LAKE CHAPTER 30 – MORALE SUPPORT

Lake
Penulis: Mie Rebus


-Beberapa menit sebelumnya-

Sekelebat Hidden Soldier menarik pemuda berambut kelabu ke ruang ganti. Tinggalkan kedua wanita yang punya rambut sama-sama pendek, namun beda warna. Mereka ga beranjak dari situ, saling menatap dengan pandangan berlawanan pula. Wanita berambut coklat menatap gusar tertahan. Sedangkan, yang rambut hijau tersenyum halus. Mata krem seolah berusaha menepis ‘serangan imajinatif’ dari mata coklat.

“Elka, ya? Lake cerita banyak tentang lu.” Kata Sirvat memulai pembicaraan.

“Apa yang lu mau?” tapi, cepat Elka bertanya.

“Galak betul.” Si Berserker membalas. “Gini-gini, pangkat gw tetap di atas lu.” Dia mencoba untuk tetap ramah, menahan diri untuk ga bersikap kasar. “Bisa kan, sopan sedikit?”

“Lake juga cerita banyak tentang lu.” Tukas Elka, tanpa ganti mimik. “Dan dia bilang, lu ga suka formalitas.”

“Hmm, ada benarnya sih.” Wanita berambut hijau membenarkan pernyataan itu, sambil jepit dagu dengan telunjuk terlipat dan jempolnya. “Untuk jawaban pertanyaan lu yang tadi, sama kok, dengan apa yang lu inginkan.”

“… Apa? Kita baru kenal, lu ga akan tau apa yang gw mau.”

“Hati Lake seutuhnya.” Jawaban langsung Sirvat, bikin Elka merapatkan Gigi. Cuma sesaat, terus tenang kembali.

“… Bukan.” Infiltrator berambut coklat merasa ga ada gunanya lanjutkan percakapan tanpa isi ini. Jadi, dia berbalik untuk kembali ke arena. “Lu salah..”

“… Terus, apa yang lu inginkan?” Pertanyaan Sirvat, memaksa Elka berhenti. “Sekali liat aja, gw udah tau kalo lu adalah perempuan yang kuat, dilengkapi kemampuan hebat. Dari postur, figur, proporsi, cara melangkah. Bahkan, gw yang Berserker ga yakin sanggup adu kekuatan lawan lu.” Mata krem wanita yang lebih tua, berubah tajam. “Kenapa lu memilih berbalik dari ‘lawan’?” Tanya Sirvat sarkas, ‘lawan’ yang dimaksud, merujuk pada dirinya sendiri.

“… Itu bukan urusan lu.”

“Pertanyaannya bukan apa yang gw mau. Karena semua udah jelas, gw suka Lake. Dan berharap perasaan ini terus tumbuh jadi sayang, dan cinta.” Tangan kanan Sirvat menepuk dada sebelah kiri. “Tapi gw sadar, ga akan bisa maju, kalo masih ada orang lain yang lebih peduli padanya, lebih dari gw. Enggak, lebih dari apapun. Membuat kepedulian gw semu di mata.” Kini, tangan di dada, sedikit remas sweater rajut yang dikenakan Berserker tersebut. “Pertanyaannya balik lagi ke lu. Apa yang lu mau?”

Erat genggaman tangan kiri Elka pada kalung yang menggantung di leher, kalung kuku flem dengan ukiran inisial si Infiltrator. Ia berbalik lagi, berhadapan dengan lawan bicara, menatap lemah. Pilu sorot di mata coklat itu, bagi Sirvat.

“Apa arti Lake bagi lu?” Wanita di atas kursi roda bertanya, sambil memerhatikan tangan kiri Elka mengepal kalung. Terngiang di kepalanya, perkataan lelaki yang dia sukai saat mereka jalan-jalan tengah malam di taman. “Dia orang terpenting dalam hidupku, udah kaya Ibu, kakak, adik, bibi, saudara, sahabat, partner. Bisa dibilang.. segalanya, tapi bukan pasangan.” Sirvat udah tau jawaban Lake. Yang tersisa tinggal, apa yang ada di benak Elka. “Aku ga pengen menyakiti hatinya, lebih dari yang pernah dia alami.” Kata-kata itu… sakit seperti apa, yang pernah dialaminya?

“Bagi gw, dia…” kemudian, ga diduga oleh Sirvat, sebuah senyum menghias wajah Elka. Senyum sendu penuh makna. “… sokongan moril.” Membuat Berserker berambut hijau terhenyak, “Kalo lu mau mencintainya, silakan. Gw ga keberatan. Asal, jangan ambil dia jauh dari gw. Yang paling gw inginkan cuma berada di dekatnya. Gw harus dengar suaranya, liat wajahnya, merasakan kehadirannya. Semua itu supaya gw tetap waras. Untuk menjaga kesadaran tetap utuh.”

Saat itu, dengar jawaban barusan, mata Sirvat melebar, sadar akan satu hal.

Di balik embel-embel kehebatan, di balik figur yang dianggap Sirvat begitu sempurna untuk seorang prajurit wanita, “Perempuan ini… begitu rapuh. Bahkan, lebih rapuh dari gw.” Batin si rambut hijau. “Dia butuh Lake, lebih dari siapapun.

Kali ini, Elka mendekat pada Sirvat. Berdiri tepat di depan seniornya di Satuan Tugas Gabungan, tanpa canggung sedikitpun. Kepala Elka agak tunduk, sedangkan Sirvat sedikit dongak, supaya mata mereka beradu.

“Jangan sakiti dia,” Elka berkata, lebih tepat mengarah ke perintah. “Kalo sampe itu terjadi, lu ga akan punya kesempatan buat tau apa yang lu hadapi.” Raut wajah sama sekali ga menunjukkan senyum, kecuali keseriusan.

Setelah berkata, Elka berjalan melewati Sirvat, ke arah kamar mandi. Wanita berambut hijau terdiam beberapa saat, cuma terduduk dan lirik sedikit ke belakang, ke arah juniornya yang berlalu.

Barulah kemudian Sirvat bergumam, “Menyakiti dia, ga pernah ada dalam agenda kegiatan gw.”

Melihat peringai si Infiltrator, dengar jawaban yang terlontar, menyisakan beberapa kebingungan di benak Sirvat. Apa Elka kasih jalan untuk maju, atau justru menghadang? Apa Elka mengancam atasan? Gadis itu sama sekali ga punya rasa takut di mata. Hierarki Militer seolah ga berarti apa-apa. Ga ragu bertindak begitu jauh untuk lindungi orang yang penting baginya.

Mereka… benar-benar saling menjaga.” Gumam Sirvat dalam hati.

.

.

“Kira-kira, apa yang sedang terjadi, Bung Kus? Mendadak, LG berhenti menyerang, cuma terdiam. Sampai melepas senjatanya, dan sekarang malah siap-siap menyerah!?”

“Saya rasa, ada kaitannya dengan LL, Bung Binder. Entahlah, sayapun tidak mengetahui detail yang terjadi di arena, karena hanya peserta saja yang mengetahui pasti, apa yang dia alami.”

Gw berhadapan dengan sosok ketiga di arena yang muncul tiba-tiba. Terus-terusan bilang, “… Fight,” padahal gw ga paham apa artinya. Kepala gw begitu penuh terasa, kena pengaruh kemampuan aneh dari Lace, dan lutut gw sebentar lagi menyentuh tanah, “… Fight.

Sosok yang gw yakin adalah diri sendiri, namun punya rambut coklat muda dengan beberapa helai kekuningan. Serta garis ungu vertikal tepat di bawah mata tanpa pupil. Ia menjulurkan tangan kiri ke jantung gw sambil menyeringai. Ekspresi kami sangat berlawanan.

Biarpun ga bisa bergerak sesuai kehendak, ataupun bersuara, tapi tubuh gw masih bisa merasakan sakit. Dan itulah yang gw rasakan saat tangan kirinya menyentuh dada, lalu perlahan mulai memaksa masuk. Sakit, panas, perih membakar. Gw udah pernah alami rasa sakit ini. Saat dia menusuk gw pake pedangnya tempo hari. Tapi itu dalam mimpi. Kali ini, di dunia nyata… benar-benar terjadi.

Gw bisa merasakan tangan itu menembus tiap serat otot, tinggalkan jejak panas di titik-titik syaraf, terus dan terus, berusaha menggapai organ gw yang senantiasa berdetak memompa darah ke seluruh badan. Dia melakukannya dengan perlahan, timbulkan pedih yang bikin gw pengen sekuat tenaga teriak saat inci demi inci tangan itu bergerak. Tapi, ga ada sedikitpun suara keluar dari mulut terbuka.

Tubuh gw gemetar ketakutan. Tegang, bimbang, apa tujuannya?

Sesak memenuhi dada saat tangan itu meraih, lalu menggenggam jantung. Panas dengan cepat membungkus. Napas pun udah ga beraturan. Gw tutup mata, mengerang tahan perih tanpa suara. Tempo detak jantung yang udah cepat akibat takut, makin cepat lagi gegara diremas kuat.

Aliran adrenalin di seluruh tubuh, makin deras mengalir, serasa hampir meletus ga beraturan. Tiba-tiba, kelingking tangan kiri gw bergerak sendiri. Tepatnya, seolah ada yang memegang, lalu pelan-pelan ditekuk ke sisi luar oleh ‘sesuatu’.

Lemah awalnya, lama-lama makin kuat.

Diiringi satu sentakan, terdengar bunyi tulang patah dari sana. ‘Sesuatu’ itu mematahkan kelingking gw! Ngilu langsung terasa, bersamaan dengan itu, sosok Lake lain dan ketujuh pasang mata langsung hilang seketika. Pandangan ga lagi buram, kembali fokus. Dan kendali tubuh yang sempat direnggut Lace, tetiba kembali. Sontak gw berdiri, walau sempoyongan.

Lutut gw batal menyentuh tanah. Rasa mual hebat, datang menyerang. Pengen muntah, tangan kanan gw reflek menutup mulut menahan apapun isi perut biar ga keluar, “U-uuk… Huuuuk… huuuoook… hahhh… hahh… hahh.”

“Ga… mungkin..” si lawan duel, Lace Lachrymose ga kalah kaget, “lu mematahkan… Mind Snare!?” ucapnya ga percaya.

A-apa-apaan, kemampuannya itu!?” Terlintas di benak gw pertanyaan tersebut. Kemampuan yang bisa memaksa target melakukan perbuatan berlawanan dari kehendak. Sisakan rasa pusing dan mual, biarpun udah lepas efeknya.

“Gimana… gimana bisa lu melakukannya!?” Seru Lace dengan nada tinggi, hilang sudah ketenangan yang tadi dia tunjukkan. Tangannya makin kuat mengepal busur.

Gimana…?” gw angkat tangan kiri, dan liat udah jadi apa ini kelingking. Ugh, nyeri, dan tulangnya bengkok ke sisi luar. Ga bisa digerakkan. Kalo gini, bakal susah buat pegang pedang. Sedangkan, Twin Razer Blades ga bisa dipake sebelah-sebelah, “… Ga tau,” jawab gw singkat.

“BEDEBAH!” Infiltrator berambut coklat agak panjang langsung menyiagakan busur dalam posisi menyerang. Aneh, padahal dia pake busur, tapi kenapa ga keluarkan anak panah? “Mind Snare bukan sekedar serangan psikologis yang bisa dinetralisir begitu aja!”

Lagian, kok ini orang jadi marah-marah? Lah emang beneran gw ga tau gimana melakukannya tadi. Gw sendiri masih bingung, siapa sebenarnya sosok itu? Apa dia cuma ilusi, atau kesadaran yang lain? Kalo dia bagian dari diri gw, kenapa ngomongnya pake bahasa asing? Lagian, dia sama sekali ga keliatan kaya gw. Yang jelas, gw bisa bebas dari kemampuan aneh itu berkat segala macam sakit yang dia kasih.

Lace menarik tali busurnya kebelakang, kasih gestur Ranger yang bersiap melepas anak panah. Beberapa saat, ga ada apa-apa di busurnya. Sampe kemudian, segumpal Force mulai menyeruak dari tangan kanan, dan membentuk panah dari ruang kosong. “Force… Arrow…”

Di-dia bisa pake Force buat jadi anak panah!? Gw yang masih atur napas, dan menahan rasa mual yang belum membaik, terkejut.

“Fast Shot!” Lace melepas anak panah tersebut, dan melakukannya sekali lagi, dengan cepat. Dua buah panah, nyaris berbarengan, melesat… lambat!?

Gw merasakan di dalam dada! Tempo detak jantung sama sekali ga turun semenjak diobok-obok Lake lain itu! I-ini… Accel Walk!? Skill ini aktif tanpa gw sadari! Pantas, napas gw segini pendek dan cepat. Karena udah dalam keadaan Accel Walk, ga boleh sampe mubazir kalo gitu!

Dua panah kecepatan pelan begini, jelas bukan halangan berarti. Gw lompat ke samping buat menghindar, terus langsung tancap gas! Berlari, dan keluarkan kecepatan yang gw miliki. Cuma satu targetnya, yaitu lawan duel pertama yang udah menyiksa gw dengan hujan pertanyaan, dan skill psikologis aneh itu!

Gw memutuskan buat ga pake pedang karena keadaan kelingking yang ga memungkinkan, gw terus berlari.

Sekali lagi, Lace mengonsentrasikan Force pada busur hitam sambil berusaha mengunci pergerakan gw yang terus melaju kencang. “DESTRUCTIVE SHOT!”

Ugh! Terasa tekanan Forcenya makin mencekam! Dia melancarkan tembakan berdaya rusak besar! Ditambah lagi, pake anak panah terbuat dari Force. Kalo sampe kena, pasti bolong ini badan.

Sebagai sesama Ranger, gw kenal betul potensi tembakan itu. Walau Accel Walk bikin waktu di sekitar berjalan lebih lambat, tapi panah itu tetap keliatan melesat cepat, kaya ga terpengaruh apapun. Berusaha mengelak, gigi menggertak tegang. Tubuh gw dan tembakan berdaya rusak besar itu cuma terpisah sekian inci. Bahkan, aliran angin yang ditembus anak panah Force itu di sekujur permukaan kulit, terasa banget. Tajam, ngeri! Untung bisa terhindar!

Petugas arena yang ada di jalur laju anak panah si Infiltrator, ketar-ketir liat tembakan itu mengarah ke mereka. Destructive Shot membentur dinding, dan hancurkan sebagian. Menerbangkan material dinding yang tercerai-berai.

Lace keliatan ga bisa membidik dengan benar. Satupun tembakan panah Forcenya, ga ada yang mendarat di sasaran. Mungkin gegara terlalu cepat juga sih gerakan gw.

Tangan kanan gw terjulur pas udah dekat, coba pegang erat kepalanya dari atas ubun-ubun. Tapi… “Shadow Step!” Dia menghilang, “Huh! Untung, gw belajar skill ini dulu!” Ia berkata, sebelum pudar dari pandangan.

Untungnya, dia ga langsung hilang! Ada waktu memudar sekitar 0.15 detik, sebelum dia benar-benar ga keliatan, “Gw masih bisa liat lu, karet sempak!” berkat Accel Walk, 0.15 detik udah lebih dari cukup untuk mengunci keberadaannya, “kalo lu mau tau apa yang gw rasakan pas mencabut nyawa Black Knight itu…” sekarang, tubuhnya tersembunyi dari mata awam. Tangan kanan gw pegang kuat-kuat kepala si Infiltrator, layaknya tindakan Sada di saat terakhir waktu melawan gw. Lace mengerang kesakitan, lalu gw ambil ancang-ancang buat menyundul, “… MAKAN NIH!”

Bersamaan dengan majunya kepala dengan mantap, gw jambak rambutnya yang agak panjang, lalu menarik sekuat tenaga ke arah kepala sendiri, dan membuat
dahi kami saling berbenturan keras! Pake banget! Keras banget!

Astaga, kepalanya batu juga ternyata! Rasa sakit yang gw terima, berkali lipat! Salah nih kayanya, headbutt lawan pas pake Accel Walk. Gw nyaris pingsan di tempat, akibat syok dari benturan disengaja.

“A-AARHGG!”

“GAAAHHK!”

Lenguh kami barengan. Tubuh Lace kembali terlihat wujudnya, dan jomplang ke belakang usai tabrakan kepala. Sedangkan gw, biarpun nyaris pingsan, tapi kaki kanan sigap menapak di depan kaki kiri, kembali menyeimbangkan badan yang terlalu nyusruk ke depan. Dibantu juga telapak tangan kanan yang cepat jadi penyanggah antara badan dan tanah. Cegah bagian-bagian terlarang, ikut menyentuh permukaan arena.

Sang lawan, kini telentang di hadapan gw, “Rasakan itu baik-baik,” mulut gw berkata dalam volume rendah.

Liat keadaan ini, Conquest Borr sebagai wasit, kasih pernyataan. “Duel pertama, pemenangnya; Sentinel, Captain Lake Grymnystre!”

Riuh seruan penonton, dan tepuk tangan mulai terdengar, hapus kesunyian yang sempat mengisi arena sejenak. Sebagai latar suara pengiring kemenangan pertama di raungan utama.

“LL tumbang! Saya ulangi, Lace Lachrymose tumbang! Ohoho, satu sundulan yang terlihat menyakitkan, Bung Kus! Berhasil membawa kemenangan bagi Lake Grymnsytre!”

“Pertarungan singkat yang menegangkan, Bung Binder. Sempat saling terpaku di pertengahan, namun kembali mempertontonkan jual beli serangan di akhir. Bravo.”

“Saya menyarankan supaya cedera kepala kedua peserta, segera diperiksakan, mencegah hal yang tak diinginkan.”

“Mungkin dengan benturan tadi, otak mereka justru bisa kembali normal, Bung Binder.”

Gw pegangi jidat sebagai upaya hilangkan rasa sakit. Woi, woi. Kadang kalo ngomong suka ga diayak deh, komentator-komentator ini. Maksudnya, otak gw tadinya ga waras, gitu!?

Setelah selesai, gw berbalik guna ambil lagi Twin Razer Blades, terus langsung jalan keluar arena seraya memegang tangan kiri yang ngilu-ngilu. Sempat tengok lagi ke belakang, liat Lace digotong pake tandu oleh tim medis. Yah, gw harap, itu cukup untuk jawab rasa keponya. Biar ga tanya-tanya melulu.

Berhasil menang, bukan berarti gw merasa enakan. Rasa mual dan pengen muntah, belum hilang-hilang. Ditambah lagi, kelingking kiri patah, dan dahi sedikit memerah. Hampir berdarah, malah.

Sampe di lorong, Elka udah menunggu ternyata. Tau-tau, dia langsung pengen meraih tangan kiri gw, “Sini, liat tangan lu.”

“Ja-jangan! Jangan sentuh!” Sontak, gw menolak dengan perasaan was-was. Sembari sembunyikan tangan kiri di belakang punggung, “sakit.”

Perempuan berambut coklat cuma menghela nafas, sembari geleng kepala. “Gw antar ya, ke ruang perawatan?” sebelum akhirnya sedikit senyum.

Gw mengangguk pelan sebagai respon. Aduuh, kepala juga masih pusing sih sebenarnya.

Setibanya di ruang perawatan, ada petugas medis wanita yang berjaga. Dia lagi menulis sesuatu, sambil nonton acara live festival dari televisi kecil di ruangan ini. Perhatiannya tertuju pada kami, ketika berada di depan pintu, “Permisi.”

“Ah, silakan masuk,” ujar wanita tersebut, dengan senyum yang begitu menyejukkan hati. Gw dan Elka sampe dibikin tertegun sejenak, “kamu peserta duel pembuka tadi, kan?” Suaranya halus banget, begitu lembut mendayu di telinga. Padahal, mbaknya cuma ngomong biasa. Tapi, rasanya… bagai melangkah di tengah padang rumput hijau nan luas, sambil menikmati angin sepoi yang senantiasa berhembus.

Elka yang sadar duluan dari perjalanan sesaat ke padang rumput khayalan, menyikut sisi perut gw, “UGH!” biar sadar juga, “ah, ehm… iya Mbak. Tangan saya…”

“Sini duduk, biar saya liat keadaannya,” dia langsung menyodorkan kursi yang berada ga jauh di samping kanan.

Petugas medis berambut biru pudar tergerai lurus sepinggang ini, mulai menginspeksi tangan kiri gw yang udah membengkak, dan jadi membiru di sekitar kelingking. Dari name tag di dada kanannya, terpampang nama si petugas, “R. Iuigi.

Saat dia meraba perlahan, terasa nyeri di daerah sekitar jari kelingking. Perhatian gw pun langsung teralih dari name tag, “Aw, aw…” gw mendesis, dan sedikit menarik tangan.

“Ga bisa digerakkan, kan?” Tanya wanita itu. Tentulah gw menggeleng. Gw udah kehilangan fungsi dari bagian yang cedera, akibat nyeri yang terasa, “untunglah, ga ada jaringan syaraf yang mengalami kerusakan gara-gara patahan tulang,” Lanjutnya. Kali ini, kedua pasang mata kami bertemu. Lagi-lagi, ia pamer senyum menyejukkan hati itu. Bikin gw sedikit tersipu, “saya bisa melakukan reposisi terhadap fraktur tulangmu, tapi, rasanya akan sakit. Gimana?”

Waaaw, senyum itu adem banget. Asli, wanita ini ga cakep-cakep banget sih sebenarnya, cuma sangat ga bosan dipandang. Suaranya… lembut, menggelitik sanubari. Kedua kalinya kami berdua dibikin tertegun oleh kehalusan garis wajah petugas yang bernama Iuigi.

“AWW!” Pekik gw kaget, pas Elka yang kembali sadar duluan, nyelepet tengkuk pake karet gelang. Mbaknya ikutan tersentak juga, “ehem, boleh sih Mbak… Iuigi, kalo bisa cepat sembuh.”

“Saya lebih suka dipanggil Rylit,” tukas Petugas tersebut seraya senyum ramah, lalu berniat beranjak buat ambil suatu botol obat, “dikasih obat penghilang sakit dulu ya.”

“Eh, jangan Mbak!” Seru gw, mencegah tindakan tersebut, “s-saya…” mulai deh, tangan garukin kepala yang ga gatal.

“… Alergi obat,” Sambung Elka cepat, liat gw ga jawab-jawab.

“… Oh, begitu,” Mbak Rylit kembali duduk. Ga berapa lama, Force hijau terkonsentrasi di telapak tangan kanannya, “ga masalah kok.”

“Kalo boleh tau, apa Mbak Holy Chandra?” Iseng gw tanya, begitu liat force hijau itu terkumpul.

Dia tersenyum, lalu geleng pelan, “Saya Astralist,” Jawabnya, “tapi, sebagian besar mantra yang saya pelajari, dipake buat penyembuhan,” Force kehijauan itu, mulai diarahkan ke bagian cedera. Bikin gw kepo, apa kegunaannya? “ini biar ga terlalu sakit,” wew. Apa selain murah senyum, dia bisa baca pikiran?

“Duel kedua, antara Hash’Kafil melawan Rugaray, akan segera dimulai, Bung Binder. Kedua peserta saat ini sedang dalam kondisi prima, di mata saya. Terlihat dari cara mereka melangkah ke Arena. Bagaimana menurut anda, Bung?”

“Keduanya memang memiliki kemampuan mempuni, Bung Kus. Semua yang mencapai tahap ini, tak bisa dipandang sebelah mata! Adu kemampuan antar individu jelas tak bisa dihindari! Kita lihat, apakah Hash’Kafil sanggup mengimbangi kekuatan seorang Armsman!”

Ocehan komentator mulai terdengar dari tv kecil di ruangan ini, pertanda duel kedua segera dimulai, “Ah, Rugaray! Semangat!” tetiba, pas kamera menyorot si peserta lelaki, Mbak Rylit berseru menyemangati, “ehehe, maaf. Dia itu salah satu dari dua anggota Brigade Support Federasi yang lolos ke raungan utama. Makanya, kami para anggota lain, begitu antusias mendukung mereka,” jelas wanita itu ketika liat gw dan Elka menaikkan sebelah alis liat reaksinya tadi.

“Brigade Support Federasi? Saya kira, kita bertanding cuma bawa nama masing-masing,” Elka yang sedari tadi diam, mulai buka suara.

“Ah, memang. Sejatinya begitu,” Rylit balas berkata, “tapi, selain bawa nama pribadi, secara ga tertulis, kita juga bawa gengsi Badan Militer masing-masing lho. Karena melalui festival inilah, tiap satuan tugas juga bersaing secara sehat untuk jadi yang terbaik tiap tahun, melalui perjuangan anggota mereka yang ikut jadi peserta,” Force hijau di tangan Astralist Wanita, mulai berpindah dan perlahan membungkus bagian tangan gw yang cedera.

“Oh, begitu,” gumam si Infiltrator berambut coklat pendek. Itu artinya, gw, Elka, dan Ish’Kandel, bawa nama Satuan Tugas Gabungan juga ya?

“Selama ini, anggota Divisi Artileri Bellato yang kerap mendominasi. Wajar sih, karena memang mereka Prajurit-Prajurit terbaik Federasi. Taun ini juga, banyak dari mereka yang lolos ke raungan utama.”

“Uhm, kira-kira, selain teman Mbak itu…” mulut gw berucap, sembari liat duel kedua yang udah dimulai melalui layar kaca, “… siapa yang satu orang lagi?”

“Kamu ga tau?” dia terperangah, ekspresi ga percaya terpapar di wajah. Kesekian kalinya, gw geleng-geleng, “padahal dia bilang di pidato pembuka, ‘gw makan lu hidup-hidup, Lake Grymnystre’, ” Ucap Rylit, seraya meniru gestur warbeast, atau lebih tepatnya… young flem betina unyu dengan tangan membentuk cakar, bersiap menerkam.

Gw cengo beberapa detik karena masih belum mencerna informasi yang baru aja diterima otak, “… DIA!?”

“Kalo yang kamu maksud dengan dia, adalah Rokai Leiten, iya.” Kata Astralist berambut biru pudar enteng. Jadi dokter sinting itu, bagian dari Brigade Support!?

Ya, ga aneh sih emang. Secara, selama ini, dia lebih banyak bersarang di ruang perawatan ketimbang di tempat lain. Tapi, gw kira dia di situ cuman bantu-bantu. Maksud gw, dulu dia kan calon Wizard terkuat sepanjang sejarah Federasi, dengan segudang mantra penghancur mengerikan. Sekarang masih sih, cuma Wizard-nya diganti aja jadi Holy Chandra.

Namun, membayangkan monster macam dia ga berada di jajaran pasukan elit Federasi, tentu timbulkan tanda tanya. Jadi ingat pas dulu gw nanya, kenapa dia lebih memilih jadi Chandra, ketimbang Psyper. Selalu dijawab pake kalimat; “Karena gw jenius. Jenius bebas ngapain aja sesuka hati, kan?

“Tahan napas di perut ya,” gw gigit kerah jersey sendiri, sambil tarik napas dalam-dalam, dan tahan di diafragma guna antisipasi sakitnya direposisi. Setelah siap, gw mengangguk sekali pada Mbak Rylit.

“EEEEEENNGGGGHHH! KKKKKHHH!” Erangan gw keras namun tertahan, pas tangan berbalut force kehijauan mulai mengurut-urut. Gila! Ngilu banget! Segini udah pake mantra si Astralist yang katanya buat mengurangi nyeri. Mendadak, Rylit menyentak tulang gw kuat-kuat, balik ke posisi awal. Jadi simetris lagi dengan yang kanan, “hahh… hahh… UAAAAAA… DUDUDUUUH!” gw melakukan apapun biar ga pikirkan sakit yang terasa. Headbang, injak-injak tanah, pukul-pukul paha sendiri, tepok-tepok jidat, dan masih banyak lagi saat si Astralist lanjutkan perawatannya guna hancurkan darah beku di sekitar tangan, biar mengalir normal lagi.

“Sekarang, tinggal diperban,” astaga! Untung deh udah selesai! Entah berapa lama lagi gw sanggup ‘disiksa’ begini. Petugas medis itu melilitkan perban di sebagian tangan kiri, khususnya jari kelingking, dan dikencangkan biar ga banyak gerak. “Ini sengaja saya kencangkan, soalnya ga boleh banyak gerak dulu. Tapi, kalo terlalu ketat, bilang ya. Takutnya, peredaran darahmu malah tersumbat. Hehehe.”

“Segini pas kok, Mbak,” celetuk gw. Terlihat di televisi, duel masih terus berlanjut. Dan yang bikin kaget, sejauh ini cukup imbang ternyata. Rugaray, si Armsman, meski kekuatannya diatas kertas jauh melebihi sang lawan, tampak kesulitan menyerang Hash’Kafil yang begitu lincah dan punya keseimbangan yang baik, “mbak, mau tanya… apa Mbak kenal Rokai? Kaya gimana dia, di Brigade Support?” Tanpa sebab yang jelas, pertanyaan itu keluar gitu aja dari mulut gw.

“Hmm, kami sekedar kenal sebagai kamerad di satuan tugas,” jawab si Astralist berambut biru pudar, seraya mata mengarah ke televisi, “anaknya ga banyak bicara, datar, dan cepat belajar. Tapi sekalinya bicara, suka tajam,” dia ketawa kecil di tengah penjelasan, “tapi, dia benar-benar bisa dihandalkan saat harapan seolah sirna.”

“Saya sendiri masih ga percaya, Spiritualist sekaliber dirinya, gabung Brigade Support. Saya dan Senior yang lain, bersyukur dia berada di tengah kami. Ketenangannya, dan pengambilan keputusan, bikin kami percaya kami bisa menolong banyak orang, sekritis apapun kondisinya. Namun, biarpun begitu, dia tetap ga lupa diri. Tetap menaruh hormat pada para Senior. Dan… oh! Dia termasuk pemerhati lingkungan.”

Dahi gw bergerut dengar penjelasan Rylit. Perasaan, Rokai lebih ngeselin dari itu. Arogan, dan kerap menganggap rendah orang lain. Tepatnya, menganggap rendah gw, sih, “Kok… kaya bukan dia…”

“Ihihi, koin selalu punya dua sisi, kan?” lagi-lagi, si mbaknya cekikikan, “tiap orang, juga selalu punya dua sisi. Negatif, dan positif.”

“Iya, benar juga sih,” gw membenarkan. Angkat tangan kiri, dan liat ke luka di tangan. Lalu, senyum tersimpul di sudut bibir, “makasih banyak ya, Mbak. Kami permisi dulu,” gw dan Elka pamit dari ruang perawatan.

“Sama-sama,” balas petugas itu singkat, dan kembali pamerkan senyum lembut menyejukkan hati sebelum kami beranjak dari ruangannya.

Mungkin selama ini yang gw kenal, cuma satu sisi dari diri Rokai. Bisa jadi, ini hari paling pas buat liat apa yang ada di sisi satunya, di final nanti.

Di tengah perjalanan balik ke arena, tepatnya ke bangku yang tersedia bagi peserta, ga ada perbincangan berarti antara kami. Cuma suara langkah menggema di lorong yang jadi pengiring.

“… Menurut lu, siapa yang menang di duel kedua?” Pertanyaan tersebut memecah keheningan. Karena, antara Hash dan Rugaray, salah satunya bakal jadi lawan kedua gw nanti.

“Hash’Kafil,” tanpa pikir dua kali, Elka menjawab begitu yakin, “si Armsman itu, sama sekali ga punya kesempatan di hadapan Hash’Kafil,” padahal, ini anak cuman liat sekelebat pertandingan di tv tadi, yang keliatan cukup imbang.

“Oh ya?”

Elka mengangguk, sambil tetap liat lurus kedepan.

“Kalo gw?”

Dia menoleh ke gw, terus baru deh tunjukkan seringai merendahkan. Kaya menyiratkan, “Yah elah, elu lagi. Hopeless.

“A… apa-apaan tuh muka?”

“Kesempatannya kecil, tapi ga 0,” Elka menutup mata, dan menyungging senyum. Terliat dadanya mengempis, karena dia menghembus napas, “gw yakin, lu bisa melakukan sesuatu.”

Sebenarnya ga terlalu paham, dia percaya dengan kemampuan gw atau engga. Apa reaksinya itu merendahkan, atau mendukung. Tapi seenggaknya, ada sedikit rasa lega, “Yah, seengganya, gw jadi sedikit lebih termotivasi.”

“… Dukung gw ya, pas lawan Sabilla,” pintanya halus, dan bikin gw terhenyak. Soalnya seingat gw, sekian lama ini anak melewati banyak ujian ataupun rintangan, baru kali ini minta dukungan. Barangkali, dia benar-benar menganggap Sabilla lawan yang berat.

Ga nyangka, ternyata seorang Elka bisa gugup juga. Walau cuma secuil, tapi agak keliatan dari gelagat. Reflek, tangan kanan gw mendarat di kepala berambut cokelat itu, mengusap beberapa kali, dan coba tenangkan, “Kalo bukan lu, siapa lagi yang harus gw dukung?”

“Ya ga tau… bisa aja Alecto, kan?” yakali. Respon itu sama sekali bukan yang gw harapkan. Bikin gw menarik tangan dari kepalanya. Tapi, tepat sesaat setelah tangan gw terangkat dari kepala, Elka menekan balik tangan gw, dengan kedua tangannya. Menahan telapak ini tetap di kepalanya sambil senyum polos kaya anak kecil, “makasih, ya. Gw jadi sedikit lebih termotivasi,” lalu dia balikkan kata-kata yang tadi, bikin gw nyengir pamerkan deret gigi.

“Lu duluan aja,” ujar gw padanya, “mau ke kamar mandi dulu.”

“Jangan lama-lama,” ucap Elka seraya lepaskan tangan gw, kemudian melangkah duluan.

“Iya, iya,” gw berlalu, cari kamar mandi. Butuh cuci muka, setelah rasakan mual yang nyaris ga tertahan.

Tampak ga ada seorangpun begitu gw masuk kamar mandi. Sepi. Tujuan gw cuma wastafel yang terbuat dari keramik berbentuk oval. Tangan kanan mulai memutar keran, dan biarkan airnya mengalir tanpa tertampung. Gw ga langsung basuh muka, melainkan habiskan sejenak waktu buat inspeksi refleksi di cermin besar depan wastafel.

Ada citra seorang lelaki berambut kelabu dengan potongan rambut sasak di seberang sana. Rambut yang terbilang pendek, biar ga ganggu pergerakan, ataupun beri sensasi gatal di dahi, kuping, maupun tengkuk. Balas menatap gw dengan sepasang iris ungu, seperti biasa. Ga ada garis ungu, atau garis apapun di bawah mata. Jersey putihnya yang dipake di luar lapisan base layer hitam lengan panjang, udah ternoda berbagai macam warna, dengan balutan perban di kedua tangan.

Itu gw, kan?” batin gw penasaran, akan apa yang sebenarnya ada di balik refleksi tersebut. Sosok itu, yang tiba-tiba muncul di arena, tinggalkan teka-teki, mengemis minta digali. Mata gw mulai tertuju pada hasil kerja Rylit. Perban di tangan kiri, begitu kuat melilit. Berkat rasa sakit itu, menyelamatkan gw di saat tepat, “Siapa lu?

Pertanyaan aneh kalo ditujukan buat diri sendiri. Secara, gw pun ga tau jawabannya. Tapi, entah ke mana harus bertanya. Karena ini begitu sulit untuk dibahas. Hampir mendekati omongan kosong dari Bellato ga berakal.

Air yang dari tadi terbuang percuma, mulai gw tampung pake telapak tangan kanan, dan menutup mata pas basuh muka beberapa kali.

“Sebagai lawan yang udah mematahkan Mind Snare, lu keliatan cukup menyedihkan,” mendadak, gw dikejutkan suara di wastafel samping. Begitu gw dongak, liat refleksi Lace di cermin, bikin gw lompat ke belakang, “hohow, tenang Bung. Ga perlu pasang kuda-kuda gitu. Lu udah menang, ingat?”

Sial! Gw ga akan terjebak kali ini! Ogah jatuh lagi ke lubang yang sama!

“Astaga,” dia geleng kepala, liat reaksi gw, “gw lagi ga coba ‘membajak’ pikiran lu, oke?” Perban menutupi dahinya, diantara helai poni cokelat muda tersebut, “Jadi, ga masalah kalo lu menanggapi omongan gw, Pelari cepat.”

Pelari cepat?” haruskah gw percaya kata-katanya? Masih waspada, tapi kepikiran juga sih. Apa untungnya dia bohong? “… Oke. Saya pegang kata-kata anda.”

“Hahaha, gw ga serendah yang lu pikir,” lelaki itu ketawa lepas. Entahlah harus disebut apa, ‘membajak pikiran’ lawan supaya melakukan keinginan lu, “sebelumnya, maaf gw harus melakukan ‘itu’ ke lu. Bukannya mau, melainkan terpaksa.”

“… Kalo anda ga mau, kenapa tetap dilakukan?” Gw bertanya, kami saling menatap melalui cermin besar. “Rasanya ga enak, Royal.”

“Jujur, gw ga bisa mengalahkan lu, kalo lu mulai keluarkan kecepatan ga masuk akal itu.” Jawabnya ringan. “Makanya, harus dicegah dari awal. Tapi, tetap aja. Gw gagal. Yang ada, lu malah balik melawan.” Sesaat, dia usap-usap jidat, kemudian cuci tangan, lanjut berujar. “Grymnystre bukan sekedar hiasan di belakang nama lu, ya?”

“Tolong, Royal. Stop lakukan itu.”

“… Apa?”

“Bawa-bawa nama..” gw memalingkan mata ke arah lain, dan kalimat gw terhenti sebentar, “… keluarga saya.”

“Jangan salah sangka, maksud gw positif kok.” Infiltrator Senior ini terlihat berlebihan pake sabun. Terbukti dari busa di tangan yang terlampau banyak. “Pas gw bilang ‘kita punya banyak kesamaan’, itu bukan sekedar kata-kata tanpa dasar. Gw tau kaya apa rasanya, jadi kambing hitam atas dosa yang ga pernah lu lakukan.”

“A… pa?”

“Yupp, kita ga jauh beda. Itulah kenapa, gw lebih memilih hidup di bawah bayang orang lain. Untuk menjaga tingkat pencahayaan tetap minimum. Agar ga ada satupun mata tertuju pada gw,” air mengalir, membilas busa terlampau banyak dari tangan Lace. Mata gw cuma tertuju pada kelakuan ga wajar itu saat dengarkan ucapannya.

Berusaha ga menarik perhatian? Emang terdengar sama sih, dengan apa yang coba gw lakukan beberapa tahun belakangan.

Liat tatapan sendu pada mata si Infiltrator berpangkat Royal, bikin gw mikir kalo dia bilang itu semua atas dasar kejujuran. Mungkin, jadi anggota Skuad Taktis Rahasia, adalah satu jalan yang dia punya untuk terhindar dari segala tudingan yang mengarah padanya. Memilih untuk hilangkan jejak keberadaan, dan hidup dalam bayang. Menghapus bukti keanggotaan pada database utama, dan rela ga punya identitas. Ada, tapi sulit dipercaya. Bagai… hantu.

“Menurut anda, saya harus melakukan hal yang sama?” gw bertanya, sehabis dia selesai bilas tangan.

“Kita ga jauh beda, banyak kesamaan bukan berarti 100% sama.” Balas Lace, seraya rapihkan gaya rambut. “Tingkat pencahayaan lu lebih tinggi, ketimbang gw.”

Apa maksudnya itu? Alis kelabu gw bergerut.

Lace melangkah ke pintu keluar, begitu urusannya selesai di sini. Dia buka pintu, namun langkah tertahan ama pertanyaan gw, “Gimana anda bisa tau, tentang Black Knight itu?”

“Gw yakin, lu udah dapat info sebelumnya dari kawan lu, Alecto.” Ujarnya, sembari menahan pintu tetap terbuka. “Dan pastinya lu udah tau, di badan militer mana gw ditempatkan. Di sana, gw tau lebih dari yang seharusnya, biarpun ga pengen tau.”

Cuma perasaan gw, atau emang perkataan orang ini dari tadi agak susah dicerna ya?

“… Pertanyaan terakhir, Royal.” Kata gw, penasaran akan satu hal terakhir yang masih mengganjal. Lace berbalik menghadap gw, tapi tangan tetap di gagang pintu.

“Boleh,” ucap Lace singkat.

“Anda bilang, kenal saya lebih baik daripada saya kenal diri sendiri.” Kepala gw menunduk liat lantai, “Saya ini… apa?” Tapi mata gw langsung tertuju pada mata merah terang si Infiltrator ketika bertanya.

Raut wajah Lace keheranan dengar pertanyaan tersebut. Ga nyangka barangkali, dapat pertanyaan absurd begitu. Sekitar lewat 5 detik, ia terdiam.

“Bellatean,” jawabnya teramat singkat setelah diam agak lama. Setelah itu, langsung jalan keluar.

Gw balik berkaca, abis ditinggal. Ngomong ke refleksi cermin, yang tentunya menghasilkan mimik serta gerak mulut persis sama. “Lu dengar?” Gw menunjuk refleksi tersebut, “Lu itu Bellatean.”

.

.

“Ahh~ Lamiaaa~” Pas lagi jalan di lorong, eh papasan lagi dengan tu orang. Gw langsung rapatkan badan ke dinding, biar dia ga sadar ada gw di dekat situ. Keliatan, dia lagi menghampiri seorang perempuan berambut pirang panjang, dengan mata berwarna hijau hutan, yang dipanggil Lamia. “UGH!”

“Auch…” gw mengaduh sendiri, dalam bisik, liat tu orang bukannya dapat sambutan hangat, malah dapat satu polesan kepalan tangan di kepala. Lumayan tuh, diliat dari postur perempuan itu yang cukup berisi dan ga tepos-tepos amat, pasti jitakannya berasa.

“Ke-kenapa…?” Lirih terdengar, suara si Infiltrator yang masih cium tanah. Asap keluar dari bekas pukulan kawan wanita.

“Ke mana aja sih lu, HAH!?” Semprot Lamia dengan nada tinggi. “Baru juga diperban, udah keluyuran ga jelas! Gw nyariin dari tadi, tau!?” Buset. Ternyata ‘Hantu’ pun bisa ga berkutik disembur wanita.

“Gw ke toilet! Buang hajat, ga boleh!?” Lelaki berambut cokelat, langsung berdiri sembari megangin kepala. “Lu yang rawat luka gw, lu juga yang mukul-mukul seenaknya! Kebangetan…”

“Bukan ga boleh, ya gw kan cemas!” Ambek si perempuan pirang tersebut. “Ga paham amat sih!” Dia berbalik memunggungi Lace, melipat kedua tangan di depan dada.

Anggota Badan Intelijensi Pusat, jadi garuk-garuk kepala, dan menghela napas. “Gw beli coklat buat lu, lho.” Dia merogoh kantong celana, dan keluarkan sebatang cokelat, berharap itu bisa meredakan ambekan Lamia. “Coklat ini beda, warnanya merah.” Tangannya mulai buka kertas pembungkus. Coklat apaan yang warna merah? Emang ada?

Pelan-pelan, Lamia melirik penasaran, “Mana merah? Itu mah coklat biasa. Buta warna, ya?” Tatapan mata hijau itu menyipit.

“Wah iya,” Lace berkata, seolah baru sadar kesalahan, “maklum, cinta emang bikin buta.” Anjreet. Gombaaal abis. Faak lah!

Ga pake mikir dua kali, Lamia melancarkan tinju sekuat tenaga ke perut Lace, “UHUGG!” bikin pemuda itu bertekuk lutut sambil pegangi perut.

“Ranger dungu! Tukang gombal! Sok kegantengan! Kerikil jalanan! Baut generator! Bemper bemo, ga tau diri!” Omel Lamia, kaki menghentak jengkel, tinggalkan kawannya dalam keadaan sekarat. “Dungu! Dungu! Dunguuu!” Biarpun kesal, tetap aja coklatnya diambil, dengan muka memerah padam macam tomat.

“Ke-kenapa… salah, lagi…?” Kesian. Tapi lucu juga sih, membayangkan ‘Hantu Pencuri Kehidupan’, yang punya kemampuan manipulasi pikiran, tersungkur dua kali berturut, gegara seorang wanita.

Ah ya, ga boleh berlama-lama berada di sini, duel ketiga udah mau mulai. Gw harus nonton kaya apa pertarungan antara Sabilla dan Elka. Di sektor yang khusus buat peserta, Dzofi melambai.

“Lake! Sini, sini!” Di sana, udah ada Alecto dan Royal Ulfa. “Duel yang keren! Dan cukup bikin kita bertanya-tanya. Hahaha.” Dia bilang, keliatan makin semangat dari sebelumnya.

“Ahha, biasa aja kok.” Respon gw. “Siapa yang menang, duel kedua?”

“Hash’Kafil.” Wew, tepat kaya yang dibilang Elka. “Juniorku itu, benar-benar sesuatu.” Tukas Royal Ulfa. Ohh, ya. Mereka sama-sama dari Divisi Artileri. Pun begitu dengan lawan Elka di arena, si gadis berambut putih.

Berarti fix, duel kedua gw nanti, Hash’Kafil siap menjegal.

Panjang umur, abis diomongin, nongol orangnya. Hash’Kafil kembali ke sektor peserta, dan melangkah lebih kedepan, supaya bisa liat lebih dekat, duel pesaing terberatnya. Mata hitam Ranger tersebut sangat fokus, mengunci Elka.

“Kelingking lu kenapa lagi, yang kiri?” Alecto yang duduk di belakang gw dan Dzofi bertanya.

“Oh, patah.”

“Kok bisa? Perasaan, tadi lu ga banyak pake tangan kiri.”

“Yaaa.. mana gw tau? Namanya lagi duel. Sadar-sadar, udah ngilu aja.” Elak gw, coba belokkan kebenaran. Karena malas juga cari kata-kata yang pas buat menjelaskan.

“Ada-ada aja.”

“DUEL KETIGA SODARA-SODARA! SUDAH DIAMBANG MATA! Entah kenapa, makin ke sini, saya malah makin membara, Bung Kus.”

Astaga! Ngagetin! Sumpah!

“Siapa yang tak membara, bila melihat aksi menawan para peserta, Bung Binder? Bahkan kita yang sudah di ujung jalan kehidupan, akan berharap bisa memundurkan langkah kaki, supaya diberi kesempatan melakukan hal bodoh yang menakjubkan untuk terakhir kali.”

“HIPERBOLA DAN KONOTASI! Ah, betapa saya bersyukur, andalah yang selalu jadi partner saya, Bung Kus!”

“Kedua peserta, harap mendekat!” Seru Conquest Borr lantang. Sabilla yang menggunakan pisau lempar, serta Elka yang memegang sebilah pedang tipis di tangan kiri, dan handgun di tangan kanan, saling mendekat. Mata mereka begitu lekat, ga lepas-lepas, bagai ga ngasih ruang bagi lawan untuk memanfaatkan celah sekecil apapun. Padahal, belum juga mulai.

“… Dukung gw ya, pas lawan Sabilla.” Ingat gelagat ga biasa dari Elka tadi, kok gw jadi ikutan tegang? Tenanglah, dia pasti bisa mengatasinya.

“Beri hormat!” Mereka saling mengepal tangan kanan di depan jantung. “MULAI!” Teriakan pria botak paruh baya, udah kaya lonceng pertarungan di telinga siapapun yang ada di tengah sana.

“IF I DIE, YOU HAVE TO FREEZE WITH ME, SCUM!”
– Ulkatoruk (Ch. 22)


CHAPTER 30 END.

Next Chapter > Read Chapter 31:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-31/

Previous Chapter > Read Chapter 29:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-29/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Catatan Author:
Sejauh ini, udah ada 6 badan kemiliteran di Federasi, dan kemungkinan besar ga akan nambah lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *