LAKE CHAPTER 31 – THORN OF THE BLOOD ROSE
 
                Lake 
Penulis: Mie Rebus 
Keadaan udah cukup bikin deg-degan dari tempat gw duduk, apalagi bagi mereka yang ada di tengah arena. Tanda dimulainya duel telah dikumandangkan oleh Conquest Borr, bikin Sabilla langsung lempar pisau di tangan ke arah kepala lawan. Ga tinggal diam, Elka menepis pisau yang melesat dengan pedang di tangan kirinya, lalu maju mendekat!
Dalam waktu sepersekian detik, kaki Sabilla udah sigap terayun di depan muka Elka, menendang gadis berambut coklat pas lagi menerjang dengan kecepatan penuh. Benturan ga terhindarkan karena jarak yang memisahkan mereka begitu sempit. Mau ga mau, pilihan Elka cuma satu; melindungi kepala pake lengan.
Tenaga tendangan Sabilla sukses bikin Elka terpental beberapa meter ke samping! Untung, serangan dadakan itu ga membuatnya tumbang. Namun, Sabilla ga berhenti sampe situ. Liat Elka masih dalam posisi goyah, 3 pisau lagi keluar dari balik jersey lengan panjang si gadis berambut putih.
Wew, berapa banyak pisau yang dia bawa?
Jari tangan Elka tarik pelatuk handgun, muntahkan 3 peluru yang masing-masing tepat kena pisau beterbangan. Nyaring suara handgun terdengar memenuhi arena. Satu pisau ekstra melesat belakangan. Elka yang telat sadar akan hal itu, segera miringkan kepala sehingga pisau lemparan Sabilla cuma mengiris beberapa helai rambut coklatnya.
Sabilla belum berhenti menekan. Kali ini dia yang memangkas jarak dari Elka sembari terus lempar pisau yang seolah ga ada abisnya. Semua serangan pisau tersebut tepat mengarah ke titik vital, ga ada satupun melenceng dari sasaran, bikin Elka susah payah tepis satu-satu. Untuk menghindar aja keliatan susah banget.
Tapi yang bikin gw salut, Elka masih bisa fokus dan ga panik. Terbukti, ayunan pedang dan tembakan handgunnya tepat banget kena pisau-pisau sang lawan yang bergerak dalam kecepatan tinggi. Itu ga gampang sama sekali.
Lah gw aja tembak target diam, cuma dapat nilai 78.
Pas jarak dirasa dekat, lagi-lagi Sabilla melakukan gerakan akrobatik seperti di raungan kedua tadi. Kakinya mengambang di udara, terus memutar tubuh pada sudut vertikal! Gw paham betul apa tujuannya, karena gw juga sering melakukan itu. Gadis berambut putih kumpulkan momentum, dan berniat tusuk tubuh lawan sekuat tenaga dari atas!
Tentu hal tersebut ga akan dibiarkan berjalan mulus. Berdiri tanpa perlawanan biar kata lagi terdesak, bukan Elka namanya. Dia pake pergelangan tangan untuk tahan laju tangan Sabilla yang lagi pegang pisau secara terbalik, menghentikan mata pisau kurang seinci dari bahunya.
Mereka adu kekuatan dalam posisi itu. Yang satu menekan ke bawah, yang satu setengah mati dorong ke atas supaya bahunya ga ditembus senjata sang lawan. Tapi, keadaan itu ga berlangsung lama. Sontak, Elka melantingkan tangan Sabilla. Buka celah pada pertahanan gadis berambut putih, kemudian membuktikan kalo ga cuma Sabilla yang punya tendangan keras.
Setelah memutar badan sekali, bertumpu pada kaki kiri, tendangan kuat Elka mendarat tanpa halangan di perut Sabilla! Anggota Divisi Artileri tersebut terdorong mundur 4 langkah sembari tertunduk pegang perut.
Ugh! Pasti mules banget tuh.
Sekarang, giliran Elka lakukan serangan balasan. Moncong handgun di tangan, terarah tepat pada Sabilla! Jarinya lagi-lagi ga ragu tarik pelatuk! Terhitung 5 letusan senjata api terdengar di telinga kami. Segera setelahnya, ada bunyi logam saling beradu sebanyak 5 kali.
Gi-gila! Sa-Sabilla bisa… nangkis peluru pake pisau!? Biarpun posisinya keliatan ga memungkinkan?!
Kedua Infiltrator di tengah arena benar-benar saling pamer kemampuan. Belum ada 5 menit duel ini mulai, tapi keduanya udah terlibat pertarungan tempo cepat! Sama sekali ga kasih lawan kesempatan buat istirahat. Tiap gerakan yang mereka lakukan ga ada yang sia-sia. Begitu efisien. Semua dilakukan demi satu tujuan; saling menjatuhkan.
Selongsong peluru dan pisau hasil serangan mereka bergelimpangan di arena. Sekian banyak terbuang, tapi belum ada satupun yang sukses melukai lawan. Sejauh ini sih, baru bertukar tendangan doang.
Sejenak, mereka saling tatap. Atur napas barangkali. Yang nonton aja capek liat mereka udah gas pol gitu dari awal. Senyum kecil tersungging dari bibir Elka, mengingat kemampuan Sabilla yang bisa dibilang mengimbangi dirinya. Di lain pihak, gw menangkap ekspresi tegang bercampur semangat dari wajah Sabilla. Gadis berambut putih itu ga tersenyum, tapi mata biru langitnya keliatan belum pasrah.
“Ohho, membuka duel dengan tempo cepat! Ini yang saya tunggu, Bung Kus! Tidak banyak kata terucap, hanya PAW! PAW! BAAANG! BANG!”
“Luar biasa, Bung Binder. Kedua Ranger jelas tidak ada yang sudi mengalah di menit-menit awal. Karena mereka tahu, bila momentum mulai berpihak pada salah satu diantara mereka, akan menyulitkan bagi sang lawan untuk membalik keadaan.”
GLEK!
Gw, Dzofi, dan Alecto barengan telan ludah seraya cengo. Ga kedip liat dua perempuan bening binti ga ada duanya, pertontonkan level pertarungan yang terasa berada jauh di atas kami. Penonton yang lain juga, ga bersuara, tahan napas. Seisi arena kaya kena global silence.
“… Wew.” Akhirnya, Dzofi memecah keheningan.
“Iya… wew.” Balas gw.
“Teman lu boleh juga.” Tukas Alecto.
“Kan gw udah pernah bilang, kemampuan Sabilla itu paten.”
“… Kalo ga salah waktu raungan kedua, gw sempat liat warna iris Sabilla berubah merah.” Gw berujar sambil pastikan mata Sabilla masih biru. “Kenapa bisa gitu?”
Armor Rider itu ga langsung jawab, melainkan saling bertatapan dengan Royal Ulfa dulu. Keliatan ga yakin perlu jelaskan atau enggak. “… Pernah dengar, cerita tentang klan Rosseblood?” Barulah kemudian, nanya pada kami berdua.
Gw dan Alecto geleng-geleng sebagai jawaban.
Sekali lagi, kedua orang yang punya hubungan sepupu itu saling pandang. Kali ini, Royal Ulfa yang gantian menjelaskan. “Kita juga ga tau pasti, tapi menurut salah satu instruktur, Rosseblood terkenal dengan kemampuan berburunya. Tiap keturunan mereka, tanpa terkecuali, punya bakat alami dalam tembak-menembak dengan akurasi yang cukup tinggi.”
Wow, ga pernah dengar ada klan spesialis berburu di Bellato. Ga heran, Elka mewaspadai Sabilla sampe segitunya, “Gadis Sabilla itu… sesuatu yang lain.” Masih membekas di ingatan gw pas Elka bilang gitu. “Tapi, itu belum menjawab pertanyaan saya yang tadi, Royal,” pertanyaan tentang kenapa iris Sabilla bisa berubah warna, “Apa cuma salah liat ya?”
“Lu ga salah liat,” lagi-lagi, Dzofi ambil alih penjelasan, “awalnya, gw juga mikir begitu. Tapi ternyata, dia emang bisa melakukannya,” ujar pemuda itu, sambil sesekali alihkan mata ke arena. Jual beli serangan kembali terjadi antar peserta duel ketiga, “Rosseblood punya satu bakat khusus yang jadi ciri khas, yaitu kemampuan membunuh secara sadis.”
“Hah?! Serius?! Perempuan imut kaya Sabilla?!” Alecto berseru, kaget dengar penjelasan Dzofi. Gw juga kaget sih, cuman ga ngomong apa-apa. Soalnya, fokus lagi terbagi ke duel.
Sengit banget! Sekarang Sabilla coba pendekatan lain. Menyerang Elka bertubi-tubi dari jarak dekat. Pisau lemparnya di kedua tangan, ga dilempar. Melainkan dipake sebagai senjata jarak dekat. Namun, hal ini jelas ga menguntungkan. Pedang tipis di tangan kiri Elka lebih panjang dari pisau, otomatis jarak jangkauannya pun lebih jauh.
“Tapi diantara garis keturunannya pun, kemampuan khusus ini terbilang langka. Karena cuma diturunkan pada satu orang per generasi,” sambung Royal Ulfa gantikan sepupunya, “ditambah lagi, kemampuan ini diturunkan secara matrineal. Alias… pada keturunan wanita.”
Njiir… ngeri jugak cuk. Jadi mikir dua kali, kalo mau macam-macam dengan Sabilla. “Jadi… kemampuan ini, apa yang dilakukannya?”
Serangan Elka beberapa sukses menyayat kulit putih sang lawan. Biarpun cuma pake satu tangan buat ladeni permainan dual pisau Sabilla, jelas Elka ga kalah mahir main senjata tajam. Dentingan logam saling tabrak diantara genjar gerakan mereka. Saling hindar, serta sekian kali beradu tajam saat ga memungkinkan untuk menghindar.
“Lu liat kan, di raungan kedua tadi?” Dzofi malah balik nanya, “Sabilla kayak bukan Sabilla. Saat dia meningkatkan konsentrasi sampe 101%, maka secara ga sadar, matanya berubah merah. Insting berburunya ikut naik drastis, dan mengubahnya jadi ‘Pemburu psikopat’. Kemampuan ini juga bikin kinerja otot meningkat, dan cuma satu hal yang ada di kepalanya…” dia menatap mata gw, dengan ekspresi penuh kecemasan, “… ‘Mangsa’ di depan mata.”
“Itu sih, Elka banget…” itulah yang lewat di benak gw usai dengar penjelasan pemuda berambut hitam. Apa dia lupa, kita sempat dikejar ‘monster’ juga? Nasib. Sekarang ini jaman di mana lelaki yang jadi ‘mangsa’ wanita. Demm… efek emansipasi.
Kayanya gw mulai paham, kenapa gelagat Elka aneh. Karena pesaing yang dihadapinya kali ini hampir mirip. Bikin dia menggangap lagi berhadapan dengan diri sendiri, “Tapi dengan kemampuan sehebat itu, kenapa nama teman lu hampir ga pernah terdengar?”
“Sebenarnya, Sabilla gadis lembut yang halus kelakuannya. Kadang, juga suka ga yakin dengan kemampuan yang dia punya. Makanya, sering banget ragu-ragu. Padahal, dia lebih dari mampu melakukan apa aja,” tangan Dzofi terlihat mengepal, dan giginya beradu di dalam mulut dengan wajah menunduk dikit. Seolah lagi tahan suatu perasaan, “lagian, dia pernah bilang, sama sekali ga suka dengan kemampuan tersebut. Dia takut melukai teman-temannya… pas lepas kendali. Kaya… kejadian itu.”
“Kejadian… itu?” tanya gw, masih penasaran.
“Ahh… maaf. Gw ga mau bicarakan itu,” elak si pemuda anggota Divisi Sains dan Teknologi, sambil lempar senyum setengah maksa. Barangkali masalah pribadi. Ya sudahlah, kalo ga mau cerita ya ga apa.
Intinya, Elka dan Sabilla ga jauh beda. Sama-sama punya potensi buat jadi mengerikan dengan cara yang berbeda. Kata kunci ‘pemburu psikopat’, ‘lepas kendali’, dan ‘takut melukai teman’ bikin gw berspekulasi, ada kemungkinan saat iris Sabilla memerah, dia bisa jadi gelap mata. Lain hal dengan Elka, masuk mode tukang jagal, bukan berarti hilang kesadaran.
Tetap ga abis pikir, susah dipercaya. Gadis imut idola gw itu… aaahhh!
“Ibarat bunga, teman lu kaya mawar putih ya,” celetuk Hidden Soldier berambut denim, “suci, polos, lembut, halus, rendah hati, murni… tapi menyimpan kesungguhan, dan rahasia.”
“Mungkin…” Balas si Armor Rider, “… gw ga pernah kepikiran, sih.”
Kembali ke arena, Elka terus memojokan Sabilla dengan permainan pedangnya. Ga kasih kesempatan pada gadis berambut putih untuk ambil jarak lagi. Ga tau deh, apa Sabilla masih punya banyak pisau untuk dilempar atau enggak. Yang jelas, dia terdesak! Faktor kelelahan bisa dipastikan jadi penyebab utama.
Biarpun awalnya keliatan imbang, seiring menit berlalu, stamina Sabilla terkikis. Napasnya terengah, keringat bercucuran dari pori-pori gadis itu. Apalagi, dihadapkan tajamnya mata coklat sang lawan. Bikin dia mengertak gigi ketika antisipasi serangan-serangan yang datang. Di lain pihak, Elka masih keliatan sanggup kelahi sepanjang hari.
Perasaan gw saat ini, ada di perbatasan antara tenang dan gelisah. Gelisah setelah dengar penjelasan Dzofi tentang Sabilla yang punya kemampuan membunuh secara sadis. Kalo emang gitu, bisa-bisa Elka dalam bahaya.
Tapi, perasaan yang bilang, “Dia pasti bisa mengatasinya…” menetralisir sedikit kegelisahan gw.
Belum ada tanda-tanda mata Sabilla berubah warna. Gadis itu masih berdiri, dan kembali menerjang Elka dengan sisa tenaga yang ada. Langkahnya mulai keliatan dipaksakan, melayangkan satu tusukan ke arah perut. Di mata Sabilla, dan kami para penonton, tusukan tersebut ‘menembus’ tubuh Elka. Padahal nyatanya, cuma menembus angin.
Wauw! Lagi-lagi Elka Nordo melakukan gerakan itu, Bung Kus! Gerakan yang mebuat tubuhnya seolah tidak dalam wujud padat!”
“Masih ada kelanjutannya, Bung Binder! Kita lihat yang terjadi!”
Setelah tusukan itu, Elka langsung balas menyerang!
Satu, dua, tiga, empat tebasan cepat Elka menggores luka di rusuk, lengan, serta paha Sabilla. Ditambah hantaman lutut pada diafragma Infiltrator berambut putih, diakhiri sikutan keras tepat di tengkuk ketika Sabilla tertunduk bikin dia nyaris tersungkur andai kedua tangannya ga sigap tahan badan dari permukaan tanah.
Gerakan Elka begitu terkoordinasi dengan baik. Seolah udah liat satu langkah di depan. Tanpa ampun, dingin mata coklatnya, dia ga segan-segan. Force tipis mulai menyeruak dari sekujur badan Elka.
Heyy, heyy, yang benar aja! Lawan lu udah hampir kalah, lu malah makin bernapsu?!
“E-edan, serangan Elka masuk semua,” Dzofi berujar dengan nada terisi ketegangan, “gw tau, Sabilla kelelahan. Tapi ga bakal gampang diserang sampe segitunya.”
“… Dia tahan napas,” Dzofi dan Royal Ulfa mengalihkan mata ke gw. Cuma ada satu penyebab hal itu terjadi, “uhm- X-Struck. Mencegah serangan Elka meleset selama dia tahan napas.”
“A-apa?! Yang benar!?” Pemuda itu tampak kaget, dan belum percaya. “Jangan-jangan… Legenda rekam jejak 100% itu…”
“Lu liat kan?” Alecto menimpali, “Elka jadi lulusan terbaik Ranger Corps, bukan tanpa alasan. Dia ga pernah meleset.”
“Uhh- Sabilla,” Si Armor Rider mulai tunjukkan ekspresi khawatir. Gw paham sih perasaannya. 2 teman dekat kita bertarung segitu serius. Cuma 1 yang bikin kita cemas. Kalo ini terus berlanjut, yang ada mereka saling mencelakai.
Kemungkinan terburuk, cukup untuk jadi alasan kita berharap itu ga akan terjadi.
Royal Ulfa yang cuma dengarkan, ikut nimbrung juga, “Kalo gitu dia bisa menang mudah dong? Kenapa ga dari awal?”
“Karena dia harus tahan napas, Royal,” gw menjelaskan. Sebagai orang yang paling dekat, tentu udah paham plus-minus kemampuan itu, “biasanya, X-Struck itu dipake untuk pertarungan jarak menengah dan jauh, di mana dia bisa konsentrasi penuh pada target tanpa diganggu,” ya, karena spesialisasi Elka yang sebenarnya adalah penembak runduk, “dia jarang banget pake itu untuk kondisi jarak dekat. Apalagi satu lawan satu. Kebayang ga, berantem dengan tempo cepat sambil tahan napas?”
“Melelahkan. Volume udara di paru-paru jadi cepat terkuras.”
Kepala gw mengangguk pelan, merespon pernyataan Royal Ulfa, “Tepat. Elka emang punya stamina di atas rata-rata, tapi sekuat-kuatnya dia, kalo ga napas … pasti sesak juga. Sedangkan, sekalinya tarik napas, X-Struck jadi inaktif.”
Sabilla masih dalam keadaan setengah tersungkur, mata tertuju ke bawah. Wajah tertutup helai rambut, biarpun udah acakadut tapi masih keliatan indah. Gores luka hasil ukiran Elka tertinggal di sekujur tubuh. Lengan, paha, betis, ga luput. Memar-memar kian tampak membiru, kontras dengan kulitnya yang cerah.
“Elka Nordo mulai mendominasi Sabilla Rosseblood, Bung Kus. Stamina jelas jadi kunci utama dalam duel lama begini, ya.”
Jejak darah dari sudut bibir belum sempat diseka. Tangan kirinya memegangi rusuk kiri, tempat di mana terkena serangan paling telak. Walau udah cukup parah, tapi dia bahkan belum kasih izin bagian-bagian tubuh penyebab kekalahan menyentuh permukaan arena. Pertanda dia belum habis. Dia… kembali berdiri.
“Tapi tampaknya, ini semua belum akan selesai, Bung Binder.”
Melihat sang lawan berdiri, Elka melangkah perlahan. Kian dekati gadis berambut putih. Ga lepas mata coklatnya menatap Sabilla. Masih belum lepas kewaspadaan, gegara pesaingnya belum tunjukkan tanda-tanda mau lempar handuk putih.
Apa yang mau lu lakukan, Ka? Apa?
Pliss … jangan kejam-kejam.
Begitu Elka tepat berada di depan Sabilla, kaki kanannya ambil ancang-ancang … lalu melancarkan tendangan tinggi! Kalo berhasil, bisa dipastikan ini adalah serangan penutup. Pasalnya, keadaan Sabilla aja udah sulit pertahankan keseimbangan. Dihantam kaki di kepala mah pasti jomplang.
Seisi arena kembali terdiam menunggu moment tersebut. Kami berempat tercengang. Hash’Kafil balik badan, keliatan ga tertarik lagi. Kayak udah tau apa hasil dari duel ini. Sedangkan Rokai, peduli ga peduli.
DUUUUAAAAASSSHHH!
Keras banget bunyinya, sampe terdengar dari sini. Ketauan banget, ga tanggung-tanggung tuh si Elka. Tapi, kesekian kalinya kami dibikin terhenyak oleh apa yang terjadi. Kaki Elka tertahan cengkraman tangan kanan Sabilla! Ugh! Gw bisa melihatnya! Mata kanan Sabilla yang ga ketutupan tangan… merah. Bibirnya yang sedikit berdarah, pamerkan seringai mematikan.
Sangking kuat cengkraman gadis yang kini bermata merah, Elka sampe ga bisa tarik kembali kakinya.
“Oh… astaga,” Dzofi berdesis, ekspresinya ga karuan. Hash’Kafil yang tadinya membelakangi arena, kini balik lagi. Duel ini ga sesuai perkiraan!
Sabilla berputar, lalu melempar Elka sejauh yang dia bisa. Lemparan begitu sih belum cukup bikin Elka jatuh. Jarak kembali melebar diantara mereka. Kesempatan ini dipake oleh Sabilla, buat membuka resleting bagian depan jerseynya dan kasih liat deretan pisau dibalik jersey yang dikenakan.
Anjreet! Pantesan ga abis-abis dilempar mulu dari tadi. Bawanya segitu banyak.
“Ahhh sial. Pake kaos dalam ternyata,” rutuk kekecewaan terdengar dari mulut bocah sableng saat tau dibalik jersey Sabilla, ada selapis tanktop olahraga hijau gelap yang menutup tubuhnya. Alhasil gw dan Dzofi kompak menjitak kepala Hidden Soldier berambut denim, “BUANGKE! Kenapa pake jitak, njir!?”
“SEMPAT-SEMPATNYA LU MIKIR BEGITU, KUYA!”
“PIKIRAN APA JAMBAN!? KOTORNYA GA KETULUNGAN!” timpal Dzofi, ga kalah geram dari gw.
“Ya wajarlah, gw kan laki normal. Ga kayak lu berdua,” memutuskan buat melakukan double suplex guna membungkam mulut Alecto, “Bu-buangke.”
Abis buka resleting jersey, Sabilla keluarkan semua pisau yang tersisa. Menyelipkan di antara jemari, ada juga yang digigit, dan diapit di ketiak. Sembari tetap menyeringai seram.
Seraya lemparkan pisau-pisau di tubuhnya ke atas, dia berkata, “Thorn of The Blood Rose,” lalu melakukan gerakan lembut menyapu udara tipis ketika pisau-pisau itu ditarik gravitasi.
Aliran udara memutar di sekitar tubuhnya diiringi force pekat dari tubuh Sabilla. Pisau-pisau yang terlempar jadi mengikuti aliran udara itu, berputar cepat lindungi tubuhnya yang berada tepat di tengah.
Tangan kanan Sabilla terjulur pada Elka, kasih gestur menantang lawan untuk maju sambil tetap pamer seringai merendahkan. Kayaknya, duel ini masih jauh dari kata usai.
Sejenak, Elka isi ulang handgunnya. Abis itu ga pake lama, keduanya langsung maju berbarengan! Pisau-pisau yang berputar cepat di sekeliling Sabilla ga cuma bertindak sebagai pelindung. Gadis itu maju sambil lemparkan beberapa pisau yang lagi berputar pada Elka.
Hal itu ga bikin Elka gentar. Dengan handgun yang baru terisi, gugurkan serangan pisau tertuju padanya. Dari awal, baik lemparan pisau Sabilla, atau tembakan Elka, ga ada yang melenceng. Kalo ada penghalang yang jadi penyebab gagalnya serangan, itu adalah kemampuan mereka yang sanggup antisipasi satu sama lain.
Jarak dengan cepat kembali berkurang, Elka melompat lalu sigap menghujam Sabilla dengan tikaman dari atas. Tapi sia-sia, bahkan anggota Divisi Artileri itu ga perlu melakukan gerakan bertahan. Pisau di sekelilingnya yang ambil alih pekerjaan berat.
Perisai pisau tersebut, ga cuma jadi pelindung, tapi sekalian menyayat-nyayat tangan Elka! Ekspresi kaget tergambar jelas di wajahnya begitu liat tangan kiri mulai teteskan darah.
Momentum ini ga dibuang percuma oleh Sabilla. Gadis itu ga biarkan Elka menjauh. Alhasil, putaran pisau kembali melakukan tugasnya, mengiris tubuh bagian depan Elka tanpa ampun. Njir! Udah kaya diblender! Elka ga bisa apa-apa selain minimalisir serangan dengan silangkan kedua lengan di depan badan. Jersey yang dikenakannya langsung sobek-sobek beberapa bagian, sekalian terukir luka baru.
Sial! Selama perisai pisau itu masih ada, gimana bisa diserang!? Yang ada, Sabilla malah bahaya untuk sekedar didekati! Pisau-pisau itu… bak duri dari tangkai mawar, siap melukai siapa aja yang berani mengusik keindahan kelopaknya.
Mumpung lagi berdekatan, Infiltrator berambut putih hujamkan satu pisau sampe tembus paha kanan Elka! Keliatannya, dia pengen lemahkan pergerakan lawan.
Elka mengertak gigi, ga nyangka saat rasakan dingin logam menerobos masuk lapisan kulitnya. Bercak merah langsung basahi kain celana. Dia lompat mundur dengan andalkan tenaga kaki kiri sembari remas luka di paha kanan. Pas mendarat, tumpuannya goyah akibat nyeri yang terasa.
Lalu dia cabut paksa pisau yang tertancap dan dibuang kesamping. Gw ga salah… liat kan? Elka… ngos-ngosan! Kejadian langka, ga nyangka ada orang yang sanggup menyudutkan dia sejauh ini!
“Ihihi… ahah… ahahahah,” liat kondisi Elka makin lemah, Sabilla tertawa kecil kemudian berlari menuju Elka! Dia keliatan belum puas.
Mata cokelat Elka masih keliatan tajam dan buas walau dihadapkan dengan psiko Sabilla, dia ga akan kehilangan aura tukang jagalnya. Sayang, luka di paha kanan berimbas besar pada keleluasaan untuk bergerak.
Berusaha menembak dengan handgun, berharap itu bisa menghambat pergerakan Sabilla, jadi opsi terakhir bagi Elka. Namun peluru-pelurunya gagal menembus pertahanan pisau nan solid itu. Kayaknya emang ga ada celah, ya.
Refleksi X dengan lingkaran di tepi muncul di mata Elka. Pertanda lagi pake X-Struck. Ia menarik tangan kanan ke belakang, lalu ayunkan ke depan pada sudut lengkung seraya menarik pelatuk. Te-teknik itu … dia membelokkan peluru… tapi, untuk apa?
Tembakan itu tampak mengenai bahu kiri Sabilla! Ternyata, Elka bisa menemukan celah diantara pertahanan yang keliatan ga tertembus! Meski udah kena tembak, hal itu ga membuat Sabilla berhenti. Ia terus berlari melewati Elka! Otomatis, putaran pisau … lagi-lagi menyambar tubuh perempuan berambut cokelat. Jerseynya … teriris-iris, makin amburadul.
Luka-luka yang digoreskan Elka pada tubuh Sabilla sebelumnya dapat balasan setimpal. Cipratan darah ‘mangsa’… sebagian menodai wajah si ‘pemburu’.
“Nordo,” Hash’Kafil sama sekali ga percaya, orang yang selama ini begitu susah ia tumbangkan ada di ambang kekalahan. Tangannya genggam kuat batang besi yang jadi pembatas antara bangku penonton dan arena.
Gw pun mulai ga tenang, kaki ga bisa diam liat Elka terluka begitu. Pengen rasanya, langsung lompat ke arena dan hentikan mereka. Royal Ulfa dan Dzofi juga mungkin merasakan hal yang sama.
Genggaman Elka pada handgunnya terlepas. Berdiri aja udah sempoyongan. Tubuhnya sedikit membungkuk.
Sabilla menjetikkan jari, putaran pisaunya berhenti. Pisau-pisau tersebut bergelimpangan di sekitarnya. Saat tubuh Elka makin condong ke depan, dengan sigap, Sabilla menjambak rambut coklatnya dengan tangan kiri! Mencegahnya terjatuh!
Ratap kelelahan Elka bertemu senyum senang melihat ekspresi putus asa.
Sabilla mengepal tangan kanan sambil tetap menjambak, lalu … memukul keras perut Elka. Sangking kerasnya, tubuh Elka sampe menyentak ke belakang.
Sekali lagi dia melakukannya. Kepalan tangan Sabilla mendarat mulus. Elka … udah ga bisa melawan. Ugh … pemandangan yang bikin bulu kuduk berdiri.
Ketiga kalinya Sabilla menarik tangan, ambil ancang-ancang. Ketiga kalinya, pukulan kuat itu menghantam deras. Akhh … pukulan ketiga tersebut … membuat Elka keluarkan darah dari mulut.
“Si-sial… terjadi lagi…” gumam Dzofi, hampir seperti berbisik.
“A-astaga… Bung Kus. Rasanya… saya tidak kuat melihat penyiksaan ini… Elka Nordo jelas-jelas kehabisan tenaga. Ini … tindakan yang tak perlu. Seharusnya… ia biarkan saja Elka Nordo terjatuh tadi.”
“Tanpa ampun, Bung Binder. Tanpa ampun. Saya tidak menyangka ada kekuatan lain pada diri Sabilla Rosseblood. Tapi, ini sama sekali tidak dilarang. Selama kedua peserta masih berdiri, maka duel ini belum bisa ditentukan pemenangnya.”
Gw… gw… shite! Ga tahan liat pemandangan pilu begini! Sontak, gw berdiri untuk segera masuk ke arena. Bodo amat Elka harus kalah atau apa, yang penting ini harus dihentikan!
“Jangan coba-coba melakukan hal aneh, Uban!” bentakan Hash’Kafil mencegah gw beranjak.
“Lu buta, ya?! Kalo ga dihentikan, bisa-bisa Elka-“
Kalimat gw langsun dipotong, “Dia ga selemah ini!” serunya geram seraya menatap mata ungu gw, “sebagai orang terdekat, lu harusnya tau!”
Hash… sebenarnya gw juga percaya, Elka itu kuat. Tapi… tapi… mana bisa gw diam aja saat dia udah ga bisa melawan?! Gw melangkah menuju tangga yang menghubungkan lorong menuju arena, ga menuruti kata-kata Hash’Kafil.
“Gw ikut!” seru Dzofi sambil mengejar gw.
Sampe di mulut lorong, baru aja mau masuk arena, Sabilla kembali bersiap melakukan pukulan keempat! Ahh! Kayaknya kita bakal telat.
Mendadak, Hash’Kafil teriak lantang, “GW MELARANG LU UNTUK KALAH, NORDO! CUMA GW YANG BOLEH MENJATUHKAN LU! CAMKAN ITU!”
Sorot mata Elka balik lagi jadi tajam, seolah membuang semua rasa lelah biarpun hanya sesaat. Berharap tubuhnya masih dengar perintah terakhir untuk terus melawan.
Kepalan tangan Sabilla yang tengah melayang, ditangkap begitu aja! Membuat Sabilla tersentak! Ga nyangka Elka masih punya sisa kekuatan. Apa mungkin teriakan itu, dukungan terselubung dari rivalnya, memberi setitik tenaga? Entahlah.
Segera setelah menangkap tangan kanan Sabilla, dia menepis tangan satunya yang menjambak rambut coklat, lalu kedua tangan sang lawan ditahan kuat-kuat. Kini Elka menarik tubuh Sabilla menuju dekapnya, dilanjut hantaman lutut ke rusuk kiri Sabilla yang terluka.
“A-AAAKKHH!” 3 kali hit cepat nan bertenaga, cukup untuk membuat Sabilla mengerang dan lengah sebentar karena menahan sakit.
Celah ini dimanfaatkan Elka untuk merenggut rambut putih Sabilla! Dengan sisa-sisa daya, dia meraung, “UUAAHH!”
Dan membanting kepala Sabilla dengan muka menghadap tanah! Retakan kecil tercipta akibat tenaga bantingan tersebut. Gadis berambut putih… tengkurap… ga bergerak. Jatuh… jatuh.
“Skak… mat,” ucap Elka lirih, liat lawan tersungkur di hadapannya.
Ja-jadi… dia… menang…?
“Sabilla Rosseblood; jatuh! Pemenang duel ketiga; Elkanafia Yeve Nordo!” Seru Conquest Borr sebentar kemudian, “Medis! Kami butuh medis!” Perintah pria botak paruh baya itu.
“DU-DUEL KETIGA, SELESAI! SAYA ULANGI, DUEL KETIGA SELESAI! Bantingan Elka Nordo, mengakhiri duel terlama sejauh ini, Bung Kus!”
“Kedua peserta telah mempertontonkan kemampuan yang sangat luar biasa, Bung Binder. Keduanya sama hebat, tapi sayang, yang namanya pertandingan salah satu harus gugur.”
“Bagi saya semua peserta pantas disebut pemenang, Bung Kus! Keringat mereka, luka perjuangan tanpa batas!”
Sigap, tim medis langsung masuk arena, ga ketinggalan tandu, “Permisi, permisi, permisi!” ujar mereka pas melewati kami. Gw dan Dzofi sedikit menyingkir.
Dua tandu telah tersedia. Masing-masing peserta ditandu keluar. Biarpun tadi Elka masih berdiri, tapi lukanya cukup bikin susah jalan. Lagian, wajarlah. Pasti capek juga melewati durasi duel yang terbilang lama.
Gw mengikuti Elka, sedangkan Dzofi menghampiri kawannya yang belum sadarkan diri. Kedua gadis itu langsung dibawa ke ruang perawatan terpisah. Kebetulan, Elka dibawa ke ruang gw dirawat tadi, ruangan Mbak Rylit.
“Kamu tunggu diluar dulu ya,” Astralist itu berkata. Gw mengangguk dan langkahkan kaki keluar.
Ga tau apa yang harus gw lakukan selama menunggu, ya udah, bersandar aja dekat pintu. Ga lama, Dzofi mendekat, “Oi.”
“Oi,” balas gw, “gimana keadaannya?”
“Masih belum sadar. Kata perawatnya sih, butuh waktu buat sembuhkan lukanya. Sekalian operasi buat keluarkan peluru di bahu,” ujar si Armor Rider. Lesu kalimat dari mulutnya, “terus, gw disuruh tunggu diluar.”
“Sama dong.”
“Ngeri ya liat duel mereka?” kata Dzofi, mata menatap hampa ke depan.
Meskipun gw udah pernah terlibat pertarungan 3 arah dengan bangsa lain, tapi ga bisa disangkal, duel mati-matian antar kamerad begini … sangat bikin hati gusar, “… Iya.”
“Tau ga? Liat teman gw bertarung sampe segitunya, kayak ada rasa sakit di sini.” Dia menepuk dada sendiri. “Kadang, suka berharap lebih baik gw yang mengalami semua itu, ketimbang harus liat mereka yang gw sayangi bersimbah darah.”
Benar juga sih, ada perasaan pilu liat Elka memaksakan diri. Tapi, perkataan Dzofi bikin gw mikir… apa perasaan ini… juga dirasakan Elka pas liat gw terluka? “Mereka yang lu sayangi… pasti punya pikiran yang sama. Mereka pasti ga pengen liat lu kenapa-napa.”
Tindakan-tindakan nekat gw juga bikin Elka suka cemas berlebihan. Ga bisa melihat hal sesederhana itu termasuk kebodohan bila dipikir ulang.
Sejenak, matanya menatap gw, “Iya, benar juga,” dia tersenyum, terus lanjut bicara, “egoisnya gw, ga kepikiran hal itu. Lu jago juga ya masalah ginian.”
“Ahaha, gak juga,” kenyataannya, gw pun sama, “gw juga egois. Suka ga mikirin perasaan orang lain.”
“Tapi seenggaknya, lu peduli,” tukasnya ringan seraya nyengir abis dengar kata-kata gw, “itulah yang jadi pembeda.”
Sedikit terperanjat, itulah reaksi gw. Kalimat ini anak… apa iya, gw kayak gitu? Perasaan ga terlalu.
Belum sempat merespon, datang Royal Ulfa bersama Alecto, “Heyy, kalian. Gimana keadaan mereka?” Tanya Royal Ulfa.
“Sabilla masih menjalani operasi, Kak. Perawatnya bilang, butuh waktu buat sembuhkan lukanya.” Jawab sepupunya.
“Sama. Elka juga dapat perawatan,” gw menimpali, “tapi dia ga pingsan sih.”
“Kalo dia pingsan, salto gw dari sini ke Solus,” dasar Kuya, yakin banget kalo Elka emang tahan banting.
“Haha, harus kuakui, teman kalian emang hebat,” Royal Ulfa memuji kemampuan yang dimiliki Infiltrator berambut coklat, “andai dia gabung Divisi Artileri, tentu pasukan elit kita akan jauh lebih kuat.”
“Ugh!” Alecto menyikut gw. Apa maksudnya coba!? Ya bukan salah gw kalo dia menolak rekomendasi buat gabung ke sana!
“Kak Ulfa, duel berikutnya giliranmu kan? Ga siap-siap?” Dzofi bertanya.
“Ada jeda 10 menit untuk bersiap, kok. Makanya aku sempatkan ke sini.”
“Aku pengen nonton sih, tapi…”
Liat sepupunya tertunduk, Hidden Soldier berbadan aduhai menepuk lembut kepala si Armor Rider, “Ga apa. Sabilla lebih butuh kamu sekarang. Temani dia, ya?” Keliatannya, satu senyum darinya cukup jadi pelipur lara bagi Dzofi.
“Oke!” seru pemuda itu.
“Duluan ya semua, doakan biar menang. Hehehe,” dia bilang, sambil melambai tangan pada kami dan berlalu.
Lawannya Ish’Kandel, ya? Yah, gw doakan yang terbaik aja dah buat mereka. Soalnya ga tau mau dukung yang mana.
“Eh, jangan bangun dulu,” tetiba terdengar suara halus Mbak Rylit dari dalam ruangan.
“Lake… Lake…” disusul suara Elka yang manggil-manggil. Gw langsung masuk aja untuk liat keadaannya. Elka coba bangkit dari tempat tidur ruang perawatan. Di tubuhnya hanya melekat tanktop ungu gelap yang udah sobek sana sini, ditambah perban di beberapa titik, serta celana bolong di paha kanan.
“Oit, gw di sini kok,” ujar gw sembari tahan dia biar ga ke mana-mana, “benar kata Mbak Rylit, jangan bangun dulu.”
“Gw udah mendingan, a-aww!” Haish. Ini anak bantah aja kerjaannya. Padahal mau bangun aja ga bisa. Sampe terduduk lagi.
“Batu amat sih! Lu harus tetap di sini sampe pulih!” jengkel, gw jadi membentak.
Elka tersentak, langsung buang muka ke bawah dan berhenti ngeyel. Pasrah, “I-iya.”
Aduh, kenapa jadi membentak ya tadi? Lupa walau Elka itu kuat, lulusan terbaik, luar biasa hampir dalam segala hal, ga takut apapun … tapi entah kenapa, kalo gw bentak pasti nangis. Makanya, ga pernah mau marah atau naikkan nada bicara ke dia. Gw benci liat air mata perempuan ini.
“Maap, gw cuma … khawatir,” kata gw pelan setelah hela napas. Menyesali perbuatan barusan.
Mata coklat itu menatap gw berkaca-kaca. Menahan bendungan air mata yang nyaris tumpah. Dia senyum sipu dan berucap, “Sekarang paham kan, perasaan gw pas liat lu terluka gara-gara terlalu maksa?”
Haah, dasar. Bisa aja, “Jangan bilang lu maksain diri cuma buat balas gw?” ledek gw enteng.
“Siapa yang tau?” eh dia malah balik nanya sembari rebahkan tubuh lagi ke kasur. Senyum itu belum hilang dari bibir menggemaskan. Mbak Rylit kembali lanjutkan perawatannya sembari tersenyum hangat tanpa bilang sepatah kata.
“Wah, benar ya kata lu,” ujar Dzofi dari depan pintu, “mesra betul.”
“Emang, mereka mah gitu orangnya,” sambar Alecto.
Demmit! Apa-apaan maksud perkataan itu? Gw sekedar menyipit geram pada dua orang tersebut.
“Hai, Elka! Selamat! Duel yang benar-benar bikin tegang!” seru Dzofi antusias.
“Ahh, iya. Makasih.”
“Apanya nih yang tegang?” Tanya Alecto.
“Hah? Tensinya lah. Emang apanya?” Ahh, pertanyaan polos sok innocent dari si teknopat.
“Oh … kirain yang bawah.”
“Yang bawah?” tanya Dzofi seraya liat ke bawah, terus mikir. Pas dirasa udah ketemu makna di balik kalimat Alecto, dia ngomel-ngomel, “Bukanlah, gila!”
“Ahahaha,” gw jadi ketawa juga. Otak somplak dasar, “mau minum sesuatu, Ka? Biar gw belikan.”
“Mau jus blueberi,” jawabnya. Emang ada tukang jus dimari? Harus nyari dulu nih urusannya.
“Biar gw yang beli. Sekalian, gw juga haus,” ga diduga, Alecto menawarkan diri. Tumben. Ga ngapa-ngapain, tapi haus.
“Pake duit lu dulu ya. Hehehe,” kesempatan emas, ga boleh gw lepas. Haha.
“Cih, sudah kuduga,” gerutunya, kemudian berbalik dan keluar.
“Dzofi,.apa Sabilla udah bangun?” Tanya Elka.
“Hmm, belum. Operasinya aja belum kelar,” jawab yang ditanya, “kenapa emang?”
“Enggak, mau minta maaf aja. Kayaknya gw kelewatan … sampe bikin dia pingsan.” Woi… woi… diapun udah bikin lu menderita! Ingat ga sih? Impaslah!
“Ya udah, gw cek dulu. Kalo dia udah siuman, gw kabarin deh.”
“Yoo,” balas gw singkat.
“… Lukamu sebagian udah pulih, tapi masih butuh istirahat. Regenerasimu cepat juga ya,” Mbak Rylit yang sedari tadi diam, mulai buka suara begitu tinggal kami bertiga, “kalo orang normal, pasti belum bisa sekedar bergerak kayak tadi.”
“Yah namanya juga Elka, Mbak. Dia kan ga normal,” celetuk gw asal. Alhasil, dapat hadiah satu tinju ‘ringan’ di pinggang, “UHUGK!”
Ka-kampret! Sempat-sempatnya, mukul orang … pas lagi terluka begitu … sambil tiduran pula.
“I have to hear his voice, see his face, feel his presence to keep me sane, to make me whole.” – Elka (Ch. 30)
CHAPTER 31 END.
Next Chapter > Read Chapter 32:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-32/
Previous Chapter > Read Chapter 30:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-30/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list

