LAKE CHAPTER 32 – ICEWRACK’S LEGACY

Lake
Penulis: Mie Rebus


Chapter 32: Icewrack’s Legacy

Dikelilingi ruang tanpa batas nan putih, gw berjalan tanpa henti. Ga membiarkan diri tertelan kebingungan ketika melihat sekitar ga ada satupun objek yang bisa diliat. Kepala tertunduk, dan mata menangkap gerakan kedua kaki mungil yang melangkah bergantian antara kiri dan kanan. Terus bergerak ke depan.

Entah ada apa di depan sana, ada suara kecil yang bilang gw harus jalan terus. Ya udah, emang ga ada lagi yang bisa dilakukan. Mau ga mau, ya jalan. Langkah gw terasa beda, ga lebar akibat ukuran kaki yang lebih pendek. Gw menatap kedua tangan yang sedikit terangkat setinggi dada, berukuran lebih kecil dari biasanya. Ini… balik jadi anak-anak?

Ngomong-ngomong, di mana ini? Mimpi? Ah, iya. Kayaknya sih. Saat macam gini mana bisa bedakan nyata atau enggak? Terlebih, semua yang pernah gw alami … membuat kesadaran serasa menyebrang benang tipis yang jadi batas pemisah antara mimpi dan dunia nyata.

Dan di depan sanalah dia berdiri. Seorang Bellato, memunggungi gw tanpa gerak barang seinci. Nyala api ga alami merah-kebiruan di punggung Bellato itu, terpapar jelas di pupil ungu. Dia… kedua tangannya menggenggam dua bilah pedang dengan nyala api yang sama seperti waktu itu. Langkah kedua kaki mungil ini makin cepat, mendekati sosok tersebut. Dia masih belum bergerak sedikitpun.

Begitu kontras warna merah-kebiruan itu di tengah ruang tanpa batas yang diselimuti warna putih. Ga salah lagi, itu dia. Dari belakang, gw mendongak liat rambut coklat muda dengan beberapa helai kekuningan.

Setelah jarak kami begitu dekat, barulah gw menelan ludah, merasa tegang diselubingi ketidak-pastian, “Siapa lu?

Segenap nyali terkumpul demi mengucap pertanyaan tadi. Mulut gw bergerak, namun ga ada satu kata terucap. Kedua telinga lancip ga menangkap suara apapun kecuali batin yang berbicara, “Ngomong dong! Kenapa lu selalu bicara bahasa yang ga gw pahami!?

Ga ada reaksi darinya. Entah dengar atau enggak. Barangkali, dia bahkan ga sadar ada anak kecil di belakang. Perasaan tegang dan gelisah di hati, timbul akibat ga paham akan semua ini, akan keberadaannya, asal-usulnya, dan juga … takut dia bakal ‘membunuh’ gw lagi, “Siapa… gw?

Dengan tetap memunggungi, dia angkat tinggi tangan kanan dan hunuskan pedang setinggi mungkin. Bak hendak menghujam langit putih. Kemudian, telinga gw menangkap satu-satunya suara di ruang imajiner. Suara dia, … We were one of those, who considered death as an old friend.

Selepas perkataan itu, ruang putih tanpa batas mendadak berganti jadi hitam. Apa lagi ini!? Secercah cahaya muncul di atas kepala, namun belum cukup untuk menerangi bayang. Sosok dia… ga ada lagi. Melainkan kini sesosok anak perempuan, hampir seumuran gw ada di sana. Berambut coklat dengan baju terusan hijau muda yang cerah. Mendongakkan kepala ke arah secercah cahaya tersebut.

Gw kenal anak ini. Waktu kecil, kami tumbuh bersama, “Elka..

Telapak tangan kanannya memamerkan jemari lentik, membuka lebar ke arah cahaya yang menyinari tubuh kami seolah coba meraih sumber kehangatan nan terang di atas sana. Beberapa kali telapak tangan mungil itu menutup, lalu membuka. Alih-alih menggenggam secercah cahaya, justru dapat udara tipis sebagai gantinya.

Senyum kecut sebagai obat rasa sakit, ga kuasa bikin air mata berhenti mengalir di pipinya. Pemandangan pilu, sukses membawa kembali kenangan pedih yang berusaha kami tanggung bersama.

Tepat saat gw langkahkan kaki buat menghampiri, pemandangan itu hilang seketika. Kini gelap gulita.

.

.

“Lake … Lake.”

Suara panggilan Elka berdengung di kepala. Biarpun bisa dengar, tapi sekeliling gelap gulita. Kondisi gw lagi sadar ga sadar.

“Hoii, Lake.”

Lagi-lagi dia manggil. Kali ini terasa sentuhan jemari di kepala, mengusap perlahan rambut kelabu, membuat gw buka mata. Elka masih terbaring di kasur ruang perawatan, sedangkan gw duduk di sisi kirinya. Tangan kiri Elka masih memagut erat tangan kanan gw. Ternyata yang menyentuh kepala tadi, adalah jemari tangan kanannya.

“Uhhuam,” lenguh gw seraya menguap lebar. Di ruangan ini cuma ada kita berdua. Entah ke mana perginya Mbak Rylit.

“Katanya mau menemani, tapi malah tidur,” Keluh Elka usai bangunkan gw dari alam lelap.

Gw ambil waktu sebentar buat meneliti sosoknya. Tubuh perempuan mencapai tahap dewasa, dibalut tanktop ungu sobek-sobek plus perban akibat luka pertarungan, dtambah potongan rambut pendek. Bukan gadis kecil yang tadi gw temui.

“Heyy, kenapa?” Lamunan gw buyar oleh pertanyaan tersebut. Sorot mata coklat itu terlihat menyelidik ketika ga dengar jawaban.

“Ahh, maap,” Malu-maluin deh. Padahal Elka yang luka berat, eh malah gw yang tepar, “udah berapa lama?”

“20 menit,” Jawabnya, mata coklat mengarah ke televisi kecil di ruangan ini, “Duel keempat sampe udah selesai.” Pandangan gw akhirnya menuju arah yang sama.

“Siapa yang menang?” Tanya gw ingin tau.

“Royal Ulfa. Seru lho, teman lu sengit melawan.” Ujar perempuan berambut coklat pendek.

“Hmm, gitu ya,” Jadi, dia bakal lawan orang yang berhubungan dekat dengan Dzofi, lagi. Gw harap kejadian sebelumnya ga terulang, “Hhuam… fft.” Selepas menguap kedua kali, kembali gw benamkan muka ke pinggiran kasur. Kepala agak pusing kayanya.

“Lu kenapa deh?”

“Capek,” balas gw singkat.

“… Lemah banget.” Haha, gw tau ini anak bakal bilang gitu, “Harusnya gw kan yang capek.” Ga ada respon apapun terlontar dari mulut gw, karena malas menanggapi. Ya mau gimana? Inilah gw. “Udah berapa kali pake ‘itu’?”

Tangan kiri gw terangkat, isyaratkan angka 2.

“Pantas. Gimana ga capek? Udah dua kali sih lagian.”

“… Bukan berarti gw mau, Ka. Tapi emang ga ada pilihan lain.” Gw berusaha menyanggah, dengan muka masih terbenam di kasur. “Kalo ga begitu, gw ga punya kesempatan imbangi Rokai,” kalimat gw terdengar lemas, kaya seminggu ga makan. “dan di duel pertama tadi, kemampuan itu aktif sendiri tanpa gw sadari.”

Sebenarnya gw berusaha untuk ga pake Accel Walk hari ini. Sebisa mungkin ga mau menguras tenaga sampe ambang batas, dan terus jalani pertandingan. Namun, kondisi ga terduga pasti akan selalu ada. Semua lebih gampang kalo gw menyerah, tapi entah motivasi dari mana yang terus mendorong maju.

Motivasi biar ga ganti rugi sih salah satunya. Seiring festival ini berjalan, orang-orang di sekitar gw terus kasih dukungan baik secara langsung, maupun ga langsung. Yang tadinya ogah-ogahan ikut acara ginian, sekarang malah ga mau kalah.

Gw rasa … ga mau mengecewakan harapan mereka, jadi faktor lain.

“Lagi-lagi lu memaksakan diri terlalu jauh.” Ucapnya seusai menghela napas. Jempolnya mengusap lembut punggung tangan gw yang masih dibalut perban. “Apa dari tahun lalu, jawaban yang lu cari belum ketemu?”

Sembari tetap membenamkan muka ke kasur, gw geleng kepala. Beberapa saat tetap dalam posisi itu, kepala gw terangkat lalu menatap sepasang mata coklat. “Lu juga memaksakan diri terlalu jauh tadi. Kenapa?”

“Gw… cuma pengen bikin dia keluarkan segenap kemampuannya, kok.”

“Buat apa? itu konyol kalo menurut gw.” Sigap gw menyanggah. Kedua mata ungu menatap tajam.

Elka terdiam agak lama. Selama sekitar 10 kali hela napas. Cuma sunyi yang mengisi di ruang ini. Matanya tertuju ke langit-langit ruangan yang dicat putih. Tunjukkan sedikit lesu, dan gelisah seumpama gw ga bisa terima jawabannya.

“Ya karena, Sabilla itu kan-“

Ga pake mikir, gw potong perkataannya, “Lu tau Sabilla itu mematikan tapi malah menekan dia terus-terusan sampe tabiatnya berubah, dan… dan…” Kata-kata di bagian akhir, jadi terbata. “dia nyaris mencelakakan lu!” Nada bicara gw sedikit naik, diliputi rasa getir di hati.

Dengar ketidak-tenangan gw, Elka bangkit dari tiduran, duduk di pinggir kasur sehingga kami berhadapan. Kedua telapak tangan memegang kedua pipi gw, dan sedikit diangkat supaya tatapan kami tetap bertemu.

Seraya tersenyum lembut, dia berkata, “Lucu deh, muka lu kalo lagi khawatir.”

“Ka,” Bukan itu yang mau gw dengar. “tolong, jangan pernah lakukan itu lagi. Gw ga kuat liatnya,” ucap gw setengah memohon.

“Bisa ga, gw minta lu untuk melakukan hal yang sama?” Tanya si Infiltrator, “saat liat lu terluka, saat liat lu dirawat, apalagi saat liat lu berdiri, terus melawan dengan kondisi bersimbah darah, hati gw terasa dicabik-cabik di tempat.” Pernyataan dari Elka bikin gw terhenyak. Ahh, iya. Selama ini … gw pun … “malah, gw akan senantiasa melarang lu melakukannya. Karena gw terlalu takut kalo harus kehilangan lu, Lake.”

“I-itu … bukan pertanyaan yang adil.” Lidah jadi ga leluasa merangkai kata begitu Elka utarakan perasaannya. Tatapan gw pun berganti arah, “Gw ini lelaki. Mau luka gimana pun wajarlah. Dan lagi, kemampuan gw pas-pasan. Kalo ga memaksakan diri, mana bisa kejar kalian yang berada jauh di atas?”

Tangan Elka memalingkan wajah lawan bicara kembali ke hadapannya. Seolah ga mau berucap kata tanpa tatap mata, “3 bulan kehilangan lu, udah lebih dari cukup untuk bikin gw gila. Itu bagai mimpi terburuk, waktu terberat, jalan berbatu paling tajam yang pernah gw lalui seumur hidup,” mata coklat itu mulai sedikit basah, mengingat saat gw ga balik-balik. Sekarang, dia menundukkan wajah, hindari kontak mata, “silakan bilang gw lebay, gw ga peduli. Gw- gw … ga minta lu untuk jadi kuat supaya bisa jaga gw. Cuma satu yang gw minta. Jangan pernah lupa janji lu … yang ga akan tinggalkan gw sendirian.”

Apa lagi-lagi … gw bersikap egois? Minta Elka untuk ga memaksakan diri dengan dalih ‘gw ga kuat liatnya’, padahal sendirinya sering banget melakukan hal tersebut. Gadis berambut coklat ini jadi lebih sering merasakan apa yang lagi gw rasakan sekarang. Penyebabnya ya cuma satu, tindakan nekat dari pecundang lemah.

Liat mukanya tertunduk lesu, gw peluk erat tubuhnya yang dipenuhi balutan perban sembari membelai bagian belakang kepalanya, “Mana mungkin lupa kalo selalu diingatkan terus. Hehehe.”

“Lu mungkin dungu, tapi gw butuh kedunguan lu.”

Waat?! Serius!? Lu harus bilang itu saat ini!? “Ugh. Kalimat lu … penghancur suasana banget.”

Eh, dia cuman senyam-senyum tanpa penyesalan. Demmit.

“Ehem. Bukan maksud jadi perusak suasana, tapi keburu panas nih pesanan lu.” Ujar satu suara ngebass dari lelaki yang sangat gw kenal. Di tangan kanannya terdapat kemasan gelas plastik transparan, yang dipenuhi cairan ungu. “Nih, jusnya.”

“Makasih ya, Lec.” Kata Elka masih senyum setelah melepas pelukan kami, lalu meraih jus yang disodorkan padanya. Ga segan-segan, langsung diminum pake sedotan.

“Gw mana?”

“Apanya?” Pertanyaan gw, dibalas pertanyaan lain oleh si Hidden Soldier.

“Ga beli buat gw, apa?”

“Lah, beli sono sendiri! Enak aja! Kasih dalant juga kagak, Kuya!” Aduh, sinisnya.

“Cih, perhitungan amat,” Gerutu gw, bermaksud meledek. “Teman macam apa itu?”

“Anjret!” Balasnya sambil mendekat ke gw. “Masih untung gw bersedia modal tenaga plus biaya buat belikan Elka jus blueberi. Tau ga, gw keliling-keliling cari stand jus!? Sedangkan lu!? Mesra-mesraan di mari, dan seenak jidat minta jatah jus!? Mati aja sekalian!” Faak! Kedua tangannya merenggut kerah jersey gw, terus digoyang-goyang dengan keras. Bikin kepala gw terombang-ambing tenaga Alecto. “Arrgh! Gw kan juga pengen mesra-mesraan.”

“Ufufu,” tawa kecil lolos dari mulut Elka.

“Pu-pusing woi! Jangan digoyang bisa kali!” Gw ngomel gegara terasa pusing akibat tindakan Alecto. “Lagian siapa yang mesra-mesraan coba!? Lu tau sendiri kan hubungan Elka dan gw kaya apa?”

“Hahaha! Tentu gw tau.” Dia menarik tangannya dari kerah jersey gw, sambil ketawa lepas. “Tetap aja, orang lain bisa punya anggapan sendiri. Semua orang mengira lu tuh tukang PHP, ga tau diuntung, sampe pake pelet biar Elka nempel terus.”

“HAH!?” Gw tersentak dengarnya. Ada aja ya omongan orang. Heran gw, “tudingan ga masuk akal.” Bukannya peduli sih, tapi biar gimanapun, bisa jadi ga enak nanti.

“Makanya, perjelaslah status lu. Kasian kan Si Elka. Hahaha!”

“Hmm, gak juga,” bantah Elka santai. “Hubungan kami … lebih dalam dari itu semua.”

Dengar sanggahan itu Si Kuya melongo sejenak, terus nyengir. “Ahaha! Sialan lu, Kuya! Bikin ngiriii anjir!” Diikuti kuncian di leher gw pake kedua lengan lumayan kekar.

“AAKHH! FAAK! STOOP!” Wat de faak! Lu kira ini lagi di ring gulat!? “Bukannya lu lebih ‘pengalaman’ ya, kalo urusan perempuan?” Seingat gw, ini anak kan playboy cap badak. Kerjaannya gonta ganti pacar mulu. “Siapa tuh, yang waktu itu… Az-Azag..lae.. Azaglae?”

“Azgalea…” Alecto mengoreksi ucapan gw, yang kesulitan ingat nama pacar terakhirnya. “Uhh.. gw sadar, banyak hal ga akan berjalan mulus diantara kita.” Ekspresi muka si Hidden Soldier berambut denim berubah, kaya hampir muntah.

“Lho kenapa? Dia tipe lu banget, kan?” Gw coba memastikan. Kalo ga salah, Azgalea itu seorang Specialist. Entah Armor Rider atau Mental Smith, lupa. “Bohay, handal bongkar pasang segala macam peralatan, jago masak, baik, dan penyayang.”

“Biar gw tebak, pasti ada yang ga beres dengan kepribadiannya.” Celetuk Elka asal tiba-tiba.

Gw dan Alecto terhenyak. Kemudian bersamaan menatap Elka dengan alis terangkat sebelah.

Perempuan berambut coklat terlampau santai minum jus, terus malah tanya, “Apa?” Bagai gak bersalah, “Orang yang terlalu baik biasanya aneh.”

“Kayak elu ya berarti.” Lagi-lagi gw dapat hadiah satu pukulan ‘ringan’ di perut. “UFT!” Tuh kan, hobi betul menyiksa gw.

“Ahaha, yah … lu ga salah, Ka. Gw rasa emang ada yang ga beres dengan otak perempuan itu.” Alecto berkata, berusaha ketawa di balik ekspresi hampir muntah. “Di-dia terobsesi dengan penelitian. Kalo perlu, semua hal di sekelilingnya dijadikan bahan percobaan!”

Haha, yang begitu sih tipikal anggota Divisi Sains dan Teknologi banget. “Ya udah sih, seenggaknya dia sayang lu banget.”

“Sayang pala lu peyang! Dia ga sayang, tapi terobsesi !” Ujarnya, sembari bergidik ngeri pas ingat kenangan bersama mantan. Lalu dia angkat bagian bawah jerseynya sendiri untuk pamerkan luka jahitan di perut bagian kiri. Beberapa senti di atas pinggul. “Bayangkan, dia membedah perut gw untuk diteliti pas gw lagi tidur, di kamarnya! Selama 5 jam! Dan gw bahkan ga sadar akan hal itu!”

“Wahaha, mampus! Itu akibat suka main perempuan!” Sebenarnya kasian juga sih ama ni anak. Tapi maap, gw lebih milih ketawa ketimbang bersimpati. “Kayaknya lu tidur bareng perempuan yang salah.” Lanjut gw meledek. Yah, hukum sebab-akibat akan selalu ada. Dan itu mungkin balasan setimpal karena suka… ehem… melakukan kenakalan remaja.

“Ah, ayolah. Ga lucu, bro… gw langsung panik begitu bangun-bangun ada jahitan di perut.”

“Udah periksa ke dokter? Tipe perempuan kayak gitu bisa melakukan tindakan di luar akal sehat lho.” Kali ini, Elka kasih peringatan pada Alecto. “Siapa tau organ lu ada yang hilang, diambil buat dijadikan pajangan … tapi lu ga sadar sampe sekarang kalo udah kehilangan organ tubuh,” ucapnya dengan intonasi horror, coba menakuti si Hidden Soldier lebih jauh.

“… Oke, lu bikin gw takut! UNTUNGNYA! Gw udah kepikiran akan kemungkinan itu, jadi gw langsung ke dokter dan jalani pemeriksaan. Semua masih utuh pada tempatnya!”

“Yakin? Soalnya gw yakin, dia teramat mahir sampe-sampe lu ga bisa merasa ada yang salah dengan diri lu.” Etdah, Elka masih lanjut bikin takut si Alecto. Nadanya terdengar serius. Serius dibuat-buat.

Pemuda berambut denim itu keliatan menelan ludah. Dan mukanya tegang banget, asli. Lucu juga sih. “Ahk- eh … uhh.”

“Ufufu, bercanda kok. Jangan dipikirkan, yah.” Ucap si Infiltrator enteng.

“Gi.. Huff..” Desah napas melepas tegang, terdengar keluar dari mulut Alecto. “Gimana ga kepikiran, lah lu ngomong begitu! Makasih deh!” Pemuda itu jadi bersungut-sungut sendiri, “Punya teman kaya lu pada… Orang lagi down bukannya dihibur, malah diketawain, diledek. Faak laah! Faak!”

“Untuk ukuran orang yang abis dibedah tanpa persetujuan, lu keliatan baik-baik aja.” Respon gw seraya ambil kemasan gelas plastik berisi jus yang disodorkan Elka, diiringi anggukan Elka yang setuju terhadap pendapat barusan.

“Haaah, susah emang ngomong sama kalian.” Keluhnya pasrah. Hahaha. Capek juga kali, meladeni kita.

“Itulah gunanya sahabat. Ufufu,” tawa kecil Elka bikin gw ikutan ketawa juga. Jahat sih, sahabat macam apa yang ketawa diatas penderitaan sahabat sendiri? Ya sahabat macam kita-kita ini.

Tapi masing-masing dari kita paham kok biarpun suka saling lempar makian, dibalik tiap ledekan dan celaan yang sering terlontar, biarpun kadang suka saling sikut-pukul, selalu terdapat perasaan kuat untuk saling menyokong satu sama lain. Baik saat butuh atau enggak, kami akan selalu ada untuk saling peduli. Gw lebih memilih sahabat kaya gitu.

Mencela di depan, tapi saling support di belakang. Ketimbang saling support di depan, tapi mencela di belakang. Orang-orang seperti mereka inilah yang layak dipertahankan gimanapun caranya.

“Duel antara Ulfa Hardji dan Ish’Kandel Ilkash, jadi penutup duel di blok 1, hadirin sekalian! Dan mereka yang lolos dari Blok 1 diantaranya; Lake Grymnystre, Hash’Kafil Ilkash, Elka Nordo, dan Ulfa Hardji. Wah, nampaknya Blok 1 ini didominasi para wanita perkasa, Bung Kus!”

“Otomatis Lake Grymnstre jadi yang paling tampan, Bung Binder. Bukan itu saja, dia menyelamatkan harga diri lelaki. Di pundaknya sekarang terpatri beban itu guna membuktikan, bahwa lelaki belum habis masanya!”

“Yahahai! Lu dengar itu? Masa depan lelaki blok 1 bergantung pada lu, kuya!” Ledek Alecto, setelah dengar komentator berkicau melalui layar kaca televisi kecil. “Kejantanan lu dipertaruhkan.” Cih.

“Ahh, tsk.” Duo komentator itu selalu deh komentar aneh-aneh. “Hash’Kafil, bro. Yang pernah jatuhkan kita lebih gampang dari nyobek kertas.”

“Ya itu sih derita lu. Hahaha.” Bajingan. Apa dia lupa kejadian pas sparing dulu gegara siapa?

“Udahlah, mau sekeras apapun lu usaha, yang maju ke final dari Blok 1 tetap perempuan,” Elka berkata, membusungkan dada dan mengepal tangan di dada kiri seraya senyum mantap, “yaitu gw.”

“Ugh,” dan kalopun menang dari Hash’Kafil, berikutnya gw harus berhadapan dengan Elka atau Royal Ulfa. Pilihannya ga ada yang bagus. Sama-sama hamsyong, zonk, perangkap maut, “ogah ah lawan lu. Gw masih sayang nyawa.” Ucap gw, pada Infiltrator berambut cokelat.

“Dih, kenapa? Gw bakal santai kok.”

“Gak. Gak percaya.”

Alecto menimpali debat singkat kami, “Awas aja kalo lu berdua bukannya duel malah mesra-mesraan,” Ya kali.

Gw menatap jengkel pada si sableng dan teriak di depan mukanya, “KOCAK!”

“Dan dengan ini, duel untuk blok kedua akan segera dimulai! Untuk acara pembuka, sudah hadir dua peserta yang sangat berbeda latar belakang. Yang satu, Co-Pilot dari Skuadron 2 ‘Terror Wave’, Armada Udara Bellato, Captain Thisack Bonnsana!”

“Yang akan menjadi lawannya, adalah seorang Wizard yang memiliki kemampuan Force Api tiada terkira. Disebut-sebut sebagai Spiritualist terbaik kedua semasa di Akademi, anggota Divisi Ke-4 Artileri, Captain Meinhalom Zildaz!”

Meinhalom … Zildaz,” Batin gw menggumamkan nama si Wizard berambut pink. Soalnya, ini pertama kali gw dengar nama lengkap Mein. Setelah apa yang pernah kita lalui, benar-benar aneh, gw baru tau nama keluarganya detik ini.

“Buff hoki lu tuh.” Perkataan Elka membuyarkan fokus.

“Eh- i-iya.”

“Buff hoki?” Alecto keliatan ga paham.

“Dia … menyelamatkan hidup gw saat hampir mati di Ether.” Jelas gw pada si Hidden Soldier. “Terus berkat dia juga, gw bisa menang raungan pertama.”

“Ooo … jadi dia, yang bikin lu terbang dengan pantat kebakar?” Udah dijelaskan, malah nyeleneh ini anak, “Epik lho.”

“Ga perlu diingatkan, Kuya!” Dia cuma ketawa liat gw tahan malu ingat kejadian itu. Kampret.

Thisack, ya.. Co-Pilot dari Major Hevoy Kene. Lebih memilih menggunakan dual handgun dalam duel ini. Ga banyak yang gw tau tentangnya. Waktu misi di Ether juga, ga pernah bicara. Kalo ada satu hal yang gw ingat, adalah saat dia meletakkan telapak tangan di dada kiri gw sebelum balik duluan ke Markas. Sampe sekarang ga paham apa maksudnya melakukan itu.

Menarik untuk ditonton, apa yang akan dia lakukan guna antisipasi mantra api Meinhalom. Wizard itu kalo lagi di lapangan, kekuatan forcenya emang hampir setara dengan Rokai.

Di layar kaca terlihat kedua peserta saling beri hormat. Dengan aba-aba dari Conquest Borr, duel kelima dimulai.

Rentetan tembakan dari senjata Thisack langsung terdengar. Mein ga tinggal diam, tongkat sihir di tangan kiri, terayun diiringi lidah api yang tiba-tiba muncul, menyapu semua peluru tersebut.

Ahh, mata Wizard itu.. sayu. Dia pasti lagi bersemangat. Kayanya ini akan jadi duel jarak jauh yang seru.

“Huft … udah selesai ya,” perkataan Elka bikin kaget Alecto dan gw, “Buff hoki lu jago juga.”

“Hah? Apa maksud lu, Ka?” Gw ga paham, kenapa dia bisa ngomong gitu.

“Ini baru mulai, kan?” Timpal Alecto.

“… Udah terlanjur skak mat bagi si Co-pilot itu,” Jawab si Infiltrator berambut coklat. Matanya fokus ke duel di televisi. “Dia ga punya tempat buat kabur.”

Thisack keliatan mengucurkan keringat banyak banget, padahal belum ngapa-ngapain. Seolah hawa di arena benar-benar panas. Pun begitu dengan Conquest Borr, sampe keluarkan saputangan dan nyeka dahi.

“Bahkan sebelum Co-pilot itu sadar, energi panas udah melawannya duluan.” Elka lanjut menjelaskan.

“Scorched Space,” Samar terdengar suara Meinhalom merapal mantra. Tanah di sekeliling gadis itu terbakar dalam bentuk lingkaran, dengan Meinhalom sebagai pusatnya. Ruang lingkupnya lumayan luas sampe menjangkau titik Thisack berdiri. Merasa panas dari bawah, ia melompat mundur.

Liat reaksi lawannya, Meinhalom melangkah maju. Sehingga, ruang lingkup mantra api tersebut ikut berpindah juga, makin menyudutkan Thisack. Co-pilot itu ga bisa kabur, karena ga ada tempat buat kabur. Cuma sebagian kecil arena yang ga tertutup karpet api Meinhalom. Kalo mundur selangkah lagi, Thisack bakal keluar arena. Kalo keluar arena, ya sama aja kalah.

Tapi, Thisack belum mau nyerah. Kembali menodongkan kedua pistol di tangan pada si Wizard berambut pink. Ga mau kalah, Meinhalom sigap arahkan tongkat sihir ke depan. Seketika, pistol perak di tangan Thisack jadi kemerahan! Energi Pa-panaskah!?

Karena ga kuat tahan suhu tinggi di genggaman, terpaksa Thisack menjatuhkan kedua senjatanya, sembari menahan perih. Lingkaran karpet api makin memojokkan. Ga mau nginjek pijakan panas, ia melangkah mundur.. membuatnya keluar arena. Ga-ga mungkin! Belum apa-apa.. pemenangnya udah ditentukan!

“Thisack Bonnsana, keluar arena. Pemenang duel kelima; Meinhalom Zildaz!” Seru Conquest Borr.

“Tuh kan, apa gw bilang.” Sahut Elka.

“UOOO! Sukar dipercaya, duel kelima berakhir begitu cepat! Meinhalom memojokkan lawan, bahkan tanpa mengeluarkan keringat, Bung Kus!”

“Yah, kalo beberapa saat lalu kita mendapati duel terlama antara Elka dan Sabilla, ini adalah duel tercepat dalam festival tahun ini, Bung Binder. Ternyata, Spiritualist terbaik kedua, bukan sekedar sebutan yang disematkan pada Meinhalom.”

“Jujur, saya tidak sabar menanti apa yang akan terjadi bila Rokai dan Meinhalom beradu kemampuan! Karena kemungkinan itu ada, mengingat mereka di blok yang sama, Bung Kus!”

“HAAAH!? Komentator sembarangan! Ga mandang gw apa!? Maaf kalo gw mematahkan penantian lu, karena gw yang bakal menumbangkan Rokai, camkan itu!” Dengar kata-kata si komentator, Alecto langsung ngomel ga jelas.

“Kenapa jadi marah-marah dah? Dia bilang ‘kemungkinan itu ada’. Jadi mereka masih belum yakin Rokai bisa menang, kan?” Kalimat penenang gw tampaknya ga terlalu digubris ini anak.

“Muke gile! Yang gw dengar, ‘Rokai pasti bakal terus melaju karena ga ada tandingan di blok 2, karena semua di blok 2 selain dia dan Wizard itu ampas’. Gw akan tunjukkan, siapa yang ampas!”

“… Kayaknya ada yang salah dengan kuping lu.” Ucap gw malas-malasan. Jauh banget beda yang dia dengar.

“Baiklah, duel keenam antara Oritzi Istoris melawan Hevoy Kene! Kedua peserta harap memasuki Arena!”

“Duel antar pilot, Bung Binder. Yang Satu pilot pesawat, yang lain, pilot M.A.U. Saya perkirakan, duel akan berjalan alot.”

Dan benar aja perkiraan komentator yang bernama Bung Kus, alot. Biarpun keduanya berjuang keras, tapi ga ada yang spesial dari duel ini. Oritzi begitu beda saat lagi ga naik MAU, kurang greget. Padahal, kemampuan bermanuver dengan Black Goliath pas di Ether, amat membekas di ingatan gw.

Coba aja, mereka diizinkan pake kendaraan perang spesialisasi masing-masing. Gw yakin, duel ini bakal jadi yang paling kacau. Di benak gw, kebayang aksi gila dan ledakan dimana-mana, melibatkan MAU dan jet tempur. Pertarungan antar logam, sampe keok kaya di film-film.

Akhirnya, setelah beberapa waktu, Oritzi sukses menjatuhkan Hevoy dengan lintingan tubuh. Wow, teknik yang cukup mengesankan, bagi orang yang senantiasa di dalem kokpit pas perang.

Hmm, berikutnya kalo ga salah … giliran si teknopat itu, kan? Tiba saat gw bisa liat apa yang mampu dilakukannya.

“OOOHHH, kita hampir menyelesaikan putaran pertama, Bung Kus! Tinggal 2 duel lagi, tinggal 2 duel lagi! Tak perlu buang waktu, mari kita panggil! Armor Rider dari Divisi Sains dan Teknologi, Captain Baydzofi Hardji!”

Seperti sebelumnya, dia keliatan pede melangkah di sana.

“Dan dari Berserker Divisi 7 Artileri, Captain Rect Tel!”

Mana lawannya? Kok ga nongol?

“Ehem, diulang sekali lagi … Dari Divisi 7 Artileri, Captain Rect Tel!”

Udah diulang, masih juga belum muncul.

“… Uhm, baru saja info masuk, Bung Binder. Bahwa peserta Rect Tel mengundurkan diri dari festival akibat keracunan makanan.”

BFFT! APA!?

“Ciahahaiii … menang W.O dong tu anak.” Seru Alecto.

“Wah, wah, kalau begitu apa boleh buat. Karena pengunduran diri sang lawan, otomatis pemenangnya adalah; Baydzofi Hardji!”

Yang benar aja … hokinya lebih kencang dari gw ternyata. Bahkan, Dzofi sendiri sampe keliatan ga percaya. Mukanya masih blo’on gitu, sebelum akhirnya senyum-senyum sendiri.

“Aih, coba kalo gw sehoki itu.” Ujar gw berandai-andai. “Ga perlu susah payah jadinya.”

“Semangat ya, Lec. Terakhir giliran lu kan?” Elka menyemangati Alecto yang siap tanding.

“Yup! Keburu karatan nih kelamaan nunggu.” Si Hidden Soldier nyengir lebar pada kami sembari membunyikan ruas jemari.

Apa dia benar-benar siap lawan Rokai? Ga keliatan ada ketegangan dari gelagatnya. Justru, kayankya ga sabar pengen bikin dokter sinting itu babak belur. Gw harap tabiat itu terus dibawa sampe ke arena nanti dan ga hilang tertelan tekanan lawan. Karena gw tau betul, seperti apa suasana pas berhadapan langsung dengan si Holy Chandra.

“… Lu yakin bisa kalahkan dia?” Tanya gw.

“Bisalah. Ga ada yang ga bisa, bro.” Wew, kepercayaan dirinya tinggi juga.

“Hoo … cara apa yang lu persiapkan buat hadapi dia?”

“Itu Ra-ha-sia. Hahaha!” Suwe. Diajak ngomong serius, malah dibercandain. “Lu santai aja dan nonton aksi gw.” Lanjutnya, sekarang baru pake nada serius. Cara bicara yang jarang dia keluarkan. Dia berbalik dan melangkah menuju pintu keluar ruang perawatan, “gw tunggu lu di final.”

Yah, siapa tau … dia bisa menang.” Batin gw bergumam dan bibir menyimpul senyum.

“Gimana menurut lu?” Elka bertanya setelah Alecto tinggalkan kami, “Siapa yang bakal menang?”

Ditanya begitu, tentu gw ga akan segan jawab, udah pasti Rokai. Tapi … lawannya kali ini adalah sahabat gw. Ada kala di mana otak Alecto cuma setengah, kerjaannya mengusik orang dan konyol. Ada kala di mana tindakannya bisa berbahaya karena ga ada struktur khusus yang memetakan tindakan tersebut.

Sebenarnya, Alecto tipe prajurit yang senantiasa menyiapkan langkah antisipasi sebelum menghadapi berbagai situasi. Dia akan mengenal lawan lebih jauh, gw yakin itu.

Di raungan kedua, dia sukses mengejutkan gw karena dia kenal gw. Alhasil, dia udah prediksi kalo gw bakal menghindar ke dekatnya.

Ditambah lagi, mereka berdua pernah satu tim. Tadi kerjasama, sekarang saling sikut. Dengan segala minus yang dimiliki si Kuya, dia tetap ga bisa diremehkan di bidangnya. Diterima di Badan intelijensi Pusat udah lebih dari cukup buat jadi bukti, dia tau apa yang dia lakukan.

“Ga tau,” jawab gw singkat. Biarpun dari sudut kecil di hati, masih berpikir Rokai yang bakal menang.

“Rokai Leiten dan Alecto Adastan, dipersilakan untuk memasuki arena!”

“Duel terakhir di putaran pertama, Bung Binder. Kedua peserta sempat tergabung dalam satu tim di raungan sebelumnya. Tentu ini akan menarik untuk disaksikan.”

“Setuju, Bung Kus! Sayang sekali saya sebagai komentator, diwajibkan bersikap netral! Kalau tidak, saya akan bertaruh untuk Rokai Leiten.”

“Hahaha, ingat selalu posisi kita sebagai komentator, Bung Binder. Jangan sampai lupa.”

Pfft … gw yakin, pasti Alecto gedeg banget dengar komentar tu orang berdua. Mukanya aja udah asem gitu. Di kedua tangan Hidden Soldier berambut denim terpasang sarung tangan yang sekaligus menjadi senjata grappler. Dia akan menggunakan itu lagi rupanya.

Sedangkan Rokai seperti biasa, sekedar mengandalkan tongkat sihir kesayangan berwarna perak metalik tergenggam di tangan kanan.

Mereka berhadapan dan saling beri hormat, menanti aba-aba Conquest Borr untuk mulai pertarungan. Entah kenapa, moment ini selalu bikin gw ikutan tegang juga, sampe tahan napas sesaat.

Figur Rokai tegak dan tenang, penuh determinasi ga peduli siapapun lawannya. Mata hitam legam itu keliatan lebih dari siap lawan ancaman apa aja. Mata yang selalu mengincar satu hasil, kemenangan. Gw ga lepas memerhatikan layar kaca, memperhatikan gerak-gerik si Holy Chandra dengan seksama sampe pada saat dia sempatkan diri mendongak ke langit.

Membuat gw agak terheran, “Ngapain dia?

Mulutnya bergerak, mengucap sesuatu tapi sama sekali ga tertangkap peralatan audio, “Ngomong… apa itu orang?

Setelah itu, kembali menatap Alecto yang berada di depannya.

“MULAI!” Aba-aba dimulainya pertarungan membahana. Rokai langsung pasang kuda-kuda, bersiap keluarkan satu dari sekian banyak mantra yang dia kuasai.

Tapi,

“YAHAHAA!” Diiringi tawa ngeselin, senjata grappler Alecto mengikat kedua pergelangan tangan si Holy Chandra sebelum ia sempet keluarkan Force. Wah, nice! Gw kira Rokai yang bakal ambil inisiatif serangan, ternyata Alecto berhasil mencuri ide tersebut! “SORRY, ROKAI! TAPI GW HARUS SELESAIKAN SECEPATNYA!”

Dengan satu ancang-ancang, si Hidden Soldier menarik tubuh Rokai ke samping, ke arah pinggir arena sekuat tenaga. Di-dia … berencana keluarkan Rokai! Tenaga tarikan Alecto yang lebih besar jelas membuat Rokai ga bisa melawan sehingga tubuhnya terpelanting ikuti arah tarikan Alecto.

Holy Chandra berambut hitam keliatan tersentak dan rapatkan gigi. Kedua kakinya mengambang di udara. Ga nyangka sang lawan akan ambil langkah demikian!

Benar juga, mungkin bisa berhasil! Alecto tau, ga mungkin dia mengalahkan Rokai kalo aja ini perang. Kemampuan Spiritualist itu ga normal. Tapi, ini duel dengan berbagai peraturan yang bisa dimanfaatkan! Ga perlu hadapi dia selama mungkin atau bertahan dari Force yang akan dipake.

Sergap dari awal, saat-saat kelengahan terbesar. Jangan kasih kesempatan forcenya keluar. Cukup cegah pergerakan kedua tangannya yang sering kali jadi media Force-Force gokil dan keluarkan dia dari arena secepat mungkin udah cukup buat menang.

“… Apa bisa segampang itu?

Rokai yang tadinya kehilangan pijakan, memaksa kedua kaki kembali menapak di tanah sebelum benar-benar keluar batas arena. Tipis banget jarak antara kaki kanannya dengan garis pembatas. Dia menghentikan tarikan Alecto dengan.. dengan tenaga yang seimbang.

“Cih!” Alecto berdecih, ga menduga Spiritualist itu bisa pulih dari kekagetan begitu cepat.

Masih dalam keadaan pergelangan tangan terikat oleh kabel grappler, Rokai menarik tangan kirinya sedikit ke belakang, rendahkan posisi berdiri, seolah … ga peduli Alecto yang berusaha menahan sekuat tenaga pergerakan itu. Se-seberapa kuat fisiknya?

Kini, tangan kirinya menyentuh permukaan arena. Mata hitam legam fokus, mengunci si Hidden Soldier. Sejumlah besar lapisan force menyeruak dari tubuh Rokai. Dan- dan gw ga percaya apa yang terjadi selanjutnya sampe berdiri dari tempat duduk, lalu mendekat ke tv. Mata gw terbelalak, mulut ga bisa menutup.

Lambang Federasi Bellato berukuran raksasa muncul di arena. Membuat gw tergagap, “G-Gak, gak mungkin.”

“Lake, kenapa?” Pertanyaan Elka sama sekali ga gw gubris.

“Bless of The Frozen Hell,” ucap Rokai sangat mantap. Gw makin ga percaya dengan apa yang bakal dia lakukan, “Frost Point Icewrack.”

Serta merta tangan kirinya terayun cepat dari bawah ke depan, tepat pada Alecto! Diiringi serpihan es yang muncul dari lambang raksasa itu!

“UWAAAAGHH!” Teriak Alecto pas diselimuti serpihan es, perlahan berkumpul dan menjulang tinggi banget! Buset! Layaknya bukit es raksasa. Tubuh pemuda berambut denim terjebak di dalam, sisakan mukanya doang yang ga membeku.

“Ma-mantra … Ulkatoruk,” sumpah! Gw dibikin cengo. Selain karena Rokai melakukan mantra andalan Ulkatoruk, juga karena liat bukit es hasil kreasinya kokoh melebihi tribun paling atas. Lengan kiri si Holy Chandra tertutup es dari ujung jemari sampe bagian leher begitu selesai melempar mantra.

“A-apa k-kk-kamu b-bisa bergerak, A-Alecto?” Conquest Borr ikutan menggigil akibat mantra itu dan bunga es menutupi kulit kepala.

“E-enggak, Conquest.. bbrr.. brr..” Jawab Alecto, merinding serta gemetar. Pucat plus ekspresi blo’on.

Suhu turun drastis di sekitaran arena, serpihan es juga mencapai dinding pembatas antara arena dan bangku penonton.

“B-baiklah, pemenang duel kedelapan; Ro … kai L-Leiten!” Biarpun kedinginan, namun Conquest Borr tetap lantang menyerukan hasil.

“Ah, tindakan gw terlalu berlebihan,” kata Rokai santai dan mendekat pada Alecto yang membeku, “maaf, lu gak apa-apa?” Kali ini tongkat sihirnya bersinar terang dan panas, lelehkan es yang mengunci lawan dan yang ada pada dirinya.

“G-g … gak- gak apa-apa … sih. P-pa-paling cu-cuman kena, hipotermia dadakan.”

Mantra itu … mantra terkuat Ulkatoruk yang menyebabkan seluruh Forcenya terkuras habis. Bahkan di Ether aja, Ulkatoruk langsung mimisan begitu usai merapal.

Lah ini, di kondisi cuaca cerah, langit tanpa awan, matahari bersinar teramat terang, Rokai sanggup melakukannya tanpa kesulitan berarti. Seakan itu cuma salah satu mantra dasar.

Siapa yang coba gw beri alasan? Ga ada celah bagi Alecto buat menang. Dokter sinting itu … terlalu overpower!

Tanpa sadar, tangan gw gemetar dan langsung mengepal. Gelisah, “Di-dia … apa dia benar-benar nyata?

#


CHAPTER 32 END.

Next Chapter > Read Chapter 33:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-33/

Previous Chapter > Read Chapter 31:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-31/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *