LAKE CHAPTER 21 – QUESTIONS

Lake
Penulis: Mie Rebus


“DASAR CECUNGUK BAU KENCUR GA ADA OTAK!” Teriak seorang perwira Maximus paruh baya berambut cepak magenta pada kami berdua. “GA MIKIR APA, BIAYA PERBAIKAN KERUSAKAN FASILITAS GARA-GARA ULAH KALIAN TUH SELANGIT!?” Ajegile … disemprot gini gw. Berasa ditodong toa raksasa depan muka.

Selepas ledakan meriam angin, Dzofi menyeret … ya, secara harfiah, menyeret gw ke ruangan atasannya guna menjelaskan kronologi kejadian. Siapa sangka, atasan si Armor Rider adalah orang yang terlampau eksplosif gini? Begitu selesai dengar penjelasan kami berdua, doi langsung menyembur ga karuan. Kami yang lagi berdiri di depan meja kerjanya, cuma sanggup tunduk tanpa perlawanan.

Sebenarnya jarak antara kami berdua dengannya ga dekat-dekat amat. Ditambah lagi, dia melakukan hal tersebut sambil tetap duduk. Tapi gelombang kejut dari ledakan suaranya sungguh dahsyat sampe bikin kami nyaris terpental ke belakang.

“Uhh … tanpa mengurangi rasa hormat … semua salah saya, Maximus.” Gw menyanggah, berusaha sesopan mungkin biar cepat keluar dari sini. “Orang ini cuma jadi penonton.” Lanjut gw lagi, jempol tangan terarah ke Dzofi di sebelah kiri.

“Yapp! Benar! Ini semua salahnya! Saya ga tau apa-apa!” Shite! Antusias amat ini anak menyalahkan gw. Dengar reaksinya begitu, gw memandang padanya dengan geram tanpa berkata-kata.

Dia cuma mengangkat bahu.

“Kalian pikir saya peduli … ?” Pria di hadapan kami menurunkan volume suaranya. “SAYA GA PEDULI APA SALAH SIAPA, ATAU SIAPA MENYALAHKAN SIAPA! KALIAN ADA DI SANA DAN TERLIBAT BERSAMA!” Sebelum tiba-tiba kembali berkata lantang. Omaigad! Ini orang butuh terapi mengendalikan emosi! “Haaaahhh…” Abis itu dia menghembus napas panjang, seolah lelah hadapi segala masalah.

“Saya sebenarnya berharap banyak padamu, Captain Baydzofi.” Ucap pria paruh baya itu. Yang diajak ngomong malah makin tertunduk. “Banyak yang ragu sama keputusan saya. Mereka menggangap kamu ga pantas ada di Divisi ini.” Kedua tangan pria itu terlipat dan diletakkan di atas meja. Mata masih memandang si Armor Rider. “Bisa dibilang, saya mengambil resiko besar buat terima kamu di sini.” Baydzofi masih belum berani angkat wajah untuk sekedar bertatap dengan atasannya.

Bekas luka bakar di sekitar mata kirinya menutupi sebagian wajah sampe leher. Bikin tatapan si Boss makin menyeramkan.

“Semua masalah yang kamu bikin hingga hari ini, kegagalan, kerusakan, udah ga keitung lagi. Imbasnya apa? Tentu saya sebagai atasan sekaligus mentormu-lah yang harus tanggung jawab.” Dia masih panjut ceramah. “Ide-idemu kadang terlalu gila dan ga masuk akal. Kalo aja bukan saya, orang lain pasti udah ga tahan dan kamu udah dikeluarkan dari divisi ini sejak lama.” Kami benar-benar ga berdaya. Sejumlah kata yang terpikir, ga kuasa keluar dari mulut.

Rupanya Dzofi cukup bermasalah di sini. Dan lagi, dimentorin ama orang super galak!? Selamat deh buat lu. Duh, jadi ga enak dengar si Boss sampe ngomong gitu. Kasian jugak, gegara gw..

“TAPI!” Wuanjreet! Lagi-lagi dia membentak dadakan! “Kamu memiliki segala yang dibutuhkan buat Divisi Sains dan Teknologi. Ide-ide birilian, pemikiran yang ga biasa, dan berani untuk selalu lawan arus biarpun semua orang bilang kamu gagal. Aset yang terlampau berharga.” Kali ini, dia menyebutkan poin-poin positif yang dimiliki anak buahnya itu. “Saya harap kamu ingat seberapa besar ekspektasi saya padamu.” Kata si Boss, tanpa senyum sedikitpun.

“Ssi.. siap..” Balas pemuda itu, lunglai. Macam ga ada harapan lagi.

“Okelah, sebagai hukuman kelalaianmu, jalani tiga puluh ribu jam kerja bakti.”

“Ti.. ti.. ti.. tiga puluh ribu!?” Astaga! Asli, kaget dengernya. Gw beneran tersentak. “Dengan segala hormat, biar saya aja yang gantikan posisi dia buat jalani hukuman itu, Maximus.”

Prajurit berpangkat Maximus itu langsung menatap tajam ke gw, posisi duduk masih belum berubah. “Gantikan? … GANTIKAN!? KAMU PUN BAKAL JALANI HUKUMAN YANG SAMA, GIMANA MAU GANTIKAN!?” Shite … paket mimpi buruk. Ga bisa malas-malasan lagi dong nanti? “HUKUMAN YANG SAMA PLUS GANTI RUGI!”

“TIDAAAAAAAAAKKK!” Yup, terdengar teriakan dompet gw biarpun lagi di tangan Rokai. Hmm, sebenarnya hati gw sih yang teriak.

“Kamu…” masih lanjut ngomong ke gw. Demmit. “Kamu tau siapa saya!?” Ia bertanya.

“Uhhmm …” Kepala gw geleng ragu-ragu. Takut akan respon yang bakal gw terima.

“Astaga …” Dzofi, di sebelah gw, berbisik pelan dan menutup muka sendiri pake telapak tangan kanan.

BRAAAAKKK!

Si Boss serta merta gebrak meja kerja terus bangkit dari duduk. Dari mukanya, keliatan sih kalo dia kesal. Sial. Jawaban yang salah! Jangan salahkan gw lah kalo ga kenal tiap-tiap prajurit Bellato di Novus!

“SEMPRUL! BISA-BISANYA KAMU GA TAU SIAPA SAYAAA!?” Bentaknya lantang seraya jalan mendekat ke muka gw. Errr… gw lebih milih ga kenal orang berisik macam lu deh, dari pada harus bolak-balik ke dokter THT. “MENTAL SMITH, MAXIMUS KHORTENIO KARTEA, KOMANDAN DIVISI SAINS DAN TEKNOLOGI! CATAT ITU DI OTAKMU YANG KARATAN, RANGER!” Buseeet! Diteriakin dari jarak kurang dari 30 cm sama sekali bukan sensasi menyenangkan!

Ooh, jadi dia yang namanya Maximus Khortenio … orang yang minta Join Task Force buat kirim pasukan ke Ether, menyelidiki Eth- Grymnystone. Arrg! Hierarki keparat! Mati-matian gw berjuang di Ether cuma sekedar buat memenuhi permintaan tersebut, dan inilah balasannya! Diteriakin berasa gendang telinga mau pecah. Faak!

“Saya ga abis pikir, bisa-bisanya Gatan memberi pedang itu buat biji karet kaya kamu.” Bi-biji karet!? Tunggu, kok dia tau hal itu!? Mental Smith!? Jangan-jangan… “Ya, saya yang menempa Twin Razer Blades… atas permintaannya.” Jelasnya, seusai menerima tatapan menyelidik penuh tanda tanya gw.

Ooohhh.. jadi dia, kawan yang dimaksud Gatan tempo itu? Sang Mental Smith jenius pencipta pedang anti-patah selama force mengalir di dalam tubuh? Ga pernah menduga bakal ketemu dengan cara gini.

Kalo dari tampilan, Maximus Khortenio kayanya lebih tua dari Maximus Gatan. Entah emang mentor gw yang awet muda, atau Maximus Khortenio yang cepat tua gegara sering marah-marah. Mental Smith itu jalan memutar kami sejenak, sebelum balik ke tempat duduknya dan berkata, “Jawab pertanyaan saya, Ranger.” Duh apalagi kali ini?

.

.

Cora’s HQ, Spiritualist’s Dorm…

Cahaya matahari siang yang menyusup diantara celah gorden ga kuasa bangunkan sesosok gadis Corite berambut ungu dari lelap tidur. Wajahnya begitu damai, seolah ga pernah tidur sepuas ini sebelumnya. Ga terganggu dengan suara bising di luar jendela, bising pelatihan calon prajurit Cora baru yang dari pagi jadi suara latar di kamar tersebut.

“Faraneeell!” Terdengar dari luar, pintu kamarnya digedor. “Fa-ra-nell!”

Membuat gadis Corite itu mengeluarkan lenguhan mengundang, “Uuuuhhmm…” Disertai tarikan selimut sampe menutup seluruh badan dan makin dalam tenggelamkan kepala ke bantal.

“Faranell, bangun hey.” Suara pria dari luar pintu, dengan gampang bisa diketahui siapa pemiliknya. “Udah jam berapa ini!?” Dia mengingatkan, setengah teriak.

“Uuuhhh…” Merasa terganggu, Faranell bangun. Kedua tangan mengucak mata beberapa saat. Pupil kuning masih sisakan sedikit kelelahan. Ia bangkit dari kasur dan bermaksud menyambut tamu di luar kamar itu. Begitu tangan udah siap buat buka pintu, gadis itu ingat sesuatu. Muka manis menggemaskannya mendadak langsung merona. Dia balik badan, dan mencari suatu barang di tengah ruangan yang bisa dibilang cukup berantakan untuk ukuran kamar wanita.

Genggamannya jatuh pada kaos longgar merah marun tipis dan celana dalam berenda ga jauh dari kasur. Ga pake lama, langsung dikenakan. Kaos itu lumayan besar, sampe menutupi pahanya. Yahh, Faranell emang punya kebiasaan tidur telanjang di saat lagi sendirian. Untung tadi sempat ingat kalo ga ada sehelai benang pun yang melekat di tubuh terlampau molek tersebut.

Setelah yakin badannya udah tertutup busana, dibukalah pintu kamar. Di depan, berdiri seorang pria dengan Armor lengkap Spiritualist. Grazier, lebih tinggi dari gadis Corite itu, memunggungi si gadis.

“Ka-kamu udah pake baju belum tuh?” Tanya pria itu, kayak udah hapal kebiasaan Faranell.

“Ihihi.” Tawa lembut keluar dari bibir Faranell, liat kelakuan kawannya. “Udah kok, liat aja sendiri.” Si pria, masih ragu-ragu, perlahan memutar badannya menghadap Faranell. “Selamat pagi, Feawen Gannza Qhadara.” Ucap gadis itu, melempar senyum teduh pada rekan satu tim.

“Pagi gundulmu. Udah sia-AAA… Apanya yang ‘pake baju’!? Astaga Faranell!” Begitu Gann liat apa yang dikenakan Faranell, sigap dia buang muka ke arah lain. Rona merah menghias wajah rupawan Grazier lelaki itu. “Ganti! Buruan! Pake baju yang waras sana!”

“Aaaahh.. malaaas. Aku masih mau tiduuur.” Rengek gadis Corite dengan manja. Tangan kanannya garuk-garuk kepala, bikin rambut ungu tergerai yang berantakan abis bangun tidur itu, makin ga beraturan. “Lagian ngapain sih, pake jemput segala?”

“Kamu harus menghadap Archon, tau! Mandi sana!” Ujar Gann, sembari membalikkan badan Faranell dan dorong perlahan punggungnya ke kamar mandi.

“Hhuuuueeeeeehhhh…” Emang dasar Faranell, ga sadar umur. Masih menganggap dirinya daun muda. Padahal, dia berada di tahap di mana harus mulai belajar bersikap dewasa.

Dia bukan lagi anak baru gede, fisik Grazier berambut ungu panjang itu telah bermetamorfosis sepenuhnya jadi wanita anggun. Bentuk wajah oval ditambah lesung pipi pas dia tersenyum, makin mempertegas betapa manis Faranell.

Tapi kelakuannya kadang bikin orang yang kenal betul dengan dia, geleng-geleng ga percaya. Setidaknya beberapa taun belakangan, dia lebih berusaha jaga image sih, kalo di depan orang yang ga terlalu dekat.

Diantara orang terdekat, adalah Gannza. Pria yang dikenalnya dari sejak pertama Faranell menapak kaki di Novus. Bisa dibilang, awalnya Gannza emang ditugaskan buat jaga Faranell. Sebagai pewaris keturunan keluarga Trinyth, keluarga yang begitu kental mengalir darah Spiritualist, keselamatan Faranell jadi prioritas utama.

Dulu, Gadis itu sangat ga menyukai hal tersebut. Dia sangat merasa ga bebas, ga nyaman diikuti ke mana-mana. Namun perlahan, perasaan itu terkikis. Dia mulai bisa menerima keberadaan Gann. Ditambah lagi, Gann selalu posisikan dirinya sebagai sahabat, bukan bodyguard.

Kini, hubungan mereka sangat dekat. Bahkan beberapa kamerad mengira mereka sepasang kekasih. Benar atau enggak, mereka sendiri ga tau. Faranell ga berani berspekulasi akan berakhir di mana hubungan ini, pasalnya, dia udah merasa cukup senang Gann selalu ada di sisinya. Entah apa yang dirasakan Si Grazier lelaki, gadis itu gelisah untuk sekedar bertanya.

Kadang, ada perasaan ‘takut untuk mencintai’ di hati gadis itu. Mengingat, Cora adalah bangsa yang terikat 1001 peraturan Decem. Salah satunya, larangan menikah bagi Bangsa Cora.

Tubuh Cora adalah Kuil Decem itu sendiri. Didedikasikan bukan untuk sesama, melainkan untuk Decem. Itulah kenapa, semua Prajurit Cora tampak sempurna secara fisik. Mereka selalu merawatnya, sebagai bentuk ketaatan pada Sang Dewa.

Cora cuma diizinkan menikah untuk tujuan menghasilkan keturunan. Begitu tujuan itu terlaksana, kedua pasangan menikah tersebut harus bercerai, berpisah.

Hal itu yang kadang suka ganggu pikiran Faranell. “Kenapa harus dipersatukan, kalo cuma sementara? Apa gunanya mencintai, kalo ga bisa bersama?”

Pertanyaan batin yang sampe sekarang, ga berani diperdebatkan lebih jauh. Soalnya, dia sendiri seorang yang taat.

Selain perlindungan dari Gann, ga ada perlakuan khusus yang didapat oleh Faranell. Menyandang nama Trinyth, ga semerta-merta bikin dia ‘spesial’. Dia tetap jalani pelatihan layaknya prajurit Cora lain. Tapi emang udah turunan, dia tumbuh jadi seorang Grazier dengan bakat natural. Mampu membuat Isis mengakuinya sebagai Master di ulang tahun yang ke-9.

Kemampuan menguasai Force elemennya juga ga main-main. Ga cuma mempelajari semua Force dalam waktu relatif singkat, tapi juga kadang berkreasi ciptakan mantra baru. Bikin Gann suka penasaran, “Apa iya, dia masih butuh pengawasanku?”

Kejadian di Ether adalah jawabannya. Bakat Faranell ga cukup buat hindarkan dia dari bahaya. Biarpun kuat dalam hal Spiritual, tapi gadis itu benar-benar mati total dari segi pertarungan jarak dekat. Dan pengalaman tempur Faranell masih teramat minim. Bikin dia nyaris tewas ditusuk Bellato berambut kelabu. Bellato yang sanggup membunuh skuad leader mereka juga.

Accretia dan Bellato… mereka pun punya ‘monster-monster’ mengerikan. Mungkin lebih mengerikan dari ‘monster’ di pihak Cora. Kalo ingat hal itu, bikin Gann mengertakkan gigi dan kepalkan tangan sekuat tenaga.

“Pap skipap pap… cuap cuap~” Suara senandung dari dalam kamar mandi menyapu bersih pikiran itu dari kepala Grazier lelaki. Alasan lain Gann nyuruh Faranell mandi, karena gadis itu selalu bernyanyi pas membasuh tubuhnya.

Suara Faranell yang pas ngomong terdengar biasa aja, cenderung nyaring dan ga terkontrol, berubah 180° kalo lagi di kamar mandi. Gann menutup matanya, menanti senandung lagu yang sebentar lagi akan terdengar.

“World is breaking down onto my back, You just have to go cause you don’t know wack. So all you fill the streets, it’s appealing to see. You won’t get out of the country cause you’re bad and free. You’ve got a new horizon and it’s ephemeral style. In this Melancholy World, where we never smile. All i wanna hear is a message beep. My dreams, you’ve got to kiss me cause i don’t get sleep, no~”

Di dalam kamar mandi, Faranell berdansa seraya meratakan busa sabun ke seluruh tubuh berkulit putihnya. Sesekali meniup busa tersisa di telapak tangan. Begitu riang dan santai, menikmati waktu pribadi. Disinilah dia bisa sesuka hati bernyanyi tanpa merasa ganggu orang lain, tanpa harus takut dibilang cepreng. Dia ga sadar, suaranya pas lagi nyanyi bak bidadari.

Windmill, windmill on the land. Turns forever hand in hand. Take it all in on your stride. It is sticking, falling down. Love forever, love is free. Let’s turn forever, you and me. Windmill, windmill on the land. Is everybody in?~”

Selesai sabunan, dia menuang shampo langsung dari botol ke ubun-ubun. Abis itu baru mengusap sampe berbusa dan diratakan ke seluruh rambut. Ga lupa sesekali jemarinya pijit-pijit kulit kepala. Cara shampoan yang aneh, emang.

Di luar, Gann masih berdiri ga bergerak sambil terpejam. Tersenyum dalam moment sunyi mengagumi keindahan suara yang baru aja terlantun. Diiringi suara rintik air pancuran sebagai latar, saling bertaut di tengah harmoni kesempurnaan.

Sayang, cuma saat kaya gini aja Gann bisa dengar idolanya beraksi. Melodi indah itu cuma terdengar saat gadis itu mandi. Sebab, Faranell selalu menolak kalo disuruh nyanyi depan umum. Takut bikin gendang telinga orang pecah, katanya. Lagu-lagu dari mulut Faranell murni ciptaannya sendiri. Walau, dia mengarang lirik tanpa sadar. Tergantung suasana hatinya.

“Pamparara.. pamrampampam.. pampara pam.. pam pam~”

Cinta selamanya, cinta itu bebas..” Selagi asik pijat kulit kepala, dia terpikir kata-kata yang dirangkai tanpa sadar. “Bebas, ga terikat, ga terbatas…” Entah kenapa, di otaknya tergambar wajah Bellato muda tersenyum lebar sambil ngacungin jempol. Teringat lagi semua hal yang udah mereka lalui di Ether. “Berputar selamanya, kamu dan aku…” Sontak, seluruh kulit wajah gadis itu memerah kaya diguyur air panas. Dia langsung tertunduk. Air dingin pancuran yang mengguyur kulit kepalanya, langsung berubah jadi uap.

Keliatan seolah ubun-ubunnya berasap. Tempo detak jantungnya perlahan naik. Berdiam di bawah pancuran ga cukup buat dinginkan panas di balik kulit putih halus itu.

OOOH DECEEEM YANG MULIAAA! Mohon ampuuun! Bisa-bisanya Hamba terpikir hal memalukan begini!” Faranell berteriak dalam hati. Titik-titik air masih setia mengalir lewati lekuk tubuh super aduhai. “Hamba yakin akan segala yang Engkau tentukan, wahai Decem. Semua yang terjadi bukanlah kebetulan, melainkan rencana-Mu atasku.” Grazier berambut ungu itu bingung gimana jelaskan perasaan di hatinya dengan tutur kata. Karena baru kali ini dia merasakan bimbang, tapi bimbang yang menyenangkan sampe bikin dia tersenyum. Pas sadar kalo bibirnya menyungging senyum, kepala bermahkota ungu tersebut langsung geleng-geleng kencang. “Enggak! Enggak! Enggak! Dia itu Bellato! Musuh!”

Teringat waktu si Bellato menodongkan pedang ke lehernya, mereka bertatap mata dalam ketidak-pastian. Lalu saat Faranell merapal Hell Bless pada Bellato tersebut sampe bikin dia meronta di ambang kematian. Betapa kaget Faranell, ketika mereka terjebak di kediaman Aethelflaud, Bellato berambut kelabu bersikap begitu santai. Ga sedikitpun menyimpan dendam, atau berniat balas perbuatan yang hampir membunuhnya. Awalnya, dia gelisah. Menerka-nerka reaksi apa yang akan diberi Bellato tersebut. Lucu juga kalo diingat lagi, mereka nyaris saling bunuh di pertemuan awal.

Namun ujung-ujungnya karena dialah Faranell masih bernapas hari ini. Berkat dia yang ga jadi menusuk lehernya, berkat dia yang lompat menerjang spadona Punisher, dan menyelamatkan gadis Corite itu ketika detak jantungnya melemah. Moment itu ga bisa disingkirkan dari benaknya.

Terutama saat jemari Bellato menembus lapisan otot Faranell, dan tepat sesaat sebelum kesadarannya hilang, Faranell merasakan sensasi yang begitu unik. Seolah jantungnya terhubung langsung dengan jantung Bellato itu. Impuls dari detak jantung Ranger Bellato yang begitu cepat menjalar ke seluruh urat nadi, mengalir di antara sel darah, hangatkan tubuh, dan lancarkan sistem pernapasan Si Corite.

Ketika itu, untuk pertama kalinya, Faranell merasa kuat. Merasa dipeluk oleh hangat yang tentramkan hati. “Tapi Kenapa, Decem? Kenapa Engkau mempertemukanku dengan Bellato yang begitu… berbeda!? Sungguh aku tiada paham.”

Faranell keluar dari kamar mandi udah berpakaian lengkap Spiritualist. Karena dia ga bisa ganti baju di kamar, ada Gann di sana. Rambut ungu panjang acak-acakan udah ga keliatan lagi, kini terkuncir rapih bergaya kuncir kuda ciri khasnya. Sinar Matahari memantul di permukaan rambut, makin menambah kesan halus bak sutra.

“Udah siap?” Tanya Grazier lelaki yang lagi duduk di pinggiran kasur gadis itu.

“Yukk,” Balas Faranell singkat.

.

.

Bellato’s HQ, Kantor Divisi Sains dan Teknologi

Gw menutup pintu ruangan Maximus Khortenio, setelah Dzofi dan gw melangkah keluar. Ekspresi bingung masih lekat di muka, menebak-nebak makna dua pertanyaan Maximus itu.

“Haaahh. Kali ini 30.000/ jam. Ugh…” Di sebelah gw, Dzofi menggerutu. Harusnya gw bilang sesuatu, tapi pikiran gw masih teralihkan. Jadi gw diam aja. “Padahal kan ini gegara lu, kenapa gw jadi kebawa juga yak? Asem.” Kami masih terus jalan pelan. Gw sama sekali ga gubris omongan pemuda itu. “Oi, dengar ga sih, gw ngomong?”

“Apa ya, maksud pertanyaan itu?” Alih-alih jawab, gw malah balik nanya, tatapan masih lurus kedepan.

“Ooo… lu mikirin itu toh dari tadi.” Armor Rider itu menyimpulkan. “Maximus Khortenio selalu nanya pertanyaan yang pertama ke semua anggota Divisi Sains dan Teknologi. Tapi, sampe sekarang ga ada yang tau maksud dibaliknya. Kami cuma bisa berspekulasi. Ada yang bilang psikotes menentukan tingkat kegilaan, ada yang bilang cuma iseng, macam-macam.” Lanjut Dzofi panjang lebar. “Untuk pertanyaan kedua, ini pertama kalinya gw dengar dia nanya gitu. Jadi, ga tau deh.”

Oke, inti yang gw tangkap dari omongan panjang barusan; dia ga tau makna kedua pertanyaan tersebut. Siip.

“Jujur, gw kaget lho dengar jawaban lu yang pertama.” Ujarnya.

“Kenapa gitu?” Keliatan sih, dari ekspresinya tadi.

“Ga ada seorang pun yang pernah jawab kaya gitu, bro. Biasanya kita-kita pilih salah satu.”

“Harusnya sih, kalo akal sehat lu jalan … ga ada masalah.” Balas gw enteng.

“Entah ya, gw rasa itu lebih dari sekedar- woi! Maksud looo? akal gw ga sehat, gitu!?”

“Gw ga bilang gitu lho ya,” apaan dah ini anak, sewot sendiri karena salah menginterpretasikan kali… mat.

Tau-tau, gw merasa harus balik badan dan koreksi jawaban atas pertanyaan kedua. Ya udah, tanpa basa-basi gw putar balik dan jalan cepat.

“Eh, mau ngapain lagi lu?!” Seru Dzofi.

Serta merta, gw buka pintu ruang kerja Maximus Khortenio, hampir kayak orang dobrak. “Ga merasakan sakit!” Kalimat gw keluar agak tinggi, bikin Maximus Khortenio sedikit kaget lalu menyipit ke gw. “Oke saya tau, saya bilang ‘menari di tengah hujan’ tadi. Tapi, dari hati yang paling dalam, jawaban paling jujur adalah ‘ga merasakan sakit’.” Mata kami saling beradu. Jadi agak takut liat luka bakar di mata kirinya itu, dan gw menelan ludah sendiri.

“Terima kasih atas kejujuranmu, Ranger.” Ucapnya singkat. Huff, untung aja. Kalem gitu doi.

“Saya… mohon diri, Maximus.” Kembali gw tutup pintu itu. “Huuuuffff~” Entah kenapa abis bilang itu, terasa lega. Beban di dada terasa sedikit keangkat.

“Jawab pertanyaan saya, Ranger.” Pikiran gw berusaha ingat lagi kejadian tadi. “Kamu lagi di perjalanan pulang, di tengah malam naik mobil. Di tengah jalan, Kamu bertemu 3 orang yang butuh tumpangan. Yang pertama, seorang nenek tua sekarat, akan mati kalo ga secepatnya diantar ke rumah sakit.” Gw coba dengarkan seksama, setengah terancam juga sih, soalnya dia galak banget. “Kedua, seorang pria bugar. Kamu berhutang nyawa pada pria ini, dan dia perlu menuju ke suatu tempat.” Oke, soal cerita. Dan si Boss belum menyebutkan pertanyaannya. “Ketiga, gadis impianmu. Yang sangat kamu idamkan untuk jadi pendamping hidup sampe akhir hayat.” Setelah itu, barulah bertanya, “Kalo kamu cuma bisa pilih satu diantara mereka untuk diberi tumpangan, apa yang akan kamu lakukan, dan kenapa?”

Bola mata gw melirik ke arah atas kanan. Alis terangkat sebelah dan memutar otak mengolah informasi yang baru gw terima. Dalam hati, gw bertanya, “Ini pertanyaan jebakan bukan, ya?”

Agak lama gw mikir, kedua orang lain di ruangan ini menanti dengan sabar jawaban dari gw, “Hmm, saya akan… turun. Kasih kunci mobil pada pria kedua, lalu minta dia untuk bawa nenek sekarat itu ke rumah sakit terdekat sebelum ia menuju tempat tujuan. Sementara, saya… akan menunggu bus atau… moda transportasi umum lainnya bersama wanita impian saya di tempat itu.”

Semua sampe tujuan, semua selamat, dan gw bisa habiskan waktu lebih lama bersama gadis impian gw di perjalanan. Semua bahagia.

Ekspresi mereka langsung tercengang. Kedua pasang mata melebar dengar jawaban gw. Wew salah ngomong lagi ya? Tatapan gw bingung, tertuju pada Dzofi, terus pindah ke Khortenio, pindah lagi ke Dzofi, balik ke Khortenio.

“Kenapa?” Khortenio bertanya lagi. “Kenapa ga pilih salah satu?” Glekk… intonasinya tertahan, kaya tahan emosi mendidih.

Akh! Jadi tertekan dan panik gini gw. Kalimat agak susah keluar dari mulut. “Ahm.. yaah… Anda nanya… ‘Apa yang akan saya lakukan’, bu-bukan ‘siapa yang akan saya pilih’.” Tangan kanan gw garuk-garuk kepala bagian kanan juga. “Saya kira… itulah yang akan saya lakukan, Maximus.”

Dahi Dzofi bergerut ketika dia memandang gw. Bibirnya ga menutup, pertanda heran.

“… Okelah.” Muka si Boss masih keliatan geram. Entah emang lagi marah, atau konstruksi mukanya emang nekuk mulu. “Pertanyaan kedua.” Huh..? Masih lanjut?

“Mana yang paling kamu suka: naik kereta, menari di tengah ujan, atau ga merasakan sakit?”

Dan biarpun udah ingat-ingat, tetap aja gw ga paham maksud dari pertanyaan Maximus Khortenio. Ga berani nanya ah, takut disembur lagi.

“Ngapain lu tadi balik lagi?” Dzofi yang masih menunggu, bertanya.

“Ada yang ketinggalan. Hahaha.” Jawab gw, biar ga ribet. Untungnya dia ga nanya lebih jauh.

Kami berjalan balik ke ruang kerja si Armor Rider yang udah ga beres. Sesampenya di sana, disambut beberapa orang yang kami kenal.

“Dzofi!” Gadis berambut putih tadi, yang pertama menghampiri kami. “Lama banget sih, diapain aja di dalam?” Tanyanya cemas.

“Paling digibas abis ama Maximus Khortenio. Hahaha.” Kata seorang wanita lain yang ga gw kenal. “Lagian ga ada kapoknya sih, eksperimen aneh-aneh.”

“Itu bukan salahku, Kak Ulfa. Ugh.” Untuk kesekian kali, Dzofi menggerutu.

“Kalo gw liat dari muka lu, pasti lu disuruh ganti rugi,” Infiltrator berambut coklat pendek mendekati gw dari belakang. Kok dia bisa tau cuma dari muka gw, ya?

“Kok lu tau?” Tanya gw.

“Akal sehat, kuya.” Sesosok Hidden Soldier bertubuh kekar, tau-tau menyambar.

“Diam lu.” Liat gw kesal, mereka cuma menahan ketawa. Teman macam apa kalian? “Bukannya lu lagi bertugas, kasih orientasi ke kadet baru? Ngapain masih di mari?”

“Suka-suka gw lah, kenapa lu yang sensi?” Gggrrr… Gw bejeg juga lu lama-lama!

“Ah.. Kak Ulfa, Sabilla, kenalkan. Ini biang kerok ledakan tadi.” Ujar Dzofi. I-iya, iya. Semua salah gw! Ga perlu ditambakan di tiap kalimat bisa, kan?

“Hidden Soldier, Royal Ulfa Hardji dari Divisi pertama Artileri. Hahaha, pasti kamu sama bermasalahnya ya, kayak sepupuku ini.” Dia bilang. Oh, sepupuan. Wanita ini lumayan cakep menurut gw. Tapi kenapa mereka ga ada mirip-miripnya? Ah ya, sepupu.

“Infiltrator, Captain Sabilla Roseblood dari Divisi ke-9 Artileri.” Wauw. Perempuan yang berambut putih satu ini imuuuuuut banget. Luthuuuuu. Matanya biru dan jernih, gw sampe bisa liat refleksi diri gw di pupilnya.

Biarpun dia agak memandang gw dengan tatapan kesal gegara bikin temannya dapat hukuman padahal ga bersalah, tapi itu ga mengurangi aura imut gadis ini.

“Lu… cakep banget.” Dafak!? Ga tau apa penyebabnya, gw mendadak bilang gitu pada gadis yang bernama Sabilla. Tangan gw masih menjabat erat tangan mungil alusnya.

Gw terpaku. Terhipnotis tatapan iris biru muda yang sanggup menembus jauh ke dalam jiwa.

“Ha-hah?” Responnya. Gw yakin, dia bingung setengah mampus. Dan fix, gw dianggap aneh. Diantara milyaran kata di kamus besar bahasa Bellato, bisa-bisanya yang keluar 3 kata barusan. Pas baru kenalan pula! Dzofi dan sepupunya cengo memandang kita.

Pas sadar ada yang aneh, langsung gw gelagapan. “E-eh.. uhh.. eheem, gw ga… maksud… kata-kata gw, ga maksud gitu…”

“Hee?”

“Uhmm, gak, gak. Bukan maksud buat bilang lu ga cakep. Ta- ehm, lu cakep banget, uhuk … tapi, aaarggh!” Ujung-ujungnya frustasi sendiri menjelaskan maksud perkataan gw.

“Kok lu ga pernah bilang gitu sih ke gw?” Kali ini, giliran Elka bertanya.

“Okesip! Kenalkan nih, teman-teman gw. Elka, Alecto … ini Sabilla dan Ulfa. Sabilla, Ulfa … ini Elka dan Alecto.” Sebisa mungkin gw skip permasalahan barusan. Udah ga tau mau jawab apaan kalo ada yang nanya lagi.

Mereka saling bersalaman. Ga ada keanehan terjadi, sampe saat Elka dan Sabilla saling berjabat tangan.

“Ini lho, Ka. Teman yang gw ceritakan tadi. Yang punya kemampuan paten menghancurkan target jarak jauh.” Kata Dzofi, sembari memegang kedua bahu Sabilla dari belakang.

“A-apasih. Lebay deh.” Jawab gadis berambut putih itu malu-malu. “Salam kenal ya. Ga nyangka bisa kenalan dngan Elka di sini.” Dia tersenyum polos. Gyyaaa… Lucu bangeeet.

“Iya, salam kenal juga.” Raut wajah Elka berubah. Membalas senyum Sabilla masih dengan senyuman, tapi bukan senyum cerah, melainkan senyum saat dia tertarik pada suatu tantangan. Ga kayak pas dia kenalan dengan Dzofi atau sepupunya.

Mata coklatnya menajam, dan terasa tekanan force tukang jagalnya sedikit merembes keluar. Perubahan itu teramat kecil. Dan Elka paling pintar ‘memalsukan’ gelagat supaya ga ada seorang pun yang bisa ‘baca’ emosinya… selain gw.

Hasil tumbuh bersama belasan tahun, jadi hapal.

Ini nih, yang gw maksud ‘parameter menentukan level berbahaya seseorang’ ala Elka Nordo. Gw kembali melirik Sabilla, kali ini menyelidik. Bukan tatapan mau muntah pelangi kaya tadi.

Kalo Elka sampe kaya gitu, berarti ini anak punya kemampuan diatas hebat. Wajar sih, anggota Divisi Artileri. Gw raih lengan Elka dan tarik sedikit ke belakang, pas mereka bertiga ketawa-tawa dengan Alecto. “Itu anak … berbahaya?” Bisik gw.

“Mematikan.” Jawab Elka singkat. Seringai muncul di wajahnya. We-wew. Serius? Selama ini, gw tau ada 4 level yang ditetapkan parameter Elka: Biasa aja, lumayan, berbahaya, mematikan.

Dan gw sedikit ga percaya, perempuan imut nyerempet polos kaya Sabilla ada di level ‘mematikan’.

“Lu yakin, bukan Royal Ulfa yang lu maksud? Dia dari Divisi 1 Artileri, lho.” Infiltrator itu menggeleng pelan.

“Royal Ulfa terampil, tapi gadis Sabilla itu … sesuatu yang lain.”

Ga nyangka, perempuan se-innocent Sabilla bisa bikin insting hewan buas Elka berdesir. Jadi ingat Meinhalom, Si Wizard berambut pink yang kaya punya dua kepribadian bertolak belakang.

“Eh, Elka… apa kamu ikut partisipasi di festival olahraga nanti?” Ga sadar lagi diomongin, Sabilla menegur Elka.

“Ah, enggak deh kayaknya.” Jawab perempuan bermata coklat ini, berlaga kalem.

“Yaaah, kenapa?” Nada kekecewaan terlontar dari mulut Dzofi. “Harusnya lu bertiga ikutan aja, rame-ramein!” Lanjutnya menyarankan.

“Gw sih pasti ikut. Kalo mereka mah lebih senang mojok berduaan di tempat sepi pas yang lain sibuk terjebak euforia festival.” Kata si bedebah Alecto, meledek kami dengan ucapan barusan.

“Mojok pala lu rengat!” Bantah gw kesal gegara dia ngomong aneh-aneh. “Gw cuma ga tertarik aja!”

“Wah masih kecil jangan suka mojok berdua, orang ketiganya setan nanti. Hahaha.” Royal Ulfa jadi ikut-ikutan. Sama sekali ga dengarkan penjelasan gw. Gggrrr!

Festival Olahraga Tahunan Federasi, diadakan setaun sekali sebagai ajang kompetisi sesama Patriot Bellato, sekaligus penyegarn. Tujuannya? Ya bersenang-senang. Tapi tetap junjung tinggi persaingan secara sehat. Lepas penat dan ketegangan dari pertempuran yang kerap pecah di Novus. Juga supaya ikatan kami, sesama kamerad makin erat satu sama lain serta menumbuhkan rasa persatuan.

Gw sendiri ga pernah ikut ambil bagian. Soalnya, itu kesempatan buat libur dan santai seharian. Sebenarnya gw bukan ‘mojok’, tapi jauhi keramaian. Gw ga suka tempat yang terlalu padat. Bising, pengap, sesak, bikin pusing.

Elka juga belum pernah daftar jadi peserta. Pas gw tanya kenapa, dia bilang, “Gw ikut kalo lu juga ikut.” Jeh, kebiasaan.

BEEP.. BEEP.. BEEP.. BEEP..

Tiba-tiba, Log misi Baydzofi berbunyi. “Woot.. pesan masuk.” Langsung aja dicek. “Dari Maximus Khortenio.” Beberapa saat, dia baca. Ekspresinya berubah seketika. Pesan penting kayanya.

Kira-kira apa isinya?

“Kalo salah satu diantara kalian berdua -Kamu atau Ranger itu- menang di festival minggu depan, Saya akan cabut hukuman barusan. Plus, biaya ganti rugi yang harus dibayar Ranger itu, biar saya yang tanggung.” Seolah tau gw penasaran, dia baca pesan tersebut agak keras.

“AYO DAFTAR, COK! SEBELUM DEADLINE!” Dengar kalimat ‘biaya ganti rugi saya yang nanggung’, otomatis jiwa gw terbakar api tekad abadi yang ga akan padam selama raga masih sanggup melawan, “UWOOOHH!”

“Kawan kalian gampang banget dibaca ya…” Ujar Royal Ulfa, memandang gw tanpa ekspresi.

Sama hal dengan Sabilla, “Berubah haluan demi uang…”

“Maklum, otaknya masih tahap sinkronisasi,” Alecto menimpali.

Sedangkan Elka cuma tersenyum kecil sambil hela napas.

Maaf kawan, ga bermaksud jadi materialistis, tapi saat ini dompet gw lagi hadapi situasi hidup mati. Jadi, gw harus manfaatkan tiap kesempatan yang ada buat perpanjang napas finansial gw.

.

.

Bellato’s HQ, Ruang Komandan Divisi Sains dan Teknologi…

PIIP…

Khortenio masih belum beranjak dari tempat duduk. Ia mematikan log misi seusai kirim pesan ke salah satu anak didiknya, lalu diletakan di atas meja. Tangan kanan Mental Smith itu meraih gelas yang berisi air hangat. Dengan perlahan, dia minum sedikit isi dari gelas tersebut. “Aahh..”

Ga banyak emang, tapi cukup untuk melepas dahaga abis teriak-teriak pada dua pemuda yang berbuat masalah di kantornya.

Matanya ga lepas dari air dalam gelas itu. Transparan, dan berubah mengikuti wadah bila pria paruh baya menggoyang, memutar, atau mengguncang pelan gelas di tangan kanan.

Untuk beberapa saat, dia tersenyum. Layaknya pria normal yang ga menyeramkan. Penyebabnya karena jawaban dari mulut Ranger bermata ungu atas pertanyaan yang dia tanyakan.

“Pfffft…” Lama-lama, Khortenio jadi menahan ketawa. “Actassi, Qahazari. Kombinasi kalian benar-benar deh. Kalian harus liat anak itu, dia tumbuh jadi anak aneh.”

“Countless times we slaughter our enemies without even think. Without even care that they’re actually not any different from us. They have people who love and waiting for them to come home. Though as fellow fighters, we already understand clearly how that feels. But why…? We keep on doing it over and over again? Do we have to lose everything, just to stop?” – Faranell (Ch. 18)


CHAPTER 21 END.

Next Chapter > Read Chapter 22:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-22/

Previous Chapter > Read Chapter 20:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-20/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Catatan Author:
Original lyrics by Gorillaz – Feels Good. Inc. Great song, Beautiful lyrics. Sedikit saya modifikasi supaya cocok ama karakter dan suasana hati Faranell. Suara Faranell nyanyi di kepala saya, bisa search u-tub: Celia Pavey – Feels Good Inc Cover (gw jatuh cinta pada detik pertama pas denger suaranya!)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *