lorong goa yang cukup membingungkan. Bahkan gw ga tau ke mana harus melangkah, pokoknya jalan dulu dah. Di satu kesempatan, gw melewati singgasana dari es berukuran raksasa.

Pasti singgasana si Princess nih.” Batin gw bicara. Cocok deh tu, dengan ukuran Princess yang esktra besar, tempat duduknya ya juga harus besar.

Ga berlama-lama di situ, gw lanjut lari kecil sampe di suatu belokan. Di depan gw ada jembatan es panjang. Di bawahnya adalah jurang gelap kaya ga ada dasarnya.

Ruangan di seberang sana gelap, ga keliatan apapun dari tempat gw berdiri. Gw ga liat ada jalan lain selain menuju ke sana. Dan ga ada cara lain selain… lewat jembatan ini. Shite!

Gelisah, gw ambil sebongkah es batu. Terus gw lempar ke jurang. Kedua kuping siaga, buat menangkap suara batu yang bakal menyentuh dasar jurang.

“Faak,” Umpatan keluar dari mulut setelah ga ada suara sekecil apapun dari bawah sana. Masa iya, ini jurang ga berdasar? Masih belum percaya, gw ambil tongkat cahaya dari inventori 4 dimensi, gw patahkan supaya bercahaya, lalu lempar ke bawah.

Rahang gw nyaris lepas liat cahaya dari tongkat itu makin ditelan kegelapan, lama-lama hilang. Anjrreeet! Apa-apaan ini!? Gak! Ga ada cerita! Ogah banget gw nyebrang jembatan ini! Kalo ga sengaja terpleset terus jatuh, gimana!? Lenyap gitu aja!

Diliputi keraguan, sebelum balik badan, gw dengar suara langkah kaki makin dekat. Si-siapa? Apakah Sirvat dan lainnya? Rasanya si ga mungkin, secara Sirvat menginstruksikan gw buat ke dalam sini. Mana mungkin dia menyusul.

Kemungkinan terburuk, kalo ga Accretia, Cora, atau para Calliana yang balik abis pertempuran. Dan ternyata… pemilik langkah itu adalah… Gadis Corite berambut ungu. Grazier itu mengikuti gw rupanya.

Dia tersentak liat gw berdiri, memikirkan langkah apa yang harus gw ambil selanjutnya, “Ah, Grey hair!”

Haaah! Mau ga mau, gw melangkah ke atas jembatan es. Harus gw tuntaskan semua ini supaya kita bisa pulang. Jembatan es ini licin banget! Wajib ekstra hati-hati jalannya. Tiap langkah gw seolah bisa bikin esnya retak kapan aja.

Di telinga gw terdengar bunyi retakan pelan dari jembatan es itu. Kalo dapat tekanan yang lebih berat sedikit lagi, pasti langsung buyar nih!

Shite! Shite! Federasi ga menggaji gw cukup tinggi buat semua ini!” Lagi-lagi gw mengumpat dalam pikiran.

Pas sampe di tengah, gw tengok ke belakang. Grazier itu masih keliatan ragu-ragu buat memijakkan kaki ke jembatan. Bagus deh. Jangan sampe gara-gara berat badan lu, kita berdua jatuh menuju kegelapan.

Sayangnya, dia kayak bisa baca pikiran gw. Disinggung masalah berat badan, dia memicing ke gw dan beranikan diri melangkah lebih jauh. Cih… Wanita. Ga Bellato, ga Cora, sama aja.

Suara retakan es makin sering terdengar sejak Si Corite putuskan buat menyebrang juga. Sumpah, mukanya pucat abis. Penuh ketakutan dan panik.

Yaaa… gw juga sih sebenarnya.

Gw udah sampe 3/4 jalan, sedangkan dia di belakang gw, di tengah tepatnya. Merasa ga bisa menyusul gw, dia keluarkan Animus Isis! Grrr! Curang abis! Animus kan bisa melayang, dan mudah sampe ke tempat gw sekarang!

Saat Isis melayang makin dekat, lagi-lagi terdengar derap langkah lari. Kali ini, langkahnya terdengar berat dan kuat. Gw dan Si Grazier otomatis sama-sama menoleh ke belakang buat cari tau siapa itu.

Deng deng deng deng!

Punisher yang tadi melawan Calliana Princess! Dia masih bawa-bawa Spadona andalannya. Liat ada Bellato dan Cora di atas jembatan es, udah aja ga pake mikir, dia langsung lari ke arah kami.

“WO-WOI! STOP! STOOOP!” Teriak gw panik begitu dia berlari di atas jembatan. Gestur gw mengisyaratkan supaya dia berhenti. Tapi teriakan gw ga digubris.

BRRUUUAAASSHH!

GUOBLOOOK! Ini kaleng keparat ga sadar diri kali ya, kalo dia tuh seonggok LOGAM! Pastinya BERAT! Belum lagi segala macam Armor plus persenjataan di tubuhnya, ya bikin jembatan es ini runtuh seketikalah!

Punisher itu yang pertama jatuh, terus sisa jembatan yang masih utuh perlahan runtuh.

Arrrgh, sialaaan! Kalo udah gini sih ga pake hati-hati lagi. Langsung lari aja, Kapten! Si gadis Corite itu telat bereaksi, kecepatan larinya ga bisa mengalahkan kecepatan runtuhnya jembatan. Alhasil, dia jatuh juga. Isisnya yang melayang mengejar gw pun hilang.

Tinggal gw tersisa. Njiirr! Berasa kaya di film-film nih, adegan klasik jembatan runtuh. Secepat mungkin gw berlari. Di belakang gw, udah ga tersisa apa-apa lagi. Di bawah gw, jurang! Aduuuh, masih jauh pula buat sampe sebrang! Begitu gw coba lompat, kaki gw udah di udara. Jembatan es itu udah runtuh sepenuhnya.

Gw gagal kumpulkan momentum buat lompat sejauh mungkin. Untungnya, tangan kiri gw masih bisa meraih tepian tebing es.

“Hahhh.. hahh.. hahh.” Gw liat ke bawah sejenak. Gelap. Hitam. Legam. Betapa malang nasib Accretia dan Corite itu. Dan lega gw ga ikut jatuh bareng mereka. Seluruh berat badan gw bertumpu di tangan kiri.

Semua gegara si goblok itu! Robot kok ga bisa mikir!? Heran.

Gw berusaha angkat tubuh dari tepian tebing ini dengan susah payah. Tiba-tiba, begitu menoleh ke atas, di sana berdiri seseorang bermantel serba hitam. Kepalanya tertutup tudung hitam juga. Jadi gw ga bisa liat jelas mukanya. Cuma keliatan giginya doang putih, tapi udah ompong, menyeringai sinis ke gw.

“Si-siapa!?” Tanya gw penasaran. Ga sangka ada orang lain di tempat ini selain kita-kita; para Prajurit yang lagi tempur di luar tadi.

Sosok bermantel hitam itu ga memuaskan rasa penasaran gw. Dia cuma diam sebentar…

Tau-tau DUUUGHH! aja.

“WAAAADAEEEEUUUWW!” Hesemelewenesbil! Dia menginjak tangan kiri gw sekuat tenaga! Reflek sangking sakitnya, tumpuan gw lepas dari tepian tebing. Tangan kanan gw pegangi tangan kiri yang nyut-nyutan, sementara tubuh untuk sedetik, berhenti di udara, “Oh shite…” maki gw begitu sadar udah ga pegangan lagi. Tubuh ini akhirnya masuk jurang juga, “UUAAAAA… AAA… AA… A…!” Teriakan gw makin lama makin pudar, seiring makin dalam jatuh ke jurang tanpa dasar.

Ahh… maap ga bisa tepati janji, Elka. Selamat tinggal.

“Federation didn’t pay me enough for all these shites.” – Lake (Ch. 16)


CHAPTER 16 END.

Next Chapter > Read Chapter 17:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-17/

Previous Chapter > Read Chapter 15:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-15/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *