LAKE CHAPTER 18 – THERE’S NO PARTICULAR REASON

Lake
Penulis: Mie Rebus
“Ah ga bisa ah!”
Seru gw penuh frustasi seraya banting kedua pedang di tangan. Warna biru-merah nan indah hilang dan berubah. Balik ke wujud asal; hitam kusam dan tumpul. Udah lebih dari dua jam setengah gw coba buat ‘memotong ruang realitas’. Dan ga ada tanda-tanda bakal membuahkan hasil.
Merasa omongan Kakek Aethelflaud ga masuk akal, tapi gw ga punya pilihan selain tetap mencoba. Di benak gw pas dengar kata-kata Kakek Aet, gw pake pedang buat membelah ruang kosong sampe membuka celah dimensi. Tapi ga begitu yakin apa gw udah melakukan yang benar? Kalo emang hal itu bisa dilakukan, setidaknya tunjukkanlah caranya. Barangkali abis dapat gambaran, bisa lebih gampang.
“Jangan putus asa dong. Kalo kamu ga bisa, kita bakal terjebak lama di sini.” Kata suara lembut cewe Corite. Dia duduk bersimpuh nonton percobaan gw sedari tadi. Tongkat keemasan diletakkan melintang di atas kedua paha.
Dengan gusar gw menghempas pantat ke lantai es, dan duduk selonjoran di sebelahnya. Kedua tangan menopang badan gw di belakang. “Bodo. Capek.”
“Ihh… ga boleh! Coba lagi sanaa!” Omelnya sambil mengguncang badan gw pake sebelah tangan. Kepala yang lagi pusing ikutan terombang-ambing juga akibatnya.
“Apaan sih!” Tangan kanan gw menepis tangan kirinya. Risih karena diguncang terus. Dikata gw milkshake kali.
“Iiiisss!” Dia mendengus kesal, alisnya berkerut, tapi tetap dengan muka menggemaskan. Mata kuningnya menatap langsung mata ungu gw. Ugh. Cakeeep bangeeet, Kapten! Gw langsung berpaling ke arah lain sebelum muntah pelangi. Di sisi lain, si Accretia lagi duduk bersila dekat tembok. menyandarkan badan besinya itu. Ga berkata apa-apa sejak gw memulai percobaan. Abis batre kali ya.
Ga ada satu suara pun terdengar. Keheningan mengisi ruangan ini karena kita saling diam cukup lama. Gw cuma bengong menghitung stalaktit dan stalakmit sangking ga ada kerjaan. Ga ambil pusing ama si Corite yang celingukan. Sesaat ke gw, sesaat ke Accretia, sesaat ga tau kemana.
Entah apa yang ada di pikirannya, gw ga tertarik buat cari tau. Tapi sikap gw seolah waspada. Mungkin karena di hati kecil, gw masih anggap dia musuh. Dan terhadap musuh, kita ga boleh lengah, kan?
“Aku ga pernah menyangka…” Tetiba dia bersuara. Bikin gw kehilangan jumlah stalaktit yang lagi gw itung. “… kalo bisa duduk di sebelah Bellato kaya gini.” Sesaat gw menoleh ke sebelah. Mukanya agak menunduk. Gw bisa liat senyum tipis di bibirnya.
“Sama,” balas gw datar, dan kembali hitung Stalaktit.
Dari sudut mata, keliatan kalo ini Corite menatap gw abis dengar gw ngomong. Tatapan menyelidik kaya pengen tau isi kepala gw.
“Masih ingat, pas pertama kali kita ketemu?”
Pertanyaan itu lagi-lagi bikin gw berhenti menghitung. Mana mungkin lupa? Baru juga beberapa hari kemarin. Tentu masih tergambar jelas.
“Masih kok. Gw kan belum pikun.” Jawab gw sekenanya. Pasti ini Corite mau bahas kejadian waktu itu. Wajar sih, pasti itu membingungkan banget bagi dia.
“Aku benar-benar mikir kalo akan mati begitu kamu mendekat.” Si Corite mengenang moment pertama kita tatap muka, “tapi kenyataannya engga. Sejak saat itu..” Bola mata kuningnya penuh rasa ingin tau. “… aku selalu bertanya-tanya, apa yang ada di pikiranmu?”
Gw terdiam. Sejenak menatap wajahnya yang fokus ke gw. Lalu, pindah liat telapak kaki yang gw gerak-gerakin di ujung sana. Haruskah bilang yang sejujurnya? Tentang hal-hal di kepala? Secara, dia ini Corite. Terlebih lagi, dia melempar Hell Bless dan bikin gw merasakan sakit luar biasa.
Agak aneh emang, ga pernah kebayang kalo gw bakal ngobrol dengan Corite. Di medan perang, mana ada yang begini. Bahasa kita berbeda. Ga mungkin kita saling mengerti satu sama lain. Kalo gw pengen dia tau isi hati gw, bisa jadi ini kesempatan bagus. Mumpung di sini, kita bicara bahasa yang sama.
Si Corite masih menunggu jawaban atas pertanyaannya. Wew. Padahal gw mikir rada lama. Sabar juga dia.
“Huff.. gw… ga punya alasan khusus.” Sepatah kalimat keluar selepas hembusan napas berat. Mata kuning si Corite melebar, makin nunjukin rasa penasaran. “Cuman terlalu takut aja… buat mengakhiri kehidupan.”
Dia terhenyak dengar jawaban gw. “Maksudnya?”
“Ya lu taulah. Gw diliputi keraguan. Apa iya, gw bisa segampang itu bunuh lu?” Tanya gw tanpa berharap jawaban. Karena sebenarnya, pertanyaan itu ga ditujukan buat siapa-siapa selain diri sendiri, “dan… ini terdengar konyol, tapi… gw kepikiran orang-orang yang bakal lu tinggalkan kalo lu meninggal.”
“Kamu… serius berpikir sejauh itu?”
“Ya. Susah dipercaya, kan? Entah lagi kesambet setan apaan.”
“Iya. Susah dipercaya.” Ujarnya. Masih belum bisa lepas rasa kaget, “tapi, aku percaya.” Lanjut si Corite lagi memapar senyum. Kali ini, gantian gw yang dibikin terhenyak.
“Apa-apaan nih anak?” Gumam gw dalam hati.
Suasana kembali hening. Ga tau lagi apa yang mau dibicarakan. Tetiba gw kepikiran satu hal. “Turut berduka… buat Skuad Leader lu,” Si Corite kembali liat gw, “gw.. sama sekali ga ada niatan buat bunuh dia,” Kata gw agak pelan. Karena gimanapun, ga enak banget sebenarnya mengungkit hal ini.
“Bukan sepenuhnya salahmu kok,” ujar si Corite. Matanya terpejam, “mungkin, itu balasan setimpal… atas keberingasannya yang udah-udah,” dadanya turun naik seiring napas berhembus. “meski akupun ga tega liat Raha, kekasihnya, ditelan kesedihan. Tapi, kurasa… itulah perang. Sering bantai nyawa musuh tanpa pikir panjang, tanpa peduli kalo mereka sebenarnya ga jauh beda dari kita. Punya orang-orang kesayangan yang menunggu kepulangan mereka dari medan perang. Padahal, sebagai sesama prajurit… kita udah paham betul pahitnya rasa itu. Tapi kenapa…? Kita masih terus mengulang lagi? Haruskah kita kehilangan segalanya, baru bisa berhenti?”
Sumpah, ga nyangka bisa sepemikiran dengan Corite! Kata-kata yang diucapkan Si Corite benar-benar yang ada di benak gw selama ini. Dia kaya jadi juru bicara otak gw yang enggan mengucap keras-keras isinya pada seluruh dunia.
“Gw rasa… itulah perang,” ga ketemu kalimat yang pas buat balas kata-katanya, jadi gw balikin aja kalimat yang tadi. Bulatan ungu kembali beralih ke Stalaktit di langit-langit.
Dia jadi tersentak. Kayanya ga berpikir kalo kalimat sama yang diucapnya tadi, bisa jadi jawaban buat pertanyaan sendiri. Lalu bibirnya menyungging senyum penuh arti.
“Kamu unik deh,” dia bilang. Hahaha. Bahan langka sampe mau diekstrak, kurang unik apa coba? “Kupikir, Bellato tuh serakah, egois, dan rela melakukan apa aja demi tujuan.”
Sebenarnya ga salah juga sih. Para pejabat tinggi banyak yang kaya gitu di mata gw. Korup, kotor, banyak maunya, ga ragu buat korbankan prajurit kroco demi ambisi mereka. Pake dalih ‘Kejayaan Federasi’ sebagai topeng kebusukan. Kadang, dianggap apa pengorbanan prajurit yang mati tanpa dikenang?
“Ga semuanya begitu kok,” tukas gw di tengah aliran pemikiran. Satu kalimat sanggahan terhadap dua anggapan sekaligus. Anggapan gw sendiri, dan dia, “tau ga? Gw ga pernah nyangka kalo Skuad Leader lu tewas gara-gara satu uppercut. Padahal sebelumnya, setelah serangan pedang gw mencabik, dia sempat meremas kepala gw sampe mau pecah.”
Emang, gw sempat diliputi kemarahan pas lawan si Black Knight itu. Ga bisa maapkan gimana dia menyeringai seolah nikmati pertarungan, menganggap kalo itu bukan masalah besar. Gw cuma pengen bikin dia babak belur. Kasih pelajaran… walau akhirnya jadi kelewatan.
“… Anclaime Sada tewas akibat syok dan pendarahan hebat,” Si Corite menjelaskan. Getar pilu terselip di balik nada bicaranya, “pukulanmu di rahang bawahnya, membuat lidahnya yang berada diantara deretan gigi, tergigit hingga… putus.”
GLEEK!
Gw bayangkan sambil gigit pelan lidah di dalam mulut… dan… merasa ngilu sendiri.
“Ditambah lagi… organ dalamnya juga banyak yang luka parah,” jelas si Corite tertunduk lesu menahan duka. Apapun pengalihan yang dia bilang, tetap aja tersisa kesedihan kalo orang yang lu kenal tewas di depan mata lu.
“Maap,” kata itu sekali lagi terucap dari mulut, semata-mata gegara ga enak ungkit-ungkit hal tabu ini. Dan semua itu, gw lah penyebabnya.
“Ga apa, kamu udah minta maaf juga lagian.” Jawab si Corite seraya kembali lempar senyum super manis. “Selama ini, aku selalu panggil kamu rambut kelabu. Padahal banyak yang udah kita lalui, dan udah ngobrol kaya-“
“Lake,” Tanpa pikir panjang, gw potong sebelum dia selesai. Pasti dia pengen nanya nama gw, “lu boleh panggil gw Lake.” Ujar gw sambil menatap hampa ke depan.
Si Corite terkejut karena gw bisa tau kemana arah omongannya jauh sebelum dia selesai. Ekspresi kaget itu ga dipertahankan lama-lama, sebelum dia bilang,
“Faranell. Namaku Faranell Trinyth,” tangannya terulur, menunggu gw balas uluran telapak lembut nan halus, terbungkus sarung tangan Grazier. Selepas berapa detik pertimbangkan antara genggam tangannya atau engga, akhirnya, gw genggam tangan Faranell, “Lake itu artinya danau lho, kalo di bahasa Corite,” jelasnya antusias.
“Oh ya? Keren juga.”
“Kalo punya waktu buat pacaran, mending lu pake buat buka celah dimensi.” Mendadak, suara tenang dan arogan si Accretia menggema. Dia masih belum pindah dari posisinya. “Buang-buang waktu!”
“Emang robot ngerti istilah pacaran, ya?” Tanya gw membatin.
Hmm, mungkin ingatan pas masih jadi makhluk berdaging masih membekas di hard drive mereka.
“Heh! Robot gedek! Si-siapa yang… pacaran!? Sembarangan aja!” Seru Faranell pada si Accretia, agak tergagap pas di tengah kalimat.
“Masalahnya, gw ga tau gimana caranya. Kalo aja Kakek itu kasih sedikit petunjuk.”
“Ga perlu beralibi, cebol!” Balas si Accretia dengan nada ketus. “Mungkin lu mewarisi kemampuan seorang Grymnystre, tapi ga punya keahlian dan kekuatannya.” Ugh. Kata-katanya cukup menusuk juga. “Percuma, tetap aja lemah!” Gw telan mentah-mentah perkataan robot tersebut, soalnya anggap itu benar.
Emang sih, gw bisa manipulasi adrenalin layaknya Ayah dan para Grymnystre lain. Dan gw dengar, bentuk dari manipulasi adrenalin sendiri, beda-beda pada tiap anggota keluarga. Tapi kemampuan itu ga dibarengi keahlian menggunakannya. Tubuh gw juga belum cukup kuat untuk menahan aliran adrenalin yang tiba-tiba melonjak drastis.
Alhasil, gw cuma bisa bertahan paling lama 10 menit. Itupun kalo ga gerak sama sekali. 5 menit pas lagi berantem, dan pait-paitnya… 2 menit kalo terlalu maksa.
Hal itu ga pernah berakhir baik. Karena setelahnya… pasti tubuh gw langsung luka parah sampe ga bisa gerak. Sekarang gw masih hidup karena punya kamerad yang kerennya minta ampun. Elka, Resimen 18, kawan-kawan dari Divisi 4 Artileri. Mereka ga tinggal diam liat gw sekarat. Apa jadinya kalo ga ada mereka dan gw masih tetap menerapkan gaya bertarung yang sembrono? Hahaha. Umur gw ga bakal panjang pastinya.
Jengkel menerima fakta yang dipaparkan si kaleng, gw bangkit dari duduk dan beranjak ke tempat lain.
“Eh, mau kemana?” Ini Faranell kok kepoan yah.
“Kamar mandi.” Jawab gw tanpa balik badan. “Mau ikut?” Tanya gw meledek, sambil liat dia pake muka mesum.
“Hiiih!”
Gw cengengesan liat ekspresinya. Ternyata di balik tampilan mereka yang keliatan dewasa, anggun, rupawan, serta sempurna secara fisik, ada juga Corite yang kaya anak kecil.
Awalnya gw sempat gelisah. Kakek Aet bilang, dia cuma serpihan memori. Otomatis ga perlu dong, melakukan hal-hal yang biasa dilakukan makhluk yang masih idup? Mungkin, dia dan si kaleng ga butuh kamar mandi, lah teruuus nasib gw dan si Corite gimana?
“Telusuri aja lorong ini, mentok belok kiri.” Lega terasa begitu dia jawab pertanyaan gw sebelum pergi tadi. Untunglah. Ada ternyata.
“Wow.” Gw dibuat terkesan oleh keapikan arsitektur kamar mandinya. Terbilang luas banget buat ukuran tempat buang hajat. Sama kaya ruangan lain, interiornya berasal dari es yang dipahat. Kloset, wastafel, cermin. Cahaya pecahan Grymnystone berpendar sampe sini juga. Biarpun ga terang-terang amat. Menjalar dari langit-langit transparan.
Sesaat gw liat refleksi diri sendiri di cermin. Berpikir ini-itu, berusaha nyari dimana gw salah? Abis itu menghela napas. Masih tampan, ga ada yang salah.
Bola mata ungu terpaku ke kloset dari es. Ga lucu juga kalo lagi ngeden digelitikin hawa dingin. Gw jadi ketawa sendiri, teringat muka Jizzkar pas diguyur air es.
Oh, tadi gw mau ngapain ya? Udah di kamar mandi, malah lupa mau buang air kecil atau besar. Ya udah deh, yang penting buka celana dulu. Nanti juga ingat. Haha.
“KYAA!”
Baru juga nurunin resleting, tetiba gw dikagetkan oleh sebuah getaran yang cukup gede diiringi teriakan perempuan. Yah, kaga jadi dah. Padahal udah di ujung tanduk! Ggrrr! Gw langsung berhambur keluar kamar mandi, lari menyusur lorong tadi.
Shite! Tangan gw sibuk naikin resleting dengan hati-hati. Takut ‘masa depan’ gw terancam kebodohan sendiri. Jangan coba-coba naikin resleting sambil lari kalo ga punya kemampuan khusus, sob.
Jelaslah sudah, sumber suara dan penyebab getaran tersebut. Di ruangan Grymnystone, mata gw terbelalak pemandangan yang bikin leher tersedak. Faranell terkapar ga berdaya! Sekujur tubuh putih mulusnya jadi penuh warna pekat merah. Darah keluar dari mulut, dan membasahi bagian yang luka-luka.
Si kaleng berdiri gagah di depannya, Spadona terhunus. Pelan-pelan melangkah deketin Corite yang sekarat itu! Asap keluar dari sela rangka besi. Retakan di lantai es bikin gw berasumsi kalo dia udah menyerang Faranell!
“Aggressor Mode..” Kata si Accretia datar. Sinar biru kehijauan menyala dari balik Armor Punisher tersebut. Sedangkan Faranell masih belum buka mata.
“Pedang gw, mana pedang gw!?” Tangan ini langsung ngubek-ngubek inventori 4 dimensi, sebelum sadar kalo senjata gw masih geletak di sisi lain ruangan, berlawanan dari posisi mereka berdua. Demmit! Ga akan sempat kalo gw ambil dulu, terus mencegah si Accretia! Soalnya, kaleng ga berotak itu udah keburu angkat Spadona yang diselimuti pendar cyan-nya!
WUUUUSSHHH!
Spadona si Punisher bergerak turun, mengarah ke tubuh Faranell dengan tenaga penuh! “Accel Walk!”
Untuk kedua kalinya, gw tendang sisi lebar Spadona itu setelah berlari secepat mungkin. Spadona cyan tersebut melenceng sekitar setengah meter dari kepala Faranell yang belum juga sadarkan diri.
“… Sekali lagi lu menapak kaki di Spadona ini, gw amputasi kaki kurus lu itu!” Seru si Accretia geram. Mengingat sebelumnya gw pernah melakukan hal serupa.
“Lu nyaris bunuh dia!” Bentak gw dengan nada tinggi. “Tau sendiri kan, dia ga punya kesempatan menang lawan lu!? Kenapa!?”
“Dia duluan yang mulai.” Jawab si Kaleng. “Lagian, siapa suruh macam-macam?” Intonasinya terdengar merendahkan. Ga ada sedikitpun penyesalan.
Faranell duluan yang mulai? Ga mungkin! Grazier cengeng begini, ga mungkin menyerang si kaleng duluan! Lah tadi aja cuman diliatin doang langsung ciut.
“Pembohong…” Desis gw pada si Accretia.
“Beneran,” si kaleng masih keliatan santai. Kedua bahunya sekarang sedikit terangkat, “dia menggila, selepas kita sedikit tukar pikiran tentang… Decem.” Penekanan pada kata ‘Decem’ sebagai tanda ejekan.
Cih! Itu sih provokasi namanya! Sialan! Wajar kalo sampe Faranell terpancing. Dia manfaatkan hal yang paling sensitip bagi para Corite buat bikin Grazier itu buka serangan. Licik.
“Sebaiknya lawan gw sekarang juga, Lake Grymnystre.” Tantang si kaleng, dan lagi-lagi menodong Spadona ke muka gw. “Punisher, Centurio GR-133, Code Name Gabberwockie ga akan segan-segan!”
“… Oke, kalo emang itu mau lu.” Lelah karena dari tadi diajakin berantem, akhirnya gw terima tantangan si kaleng. “Tapi sebelumnya, gw harus menolong Corite ini dulu.” Gw pun langsung berbalik, keluarkan kotak pertolongan pertama yang udah jadi standar prajurit Bellato dari inventori 4 dimensi.
Mungkin gw bukan Holy Chandra, mungkin gw bukan Kadet peringkat top di Ranger Corps, tapi bukan berarti gw ga pernah perhatikan hal-hal yang diajarkan waktu masih jadi Kadet. Setidaknya gw tau prosedur standar pertolongan pertama.
Hal pertama yang gw lakukan, bersihkan darah dari tubuh, sekitar bibir, terus bersihkan luka-lukanya. Luka yang paling parah terdapat di lengan. Kayanya keseleo. Ditambah lagi sabetan panjang Spadona si Accretia menyebabkan pendarahan. Gw ikat kuat-kuat pake perban supaya darahnya berhenti mengalir.
Sial! Ini mah harus dijahit! Gw mulai ragu. Soalnya belum pernah jahit luka. Gimana nih? Gimana nih? Ah! Bodo amat! Coba dulu dah. Selalu ada yang pertama untuk segala hal, kan? Jangan dendam ya Nell, kalo gagal.
Akhirnya gw buka sarung tangan Sentinel dan mulai sterilisasi peralatan buat jahit luka, serta tangan gw sendiri dan mulai bersiap buat salah satu moment menegangkan. Ggrrr! Tangan gw gemetar disco! Keringat mengucur dari pori-pori muka. Biarpun udah berusaha sepelan, dan setenang mungkin.
Jarum yang gw pake mulai menembus kulit Faranell. Awalnya tegang dan meresahkan, tapi seiring gerakan tangan menjahit lukanya, gw paham apa yang harus diperbuat. Gemetar pun mulai berkurang. Dan gw sukses selesaikan jahitannya tanpa kesalahan.
“Fyuuuuh..” Hela napas lega, gw melilit perban di luka tersebut. Lumayanlah, hitung-hitung percobaan pertama. Tapi Faranell belum juga sadar. Gw jadi mikir yang engga-engga. Jangan-jangan… ini anak juga mengalami pendarahan internal?!
Jangan sampe deh! Gw angkat tangan kalo sejauh itu! Luka luar sih masih bisa, lah kalo luka dalam? Hmm, Denyut nadi di tangannya lemah. Masih terasa, tapi lemah. Perlahan, gw tempelkan kuping gw ke dadanya.
Deg… Deg…Deg… Deg… Deg…
Jantungnya berdetak pelan. Tiap intervalnya agak lama. Makin melemah! Napasnya juga… kaya tersumbat. Duh, gimana nih sekarang? Coba aja, gw bisa berbagi kemampuan meningkatkan detak jantung.
Tu… Tunggu. Apa itu mungkin dilakukan? Ga pernah terpikir sih, Accel Walk bisa dipake buat gituan. Tapi, mengingat bentuk manipulasi adrenalin tuh beda-beda… siapa tau… tapi, gimana caranya!? Apa ga bakal ada efek samping?
Tanpa mikir lagi, gw iris ruas kedua, tulang rusuk sebelah kiri si Grazier, yang paling dekat ke jantung. Sebenarnya gw ga yakin, namun ada suara di kepala gw yang seolah menuntun untuk melakukan hal tersebut.
Jari telunjuk dan tengah di tangan kanan, gw rapatkan dan langsung masukkan perlahan ke irisan yang gw buat tadi. Gw takut dia mengalami rasa sakit kalo ga dilakukan pelan-pelan. Belum lagi, kemungkinan infeksi senantiasa mengancam. Hangat lapisan daging dan becek darah Corite kerasa di ujung jari seraya makin dalam menjelajah rusuknya.
Begitu kedua jari udah terbenam keseluruhan, gw tingkatkan detak jantung sendiri, berharap hal itu menyambar ke jantung Faranell melalui jemari gw. “Napas dong! Napas” Napas!”
Semenit, dua menit. “Hhhhhhhhhhhhhhhhh…” Faranell tarik napas. Satu tarikan panjang, sebelum dia buang napasnya. Barulah, sistem respirasi Faranell normal lagi. Dalam keadaan kaya gini, gw merasa kaya kedua jantung kita terhubung jadi satu. Gw bisa merasakan detak jantungnya mulai pulih.
Gadis Corite berambut ungu ini susah payah buka kelopak matanya. Abis berhasil setengah buka mata, dia liat sejenak ke gw. Begitu lemah tatapan sepasang mata kuning itu, beda banget dengan yang tadi. Terus langsung tutup mata lagi. Gw cabut kedua jari dari rusuknya, dan langsung kasih perawatan. Ternyata benar Accel Walk bisa dipake buat hal semacem ini! Wew. Baru tau. Makasih suara aneh di kepala yang menuntun gw.
Selepas bersihkan tangan dari cairan merah, kembali gw pake sarung tangan Sentinel dan melangkah buat ambil kedua pedang gw di sisi lain ruangan. Begitu tangan gw genggam kedua gagangnya, seperti biasa, mereka langsung menyala terang. Indah banget.
Abis itu, gw jalan santai mengitari si Accretia yang masih belum beranjak. Cuma melihat gw sambil berdiri tegap, Spadona terpanggul di bahu.
“Kenapa sampe segitunya, lu menolong Corite itu?” Si Accretia, yang tadi menyebut dirinya Gabberapatadi, nanya ke gw. “Padahal, sesama bangsa juga bukan.” Omongannya penuh kesombongan.
“… Ga ada alasan khusus.” Balas gw kalem sambil masih memutari dia. “Cuman ga tahan aja, kalo harus terjebak berdua dengan lu di sini.” Gw ledek dia biar suasana makin panas. Dari awal, gw emang ga demen gaya songong Gabber.
Punisher itu langsung balik badan dan menerjang dengan kecepatan penuh. Spadona masih di bahunya, langsung melayang, mengincar badan gw. Sebagai langkah antisipasi, gw lompat mundur. Gabber masih tetap maju penuh napsu.
Melancarkan dua sabetan maut dari kanan ke kiri, lalu dari atas ke bawah. Diakhiri tusukan tepat ke kepala yang semua sukses gw hindari. Gerakannya amat bertenaga. Biarpun serangannya meleset, terasa aliran udara di sekeliling Spadona itu menyapu bagian tubuh sasarannya.
Untuk ukuran Punisher, lincah juga ini kaleng. Tapi kalo masalah kelincahan dan kecepatan, tentu gw cukup percaya diri. Lagi, dia menusuk gw. Kali ini mengarah ke dada. Gw bergeser sedikit ke samping dan menggesek dua pedang di tangan ke sisi lebar Spadonanya.
Bunyi denting 3 senjata tajam terdengar seraya gw lari dekati dia, dua pedang gw dan Spadonanya saling bergesekan, warna cerah biru-merah-cyan saling beradu hasilkan pendar keindahan. Pas udah dekat banget, gw ayunkan kedua lengan ini, dan pedang gw pun ikut menebas kepala kaleng. Karena dia jauh lebih tinggi, gw harus lompat guna jangkau kepalanya.
Dia menarik kepala ke kiri, jadi terhindar rata oleh tebasan gw. Reaksinya oke juga. Ga buang waktu, liat gw masih di udara, tangan kirinya meninju perut gw.
“UHUUUK!” Busyeeet! Pedas banget! Tangan dari logam emang beda rasa ye, kalo mukul. Gw masih mendarat di atas dua kaki, tapi agak bungkuk menahan sakit di perut. Keadaan lengah ini dimanfaatkan baik-baik oleh Gabber. Dia kembali mendekat dan bersiap memutar Spadona buat blender gw. Gerakan memutarnya gw blok sekuat tenaga. “KKHHH!”
Tiap pedang kita beradu, jelas keliatan perbedaan kekuatan di antara kita. Punisher ini bahkan lebih kuat kayanya, dibanding Black Knight maniak. Barangkali karena dia mesin, ya?
Ga kuat adu tenaga lagi, gw melakukan slide tackle di antara kedua kakinya. Punisher itu langsung menusukkan Spadonanya ke tanah, berharap kena gw yang lagi meluncur tiduran.
Tsaaah! Ga kena! Tusukannya telat sepersekian detik. Spadona Punisher menancap kokoh, tembus lantai es sangking niat banget menusuknya. Pas gw lewat dua kaki logam, sekalian aja sabet dikit. Pedang gw beradu dengan kaki logam Gabber. Menghasilkan percikan api, membuatnya kehilangan keseimbangan. Sekarang, gw udah pindah tempat ke belakangnya. Si kaleng itu sempet berlutut sambil tetap bertumpu ke Spadona yang masih menancap kuat. Dia pun berdiri dan mencabut senjata andalannya tersebut.
“Lumayan, cebol.” Kata Gabber tetap tenang. Udah kena serang, masih aja songong.
“Nyaring juga bunyi lu, kaleng.”
“Tapi tetap, gw jauh lebih kuat dari lu!”
“… Segitu pentingnya?” Tanya gw dibalut nada heran. “Segitu pentingnya buat buktikan kalo lu lebih kuat dari gw?”
“Iyalah. Gw ga bisa terima si Kakek itu bilang kalo lu yang paling kuat di antara kita! Akan gw buktikan kalo itu cuma omong kosong.”
“Asal lu tau ya, gw ga peduli siapa yang lebih kuat dari siapa! Dan lu ga perlu menyerang Faranell sampe separah itu!” Gw jadi geram juga liat kelakuannya.
“Hah! Lu itu dungu atau gimana? Ini medan perang, Boss! Kalo emang dia ga mau menderita, lebih baik tetap di rumah, main boneka!” Omongan yang keluar dari mulut si Gabber malah makin jadi. Well, ga salah juga sih sebenarnya. “HEAH!” Dia berseru, kemudian berlari mendekat, “Aggressor Mode.” Tubuh si Accretia agak sedikit berubah. Beberapa lapisan logam di beberapa bagian; lengan, dada, kaki membuka dan keluar cahaya biru-kehijauan diantara sela-sela rangka logam. Kaya pas dia niat bunuh Faranell! Optik merah di matanya pun berubah warna pula.
“UUGH!” Gerakan Gabber makin beringas dan bertenaga! Dia bisa melakukan sabetan berturut tanpa jeda sedikitpun. Gw berlari menjauh. Tapi dengan gampang, kaleng ini sigap banget mengejar!
“Assault!” Dia bergerak zigzag, begitu lihai sebelum menyambar perut gw. Arrg! Madafaka! Badan gw jadi berputar-putar pas dia lewat. “Punisher’s Pierce!” Kali ini, dia menembus udara dengan tusukan yang lebih cepat dari sebelumnya. Untung masih keliatan di mata gw.
Mau ga mau, gw adu aja. Pedang di tangan kiri melintang, sedangkan yang kanan berdiri vertikal di belakang yang kiri, supaya jadi penopang buat menahan tenaga dorongan si Accretia. Gigi gw menggertak tanda kerahkan seluruh tenaga.
Asap mulai keluar lagi dari sela-sela tubuh logam Gabber. Biarpun udah usaha maksimal, masih aja pijakan gw mental ke belakang. Sialan! Gw terdorong cukup jauh juga. Rasa perih melanda sekitaran perut. Tersadar kalo ternyata perut gw tergores Spadonanya tadi. Tetes darah mulai keluar.
“Apa lu ga mau serius menghadapi gw?” Gerutu Gabber di tengah pertarungan. “Gw tau lu lemah, tapi kemampuan lu pasti bisa lebih dari ini.” Entah maksudnya memuji atau mengejek, gw ga paham jalan pikiran robot. “Setidaknya buatlah gw senang. Gegara lu juga kan, kita masih terjebak di sini.” NYITT! Dahi gw mengkerut abis dengar kalimat terakhirnya.
Ga pake lama, gw kumpulkan momentum di kedua otot betis dan paha. Badan condong ke depan, dan.. secepat mungkin dorong tubuh gw ke hadapannya. Mata pedang terarah mantap. Gw sempat berputar diagonal biar tenaga ayunan pedang bertambah. Gabber keliatan tersentak dan buru-buru membentang Spadonanya secara diagonal juga guna antisipasi serangan.
Untuk kesekian kalinya, senjata gw dan dia beradu kuat. Gw liat jauh ke dalam bola optik yang sekarang balik lagi jadi merah sembari senyum menyindir.
“Emangnya, lu pikir… gara-gara siapa… kita jatuh ke tempat ini?” Manis banget kelakuannya dah. Seenaknya aja bilang masih terjebak di sini gara-gara gw, padahal kita bisa ada di sini ya karena dia! Guoblok!
“Ahh…” cuma itu yang terucap dari prosesor suaranya. Mungkin dia merasa bego setelah ingat fakta itu. Yang jelas, jengkel aja gw, dia ga nyadar kesalahan sendiri, malah seenaknya nyalah-nyalahin orang.
“Lho… teman kalian kenapa tuh?” Kami dikejutkan suara Kakek Aet yang datang kemari.
Gw dan Gabber langsung berhenti adu pedang. “Kaleng rombeng ini yang bikin dia sekarat!” Jawab gw lantang, sembari menunjuk muka besinya pake pedang di tangan kiri.
“Oalah. Ya udah kalo gitu, bawa ke ruangan sebelah aja. Nanti saya obati dia.”
“Anda bisa menyembuhkan, Kek?” Gw sedikit kaget dengarnya.
“Tentu. Semasa hidup, saya seorang Astralist lho. Jadi, pernahlah belajar satu-dua Force penyembuh.” Abis berkata begitu, dia beranjak ke ruang yang dimaksud.
Terus, gw coba gotong Faranell di punggung. Masalahnya… karena badan gw lebih kecil, ini cewe jadi terasa lebih berat biarpun sebenarnya ga gemuk-gemuk amat. Sempat nyaris nyusruk berapa kali!
Liat gw kesusahan, Gabber jalan mendekati kami. Sontak, gw waspada. “Mau ngapain lu?”
Dia ga bilang apa-apa, tapi ambil Faranell dari punggung gw dan gendong di lengannya tanpa kesulitan berarti. Bak pangeran yang gendong permaisuri. Wew. Apa-apaan tuh? Oke. Ini aneh. Satu-satunya alasan gw ogah minta tolong padanya, ya karena dialah penyebab Faranell terluka! Gw ikut di belakang, eh beneran dibawa dong ke ruang sebelah.
Ga berapa lama, Gabber keluar. Dan balik ke posisinya semula. Duduk bersila dekat tembok, bersandar. Benar-benar deh, apa sirkuit di kepalanya koslet? Sebenarnya gw penasaran, kenapa dia melakukan itu. Pengen nanya, tapi merasa nanti kata-kata gw bakal dibalikin. “Ga ada alasan khusus. Cuman ga tahan aja, kalo harus terjebak berdua dengan lu di sini.”
Kan bikin bete kalo digituin. Cuma gw yang boleh balikin kata-kata orang lain.
Udah lebih dari sejam. Belum ada tanda-tanda selesai kayanya. Gw putuskan buat ke ruang sebelah. Mau nanya-nanya lebih banyak ke Kakek Aet tentang ‘memotong ruang realitas’, sekalian cek kondisi Faranell.
Tanpa ketuk dulu, gw langsung buka aja tu pintu geser, “Permi… SSSIIIII!”
Ga sampe sedetik, langsung gw tutup lagi tu pintu. Degdegdeg! Jantung gw berdebar kencang! Hidung gw panaas, hampir mimisan. Dibalik pintu, Kakek Aet pake penutup mata, lagi merawat tubuh Faranell. Dari telapak tangannya keluar Force kehijauan diletakkan berjarak 5 senti dari punggung perempuan Corite itu.
Dan yang bikin gw syok setengah mati, Armor gadis itu GA PADA TEMPATNYA! Bening tubuhnya, perut langsing, leher jenjang, bemper… biarpun cuma sekilas, tetap MUANTAAAAB! Gw langsung berlutut dan menadah tangan ke langit-langit.
“DECEM! Ciptaan lu emang the best deh!”
Ngomong-ngomong, kampret juga tu aki-aki. Menang banyak doi! Sial!
Abis itu, pintu itu terbuka lagi. Faranell menatap gw penuh amarah. Mukanya merah semerah-merahnya tomat. Kali ini dia udah pake Armornya lagi, “TORRENT!”
“WAAAAAAHHGGH!”
Dia merapal Force air ke bawah kaki gw, bikin air menjulang tinggi dari bawah dan melempar badan gw ke udara, terus dia langsung banting pintu dan masuk lagi.
Ke… kepala gw menancap di langit-langit, alhasil badan gw jadi kegantung dengan kepala sebagai tumpuannya. Sakit! Kejedot langit-langit es sampe jebol pula! Gabber yang kayanya ga gitu ngerti apa yang terjadi, cuma geleng-geleng kepala. Tolongin gw kek sedikit!
“Dasar tukang santet…” rutuk gw dalam hati.
…
“Hahaha, lagian sih ga ketuk pintu dulu.” Kata Kakek Aet. Tawanya lepas begitu dengar kejadian lengkapnya.
“Ga adil! Kakek Aet juga liat dia tanpa busana! Tapi kenapa ga diapa-apain?” Gw protes karena merasa ditindas. Muka Faranell masih keliatan geram sekaligus merah. Berasa pengen lempar meteor aja.
“Lho? Saya merawat dia sambil pake penutup mata. Jadi ga bisa liat apa-apa.” Kakek Aethel menjelaskan. “Lagian, saya cuma serpihan memori. Ga punya napsu. Hahahaa.” Lagi-lagi dia ketawa ngakak.
“Lu pada kenapa sih, dari tadi?” Tanya seonggok kaleng di ruangan ini yang ga ngerti arti ‘terbuai napsu’.
“DIAM!” Bentak gw dan Faranell padanya, berbarengan.
“Ohh, mau mati ya…” Liat Gabber keluarkan Spadona, Faranell langsung ciut dan bergeser dekat gw. Sedangkan gw, memutar bola mata.
“Hahaha kalian udah mengakrabkan diri rupanya.” Eerrr, ga yakin juga sih, apa rentetan kejadian itu bisa disebut ‘mengakrabkan diri’.
“A-aku ga suka dia!” Teriak Faranell sambil menodong Gabber pake tongkat keemasan. Tangannya gemetar.
“Kakek! Saya mau tanya hal penting! Gimana caranya buka celah dimensi? Soalnya saya dari tadi ga bisa-bisa.”
“Hoo.. akhirnya nanya juga. Dari tadi saya tunggu kamu, kok ga nanya-nanya ya ini anak? Saya pikir kamu tau.”
GUBRAK!
Oke. Itu salah satu kesalahan gw. Heyy! Gw ga sempurna!
“Ga sulit kok sebenarnya, asalkan kamu punya pikiran yang jernih, batin yang tenang dan tentram.”
“Hah!?” Gw miringkan kepala. Seperti biasa, omongan Kakek Aet agak susah dicerna.
“Iya. Memotong ruang realitas adalah teknik tersulit, Bellato muda,” jelas Kakek sambil mondar-mandir di depan gw. “Seringnya kita berpikir… bisa melakukan hal yang luar biasa ketika keadaan terjepit, atau ketika keadaan emosi meluap; marah misalnya,” jadi kali ini pun harus pasang kuping baik-baik, “ga salah sih, tapi bayangkan, saat kehilangan kontrol aja, bisa melakukan hal menakjubkan. Gimana kalo misalnya, kamu punya kendali penuh terhadap pikiranmu sendiri?” Kakek Aet mengambil tongkatnya dan berjalan memutar, seraya gambar lingkaran di atas lantai es, “batinmu pun punya peran penting, di mana aktifitas emosi kebanyakan terjadi di sana. Kalo kamu bisa menemukan ketenangan sejati, dijamin, kamu bisa melakukan apa aja.”
Gw cuman diam dengarkan omongannya karena ga begitu paham. Gw tengok ke Faranell, dia juga kaya orang blo’on. Tempelkan telunjuk ke dagu sambil mikir. Gabber… mana mungkin percaya mentah-mentah ama beginian.
Kakek Aet selesai gambar lingkaran di lantai es. Di dalam lingkaran itu ada lingkaran kedua. Dan di dalam lingkaran kedua, ada lingkaran lagi di dalamnya. Jadi, ada 3 lingkaran. Belum tau fungsinya buat apa.
“Ini adalah lingkaran paradoks.” Kakek Aet menerangkan gambar yang dibuatnya. “Tiap-tiap lingkaran merepresentasikan sekat realitas. Dimana di satu ruang, ada 3 realitas yang berbeda. Lalu, kini, dan nanti.”
“Jadi.. saya bisa menjelajah waktu?”
“Hahahaha! Ya enggalah! Mana ada. Mustahil nak. Itu cuma gambaran aja.” Kakek Aet meletakkan tongkatnya, lalu menyalurkan sejumlah force ke jari telunjuk dan tengahnya. “Di tiap sudut dunia, terbungkus oleh sekat realitas ini. Biarpun ruang di depanmu kosong, sebenarnya ada sekat transparan yang jadi pembatas. Bayangkan aja lagi merobek pembungkus yang menghalangi kamu dari makananmu.” Dia gerakkan jari ke bawah dan… membuka… celah dimensi! Kami bertiga dibuat terheran-heran.
“Atau kalo udah ahli, kaya buka gorden di jendelamu aja.” kata Kakek Aethel sambil praktekkan gerakan orang buka gorden di pagi hari. Celah dimensi jadi terbuka lebar. Gabber langsung beranjak dari tempatnya, “Woops, tapi kalian ga boleh keluar lewat sini. Hahaha.” Terus dia menutup celah itu kaya orang tutup gorden. Ahh.. sial. Jadi tetap harus gw?
“Baiknya jangan mikir macam-macam dulu deh. Saya bikin gambar ini buat bantu kamu konsentrasi. Sebenarnya, kamu bisa belajar meditasi lho, dari teman Coritemu ini.” Faranell mengangguk setuju, bersedia ajari gw meditasi. “Sangat membantu jernihkan pikiran dan tenangkan batin.”
“Ehm.. pasti ada tapinya kan, Kek?”
“Tau aja. Kalo udah masuk, jangan sering-sering keluar dari lingkaran itu. Ga efektif.” Sesuai dugaan gw, ada aja kejutan kecil yang diberi Kakek Aethelflaud buat kita. Khususnya… GW!
“Oke deh. Ayo segera kita lakukan!” Ujar gw semangat, ogah buang waktu karena gw pengen cepat balik ke HQ. Kakek Aet sekedar senyum, dan Faranell pindah ke depan gw. Gabber, lagi charge batre kali.
Begitu semua udah siap dan suasana berubah serius, sebelum injak ke dalam lingkaran, badan gw merasakan sensasi menggelitik ga nyaman di bawah sana. Tepat diantara kedua paha. Lupa kalo tadi ga jadi…
“Ehem.. boleh saya ke kamar mandi dulu? Udah kebelet nih dari tadi.” Dengar kata-kata gw, semua yang ada di ruangan itu langsung tepok jidat.
“Throw this rat into the jail! I couldn’t stand to see his face.” – Izcatzin (Ch. 5)
CHAPTER 18 END.
Next Chapter > Read Chapter 19:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-19/
Previous Chapter > Read Chapter 17:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-17/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list
Catatan Author:
Waktu yang saya pake di cerita ini ukuran Bumi, 1 tahun 365 hari, biar ga ribet.
Regards,
Mie Rebus