LAKE CHAPTER 29 – MAIN ROAR OF THE SPORTS FERSTIVAL

Lake
Penulis: Mie Rebus


“Bagi mereka yang gugur, tenang saja. Bagaimanapun, ini tetaplah festival olahraga. Sebelum Raungan Utama dimulai, akan kita isi dengan berbagai perlombaan rekreasi yang seru. Bagi mereka yang menang, kalian bebas memilih, untuk ikut serta lomba rekreasi atau tidak. Selebihnya, salam olahraga.” Conquest Borr menjelaskan, lalu angkat kaki dari atas panggung. Oke, waktunya sedikit bersantai.

Alecto dan gw milih untuk latian menembak di salah satu sudut arena ketimbang ikut perlombaan rekreasi. Hitung-hitung, simpan energi buat raungan utama nanti. Di tangan udah tergenggam busur yang tersedia. Sedangkan Alecto, lebih memilih dual handgun.

“Gw yakin, pernah dengar nama itu. Tapi lupa-lupa ingat sih.” Hidden Soldier itu bilang, sembari mengisi peluru, dan siap tarik pelatuk. Dia menembak tiga kali, masing-masing peluru, kena target berbentuk bulat, nyaris tepat di tengah. Di papan skor digital muncul angka 89.

“Jadi… lu ingat, atau lupa?” Nada bicara gw agak meledek. Abis, omongannya ga konsisten. Tangan gw meraih anak panah, lalu tarik tali busur di tangan, ke belakang. “Kalo lupa, ya lupa. Jangan lupa tapi ingat-ingat.” Panah tersebut melesat bersamaan dengan lepas jemari. Hal itu gw lakukan 3 kali, membuat papan digital kasih skor 78.

Ugh, jauh benar selisihnya. Perasaan, dulu ga gini-gini amat.

“Hahaha, kayaknya lu deh yang lupa,” Ledek Alecto, dengan tawa keras. “lupa cara nembak! Pffft.”

“Kayaknya.” Secara, ini pertama kali pake busur lagi sejak dilantik jadi Sentinel. Gara-gara Gatan. “Gw udah kelamaan pake pedang.”

“Nah, tu tau.” Tetiba, Elka udah berdiri di sebelah gw. Pegang busur juga. “Gini nih caranya,” ujar si Infiltrator pamerkan nyengir kecil, lepaskan anak panah 3 kali berturut tanpa alihkan pandangannya dari mata ungu. Alias, ga liat target.

Udah ga heran kalo semua tembakannya tepat di tengah lingkaran, dan pasti bikin angka 100 keluar, “Lu tahan napas. Curang!”

“Lho, kok curang?” Jelas tergambar di kedua mata coklat, refleksi X dengan lingkaran di tepi saat kita bertatapan tadi, “itu namanya ‘skill’.” Nyengirnya makin merendahkan.

Liat muka gw bersungut-sungut, Alecto nimbrung, “Hahaha, dia iri ama lu, Ka.”

“Bodo ah. Suka-suka lu pada.” Di sela canda dan cengkrama, ada 3 orang yang berjalan sembari berbincang juga melewati kami. Karena ga kenal, kami ga ambil pusing dengan keberadaan mereka. Tapi, gw merasa salah seorang dari mereka sempat kasih senyum simpul dari ujung bibir. Hal itu terjadi dalam hitungan detik, bikin ragu, apa benar itu yang terjadi? “… ?” Gw tengok ke belakang, pandangi punggung mereka yang berlalu. Salah seorang diantaranya lelaki berambut cokelat agak panjang. “… Orang itu, senyum ya, ke gw?”

“Mm? Siapa?” Tanya Elka, Alecto pun ikut berhenti ketawa.

“Ga tau…”

“Perasaan lu doang kali,” timpal Alecto.

“… Mungkin.”

Di sisi lain arena, lagi-lagi gw merasa ada yang mengawasi. Diantara kerumunan, Rokai menatap tegas. Begitu tau dia sukses membuat fokus gw tertuju, dia miringkan kepala, kasih isyarat untuk mengikuti langkahnya, lalu berjalan ke lorong ruang ganti.

Dasar. Apa dia ga tau cara normal untuk ajak orang bicara 4 mata?

“Eh, bentar ya. Butuh kamar mandi.” Gw pamit pergi sebentar, pada Alecto dan Elka.

“Jangan main sabun banyak-banyak.” Si kampret, peringatan macam apa itu!?

“Kadang gw ga paham deh. Ada apa sih dengan kalian, para lelaki, dan sabun?” Ahh, Elka. Percuma dikau jadi lulusan terbaik, tapi hal gitu aja ga paham. “Sering banget dikait-kaitkan.”

“Hmm, jadi gini lho, Ka. Kita tuh suka- BEUFFT!” Sebelum perkataan Alecto selesai, sarung tangan yang gw lempar mendarat keras di mulutnya.

“LU GA PERLU JELASIN KE DIA, SARAP!” Demmit! Ga bisa dipercaya!

“Suka sabunan lebih, biar ga gatal-gatal … pikiran lu kotor aja sih.”

“Kotor…?”

“PENDUSTA!” Akhirnya gw menghentak kaki, tinggalkan mereka. Terserahlah! Heran, hobi benar bikin orang kesal.

.

.

Ngomong-ngomong soal kesal, mata hitam legam itu keliatan lebih kesal. Rambut hitam belah pinggir ga rapih nyaris tutupi mata kiri. Kedua lengan terlipat di depan dada, tatapannya bikin gw ga nyaman. Apa lagi yang dia mau? Bukannya udah menang tadi? Kenapa? Banyak yang pengen gw tanyakan, tapi ga ada satupun kalimat tanya keluar dari mulut.

“… Uhm.” Gw menggumam pada lawan bicara yang dari tadi ga berkata apa-apa, cuma berdiri menatap sambil bersandar ke tembok di lorong menuju ruang tunggu ganti, “Kenapa manggil gw?”

Tanpa tau maksud dan tujuan, gw putuskan untuk ikut ajakannya, tinggalkan Alecto dan yang lain sementara. Ini udah beberapa menit berlalu, tapi dia belum bilang barang sepatah kata.

Gw tau dia bisa jadi mengesalkan, tapi ga gini juga kan? Kalo ada yang mau disampaikan, bilang sesuatu kek. Kalo ga ada, biar gw beranjak dari sini.

“… Ada satu Force yang paling ga pengen gw pake.” Akhirnya, dia mulai bicara. “Selama ini, gw melarang diri sendiri untuk menggunakan Force badai.” Kali ini, dia alihkan pandangan ke tangan kiri yang terangkat setinggi dada, sedikit terbuka. “Dan lu, diantara sekian banyak orang…” Kemudian, dia kepal tangan kuat-kuat seakan tahan emosi mendidih.

“Lho, bukannya badai bagian dari Force angin?” Tanya gw, heran dengan pernyataan barusan. “Gw ga liat ada masalah pas lu seringkali pake mantra angin.”

Entah ada sebab apa, yang jelas, omongan gw bikin Rokai makin jengkel. Terbukti, abis gw ngomong gitu, dia melangkah maju dan menyudutkan lawan bicara. “Badai adalah Force yang gw anggap hina. Gw ga sudi menggunakannya, atas dasar apapun!” Telunjuknya lalu menekan dada gw, “Dan lu, dari sekian banyak orang, membuat gw reflek pake petir!”

“…” Terhenyak, liat Rokai berseru demikian. Padahal, Holy Chandra ini selalu datar, tenang, dan sulit dibaca. “Kenapa… lu semarah ini, Ro?” Tapi, ada secuil rasa senang sih. Tandanya kan gw satu-satunya orang yang bisa mendesaknya sampe melanggar larangan sendiri. “Biarpun lu mengutuk Force badai, tapi itu tetap kemampuan lu. Dan lu udah menang dengan kemampuan itu.”

“… Gw menolak untuk menyebut itu kemenangan.” Bantahnya, nada bicara kembali datar. “Persaingan kita belum usai. Di raungan utama, gw tunggu lu di final.” He? Asli kaget. Belum usai!? Apa artinya, dia ga terima hasil raungan kedua tadi!? Arrg! Benar-benar deh, gw ga paham jalan pikirannya!

Sambil berbalik memunggungi gw, Rokai langkahkan kaki, menuju pintu keluar Arena serba guna.

“Gw udah terima kekalahan dengan lapang dada!” Bentak gw, agak keras. “Jadi, kenapa lu ga terima aja kemenangan lu!? Hah!?”

Rokai berhenti, sejenak kemudian bilang, “… Karena bila lu pernah dikhianati, diasingkan, dibuang, oleh mereka yang lu sebut ‘keluarga’, lu akan berhenti percaya. Lu akan mulai mengganggap hina segala tentang mereka.” Dia sama sekali ga menghadap gw. Selesai berkata gitu, lanjut melangkah.

Mulut gw terdiam, ga tau mau balas apa. Yang tadinya sedikit membuka, kini tertutup rapat. Keluarga … pemikiran itu membuat gw sedikit tertunduk, dan tersenyum getir, “Mana mungkin pernah, keluarga aja ga punya.

Lagi-lagi, masalah keluarga lainnya. Bahkan orang sehebat Rokai ga luput dari cobaan hidup. Entah benar atau enggak, dia juga ga pernah berniat cerita. Yang bisa gw simpulkan, Holy Chandra itu merasa dilukai keluarga sendiri. Membuatnya berhati-hati dalam hal percaya pada orang lain, dan membenci Force badai.

Tetiba dari cabang lorong di sebelah kanan Rokai, muncul sesosok wanita di atas kursi roda. Kemunculannya tepat banget setelah Holy Chandra itu lewati pertigaan, seolah emang sengaja nunggu pergi.

“Heyy.” Sapanya.

“Heyy juga.” Balas gw singkat.

“Maaf, ga ada maksud menguping.” Tukas wanita itu. Rambut kehijauan masih terlihat segar di siang hari, beda banget deh dengan gw yang celana aja udah panjang sebelah. “Kebetulan, kalian lagi ngobrol pas aku pengen menyapa kamu.”

“Ohh … dengar, ya?” Gw nanya, penasaran. Wanita yang berkulit kuning gelap cuma mengangguk pelan sembari tersenyum manis. “Sejak … kapan?”

“Hmm, dari awal sih. Ehehe.” Yah bukan sekedar kebetulan, udah sekalian kepo itu mah. “Ngomong-ngomong, selamat ya udah lolos! Pertandingan tadi seruu banget!” Kata Berserker wanita ini, intonasinya berubah jadi penuh semangat. “Aksimu yang ga mundur bahkan sampe detik terakhir berubah jadi 0, terus menekan Rokai tanpa takut! Luar biasa! Ish’Kandel juga oke banget performanya! Bangga deh, punya anak buah kaya kalian!” Sangking semangat, dia sampe menjulurkan, lalu narik lengan, memperagakan beberapa gerakan. “Ahhh, ga menyesal pokoknya datang kemari.”

“Ahaha, ma-makasih ya. Dukunganmu juga… luar biasa.” Aduh, jadi malu, dipuji-puji. Tangan kanan gw memijit bagian belakang leher sendiri. “Tapi, itu semua berkat timku yang hebat banget. Tanpa mereka, entah bakal jadi apa.”

Mata krem Sirvat mengunci gw, “Kamu ga buruk sebagai pemimpin.” Ujarnya, tenang dan masih tersenyum. “Pantesan, Rokai emosi banget.”

“Hmm? Kenapa emang?”

“Soalnya-“

“Lake,” Perkataan Sirvat terpotong oleh suara Elka yang manggil gw. “Ngapain aja sih? Lama banget.” Otomatis, pandangan gw dan Sirvat tertuju padanya, “Dia …”

“Ahh, Elka, kenalkan. Ini Sirvat. Sirvat, Elka.” Baru ingat kalo mereka berdua belum resmi kenalan, biarpun masing-masing udah tau muka.

“Lahoo, Caters Sirvat Mess’Ennera di sini. Skuad leader sekaligus pacar Lake.” Ucapnya enteng sambil merangkul lengan gw.

“Yupp, dia skuad leader sekaligus-” Eh tunggu, kayaknya ada yang salah…

“Pacar …?” Elka nanya curiga, alis terangkat penuh ingin tau, “Kalo ingatan gw ga salah, lu bilang ga ada hubungan apa-apa … dengan dia.” Pernyataan yang terlontar dengan nada ditekan. Faak.

“P … pa-pacar?!” Shite! Moment kelengahan! Gw coba lepaskan lengan dari rangkulannya, gagal. Biar kata lagi pake kursi roda, tenaga khas Berserker masih ga berubah.

“Ahaha, bercanda kok. Gw bukan pacarnya,” Kata Sirvat meredakan suasana. Rangkulan di lengan gw terasa melemah. “tapi calon istri.” cuma sesaat. Abis itu, kuat lagi.

“…”

“… HA-HAAAH!?” Deklarasi yang teramat mengejutkan! Muka gw memerah, salah tingkah tahan malu. Levelnya udah naik dari pacar, jadi calon istri! Tatapan Elka makin menyipit. Sedangkan Sirvat seolah ga peduli. Senyam-senyum, dan makin dekatkan diri ke tubuh gw yang berusaha menjauh, “Ss-si… ehem- bukan, dia skuad leader gw! Bukan pacar, apalagi calon istri!”

“Jangan bilang kamu udah lupa, kencan pertama kita yang indah di Ether.” Wanita berambut hijau masih lanjutin godaannya.

“Kencan …?”

“I-tu … bukan kencan! Kita berantem di sana! Duel! Dueeel!” Aduuh, kenapa Sirvat jadi begini dah!? Seenggaknya tunjukkanlah kewibawaan seorang Caters, bukan malah panaskan suasana!

“Oi, Kuya!” Lalu munculah Alecto, berlari dan menyambar pergelangan tangan gw, langsung tarik ke ruang ganti, “Ikut gw, sekarang!” Njir, ga pernah merasa selega ini gegara kehadiran Alecto. Biasanya dia nongol untuk memperkeruh keadaan, tapi saat ini, dia menyelamatkan gw dari situasi ga terkira.

Napas kami terengah-engah pas pintu ruang ganti tertutup. Gw duduk di salah satu bangku panjang. Sedangkan Alecto, masih bersandar ke pintu. “Makasih ya. Lu penyelamat gw.”

“Penyelamat?” Eh, malah dibalas pertanyaan. Kayaknya, dia menarik gw ke sini bukan gegara situasi tadi. “Ooo…” Terus, dia baru nyadar. “Bukan, bukan. Gw baru ingat perihal nama itu.”

“Oh ya? Apa yang lu tau?”

“Dengar baik-baik …” Alecto buka pintu sedikit, cek keadaan di luar. Terus, berkeliling di dalam ruangan ini sebelum bicara lebih lanjut. Memastikan ga ada siapapun yang mencuri dengar pembicaraan kami. “… Gw ga seharusnya bicarakan ini, jadi jangan sampe bocor ke mana-mana. Apapun yang lu dengar di ruangan ini, tetap tinggal di ruangan ini. Setelah lu keluar nanti, pura-pura semua ini ga terjadi. Paham?”

Wew, serius banget si Kuya. Jarang-jarang omongannya bisa bikin gw telan ludah. Kepala gw mengangguk pelan, merespon omongannya.

“Ada istilah dalam Badan Intelijensi Pusat, bahwa ‘rahasia adalah napas Intelijensi’. Dan gw yakin pernah jelaskan itu pada lu juga Elka.” Hampir terdengar berbisik, hati-hati banget ngomongnya. “Kami bergerak di belakang layar, kumpulkan data serta profil musuh dengan segala cara. Kadang, ga ragu untuk melakukan cara kotor. Sebut aja: menculik, interogasi, penyekapan, penyanderaan, peretasan, pemerasan. Semua pernah kami lakukan cuma demi secuil informasi yang bisa bikin Federasi tau siapa, atau apa yang sedang dihadapi…”

“… Kami dilarang kasih info sekecil apapun tentang operasi yang sedang berjalan pada tiap individu di luar Badan Intelijensi. Kecuali pada pihak-pihak tertentu yang punya otorisasi khusus seperti Archon dan Wakil Archon. Itulah kenapa, lu jarang liat anggota Intelijensi berkoordinasi dengan badan kemiliteran lain. Kami independen.”

Alis kelabu gw terangkat sebelah, “… Apa hubungannya dengan Lace?” Penjelasannya panjang lebar, tapi sama sekali ga jelaskan tentang lawan pertama gw di pertarungan pembuka. “Dia anggota Intelijensi juga?”

“Lebih buruk lagi…” Jawab Alecto, masih dalam keadaan serius. “… pernah dengar Skuad Taktis Rahasia?” Gw geleng-geleng. “Itu adalah skuad elitnya Badan Intelijensi Pusat.”

Waat? Gw tersentak ga percaya dengar fakta dari Alecto. “Badan Intelijensi punya skuad elit!? Kok ga pernah terdengar?”

“Sesuai nama, ‘Rahasia’. Skuad itu dirahasiakan keberadaannya. Bagi orang-orang di luar intel, mereka ga pernah ada. Anggota Skuad ga punya Kartu kependudukan, ga punya jaminan sosial, nama mereka ga ada dalam basis data komputer utama. Eksistensi bak hantu. Ada, tapi sulit dipercaya. Banyak jasa yang udah mereka lakukan, contohnya menyusun taktik perang dan intersepsi strategi musuh sebagai referensi Archon dalam pengambilan keputusan. Tapi itu cuma bikin nama mereka makin samar. Apalagi pas mereka gugur, bahkan ga dikenang sama sekali.” Tangan Alecto yang santai di awal, kini bergetar dan mengepal. Tonjolkan urat-urat di sekujur lengan. “Dan mereka ga pernah pake nama asli, melainkan nama kode tiap jalankan misi. Royal Lace ‘Hantu Pencuri Kehidupan’ Lachrymose, salah satu diantara mereka.”

“Dia terdengar … berbahaya.” Gw tertunduk lesu dengar penjelasan Alecto. Lawan yang akan gw hadapi kayaknya bukan lawan sembarangan.

“Emang. Royal Lace selalu dapat informasi yang dibutuhkan.” Jawaban Alecto ga bikin gw merasa baikan. Faak. “Orang itu, dikenal dengan kemampuan manipulasi pikiran. Gw pernah liat dia memeras semua informasi dari Corite yang jadi tawanan perang kita. Dia memutar balik dunia yang diketahui si Corite, permainkan mental dan menekan perasaan selama interogasi. Udah gitu, dia ga berhenti sampe Corite itu kehilangan diri sendiri.”

“Manipulasi pikiran? Maksud lu, semacam hipnotis?”

“Bukan. Entahlah, gw juga ga tau pasti. Mungkin lebih pas kalo disebut serangan psikologis.” Serangan psikologis, ya? Lumayan berbahaya. “Saran dari gw, jangan terpancing omongannya. Gimanapun caranya, jangan terprovokasi. Kalo sampe lu jatuh ke dalam permainan pikirannya, abislah.”

“Makasih, Kuya. Udah jelaskan begitu detil.” Ucap gw, seraya mengepal tinju di depannya. Dia benturkan kepalan tinjunya ke tangan gw. “Gimana dengan lu? Rokai jadi lawan lu nanti, kan?”

“Selow, gw tau cara efektif hadapi Holy Chandra itu.” Dia berkata penuh percaya diri. Lalu melangkah ke pintu ruang ganti, dan membukanya. Sebelum keluar, dia mengingatkan lagi. “Yang tadi ga pernah terjadi. Oke?”

Ayolah, lu pikir gw sepolos itu apa? Paham akan maksudnya, gw bertanya sarkas, sok-sok lupa, “Yang tadi apa?”

Alecto tersenyum, lalu tinggalkan ruang ganti. Sosoknya hilang dari pandangan seraya pintu tertutup. Jadi penghalang antara mata gw dan tubuh kekar si Hidden Soldier. “Gw tunggu lu di final!” Seru Hidden Soldier itu dari balik pintu dengan penuh semangat.

“Iyeee!” Balas gw, ga kalah keras. Hmm, penasaran, cara apa yang akan dia pake buat lawan Rokai.

Detik menit berlalu, semua peserta yang ga berkesempatan lolos ke raungan selanjutnya, keliatan menikmati banget berbagai macam pertandingan hiburan di arena ini. Sedikit dari finalis raungan utama yang turut ambil bagian, contohnya; Oritzi, Meinhalom, dan Hevoy. Sisanya, lebih memilih menyiapkan mental.

Festival olahraga … ternyata event yang selama ini gw anggap remeh punya makna mendalam juga. Setelah dipikir lagi, ini ga cuma sekedar hiburan, atau penyegaran. Tapi untuk melatih insting kita sebagai prajurit dari berbagai aspek.

Di raungan pertama, kami saling adu kecepatan dan ketahanan. Mempertajam pengaturan stamina dan energi yang dibutuhkan saat berada di lapangan. Raungan kedua, para peserta diwajibkan bekerja sama, serta saling percaya. Menguji kapabilitas untuk cepat beradaptasi dengan individu-individu berbeda.

Dan raungan ketiga, saat semua hasil latian dirangkum jadi satu-kesatuan, pertaruhkan kemampuan untuk hadapi musuh di depan mata. Duel sekali jatuh, ga kasih izin bagi peserta melakukan satu kesalahan, mendoktrin mental ‘menolak untuk jatuh’ ke dalam kepala-kepala kita. Karena saat lu jatuh di medan perang, nyawa lu bisa melayang.

Terus, yang sebelumnya saling kerja sama, bahu-membahu demi satu tujuan, kini harus menjatuhkan satu sama lain. Rokai dan Alecto contohnya.

Ini bukan lagi sekedar pertandingan, tapi udah jadi pertarungan. Arena inilah medan perang. Dan agaknya bagi gw pribadi, ini udah bukan tentang terbebas dari jerat ganti rugi, melainkan tentang siapa yang akan terus berdiri tanpa harus jatuh.

“Baiklaaaaah para penonton yang di sini, yang di sanaaa, yang ada dimana-mana, Raungan yang sudah anda tunggu-tunggu! Puncak acara, menampilkan 16 finalis dengan kegigihan tanpa batas, akan memperjuangkan posisi pertama! Oh betapa saya tak sabar menanti aksi apa lagi yang akan kita lihat, Bung Kus.”

“Setuju sekali, Bung Binder. Para finalis telah berjuang terlampau keras, demi satu tiket menuju raungan utama. Dari peserta awal sebanyak 235, telah disaring tinggal 16 saja. Jelas, betapa sengit persaingan yang terjadi, dan mereka tidak bisa berhenti, tidak sekarang, Bung.”

“Mereka tak bisa berhenti, begitupun dengan kita, Bung Kus! Maka, tanpa banyak basa-basi, langsung saja kita mulai, Raungan ketiga; duel sekali jatuh! Yang bertindak sebagai wasit dalam duel kali ini, tentu saja, tak lain tak bukan, siapa lagi kalau bukan! Conquest Borr Rogenfellen!”

“Untuk pertarungan pertama; di sini sudah ada dua nama yang hampir-hampir mirip, Bung Binder. Hanya beda satu huruf saja. Antara Lake dan Lace. Bagaimana prediksi anda?

“Kepada Lake Grymnystre dan Lace Lachrymose, silahkan memasuki arena!” Seru Conquest Borr. Gw tarik napas panjang, lalu buang seluruhnya untuk kurangi ketegangan. Ga kaya raungan kedua, dimana gw berjuang bersama rekan tim, kali ini adalah pertarungan gw sendiri.

Mencoba untuk terlihat mantap dalam melangkah biar ga malu-maluin. Haha. Tapi, tetap.. tampil dengan dihujani tatapan banyak pasang mata gini, ga enak banget.

“Entahlah, Bung Kus. Seperti yang kita ketahui, Lake Grymnystre adalah peserta paling mengejutkan sejauh ini. Keluar sebagai pemenang raungan pertama, lalu mendadak hampir tidak lolos raungan kedua. Pemuda itu punya ‘sesuatu’ yang membuatnya terus berjuang sampai waktu habis, dan itulah yang membuat saya yakin, Bung. Dia tak akan jatuh tanpa perlawanan.”

Haha, bisa aja nih mas komentator. Jadi malu saya.

Begitu gw jalan sampe ke arena, lawan gw udah berdiri menunggu. Itukah … Lace Lachrymose? Lelaki berambut cokelat kasar agak panjang … oohh, dia yang satu tim ama Hash’Kafil kalo ga salah. Di tangan kirinya, tergenggam sebuah busur dominan warna hitam dengan bentuk unik, seperti pahatan sayap di kedua sisi. Ornamen biru gelap jadi warna pelengkap.

“Di lain pihak, Lace Lachrymose, biarpun tidak terlihat menonjol dan menampilkan aksi kontras, performanya tetap konsisten, Bung Binder. Low profil, kalem, dan bergerak di bawah bayang peserta lain sampai tiba di sini. Saya ingatkan sekali lagi, Bung. Lace Lachrymose memiliki kemampuan yang belum ditunjukan pada kita.”

“Saya rasa, saya akan memanggil mereka dengan inisial LG dan LL, Bung Kus. Terdengar lebih mudah.”

Kalo di liat-liat, pemuda itu ga lebih tua dari gw. Tapi udah berpangkat Royal aja. Jadi bukti, kemampuannya pasti ga main-main.

“Hei … Udah selesai, menganalisa gw?” Ujarnya dengan senyum terpapar di wajah. Bikin gw tersentak. Ugh! Perasaan ini … sama kaya tadi! Waktu lagi ngobrol-ngobrol dengan Elka dan Alecto. “Tau ga? Tadi gw sempat kasih senyum ke elu, tapi dicuekin. Jahatnya…” Ternyata benar, dia yang melakukannya.

“Uhm, maaf, Royal. Saya ga nyuekin, kok.” Balas gw sambil garuk kepala. Itukan salah dia sendiri, senyam-senyum doang tapi ga negor. Ya mana tau dia senyum buat siapa? “Cuman ga sadar aja.”

“Ga perlu formal gitu. Toh usia kita ga terpaut terlalu jauh.” Dia mainkan busur di tangan dengan santai. Dilempar, lalu ditangkap. Pindah-pindah antara tangan kiri dan kanan. “Cuma 2 taun di atas lu.” Wew, serius? Bahkan dia lebih muda dari Sirvat, tapi pangkatnya udah setara Oritzi. Eh tunggu, gimana dia bisa…

“Dari mana, anda tau … usia saya?” Tanya gw hati-hati. Perasaan, ini pertama kalinya kita ketemu. Dan gw belum sekalipun beri tau info pribadi.

Tangan kirinya menangkap busur yang meluncur jatuh lalu langsung todongkan busur itu ke arah gw. Seringai di bibir seolah pamerkan kepercayaan diri tinggi. Kemudian dia berkata, “… Gw tau banyak tentang lu, Lake Grymnystre.”

“…” Ga beres. Ada yang ga beres dengan orang ini. Sekilas, emang dia keliatan layaknya Ranger biasa, ga ada yang istimewa. Tapi perasaan ini bilang, kalo dia punya trik mematikan yang ga terduga.

“Kedua peserta, harap mendekat.” Lace melangkah santai. Sedangkan gw belum bisa hilangkan kecemasan di dada, mendekat penuh waspada. “Peraturan duel, seperti biasa, siapapun yang berhasil menjatuhkan lawan, keluar sebagai pemenang. Bagian-bagian tubuh yang tidak boleh menyentuh tanah diantaranya; area antara lutut hingga leher, kecuali tangan sampai siku. Bila salah satu dari kalian dibuat tidak sanggup bergerak, biarpun masih dalam keadaan berdiri, maka ada 2 pilihan; terus melawan, atau menyerah. Paham?”

Di saat Conquest Borr kasih penjelasan, gw cabut keluar kedua pedang kembar tapi beda dari dua inventori 4 dimensi di paha kiri dan kanan. Seperti biasa, begitu gw sentuh, Force di tangan serasa mengalir perlahan, mengisi relung bilah tumpul hitam kusam pedang, jadi memancar sinar biru yang kanan dan merah di yang satunya.

Kami beri jawaban pada saat yang sama, seraya mengangguk kecil. “Paham.”

“Kalau begitu, saling beri penghormatan.” Kami sama-sama mengepal tangan kanan di depan jantung dan menegakkan tubuh. “MULAI!”

Ga buang waktu, gw langsung ambil inisiatip serangan. Orang ini pake busur, bisa dipastikan bakal lebih sering ambil jarak nanti. Sebelum terlalu jauh jarak yang memisahkan kita, kedua tangan gw udah menebas silang.

“Woops,” Cih, cepat juga reaksinya. “Unik juga ya gaya bertarung lu. Padahal Ranger, tapi lebih milih pake pedang.” Katanya, masih belum hapus seringai di bibir.

“…” Lace berpindah, sekarang di sebelah. Ogah balas perkataannya, gw lanjutkan serangan dengan tebasan horizontal. Lagi-lagi, dia berhasil membaca. Tubuhnya meliuk ke belakang, kemudian mundur beberapa langkah.

Ga akan gw biarkan lu perlebar jarak! Satu sentakan dari kaki, lesatkan badan gw makin condong ke depan. Kemudian lancarkan kombo 5 sayatan yang ikut membelah udara tipis di sekitar. Biarpun kedua tangan gw udah bergerak dalam sinergi yang bagus, Lace sanggup hindari 4 diantaranya, sedangkan sayatan terakhir tertahan busur si Infiltrator, tepat di sisi kanan wajahnya, nyaris mencukur rambut cokelat.

“Wah, wah. Seram betul.” Katanya lagi. Ini orang, dari tadi belum berniat balas serangan. Keliatan banget dari gayanya yang cuma mengamati. Niat duel ga sih? “Tiap ayunan pedang itu kayak mau bunuh gw.”

DEG!

Perkataan tadi malah bikin gw yang mundur. Perasaan ga enak apa ini? Dari tadi, ada rasa gelisah yang ga jelas asal-usulnya, apalagi setelah dia berkata begitu. Kaya ada tangan terbuat dari bayangan yang coba masuk, dan mengacak-acak kepala gw. “Cuma khayalan, cuma perasaan.

Gw berusaha yakinkan diri sendiri. Liat lawannya ga tenang, seringai Lace makin tunjukkan dominasi.

“Saat gw bilang ‘tau banyak tentang lu’, itu beneran.” Dia berkata dengan tenang, lalu melangkah maju. Cuma sadar akan langkahnya aja, udah bikin gw waspada dan kuatkan genggaman pada pedang di tangan. Padahal, dia bahkan ga siapkan busurnya dalam posisi penyerangan. “Gw udah cek latar belakang lu, dan siapa sangka, kita punya banyak kesamaan…”

“… Sama-sama ga mengenal kasih sayang keluarga, sama-sama pernah jalani hidup di dasar tempat sampah, sama-sama pernah terjepit keadaan dimana dunia berbalik melawan lu.” Lace masih terus berkicau. Apa tujuan orang ini sebenarnya? “Tenggelam dalam emosi ga berujung yang biasa disebut frustasi, ga berdaya ditelan histeria. Lari, berusaha sembunyi dari pikiran terperangkap oleh perasaan rendah diri yang rumit…”

“… Tapi di sinilah lu berada, di Novus. Memilih jadi tentara untuk alihkan kenyataan yang terjadi di depan mata. Bukan, mungkin tepatnya masuk realitas ga terhindarkan yang selalu terpatri pada nama keluarga lu, Grymnystre. Fakta itu yang ga bisa lu ubah seenaknya. Gimanapun keadaan lu, darah penuh kebencian mengalir deras di urat nadi, dan keinginan untuk menikmati perang ga kuasa lu sembunyikan.”

DEG!

Jangan terpancing omongannya, jangan terprovokasi.” Kalimat Alecto terlintas di benak. O-orang ini … kayaknya berusaha memprovokasi gw. Tapi, kenapa? “Kalo sampe lu jatuh ke dalam permainan pikirannya, habislah.

“Wah, lu bagai cangkang telur yang sulit dipecahkan.” Ujarnya lagi, makin dekat. Jarak kami terpisah kira-kira selangkah. “Biarpun gampang dibaca, bak buku yang terbuka.” Entah apa sebab yang bikin gw ga bisa bereaksi. Padahal, ini kesempatan bagus untuk menyerang. Malah cuma diam, dengarkan omongan si Infiltrator. “Dari tadi, gw berusaha menembus pertahanan cangkang telur lu lho. Tapi, lu sama sekali ga kasih respon. Hebat juga. Udah gw duga, Grymnystre emang beda.”

Shite! Ayo, gerak dong! Jangan diam aja! Dia udah masuk jangkauan pedang gw, kalo ga diserang, dia ga akan bungkam! Satu gerakan menusuk mungkin cukup untuk bikin duel pembuka ini selesai, “… Apa lu pernah bunuh seseorang, Lake?”

DEG!

Lagi-lagi dia mengelak ke samping. Kali ini ke sisi kiri, “Gerakan lu begitu mantap. Tanpa keraguan. Ga ada kebimbangan untuk buat lawan sekarat.” A-apa? Tempo detak jantung gw sedikit naik, seiring ketegangan menghampiri. “… Ga ada jawaban, akan gw anggap sebagai ‘ya’.” Liat mukanya bikin gw mulai kesal. Sekuat tenaga, tangan kiri gw terayun kepada sang lawan dengan gerakan menyapu area. “Siapa dia? Bangsa apa? Apa lu tau cerita tentangnya, sebelum lu bikin dia berhenti bernapas?”

Berisik! Berisik! Berisik! Gw ga melakukannya dengan sengaja!

Serangan gw makin gencar. Berbagai macam teknik yang udah dipelajari, gw keluarkan semua. Abis itu lompat, ganti cara megang pedang di tangan kanan jadi digenggam secara terbalik, dan berputar di udara.

3 tebasan vertikal yang cepat, tetap belum bisa mendaratkan barang segores luka di tubuh Lace. Pake busur untuk bertahan, dia membentangkannya di depan kepala, dan tahan pedang gw! Cukup mengejutkan, busur hitam corak biru gelap bisa segitu kuat. Twin Razer Blades sama sekali ga tinggalkan bekas sayatan di senjata tersebut. Kayaknya, itu bukan busur biasa.

“2 pedang yang indah, biru merah. Pas lu berputar kaya tadi, bercampur dan lahirkan warna baru. Ungu. Kayak mata lu.” Setiap perkataan pemuda berambut cokelat terus berdengung di kepala. Dan yang paling menyiksa, gw ga bisa berkata apa-apa. “Ngomong-ngomong, pertanyaan gw belum dijawab. Siapa dia, yang pernah lu bunuh? Atau … harus gw tebak sendiri, mungkin?”

“…” Gw ga ada niatan untuk jawab pertanyaan lu, wartawan.

“… Coba gw tebak, hmm … Black Knight dari Aliansi, mungkin?”

DEG!

Gi-gimana bisa? Raut muka gw berubah ga percaya. Kaget, bikin gw reflek lompat mundur ambil jarak. Kebetulan atau emang dia udah tau?

“Siapa ya namanya? Coba liat … Sada?”

DEG!

Bukan, ini bukan kebetulan. Dia emang tau. Tapi, darimana? Rasa gelisah mulai menyerang, cemas terus tumbuh di pikiran, membesar diiringi napas terengah.

“Kaget?” Ucapnya kalem, ga hilangkan seringai dominasi itu. “Ga perlu. Gw tau banyak tentang lu. Dan gw mengenal lu lebih baik, ketimbang lu kenal diri sendiri.” Ugh. Bajingan. Lu kenal gw lebih baik ketimbang gw kenal diri sendiri!? Jangan ngelawak! “Apa lu menikmatinya, Lake? Menikmati momen saat lu mencabut nyawa Corite itu?”

DEG!

“Gw tau, gimanapun caranya, lu berusaha menepis perasaan itu. Mengubur jauh di dalam dasar hati yang terlampau gelap, supaya ga ada orang yang tau.”

Ga, ga! Ga ada sedikitpun kenikmatan yang gw rasakan pas lawan Sada! Yang ada malah penuh kesakitan.

“Tapi, secercah perasaan nikmat dan puas tetap akan memercik dari dasar hati lu, terutama saat semakin keras lu menyangkal. Puas udah mengakhiri napas seseorang.”

Ga benar! Gw sama sekali … enggak! Itu cuma mempertahankan diri! Salahkah gw, berjuang sekuat tenaga untuk terus hidup!? Puas? Menikmati? Satu-satunya yang gw rasakan cuma lega, dan bersyukur gw masih ada di sini. Salah!?

“Yah, kayaknya, emang ga ada yang bisa lu lakukan terhadap kepuasan bersalah tersebut.” Dia angkat kedua bahu, lalu keluarkan kalimat berikutnya, “Gw maklum kok, namanya juga Grymnystre.” Penekanan pada nama belakang gw, benar-benar ga enak di dengar.

DEG!

Oke, cukup! Udah ga tahan lagi untuk diam lebih lama. Gigi mengertak terlalu keras, menahan letup kekesalan. Dari arena, gw bisa liat bangku yang disediakan untuk peserta. Alecto berdiri, dan teriak lantang dari sana, “LAKE, JANGAAAN!” Seolah tau apa isi kepala gw.

Maap, Lec. Tapi, ini udah kelewat batas! Gw berseru pada Infiltrator senior, “Gw ga pernah menikmatinya! Gw ga pernah berniat bunuh-membunuh! Kita gak-“

DEG DEG!

Ugh! A-apa ini? Ga bisa … ngomong!? Kalimat dari mulut gw ga sempat selesai. Biarpun mulut masih terbuka, tapi kayak ada sesuatu yang menyumbat tenggorokan. Tubuh gw … ga bisa bergerak! Faak! Kinerja otak serasa diblok begitu aja. Mata gw terbelalak, syok. Masih berusaha coba gerakkan tangan dan kaki, percuma. Sekuat apapun urat berontak, tetap terpaku di tempat.

“Ah … akhirnya. Pecah juga.” Tangan dari bayangan yang tadi coba masuk, kini udah ada di dalam kepala. Gw kira, itu cuma khayalan, ternyata bukan. Itu gambaran hampir nyata. Pusing, berat, tertekan. Benar-benar bukan sensasi menyenangkan. “Maaf kalo lu merasa ga nyaman, tapi tenang …” Genggaman pada kedua pedang di tangan, terlepas dengan sendirinya. “… Semua yang udah kena Mind Snare, ga butuh waktu lama.” Pandangan gw makin buram, tapi masih jelas banget dengar suara Lace.

Mind … Snare!? Ini … yang dimaksud Alecto?

“Gw ini sebenarnya atasan yang baik, gw ga akan minta lu untuk berdiri dan terus bertarung.”

“… Fight.” Hah? Apa? Ada suara lain yang terdengar dari belakang telinga, dan gw ga paham arti bahasa asing itu.

“Pasti pegal kan, kalo berdiri terus? Makanya, gw cuma minta lu …” Tu-tujuh pasang mata, muncul di hadapan gw. Tepat di ruang kosong antara gw dan Lace. Ini salah liat, atau gimana? “… untuk berlutut.

Gw ga bisa menahan tubuh yang udah ga sinkron dengan pikiran. Lutut gw perlahan menekuk, bersiap untuk melakukan perkataan Lace walau sekuat tenaga menolak. Udah berusaha untuk melawan, ga ada guna. Kedua bahu ini bak ditekan ke tanah oleh Goliath. Berat banget.

“… Fight,” Wajah tetap lurus hadap depan, ketujuh pasang mata, menatap gw dengan tajamnya. “… Fight,” Gw ga tau siapa pemilik mata-mata tersebut, tapi ada satu tempat di sudut hati yang bilang, mereka ‘dekat’.

“… Fight,” kata itu terus aja terdengar, seiring lutut gw makin turun. Tunggu, kayaknya … gw pernah dengar suara ini! Suara beberapa orang ngomong barengan. Perlahan, citra seseorang muncul di depan barisan mata. Sesosok lelaki. Lelaki yang gw anggap diri sendiri dalam mimpi tempo hari. Tubuhnya terdapat nyala api merah-kebiruan. Namun, dia muncul tanpa dua pedang. Sosok itu memandang rendah ke gw, mulutnya bergerak mengucap sepatah kata, “… Fight.

“A place where i can always see your smile up close. By your side. This is where i belong.” – Gannza (Ch. 24)


CHAPTER 29 END.

Next Chapter > Read Chapter 30:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-30/

Previous Chapter > Read Chapter 28:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-28/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Catatan Author:
Julukan “Hantu Pencuri Kehidupan”, mungkin terdengar aneh. Tapi, saya ga tau terjemahan lain yang paling mendekati dari “Phantom Lifethief.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *