LAKE CHAPTER 2 – REFUSE TO FALL

Lake
Penulis: Mie Rebus
Nama gw Lake Grymnystre, Ranger Ensign dari Bellato. Dari kecil, ga pernah kenal dengan orang tua karena mereka udah almarhum sebelum gw bisa ngurus diri sendiri. Walau sebenarnya … gw sekedar tau nama mereka. Gw diurus oleh Paman, kakak dari Ibu tercinta. Satu-satunya orang yang pernah gw anggap keluarga. Paman gw sering bilang kalo menyandang nama Grymnystre adalah kutukan, sekaligus berkah.
Gw ga paham kenapa begitu, dia bilang keturunan Grymnystre itu dibenci oleh bangsa sendiri tapi di sisi lain, dicintai. Sebelum Paman kasih tau alasannya, dia keburu meninggal gara-gara penyakit dan usia yang udah tua. Itu terjadi waktu usia gw masih 10 taun kalo gak salah.
Konon katanya sih, leluhur-leluhur gw emang terlahir untuk perang. Semua keturunan keluarga gw adalah prajurit-prajurit terbaik di bidangnya masing-masing.
Dari cerita yang beredar, dulu para leluhur gw overpower di dunia kemiliteran dan haus banget akan kekuatan. Tanpa henti terus coba menembus batas diri mereka sendiri, sampe akhirnya dibutakan oleh obsesi kekuatan berlebih. Ga puas hancurkan Cora dan Accretia, mereka mulai berpaling ke bangsa sendiri. Hancurkan MAU-MAU Bellato dan menantang para petinggi Federasi. Hal ini bikin pemimpin bangsa terdahulu ngamuk dan minta seluruh klan Grymnystre ditangkap, diasingkan, dieksekusi, dikutuk 7 turunan 4 tanjakan sampe akhirnya klan gw ga bersisa.
Mungkin hal itu juga penyebab gw ga punya banyak teman. Ada sih beberapa yang bersikap baik, Alecto adalah salah satunya. Banyakan dari mereka menjauh. Entah karena takut atau dianggap aib. Rasanya sih kalo takut, ga mungkin. Apa yang perlu ditakutkan coba dari gw? Ga gigit kok. Di korporasi pun, gw cuma kenal segelintir orang. Tapi ga terlalu ambil pusing sih, ga berpengaruh juga buat hidup gw.
Darah overpower terkutuk itu mengalir di seluruh urat nadi. Yah, menurut gw itu semua cuma cerita yang beredar di masyarakat. Dan tau sendiri kan, gimana komunitas senantiasa melebih-lebihkan sesuatu yang gak mereka pahami. Buktinya sampe sekarang, gw masih hidup dan ga merasa punya kemampuan tempur yang baik. Ama cewek aja dibanting, 2 kali.
Ada bermacam tipe orang di Novus ini, orang-orang baik, orang-orang picik. Gw cuma harap mereka bisa liat gw dari keadaan dan tempat yang berbeda. Tanpa peduli dari mana gw berasal, gimana gw lahir ke alam ini, bakal jadi apa gw nanti. Intinya, gw harap gw bukan pengecut, cuma bisa berharap keadaan berubah saat ga melakukan apapun.
“Apa yang lu perjuangkan?” Beberapa hari berlalu setelah Hash’Kafil bertanya, dan pertanyaan itu terngiang terus di kepala gw. Sampe saat ini belum juga nemu jawaban yang pas.
“Lake… Lake… hoi…” Elka manggil sambil nyolek-nyolek pinggang gw, berusaha buyarkan lamunan. “Lu kok jadi sering bengong gitu sih akhir-akhir ini? Lagi ada masalah?” Tanyanya penasaran.
“Ah?! Enggak kok. Ga ada apa-apa.”
“Kalo gitu jangan banyakan bengong dong, lagi jalan juga. Kan jadi ga asik.” Balasnya sambil pasang muka setengah cemberut.
Hari ini adalah hari berdirinya Federasi, semua badan kemiliteran mengadakan festival terbuka untuk umum. Acara ini rutin diadakan tiap taunnya dan biasanya selalu rame didatangi penduduk dari berbagai kalangan.
Baik dari sipil hingga militer, tua muda, berduit atau enggak. Makanya mulai dari sebulan lalu, Warrior Department, Ranger Corporation, Spiritualist Force, serta Specialist Academy sibuk menyiapkan beragam acara untuk meriahkan festival ini. Gw dan Elka sih, lebih milih jadi penikmat aja deh. Ogah jadi panitia, ribet.
“Ehhe, iya iya, maap.” Kata gw coba menghibur, “mau ke Spiritualist Force? Gw pengen liat atraksi-atraksi di sana,” dari dulu, gw selalu kagum pada para Spiritualist. Di mata gw, mereka keren abis.
Skill-skillnya itu lhoo… beuhh ga ada obat. Bisa keluarkan api, kendalikan air, menembakkan angin, hingga guncang tanah. Bahkan sembuhkan luka pun bisa. Aah, pengen jadi Spiritualist, sayang otak ga sampe buat main Force elemen.
Seperti taun-taun sebelumnya, basis Spiritualist Force selalu jadi tempat paling rame diantara yang lain pas lagi HUT federasi. Atraksi yang ditampilkan di sini beragam. Ada Tornado, atraksi dimana pengunjung bisa menikmati sensasi diterbangkan angin puyuh kecil yang dimanipulasi para Spiritualist terlatih.
Ada juga atraksi monolog yang dilakukan seorang spiritualist di satu panggung, ditonton banyak orang. Sambil cerita kisah klasik ksatria gagah berani melawan naga, Si Spiritualist manpaatkan kemampuan force buat gambarkan jalannya pertempuran tersebut. Kesatria dibuat dari elemen tanah, terlihat lagi sibuk meladeni serangan naga dari elemen api raksasa yang terbang di sekitaran panggung.
Gw cuma bisa terpana dan bilang, “Wow Ka, Keren ya?” ke Elka yang juga lagi menganga nonton aksi panggung Spiritualist kece.
“… Banget,” jawabnya pendek sambil manggut-manggut. Mata coklatnya ga lepas dari atraksi gokil itu.
“Ya saudara-saudara sekalian, siapakah diantara anda yang bernyali menginjak arena ini?!” Tiba-tiba, fokus gw pecah gegara dengar pengumuman dari salah satu speaker Markas Spiritualist Force ini. Gw bergegas cari sumber suaranya.
Elka sempat berseru karena gw tinggal, “Eh! Mau ke mana!?” Tapi ga gw gubris.
Akhirnya gw sampe di sudut barat daya tempat ini. Ada kerumunan massa di sini dan pintu masuk ke sebuah arena sparing. Terdapat tulisan di atasnya,
“Duel sekali jatuh?” Gw bergumam dalam hati.
“Ya saudara-saudara, di atas arena telah berdiri Spiritualist kebanggaan kami. Siapapun yang bisa mengalahkannya di duel sekali jatuh, atau setidaknya bertahan 3 menit di atas arena, akan mendapatkan Grand Prize dari kami. Siapapun boleh mencoba, ayo silahkan! Uji kemampuan anda! Uji nyali anda!” Begitulah kata pembawa acara dengan penuh semangat.
Ga sengaja, gw menguping obrolan 2 orang penonton tentang atraksi baru ini.
“Hahaha yang benar aja. Siapa juga yang mau coba. Tau ga? Tadi aja dia kalahkan Berserker cuma sekali serang sob!”
“Ah serius lu?” Tanya kawannya keheranan. “Yakali, Berserker selemah itu di hadapan Spiritualist?”
“Lah serius! Gw liat sendiri kok. Bukan masalah kuat atau lemah sob, ini kan duel sekali jatuh. Kekuatan bukan segalanya. Adu tangkas plus kecerdikan juga.”
“Wew… tentara terlatih aja ga bisa lawan, gimana sipil macam kita? Gw jadi penikmat aja dah.”
Gw menatap ke bawah, ke arena. Berusaha liat tampang Spiritualist berbalut baju training lengan panjang, berkerah agak tinggi ciri khas Spiritualist Bellato dan memegang tongkat perak metaliknya dengan mantap.
Rambut hitam rada lebat hampir tutupi mata kirinya. Belah pinggir ga rapih. Gw bisa liat dia senyum kecil, menanggapi si pembawa acara yang bangga-banggain dia. Ganteng sih, tapi tetap gantengan gw. Kesan pertama yang tertangkap, entah kenapa gw merasa harus turun ke sana dan lawan dia.
Tapi sebagian kecil diri gw menolak untuk turun ke sana.
“Namanya Rokai… Rokai Leiten. Ensign.” Tiba-tiba Elka berdiri di belakang, sambil atur napas. “Disebut-sebut sebagai Calon Wizard terkuat dalam sejarah Federasi. Biarpun masih Ensign, tapi kemampuan tempurnya ga main-main. Saat ini, dia peringkat teratas di Spiritualist Force. Mengalahkan senior-senior yang setahun dua tahun di atasnya.” Lanjutnya. panjang dan serius.
Gw terdiam beberapa saat dengarkan penjelasannya. Lalu kalimat, “Siapa nanya?” Meluncur dari mulut, tanpa mikir konsekuensi.
“Adooohhhh… Ampun!” Sepersekian detik kemudian, kaki gw langsung dipiting. No mercy cok.
“Hihihi, manis banget ya kelakuan lu.” Balasnya senyum, tapi tetap, kunciannya makin kencang. “Mendadak tinggalkan gw sendirian, gw keliling-keliling lho nyariin lu. Pas ketemu, gw kasih info tentang hal yang bikin lu penasaran. Tapi apa? ‘Siapa nanya?’ hohoho.”
“Waaa! Iyaa, maap! Ga lagi, ga lagi! Ampun! Ini kaki gw mau lepas bautnya!” Spontan, gw mengiba begitu dengar suara ‘kreek’ dari sana.
Untung dia rela lepasin, “Naah, gitu dong.” Katanya nyengir.
Hosh.. hosh.. Iblis! hosh… Ini cewek pasti iblis!
“Dia bahaya, Lake.” Elka memperingatkan gw, “Sebelum turun, sebaiknya pikirkan lagi. Gw aja ga yakin bisa lawan dia.” ujarnya, seolah tau isi kepala gw.
“Gw cuma ga mau lari lagi. Udah cukup selama ini berpaling dari masalah yang gw hadapi.”
“Tapi ada cara lain kan? Ga harus lawan dia juga, di festival kaya gini. Apa sih yang lu cari sebenarnya?” tanya Elka dengan nada penuh kecemasan.
“Tujuan,” jawab gw pendek. “Tenang aja, ini kan cuma duel sekali jatuh. Bukan duel sampe mati. Lagian ini cuma atraksi festival. Ga bakal bikin pesertanya sekarat, kan?” Gw melanjutkan untuk tenangkan Elka yang keliatan banget lagi gelisah maksimal.
“Gw cuma ga mau lu kenapa-napa,” uhh, tadi aja hampir bikin kaki gw diamputasi. Sekarang jadi manis banget.
Tangan kanan gw mengusap kepalanya penuh perasaan, “Gw ga bakal kenapa-napa kok,” seraya langkahkan kaki, turun menuju arena.
Elka ga bergeming, menatap punggung gw dan berharap semua bakal baik-baik aja.
Di tengah arena, si pembawa acara ga berhenti mengoceh biar suasana ga jadi garing. “Hmm.. tampaknya ga ada yang berani untuk adu tangkas melawan jawara Spiritualist kita ini ya. Sejauh ini baru ada 5 orang turun ke arena, dan tiada satupun diantara mereka berhasil menyelesaikan tantangan dan membawa pulang grand prize dari kami! Ayo saudara! kesempatan terbuka bagi anda!”
Langkah kaki gw terhenti di meja pendaftaran. Terlihat ada seorang Spiritualist wanita yang lagi jaga di situ dan sibuk nulis-nulis sesuatu.
“Saya mau daftar jadi penantang,” Kata gw ke wanita itu.
Tanpa berhenti menulis, dia bertanya, “Nama?”
“Lake.”
“Sipil? Militer?” Lanjutnya.
“Ranger, Ensign.”
Tau-tau dia alihkan pandangannya, dan langsung melakukan scan dari ujung rambut turun ke kaki gw. Terus lanjut kegiatan tulis-menulisnya. Ehm.. canggung.
“Baiklah, silakan bersiap. Karena ga ada lagi penantang lain, langsung aja masuk arena.”
Gw pun mantap masuk arena, diiringi sorak penonton yang cukup heboh. Liat sekeliling, ternyata jumlah penontonnya lumayan banyak, biarpun ga sampe memadati tempat ini. Gw liat ke arah Elka, dan menatapnya sebentar, dia balas menatap dengan pandangan ga karuan.
“Ah akhirnya!” Seru si pembawa acara yang liat gw masuk arena, “Penantang ke-6 hari ini! Akankah ia mampu menaklukan Rokai, Spiritualist terbaik kami?! Kita saksikan sesaat lagi!” Langkah gw, berhenti tepat di depan Rokai. Senyum kecil tadi udah ga ada, berganti dengan ekspresi datar pas dia liat gw. Ekspresinya datar, ya. Tapi terasa tegas dari garis matanya, dan determinasi dari sikap berdiri.
Shite! Shite! Bukan orang nih! Ini ide buruk! Apa yang bakal gw lakukan buat hadapi dia? Apa? Rencana apa yang ada di kepala gw?
Berhubung hari ini ga bertugas, otomatis gw cuma bawa satu inventori 4 dimensi yang isinya beam bow, beam arrows, dan sarung tangan. Selagi pake sarung tangan, gw diwawancara sedikit oleh si pembawa acara yang ternyata juga bertindak sebagai wasit.
“Oke sebelumnya, yuk kenalan dengan penantang kita! Siapa namamu, wahai prajurit?”
“Umm… Ranger, Ensign Lake,” jawab gw sambil keluarkan beam bow dan buka jaket olahraga resmi Ranger Corps, ehem … -gratisan- yang dipake. Sisakan kaos dan celana training melekat di tubuh gw.
“Ahh nama yang singkat. Pastinya udah tau dong aturan main duel sekali jatuh?”
“Yaa… sedikit banyak, tau sih.”
“Baik, akan saya jelaskan lagi kalau begitu! Duel sekali jatuh! Kedua peserta akan melakukan berbagai cara untuk saling menjatuhkan! Cara apapun diperbolehkan! Bagian-bagian tubuh yang tidak boleh menyentuh tanah diantaranya lutut, tubuh bagian atas (dada, punggung), kepala. Bila bagian tubuh tersebut menyentuh tanah, maka peserta dianggap kalah! paham?!”
Si pembawa acara menjelaskan panjang lebar, dan lawan gw pun mengangguk tanda mengerti.
“Kalau begituuu! Silahkan saling beri hormattt!” Kami sama-sama mengepal tangan kanan di depan jantung, dan menegakkan sikap berdiri. “Daaann, MULAI!”
Begitu pertarungan dimulai, gw inisiatip buka serangan. Tembakkan 2 panah beam dengan cepat sambil lompat ke belakang buat jaga jarak. Rokai ga bergerak. Dari titik dia berdiri menghentak kaki ke tanah. Tiba-tiba muncul pilar tanah tepat di depannya dan blok 2 anak panah gw.
“Shite!” Ga banyak variasi serangan yang bisa gw lakukan selain memanah dari jarak aman dan lari memutari dia, cari sudut yang tepat. “Fast Shot!” Tapi pertahanan Rokai yang digalang pilar-pilar tanahnya ga bercela, nyaris ga bisa ditembus.
Ayolah, gw bisa lebih baik dari ini! setiap pertahanan pasti punya cela! Cari!
Ketika sibuk mikirin gimana cara buat menembus pertahanannya, Rokai balas serangan gw, “Ignite!” bola api meluncur cepat ke muka! Reflek, gw pake busur buat menghalau.
“Aw, aw, aw! Panas!” Gw terdorong akibat impact yang kuat, untung masih bisa jaga keseimbangan biar ga jatuh.
“Gantian,” Ucapnya datar. “Ignite!” Lagi-lagi mantra yang sama. Gumpalan api terkumpul di ujung tongkatnya. Dengan satu ayunan kuat, bola api itu mengarah ke gw lagi. Kali ini, gw lompat ke samping buat menghindar, dan berhasil!
Tapi, ke mana tu anak? Tau-tau dia hilang dari tempatnya berpijak.
“Hah, cupu,” ternyata dia udah berdiri di belakang gw! Faak! Cepat amat! “Tempest Brace!” Serunya. Ughh… udara di sekeliling gw terasa berputar, dan kumpul di bawah kaki dengan gaya tekan ke atas yang kuat banget.
Sukses bikin gw mental ke atas! Tinggi, tinggi sekali.
“Uwaagh!” Tubuh gw berputar selagi melayang. Kamprett! Kalo jatuh tiduran atau tengkurap, langsung kalah nih. Gw berusaha cari kendali tubuh. Ga yakin gimana caranya, tapi kayaknya berhasil. Soalnya, putarannya berhenti. Begitu jarak udah menipis dengan Rokai, gw salto ke depan dan lancarkan tendangan cangkul ke arah kepala, “pecah pala lu!” Teriak gw, sangking semangatnya.
Tendangan dari ketinggian yang diarahkan ke kepala, cukuplah pingsan sehari mah. Namun ternyata, gw terlalu cepat senang. Rokai menahan tendangan dengan tangan kirinya, “Hegh! Ignite!”
Demmit! Dipanggang nih! Tangan kanannya yang megang staff berselimut api terayun ke arah gw. Dari jarak sedekat ini, mau menghindar juga telat! Okelah usaha terakhir, gw angkat tangan setinggi muka buat lindungi muka tampan supaya ga gosong.
Kaya sebelumnya, impact yang dihasilkan, cukup buat bikin gw terlempar kesamping. Lutut ini hampir menyentuh tanah kalo ga mendarat dengan tangan dan kedua ujung kaki!
“Hufft … nyariiis,” gw hembuskan napas, pertanda lega duel masih berlanjut. Akibat serangan tadi, ini baju sebagian terbakar. Terutama bagian lengan kanan sampe ke bahu. Lengan gw juga kena luka bakar, sedikit, tapi berasa juga perihnya.
Rokai berdiri diam. Gw perhatikan, dia memijat tangan kirinya yang tadi menepis tendangan, sambil sesekali tahan rasa sakit. Pasti seenggaknya retak tuh tangan. Hehehe bukan gw doang yang amburadul di pertarungan ini. Tapi benar-benar ini orang, sebagai spiritualist, kekuatan serangannya ga perlu diragukan. Kemampuan bertahan dan kecepatannya … di luar dugaan, luar biasa.
“Hey!” Dia berseru, sambil arahkan ujung tongkatnya ke gw, “… udah cukup ‘pemanasannya’?” Dengan nada menantang, dan niat untuk tingkatkan level pertarungan. Force meledak-ledak dari dalam muka yang tetap tanpa ekspresi.
Ini pertama kalinya gw merasa seluruh elemen alam bakal bergabung buat bikin gw babak belur.
Udara malah bikin napas ga teratur, sebagian darinya berubah menjadi bulir es berjatuhan, sebagian bergesekan dengan kulit gw. Tanah tempat berpijak pun mulai sedikit bergetar. Dan gw bisa liat, api keluar dari telapak tangannya, yang menggenggam erat tongkat sihir.
Hah! Dasar monster. Benar ide buruk nih, lawan orang macam dia. Ahh, begonya gw! Sekarang harus ngapain lagi? Dia punya seabreg mantra ajib yang bisa bikin gw jadi terong penyet dalam hitungan detik. Aduh, gw ga bisa mikir. Tertekan oleh determinasi yang ditunjukkan Rokai.
“Glekk…” gw cuma bisa menelan ludah.
Suara langkah kaki Rokai buyarkan pikiran-pikiran gw. Dia mengurangi jarak di antara kita. 3 bongkah batu berukuran sedang, mengorbit perlahan di atas kepalanya. Saat gw pasang kuda-kuda buat menembak panah lagi, dia angkat tongkatnya tinggi, lalu dihujam ke tanah sekuat tenaga.
“Land Wave!” Serunya. Tanah bergelombang membuat jalur berbatu keluar dari bawah dan cepat tertuju ke gw. Lompat adalah satu-satunya cara yang ada di benak supaya terhindar dari serangan!
Gw langsung balas serangannya, “Fast Shot!” Melakukan skill ini untuk kesekian kali. Sekarang bukan pilar tanah yang blok anak panah, melainkan 2 dari 3 batu yang dari tadi berputar di atas kepalanya.
Sambil terus menembak, gw berusaha makin persempit jarak. Serangan jarak jauh Spiritualist emang dahsyat. Tapi dalam pertarungan jarak dekat, mereka kerupuk, kan?
“Ignite; Raze!” Rokai ga tinggal diam, bola api kecil ga terhitung jumlahnya terbentuk di depan Si Spiritualist berambut hitam, dan langsung hujani gw yang lagi mendekat.
“Mampus gw,” bola-bola api tersebut meledak ketika menabrak sesuatu. Impactnya ga sekuat Ignite, tapi tetap aja banyak. Perih dan panas jadinya. Gumpalan api terbentuk di arena. Dari dalamnya, gw menerjang keluar dan lagi, “Fast Shot!”
3 batu melayang tersebut rupanya semacam perisai otomatis yang selalu siaga terhadap ancaman. Semua panah yang gw tembakkan sukses diblok. Sial!
“Payah … semua tembakan lu ga jelas. Apa cuma ini kemampuan Ranger?” Ucapnya dengan raut muka minta ditampol. Demmit! Gw ga bisa menyangkal, tapi emang cuma ini yang bisa gw lakukan sekarang. “Kacangan.” tambahnya.
“Si-sialan…”
Spiritualist punya Force, Ranger punya Agility. Agility! Bikin dia pusing!
Usaha gw mempersempit jarak berhasil. Setelah lompat kiri kanan, menghindar sana sini, akhirnya sekarang gw tepat di depan Rokai. Dia keliatan ga menduga kalo sang lawan bakal pake cara frontal.
“Bukan cuma lu doang yang dilatih dengan baik!” Ucap gw sambil menyeringai dan mukul mukanya.
“Usaha yang bagus,” tiba-tiba senyum terbentuk di wajah Rokai, “tapi sia-sia,” bisiknya. 3 batu melayang, berputar cepat dan menghantam tangan, kepala, serta tulang rusuk gw.
“Uhuuahk!” Gw bertahan sekuat tenaga, tahan badan biar ga jatuh. Diberi batu segede gitu, pusing juga kepala. Darah mulai mengalir dari pelipis yang sobek. Buat berdiri aja sempoyongan ini.
Gobloknya. Bisa lupa dengan pertahanan itu. Hahh… Haruskah menyerah sekarang? Dada gw… sakit. Paru-paru.. uhuk.. asap semua. Kepala… hampir pecah. Tato (luka) di mana-mana… dibakar mulu pula.
Gw mendongak, liat langit. Ah, lagi-lagi pikiran untuk menyerah terlintas. Sampe kapan bakal kayak gini? Ketika dihadapkan sesuatu di luar jangkauan untuk gw atasi, gw lebih suka mundur. Kadang biarkan orang lain selesaikan masalah tersebut.
Sakit… gw ga suka rasa sakit. Ga mau rasakan sakit. Gw benci disakiti. Mungkin hal yang paling gw inginkan di dunia ini adalah ga rasakan sakit sama sekali. Kenapa orang saling menyakiti satu sama lain? Duh, pikiran mulai ke mana-mana.
“Udah selesai?” Pertanyaan yang keluar dari mulut Rokai menyadarkan gw dari lamunan.
“Ya, gw nyerah… lu terlalu kuat buat gw. Dan gw udah ga kuat untuk lanjut.”
“Sekarang gw tanya lu, Lake Grymnystre. Apa yang lu perjuangkan?”
“Tapi ada cara lain kan? apa sih yg lu cari sebenarnya?”
“Tujuan.”
“Hahh… belum… hahh,” Jawab gw tersengal sembari menyeka darah yang mengalir dari pelipis, masuk ke mata. Bikin perih. Ini bukan saatnya mikir untuk menyerah, tapi saatnya mikir gimana cara jinakkan monster di hadapan gw.
Kalo gw masuk arena ini buat menyerah, ngapain masuk dari awal?! Semua luka ini bakal sia-sia. Sejenak gw liat ke arah Elka. Sakit? Ya sakit… tapi sampe kapan berharap seorang perempuan lindungi gw dari semua rasa sakit? Buat apa daftar jadi tentara, kalo ga mau merasa sakit? Malu juga pada diri sendiri… gw laki apa bukan?
“Gw akui lu bernyali.” Kata Rokai memuji. “Dari sorot mata lu, gw tau ada ketakutan dalam diri lu. Semua sakit yang lu alami, semua tekanan yang lu hadapi. Kemampuan tubuh yang udah capai batas. Alih-alih menyerah, lu terus menolak untuk jatuh,” suaranya begitu terkendali. Macam prajurit veteran, “ini cuma sebuah atraksi di sebuah festival, tapi lu rela terluka sampe segitunya. Boleh gw tau, kenapa lu berjuang sekeras ini?”
Gw tersenyum dengar pertanyaan tersebut, biarpun ga tau alasannya. Kebetulan yang aneh, 2 orang berbeda yang sama-sama kuat bertanya hal serupa, “Itulah jawaban yang lagi gw cari, Bung.” Jawab gw enteng.
“Okey … gw pikir ini udah kelamaan. Gw ga akan ragu.” Cih, kata-katanya mengisyaratkan seolah dia cuma main-main dari tadi, “jangan mati, ya.” Rokai memutar tongkat sihirnya. Pusaran angin horizontal terbentuk, melibatkan gw sebagai sasaran.
Sisa panah gw tinggal sedikit, 10 pun kurang. Tenaga pun udah hampir 0. Entah cukup atau ga, modal nekat. No turning back now!
“Accel Walk! Uuugghhh!” Adrenalin gw terpacu sampe batas maksimal, detak jantung naik drastis, darah terpompa cepat banget ke seluruh tubuh. Syaraf-syaraf gw menegang. Tangan kaki serasa mau copot, kinerja otot dipaksa ekstra keras. Sebagai gantinya, gw merasa waktu di sekeliling bergerak lebih lambat.
Accel Walk juga meningkatkan sensitifitas ke-5 indra gw berkali lipat. Pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa dan peraba. Makanya kalo kena pukul, sakit yang gw rasakan jadi dahsyat banget. Berkali lipat juga. Sebenarnya ogah pake kemampuan ini karena gw pasti tersiksa pas kemampuan ini aktif, tapi ga kepikiran cara lain.
Gw berhasil hindari serangan tornado horizontalnya, dalam sekejap mata, gw udah ada di belakang Rokai dan bersiap melakukan, “Fast Shot!” Diikuti tembakan berikutnya. Sehingga, belum sempat Rokai kaget oleh gerakan gw yang super gokil, 3 anak panah meluncur hampir bersamaan ke arah punggungnya.
Counter Rearm lagi-lagi jadi penghalang. Tapi ga masalah, karena gw udah berpindah ke depannya sejak tadi! Dengan segenap tenaga tersisa, gw gebuk mukanya pake busur!
Kali ini ga ada apapun yang menghalangi Rokai cium busur. Gila, busur gw sampe patah sangking kuatnya! Saat gw pikir bisa jatuhkan dia dengan serangan tadi, gw salah besar! Dia pake Counter Rearm buat tahan badannya.
Akibat serangan gw tadi, hidungnya patah dan berdarah banyak banget.
Krekk, krekk, krutuukk…
Suara itu terdengar pas dia meluruskan hidungnya yang bengkok.
“Lumayan juga, untuk ukuran Ranger sekarat.” Ucapnya penuh ketenangan.
Batu-batuan kampret! Udah ga punya busur, panah juga hampir habis, badan serasa mau rontok, ditambah lagi pembawaan Rokai yang super tenang! Ggrrhh! Gw frustrasi! Selesai… sekarang gw benar-benar selesai. Ga mungkin pake Accel Walk lagi tanpa pecahkan pembuluh darah.
Tanpa banyak omong, Rokai menerjang. Kecepatannya masih terjaga. Ga! Gw ga mau selesai sekarang! Baru kali ini gw merasa ga mau kalah, ga mau rusak momentum ini. 2 panah tergenggam erat diantara jemari, dan gw maju juga.
“Frost Shards!” Kali ini Rokai menghujani gw dengan serpihan es tajam. Kedua tangan gw menyilang di depan muka untuk lindungi wajah sambil terus maju.
“Arrggh!” Gw mengerang, memendam sakit luar biasa. Kayaknya, efek Accel Walk belum abis sepenuhnya. Alhasil, serpihan es menancap seluruh tubuh gw, terutama tangan.
Ga peduli! Tetap tabrak terus! Setelah dekat banget, gw halau tongkat sihirnya. Rokai tersentak. Ga menyangka lawannya bisa bertahan sejauh ini. Gw hujamkan anak panah yang tergenggam sekuat tenaga, hingga tembus paha kiri si Spiritualist.
“Ngh!” Dia meringis, seraya panah menembus otot paha. Belum puas, gw beri uppercut telak!
Liur bercampur darah menyembur dari mulutnya. Berharap ini anak tumbang secepatnya. Namun harapan itu sirna, Rokai tetap berdiri biarpun susah payah.
“A-aseem!” teriakan penuh kefrustasian gw menggema.
“Entangle!” Belum tersadar dari rasa frustasi, tau-tau dari dalam tanah keluar akar-akar pohon, mengikat sekaligus angkat badan gw, sehingga ga berpijak di tanah lagi.
Sumpah serapah pun keluar dari mulut gw yang rasanya udah kering, “Woi bajingan! Apaan nih?! Turunin, woi!” Sambil terus menusukkan satu-satunya panah tersisa ke akar-akar ini. Berharap bisa kepotong.
“Seorang yang belum tau kenapa dia berjuang, sama kayak orang yang belum menemukan jati dirinya sendiri. Dia ga tau ke mana jalan hidup yang harus ditempuh, dan resiko apa yang harus diambil. Gw salut akan kegigihan lu, Ranger. Tapi, orang kayak gitu ga akan bisa kalahkan gw. Ga peduli sekeras apapun usaha lu,” Rokai menatap dalam-dalam mata gw, lalu rentangkan tongkatnya secara horizontal, kemudian mengucap mantra penghabisan, “Implode!”
“OWAAGH!” Sa-sakit! Seluruh udara di sekitar gw serasa dipaksa masuk ke tubuh dan meledak ke dalam. Rasanya organ-organ gw digencet MAU dari segala arah! Anjrit! Dibikin setengah pingsan dengan mulut menganga. Akar-akar yang dari tadi mengikat, kembali ke bawah tanah. Tinggalkan tubuh gw dalam posisi berdiri.
Tapi percuma, biarpun berdiri, gw udah ga kuat. Genggaman pada panah terakhir di tangan gw melemah, tubuh sempoyongan ke depan, dan ke belakang. Samar-samar, gw liat Rokai balik badan. Sialan. Ujung-ujungnya, gw cuma bisa menatap punggung orang-orang hebat, tanpa punya kesempatan lampaui mereka.
Ga kuat menahan semua beban luka ini, gravitasi menarik tubuh gw ke belakang.
Tapi gw menolak semua itu! Menolak untuk jatuh!
Tangan kanan kembali pegang kuat-kuat panah yang sedikit lagi menyentuh tanah. Lalu perkuat kuda-kuda kaki, biar seimbang lagi, “Heghh!” Gw dorong badan ke depan sekuat-kuatnya, “HAARRGH!” Langkah Rokai terhenti begitu dengar teriakan gw.
Matanya terbelalak, seakan ga percaya penglihatan sendiri, “Masih berdiri setelah kena Implode?! Ga mungkin!”
Gw emang berdiri, tapi seluruh tubuh ini udah ga bisa bergerak akibat serangan sakti barusan. Untuk pertahankan kesadaran pun, susahnya minta ampun.
“Kepala batu banget sih lu! Kalo pengen bunuh diri, bilang dari awal!” Rokai ga lagi terlihat tenang. Liat kegigihan gw, kayanya bisa bikin dia gregetan juga. Spiritualist bermata hitam legam kembali berlari mendekat. Keliatannya bakal mengulang mantra sakit jiwa yang tadi.
Aduh… aduh… aduh… kenapa ga jatuh aja sih, biar cepat kelar? Sekarang ngapain coba berdiri tapi ga bisa gerak sama sekali? Tuh liat, dia kemari lagi. Udahlah, fix jadi rendang kali ini.
Tiba-tiba Rokai berhenti. Samar-samar, gw liat Elka berdiri dengan posisi menyamping di antara kita. Perempuan itu memanggul senapan runduk hitam besar di bahunya, jemari siap menekan pelatuk, plus pelontar granat siaga di tangan kiri. Moncong kedua senjata itu mengarah ke kepala Rokai sehingga dia ga jadi menyerang gw.
“Mundur, ” perintah Elka, “sebelum gw ratain kepala lu serata-ratanya, sampe lu ga bisa liat kerataan lu sendiri,” ancamnya dengan nada dingin namun pake tatapan murka. Rokai terlihat ga menduga akan kehadiran orang keempat selain wasit di arena ini. Tapi keliatannya, udah ga ada niatan menyerang.
“Pfft. Lelucon yang lucu,” balas Rokai singkat, lalu memunggungi kita berdua dan keluar arena.
“Ahh, ba-baiklahh!” Kata pembawa acara sekaligus wasit yang dari tadi terbengong-bengong. “ta-ta-tampaknya duel ini be-berakhir imbang! hhahaha! Ka-karena Rokai mengalami cedera yang cukup berat, maka dari pihak panitia menutup a-atraksi duel sekali jatuh ini. Se-sekian, terima kasih telah menyaksikan!” Pembawa acara begitu berbeda dari sebelumnya. Entah syok atau kenapa, ga ngerti.
Panah yang dari tadi gw pegang, akhirnya lepas bersamaan dengan makin condongnya badan gw ke depan, pertanda bakal ikutan cium tanah juga. Liat gw mau nyusruk, Elka langsung sigap menahan badan gw yang penuh luka di mana-mana, baju compang-camping, banjir keringat, dan darah di pelipis.
“Ka,” gw berbisik, napas ga teratur di antara sisa kesadaran, “gw … deg-degan. Adrenalin gw berasa … meletup-letup,” tangan gw meremas dada sendiri, dan resapi sensasi jantung yang masih berdetak cepat akibat pertarungan tadi, “baru pertama kali … gw ga mau kalah.”
Elka tersenyum. Dalam hangat dekapnya, dia bilang, “Akhirnya lu ketemu ‘teman baru’ yang sanggup bakar tekad lu,” itulah hal terakhir yang gw ingat sebelum pandangan benar-benar gelap.
.
.
Bangun-bangun, gw lagi tiduran di dalam tabung pemulihan pake sempak doang. Alat bantu pernapasan terpasang di hidung. Karena tabung ini diisi healing potion yang mempercepat regenerasi sel tubuh. Tangan-tangan mekanik otomatis ga ada hentinya jahit luka-luka yang gw terima. Entah berapa lama ga sadarkan diri, yang gw tau, badan udah berasa enakan dan tenaga pulih dengan cepat. Yaaa… belum sepenuhnya sih.
Lagi enak-enak dirawat, tabung gw digedor, “Woii masih hidup lu? Hahaha!” Suara itu… ga asing. Pasti si anak kampret, Alecto. Yup! Tebakan gw tepat. Udah hapal banget deh, suaranya yang berat sok seksi, dan gede banget kaya pake toa itu. Di sebelahnya berdiri Elka, “Asli, asli… begitu dengar kabar lu sparring lawan Rokai, gw langsung nanya lu dikubur di mana! Hahaha!” Haish… gw acungkan jari tengah buat balas kata-katanya barusan.
“Haha, dia baik-baik aja tuh,” Ucapnya pada Elka yang cuma senyam-senyum doang dari tadi, nonton gw yang rada kesal dibacotin Alecto.
“Harus dong,” balasnya. “Gw… ga bisa maafkan diri sendiri, kalo dia sampe kenapa-napa.”
Dengar Elka ngomong begitu, Alecto terdiam sejenak memandangnya, kemudian bilang, “Beruntungnya bedebah itu… punya orang kayak lu selalu di sisinya. Aaahh, gw ngiri!”
“Hehehe, makasih.”
“Oke deh, gw cabut duluan. Biasa, Tugas. Woii! Abis dari sini, jangan lupa ganti sempak. Sempak basah jangan dipake mulu! Hahaha!” Mendengar kata-katanya, lagi-lagi jari tengah gw terangkat melepas kepergian itu anak. Kalo punya segudang jari tengah, bakal gw kasih semua deh buat dia.
Tersisa Elka di ruangan ini. Satu telapak tangannya diletakkan di sisi tabung, terlihat sarung tangan Ranger yang dipakenya. Dia menatap gw beberapa saat. Ga bisa liat gimana ekspresinya, pandangan gw buram, namanya juga lagi direndam.
“Lake, gw juga … pergi dulu sebentar. Nanti balik lagi kok …” Dia bilang, “… cepat pulih ya.”
Ini anak kelewatan deh rasa khawatirnya. Biarpun ga bilang apa-apa, tapi gw bisa merasakan kecemasannya yang super berlebihan. Gw ga mau dia terlalu khawatirkan gw pas lagi bertugas, yang ada nanti jadi ga fokus. Sebisa mungkin ga akan gw tunjukkan rasa sakit lagi. Sambil nyengir, gw acungkan 2 jempol.
Tenang Ka, gw ga semaput kok.
Ga lama setelah Elka pergi, masuk sesosok lelaki. Ga tau siapa, buram. Tangan kanannya pake penahan lengan. Berarti, lagi patah tu tangan. Jangan-jangan…
“Lake Grymnystre… akan selalu gw ingat nama lu,” Woot!? Ro-Rokai?! Ngapain lu di mari?
CHAPTER 2 END.
Next Chapter > Read Chapter 3
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-3/
Previous Chapter > Read Chapter 1
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-1/
Ingat pas saya bilang ‘banyak mengabaikan mekanisme RFO’? Jadi, skill-skill di chapter ini ataupun yang nantinya bakal nongol di cerita saya itu akan beda banget dari skill-skill yang kalian tau di RF. Walaupun, ada beberapa skill yang saya pertahankan juga sih. Bukan cuma dari skill, tapi juga dari badan kemiliteran. Pergantian job, masalah pangkat, level, equip.
Saya mengabaikan level, dan lebih mengutamakan hierarki pangkat. Yang pangkatnya lebih tinggi, tentu wajib lebih dihormati. Mengenai equip (senjata dan armor), saya coba menyederhanakannya. Di semesta saya, kemampuan tempur Prajurit bukan ditentukan dari equip apa yang dia pakai, melainkan lebih kepada diri Prajurit itu sendiri.
Hal lain yang pengen saya sampaikan, tentang Force di semesta Lake. Force terbagi jadi 2 jenis, Force dasar dan Force lanjutan. Force dasar ada 4: Api, Air, Tanah, Angin. Dan Force lanjutan, bisa dibilang, evolusi dari Force dasar, yaitu: Cahaya (Force of Light), Es (Force of Ice), Alam (Force of Nature), dan Badai (Force of Storm). Kalo di Cora, Api berevolusi jadi kegelapan (Force of Dark).
Regards,
Mie Rebus.