LAKE CHAPTER 24 – IN THE EYES OF A CORITE

Lake
Penulis: Mie Rebus


-Seminggu lalu-

Cora’s Headquarter, Depan ruang Archon

“Kyaaa!”

Faranell ga pernah menyangka, satu tamparan rasanya akan begitu sakit. Bukan sakit secara fisik, melainkan pedih di batin. Ya, satu tamparan dari seorang teman membuat gadis berambut ungu itu terjerembab di atas lantai dingin markas Cora, di depan ruang Archon, tepat setelah mereka bertiga meninggalkan ruangan pemegang tongkat Komando tertinggi Aliansi Suci.

“Anclaime Raha! Apa yang-” Gann berseru pada seorang Adventurer wanita.

“Diam di tempat, Feawen. Ini bukan urusanmu.” Ujar Raha dingin, tapi tetap terkesan mengancam sambil mengarahkan telunjuk pada Gannza. “Pengkhianat ini pantas menerimanya.” Ia melanjutkan, kali ini menatap tajam pada Faranell.

“…” Syok bukan main terasa, dengar kalimat itu terucap dari teman dekat selama ini. Masih belum berdiri, mata kuning Faranell mulai berair, Grazier itu buang muka, lebih memilih menatap lantai ketimbang mata lawan bicara.

Beberapa kadet militer dan sipil yang berada ga jauh dari situ, melihat keheranan. Penasaran, ada apa gerangan.

“Dengan segala hormat, ini Faranell yang kita bicarakan… sahabat anda!” Segera, Grazier lelaki itu ambil posisi diantara Faranell dan Raha. “Ga sepatutnya anda-“

“Saat kamu kehilangan orang yang kamu cintai, apa masih bisa kamu bicara kaya gitu?” Lidah Gann terasa beku ditembak begitu. Karena dia emang ga mengerti rasanya kehilangan. Dan dia ga pandai membaca perasaan orang lain. “Terlebih… dia bukannya bunuh Bellato itu, malah berteman.”

“Tapi…” Pemuda Grazier itu coba bantah, namun ga ada kata-kata yang dianggap pas buat menimpali.

“Ada apa ini?” Seorang Warlock berparas tampan keluar dari ruangan, menyela pembicaraan. Pria itu punya rambut perak panjang sampe punggungnya, dan halus mirip wanita. Bagian depan rambut disisir rapih belakang, mengekspos dahi begitu putih dilengkapi tanda berkat Decem. Dagunya membentuk sudut tajam, garis wajah tegas, keliatan berwibawa. Aura lembut terasa banget di sekitarnya. Jubah kebesaran Archon Aliansi Suci melindungi punggung. “Raha! Jelaskan apa maksud semua ini!” Kedua mata berwarna pucat menatap Raha, selepas liat Faranell terjatuh di lantai.

Dialah Chamtalion Ivkor Karkharoz. Archon Corite.

“Saya hanya beri… pelajaran.” Jawab Adventurer ketus.

“Kita udah bahas tadi, kan? kejadian ini masih butuh penyelidikan lebih lanjut. Dan bila yang dibilang Faranell benar, maka tindakan yang dilakukannya tepat.”

“Tapi, Sada tewas di tangan Bellato kotor itu! Sampe kapanpun saya ga bisa maafkan perbuatannya, demi Decem, ga bisa!” Raha membantah keras perkataan Archonnya sendiri, lalu liat Faranell dengan tatapan hina. “Dan dia… dia… Uh!” Tangannya terkepal, pengen melayangkan satu pukulan, namun niat itu diurungkan.

“Dia ga sekotor yang kamu pikir! Di… dia b-beda!” Kata Faranell, mata masih tetep tertuju ke lantai, sambil memegang pipi bekas tamparan Raha. “D-dia… ga pernah bermaksud bunuh Anclaime Sada.” Lanjut gadis itu, lirih terdengar.

“Faranell…” Gann membisikkan nama gadis itu, mengiba, namun ga tau harus gimana selain berdiri di sampingnya.

“Liat itu, Chamtalion! Bisa-bisanya dia membela bangsa lain! Apa pantas?!” Kalimat terdengar lantang dari mulut Adventurer, campur aduk antara senang, sedih dan marah. “Ditambah, ga keliatan sedikit penyesalan pun… TIM KAMI NYARIS GA BERSISA!” Senang karena Faranell selamat dari bencana itu, sedih karena kehilangan kekasih dan hampir seluruh tim, sekaligus marah abis tau fakta sahabatnya malah bersikap ramah terhadap Bellato yang membunuh Sada. “… Kelakuannya bikin saya muak!”

Semua keributan ini terjadi setelah Faranell dipanggil Ivkor untuk jelaskan apa yang terjadi selama 3 bulan dia hilang. Tanpa ragu ceritakan semua, termasuk pertemuannya dengan dua ‘teman baru’. Begitu dengar bagian ini, raut wajah Raha, yang juga ada di sana, mendadak berubah. Faranell belum sadar, dan terus aja lanjutkan. Di lain pihak, Ivkor mendengarkan dengan tenang sampe selesai.

Fakta tentang distorsi waktu, tentu sangat mengejutkan bagi Grazier perempuan itu. Dia ga pernah menyangka, udah pergi begitu lama. Tapi masalah itu bahkan bukan lagi jadi hal utama di benaknya, usai menerima amarah Raha mentah-mentah.

Belum lagi fakta lain yang bilang kalo timnya nyaris dibantai habis oleh 5 sosok pendek misterius, yang diduga Bellato. Udah pasti menanam rasa ngeri dalam-dalam saat membayangkan apa yang terjadi kala dia ga di sana.

“Bellato itu, seorang Grymnystre.” Ivkor coba menenangkan prajuritnya yang lagi kalap. “Dan kamu tau kan, bangsa kita berutang budi pada mereka.”

“Cih… masa itu udah lama berlalu. Mereka udah ga ada! Biar gimanapun, Bellato tetap aja Bellato. Kafir ga berperasaan! Lagipula, ga ada bukti pasti bahwa Bellato berambut kelabu itu adalah Grymnystre!”

Faranell dan Gann masih terdiam, sama sekali ga berani menanggapi perdebatan dua senior mereka.

Kamu salah. Dia punya perasaan.” Batin perempuan berambut ungu berkata. Air mata Faranell pelan tapi pasti, menetes. Coba membendung isak, namun gagal. Tubuhnya mulai bergetar. Gann berlutut dan mengusap punggungnya, berusaha menenangkan.

“Makanya saya bilang, masih butuh penyelidikan.” Balas Ivkor kalem. “Setau saya, Grymnystre terakhir, Actassi, tewas 15 taun lalu.” Jelasnya kemudian, begitu berwibawa. “Bukan berarti dia ga meninggalkan keturunan. Dan saya takut, ini semua ada kaitan dengan hilangnya ‘Warlock itu’.”

Tanpa respon sedikit pun, Raha berbalik dan beranjak pergi. Sebelum melangkah lebih jauh, dia berhenti sejenak dan menyindir, “Kamu harus berhenti melindungi dia, Gann. Udah waktunya dia belajar mandiri. Kalo terus manja gitu, bisa jadi dia giliran berikutnya.”

Yang disindir masih ga bergeming, cuma bisa sesegukan. Bahkan untuk berdiri aja masih enggan, biarpun Raha telah berlalu.

“Kenapa…? Kenapa Raha jahat padaku?” Dia bertanya, tapi ga ditujukan buat siapa-siapa. Ga berharap jawaban, karena sedikit banyak, Grazier berambut ungu udah tau penyebabnya. “Wahai Decem, apa benar ini kehendak-Mu?”

Tanpa diduga, Archon Ivkor ikut berlutut, posisikan dirinya di depan Grazier perempuan. Gann aja sampe dibuat tercengang. “Liat saya, Grazier.” Katanya.

Perlahan, mata kuning Faranell beralih dari lantai, kini menatap lesu wajah Ivkor, yang memiliki mimik jernih. Masih tersisa rasa sakit itu, biarpun jelas terliat refleksi pupil pucat di mata kuningnya.

“Wajah semanis ini, ga pantas dihias ekspresi putus asa. ” Warlock itu tersenyum, seraya mengusap setitik air mata yang tersisa di sudut kelopak mata Faranell pake jempol tangan kanannya, membuat gadis itu tersipu dan malah menunduk. Kemudian Ivkor berdiri, menjulurkan tangan. “Angkat dagumu dan berdiri, Prajurit Decem.”

Merasa ga enak bila harus diamkan ajakan sopan dan bersahabat dari Archonnya, Faranell menyambut uluran tangan Ivkor, lalu bangkit berdiri. Tapi masih menundukkan muka, seolah malu memperlihatkan rupa manis yang sedang ternoda putus asa.

Dengan lembut, Ivkor menempatkan lipatan jari telunjuk di dagu Faranell, dan angkat sedikit agar mata mereka bertemu. “Decem lebih cinta senyuman kita, para Corite.”

Beberapa saat mata kuning itu menatap dalam mata Archonnya yang begitu yakin akan setiap ucapan. Kepala terlindung mahkota ungu ga berhenti mikir kata apa yang pas buat mempertanyakan kebimbangan batin.

“Ka-kalo,” Sepatah kata keluar dari bibir tipis merah muda, “kalo Decem… cinta senyuman, kenapa Dia menciptakan kesedihan, Chamtalion?” Kedua Spiritualist lelaki yang dengar pertanyaan itu terhenyak, “kalo… semua terjadi atas kehendak-Nya, kenapa Dia… ga bikin perang ini berhenti, agar para hamba-Nya ga lagi menumpahkan darah, dan air mata?” Setelah bertanya, Faranell memaksa bibirnya menyungging senyum, jejak air mata masih tersisa di pipi berlesung, penuh getir kepaitan di balik senyum itu bila harus mengingat kejadian Ether, cuma sebagian kecil dari perang di Novus.

Ya, kecil. Tapi sanggup meninggalkan dampak yang terlampau besar bagi beberapa individu. Dalam hal ini, Raha, tentu.

“Kamu…” Gann akhirnya buka suara, setelah diam cukup lama. Alisnya terangkat sebelah. “… apa yang udah dilakukan Si rambut kelabu padamu?” Merasa kalo teman wanitanya agak ‘berubah’.

Entah kenapa emosi Faranell tersulut, begitu dengar pertanyaan Gann. Ada suatu perasaan kesal meletup di dalam dada karena pertanyaan itu terkesan semua salah Si Bellato itu.

“Si rambut kelabu, punya nama.” Dia mengalihkan mata pada kawannya, geram, tajam, seolah mampu menyayat jiwa Grazier lelaki. “Namanya Lake.” Semakin dekat wajah Faranell, sampe hembusan napasnya bisa dirasa oleh Gann. “Dan dia membiarkan aku tetap bernapas!” Penegasan pada beberapa katanya emang disengaja, agar Gann paham, bahwa ga semua yang mereka tau tentang Bellato itu benar.

Faranell ga minta Gann untuk mengerti, tapi ga perlu ikut menyudutkan dia atau bahkan si rambut kelabu. Ga gampang untuk paham bangsa lain lebih jauh, ketika mereka berniat saling bunuh.

Ingatan Faranell sedikit membawa potongan gambar saat bersama mereka. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar bertemu mata. Saling duduk bersama, meski minim terucap kata, setidaknya mereka tau.. satu sama lain sedang membuka hati, dengan ekstra hati-hati, saat berada di tempat itu. Begitulah kira-kira yang dirasakan gadis berambut ungu.

Segera, Faranell balik badan dan lari sekuat tenaga, menjauh dari ruang Archon. Ninggalin Gann dan Ivkor yang ngeliat punggungnya makin jauh.

“Faranell, tunggu!” Seruan Gann sama sekali ga digubris. Dia berniat mengejar, namun dihadang lengan Ivkor.

“Untuk sekarang, biarkan dia sendiri dulu.” Ujar Sang Archon. “Beri ruang baginya buat berpikir.” Pandangannya masih terpaku ke arah wanita itu berlari, yang kini hampir ga keliatan.

“Kenapa anda ga jawab pertanyaannya satupun, Chamtalion?”

Sang Archon menengok ke sebelah kiri, dimana prajuritnya yang melontarkan pertanyaan itu berdiri. “Menurutmu, apa dia akan menerima gitu aja, jawaban dari saya?”

Gann nampak bingung, kedua bahu terangkat. “Entah.”

“Temanmu punya pikiran yang luar biasa,” Ivkor menepuk bahu Gann seraya mengumbar senyum penuh wibawa, “pikiran ga terbatas yang kini sedang memberontak untuk bebas, akibat terlalu lama dikekang. Idealis,” mata pucat Sang Archon terpejam, napas terhela, terus lanjutkan omongan, “ga akan menerima jawaban apapun, kecuali dia sendiri yang menemukan jawaban tersebut.”

“… Begitukah?” Tanya Gann memastikan. Ivkor mengangguk sedikit, membenarkan, “biarpun suka ga paham jalan pikirannya, tapi saya lumayan lama kenal dekat dengannya,” pernyataan itu sekali lagi membuat mata Ivkor teralih pada pemuda di sebelahnya, “dan kalo ada saat dimana dia paling butuh bantuan, inilah saatnya. Jadi apapun yang anda bilang, saya tetap akan mengejar dia. Kalo perlu… bantu dia berpikir,” lanjut Gannza pada Ivkor, “terima kasih, Chamtalion. Saya mohon diri.”

“Decem memberkati,” balas Ivkor singkat, sambil terus liat Gann berlari mengejar Faranell. “Jiwa-jiwa muda keras kepala.” Ivkor membatin, setelah menengahi pertikaian singkat barusan. “Oh Decem nan agung, lindungilah tunas-tunas harapan Cora, kemanapun mereka melangkah. Naungi mereka, bimbing mereka, jalan manapun yang mereka pilih.” Sepenggal doa terpanjat dalam hati Warlock berambut perak panjang tersebut.

“Huff.. huff.. kemana ya tu anak? Cepet banget!” Gumam Gann di tengah markas Cora, celingukan nyari jejak Faranell.

.

.

Faranell duduk termenung di pinggir sungai Dataran Spire, yang merupakan terusan dari Gua Pemburu menuju laut. Menatap refleksi diri sendiri di permukaan air, banyak hal yang terus berputar di kepala. Gadis ini punya begitu banyak pertanyaan, tapi ga tau kemana harus cari jawaban.

Biasanya, Decem adalah satu-satunya tempat mengadu bagi Faranell. Biarpun pembawaan gadis itu riang, dan suka bersosialisasi, dia ga bisa sembarangan buka perasaan. Karena dia merasa, yang dilakukan orang lain cuma menghakimi, tanpa berusaha untuk paham. Namun kali ini, biarpun udah curhat berkali-kali, dia masih ga tenang.

Ga tenang, karena Decem dirasa belum memberinya petunjuk atau hidayah, tentang hal yang terus membelit pikiran.

Banyak prajurit lalu lalang, sebagian menatapnya kagum, ada yang menatap penasaran, ga sedikit juga yang ga ambil pusing. Kenapa kagum? Karena dia Faranell Trinyth. Kalo yang udah-udah, dia akan tersenyum ramah pada mereka, tapi kali ini dia lagi ga pengen melakukan apa-apa.

Mungkin banyak orang berharap dilahirkan memiliki garis keturunan tertentu, agar mereka bisa mengubah eksistensi mereka yang ga seberapa, jadi dianggap berharga. Terlahir sebagai pewaris keluarga Spiritualist termahsyur semerta-merta ga bikin hidup lebih indah. Faranell ga pernah minta untuk dilahirkan sebagai seorang Trinyth. Satu hal yang paling diinginkan Corite itu, melihat berbagai realita dari perspektif berbeda, memahami perspektif tersebut tanpa harus kehilangan dirinya sendiri.

Pas lagi tenggelam di lautan pikiran, mendadak sakit kepala menyerang.

NYUT! NYUUT! NYUT!

“A-Aww, aww, aww!” Faranell langsung tutup mata dan megangin sisi kepala. Karena terasa banget tiap denyutnya timbulkan nyeri. Gadis itu berusaha menahan sakit, Pelan-pelan ia buka mata, begitu sakitnya dirasa reda. Pemandangan Dataran Spire masih belum berubah, cuma, ada yang aneh. Dia liat simbol-simbol aneh berlarian di depan mata, berwarna putih dan agak buram. Bentuknya aneh, kaya ular melingkar diatas pagar. Kebanyakan menyerupai m, n dan u. “E.. Eh? Apa.. itu?” Pikirannya bertanya.

Simbol-simbol itu bergerak agak cepat, menari ke sana kemari, tapi masih bisa ditangkap mata Faranell. Tetap aja, dia ga tau apa artinya.

Corite itu menutup mata lagi, dan geleng kepala kuat-kuat. “Halusinasi?” Gagal, simbol-simbol itu masih juga bergerak ga menentu di pemandangan. “Bukan?! Kalo gitu, apa?!

NYUT! NYUT! NYUT!

“Akkkhh!” Dia memekik, gegara sakitnya balik lagi. Tutup mata sekali lagi dan pegangi sisi kepala, kali ini lebih kerasa. Sejenak kemudian, sakitnya hilang.

Begitu dia buka mata lagi, simbol-simbol tadi udah hilang total, meninggalkan Faranell dalam keadaan bingung dan bertanya-tanya, apa yang dia alami? Kenapa bisa begitu? Kemana simbol-simbol barusan hilang? Baru kali ini dia mengalami hal seperti barusan.

Setitik dingin terasa di pipi, bikin dia tersentak. Begitu tengok kanan, Gann udah di sana. Bawa dua es krim coklat dalam kemasan gelas plastik di kedua tangan. “Kamu ga apa-apa?”

“… Kalo kamu bermaksud sogok aku pake es krim, percuma! Kali ini ga akan berhasil!” Ambek Faranell sembari buang muka, masih sedikit marah.

“Siapa bilang? Dua-duanya buat kumakan sendiri.” Balas Gann enteng, meledek. Beberapa saat kemudian, dia liat mata Faranell melirik gelas eskrim dengan hati-hati. Sok-sok ga mau, padahal dia tau, Faranell paling ga kuasa menahan kenikmatan produk coklat. Pemuda itu mulai senyum.

“Aku bakal kasih satu, tapi ada sya- Wooops!” Kedua tangannya terangkat, akibat Faranell berusaha menyambar gelas eskrim. Gerakan Grazier perempuan cepat banget, untungnya Gann udah menduga itu akan terjadi, jadi ga telat bereaksi. “Senyum dulu dong.”

Hal ini dilakukannya, semata-mata karena ga tahan liat muka Faranell ditekuk murung terus. Dia sama sekali ga suka. Murung bukanlah gaya Faranell, dan itu sangat mengganggu si pemuda.

Faranell kembali ga bergeming, tapi udah keliatan ga tenang, kakinya bergerak-gerak, kaya ga tahan. Ya udah, Gann lanjutkan godaannya. Mendekatkan gelas eskrim ke depan muka Faranell, lewati hidungnya, sambil bernyanyi. “I know you want me, you know you want me, i know you want this~” Senandung Si Grazier lelaki, “Ga mahal lho, cuma satu senyuman harganya.”

Akhirnya Faranell menyerah, berhubung udah ga tahan juga liat kelakuan Gann yang berusaha menghibur, sebenarnya. Gadis itu senyum, dan memperlihatkan lesung pipi yang menambah nilai tersendiri, menghargai usaha Gann yang berusaha bikin dia merasa lebih baik.

Setelah pemuda itu liat senyuman gadis di depannya, dia biarkan tangannya terdiam. Kasih izin bagi Faranell untuk menyambar gelas es krim itu. Tanpa ragu, Faranell melakukannya.

“Jahat! Kamu jahat!” Happ.. satu suapan masuk ke mulut gadis itu. “Pake kelemahanku buat negosiasi!” Happ.. sekali lagi nyuap, “Selalu gitu! Maafku tuh lebih mahal dari es krim cokelat!” Happ.. masih ga berhenti ngomel, “Licik! Ini ga bisa dimaafkan! Auuuuhh~ enaaak bangeet…” Happ.. gerutunya lagi, sambil tetap makan tu es krim. Ekspresi kesalnya berubah seketika.

Gann sekedar ketawa kecil, ternyata Faranell ga sepenuhnya berubah. Masih tetap polos dan gampang berubah haluan. Mungkin pemuda itu terlalu berlebihan mikirin sesuatu. “Maaf ya, ga ada maksud untuk menyinggungmu tadi.”

“…” Faranell diam, tapi masih makan eskrimnya sedikit-sedikit.

“Semua itu karena.. aku selalu mikirin keselamatan kamu.”

“…”

Ga dengar ada respon, Gann coba pendekatan lain. “Kamu tau? 3 bulan ga ada kamu, semua terasa beda. Setelah apa yang dialami tim kita, kupikir, udah kehilangan kamu selamanya. Tapi tiap malam, ga lupa aku berdo’a pada Decem, berharap ada secercah keajaiban yang terjadi, dan entah gimana caranya, supaya kamu bisa kembali. 3 bulan ga ada kamu, bikin aku sadar, selama ini aku tersesat.”

Dengar kalimat panjang dari Gann, Faranell menatap kawan lelakinya. Mulai berkurang rasa kesal dan geram dari mata kuning itu. Gann tertunduk, mata tertuju pada gelas eskrim yang dari tadi ga dimakan isinya, cuma diaduk-aduk.

“Selama ini, aku dilatih untuk jadi tentara. Aku ga punya bakat hebat atau apa, makanya, satu-satunya cara ya habiskan waktu buat belajar dan latian force, memahami hubungan antara kita dan animus. Bukan berarti aku ga suka, cuma, merasa kalo masih ada sesuatu yang kurang. Perasaan yang bilang kalo, ‘ini bukan tempatku’.”

“Terus, di mana harusnya kamu berada?” Faranell bertanya.

“… Tempat di mana aku selalu bisa liat senyumanmu dari dekat. Di sampingmu. Di sinilah harusnya aku berada.”

Tangan kanan Faranell yang memegang sendok plastik, berhenti di tengah-tengah antara gelas dan mulutnya yang terbuka, pas dengar jawaban Gannza. Dia ga menyangka akan dengar kalimat demikian terucap dari mulut pemuda itu, padahal dia udah berlaku kasar tadi.

“Ahh, uhm.. Maaf.. aku ga seharusnya bertindak kasar padamu.” Ucap Faranell gelisah, sesaat menghentikan aktifitas makan es krimnya. “Aku… aku cuma, emosional. Semua ini bikin… aku ga tau kemana harus melangkah, ga tau apa yang harus kurasakan.”

“Kamu lagi bimbang, aku mengerti. Semua orang pasti pernah mengalami kejadian besar yang mengubah hidup mereka. Wajar.”

“…”

“Ini bisa jadi kejadian yang mengubah hidupmu. Dan saat ini aku ga pengen bahas itu. 3 bulan kamu ga ada, aku baru sadar, aku butuh senyumanmu.”

“Makasih buat pengertiannya, kamu emang yang terbaik.” Jawab Faranell sembari kasih senyum berharganya buat Gann, orang yang selama ini selalu ada di dekatnya saat dibutuhkan.

“Mau pelukan?” Tanya Gann seraya merentangkan lebar kedua lengan. “Keliatannya kamu lagi butuh dipeluk.”

“Ihihihi, boleeh.” Ia membawa tubuhnya masuk ke pelukan hangat Gann, sedikit mengobati rasa sakit di hatinya akibat kemarahan Raha. Faranell tau, dia masih harus cari cara supaya benang kusut persahabatannya dengan Raha, bisa lurus lagi. Untuk saat ini, dia belum kepikiran apapun. Kecuali, “Kamu tau sesuatu ga, tentang Perang Suci Sette?” Faranell bertanya, selagi di pelukan Gann.

Perlahan, mereka melepas pelukan, saling jauhkan tubuh, “Hmm, ga terlalu. Kenapa?”

“Ehhm… pengen tau lebih banyak aja.”

“Itu udah lama banget, kan? Lebih dari 200 taun yang lalu kalo ga salah.”

“215.”

“Cuma segelintir orang yang punya akses lebih jauh terhadap info itu, prajurit bawahan kaya kita cuma diizinkan buat tau permukaannya aja… atau bahkan ditutupi sama sekali.”

“Masa sih..?” Faranell ga percaya. “Tapi aku yakin pernah baca perkamen tentang itu di perpustakaan Istana Numerus.” Dia menjepit dagunya dengan telunjuk dan jempol. “Kalo emang ditutupi, kenapa informasinya ditempatkan di ruang publik?”

“Jangan tanya akulah.” Gann angkat kedua bahu, mulai menyuap eskrim di tangan yang udah hampir meleleh total.

“… Temani aku yuk, ke Numerus.” Ajak Faranell.

“Mau ga yaaa~”

“Iiish. Yaudah.” Grazier perempuan itu langsung bangkit dan beranjak dari situ, ngambek dibuat-buat. Sedangkan Gann geleng-geleng kepala, malah tahan ketawa liat Faranell menjauh. Ga lama kemudian, Faranell balik lagi dengan langkah menghentak, bibir manyun menggemaskan pertanda kesal, dan menarik lengan Gann sekuat tenaga sambil berkata, “Ayooo!”

“Iya, iya, iyaa!”

.

.

…Istana Numerus…

Numerus, Sektor garis depan Corite. Di bangun di atas dataran yang sedikit berpasir di daerah pegunungan. Seperti di sektor lainnya yang diduduki Corite, Istana ini senantiasa dinaungi hawa sejuk. Setelah keluar dari portal, sepasang Grazier muda langsung menuju perpustakaan Numerus, tempat dimana semua penduduk sipil dan militer berhak menimba ilmu, sebagaimana perintah Decem, bahwa merupakan salah satu kewajiban bagi setiap Corite.

Mereka ga buang waktu, langsung pergi ke perpustakaan Numerus, yang paling lengkap dan besar banget. Segala macam hasil karya tulis tentang beragam hal hampir pasti bisa ditemukan di sini. Begitu kaki mereka menapak melewati pintu perpustakaan yang terlihat elegan terbuat dari granit abu-abu, kesunyian langsung memenuhi dua pasang telinga Corite.

Nyaris tanpa suara di dalam sini, mungkin mereka bisa dengar detak jantung sendiri. Tempat yang emang cocok buat konsentrasi.

“Ahh, Nona Trinyth, pengunjung favoritku.” Sapa seorang pustakawati paruh baya berkacamata, di meja depan. “Seiring berjalan waktu, parasmu makin mempesona.” Katanya sembari tersenyum.

“Ehehe, anda bisa saja, Nyonya Dasanka.” Balas Faranell, ganti gaya bahasa jadi sedikit formal pas ngomong ke pustakawati itu.

“Dan… wauw, Tuan Qhadara.” Wanita itu sedikit terkejut liat partner Faranell. “Aku tak menyangka akan melihatmu kemari lagi setelah sekian lama.”

“Saya dipaksa oleh pengunjung favorit anda.” Canda pemuda itu.

“Karena kalau tidak begitu, dia tidak akan pernah menginjakkan kaki ke tempat ini.” Balas gadis berambut ungu. Karena emang Gann bukan tipe yang suka baca buku dan datang ke perpus. Kecuali terpaksa. Aneh emang, ada aja Spiritualist ga suka buku dan perkamen.

“Lebih enak praktek, oke?”

Dasanka ketawa kecil denger ocehan mereka, “Memang kalian serasi dari dulu. Silahkan, nikmati waktu kalian. Dan ingat, jangan gaduh.”

“Siap, Nyonyaaa~” Jawab kedua Grazier muda, nada agak diayun.

Tanpa buang waktu, Faranell melangkah menuju tempat perkamen yang dimaksud. Ga ada kecanggunggan sama sekali, seolah perpus ini udah jadi rumah kedua baginya. Dengan lihai dia telusuri lorong-lorong yang terbentuk akibat susunan apik rak-rak buku teramat besar dan tinggi. Diikuti Gann yang terkesan santai, dan berjalan pelan.

Bau kayu asli pepohonan Novus yang masih terawat biarpun udah puluhan taun, masih jelas tercium di hidung mereka. Ditambah aroma khas dari tumpukan kertas, berbaur jadi satu merelaksasi pikiran. Cuma berada di sini selama beberapa menit, serasa udah bisa bikin pintar kayanya. Di sinilah tempat Faranell biasa menghabiskan waktu, saat masih jadi kadet. Sampe sekarang pun, dia masih suka main-main ke perpus.

Mendadak, tepat abis belok di lorong keempat, sakit kepala kembali menyerang.

NYUTT! NYUTT!

“Ssshhh..” Gadis itu berhenti, mendesis pelan, berusaha sembunyikan sakit dari Gann yang belum sampe di tempatnya berdiri. Tapi gegara suasana yang begitu sunyi, tentu pemuda itu bisa dengar. Simbol-simbol putih aneh tadi mulai bermunculan lagi di penglihatan Faranell, bergerak tanpa order.

“Hey, kamu kenapa sih, dari tadi?” Gannza bertanya, ekspresi bingung tergambar di muka.

Faranell menengok ke arah sumber suara, satu simbol melompat dari lantai dan menghalangi wajah Gann, sedangkan simbol lain menjelajah rak-rak buku. Seolah hidup dan lagi mengajak gadis itu main. Begitulah yang dia pikir.

“Faranell, haloo?” Gann melambai tangan di depan muka Faranell. Sesekali jentikkan jari, soalnya Faranell cuma menatapnya, ngedap-ngedip ga jelas.

NYUT! NYUTT! NYUTT!

“Ukkh!”

“E-eh, kamu sakit ya?”

“Eng… engga kok, ga apa.” Seketika, simbol-simbol itu hilang, bersamaan dengan sakitnya.

“Benar?”

Faranell cuma mengangguk buat jawab pertanyaan itu.

“… Lebih baik jangan memaksakan diri. Mau kupanggil Inana?”

“Ihihi, aku kan juga bisa. Udah, ga usah khawatir.”

Gann menghela nafas, memandangi punggung gadis yang jalan ke rak beberapa meter di depan. Faranell udah sampe di rak yang diingatnya, namun garis muka Grazier itu berubah kaget. “Lho, kok ga ada?!”

“Yakin, di sini letaknya?” Tanya Gann.

“120%! Aku ingat betul, harusnya di sini…” Ujarnya bingung, sambil liat satu-persatu buku dan jongkok, ngubek-ngubek rak di bagian bawah, berharap perkamen yang dicari terselip di suatu tempat. “Nyonya Dasanka…” Faranell bangkit, lalu bergegas balik ke meja depan. Gann, masih kaya tadi, mengikuti santai.

“Maaf, Nyonya Dasanka. Apakah anda mengetahui dimana perkamen yang menjelaskan Perang Suci Sette berada?” Ia bertanya dengan sopan dan lembut.

“Perkamen Perang Suci Sette?” Alis wanita paruh baya itu terangkat, pertanda belum mengerti maksud Faranell. “Kita tidak memiliki hal semacam itu, Nona.”

“Ti-tidak mungkin..” merasa ga percaya atas informasi yang baru aja didengar, Faranell terhenyak. “Tapi aku yakin pernah membacanya di perpustakaan ini. Apa anda yakin?”

“Nona Trinyth, aku sudah menjaga perpustakan ini dari sebelum kamu lahir.” Wanita paruh baya itu melepas kacamata yang dikenakannya. “Bila perkamen yang kamu maksud memang ada di suatu tempat di ruangan mulia ini, maka tidak mungkin aku tidak mengetahuinya.” Jawabnya sambil bersandar sedikit ke kursi besar yang dia duduki dari tadi.

“T-tapi… Oh, ya! Apakah barangkali, ada yang meminjamnya?”

“Apa kau mempertanyakan integritasku sebagai pustakawati?” Wanita yang lebih tau itu menyindir.

“Ahm, ehm… bu… kan begitu.”

“Maafkan sikap kami, Nyonya Dasanka. Kami akan izin pamit.” Dari sini, Gannza ambil alih, pas liat Faranell udah ga tenang gitu.

“Eh!? Tapi Gann…” Grazier perempuan itu ga berdaya melawan tarikan pada pergelangan tangannya.

Setelah mereka keluar dari Perpustakaan Numerus, Gann mengendurkan pegangan. “Mungkin kamu terlalu lelah.”

“… Kamu juga ga percaya?” Mata kuning menyelidik, coba pastikan maksud perkataan si lelaki.

“Untuk sekarang, terlalu banyak yang kamu pikirkan. Mending perbanyak istirahat, kembalikan kondisi fisik dan mental.”

“…” Faranell diam, mengalihkan mata ke arah lain, ga mau bertemu pandang sama Gann. Dia tau apa yang diingat, tau perkamen itu ada di sana, harusnya. Yang dikatakan Gann benar, terlalu banyak yang dipikirkan Faranell saat ini. Belum selesai satu persoalan, muncul lagi hal aneh yang ga jelas. Seolah mata rantai kejadian ini malah bertambah panjang, sebelum sempet dihancurkan satu persatu.

“Kutinggal dulu ya, ada panggilan tugas nih.” Setelah dapat anggukan setuju dari Faranell, berlalu lah Gannza, memenuhi panggilan tersebut. Faranell masih belum melangkah sedikitpun, mempertimbangkan kata-kata Gann barusan.

Hmm, mungkin aku emang butuh istirahat.” Batin Corite itu berkata, sambil ngucek-ngucek mata.

“Relax, i’ll slaugther those who dare to oppose Decem.”
– Sada (Ch. 12)


CHAPTER 24 END.

Next Chapter > Read Chapter 25:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-25/

Previous Chapter > Read Chapter 23:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-23/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *