LAKE CHAPTER 19 – CLEAR MIND, SILENT AND SERENE HEART

Lake
Penulis: Mie Rebus


“Kami bangsa Cora, bermeditasi guna menjernihkan pikiran. Sekaligus mengurangi stress akibat rutinitas sehari-hari.” Kata Faranell, dia duduk bersimpuh di depan gw. Batang tubuh dalam posisi tegap, kedua tangan berada diatas kedua paha super mulus. Matanya terpejam seraya napas perlahan keluar masuk dari hidungnya. “Intinya, membebaskan tubuh dari segala aktivitas berpikir.”

Jadi ceritanya, Kakek Aet minta dia untuk berbagi ilmu dengan gw. Supaya bisa melakukan teknik yang konon katanya cuma bisa dilakukan Elit Grymnystre, gw harus punya pikiran jernih, hati yang tenang dan tentram. Tapi, gw sendiri ga paham kaya apa kedua hal itu. Bagi gw, itu adalah sebuah konsep abstrak dan bukan sesuatu yang bisa diajarkan. Soalnya pemahaman orang tentang pikiran dan hati pasti beda-beda.

“Sebenarnya, aku ga bisa ajarkan gimana cara bermeditasi yang benar.” Ujar Faranell masih terpejam. Kayanya lagi-lagi dia sepemikiran dengan gw. “Satu-satunya guru meditasi terbaik, ya pengalaman. Karena cuma kamu sendiri yang paham pikiran dan hatimu; apa yang bisa bikin kamu tenang, damai, dan terkendali. Kamu harus langsung praktekkan sendiri, supaya tubuhmu ingat apa yang harus dilakukan.” Jelas Si Grazier Wanita begitu kalem, “Satu hal yang bisa kukatakan; meditasi bikin kita paham walau tubuh bebas dari aktivitas berpikir, kita ga mati… tapi tetap dalam keadaan sadar.”

“Jadi… lu ga berpikir sekarang?”

“Iya.” Akhirnya, dia kembali buka mata. Pupil kuning menyambut pupil ungu. Dia senyum kecil. Garis wajahnya amat tenang. Terasa agak beda dari yang tadi. “Kamu kebanyakan berpikir. Udah coba dulu.” Lanjutnya lagi.

Gw duduk bersila di dalam lingkaran paradoks. Awalnya coba buat bersimpuh kaya perempuan Corite itu, tapi… kaki gw langsung keram ga sampe 5 menit. Dan gw penasaran, bisa-bisanya dia duduk begitu lama.

Kedua mata gw pejamkan. Tubuh tegak, dan berkonsentrasi tenangkan pikiran.

“Napas adalah unsur utama. Atur tempo napas, rasakan tiap partikel udara masuk dari hidung, menjelajah ke tenggorokan, sebelum akhirnya memenuhi relung paru-paru. Rasakan aliran darah di urat nadimu, mengalir deras terpompa dari jantung ke seluruh tubuh.”

Jadilah gw melakukan instruksinya. Bebaskan tubuh dari aktivitas berpikir, bebaskan tubuh dari aktivitas berpikir. Atur tempo napas selambat mungkin. Gw bisa dengar detak jantung sendiri. Masih berdegup normal, belum ada perubahan. Namun, gw bisa rasakan satu perasaan damai yang baru kali ini gw alami… sebelum tiba-tiba…

PLAAK!

“Aduh!” Kepala gw dikeplak dari belakang. Sontak gw buka mata, dan menoleh buat cari tau siapa pelakunya. Etdaah … betapa kagetnya gw pas liat Paimon di sana. Ja… gw… di… oleh Animus!? Dafuk!

Faranell masih ada di depan gw, mata menyipit kesal dan bibir manyun menggemaskan. “Pasti kamu hampir ketiduran!” Omelnya. Ketahuan deh kalo hampir pulas barusan.

“Ya tapi ga perlu pake Paimon juga kali!” Gw menggerutu padanya.

Dengan santai dan tanpa dosa, dia bilang, “Abis mager sih. Posisiku udah enak.”

“Hoo… jadi lu pemalas yah. Ga jauh beda lho dari gw.”

“Sembarangan! Kamu ga liat nih? Perempuan semanis dan seproporsional ini calon pendamping idaman! Ga mungkinlah kelakuannya minus!”

Najong, pede banget Corite yang satu ini. Mirip siapa ya? Ah ya, mirip gw. “Jangan-jangan lu juga suka pake Animus buat disuruh-suruh lagi? Bersihkan rumah, sikat kamar mandi, atau semacamnya.”

“Aa-h? Engh … eng… gak kok!” Grazier itu menyangkal. Rona merah kembali muncul di kulit putihnya. Dia buang muka biar ga bertatap mata dengan lawan bicara. Iris ungu gw masih mengunci muka paniknya dengan tatapan datar. Kalimat yang terbata-bata itu bikin gw yakin kalo itu bohong.

Bisa dibilang penyalahgunaan Animus ga, ya?

Dalam hati, gw tersenyum sebenarnya. Setelah sadar kalo ternyata Corite wanita ini punya ga cuma satu, tapi beberapa kesamaan dengan gw. Lucu deh memikirkannya. Senyum di hati merangkak naik ke bibir jadi senyum-senyum sendiri.

PLAAK!

“Adoh!” Lagi, telapak tangan Paimon yang segede gaban itu melayang ke kepala gw. Grrr!

“Ja- ehemm … ngapain senyum-senyum gitu kayak orang sinting!?” Ujarnya sambil tetap liat ke arah lain dan ga berani menghadap gw. “Jangan mikir macam-macam ya!”

Sumpah ini anak kepedean abis. Emang sih, gw lagi pikirkan beberapa hal tentang dia, tapi kan bukan yang aneh! Dikira ga sakit apa dikeplakin Paimon? Gw sekedar mendengus, tanda malas merespon omongannya.

“A-apa?!” Faranel beranikan diri lirik gw. Membentak sok galak tapi ga berasa ada galaknya.

“Gak. Gak apa-apa.”

.

.

Begitulah kira-kira gw habiskan waktu di sini. Lebih banyak bercengkrama bareng Faranell ketimbang Gabber. Karena Corite ini lebih suka bersosialisasi. Gw sih ga keberatan sebenarnya, untuk sekedar ladeni buat jadi teman ngobrol. Perasaan waspada di dada perlahan mulai terkikis dan berkurang. Entah ya, ini kayak yang pernah gw rasakan di mimpi. Kayak udah kenal lama, dan ga merasa asing dengan kehadiran Faranell.

Tentang mimpi itu, gw belum niat buat cerita ke dia. Penasaran sih, kenapa dia bisa sampe kebawa mimpi. Tapi, ya percuma juga. Kayak dia bakal tau aja artinya apa. Dan… satu hal yang paling bikin malas untuk ingat-ingat mimpi itu… karena Elka mati di sana. Terlalu sakit bagi gw.

Gimana dengan Gabber? Well, sebagai kaleng, kayaknya dia punya kemampuan buat mematikan saraf motoriknya. Soalnya, dia habiskan waktu duduk sandaran di tembok. Sinar merah yang keluar dari optik redup sekali. Kalo ibarat log, barangkali masuk ke mode hemat batre.

Apa semua Accretia kaya dia? Songong, arogan, dan agaknya terobsesi banget jadi paling kuat. Langsung sewot pas dibilang ada yang lebih kuat dari mereka. Di saat dia lagi ga duduk bersandar, palingan dia keluarkan Spadonanya dan berlatih sendiri. Melakukan beberapa gerakan membunuh kebosanan.

Gw baru boleh keluar dari lingkaran paradoks per 3 jam sekali. Duduk selama itu bisa bikin pantat tepos juga, boss. Kaki gw udah berkali-kali kesemutan pas diajari meditasi oleh Faranell. Biasanya gw langsung ke kamar mandi begitu tiba waktu ‘istirahat’.

Suka kasian liat itu Accretia menebas angin macam orang dungu. Ya udah sesekali gw temani sparing. Namanya Sparing sih, tapi doi sering kelewatan gitu deh. Napsu banget kalo udah berhubungan dengan bertarung. Kalo udah begitu, Faranell yang jadi perelai diantara kita. Secara ga langsung. Pake Paimon. Mana mau dia terjun ke tengah-tengah sparing Bellato dan Accretia? Hahaha.

Gw cukup terkejut liat sikap Faranell. Ternyata si Corite berambut ungu satu ini pemaap juga yah. Dan ga pendendam. Padahal, dia udah dibikin sekarat oleh Gabber, tapi dia sama sekali ga mengungkit masalah itu. Berlaku sewajarnya aja ke si Accretia seolah Gabber ga pernah provokasi dia atau semacamnya. Ya emang sih, kadang dia masih suka agak takut gitu. Wajarlah. Perempuan lembut periang begitu diserang robot gedek, ga modar pun udah bagus.

Gabber di sisi lain, ga pernah mengucap kata maap atau basa-basi apa kek. Benar-benar macam ga punya dosa. Apa harga dirinya terlalu tinggi buat sekedar mengakui kesalahan? Atau jangan-jangan dia merasa karena udah menolong Faranell, dengan gotong, ya… cuma gotong ke ruang sebelah, jadi ga perlu minta maap? Au ah, gw emang ga pernah bersahabat kalo berurusan dengan mesin.

Kakek Aethelflaud sesekali cek keadaan kita. Berbincang sebentar, kasih satu-dua wejangan, abis itu pergi lagi ga tau ke mana. Ga terasa waktu berlalu lama. Entah pastinya berapa lama karena di sini ga ada alat penunjuk waktu. Ga bisa pula bedakan siang malam, semua keadaan terlihat sama. Gw tengok log misi, angka digitalnya berganti ga beraturan. Penyebabnya? Mana gw tau.

Hal serupa juga terjadi pada log misi Faranell dan Gabber. Jadilah kita buta waktu. Kayaknya sih udah dua harian lebih kita di sini.

.

.

Karena biasanya selepas gw dan Gabber sparing, gw kembali ke dalam lingkaran paradoks buat meditasi lagi, gw jadi agak paham garis besarnya.

Salah satu wejangan Kakek Aet yang paling gw ingat tuh, “Bentuk dari manipulasi adrenalin yang kamu miliki adalah; bisa meningkatkan detak jantung sesuai kehendak. Sebagai imbas dari tempo detak jantung yang tinggi, aliran darah pun terpompa makin cepat, betul?” Ujarnya sambil mondar-mandir di depan gw dan Faranell. Kita berdua sekedar manggut-manggut aja buat jawab. Eh, tunggu… kenapa ini anak ikutan sok ngerti!?

“Aliran darah yang tinggi ini memaksa seluruh pembuluh darah menegang buat menahan darah yang lagi deras tetap di jalurnya. Pun begitu dengan otot-otot di seluruh tubuhmu. Pasti ikutan tegang juga kan, pas kamu melakukannya?” Sekali lagi, gw anggukkan pala.

“Singkatnya, kamu ‘memaksa’ otot buat menegang lebih dari keadaan biasa supaya bisa keluarkan potensi maksimal tiap anggota tubuh; bergerak jauh lebih cepat, dan sedikit lebih kuat. Plus, di matamu, waktu jadi keliatan melambat. Kemampuan neuron menangkap impulse reflek pun ikut meningkat. Betul?” Kakek Aet masih lanjut ceramah. Sejauh ini fakta yang dipaparkannya emang benar. Bikin gw makin penasaran, kenapa dia bisa tau sejauh itu. “Di samping itu, kemampuan panca indramu juga jadi makin tajam. Terdengar hebat memang, tapi di balik semua kehebatan itu, ada cacat luar biasa.”

GLEKK.

Gw meneguk ludah. Setelah tadi dengar bagian bagusnya, sekarang masuk deh ke bagian minus.

“Tau gak, kalo jantung seseorang terus berdetak cepat begitu, kelenjar adrenalin akan melepas hormon-hormon stress dalam jumlah besar.” Nah yang satu ini bikin gw terhenyak. Karena gw ga pernah sadar akan fakta tersebut. Gw pikir Kakek Aet mau bilang kalo minusnya, rasa sakit yang gw alami bakal jadi berkali lipat. “Itu bahaya lho. Jadi bisa dibilang, selama ini tubuhmu selalu dalam keadaan stress. Makanya, terasa rapuh banget kan pas manipulasi adrenalin?”

Dengar pertanyaannya, gw cuma bisa buka telapak tangan kanan dan menatap kosong ke sana beberapa saat sebelum mengangguk. Lalu gw mengepalkannya.

Jelas sudah kenapa selama ini gw selalu tersiksa ketika atau sesudah pake Accel Walk. Bukan karena indra peraba gw yang makin sensitip, tapi karena tubuh gw terlalu stress. Tertekan. Jadi makin rapuh tanpa gw sadari. Keadaan yang amat ga sehat.

“Manipulasi adrenalin dan memotong ruang realitas adalah dua anugrah yang saling berlawanan. Kalo manipulasi adrenalin menuntut seluruh bagian dirimu bekerja ekstra keras, maka memotong ruang realitas kebalikannya. Yang perlu dilakukan tubuhmu adalah rileks.”

“Jadi, saya salah dong ya?” Tanya gw heran.

“Yah, hampir benar. Sayang, belum tepat aja. Makanya saya menyuruhmu belajar meditasi padanya.” Jelas Kakek Aet. Dia nunjuk Faranell pake tongkatnya. “Supaya tubuhmu bisa belajar serileks mungkin. Ketika memotong ruang realitas, jangan coba-coba menegangkan urat biarpun cuma sesaat. Pasti ga akan berhasil deh. Kamu harus dalam kondisi 100% santai.”

Dan selama ini gw kira, gw selalu santai.

.

.

“Kamu siap, nak?” Tanya Kakek Aethelflaud. Setelah cukup banyak dapat wejangan dan diajari meditasi, tibalah saat untuk menerapkan semuanya. Gw mengangguk pelan sembari menatap Kakek Aet.

Gabber dan Faranell berdiri tepat di belakang gw. Satu tepukan di bahu dari tangan lembut Grazier itu dan senyum lembutnya seolah menyiratkan kalimat dukungan.

Gw balas senyumannya dengan anggukan juga. Kok jadi banyakan ngangguk gini dah?

Sejenak gw menutup mata dan atur napas sepelan mungkin. Berusaha perlambat detak jantung, jernihkan pikiran dari segala ketegangan, urat-urat serta seluruh otot gw lemaskan, tapi sisakan sedikit tenaga buat sekedar genggam kedua pedang di telapak tangan yang udah renggang.

Terasa. Aliran darah yang mengalir pelan dari jantung ke seluruh tubuh. Udara yang gw hirup, dingin. Namun ga menusuk paru-paru. Sensasinya… luar biasa melegakan. Benar-benar bertolak belakang dari Accel Walk. Gw merasa … jernih. Pelan-pelan gw kembali buka mata.

Keliatan force putih tipis menyeruak keluar dari tubuh gw. Di bawah kaki, lingkaran paradoks pun ikut menyala dengan warna yang sama. Biru-merah Twin Razer Blades pun ikut berganti.

Cuma butuh 5 langkah ke depan bagi gw untuk keluar dari lingkaran paradoks. Accretia dan Corite di belakang gw menatap penuh harapan.

Dengan mantap gw tarik pedang kebelakang, kumpulkan momentum sambil berpikir gimana caranya ayunkan pedang ini tanpa menegangkan satupun otot di tubuh gw. Entah benar atau enggak, tapi setelah ribuan kali percobaan, kali ini gw merasa lebih percaya diri kalo gw bisa.

“Dimensional … Rift,” gak tau kenapa, dua kata itu terbesit di kepala gw pas kedua pedang terayun dari bawah ke atas ke arah depan. Seluruh force di tubuh gw terasa banget disedot keluar sampe habis melalui kedua pedang ini.

Dan… itulah. Akhirnya! Berhasil juga. Di hadapan gw terbuka celah vertikal yang cukup lebar. Di sisi lain celah tersebut adalah pemandangan dataran putih Ether.

Angin dingin Ether bertiup kencang lewat celah dimensi itu. Gabber ga buang waktu, dia langsung berlari ke sana dan jadi yang pertama keluar dari sini tanpa sepatah katapun.

“Wah. Teman logammu buru-buru sekali ya.” Celetuk Kakek Aet.

Gw ga ambil pusing akan hal itu. Karena… rasa kantuk yang begitu dahsyat tiba-tiba aja menyerang. Kalo ga gw lawan, bakal langsung goler di tempat ini. Geleng kepala buat usir kantuk pun percuma, “Huuaahm,” yang ada malah menguap lebar.

Ogah jadi ga tau terima kasih kaya si Gabber, gw menghadap Kakek Aet dan kasih hormat. “Makasih… banyak, Kek.” Dia balas sikap hormat dari gw sambil senyum bangga. “Atas semuanya… peringatan, … nasihat, … ini.” Omongan gw jadi ada jeda gitu sangking ngantuknya.

“Itu adalah hal pertama dan terakhir yang bisa saya ajarkan, Bellato muda.” Balas si Bellato yang jauh lebih tua itu. “Perbanyak latian lagi ya, kamu terlalu banyak tuh melepas force.” Kepala gw mengangguk kesekian kalinya.

Segera gw balik badan dan berjalan gontai menuju celah dimensi. Faranell yang tadi jalan duluan, membatalkan niatnya. Berhenti beberapa meter di depan dan menunggu gw.

Liat jalan gw ga lurus, dia bertanya dengan polos pas gw lewat disampingnya, “Kamu gak apa-apa?”

“Gak apa-apa.” Jawab gw singkat tanpa berpaling. Terus fokus ke depan biar langkah ga belok-belok.

Shite! Ga kuat! Sekeras apapun berusaha buat tetap melek, mata yang udah tinggal 2 watt ini akhirnya menutup juga. Otomatis pandangan langsung gelap dong. Tau ga sih, moment pas lagi mau tidur, dan saat pikiran hampir jatuh ke dalam tidur lelap? Nah, rasanya kayak gitu.

Kedua kaki gw hilang keseimbangan, badan makin condong ke depan pertanda sebentar lagi nyusruk. Ah bodo ah, ga peduli. Lantai es udah gw anggap kasur dari tadi.

Tiba-tiba, satu tangan lembut mencegah itu terjadi. Faranell dengan sigap udah berdiri di sebelah dan menopang dada gw dengan telapak tangan kanannya. Ga jadi nyusruk deh. Ga nyangka, sejenak gw paksakan buat buka mata dan dongak sedikit, tatap wajah manisnya. Raut khawatir tergambar jelas di sana.

“Ini sih bukan ‘gak apa-apa’ namanya. Tapi ‘kenapa-napa’.” Ucap gadis Corite itu. Betapa lembut suara yang terdengar di kuping Bellato ini. Alisnya bergerut dan pupil kuning ga bisa lepas dari gw.

“Makasih, yah.” Gw bilang, dan menundukkan wajah. Senyum simpul tersungging di sudut bibir gw. Ga tau makna dari senyum itu apaan. Aduh… dikasihani begini oleh musuh yang harusnya gw perangi. Seberapa jauh gw bisa jadi menyedihkan, sebenarnya?

“Sama-sama.” Senyum berbalas senyum, biarpun gw ga tersenyum buat dia. Faranell mengaitkan lengan kanan gw ke bahunya, dan lingkarkan lengan kirinya di pinggang gw buat menopang badan. Dia memapah gw, dan kita melangkah bersama lewati celah dimensi.

“Hati-hati ya di jalan!” Seru Kakek Aet dari belakang kami.

.

.

Kedua pasang kaki kita kembali menapak salju nan dingin. Celah dimensi itu langsung tertutup begitu kita lewati. Gabber udah ga keliatan. Kayanya udah sampe di markas Kekaisaran duluan. Mata gw menyapu pemandangan sekitar. Ini… sektor White Hole. Tepat di titik pertama kita ketemu waktu itu. Kenapa keluarnya di sini? Kebetulan?

Faranell masih memapah gw. Apa ini anak mau memapah sampe Bellato Wharf? Ya kali. Terlalu bahaya, woy. Gw beri isyarat supaya lepaskan pegangan dari tubuh. Dia keliatan ga yakin, malah makin erat. Tapi gw geleng kepala. Berusaha menolak kebaikan Si Grazier wanita.

“Are you sure?” Dia bertanya. Seperti yang gw duga… gw ga paham omongannya. kita udah ga bicara bahasa manusia lagi. Gw bersikeras jauhkan diri darinya. Faranell keliatan ga punya pilihan, jadi ya udah. Dia menarik lengannya dari tubuh gw.

Kami saling berdiri hadapan sebentar, ibaratnya salam terakhir lah. Karena setelah ini, kita bakal berpisah. Siapa tau ketemu lagi di medan perang, keadaan belum tentu sama kaya begini. Bisa jadi kita diwajibkan saling bunuh lagi di lain waktu.

Kami akhirnya berpencar. Dia ke arah Cora Wharf, gw ke Bellato Wharf. Kantuk yang masih bersarang bukannya berkurang, malah makin parah. Serasa udah sampe ubun-ubun. Gw jalan masih sempoyongan di tengah padang salju, sendirian. Ga ada yang menemani kecuali udara dingin. Belum juga 100 meter, tau-tau udah pulas aja dalam keadaan berdiri.

Yap, gw langsung terjerembab di atas tumpukan salju empuk. Lucu juga ya. Baru tau orang bisa mendadak pulas pas lagi jalan. Tunggu, bukan saat buat pikirkan itu! Gw tidur di White Hole, cok! Bisa hipotermia ini! Yah sudahlah… bobo dulu deh diutamakan.

.

.

Ga tau berapa lama tidur, bangun-bangun, gw ada di sebuah goa batu kecil. Tengok ke kiri, ada sosok gadis cantik bertudung melayang lagi mengarahkan kedua telapak tangan ke tubuh gw. Di sebelah kanan, gw liat sesosok Corite berambut ungu duduk menekuk lutut di depan wajahnya. Ternyata dia punya gaya duduk selain bersimpuh.

Gw bangkit dari posisi tiduran, Inana jadi agak terkaget dan bikin pemiliknya sadar kalo gw udah sadar. Rasanya gw udah tidur lumayan lama. Seberapa lama ini anak menunggu di sini?

I felt that would happen again, so i turned around… and saw you unconcious.” Gumamnya. Dia sadar ga sih, kalo kita udah ga saling mengerti bahasa masing-masing? “Don’t call that ‘okay’.”

Gw sama sekali ga tau mau ngomong apa. Mata kita saling beradu penuh buat bicara hanya melalui gestur dan garis wajah.

It seems we’re no longer understand each other. Too bad. There’re still a lot of things i want to talk with you. Like… i actually saw you… in one of my dream. Ahha… maybe i should talk about it earlier,” matanya sedikit sayu, bibirnya senyum. Tapi senyuman yang beda dia beri. Dibumbui rasa penyesalan, “haven’t even say a single thanks.”

Gw ga berkata apapun saat dia meracau. Berusaha menerka makna di balik kalimat yang terucap. Kayanya balik dari sini, gw harus belajar bahasa bangsa lain juga deh. Susah juga kalo begini caranya.

Thank you, Lake. For everything you’ve done; spared my life, saved my life, even… gave it your all to getting us out of there. Those are really… huge things to do for someone you never met before. I’m really glad i had a chance to meet such a Bellatean.” Kata-katanya terdengar tulus. Walau gw ga mengerti artinya, tapi terasa banget kalo dia mengucap itu sepenuh hati melalui kehangatan di matanya.

Satu-satunya hal yang bisa gw lakukan adalah senyum selebar mungkin tanpa perlihatkan deretan gigi dan acungkan jempol padanya.

Faranell malah cekikikan, “Don’t have any idea to what i’m saying, and yet you do that.”

Lagi, gw senyum selebar mungkin dan mengacungkan jempol.

Ihihi… you trully are unique.”

Ga pake lama, gw berdiri. Diikuti Faranell dan beranjak keluar goa batu kecil itu. Hujan salju cukup lebat pula. Setelah tidur cukup lama, sedikit energi gw udah balik. Kantuk yang mendera ga separah tadi. Apalagi Inana ambil bagian menghangatkan. Tapi Grazier itu masih ragu-ragu melepas kepergian gw. Ciailah.

Wanita. Ga Bellato, ga Cora sama aja. Kalo khawatir pada seseorang kok bisa gitu ya, mengeluarkan ekspresi paling atraktif yang mereka punya. Imut-imut gimana gitu. Bikin yang dikhawatirkan kadang malah ga enak hati dan bawaannya pengen peluk walau jantung dagdigdug.

Wah, bahaya nih kalo gw sampe merasakan sesuatu yang lebih.

“Ah… ehm… sekali lagi, ma… kasih ya! Daadaaah!” Setelah kasih salam hormat, gw langsung balik badan dan jalan cepat. Tinggalkan dia terpaku di depan pintu goa. Tingkah gw pasti benar-benar ga beres.

Heyy, shorty!” Seruan Faranell bikin gw berhenti melangkah selepas beberapa puluh meter. Gw balik badan untuk liat sosok yang keliatan anggun, dewasa, lembut dan manis dari luar tapi ternyata masih tulus, dan polos kaya anak kecil di dalam itu melambai. “Take careee!” Gw ga bisa menahan diri buat ga tersenyum. Lengan kanan terangkat tinggi, balas lambaiannya dan kembali jalan cepat ke Bellato Wharf.

Beberapa menit jalan, gw mulai lari supaya cepat sampe. Soalnya Bellato Wharf udah masuk jarak pandang. Ohhh, yeaaah! Udah terbayang-bayang kasur bau abstrak di kamar Mesh gw yang kondisinya abstrak juga. Kangen berat pada kekasih-kekasih yang kerap gw tiduri tiap malam, oh bantal, oh guliiing!

Eh mendadak, di tengah asik lari, gw jatuh dalam keadaan tidur lelap… lagi. Sialan.

.

.

…Aethelflaud’s Sanc…

Aethelflaud mengamati dengan cermat ketiga bola yang melayang di tengah ruangan kosong nan gelap, di atas altar es. Ruangan yang berbeda dari ruangan Grymnystone. Ketiga bola tersebut memancar warna biru-putih-merah. Masing-masing bola itu menampilkan gambar tiga tamu yang baru aja pergi dari kediamannya.

Biru menampilkan sosok Grazier muda berambut ungu, yang putih terlihat keturunan terakhir dari Grmnystre, sedangkan bola merah memperlihatkan gerak-gerik Punisher yang memanggul Spadona dengan gagah.

“Gimana, Aethelfrith? Masih ragu?” Ucap si Kakek. Mendadak, entah dari mana, muncul satu lagi sosok Bellato berumur. Hampir mirip dengan Aethelflaud, yang jadi pembeda, Aethelfrith adalah seorang perempuan.

“Kamu tau kan, dari awal aku memang ga pernah yakin padanya?” Kata-kata Frith terdengar merendahkan. “Tapi, setidaknya, aku harus memujinya… yang sanggup memotong ruang realitas.”

“Apa kubilang, pasti bisalah. Makanya, percaya sedikit pada keturunanmu sendiri. Hahaha.”

“Dia masih harus banyak belajar, Flaud. Banyak sekali. Dia masih terlampau hijau! Kalo seperti itu caranya, yang ada dia bakal tidur terus setelah memotong ruang realitas.” Frith melanjutkan argumennya. Mereka berdua emang selalu berselisih paham, padahal kembar. Flaud cuma santai aja bagai masuk telinga kiri, keluar kanan. “Sedangkan, pergerakan ‘Mereka’ sudah lebih aktif kali ini. Dia ga punya banyak waktu!” Nada bicara Bellato wanita itu makin tinggi.

“Pernahkah kubilang, kalo dia ga dilahirkan untuk gagal?”

Pertanyaan Flaud bikin Frith diam sejenak, sebelum bilang, “… Oke. Aku pegang kata-kata itu.” Frith merasa malas beradu argumen, ujung-ujungnya pasti dia bakal terbukti salah. Mengalihkan pandangan ke dua bola yang menampilkan gambar bergerak seorang Corite dan seonggok Accretia. Dia nanya, “Gimana dengan dua yang lain?”

“Masih bertanya lagi.” Flaud menggerutu. Pasalnya, dia tau selama mereka bertiga masih di sini, Frith menggunakan kemampuan Infiltratornya yang teramat Legendaris buat menginspeksi dari dekat. Di tengah-tengah mereka, tepatnya. “Kan kamu liat sendiri, segala yang terjadi di sini.” Lanjut Flaud. Kemampuan yang bahkan bisa mengecoh indra sensitif milik keturunan terakhir Grymnystre.

“Aku mau tau apa yang kamu pikirkan.” Frith membalas, seraya mengobservasi lebih jauh. “Karena kita ga pernah sepemikiran.”

“Pikiranku ga pernah berubah. Mereka punya ‘Itu’ di dalam diri.” Pertama, dia mengarahkan tongkat di tangannya ke bola biru yang perlihatkan gelagat Corite berambut ungu. “Kebijaksanaan yang bahkan sanggup menerangi jalan tergelap. Satu-satunya senjata andalan diantara prajurit terkuat Decem, ‘Semawarwen’.”

Terus tongkatnya menunjuk bola merah, menunjuk Accretia yang lagi berada di pesawat pulang ke Markas Kekaisaran. “Kebaikan yang bahkan sanggup menembus Armor paling tebal. Satu-satunya kehangatan yang bisa melelehkan tebing es abadi, ‘Crimson Alpha’.”

Terakhir, mantan Astralist itu tertuju ke bola putih. Di sana terlihat pemuda berambut kelabu ga sadarkan diri lagi digotong beberapa orang. “Keberanian yang bahkan sanggup memukul mundur badai terkuat, satu-satunya hal yang bisa membuat Kebijaksanaan dan Kebaikan bertarung demi satu tujuan, ‘Storm Repulser’.”

“… Jujur, aku ga mengerti dari sudut apa kamu liat kebijaksanaan dalam diri si Corite. Atau keberanian si itu. Dan yang paling konyol, Accretia Punisher… di mana kebaikannya? Otakmu udah miring sepertinya.” Frith menyanggah, karena dia sama sekali ga liat mereka bertiga merepresentasikan mentalitas yang dibilang Flaud.

“Percuma dijelaskan juga, kamu ga bakal paham. Bakal makan lebih dari satu bab.” Ledek Flaud pada kembarannya yang mengangkat sebelah alis. “Tunggu dan liat aja sendiri.” Seringai penuh makna dari Flaud menutup perbincangan mereka.

.

.

Bellato’s HQ, Ruang medis dan perawatan…

Pelan gw sedikit buka mata. Terasa empuk alas yang lagi ditiduri ini. Aaah… kasur. Biarpun bukan kasur sendiri, yang penting kasur. Melirik di sudut mata, ada dua Bellatean lelaki memunggungi gw. Yang satu Armornya ga keliatan gara-gara pake jubah putih dan berambut spike item.

Yang satu lagi pemuda dengan warna rambut sama kaya pria di sebelahnya. Gaya rambut lebat belah pinggir ga rapih, poni hampir menutup mata kirinya. Dia pake Armor Holy Chandra lengkap. Di tangannya ada catatan medis. Dengan mudah gw langsung tau siapa mereka. Gw memutuskan buat pura-pura tidur supaya bisa mencuri dengar pembicaraan mereka.

“Dia ga mengalami luka berat. Aneh, padahal kalo diliat dari kerusakan Armor yang dikenakan, menunjukan kalo dia melewati pertarungan keras di sana.” Ujar Rokai seraya kasih liat catatan medis itu pada Pria di sebelahnya. “Penyebab dia ga sadarkan diri masih jadi tanda tanya. Saya berniat kasih tes lanjutan guna cari tau penyebabnya.”

“Dia memang mengalami pertarungan keras di sana. Jumlah personel tim ekspedisi Ether yang balik ke mari jadi buktinya, kan?” Gw jadi penasaran, apa semuanya berhasil selamat? Terakhir gw terpisah dari tim, pas pertikaian 3 arah masih berlangsung. “Kerja bagus, Captain Leiten. Pantau dan lanjut terus. Oh ya, saya minta tolong beri kabar skuad pertama resimen 18 tentang kepulangan anggota mereka.” Perintah Gatan pada Holy Chandra itu.

“Siap, Maximus.” Rokai angkat kaki dari ruangan ini.

Gw bangun dari tiduran dan duduk bersandar di atas kasur, “Berapa yang selamat, Maximus?”

Gatan berbalik. Wajahnya agak terhenyak. “Saya yakin kamu pasti balik dalam keadaan utuh.” Dia tersenyum tipis. “Tentang itu, biar teman-temanmu yang jawab ya.” Ujarnya datar. Oke… feeling gw mulai ga enak. “Gimana Ether?” Dia bertanya. Bola mata biru gelap tertuju ke arah lain.

“Lumayan.” Jawab gw singkat. Lumayan keras. Sampe bikin gw hampir mati beberapa kali.

“…” Gatan menghampiri dan meremas bahu gw. “Apapun yang udah kamu lalui di sana, saya benar-benar bangga padamu.” Ucapnya. Mata biru itu sedikit basah.

Wew. Bisa juga gw bikin Wakil Archon nangis haru.

“Terima kasih, Maximus. Saya merasa terhormat.” Balas gw sambil memapar senyum sekedarnya.

Ga lama kemudian, Rokai balik ke ruangan ini dan bawa serta dua orang. Ekspresi kedua orang tersebut ga karuan. Campuran antara syok, kaget, ga percaya, seolah baru liat hantu.

Gw pun ga kalah kaget dari mereka, liat keadaan salah satu dari mereka, seorang perempuan berkulit agak gelap yang sekarang harus pake kursi roda akibat kehilangan kaki kanan. Temannya, yang punya tubuh kekar dan tegap berambut pirang acak-acakan, jadi orang yang berada di belakang kursi roda tersebut.

“La-Lake!?” Suara Sirvat seolah tertahan sesuatu di tenggorokan.

“Gw kira… lu udah… lu udah tewas.” Sekarang, gantian Ish’Kandel yang mengutarakan pendapat.

“Sirvat…” mata gw ga lepas-lepas dari bagian tubuh Si Berserker yang kini hilang. Perasaan langsung berkecamuk liat keadaan Sirvat kaya gitu. “… Maap. Semua salahku.”

“Enggak, enggak! Bukan salahmu!” Sanggahnya sambil mencoba nyengir kecut. “Aku dilahirkan dengan sepasang kaki, hilang satu bukan masalah besar! He-hehehe,” bohong.

Dia cuma berusaha menutupi kesedihannya aja biar ga bikin gw merasa bersalah.

“Kita udah senang kok, liat lu berhasil balik bro.” Ish’Kandel menambahkan.

“Ah ya, Mana Jizzkar dan Ulkatoruk?” Tanya gw pada mereka. Ditanya begitu, tiba-tiba suasana ruangan jadi hening. Sirvat dan Ish’Kandel tertunduk. “He-heyy, jangan bilang kalo…” Perasaan gelisah makin memenuhi dada. Takut kalo misalnya hal yang gw pikirkan dari tadi itu benar.

“Mereka… tewas dalam tugas.” Bisik Sirvat lirih. Air mata mulai berlinang dari iris krem gadis ini. Pun begitu dengan Ish’Kandel. Gw bisa liat segaris jejak air mata di pipinya. “Royal Jizzkar dan Captain Ulkatoruk… demi keselamatan… kamerad yang lain…” Sirvat mulai terisak.

Gak… gak… gak mungkin. Jizzkar dan Ulkatoruk… udah ga ada? Kenapa…? Kenapa!?

Gw ga percaya akan apa yang baru aja dikasih tau Sirvat! Mungkin emang kita baru berapa hari kenal, tapi kita udah jadi lebih dekat dari sekedar teman. Kita adalah kamerad. Terlintas kilatan memori tentang hal-hal yang udah kita alami. Gambaran tersebut berganti begitu cepat di dalam otak gw.

Mulai dari pertemuan pertama dengan Jizzkar di Sette, gimana dia buang muka pas gw dihajar Maximus Izcatzin, terus minta maap sebelum mulai misi Ether. Bahu membahu dengan Ulkatoruk ketika pertama kali lawan Corite, Ulkatoruk yang berusaha keras menyembuhkan gw, ekspresi Holy Chandra itu pas kehilangan Namaste, kegilaan kamar mandi yang kita lakukan, marah-marah ke Meinhalom.

Woy! Berani lu bantah perintah Komandan?”

“Maaf, gw udah melakukan hal hina itu. Gw pengen banget balik ke masa lalu dan… mengubah sikap.”

“Lu punya kesempatan buat bunuh Corite itu! Kenapa ga lu lakukan?”

“Ada masa dimana gw pernah meragukan lu, Lake. Cukup sekali, gw ga mau itu terjadi lagi.”

“Gw udah isi hati ini dengan kebencian.”

“SEMPAK BOCOR, INI DINGIN AMAAAT!”

“Mungkin kalo gw jadi perempuan, gw bakal suka juga.”

“Mau jadi sahabat baik mulai detik ini?”

Semua kalimat yang pernah terucap dari mulut mereka diputar ulang berkali-kali oleh otak gw bak rekorder rusak. Gambaran tiap ekspresi yang mereka tunjukan pun terpahat jelas di benak. Marah, sedih, hancur, putus asa, senang, nyengir, tertawa, senyum. Campur aduk jadi satu.

Tanpa sadar, mata gw banjir. Air mata tumpah basahi kedua bola mata gw dan menetes banyak banget. Gw pejamkan mata buat tahan tumpahannya, tapi justru itu bikin penglihatan gw makin buram.

Pelan tapi pasti, gw juga mulai terisak kaya Ish’Kandel dan Sirvat. Ga kuasa menahan perasaan ini. Sialaaan! Ini semua salah gw! Ga ada saat tim butuh! Faak! Yang bikin hati gw makin sesak, kenapa harus secepat ini!? Kenapa cuma sebentar!?

Di saat gw pikir bisa menjalin persahabatan dengan orang baru, di saat gw pikir mulai bisa diterima apa adanya, di saat gw pikir setidaknya ga semua menilai berdasarkan cerita masa lalu, gw harus kehilangan mereka.

Ga punya cukup waktu buat sekedar kenal lebih jauh. Ga punya cukup waktu buat melakukan lebih banyak lagi kegilaan bersama mereka. Aargghh! Niat mau tahan tangis, malah makin getir di dada.

“Mereka berdua… emang… orang-orang tolol.” Kata Ish’Kandel di tengah isak tangis. “Orang-orang tolol yang terlampau baik dan terhormat.” Dia melanjutkan kalimatnya sembari menyapu air mata sendiri.

Dengar kalimat Ish’Kandel, gw jadi terbayang muka nyengir mereka berdua. Bikin mata gw makin sembab dan berat. Bahkan gw belum sempat mengucap salam terakhir pada Jizzkar dan Ulkatoruk.

Mendadak, terdengar langkah lari seseorang dari lorong di luar, padahal dilarang lari-larian di ruang medis. Dengan kasar, orang itu buka pintu ruangan gw tanpa peduli bakal ganggu yang lain.

“Hahh… hahh… hahh…” Napasnya amat memburu. Sepasang mata coklat melebar pas bertatapan dengan pupil gw. Jujur, gw kaget liat gaya rambut si Infiltrator yang beda. Dulu, rambutnya panjang sampe punggung dan biasanya dikuncir ponytail. Poninya udah ga lagi menutupi mata kanan. Sekarang, rambut coklat itu ga sampe sebahu. Dicukur sesuai alur kepala belakangnya. Dan potongan pendek sama sekali ga bikin kecantikan perempuan itu berkurang.

Tatapan yang sama kaya Sirvat dan Ish’Kandel tadi. Gw bisa merasakan kerapuhan di balik mata itu. Tapi itu cuma sesaat, karena sorotnya langsung kembali tajam mengunci gw. Glekk… lirikan maut. Pasti mau ngamuk nih gegara gw ga balik-balik. Sasarannya? Siapa lagi?

“Ha-hai… Elka.” Ucap gw terbata dilanda kepanikan.

Dia hentakkan kaki ke lantai dan percepat langkah. Gw tutup mata aja, siap-siap terima fatality dari lulusan terbaik Ranger Corps. Udah menebalkan urat nih. Semoga gw masuk sorga deh.

GREEP!

Eh? Bukannya sakit, tapi badan gw malah terasa hangat dan dipeluk.

“Gw kira, gw kehilangan lu.” Begitu gw buka mata, Elka menenggelamkan wajahnya di dada gw. “Gw kira, gw kehilangan lu. Gw kira, gw kehilangan lu.”

Kalimat yang sama digumamkan pelan oleh gadis berambut coklat ini. Badannya bergetar hebat. Tangannya biarpun melingkar di batang tubuh gw, tapi terasa pegangannya lemah.

“Gw kira gw kehilangan luuu!” Tangis Elka pecah sejadi-jadinya tanpa bisa tertahan. Air mata teramat banyak langsung membanjiri base layer yang gw pake di bagian dada. “Jahaaat! Lu udah janji ga akan tinggalkan gw sendirian … lu udah janji! Lu udah janji! Lu udah janji ga akan tinggalkan gw sendirian!” dia ga peduli keadaan sekitar. Ga peduli semua tatapan individu di ruang perawatan ini tertuju pada kami.

Elka paling tau kalo gw paling benci liat dia nangis. Jadi dia makin dalam benamkan wajah di dada gw buat menyembunyikan air mata. Gw ga akan menyalahkan, semua ini emang salah gw. Ga becus mengemban tugas, ga bisa pegang janji, biarkan kawan seperjuangan tewas tanpa gw berada di sana.

Batin ini entah pilu atau harus senang. Pilu dengar tangisan Elka, tapi ada rasa senang juga. Pertanda masih ada orang yang sangat banget peduli pada gw yang notabennya bukan siapa-siapa.

“Maap. Ga seharusnya gw janji kalo ga bisa menepati.” Entah udah berapa kata maap terlontar dari mulut gw hari ini. Tangan kanan gw mengelus rambut halusnya berulang kali. Berusaha menenangkan hatinya yang amburadul. “Tapi, satu janji yang gw tepati; balik dalam keadaan utuh.” Dia ga bereaksi… cuma sesegukan aja seraya tangannya makin erat meremas base layer gw.

Ga ada kontak mata di antara kita. Elka ga akan mau tatap mata gw kalo matanya masih berkaca-kaca.

“Woii, Kuya! Kenapa ga mati aja sih sekalian!? Biar gw sini yang gali kuburan lu sendiri!” Alecto muncul beberapa saat kemudian. Langsung teriak-teriak kayak orang dungu. “Mau dikubur dimana!? Bilang gw!” Nadanya terdengar kesal banget.

“Alecto…” Dibilang begitu, ga tau kenapa gw bukannya marah, malah tersenyum lega. Ya, gw kehilangan kamerad baru, sahabat baru. Tapi hidup ga berhenti cuma supaya lu bisa meratapi nasib. Waktu terus berjalan. Betapa beruntung gw masih punya mereka yang ada di ruangan ini. Khususnya dua orang yang terakhir datang. Ya, gw masih punya mereka. “Sialan lu, Kuya.” Ucap gw pada Alecto. Dia langsung melayangkan kepalan tangan ke bahu gw. “Njir!”

Ga terlalu keras sih sebenarnya. Berusaha alihkan ekspresi bahagia di balik kekesalan yang dibuat-buat. “Nyusahin aja lu.”

Elka masih terisak dan belum lepas pelukannya dari tubuh gw. “Ka, udah dong. Kan gw udah di sini. Lagian kenapa lu jadi lebay gini dah? Gw kan cuma pergi 3 hari.”

Dengar gw mengucap kata ‘3 hari’, semua mata yang ada di ruangan ini, kecuali mata Elka, mengarah ke gw. Mereka terdiam. Rahang nyaris lepas dalam kebisuan.

“3 hari?” Tanya Ish’Kandel memecah keheningan.

“Eh? Kenapa?” Gw balik nanya, karena ga mengerti apa yang lagi terjadi.

“Tulang flem, lu udah hilang selama hampir 3 bulan.” Rokai yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara.

“Hah!? 3 bulan!?”

Padahal perasaan cuma… apa jangan-jangan… tempat itu punya semacam distorsi waktu? Kejutan kecil lainnya dalam kehidupan gw. Cakep.

.

.

Ranger Mesh, Bellato HQ…

Karena dianggap ga mengalami luka berat, malam harinya gw udah diperbolehkan balik ke Mesh oleh Rokai. Ya… dialah yang jadi Dokter gw selama beberapa hari kedepan. Tes kesehatan dan detail medis apalah itu. Ugh! Ga yakin apa gw bisa tahan menerima saran dari dia dengan gaya songong plus ngeselinnya itu.

Tadinya, gw mau dibawa oleh anak buah Maximus Izcatzin buat diminta keterangan lengkap, tapi Gatan mencegah. Dia bilang gw harus dikasih istirahat dulu sebelum kasih laporan apapun.

Dengar kabar kalo yang balik dari Ether cuma 4 orang, makin bikin gw merasa bersalah. Kita udah berkorban begitu banyak, tapi ga dapat hasil apa-apa. Gw gagal bawa Grymnystone… atau Etheron kembali. Ya iyalah, abis gimana lagi? Daripada Ether jatuh dari langit.

Mereka semua minta diceritakan apa yang gw alami di Ether, setelah masuk sarang Calliana. Tapi, ga yakin apa yang harus gw bilang. Gw takut mereka ga percaya pada gw dan menganggap itu semua omong kosong.

Jadi gw cuma bilang, “Nanti deh, jangan sekarang. Gw ragu kalian bakal percaya.”

Saat ini, gw udah tidur lagi di kamar sendiri. Lampu kamar gw matikan dan tidur menyamping hadap tembok. Waktu menunjuk lewat tengah malam. Dini hari, ketika tau-tau gw merasa kasur makin sempit, dan di punggung terasa hangat suhu tubuh seseorang.

“Elka, ini lu ya?” Tanya gw setengah sadar. Ga dengar ada jawaban, gw tengok ke belakang. Yapp… tu anak udah tiduran di balik punggung gw. Menghadap ke arah yang sama, ke tembok. Bikin sempit aja. “Ya udah, lu tidur sini deh. Gw di lantai aja ya.” Ujar gw sambil menyambar bantal dan selimut.

Tapi pas mau bangkit dari kasur, lengannya merangkul erat lengan gw.

“Jangan pergi,” ucapnya lirih.

“Pergi ke mana sih, Ka? Gw ga ke mana-mana kok.”

“Tolong, tetap di sini. Gw mau merasakan kehangatan lu. Sebagai bukti kalo ini bukan mimpi. Sebagai jaminan kalo lu benar-benar masih ada.”

“Oi, lu kan tau gw. Mana bisa tidur kalo sempit dan panas gini? Ga leluasa,” kata gw, menjelaskan alasan ga bisa sekasur berdua, “… gw takut salah senggol.”

“Kalo begitu jangan tidur,” dia malah dekatkan tubuh. Kepalanya terasa bersinggungan dengan punggung gw. Ternyata emang masih tersisa tuh tangisannya di ruang perawatan tadi, “cukup jangan ke mana-mana aja.”

“Terlalu banyak ‘jangan’ di kalimat lu.” Celetuk gw sambil hela napas. Apa boleh buat, ga ada pilihan lain. Mau ga mau, gw harus coba tidur dalam keadaan kayak gini. Berbagi kasur tercinta dengan perempuan satu ini, memutuskan buat biarkan Elka melakukan apa yang diinginkan.

Ternyata, bisa terlelap juga. Walau agak lama gw harus terjaga.

Paginya, kasur gw terasa luas. Pas gw cek, Elka udah ga ada. Akhirnya. Gw bisa ganti gaya setelah semalaman hadap tembok.

Tapi ternyata, gw ga dibiarkan tidur lama-lama. “Heyy, bangun.” Tangan halus menampar-nampar pelan pipi, bikin gw terpaksa buka mata.

“Gw libur hari ini.” Ucap gw begitu buka mata, liat perempuan berambut coklat pendek memandang muka gw dari jarak 30 cm. Berharap dia kasih waktu supaya bisa tidur lebih lama.

Pasti dia udah mandi deh, soalnya udah wangi. Ga kayak gw yang masih bau iler. Kaos longgar kasual melekat di tubuhnya, dan dia pake celana kargo panjang warna hijau gelap.

“Iya, tau.” Jawabnya sambil memberi senyum dan memandang jauh ke bola mata gw. “Mata lu… indah. Seperti biasa.” Abis itu, dia langsung tarik tangan gw. “Ikut yuk!” Ajaknya semangat.

“Hah? Ikut ke mana?”

“Gw punya kejutan buat lu.”

“Kejutan apa?”

“Makanya, ikut aja.”

Ya udah, akhirnya tanpa perlawanan, gw ngikut. Nyawa belum terkumpul pula. Biar Elka menuntun gw ke mana pun. Ternyata dia bawa gw ke tebing dekat laut yang waktu itu. Tempat di mana kita pernah tidur siang bareng. Pohon yang gw pake berteduh aja masih ada. Di bawahnya, ada kursi kecil. Tertutup bayang rindang.

Dia belum lepas pegangan dari tangan gw, lalu menarik gw ke arah pohon itu. Terus dia mengisyaratkan supaya gw duduk di atas kursi yang ada di sana. Masih nebak-nebak apa kejutannya, lalu gw duduk sesuai instruksinya, menghadap ke laut. Waw. Pemandangan yang cukup bikin hati adem.

Pas lagi asik memandang laut, tiba-tiba terasa rambut gw dipotong.

“Lah, lu bisa cukur rambut?” Tanya gw pada Elka yang sekarang lagi pegang gunting dan sisir.

“Bisa dong,” jawabnya singkat. Hahaha, kayaknya gak ada yang gak bisa dilakukan Elka Nordo yah.

“Kenapa rambut gw?” Masih bingung akan tindakannya, tapi sama sekali ga beranjak dari tempat duduk. Ga keberatan perempuan ini memotong helai demi helai rambut kelabu di kepala.

“Kejutan! Karena rambut lu udah harus dicukur.”

“Hmm, iya juga sih.” Gumam gw sambil tarik poni ke bawah. Ga sadar kalo sedikit lagi sampe mata. Rambut gw benar-benar tambah panjang cuma dalam beberapa hari pergi… ehem… 3 bulan. “Jadi ini, kejutan yang lu maksud?”

Elka sekedar mengangguk pelan dan berkonsentrasi dengan apa yang lagi dilakukannya. Gw pikir mau kasih apaan, taunya mau memangkas rambut. Lumayan deh, gratis.

“Ka.”

“Mm?”

“Kok rambut lu dicukur?”

“Kan lu sendiri yang bilang, pengen liat gw dengan gaya rambut baru.”

“Bukannya waktu itu lu bilang ga mau, ya?”

Mendadak Elka berhenti memangkas tanpa ngomong apa-apa untuk beberapa saat, “… Karena gw pikir… ga akan pernah liat lu lagi,” deng… salah ngomong nih kayaknya. Pembicaraan kembali mengarah ke perasaan, “dan gw… benar-benar menyesal… ga bisa untuk sekedar mengabulkan… keinginan sederhana lu itu,” setetes air mata jatuh di tengkuk gw.

“Maap… gw terlalu egois. Selalu pikirkan diri sendiri. Selalu beranggapan ga punya siapa-siapa tanpa peduli perasaan segelintir orang yang sebenarnya selalu ada, dan peduli pada gw.”

Elka gak merespon kata-kata gw, tapi tangannya kembali melanjutkan cukur yang tertunda. Pikiran gw menerawang jauh entah ke mana. Waktu kita lalui dalam diam. Di antara semburat emosi di hati, satu hal yang pasti. Biarpun dalam diam, gw merasa tenang saat Elka ada di samping gw.

.::The End of Ether Arc::.

“You’re not hard to read. One thing i love about you the most, is that you always honest to yourself. And these purple eyes tell more than i need to know.” – Elka (Ch. 3)


CHAPTER 19 END.

Next Chapter > Read Chapter 20:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-20/

Previous Chapter > Read Chapter 18:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-18/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Catatan Author:
Waktu yang saya pake di cerita ini ukuran Bumi, 1 tahun 365 hari, biar ga ribet.
Regards,
Mie Rebus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *