LAKE CHAPTER 27 – SECOND ROAR OF THE SPORTS FESTIVAL

Lake
Penulis: Mie Rebus
…Ruang VVIP, Arena serbaguna…
Archon Croiss bersama dua wakil menyaksikan jalannya raungan pertama melalui layar LCD eksklusif, berhubung event ini mengambil tempat di luar arena. Berserker berambut kemerahan itu terlihat santai, nonton sambil sesekali menenggak bir pemberian wakilnya, Gatan. Begitu kontras dengan sang kakak dan sahabat, yang lagi harap-harap cemas, jagoannya masing-masing ga akan kalah.
Karena biarpun udah melalui rintangan kedua; Jebakan Pasir di Dry Moor, belum ada tanda-tanda Rokai bakal goyah posisinya. Cuma ada seorang Ranger Wanita berambut coklat pendek yang jadi saingan terdekat Holy Chandra itu. Namun sayang, diantara mereka bertiga, ga ada yang jagokan dia.
Kalo keadaan ini ga berubah sampe garis akhir, artinya, Izcatzin dan Gatan wajib bayar 100.000.000 Dalant pada Sang Archon.
“Ohho, gw bisa cium bau-bau 200 juta nih.” Ledek Croiss, sumringah.
“Arrrgghh! Hash’Kafil! Kenapa dia harus meladeni gadis Ranger itu tadi!?” Keluh Armor Rider, sambil acak-acak rambut oranye kehitaman dengan penuh frustasi, “ga penting banget!”
Sedangkan Gatan belum bilang apa-apa, cuma liat aksi Sentinel junior masih berusaha mengejar di posisi paling belakang.
“Kayanya ekspektasi lu terlalu tinggi, Gatan.” Croiss berkata.
“… Bisa jadi.”
“He! Anak itu emang pantas ada di urutan terakhir,” kali ini Gantian Izcatzin nyeletuk.
“… Ingat, raungan pertama belum selesai.” Balas Gatan, ga pindahkan pandangan mata. “Anak itu pasti bakal melakukan sesuatu…” Sentinel senior yakin, anak didiknya ga akan menyerah gitu aja. “… AYO NORDO! JANGAN BIARKAN LEITEN MENANG!” Croiss nyaris tersedak bir, dan Izcatzin menatap hampa, ga percaya Gatan berubah keyakinan begitu cepat.
Ternyata yang dia maksud itu Elka. Secara, Infiltrator wanita itulah harapan satu-satunya biar taruhan ini berakhir imbang.
“Jadi segitu doang, keyakinan lu pada anak didik sendiri!?” Tanya Izcatzin dengan intonasi sedikit naik.
“Ah… gw yakin Grym punya potensi yang luar biasa. Tapi… ini masalah duit!” Wakil Archon berambut hitam itu berseru, mata biru gelapnya melirik Croiss yang duduk di sofa, “Gw ga rela 100 juta masuk ke kantongnya gitu aja,” yang dilirik cuman pamer seringai di atas angin.
“Lagian sih, salah sendiri percaya diri banget ngajak taruhan.” Izcatzin yang semula berdiri, menghempas tubuh ke sofa di sebelah adiknya. “Potensi apa yang dia punya, sampe lu segitu yakin tadi?” Lanjutnya menyelidik, pengen tau penilaian Gatan terhadap Lake.
“… Tau ga? Dia punya kaki yang kuat. Sangat kuat.” Ucap Gatan pada dua rekannya, setelah jeda sejenak. “Mungkin, kalo cuma diliat, ga bakal ketauan. Tapi, dulu gw pernah mengurut kakinya yang cedera akibat latian. Dan saat itu gw baru sadar, dia kayak punya pegas di balik lapisan otot itu.”
“Pegas?” Tanya Sang Archon singkat. Dijawab anggukan kecil dari Gatan.
“Berapa rekor tercepat Federasi dalam lari 36.5 meter?”
“4.2 detik, dan itu rekor lu sendiri.” Ujar Izcatzin seraya memutar bola mata, anggap Gatan nanya sambil menyombongkan diri.
“Hahaha. Tepat. Kita, Bellato, punya fisik yang lebih kecil, kaki yang lebih pendek ketimbang Corite, kan?”
“Ya, Prajurit tercepat Aliansi punya rekor 4.1 detik. Sejauh ini, bahkan 4.2 detik itu batasan yang masih mustahil dijangkau Bellato kebanyakan. Kecuali lu, tentunya.” Croiss menegaskan.
“Benar. Ga peduli sekeras apapun mencoba, gw ga bisa perbaiki rekor, biarpun cuma 0.1 detik.” Gatan senyum simpul, sebelum kembali menjelaskan. “Si Grym itu, betisnya bagai pegas yang sanggup kumpulkan momentum dalam waktu singkat, berakselerasi dari 0-36.5 meter cuma butuh 4.0 detik. Lu tau apa artinya?”
“Ga… ga mungkin… itu kan berarti…” Izcatzin keliatan kaget dengar fakta itu, raut wajah Croiss berubah serius dengar penjelasan sang Wakil.
“Ya, dia melewati batas kecepatan yang ga pernah sanggup ditembus Bellato normal. Dan yupp, dia bisa menempuh jarak 100 meter kurang dari 9 detik.” Gatan langsung menginterupsi kekagetan mereka. “Tulang Pahanya, bertindak sebagai penetralisir kecepatan. Membuat tubuhnya stabil ketika melakukan manuver ekstrim pas menghindar, menyerang, ataupun deselerasi dari kecepatan maksimal ke 0. Segala macam hentakan akibat energi gerak, diredam oleh tulang punggung. Tubuh anak itu juga punya pusat gravitasi yang cukup rendah, bikin gerakannya begitu fleksibel, dan leluasa berakrobat di udara.”
“Oke, oke. Gw percaya pada lu,” sela Izcatzin, keliatan capek dengar Sentinel itu menyebut poin-poin positif anak didiknya, “tapi lu lupa satu hal penting, Gatan.”
“… Apa?”
“Lu ga akan bisa menang dalam pertarungan, kalo cuma lari dan lari.” Kritik Izcatzin begitu tajam.
“Dia ga-“
“Astaga …” Perdebatan singkat Gatan dan Izcatzin disela oleh gumaman Archon Croiss, bikin mereka berdua balik ke pertandingan.
“Kenapa, kenapa!?” Tanya Armor Rider wanita, penasaran apa yang terjadi. Di layar LCD terlihat seorang lelaki berambut kelabu, terbang cepat, dan mulai melesat ke bagian terdepan. Begitu cepat, sesaat tadi dia masih terbelakang, sekarang udah berebut posisi pertama.
“Ga cuma bisa lari.” Gatan membatin, bibirnya menyungging senyum.
Rentetan ledakan ranjau mulai terdengar, lelaki berambut kelabu itu tanpa ragu mendarat tepat di atas ranjau, memicu reaksi berantai. Entah apa yang ada di pikirannya, ketiga Bellato di ruang VVIP ga kuasa menebak. Agaknya mereka tercengang, dengan apa yang barusan terjadi. Tetiba layar LCD kehilangan gambar.
Terdengar pengumuman dari komentator bahwa, droid kamera yang lagi ambil gambar dari dekat, ikut kena imbas ledakan tadi, dan penonton pun jadi ga punya visualisasi.
Archon dan kedua wakilnya masih diam seribu bahasa, dan ga bergerak sama sekali, ketiga pasang mata mereka melebar, “Anak itu, gila…” celetuk Izcatzin, memecah hening.
“Gw ga bisa lebih setuju lagi dengan lu,” kali ini, Sentinel berambut hitam sependapat.
“Lu mengajarkan hal ga benar, ya?” Sang Archon, juga masih belum percaya.
“Gw mengajarkan banyak hal, tapi bersihkan ladang ranjau dengan cara begitu, bukan salah satunya.”
Seraya Izcatzin bangkit dari sofa, dan tempelkan muka ke kaca, liat ke arah gerbang masuk, dia berseru, “Terus… ini gimana?! Siapa yang menang!?”
Penasaran, Archon Croiss ikutan bangkit juga. Menanti moment penuh ketegangan, di mana 100 juta dipertaruhkan.
Tenggorokan mereka tercekat, mata terbelalak, mulut rapat tahan napas, saat liat sesosok berambut kelabu pendek, jalan ke tengah arena. Bersimbah peluh, lelah, dan beberapa gores luka, ga jadi penghalang bagi pemuda itu untuk mantap angkat tangan kanan terkepal setinggi-tingginya, sebagai tanda kemenangan.
“YEESS! YEAHAHA!” Saat bersamaan, Gatan juga melakukan hal yang sama, dan teriak spontan, “Bayar, bayar, bayar~” Diikuti gerakan tarian absurd di depan rekan sejawatnya.
“Ro-Rokai… kalah?” Ekspresi tenang dan kalem Croiss berubah seketika, bak hilang harapan, kaya ga ada lagi yang bisa diperjuangkan. Berserker terkuat se-federasi jatuh di atas dua lutut. “Biji karet! Biji karet! Biji karet!” Lalu mulai mukul-mukul lantai ruang VVIP.
Sedangkan kakaknya, Izcatzin, mulai jedotin pala ke kaca anti peluru. “Makan cacing… makan cacing… makan cacing…” Dan mengumpat dengan nada datar.
Situasi kini beda 180°. Sekarang, Gatanlah yang nyengar-nyengir kesenangan, dan siap jadi lebih kaya 200 juta.
“Apa yang ga mereka tau, tubuhnya benar-benar fit dan dilahirkan untuk beradaptasi dengan kecepatan tinggi.” Gumam Sang Wakil Archon dalam hati, sembari menatap ke tengah arena. “Mungkin dia sama sekali bukan prajurit kuat, tapi dia Ranger yang sangat cepat.” Lanjutnya lagi. “Kecepatan itu sendiri, yang jadi kekuatan terbesarnya.”
.
.
Punya teman dekat kaya Elka, yang tulus perhatian adalah satu hal yang patut banget disyukuri. Tapi kadang, perhatiannya itu bisa jadi menyebalkan. Gimana enggak? Rasa khawatir anak ini bisa sampe pada titik berlebihan. Kaya sekarang, kami berdua duduk-duduk di bagian pinggir arena, biasa, jauh dari keramaian. Dia lagi membalut tiap jengkal tangan kanan gw, mulai dari ujung jari sampe pangkal lengan. Padahal, luka bakar ga gede-gede amat.
“Uhm, Ka… lu terlalu berlebihan.” Ucap gw, “Lukanya kan cuma dari sini sampe sini.” Telunjuk kiri gw nunjuk telapak sampe ke daerah sekitar pergelangan tangan kanan, barangkali dia lupa.
“Ini bukan cuma perawatan.” Balasnya, masih sibuk melilit perban. “Tapi sekalian pencegahan.” Pencegahan, dia kata? Emang dikira, lukanya bakal menyebar gitu?
“Aduduh!” Tetiba perban di bagian yang luka, dililit terlalu kuat olehnya. Gw jadi menampar-nampar tangan Elka. Akibatnya, Infiltrator itu meraih tangan kiri gw dengan satu genggaman, terus dipelintir tanpa ampun. “EEEKKH! Iya, iya, iya… ampun, AMPUN!” Asem cuk, ni anak niat merawat ga sih!? Malah menyiksa gini.
“Gw cuma… ga pengen lu kenapa-napa.” Kali ini dia berkata pelan, mata coklat tertuju pada apa yang lagi dikerjakan. “Lu tau kan?” Mata kita ga saling ketemu. “Apa itu terlalu susah buat jadi nyata?” Tangannya selesai membentuk simpul, dan simpul itu disembunyikan di balik lilitan perban.
Mungkin ga ada orang lain yang merasa, kecuali gw, kalo Elka sedikit berubah. Semenjak balik dari Ether, dia makin sering ada di sekitar gw. Seolah ga biarkan gw lepas dari pengawasannya barang sesaat. Di mata orang-orang yang kami kenal, udah ga aneh bila liat kami dekat. Tapi, ini beda.
Gw ga bisa marah untuk itu. Karena, kalo aja posisi kita tukeran, gw pun hampir pasti bakal melakukan hal yang sama. Ga, ga yakin gw bisa hadapi situasi itu sebaik dia.
Bola mata ungu cermati hasil kerja Elka. Diperban gini aneh juga terasa. Ga leluasa, mengepal aja ga enak. Gadis itu masih agak menunduk, gw sentil lembut aja dahinya, “Aww…” Elka memekik, sambil angkat muka, lalu mengusap dahi.
“Makasih lho, udah diperbanin.” Ujar gw, senyum tulus sebagai tanda syukur atas perawatan yang berlebihan, namun berharga.
“Oi… tangkap!” Terdengar seruan Dzofi seraya lempar kaleng soda. Dengan sigap, Elka menangkap pake satu tangan, sebelum kaleng itu sampe di tangan gw yang udah siap menadah.
“… Kenapa lu belikan soda!?” Elka bertanya, kayanya agak jengkel.
“Hah!? Uh… kata Alecto, dia suka banget soda.” liat reaksi perempuan itu, Si Armor Rider muda tampak hati-hati pilih kosakata. Infiltrator perempuan langsung alihkan mata ke Alecto.
“Apa? Emang ada larangannya?” celetuk Hidden Soldier berambut denim.
“Ya, ada.”
“Ka, tenanglah,” kata gw coba menengahi, “itu bukan larangan, tapi pembatasan, kan? Gw masih boleh minum soda sekali per 3 hari,” tangan gw meraih kaleng soda dalam genggaman gadis itu, “dan udah seminggu gw belum minum soda.”
Agak susah karena Elka masih mencengkram kaleng soda warna merah itu dengan penuh tekanan, sambil menatap gw.
“Uhm, le-lepas, heegh! Bisa ga, lepas… genggaman lu?” Gile, kaleng soda sama sekali ga gerak dari cengkraman kuat gadis berambut coklat. Sebelum akhirnya dia hela napas, terus lepas tangan, “Makasih,” ucap gw pada mereka bertiga.
“Kepada seluruh peserta yang lolos raungan pertama, harap berkumpul di depan panggung guna mendengarkan penjelasan raungan kedua.” Baru sekali menenggak, instruktor Borr udah nyuruh kumpul aja. Mau ga mau, kami beranjak ke sana.
Ke-52 peserta yang berhasil lolos raungan pertama, dengan cepat berkerumun di depan panggung. Wow, banyak banget berkurangnya. Dari 200-an sampe tinggal 50-an. Keras juga ya berarti. Dan kalo ingat gw yang ada di urutan pertama, “Njir, betapa hoki diri gw.”
“Baik, inilah dia! Raungan kedua festival olahraga!” Seru Conquest Borr, begitu keras supaya kedengeran semua peserta. Di layar besar muncul tulisan; Perkatpala. Bikin alis kami terangkat sebelah. “Pertahanan Ikat Kepala… baiklah, saya tak ingin berkomentar.” Haha, pria botak paruh baya itu lagi-lagi kesal.
Perkatpala, ya? Itu sih permainan yang umum dimainkan pas kami masih jalani masa pendidikan. Ga kebayang kalo itu dijadikan kompetisi gini. “Permainan ini tidak jauh berbeda dari yang kalian kenal, namun hanya ada satu perubahan; di festival kali ini, kalian akan memakai peraturan Perkatpala tim.”
“E-eh? Peraturan tim?” Raut kaget keliatan dari wajah-wajah para peserta. Soalnya, selama ini Perkatpala yang paling sering kami mainkan, adalah permainan individu. Di mana setiap pemain saling berebut ikat kepala yang dipake. Sederhananya sih, ini mirip-mirip survival game gitu deh. Kehilangan Headband, sama aja kehilangan nyawa. Dan siapapun yang bisa kumpulkan headband terbanyak dalam batas waktu yang ditentukan adalah pemenangnya.
Tapi kali ini, peraturan tim? Berarti, para peserta harus membentuk tim? Kalo setim dengan yang ga kenal, bakal asing terasa.
Gw coba ingat-ingat lagi peraturan Perkatpala tim. Karena udah lama betul ga ikutan main. Kalo ga salah, terdapat 4 orang dalam satu tim, dimana 4 orang ini punya peran masing-masing.
Carry; pembawa, yang dipercaya pake ikat kepala. Interceptor; pengganggu, bertugas intersepsi ancaman yang mengarah ke Carry. Support; pendukung, berperan buat bantu Carry merebut ikat kepala Carry lawan. Decoy; pengalih, umumnya anggota tim yang punya mobilitas tinggi. Peran ganda, bisa menjaga Carry dengan alihkan serangan pada dirinya sendiri, bisa juga bantu merebut headband secara ga langsung.
Yang boleh menyentuh dan rebut ikat kepala Carry lawan cuma Carry dan Support. Sedangkan, Decoy dan Interceptor ga diizinkan menyentuh sama sekali.
“Seperti yang kalian tau, total ada 52 peserta yang berhasil melewati raungan pertama. Ke-52 peserta ini akan mendapat poin kelipatan 5 sesuai dengan urutan masing-masing. Jadi, peserta urutan terakhir dapat poin 5, yang ke-51 dapat poin 10, dan begitu seterusnya.” Jelas Conquest Borr, suaranya masih terdengar lantang. Hoo, begitu rupanya. Pake sistem poin. Hmm, berarti poin gw sampe 200-an lebih nih.
“Satu tim terdiri dari 4 peserta. Nantinya, poin tiap anggota akan diakumulasikan, dan tiap tim hanya akan memperebutkan ikat kepala yang dibawa salah satu anggota yang punya poin individu terbesar. Decoy akan diberikan pin khusus, yang jadi penanda bahwa dialah ‘Decoy‘.” Lanjut Infiltrator paruh baya, sambil kasih liat pin perak kecil berlambang federasi. “Pin ini bernilai terpisah dari poin yang diakumulasikan dalam satu tim. Artinya, bila seorang Decoy bernilai 100 poin dikalahkan, maka otomatis pinnya akan jadi hak milik tim yang merebut. Dan tim peserta tadi akan kehilangan 100 dari total poin. Berbeda dengan Headband, pin ini boleh direbut oleh siapapun.”
“… Ikat kepala hanya boleh dipakai di bagian kepala sampai leher. Tidak diperkenankan diikat di bagian yang sulit dijangkau. Sedangkan untuk pin, kalian bebas menyembunyikannya. Decoy dan Interceptor tidak diperkenankan menyentuh Headband tim lawan. Ketahuan melanggar, akan langsung diskualifikasi. Tiap tim diperkenankan menggunakan peralatan pendukung. Tim yang kehilangan Headband, tidak langsung tereliminasi. Bila waktu masih ada, maka tim tersebut bebas merebut kembali headbandnya atau merebut headband tim lain. Batas waktu yang diberikan adalah 45 menit. Setelah 45 menit, akan dipilih 4 tim dengan poin terbanyak untuk melaju ke raungan utama.”
Oke, seenggaknya gw udah paham garis besar peraturan-peraturan tadi. Ga terlalu jauhlah bedanya dengan permainan individu, “Oh ya, terakhir. Pengecualian untuk peserta urutan pertama, dia mendapat 6.000.000 poin.” Kalimat terakhir instruktur Borr sangat ga terduga.
“BFFTT! UHUK! UHUUK!” Gw yang lagi menenggak soda kaleng otomatis tersedak akibat kaget, nyembur dan batuk ga karuan. Waat!? Ga salah dengar nih!? Kepala gw dihargai 6 juta?!
“Kalian punya waktu 5 menit untuk cari rekan tim.”
Seketika, terasa tiap pasang mata mengarah ke gw dengan tatapan tajam siap mutilasi di tempat, disertai aura pekat iblis-iblis pembunuh, menyeruak dari jiwa-jiwa peserta haus kemenangan. Terbesit di pikiran gw, “… Faak. Mati. Tamat.”
“K-Ka, Lec, gimana nih? Semua pasti mengincar kita” Ucap gw pada Elka dan Alecto. Pasti mereka tau apa yang harus dilakukan, dan udah yakin aja, mereka mau setim dengan gw.
“Ah, maaf Lake…” balas Alecto dingin seraya betulkan posisi sarung tangan, tanpa bertatap muka.
Sedangkan Elka kasih gw lirikan maut. Mata coklatnya keliatan menyeramkan banget. Sumpah… ga bohong, “… Hati-hati, pala hilang.”
“Pe-Pengkhianat!” Shite! Ternyata mereka juga termasuk peserta yang mengincar gw! Akh! Kemana Elka yang tadi ga pengen gw kenapa-napa!?
Rasanya langsung down. Pengen undur diri aja pas liat sekeliling, peserta lain udah mulai bentuk tim masing-masing. Dari jauh, keliatan Holy Chandra kampret dan kembaran Ish’Kandel tersenyum sinis dan menantang. Faak.
Jelaslah peserta lain ga ada yang mau setim ama gw. Dengan jumlah poin yang jauuuuh di atas, mereka lebih memilih merebut ketimbang mempertahankan. Kaya kata pepatah, mempertahankan emang selalu lebih susah. Waktu 5 menit makin menipis, dan gw mulai panik. Siapa yang kira-kira bersedia? Kalo ga ada yang mau juga, masa iya, gw harus menghadapi ini sendirian? Modar yang ada.
“Siapa kira-kira, dua orang lagi?” Eh? Tetiba Dzofi bergumam di sebelah gw, jepit dagu dengan jempol dan telunjuk terlipat. “Kita butuh Interceptor yang baik.”
“Ki-kita?” Tanya gw terbata.
“Ng? Ya, tim kita.” Jawabnya enteng sambil nengok ke gw. Ni anak…
“Lu, mau… jadi tim gw?”
“Yaiyalah, kita harus menang bersama! Wajar kan, kalo gw setim sama lu?”
Dengar jawaban pemuda itu, mata gw langsung berkaca-kaca..Begitu terharu, dan spontan gw peluk dia, “Huaaaa! Dzooo! Makasih, makasih, makasih! Gw cinta banget sama lu!”
“Aa, wat!? Oke, ga! Ga! Jauh-jauh!” Eh dia malah menampar sambil dorong-dorong muka gw, maksa menjauh, “Lu ga perlu peluk-peluk! Dan jangan pernah ucapkan ‘kalimat itu’ ke gw lagi! Jangan pernah!” Santai aja kali, ga usah pake napsu namparnya, “Oke, kita masih butuh dua orang lagi. Ada saran?”
“Kita butuh seseorang buat jegal Elka,” ujar gw, berubah 180° jadi mode serius. “Seseorang yang setara… atau seengganya mendekati kemampuan Elka.” Sebenarnya saat mikir gitu, nama Hash’Kafil muncul di benak. Tapi, kecil banget kemungkinan dia mau gabung kita. Lagian… senyuman tadi, bukan kode ngajak kerjasama.
“Gimana kalo Kak Ulfa? Semok-semok, jago lho dia.” Agak terperanjat dengar Dzofi menyebut sepupunya sendiri semok. Maksud gw … Ulfa kan sepupu! Sepupu! Kalo misalnya gw yang bilang gitu sih wajar. Kan ga ada hubungan saudara. Lah ini!? Jadi curiga, jangan-jangan teknopat ini napsu pada sepupu sendiri. “Ah, sial. Dia gabung tim Elka. Woi, kenapa lu liatin gw seperti itu?” tegurnya saat sadar ada sepasang mata ungu kasih tatapan penuh nista.
Saat lagi ga konsen, ada seorang perempuan berambut putih mendekat. Mata birunya begitu cerah, sebiru langit tanpa awan. “Dzofi,” dia menyapa.
“SABILLA!” Serta-merta, Armor Rider itu berseru, bikin gw dan Sabilla tersentak barengan. “Ini nih, Ranger yang bisa menjegal Elka!”
“E-eh!? Apa maksudnya?” Gadis itu tampak bingung. Kawan berambut hitamnya berusaha jelaskan situasi.
Hmm, emang sih, Elka sendiri yang bilang kalo gadis ini ada pada level ‘mematikan’. Dzofi juga mengakui, kalo dia salah satu Ranger yang punya kemampuan paten dalam hancurkan target jarak jauh. Anggota Divisi 9 Artileri pula. Ga ada salahnya dicoba!
“Tapi… kenapa? Apa Elka…” Sabilla keliatan masih belum paham biarpun udah dengar penjelasan Dzofi.
“Gini ya, Sab. Gw udah kenal Elka terlalu baik. Dan bisa dipastikan kalo dia mengincar kepala gw dari tatapan matanya…” Gw berkata, sembari bergidik ngeri ingat tatapan maut itu. “… kalo udah gitu, dia ga bakal berhenti. Kita butuh lu buat antisipasi.”
Sabilla tertegun sejenak, sebelum tergagap bilang, “Tapi, aku ga yakin bisa… lagian, lagian… tim lain juga akan menargetkan kalian. Terus… te-terus aku…”
Gadis itu makin ga tenang, keliatan ga yakin dengan kemampuan yang dia punya. Kalimatnya ga lancar mengalir dengan muka tertunduk.
“Heyy, heyy! Sabilla! Liat mataku!” Liat temannya gentar, Dzofi dekati dia, dan memegang sebelah pundak Sabilla, membuat dia menatap dalam bola mata hitam si Armor Rider, “Kamu bisa! Aku yakin, Elka ga ada apa-apanya dibanding kamu! Kenapa? Karena aku kenal siapa itu Sabilla Rosseblood!” Dzofi berkata dengan mantap. Perkataan itu bikin bola mata Sabilla sedikit melebar, “karena itu, jangan takut gagal. Kami ada di belakangmu.”
Gadis berambut putih itu tercengang, terus senyum dengan hiasan rona merah di kedua pipi. Uuuu~ jadi makin luthuuu, “Iya Dzofi, aku akan coba. Makasih ya, penyemangatnya.”
“Ahm, ehm… sama-samaa. Hehehe.” Sambil garuk-garuk belakang leher, kali ini, muka si teknopat ikutan tersipu juga. “Sekarang, satu orang lagi!” Katanya, alihkan pembicaraan. Well played, Dzo.
“Gw tau orang yang tepat.” Gw bilang, sambil beranjak pergi nyari orang yang dimaksud. Begitu ketemu, gw langsung tarik lengannya tanpa banyak basa-basi, menuju tempat Dzofi dan Sabilla, “Orang ini!”
“Eww, ditarik-tarik Bellato 6.000.000 poin.” Ledeknya ringan, ga melawan tarikan gw. “Paham kan? Kaya di film itu lho, Bellato 6.000.000 Dalant.”
“…” Asli, ga penting banget. Bisa ga, ga pake lawak garing?
“Eh, kamu yang ga ada angin ga ada ujan ngajak kenalan!” Pekik Sabilla, sambil menunjuk lelaki berambut kuning acak-acakan yang gw bawa.
“Ehehe, ketemu lagi ya, Sabilla.” Kata Ish’Kandel cengengesan.
Gw dan Dzofi sedikit heran, “Kalian udah kenal?” Dan berujar barengan.
“Kenalkan. Shield Miller, Captain Ish’Kandel Ilkash dari Resimen 18, Satuan Tugas Gabungan.” Tangannya terjulur ke Dzofi. Lagi-lagi bung..
“Ehm, Armor Rider, Captain Baydzofi Hardji dari divisi ke-10, Sains dan Teknologi.” Awalnya keliatan ragu, tapi akhirnya si Armor Rider menyambut uluran tangan Ish’Kandel. “Shield Miller, ya? Dia bisa jadi Interceptor!”
“Siaap!”
“Nah, lengkap deh. Sekarang tinggal…” gumam gw, sambil mainkan pin perak kecil di antara jemari. Ish’Kandel udah pasti jadi Interceptor, dan gw, mau ga mau ya Carry. Tinggal pilih siapa yang jadi Decoy antara Dzofi dan Sabilla, “Gw ga tau nih, harus kasih ke siapa,” karena gw baru kenal mereka, dan belum pernah liat apa yang bisa mereka lakukan.
“Pilih, Lake. Lu Kaptennya! Apapun keputusan lu, kita akan coba yang terbaik,” mata gw tertuju pada Dzofi, pas dengar dia ngomong gitu. Pemuda itu tersenyum yakin, begitu percaya pada gw. Kapten, katanya. Padahal, sama sekali belum siap disuruh pimpin tim.
Abis itu, pandangan gw pindah ke Sabilla. Berbeda dari yang tadi, dia keliatan lebih percaya diri. Mata biru langitnya begitu bercahaya, memancarkan keinginan berjuang demi rekan seperjuangan.
Dzofi? Sabi? Dzofi, atau Sabi? Entah apa keputusan ini tepat, namun berhubung waktu udah ga ada, keputusan gw bulat. “… Gw yakin, lu akan jadi Decoy terbaik!”
…
“Baiklah, baiklah, baiklaaaah! Raungan kedua akan segera dimulai saudara-saudara! Ohh Bung Kus, saya sangat bersemangat sekali menanti apa yang akan terjadi, setelah melihat aksi peserta pada raungan pertama!”
“Saya pun sependapat, Bung Binder. Kemurnian festival olahraga yang menyajikan sejuta aksi menawan, membuka semua kemungkinan untuk terjadi begitu cepat, sehingga tidak mengijinkan kita mengedip mata! Luar biasa. Dan kita nantikan, apakah Lake ‘Bellato 6 juta poin’ akan kembali melakukan kegilaan lainnya?”
“Saya harap ia melakukannya lagi, Bung Kus. Saya ga akan bosan melihat kelakuan ga masuk akal sepanjang hari.”
Kadang, gw mikir kalo dua komentator yang dibayar buat memandu jalannya festival ini yang justru agak miring otaknya.
Ke-52 peserta yang terbagi dalam 13 tim, telah bersiap di posisi, di pinggir Arena. Sebelum nanti akan saling bertabrakan di tengah sana. Gw perhatikan tiap tim, dan anggota-anggotanya.
Elka jadi Carry di timnya, yang beranggotakan Ulfa, Oritzi, dan seorang prajurit anak buah Izcatzin… uhm, Rect, kalo ga salah. Yang pernah antar gw ke ruang interogasi.
Alecto, di mana Alecto? Sempat mencari itu anak, dan ketemu di timnya Rokai. Ohho, jadi mereka bergabung, rupanya. Satu orang di tim itu, ga gw kenal. Sedangkan satu lagi, wow… itu kan… Thisack. Co-pilot Major Hevoy! Ikutan juga toh. Jangan-jangan, Hevoy juga ikut?
Dan benar aja, ternyata Hevoy berada satu tim dengan Meinhalom. Di tengah mereka, berdiri seorang perempuan berambut hitam dicepol, pertanda dialah Carry tim itu. Satu orang lagi, lelaki berambut kasar merah kecoklatan. Tapi mukanya ga terlalu keliatan dari tempat gw.
Gw berdiri di tengah formasi segitiga. Di arah jam 12, Ish’Kandel berdiri gagah. Dzofi dan Sabilla agak di belakang gw, “Tegang, bro?” Dzofi memecah kediaman.
“Sedikit,” jawab gw sambil tengok ke kanan belakang.
“Santai, ada kita di sekitar lu,” kata Dzofi, berusaha tenangkan atmosfer panas, “kita akan kasih mereka neraka, kan?”
Gw ketawa kecil dengar kata-kata itu, yang sebelumnya terucap buat Rokai. Kayaknya dalam kondisi gimanapun, doi selalu berpikir positip ya. Rasa pesimis selalu dipinggirkan dulu jauh-jauh. Ikat kepala bertuliskan angka 6.000.690, mulai gw ikat, menutup dahi, “Kamerad, pertama; makasih banyak udah bersedia jadi tim gw. Kedua; maap kalo gw belum bisa jadi kapten yang baik,” setelah selesai mengikat, baru sadar kalo ternyata panjang juga ekor headbandnya. Sampe sedikit lewati tengkuk, “ketiga; Ya! Kita akan kasih mereka neraka!”
TREEEEEEEEEEEENNNNNNNN!
Signal tanda dimulainya raungan kedua; Perkatpala, nyaring terdengar. Buseeet! Seperti yang udah gw duga, ada kali 5 tim, menuju ke posisi tim kami berada. Mereka bergerak begitu cepat, tapi tetap terkoordinasi. Tim Elka dan Hash’Kafil, jelas ada di paling depan.
“Serangan datang!” Seru Sabilla. “Hampir dari segala arah, jalur kabur terhalang!”
“Cih,” Dzofi berdecih, lalu menyentuh punggung gw, “lompat!” katanya dengan nada tinggi.
“Lompat!? Ke mana!?” Gw masih bingung mencerna keadaan, sedangkan tim Elka dan 3 tim lain udah mengepung kita.
“Ke mana aja! LOMPAT!” Sekarang dia teriak. Ugh, emang lompatan gw bisa lewati mereka!? Tapi gegara diteriaki, ya terpaksa. Gw sedikit rendahkan posisi, dan bikin otot kaki berkontraksi. Begitu lepas tenaga, tubuh gw melesat tinggi.
“WAAAAUUUWW!” kenapa bisa gini!? Badan gw kaya ga punya bobot! Tim lawan yang tadi mendekat, langsung kaget dan dongak ke atas. Ga menduga gw lolos dari atas kepala mereka.
“Lihat itu, Bung Kus! Lagi-lagi Lake Grymnystre melakukan atraksi udara guna lepas dari cengkaraman lawan-lawannya!”
“Seperti yang sudah saya sebutkan, Bung Binder. Segala kemungkinan bisa terjadi! Tak ada yang menduga dia memilih jalur udara lagi. Kira-kira, bagaimana mungkin, prajurit bisa lompat setinggi itu, Bung Binder?”
“Saya menduga itu adalah hasil kerja peralatan rekan setimnya, Bung- ASTAGA! KITA LIAT APA YANG TERJADI!”
Ternyata, ada seorang yang udah menduga percobaan kabur ini. Dengan cepat, dia lompat dari permukaan tanah sampe berada di ketinggian yang melampaui gw. Rambut hitamnya tersapu angin di sekitar. Ikat kepala bertuliskan ‘905’ keliatan jelas.
Ga ada ekspresi di mukanya pas bertanya datar, “Mau ke mana lu?”
“Shite…”
Dia tadi ga termasuk dalam salah satu tim lawan yang mengepung, tau-tau malah berada paling dekat. Seolah udah mengira gw bakal lompat tinggi. Tangan kirinya mulai diselimuti api. Masih membekas jelas di dia lempar mantra Force api itu di pertarungan pertama kami, “Ignite!”
Gw cuma bisa menyilangkan tangan buat lindungi wajah.
KABOOM!
Bunyi ledakan akibat impact Force api terdengar memecah angin. Suhu terasa lebih panas dari sebelumnya. Di saat gw pikir bakal kena, ternyata Sabilla menendang pergelangan tangan kiri Rokai sembari salto di udara! Sehingga serangan Holy Chandra itu berbelok.
Tetap aja, tinggalkan percik api kecil di perban yang melilit tangan kanan.
Ga tau gimana cara Sabilla bisa sampe sini, kayanya cara sama yang tadi dilakukan Dzofi. Dengan menyentuh punggung kami pake tangan kirinya yang terbungkus suatu alat seperti sarung tangan.
“Bagus, Sabilla!” Armor Rider itu teriak dari bawah.
Akibat aksi akrobatik Sabilla, Rokai agak terpental. Begitupun gw karena impact ledakan mantra Ignite masih cukup terasa. Badan mulai terasa ditarik gravitasi lagi. Sayangnya, gw ga bisa seimbangkan tubuh karena semua ini bisa dibilang begitu tiba-tiba, “WAAA! TOLONG!”
Untungnya, Ish’Kandel rela jadi ‘bantal’ buat ditimpa. Shield Miller itu ikutan jatuh begitu gw tubruk dari langit, “Ma-makasih, bro,” ucap gw dalam keadaan pusing.
“Ga… masalah. Hadeuuh…”
“Lu berdua gak apa-apa?” Dzofi menghampiri kita.
“Tau ga? Gw kesal dengar pertanyaan itu,” hampir kena ledakan api plus jatuh dari ketinggian, gimana menurut lu!?
“Apa itu tadi?” Bukannya jawab, Ish’Kandel malah balik nanya.
“Gravity nullifier,” Armor Rider itu merespon sambil tunjukkan alat di tangan kiri yang mirip-mirip sarung tangan, “menghilangkan gravitasi dari objek yang gw sentuh, untuk beberapa detik,” jelasnya tanpa ditanya, “purwarupa.”
“Weyy, Sabilla gimana?! Tadi itu lumayan tinggi, cuk!” Gw baru ingat pada anggota kami yang paling cantik.
“Aku ga apa-apa kok,” syukurlah, dia berdiri cantik di depan kami, memunggungi. Lalu ambil langkah mundur biar sejajar dengan tim. Wew, kemampuannya sesuatu banget.
Setelah serangannya dipatahkan, tim Rokai mulai bergerak untuk serangan kedua. Siapa, siapa Supportnya? Alecto? Thisack? Atau satu orang lagi?
Ga mau ketinggalan, Elka mulai mengunci gw juga. Emang deh, bagian tentukan siapa Support siapa Decoy, jad paling susah. Soalnya beda tipis. Gw ga boleh lengah karena ancaman bisa datang dari mana aja.
Ish’Kandel dan gw langsung bangkit, segera susun ulang formasi segitiga dengan gw di poros. “Bro, Sist, kita cukup bertahan aja! Ga perlu main agresif. 6.000.000 udah ditangan! Selama bisa dipertahankan, itu udah lebih dari cukup!” Seru gw mengingatkan.
Mereka bertiga mengangguk setuju. Masalahnya, bisa ga kita bertahan 40 menit kedepan dari gencarnya ancaman yang mengarah ke tim ini?
Eh tunggu… lagi diincar Rokai dan Elka nih?! Alamak, kelar hidup gw.
“Serangan! Arah jam 2!” Salah satu peserta random melompat ke arah gw. Ga ada ikat kepala di kepala peserta itu, pertanda dia support. Ish’Kandel tanpa buang waktu, menahan terjangan peserta random tersebut, dan menjatuhkannya ke tanah.
“Mana Carry-nya?!” Gw liat sekeliling, ga ada tanda-tanda sama sekali. Tiba-tiba, dari sudut mata, peserta random lainnya coba merebut ikat kepala senilai 6 juta.
“Dia Support!” Teriak Dzofi. Rupanya yang ditahan Ish’Kandel adalah Decoy, bukan Support.
“UGH!” Ga mungkinlah cuma andalkan teman saat banyak perhatian serangan tertuju pada gw. Cepat, gw menunduk guna hindari tangan Si Support random, terus segera berguling menjauh. Kayanya saat lu punya poin jutaan, poin receh yang dipegang Decoy jadi ga ada artinya. Wajar aja kalo mereka terus-terusan fokus ke Carry.
“Lake! Lu kejauhan!” Seruan Ish’Kandel bikin gw sadar udah menghindar terlalu jauh. Carry tim tadi, akhirnya muncul, ga mau lewati kesempatan ini.
“Gw ambil 6 jutanya, ya! Hahaha” Ujar dia kegirangan. Gw harus menghindar, gw harus menghindar!
BLETAK!
Satu bongkah kecil batu, melayang tepat kena mata Carry yang berusaha merebut headband gw, bikin langkahnya goyah sambil pegang mata, “ARRGH!” erangnya.
Situasi berbalik jadi menguntungkan! Ada celah di pergerakannya! Gw berputar di samping badannya seraya tangan kanan menyambar ikat kepala bernilai 185. “Yesss!” Ga besar nilainya emang, tapi tetap berasa keren aja gitu. Haha.
Pas liat ke arah Sabilla, gadis itu masih dalam pose kaya abis lempar sesuatu. Bikin gw yakin yang tadi itu ulahnya. Dia tersenyum dengan kedua mata tertutup, seraya mengacungkan jempol. Gw balas aja dengan nyengir kuda.
“Jangan lengah, bro!” Kesekian kalinya, Dzofi berseru. Teriakannya terdengar begitu dekat di samping.
“Eh?” Dari belakang gw, ada lagi lawan yang melancarkan serangan. Sigap, Dzofi menyentuh tubuh lawan itu dengan tangan kirinya.
“Wa, wa, waaa… kenapa niih!?” penyerang itu kaget bukan kepalang pas terasa melayang. Gw tangkap tangan si lawan, dan putar-putar sejenak seluruh badannya yang udah ga berbobot, “Wadaalaaah! Pusing, kapteeen!” Baru kemudian, gw lepas gitu aja. terlempar jauh dah itu orang.
Ketika gw pikir bisa sedikit napas lega, pikiran itu benar-benar salah. Terasa tekanan Force dari kanan, dan begitu gw tengok, di sanalah dia berdiri. Sesosok ‘monster’ betina berambut coklat pendek, tajam menatap lekat mata penuh ketakutan mangsanya. Ragu, kalo ini masih bisa disebut hoki.
Shite! Shite! Shite!
“Uhh, haruskah kita lari?” Tanya Dzofi polos.
“Kalem, bro. Jangan ada gerakan mendadak. Pelan, tapi pasti,” asli cuk, macam berhadapan dengan monster beneran. Gw dan Dzofi perlahan mulai berdiri, dan mundur teratur. Dia masih belum bergerak sama sekali, “pelan… perlahan,” Gw berbisik, sesekali menelan ludah.
Pas liat jarak antara kita makin melebar, ‘monster’ itu mulai bergerak. Awalnya jalan, jalan, terus jalan cepat, jalan cepat, lama-lama dia sprint!
“Uuuuuh, gw yakin ini saat yang pas buat lari!” Dzofi berkata dalam kepanikan.
“Yupp, lari dan jangan liat belakang!” Kita mulai balik badan, lari ke arah Ish’Kandel, dan berusaha menjauh dari kejaran ‘si monster’. Liat teman setimnya dikejar, tentu Ish’Kandel ga tinggal diam. Sebagai Interceptor, dengan berani pasang badan. Shield Miller itu bersiap menjegal ‘monster’ yang menerjang kecepatan penuh.
“UGH!” Ish’Kandel coba tangkap tubuh ‘monster’ itu, tapi gagal. Entah gimana caranya, Si Shield Miller kaya dibuat menangkap angin dan terjungkal gitu aja. Kini, ‘si monster’ menuju ke arah kita.
“Arrgh! Sialan! Kalo begini, gw yang akan hadang dia!” Dzofi berkata, maju sambil siapkan Gravity Nullifier. Berharap dia bisa hambat ‘monster’ itu, barang sedikit aja.
Ahh, Dzofi. Percuma. Gw kenal terlalu baik ‘monster’ itu. Lu cuma akan berakhir kaya Ish’Kandel. Tersungkur tanpa tau apa yang terjadi, “Percuma, lu ga akan bisa sentuh dia.”
“Coba dulu, sob! YOLOOO!” Ga menunggu saling beradu, Dzofi kedepankan tangan kiri supaya ‘monster’ itu kehilangan bobotnya dan terganggu saat sprint begitu bersentuhan dengan peralatan aneh, “Ha-hah!? Tembuuuss!?” Seperti yang udah gw bilang, tubuh Elka lewat dengan gampang.
Keliatan tembus emang. Tapi, sebenarnya ga beneran tembus. Elka punya gerak kaki yang teramat lincah, dan susah dibaca. Hal itu yang bikin dia gampang banget buat mengecoh lawan. Soalnya, dia bisa begitu leluasa ganti arah biarpun dalam keadaan sprint.
Pas berhadapan dengan Dzofi, dia melakukan gerakan ke kanan dan kiri berulang kali. Cepat banget sampe ga keliatan kalo dia bergerak kanan-kiri buat hindari Dzofi. Makanya di mata Armor Rider itu, Elka seolah tembus.
Cuma ada satu cara buat antisipasi! Cari tau ke mana dia mendaratkan serangan. Untung gw tau pasti apa yang jadi incarannya. Lengan gw melintang, lindungi headband tepat di depan dahi.
DAGH!
Benar kan, genggamannya ketemu lengan gw, cegah dia menyambar ikat kepala. Gadis berambut coklat itu sedikit tersentak, “Lumayan,” bisiknya di dekat kuping lancip gw, “tapi belum cukup,” tenaga dorongnya bikin gw rebah ke belakang, terus jatuh telentang.
“Rrrrgghh!” sebelah lutut Elka menghimpit dada gw. Sedikit sesak terasa. Kedua lengan gw langsung ditekan pake tenaga yang gak kira-kira. Ah! Kupreet! Dikunci gini! Dia benar-benar tau cara matikan pergerakan gw.
“Kenapa lu ga nyerah aja dan kasih gw ikat kepala itu?” Dia bertanya. Ini ibarat basa-basi klise di film action, pas penjahat butuh waktu lama buat bunuh protagonist, “udah kekunci lho ini.”
“Heh, kita sama-sama di situasi ga menguntungkan, tau,” balas gw, menyembunyikan perasaan gentar, “tangan lu aja sibuk tahan tangan gw. Kalo lu kendurkan pegangan sedikit aja, gw pasti bisa bebaskan diri. Mau ambil pake apaan? Kaki?” bibir gw tersenyum meledek.
Bibir Elka membalas senyum ledekan gw, “Mulut ga cuma dipake buat ngomong.” Dan mulai menarik tangan kanan gw yang halangi ikat kepala menjauh.
“Aaakh! Enggak! Jangan!” Sekuat tenaga gw pertahankan tangan kanan tetap pada posisi, tapi apa daya. Ini anak bukan perempuan normal! Pelan-pelan, tangan kanan gw mulai terkulai di tanah, dan ditekan. Wajahnya makin lama makin dekat kepala gw, berniat gigit headband dan merebutnya. Wew, ini kaya mau diperkosa, “Jangan, jangan, JANGAN!”
Geleng kepala kiri kanan, meronta, berontak, sia-sia.
“!?” Tetiba, saat harapan dianggap ga ada, datanglah keajaiban. Seorang penyelamat! Seseorang menjegal Elka yang ada di atas tubuh gw dari sebelah kiri. Hal ini sangat ga terduga, Elka dan orang itu terguling-guling, bergulat sengit. Di tengah pergulatan itu, satu tangan dari perempuan berambut putih berusaha menggapai headband yang dikenakan Infiltrator berambut coklat.
Dengan cepat Elka menepis tangan nakal itu, berguling ke belakang sambil melakukan satu dorongan menggunakan dua kaki, bikin si rambut putih terlempar dari atas tubuh Elka.
Kini mereka kembali berdiri, saling berhadapan. Kedua pasang mata bertemu di satu titik, tekanan force kedua Ranger wanita saling bergesekan diantara ruang terbuka. Ga ada kata yang perlu terucap, dari gestur aja udah keliatan kalo mereka ga bercanda.
“Sabilla…!?” Gw kaget bukan main, pas liat mata Sabilla berubah. Ga ada lagi mata biru indah nan jernih, melainkan berganti warna merah menyala.
“I know what i need to know.” – Croiss (Ch. 5)
CHAPTER 27 END.
Next Chapter > Read Chapter 28:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-28/
Previous Chapter > Read Chapter 26:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-26/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list