LAKE CHAPTER 26 – MY LUCK BUFF
Lake
Penulis: Mie Rebus
“Jetstream!?” Tanya gw bingung. Perempuan berambut pink masih senyum polos, kali ini diiringi anggukkan. Kami ga lama-lama berada di Gateway Valley, “Jadi … selama ini lu bisa terbang?”
Dia geleng kepala, “Lompat dengan … gaya.” Kaki kita masih berlari pelan abis lewati rintangan kedua tadi.
Ga ada perubahan berarti dari kecepatan lari gw. Masih santai, ikuti langkah si Wizard, “Kalo gitu, kenapa ga lakukan dari awal? Dengan skill itu, jadi yang terdepan pasti ga susah.”
“Penggunaan force … tanpa tongkat, melelahkan … huff,” duh kasian liat ni anak. Baru setengah jalan udah semaput, “aku … cuma ingin, lari … bersama Oritzi. Bersenang … senang … nikmati, waktu.”
Segitu capeknya, ya? Kok Rokai bisa melakukannya sambil terus pimpin lomba lari ini?
Nikmati waktu. Kalo dipikir, ga salah sih emang. Festival olahraga ini harusnya emang jadi ajang bersenang-senang. Harusnya ga perlu pikirkan kalah menang pun ga apa kan? Agaknya ancaman ganti rugi dari Maximus Khortenio, omongan Rokai ke gw, dan ketegangan diantara kamerad lain bikin gw lupa esensi dari kegiatan berlari.
Oke, gw putuskan buat lepas raungan pertama.
Udah ketinggalan jauh juga lagian, ga ada lagi peserta di belakang kita. Kayaknya gw harus siap-siap cari pinjaman duit dari sekarang. Jaga-jaga, siapa tau Dzofi gagal. Bukannya ga yakin pada si teknopat itu, tapi … antisipasi di tiap kondisi adalah penting bagi prajurit. Ciaelah.
Lebih baik temani Meinhalom aja deh biar seenggaknya sampe garis finish. Itupun … kalo dia kuat, “Gw bukan Oritzi, tapi … semoga lu ga keberatan lari sama gw.”
Meinhalom terhenyak, matanya menatap gw sebentar, entah kaget atau bingung atau dua-duanya. “… Tentu.”
“Hahh … hahh … hahh … hahh … hahh … hahh,” napas Meinhalom makin tercekat. Langkahnya terhenti, dia bungkuk sambil pegang kedua lutut. Mukanya menatap tanah dengan beberapa helai poni tergerai menutupi mata, “duluan … aku, aku … hahh.”
“Mati deh ni anak.“
Saat ini kita baru sampe tengah jembatan depan Outpost. Outpost udah di depan mata, tanggung banget kalo harus berhenti di sini. Tapi ga baik juga kalo dipaksakan. Mata gw sekilas menoleh ke arah Outpost, terus ke Wizard berambut pink. Berpikir, apa yang harus gw lakukan?
Tadi dia bilang sih suruh duluan. Ga salah dong kalo gw tinggal di mari? Lagian emang ga ada kewajiban juga buat menolong peserta lain. Harusnya gw langsung aja lari sekuat tenaga buat kejar ketertinggalan.
“Bisa ga, titip ini? Ga terlalu berat kok.” Pinta gw sambil loloskan plat yang sedari tadi gw bawa, tutupi punggung.
“Ini … buat apa?”
“Uhm, belum tau.” Gw berlutut, membelakangi Meinhalom pas dia menyampirkan plat logam tersebut ke punggungnya, “yuk, gw gendong.”
“A-ah?” Pekiknya. Ajakan gw bikin dia mundur beberapa langkah ditambah ekspresi panik memerah dari muka.
“Ga perlu ragu. Biarpun paling belakang, seenggaknya kita harus injak garis akhir.” Hal ini semata-mata karena gw tau, Meinhalom dilanda kelelah dan pasti kakinya melepuh plus lecet-lecet di balik sepatu. Keliatan dari langkah yang dipaksakan dan tertatih.
Umum terjadi bagi orang yang ga biasa lari jauh. Dulu gw juga sering begitu.
“T-tapi… tapi…” Wizard itu masih ragu. Untung ga langsung kabur kaya waktu di Ether.
“Mau nyusul Oritzi ga?”
Sejenak dia diam, terus barulah pelan-pelan mendekat, mengangguk berkali-kali. Haaahh… kadang ga percaya juga, gadis tipe begini bisa jadi Spiritualist terkuat kedua. Kecemasan gw minggu lalu tentang kemungkinan berhadapan dengan dia ga berarti sama sekali.
Kedua lengannya melingkar di sekitar leher gw, kedua lengan gw menopang kedua paha Meinhalom, sedangkan punggung gw ketemu bagian depan batang tubuhnya yang… ehem… empuk. Bikin gw agak geli-geli enak jadinya. Suhu badan Meinhalom begitu terasa. Gadis ini selalu punya suhu tubuh diatas normal, kaya orang demam gitu. Padahal mah ga kenapa-napa.
“Maap ya, kalo agak berguncang.” Kata gw kasih peringatan sebelum lari. Agak berat juga ternyata.
“Aku … pegangan.” Lengannya terasa erat di bahu gw. Dan ga buang lebih banyak waktu lagi, gw mulai lari sambil gendong Meinhalom di punggung.
“Jadi, cerita dong tentang kakak lu. Katanya kan gw kayak dia, bagian mananya?” Tanya gw iseng, biar ada bahan obrolan aja.
“…”
Ga ada balasan dari mulut mungil Mein. Hmm, mungkin sulit baginya buat mengenang orang yang begitu dia pedulikan. “… Atau, kita bisa ngobrol hal lain.”
“… Hangat. Kakak, ga pernah … jahat padaku. Dia, selalu baik … selalu kasih, senyuman … kalo aku, nangis. Ga pernah, marah … ga pernah, naikan nada bicara …” jawabnya terbata. Wow, gw kira dia enggan bicara tentang kakak yang udah tiada, “kami berasal … dari keluarga, biasa. Ga ada, latar belakang … tentara. Orang tua, kami… cuma pesulap, jalanan … kekurangan, harta.”
Gw dengarkan cerita Mein sambil terus masuk Outpost lalu cari tempat scan sidik jari yang dimaksud sebagai checkpoint. “Ayah, dan Ibu … teramat, pilih kasih … mereka lebih sayang… padaku… ketimbang, kakak. Aku kasian … padanya, dia begitu ga … dianggap… keluarga. Padahal… dia selalu… ada, untukku. Apalagi ketika, orangtua kami … tau kalo, aku mampu … menguasai… force api. Kemampuanku, membuat pertunjukan … kami makin, berkembang.”
“Tapi… perlakuan Ayah, dan… Ibu, bikin aku… makin ingin… mencurahkan… semua, rasa sayangku… padanya, sebagai ganti… kasih sayang, orang tua… yang langka, bagi… kakak. Tapi, apa dayaku… gadis cengeng, dan… manja? Yang ada… malah terbalik. Dia terima… segala perlakuan, dengan lapang… dada. Ga pernah protes, ga pernah… marah. Dalam senyum … ataupun, tangis… dipendamnya semua, kepahitan… jauh, di dasar… hati. Ketika… putus asa, atau pedih… sekalipun. Kehangatannya… ga pernah, pudar.”
Bergetar suara Meinhalom mengenang semua itu. Berusaha tahan letupan perasaan biar ga pamer kesedihan. Gw ga bisa liat gimana ekspresinya, karena fokus ke depan, “… Wow. Lu punya kakak yang hebat.”
“… Kamu, dan Oritzi … punya ‘kehangatan’… yang sama.” Balasnya.
Gw masih belum paham sih, miripnya tuh di mana? Apa berarti, gw mirip juga dengan Oritzi? Haha. Ya sudahlah, suka-suka dia.
“Kata Oritzi, lu membakar dia…” Ujar gw hati-hati, biar ga menyinggung perasaannya. “… sulit bagi gw untuk percaya. Tapi, apa benar?”
“… Ya.” Jawabnya pendek, setelah diam beberapa saat. Kepala gw sedikit tertunduk, merasa kalo pertanyaan gw terlalu bikin dia risau. Entah kenapa, gw pengen tau lebih jauh. Ga tau apa yang akan gw lakukan saat ia kasih jawaban tersebut. “Overheat Purgation… pedang, bermata dua.”
“Overheat … maksud lu, mantra api penyembuhan itu?”
Terasa di punggung gw, kalo kepala Si Wizard makin terbenam. Gw menoleh sedikit dan liat dari sudut mata, dia anggukkan kepala. “… Selama hidup, ternyata kakakku… sakit keras. Entah… kenapa orangtua, kami… seolah, ga peduli. Dan aku, baru … dua bulan… belajar, force api…”
“… k-kakakku selalu, bilang… ‘hati-hati, saat main… api, karena api… itu hidup, bisa tumbuh… dan punya, keinginan… sendiri. Menghanguskan segala… yang kita, miliki bila… ga terkendali’.” Terdengar suara gadis ini tertahan. “Terkadang… keegoisan … mengalahkan, akal sehat. Saat liat, orang… yang kita, sayang… menderita, kita… bersedia, melakukan hal, yang… paling ga, rasional. Biarpun… bi-biarpun…”
Wizard berambut pink ga bisa menyelesaikan kalimatnya. Setitik dua titik air terasa menggelitik tengkuk, yang gw asumsikan berasal dari mata Meinhalom, “Mein, itu bukan salah lu.”
“Biarpun… ujung-ujungnya, hal itu membunuh… kami, berdua?”
“Lu belum padam kok.” Kata gw, sambil tetap liat kedepan. “Api lu terus tumbuh. Bukan menghanguskan, tapi menghangatkan banyak orang, termasuk gw.” Sekarang gantian dia yang dengerin. “Gw yakin, kakak lu pasti bangga, dan kagum, kalo dia bisa liat api lu begitu ‘hidup’.”
“… Benarkah?” Dia bertanya pelan. “Kenapa… kamu, begitu… yakin?”
“Yaaa… gw mirip kakak lu, kan? Hehehe.” Ucap gw ringan, seraya nyengir dan menoleh ke belakang. Meinhalom terhenyak, kedua lengan yang melingkar di leher gw, kerasa makin erat.
“… Iya.”
Kami udah keluar dari outpost dan udah sampe rintangan ketiga di Dry Moor. Ga sampe 5 menit berlalu setelah Meinhalom cerita sedikit tentang masa lalunya.
Setelah kejadian itu dia merasa sangat bersalah, dan marah. gegara mantra yang belum sempurna, kakaknya meregang nyawa. Marah, pada mereka yang ia sebut keluarga, tapi malah menelantarkan salah satu anggotanya.
Tapi, biarpun begitu, Mein dilanda dilema. Dia ga bisa semerta-merta menimpakan kesalahan pada orang tua, sedangkan, tangannya yang jadi penyebab tragedi pilu tersebut.
Jadi, dia putuskan buat buang semua. Kabur dari rumah, tinggalkan mereka tanpa kabar berita. Dikubur dalam-dalam semua kasih sayang yang pernah dia terima, dan lebih memilih medan perang sebagai jalan keluar dari pedih duka penyesalan.
Itu adalah satu langkah besar. Entah harus kagum atau prihatin..Tapi gadis imut nan pemalu macam dia berani ambil pilihan ekstrim ga semua bisa melakukannya. Mungkin, gw ga akan pernah sanggup kalo harus alami kisah hidup Wizard itu. Dia yang awalnya takut akan bakat sendiri.
Sempat terbesit di pikirannya ga akan pernah pake force api lagi. Tapi nyatanya, dia ga pernah berhenti dan terus lawan rasa trauma juga etakutan dalam dirinya sampe berhasil. Cerita itu bikin gw yakin, ga salah emang, dia jadi Spiritualist terkuat kedua.
“… Stop.” Omongan Meinhalom bikin gw berhenti.
Baru sadar pas liat ke bawah, di mana kaki gw perlahan ambles dari pijakannya. Ternyata tekstur tanah di Dry Moor yang biasa kering dan padat, udah berubah jadi berpasir. Sangat berpasir, mirip-mirip gurun.
“Wow, wow!” Gw langsung angkat kaki kanan pas pasir itu mulai bergerak-gerak! Dan menggerayangi kaki! Gw ambil selangkah mundur, keluar dari jangkauan area dry Moor. Gimana cara para panitia melakukan semua ini!? Pa-pasirnya seolah hidup dan mengicar gw. “Gimana nih?”
Meinhalom terdiam. Ga ada sepatah katapun dari mulutnya. Pandangan gw menyapu keadaan di depan, dan liat banyak peserta lain tertangkap ‘pasir hidup’ itu. Beberapa masih berusaha melawan, berontak sekuat tenaga biar bisa lepas dari cengkraman daratan berpasir.
Kayanya rintangan ini punya tingkat kesulitan yang lebih tinggi, sampe-sampe bikin kami bisa menyusul rombongan depan, walau orang-orang yang gw kenal ga termasuk diantara mereka.
“Aku udah, baikan…” Kata Meinhalom pelan, ” … mau turun,” pintanya terbata.
“Yakin? Gw ga keberatan kok, kalo harus gendong lu.” Balas gw.
Kalimat barusan direspon dengan gelengan kepala. Setelahnya, dia bilang, “… Ga mau… jadi beban.”
Gw ga bisa berbuat apa-apa, selain hela napas lalu senyum kecil, biarkan dia turun dari punggung. “Okelah. Ga perlu maksain, ya.”
Dia balas senyum juga, dan mengangguk pelan. Lucu juga.
“Batu…” Ujarnya sambil nunjuk batu gede yang permukaannya ga begitu rata, beberapa puluh meter di depan. “… Pijakan kakimu, di sana.”
“Ga masalah. Gimana dengan-” Pas gw liat lagi ke gadis itu, tatapan matanya berubah sayu, dan Force merah tipis merembes keluar dari tubuhnya. “-Lu?”
Dia ga jawab, cuma kasih lirikan dingin dan sedikit menyungging seringai tipis. Woot! Mempelai wanita sang lidah api menampakkan diri. Gw paham makna tindakannya itu biarpun dia diam aja.
Wizard ini seolah menyiratkan, “Santai, gw tau apa yang harus dilakukan.“
Jadi, gw tinggal melakukan bagian gw aja.
Mulai condongkan badan gw ke depan, kumpulkan gaya dorong di kedua kaki, bersiap buat sprint sekuat tenaga. Medan berpasir jelas bukan lawan yang enteng buat pelari, bakal bikin kaki terasa lebih berat.
Dengan satu hentakan maksimal, gw melesat maju, sol sepatu lari ketemu daratan berpasir Dry Moor. Baru juga 5 langkah, pasir itu mulai bergerak, lalu perlahan seolah berdiri dalam bentuk kerucut panjang. 1, 2… 5 kerucut pasir siap menerjang.
Kerucut pasir pertama langsung menusuk dari depan, gw langsung mengelak ke kanan bawah, sambil percepat langkah. Tapi, serta-merta, terjangan pasir kembali siap menyambut di titik hindaran gw. “FAAK!”
Dengan handalkan gerak reflek, abis menunduk gw lompat sambil pake lengan kiri buat menyapu terjangan butiran pasir yang terasa kasar meraba kulit, dan mengayun badan sehingga melewati bagian atasnya.
Bentuk kerucut dari pasir yang gw tepis tadi, langsung hancur ga berbentuk. Ternyata, bisa dipukul! Gw kira padat dan keras. Liat itu, gw sedikit senyum lega.
Oke, terlalu cepat senang saat keadaan jadi sedikit aja lebih baik, selalu jadi kelalaian terbesar. Terbukti, tubuh gw yang masih mengambang di udara dihantam kerucut ketiga dari sebelah kanan!
“HEGH!” Erang gw sambil tempatkan lengan terlipat di depan tulang rusuk biar ga cedera. Ugh, biarpun cuma pasir dan bisa dipukul, tapi benturannya yahut juga.
Tubuh gw terpental, punggung sampe menabrak tebing begini. Untungnya masih terlindung plat logam. Asem! Cuma pasir aja, songongnya ga ketulungan.
“Maju lu semua!” Seru gw. Pasti gw udah gila, teriak-teriak ke pasir, “kalo bera- oh, shite!” Mereka bahkan ga kasih kesempatan buat selesaikan omongan. Pasir hidup kembali membentuk beberapa kerucut pasir panjang, dan langsung menyerang gw bersamaan!
Refleksi pergerakan pasir hidup, jelas keliatan di pupil ungu. Makin lama, makin dekat. Untuk sesaat gw baru sadar, ini kok kaya ilmunya salah satu tokoh di kartun Narto, ya? Si itu tuh, Gaaruk, yang ke mana-mana bawa bedug.
Arrghh! kadang, gw benci dengan kemampuan ‘mikirin hal yang ga penting saat keadaan terdesak’ ini.
Tetiba, telinga gw menangkap suara ledakan. Suara yang sama persis kayak pas di rintangan kedua, pas Meinhalom… meluncur cepat di udara!
Wizard itu melesat ke arah gw, kedua telapak tangan terarah ke belakang. Dari telapak tangannya keluar letupan energi panas, bertindak layaknya jet booster.
Begitu jaraknya udah dekat dengan gw, dia ganti posisi. Masih melesat, coba buat berdiri, dan sekarang dari udara yang tadinya ga ada apa-apa, muncul dua cakram bergerigi yang terbuat dari api.
“Destructo Disc…” Ucapnya pelan. Sebelum kehilangan momentum, Meinhalom melempar kedua cakram api itu bergantian ke arah kerucut pasir yang menyerang, memotong semua hingga setengah, gagalkan pasir hidup itu menggapai tubuh gw. Meski begitu, bagian yang udah terpotong-potong cakram api tetap aja kena muka gw sedikit. Kelilipan deh jadinya.
Wizard berambut pink itu menghancurkan sisanya dengan gaya. Ya, dia mendarat dengan kedua kaki, ngesot dulu sebelum berhenti sepenuhnya tepat di depan gw.
“Mantap kakak,” mata gw ga berkedip liat butir pasir masih menempel di muka.
Sedangkan mata sayu Mein belum berubah, kali ini tanpa senyum cuma menatap mata gw dalam-dalam. Terus dia menunjuk ke arah batu besar tadi tanpa berkata-kata, tapi mata masih lekat menatap.
Kayaknya sih dia kesal deh. “Siap, Nona!” Jawab gw tegas sambil kasih sikap hormat, seolah lagi diperintah atasan.
Begitu gw beranjak dari depan perempuan berambut pink itu, pasir hidup kembali beraksi. Membentuk kerucut-kerucut panjang di sekeliling Meinhalom, siap mengepung dan ga kasih ampun. Sambil tengok belakang, penasaran apa lagi yang bakal dilakukan si Wizard.
“ADOH!” Terdengar teriakan seorang pemuda yang telentang, terperangkap pasir. “Liat-liat dong kalo lari.” Gerutunya kesal gegara gw injak kakinya yang ga ketutupan perangkap pasir.
“Ah, maap. Ga sengaja,” Sontak, gw berhenti. “Ehm, lu butuh bantuan?”
“Bantuan? Gw udah tereliminasi kali.” Jawab pria berambut hitam kebiruan itu. Aliran pasir terus bergerak di sekitarnya, mengunci kebebasan si pemuda. “Lu harusnya mulai lari lagi.” Kelopak mata kirinya tertutup, kemasukan pasir barangkali. “Jangan biarkan mereka menangkap lu.”
“Siap, Kamerad!” Rintangan Jebakan Pasir ini makan banyak peserta. Ga cuma pemuda tadi, di kiri kanan juga yang masih terus lari sambil hindari jerat-jerat kasar yang berdatangan ke arah mereka.
Gw pun ga terkecuali. Di bawah kaki, terasa kalo dataran yang gw injak terus berubah dan gerak bergelombang, siap menerkam kaki gw kapan aja.
Ga sia-sia 4 tahun menempuh pendidikan Ranger. Semua hadangan berhasil gw hindari dengan aduhai, sebelum akhirnya putuskan buat lompat dan sedikit berakrobat. Salto ke depan, dan memijak tepat di atas batu besar. Tapi gw masih belum tau, kenapa Meinhalom nyuruh kemari?
Balik badan buat cek keadaan Meinhalom yang tadi gw tinggal. Betapa kagetnya gw pas liat gundukan pasir lumayan tinggi, dan Wizard itu hilang dari pandangan!
“MEIN!” Tubuh gw pengen beranjak dari situ, berniat bantu dia.
“Azrath… Rathrion…” Niat gw batal begitu dengar suara gadis itu mengucap mantra. Gundukan pasir yang menutupi badannya menyala merah, pun begitu permukaan di bawahnya, “… Sintosh.”
Kobaran 3 lidah api merah berbentuk cincin langsung melebar dari dalam gundukan itu, buyarkan pasir yang mengurung dia ke segala arah. 2 cincin saling silang, sedangkan 1 cincin ada pada sumbu horizontal, diiringi gerakan berputar sekali dari Meinhalom.
Api merah masih menari-nari di sekujur lengan Si Wizard. Mata sayunya tertuju ke tempat gw berdiri. Pas dia menghadap sini, lidah api di lengan bergerak ke telapak tangan. Liat telapak tangannya makin terang merah, gw yakin, dia bakal ‘terbang’ lagi.
Dan benar aja, ledakan energi panas langsung mengirim tubuh gadis itu cepat ke arah gw. Makin lama, makin naik. Begitu posisinya lebih tinggi dari gw, dia ulurkan tangan kanan. Ya udah, gw pun angkat tangan buat menyambut.
Meinhalom menyambar tangan gw dan angkat seluruh tubuh gw dari pijakannya. Raga kami melesat bersama. Hal itu terjadi amat cepat. Haha asik juga, tapi… ada satu masalah.
“Aw, aw, AWW! Panas, panas, PANAS!” Tangannya terasa puanaaas banget di kulit! Shite! Gw meronta-ronta tahan perih, bikin dia oleng juga sampe-sampe ketinggian kita makin berkurang kaki gw menyeret di atas daratan berpasir. Akibatnya, jebakan pasir kembali aktif dan menjerat kaki, “Mein! Tolong, TOLONG!”
“…” Kaya tadi, dia cuma menatap gw dengan kesal. “Fireflies,” dan mengirim titik-titik api buat menghalau pasir yang gerayangi kaki gw dari tadi.
Akhirnya, begitu keluar area Dry Moor, Meinhalom langsung lepaskan tangan gw. Bikin gw terlempar plus guling-guling beberapa kali di daratan, “Auch! Ukh! Uakh!” Soalnya masih tersisa energi momentum dari ‘lompatan’ Wizard itu. Setelah berhenti terguling, gw langsung pegangi tangan kanan, “Fuuuh! Fuuh! Fuuuh!” dan meniup bagian yang dipegang gadis itu. Aduuh! Apa dia ga sadar, suhu tangannya tadi udah kayak teflon dikomporin?
Perhatian gw langsung teralih pas dengar suara tubuh tumbang, “Astaga.”
Meinhalom ambruk, badannya naik-turun akibat napas cepat dan pendek. Sial! Apa yang gw pikirkan? Bukan saatnya mengeluh cuma karena luka bakar kecil, sedangkan anak ini memaksakan diri lebih dari yang seharusnya!
“Hahh … hahh … hahh … hahh,” begitu didekati, terdengar suara dari pernapasannya yang kacau.
Bayangkan, dia yang sebelum sampe Outpost aja udah mau mati, ditambah lagi beban rintangan Jebakan Pasir. Udah gitu, dia sendiri yang bilang, penggunaan Force tanpa tongkat capeknya minta ampun.
“Bukannya udah gw bilang, ga perlu maksain?”
“… Sepadan,” Jawabnya pendek. Ternyata masih sadar, dan berusaha bangkit. Gw bantu dia berdiri, walau agak goyah.
“Mending istirahat dulu.” Gw menyarankan, tapi ditolak mentah-mentah. Dia langsung geleng kepala.
“Oritzi… ada, di dekat… sini.” Balasnya seraya jalan gontai. Kali ini, dia yang menarik pergelangan tangan gw. Suhunya terasa turun, ga sepanas tadi. “Aku bisa… merasakan.”
Dan ternyata benar. Ga jauh kita jalan, pas masuk area Lode Fall tampak seorang berambut cepak burgundy. Pria itu lari santai, seperti lagi menunggu peserta lain menyusul dia. “Royal Oritzi! Seru gw.
Yang dipanggil menengok belakang. Terus terhenyak, menjurus kaget. “Lake?” Kemudian pandangannya tertuju ke Wizard berambut pink. Berubah dari kaget jadi ekspresi lega, “Mein!” Armor Rider itu langsung balik badan dan menghampiri kami. Mein melepas tarikannya pas Oritzi berkata, “Maaf ya, kita sempat terpisah tadi.”
Gadis itu mengangguk pelan, “Dia temani, aku…” Lalu nunjuk gw.
“Ahh, makasih ya. Udah repot-repot, sampe harus ketinggalan jauh.” Ujarnya sembari menepuk pundak gw.
“Bukan masalah, Royal.” Balas gw, lempar senyum sekenanya.
“Jujur, ini pertama kalinya liat dia berinteraksi dengan orang selain saya.” Lanjut Oritzi, sambil beralih ke Mein yang udah berada di balik punggungnya. “Saya sempat kepikiran dia, jadi ga konsen ke kompetisi. Ragu, antara dia ketinggalan atau udah jauh di depan.”
“Semua aman dan terkendali. Anda ga perlu khawatir lagi, haha.”
“Kalo mau duluan, silakan aja. Mungkin saya akan disini dulu, temani Mein istirahat.”
“Yaaa, saya ga keberatan kalo harus menunggu bareng kalian.” Kata gw santai sambil garuk-garuk bagian kepala belakang sendiri. “Posisi terdepan pun pasti udah terlalu jauh sekarang.”
Meinhalom geleng kepala, “Kamu bisa… menang.”
“Ahha, bakal susah pasti.”
Sekali lagi dia geleng-geleng, lalu beranjak dari balik punggung Oritzi. “Kamu harus… menang…” Tanpa diduga, dia balikkan badan gw menghadap ke jalur lomba yang benar. “Kamu pasti… menang…” Oritzi cuma cengengesan, liat tindakan anak buahnya.
“Uhh, Mein. Apa yang-” tau-tau, mata sayu itu kembali lagi.
Ga pake ngomong, Wizard itu menepak pantat gw tanpa pikir panjang, “Jetstream.”
“O’ow…” seketika, energi panas meledak dari bemper belakang, mengirim badan gw melesat tinggi plus cepat ke depan macam roket tenaga nuklir! “WAATTTTAAAA!”
.
.
-Barisan depan-
…Rear Garden…
Peserta yang pimpin lomba lari ini udah masuk area Rear Garden, di mana rintangan terakhir yang ‘cukup’ bahaya menunggu mangsa; Ladang Ranjau. Para panitia Ranger kali ini ambil bagian untuk siapkan rintangan peserta dengan menebar trap berupa ranjau di sekitaran area rear garden sampe ke arena serba guna.
Ini akan benar-benar jadi tantangan sulit. Di satu sisi, peserta harus hati-hati melangkah kalo ga mau bikin rentetan trap meledak. Di sisi lain, rasanya ga mungkin melangkah hati-hati saat mereka berebut posisi. Belum lagi, cuma garis finish yang tersisa abis ini.
“Ga buruk juga,” Elka berkata seraya menempel ketat Rokai. Mereka berdua jadi yang terdepan setelah melewati Lode Fall, dengan selisih jarak yang cukup jauh antara peserta di posisi tiga, “untuk ukuran Spiritualist.”
Rokai agak kaget, ga menyangka ada yang bisa imbangi kecepatan larinya yang udah dipercepat dengan pusaran angin kecil pada dua telapak tangannya. Tapi Holy Chandra itu tetap terlihat tenang, “Ga buruk juga… untuk ukuran perempuan.” Balasnya.
“Lu belum liat semuanya.” Ucap Infiltrator berambut cokelat, “Emang, lu luar biasa cepat. Tapi sampe kapan itu bisa bertahan?” Elka tau, Rokai udah memakai begitu banyak Force.
“Cukup lama, sampe lu kelelahan.” Jawab pemuda berambut hitam sambil tetap liat kedepan.
Elka senyum sinis dengar jawaban itu, “Sayangnya, gw sanggup sprint sepanjang hari.”
.
.
“Ajegile, cepat amat ya mereka.” Alecto, berada di posisi ketiga, namun jarak diantara dua peserta terdepan kurang lebih 6 detik.
“Iya… Elka luar biasa.”
“Hee?! Sabilla? Sejak kapan?” Terhenyak, Hidden Soldier berambut denim tengok kanan-kiri. “Lha? Dzofi mana?” Dia bertanya, baru sadar kalo posisi Armor Rider itu udah direbut kawannya sendiri.
“Belakang, woy!” Seru Dzofi, berada ga jauh dari mereka.
Kecepatan Dzofi udah mulai melambat, berusaha ga tertinggal dari Alecto dan Sabilla. Pemuda itu masih coba atur napas dan jaga irama langkah biar ga makin melambat.
“Gini nih, juara lomba lari antar divisi?” Ledek sepupunya, yang muncul entah dari mana.
“K-kak Ulfa! Ayolah, itukan udah lebih dari 4 tahun lalu.” Elak Dzofi, berusaha bela diri sendiri.
“Udah kakak bilang, olahraga itu wajib. Minimal seminggu 3 kali.” Royal Ulfa mulai menceramahi sepupu yang lebih muda. “Pacaran mulu sih sama benda mati.” Lanjut perempuan berambut cokelat panjang itu. Rambutnya yang dikuncir kuda, terombang-ambing pas dia lari. “Makan tuh teknologi.”
Wajah si pemuda berambut hitam sedikit memerah, tahan malu dibilang begitu. Alecto dan Sabilla di depan sekedar cengengesan.
“Kak, kamu ga harus kasih ceramah di sini, kan?” Kata Si Armor Rider muda, menundukkan wajahnya.
.
.
“Keliatan dari ekspresi, pasti lu kalah telak darinya.” Kata Shield Miller berambut pirang acak-acakan.
“Diam lu, buruk rupa.” Kembaran Shield Miller itu menjawab ketus, kesal mikirin ketidak-mampuannya imbangi si pesaing. “Satu hari nanti… satu hari nanti, gw yang bakal mengalahkan dia!” Tegasnya, sembari megangin bagian lengan kiri jersey yang sobek akibat pertarungan singkat di atas tali.
“Lu tau? Andaikan lu bisa mengurangi kebiasaan mencela gw buruk rupa, gw bisa lebih sayang pada lu.” Protes si Shield Miller, “Apa bedanya coba, muka kita?”
Kembarannya yang berambut hitam, menatap balik wajah si Shield Miller sejenak, kemudian berkata, “… Muka lu jelek.”
.
.
Entah apa yang dilakukan Meinhalom pada pantat gw, tapi yang jelas, sekarang gw lagi melesat kelewat cepat! Dan di ketinggian yang lumayan tinggi pula! Kenapa ledakan spontan energi panas harus keluar dari bagian nista itu!? Kenapaaa!?
Ga makan waktu lama, gw udah menyusul peserta-peserta bagian depan di Rear Garden. Ish’Kandel dan Hash’Kafil tercengang liat gw ‘terbang’ di atas kepala mereka. “Lake! Ngapain lu?! Kok bisa?” Teriak Si Shield Miller.
“…” Gw ga bisa jawab. Karena ga kepikiran mau jawab apaan.
Abis lewati mereka, gw bisa liat Alecto, Dzofi, dan dua wanitanya. Mereka saling susul satu sama lain. Errr, ga perlu ditanya reaksi mereka pas liat gw.
“Lah? Anjir!” Alecto berseru.
“Ihh, pantatnya keluar api,” ujar Sabilla dengan polosnya.
“Aku bahkan ga mau komentar,” Tukas Royal Ulfa.
“Hahaha! Maju, brooo!” Dzofi malah menyemangati gw.
Tubuh gw masih terus melaju di udara, cepat mempersempit jarak dengan duo ‘monster’ terdepan. Oke, belum tau ada rintangan apa di Rear Garden, tapi setelah gw perhatikan peserta yang udah terlewati, mereka seolah pilih-pilih titik berpijak. Ada beberapa titik yang mereka hindari, repot-repot ambil langkah agak ke samping saat bisa lurus. Cuma satu yang kepikiran di kepala gw.
“Trap.”
Rokai dan Elka sedikit dongak dan kaget, ketika sadar kehadiran peserta yang sanggup memotong jarak bahkan sampe merebut posisi pertama dalam waktu singkat lewat jalur udara. Hehehe.
“Lake! Ga ada takut-takutnya lu balap gw!?” Teriak Elka sewot.
Haha, begitulah dia. Memendam pribadi yang selalu senang berkompetisi dan jadi yang terbaik. Ga buang waktu, dia percepat pergerakannya.
Pun begitu dengan Rokai walau ga ada kata terucap. Pusaran angin kecil tercipta di kedua lengannya, dan mendorong badan Si Holy Chandra, pertahankan posisi ga jauh dari Elka.
Mereka yang tadinya saling sikut, kini berhenti menjegal satu sama lain dan mulai sibuk mengejar gw. Sial! Mantra Jetstream Meinhalom makin berkurang kecepatannya, pertanda ga lama lagi abis. Arrgh! Jangan abis dulu dong! Kalo gini, mereka bisa gampang lewati gw. Bakal susah kejar ketertinggalan karena pendaratan ini pasti makan waktu. Mana posisi gw udah enggak banget; kepala di bawah, kaki di atas!
“Kamu bisa… menang.”
“Kamu harus… menang.”
“Kamu pasti… menang.”
Faak! Faak! Faak! Gw ga bisa lepas kesempatan ini, ga sekarang! Yang begini belum tentu datang lagi, moment saat posisi mereka sejajar!
Kalo gw ga bisa lewati mereka, berarti ga ada yang boleh lewat!
Aneh juga bila dipikir lagi. Gegara anak itu, semangat bertanding gw yang tadinya udah redup, bisa kembali membara setelah dia ‘memercikan’ bunga api di dalam dada. Bantu gw sampe abis tenaga untuk lakukan hal yang hampir mustahil. Demi secercah harapan yang udah dia beri, jangan sampe ini sia-sia!
Di udara, gw loloskan plat logam yang dari tadi dibawa-bawa, dan pegang pake dua tangan. Merasa waktunya benda ini berguna.
Mereka berdua udah di posisi yang sama dengan gw, ada celah di tengah, enggan dipijak ama mereka. Pertanda ada trap disana. Benar enggaknya, urusan nanti. Yang penting, layak dicoba! Eh, tapi, apa ga bahaya? Kalo para peserta terluka gegara perbuatan gw, gimana?
Dalam waktu sepersekian detik, gw dihadapkan beberapa kemungkinan. Keadaan nuntut untuk cepat ambil keputusan. Otak gw memproses itung-itungan nan rumit tentang presentase realitas, untuk pertimbangkan cara paling efektif. Dan akhirnya gw dapat satu solusi.
“Bodo Amat.”
‘Monster’ ga bakal mati cuma gegara ledakan ranjau di festival olahraga, kan? Haha.
Rokai di kanan, Elka di kiri, gw di tengah. Mereka mengertak gigi liat satu aksi gila karena pasti mereka tau, di tanah tempat gw berpijak nanti, ranjau siap menyambut. Gw sempat berputar di udara buat kumpulkan tenaga dan betulkan keseimbangan, dilanjut memukulkan plat logam yang gw pegang sekuat-kuatnya ke titik pendaratan.
“Awas ledakan,” ucap gw pelan pake seringai.
Mata Elka dan Rokai terbelalak. Mereka langsung lindungi muka dengan lengan masing-masing sebelum plat logam yang gw pegang menyentuh tanah.
Satu ledakan udah cukup buat jadi pemicu reaksi berantai dari semua ranjau yang tersisa sampe ke belakang-belakang. Ga perlu ditanya lagi, Rear Garden udah kayak merayakan pesta petasan. Gw yakin peserta yang masih di belakang pasti kena imbasnya juga. Asap dan butiran tanah berhamburan ke mana-mana. Bahkan pandangan gw sampe terhalang.
Karena mendarat di atas ranjau, gw mental lebih jauh ke depan. Ternyata keputusan untuk bawa-bawa plat logam ini ga sia-sia. Terbukti cukup jadi pelindung tubuh, biarpun minimal sih.
Duh! Tubuh gw bergesekan dengan tanah dan terlempar sampe 15 meter kali. Kuping jadi pengang luar biasa. Gw terus lari, tinggalkan hamburan tanah dan kekacauan yang gw timbulkan. Jersey yang gw pake jadi sobek-sobek, celana training gw jadi panjang sebelah gara-gara yang kanan sobek sampe lutut.
Pintu masuk Arena Serba guna udah di depan mata. Seraya langkah kaki menuntun ke arena, sayup-sayup riuh penonton yang memadati tiap sudut makin mengaburkan pengang, dan kuping gw kembali bisa menangkap suara.
“ASTAGA! SALAH SATU PESERTA EDAN MELEDAKKAN SEMUA RANJAU DI SEKITAR REAR GARDEN! ENTAH APA YANG ADA DI OTAK PEMUDA ITU, BUNG KUS?!”
Waat!? Edan katanya?
“Tenangkan diri anda, Bung Binder! Tidak ada yang mengira ini akan terjadi, tapi inilah yang terjadi!”
Komentator yang satu lagi nyaut, biarpun ga sekeras partnernya tadi.
“AREA REAR GARDEN TELAH BERSIH DARI RANJAU, SAYA ULANGI! AREA REAR GARDEN TELAH BERSIH DARI RANJAU!
ini yang satu kok heboh amat sih, heran gw.
“Info dari pihak panitia; Mohon maaf bagi penonton baik di arena, ataupun yang menyaksikan di tempat lain, droid kamera yang disediakan panitia mengalami kerusakan saat mengambil gambar dari jarak dekat ketika ledakan terjadi. BAGAIMANA INI BUNG KUS!? KITA TAK PUNYA VISUALISASI LEBIH LANJUT!”
“Artinya … kita hanya bisa menanti, siapa yang akan menginjak arena ini pertama kali.”
“DAN SIAPAKAH YANG AKAN DATANG DARI GERBANG ITU!? KITA SAKSIKAN BERSAMAAAA!”
Seru sang komentator, suaranya membahana lewat speaker-speaker Arena.
Gw menyusuri lorong masuk. Di ujung sana, terang Matahari menembak bagian dalam Arena. Penonton terdiam begitu gw menginjakkan kaki di tengah-tengah. Gw liat sekeliling, kebanyakan dari mereka terhenyak. Saling berbisik, ga percaya dengan kenyataan di depan mata.
Mata gw tertuju ke arah ruang VVIP. Gw yakin, Gatan ada di sana dan jadi saksi atas apa yang baru terjadi. Napas gw amat terengah, tangan kanan terkepal kuat biarpun masih tersisa perih akibat melepuh. Kemudian dengan mantap, gw angkat tinggi-tinggi.
“Se-Sentinel … SENTINEL, CAPTAIN LAKE GRYMNYSTRE! LAKE GRYMNYSTRE! LAKE GRYMNSYTRE!”
Bersamaan dengan Komentator meneriakkan nama gw tiga kali, teriakan penonton dan tepuk tangan meriah memenuhi seluruh tempat ini. Seketika keadaan hening tadi berubah drastis. Mereka bersorak, berseru. Apa yang mereka teriakan? Entahlah, semua teraduk jadi satu.
Luapan emosi ini ga tertahan! Gw pejamkan mata dan teriak sekuat tenaga!
“YAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHH!” Biarpun suara gw pasti tertimpa bising nan riuh, tapi tetap aja, puas rasanya. Kayak baru menang piala. Padahal, ini baru raungan pertama. Bodo amat, seenggaknya gw merasakan manis kemenangan.
Peserta yang tersisa mulai masuki arena. Rokai masuk setelah gw, diikuti Elka. Alecto, Sabilla, Hash’Kafil, Ish’Kandel, Ulfa, dan Dzofi setelahnya. Keadaan mereka ga lebih baik dari gw, debu dan noda tanah mengotori Jersey mereka.
Ga yakin gimana gambarkan ini pake kata-kata, karena rasanya luar biasa. Semua lelah dan keringat … serta ekspektasi, terbayar sudah. Perjuangan Meinhalom juga jadi ga sia-sia.
“Mengawali start dengan buruk, menempati posisi paling belakang selama hampir seluruh pertandingan, namun tiba-tiba mengejutkan dengan keluar sebagai pemenang! Luar biasa, Ranger yang satu ini, Bung binder!”
“ANDA TIDAKLAH SALAH, BUNG KUS! BRAVO, BRAVO! Ahh, inilah masa muda! Di mana tiada kata mustahil!”
“Cih,” mata gw menangkap reaksi Rokai. Ciee gondok.
“Weey, edan! Hahaha.” Suara Dzofi memanggil, dan menepuk pundak gw. “Menang, kan? Apa gw bilang?” Tukasnya pede.
“Haha, kebetulan.” Balas gw pendek.
Alecto yang jalan di belakang Dzofi nyeletuk. “Lain kali, bilang-bilang kek kalo mau melakukan hal sinting. Biar gw ga ikutan kena, Kuya!”
“Ah, elu lebih sering nyeret gw supaya ikut terlibat keidiotan lu,” ujar gw merespon protesnya.
“Hahaha! Gw dan Dzo duluan yah, cari minum.”
“Yo,” gw nyengir ke mereka, dan mengangguk sedikit. Dasar, sinting teriak sinting.
“Oh ya, Lake…” Dzofi sempat jalan 5 langkah, lalu balik badan. Mengalihkan Perhatian gw padanya. “yang tadi itu, di luar akal sehat!”
Sebenarnya gw ga begitu paham maksud perkataannya. Entah pujian atau apa, tapi gw anggap pujian aja deh, “Hahah. Makasih, makasih.” Mereka berdua berlalu cari sesuatu buat diminum.
BUGH!
“Aww, heyy!” Elka memukul lengan kiri gw pake tenaga yang lumayan kuat. Selang berapa detik, dia mukul lagi. Kali ini yang kanan, “Weey! Kenapa lu!?” Omel gw.
“Itu karena udah kalahkan gw dan seenaknya ledakkan ladang ranjau,” ujar Elka. Terkesan jengkel di balik kalimatnya. Infiltrator berambut coklat mendekat. Gw kira mau mukul lagi, makanya udah siap aja mau nangkis, eh ternyata salah. Dengan cepat dia kecup lembut pipi gw, “dan itu, hadiah kemenangan lu.” Terus dia tersenyum.
Gw diam sebentar dan cengo liat senyuman perempuan itu. Gerakannya tadi begitu lihai sampe gw ga sempat bereaksi.
“Kumur-kumur dulu dong, pasir semua nih.” Canda gw seraya mengusap-usap pipi, merasakan pasir masih menempel.
“Coba bilang lagi, dan kepalan tangan gw yang bakal mendarat di situ,” candaan gw dibalas ancaman. Hhaha.
Dia menatap tangan kanan gw yang tertutup base layer hitam lengan panjang, dan langsung dipegang. Lengan panjangnya dia gulung ke atas, mengeskpos luka melepuh akibat pegang tangan bersuhu tinggi Meinhalom, “Lu … terbakar!?”
“Ah, bukan. Ini-“
“A-anu,” begitu mau jelaskan, mendadak, ada suara perempuan dari belakang gw. Suara yang ga asing, dan gw tau siapa pemiliknya. Gw balik badan hadap perempuan itu, “makasih udah, temani… aku.” Dia berkata. Oritzi ada beberapa meter dari tempat kita berdiri, liat ke mari sambil senyam-senyum.
“Ahha, harusnya gw yang bilang makasih, Mein. Kalo bukan karena lu, gw ga bakal menang.” Gw berkata sambil menepuk ringan bahunya.
“Maaf, gara-gara aku… tanganmu…”
“Cuma luka kecil kok, santai aja.” Gw nyengir, supaya dia ga merasa bersalah.
Meinhalom diam beberapa saat. Lagi mikir barangkali, mau ngomong apa lagi. “Lain kali, mau ga… lari lagi?”
Kali yang tercengang. Ga nyangka Mein berani ngajak olahraga bareng.
“Lari bersama, kamu… seru.”
“Ah-ahaha, boleh. Boleh banget malah!” Baru nyadar kalo gw kelamaan cengo. “Kabari aja, gw selalu siap.”
“Janji…?”
“Janji.”
“Sekali lagi, makasih ya… El-L-La… L-Lake.” Kepala bermahkota pink menunduk pas coba mengucap nama gw. Tersendat, tapi akhirnya berhasil juga. Haha, emang deh anak ini uniknya ga ketulungan.
“Iyo, sama-sama,” Wizard itu langsung balik pada Oritzi. Liat Punggungnya menjauh, gw baru sadar… tadi tuh pertama kalinya dia mengucap nama gw.
Udah berapa kali ya, dia menolong gw? Dan ga sekalipun nama ge terucap dari mulutnya kecuali tadi
Sekali lagi gw mengamati tangan kanan, di mana tulangnya pernah patah. Melepuh begini sih, bukan apa-apa. Dia ga perlu sampe minta maap padahal. Secara, dialah yang bikin tangan gw tetap tersambung. Sekarang pun sama. Agaknya gw merasa beruntung juga putuskan buat berhenti saat dia nyusruk tadi.
“Itu siapa?” Pertanyaan Elka bikin gw balik ke realita.
“Meinhalom, buff hoki gw.”
“Buff hoki…?” Dahi Elka bergerut, denger jawaban gw.
“Eh… teman maksudnya. Teman gw…” Kenapa gw bisa asal nyebut gitu ya?
“Which one do you prefer? Ride on a train, dance in the rain, or feel no pain?” – Khortenio (Ch. 21)
CHAPTER 26 END.
Next Chapter > Read Chapter 27:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-27/
Previous Chapter > Read Chapter 25:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-25/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list

