LAKE CHAPTER 33 – AM I AFRAID?

Lake
Penulis: Mie Rebus
Seperti biasa, irama langkah Rokai terdengar kalem namun mantap. Bunyi itu memantul di sisi dinding lorong. Beresonansi secara simultan, sebelum akhirnya ditangkap indra pendengaran. Ada yang ga biasa. Kepalanya… tertunduk, berjalan sembari liat lantai. Hmm, ga pernah liat dia kaya gitu sebelumnya. Aneh.
Langkahnya berhenti di depan gw. Sepasang mata itu masih melihat ke bawah. Kaki si Spiritualist berhenti bukan karena hal apapun, melainkan gegara gw menghadang jalan.
Segera setelah selesai keluarkan Alecto dari bukit es, dia langsung menuju ruang ganti. Pas liat dia memasuki lorong menuju ruang ganti itulah gw beranjak kemari, tunggu kedatangannya. Gw beranikan diri menatap tajam, biarpun masih ingat jelas gimana tadi tangan ini gemetar, timbul rasa takut saat liat dia melakukan mantra Ulkatoruk dengan sempurna. Padahal, sekedar liat dari layar kaca.
Dia ambil langkah ke kiri, tapi dengan cepat gw ambil langkah ke kanan. Saat dia ke kanan, gw langsung ke kiri, mencegahnya lewat.
“Minggir,” kata itu terdengar datar dan dingin. Kepalanya masih tetap tertunduk.
Meskipun dengar dengan jelas, gw menolak untuk lakukan hal itu. Entah apa yang ada di kepala saat ini, gw sendiri belum bisa pastikan. “Itu mantra Ulkatoruk, kan?”
Pertanyaan barusan membuatnya sedikit angkat wajah, balik menatap gw dengan tatapan yang ga kalah menusuk. Jengkel, lelah, geram, ga sanggup disembunyikan dari mata hitam si Holy Chandra.
“… Bukan urusan lu.” Balasnya ketus sambil menerobos hadangan gw. Bahu kami saling berbenturan karena sama-sama ga mau minggir.
Rokai maksa lewat, dan menggeser tubuh gw dari titik berdiri. Cih! Gw ga tahan kelakuan songong orang ini!
“Woi!” Pas posisinya udah di belakang gw, tangan kanan gw sigap cengkram bahunya, membuat Rokai berhenti seketika. “Ulkatoruk itu sahabat gw, dokter sinting!”
Lalu terjadi hal yang ga terduga. Rokai segera berbalik, tepis tangan gw di bahunya lalu mendorong tubuh gw ke tembok dengan lengan kiri.
“AHHAG!” Lumayan keras punggung gw membentur tembok, sampe bikin meringis. Lengan kirinya menekan leher, tahan pergerakan serta bikin napas tersendat! Tatapannya begitu membara, menembus tepat ke jiwa melalui mata ungu.
Napasnya berat, tapi berusaha disembunyikan. Dia berkeringat, padahal lengannya terasa dingin. Meski ga sampe mimisan, ternyata mantra force es itu bisa kasih dampak lumayan besar. Tapi tetap aja, dia masih bisa memojokkan gw begini!
“… Liat mata gw, dan jawab!” Si Holy Chandra membentak dalam intonasi rendah dan menakutkan! Shite! Wajahnya makin mendekat. Kini cuma terpisah kurang dari 5 senti. “Siapa nama belakang Ulkatoruk!?”
Pertanyaan dari mulut pemuda berambut hitam ini, benar-benar bikin terhenyak. Mati gaya, lidah kelu. Kalo dipikir lagi, sampe dia almarhum pun, gw.. gw.. gatau nama lengkap orang itu. “Si-siapa…?“
Ga ada jawaban apapun dari mulut, gw cuma bisa menatap matanya, dengan penuh ketegangan. Ketauan banget, kalo aja kita lagi di arena sekarang, gw udah tinggal nama kali.
“… Dia ga kasih tau nama lengkapnya, kan?” Rokai menganggap diam gw sebagai pertanda ga tau. “Apa pantas, menyebut dia ‘sahabat’, tanpa tau hal sepele semacam itu?”
Kesal sih, tapi ga ada yang bisa gw lakukan untuk menyangkal kebenaran kalimatnya.
Ulkatoruk emang ga pernah sedikitpun menyebutkan nama keluarga, ga ada sebab khusus, dia juga ga pernah ungkit masalah pribadi. Seluruh skuad pertama resimen 18, ga ada yang tau cerita dibaliknya. Kecuali mendiang Namaste… mungkin.
“Nama gw Ulkatoruk. Nama yang panjang, gw tau. Tapi gw lebih suka kalo ga disingkat-singkat, oke?” Ingatan tentang sesi perkenalan di Ether, kembali diputar otak gw. Terekam jelas, senyum ramah pemuda spesialis Force Air dan Udara. Tapi, ga ada satupun rekaman yang menyebutkan informasi lebih dari itu.
“Orang-orang naif kaya lu yang paling sering bikin gw jengkel,” Kedua pasang mata kami masih tetap beradu pandang, “seenaknya ambil kesimpulan, tanpa tau kenyataan. Lu pikir, siapa lu? Lu bukan siapa-siapa. Ga lebih dari orang egois yang menganggap dirinya tau banyak tentang orang lain.”
Ugh! Kalimat itu, terasa banget menohok sanubari. Ga satu jawaban yang dirasa tepat untuk balas perkataan Rokai. Entah karena tau itu benar, atau karena berusaha menyangkal? Untuk sepersekian detik, keliatan mata hitam itu melirik ke arah tangan kanan gw.
“… Jangan bilang kalo lu takut.” A-apa? Y-yang benar aja!
Awalnya gw ga paham kenapa dia bisa bilang begitu. Tapi lama-lama, terasa! Menghadapi tekanan dari Rokai, tangan gw gemetar tanpa sadar! “Apa lu takut… sama gw?”
“Gw … ga takut! Justru… sebaliknya.” Sanggah gw. Biarpun dibumbui sedikit kebohongan sih, “tangan ini gemetar karena ga sabar buat kasih lu neraka.”
“… Bagus,” dia berkata sembari menarik lengan dari leher gw, membuat napas kembali normal, “menghancurkan lu yang ga punya semangat tempur bakal membosankan,” pas sibuk atur napas, dia berbalik dan menjauh, ga bilang apa-apa lagi.
Haahh… pada akhirnya ga dapat info apapun. Udah ga tau ada hubungan apa antara Rokai dan Ulkatoruk, malah dipojokkan pula. Kayaknya, gw emang ga ada bakat dalam hal-hal berbau nyari informasi.
Tapi, ini perasaan aja atau emang kelakuan Holy Chandra itu sedikit berubah? Perasaan di awal raungan pertama, tetap menyebalkan sih, cuman ga gini-gini amat. Terasa beda tuh sejak… sejak… dia pake Force Badai di raungan kedua.
Iya. Ga salah lagi, sampe dia langsung marah-marah ke gw abis itu. “Dan lu, dari sekian banyak orang, membuat gw reflek pake petir!“
Emang itu salah gw, ya? Kenapa juga dia seenaknya salahkan orang? Kan gw berusaha melakukan yang terbaik aja. Namanya juga pertandingan. Ada menang, ada kalah.
Eh… tunggu… apa menang kalah jadi masalahnya? Kayaknya enggak juga. Arrghh! Tau ah! Ngapain juga dipikirkan!? Mau spekulasi gimanapun, percuma! Kecuali orangnya sendiri yang jawab.
Sejenak, gw menatap hampa ke telapak tangan kanan. Masih sedikit berkedut. Alis kelabu terangkat sebelah dengan tatapan ga puas, kemudian melempar pertanyaan sarkastik, “Harus ya, pake gemetar sekarang?”
Bisa diketawain Alecto nih kalo dia tau gw ngomong ama tangan.
.
.
“J-J..j..jj.. Jangan.. Brr..brr.. cengar-cengir lu, Kuya!” Omel si Hidden Soldier berambut denim pas gw masuk ke ruangan yang sama tempat dimana Elka dirawat.
Ya gimana ga nyengir? Beberapa menit lalu, dia keluar dari sini dengan gaya sok keren dan kepercayaan diri lebih tinggi dari gedung pencakar langit. Lah balik-balik, tepar dalam keadaan menggigil kedinginan. Sisa-sisa bunga es masih terdapat di sekujur badannya.
Alecto tergeletak di kasur sebelah Elka, usai menerima perawatan dari Astralist Rylit. Sedangkan gw, berdiri di celah ruang antara kedua kasur perawatan dengan tatapan menghina.
” ‘Gw tunggu di final’, hah? ‘Ga ada yang ga bisa’, hah?” Alhasil, ga sanggup tahan perasaan pengen meledek yang dari tadi gw tahan-tahan.
“Yyy..y..Brr.. Yah, brr, gw udah c-coba yang terbaik…” Ucapnya. Efek mantra tadi benar-benar meresap sampe tulang, kayanya. “T-ta-tapi, percobaan terbaik gw, ga cukup baik.. brr..”
Jiah, kata-kata ‘andalan’ itu lagi. Gw melipat tangan di depan dada, dan senyum sinis padanya sambil bilang, “Alibi yang sama tiap kali lu mengacaukan sesuatu.”
“K-k- kaget, anjj … anjirrrrrrrrrr! Ditt-ditembak… Force gede.. ggg.. ggg-g-g-gitu…”
Iya juga sih. Siapa yang ga mencret, baru mulai tau-tau doi langsung pake mantra dahsyat.
“… Ke mana aja lu?” Tanya Elka seraya duduk di kasur, “lama banget.”
“Kamar mandi, biasalah.” Jawab gw enteng.
“Iyalah lama, main ss-ssa … sa-“
“DIAM!” Anjir ni anak! Menggigil gitu, masih aja rese! Heran. “Gimana keadaan lu, Ka? Putaran 8 besar bentar lagi mulai.” Lalu gw beralih lagi pada Elka. Khawatir waktu yang singkat ini ga cukup buat pulihkan luka akibat duel lawan Sabilla tadi.
Perempuan berambut coklat itu langsung bangkit dari kasur, berdiri, dan melakukan beberapa gerakan peregangan. Wow, benar kata mbak Rylit. Regenerasinya di atas rata-rata. Walau bekas jahitan di pahanya masih basah sedikit, “Udah lebih baik. Lu sendiri?”
Yang namanya patah, udah pasti ga bakal bisa sembuh sehari dua hari, kecuali diobati Meinhalom. Dan gw lebih milih tunggu beberapa hari ketimbang harus ‘dibakar’ lagi.
“Kayaknya bakal susah buat pegang pedang.”
“Lake,” Elka menggumamkan nama gw dan menatap dalam-dalam, “Hash’Kafil itu Ranger yang cekatan. Kemampuannya jauh di atas lu.”
Ugh, sialan. Kirain mau kasih semangat, taunya malah bikin down. “Itu sih ga usah dikasih tau, semua juga tau.”
Hash’Kafil adalah lulusan terbaik kedua dari Ranger Corps, setelah Elka. Ya pastilah jauh banget dari gw yang duduk manis di peringkat 58 satu setengah tahun lalu. Sedangkan Alecto? Yaahhh… walau otaknya sengklek, entah pake ilmu apa, dia masuk jajaran 10 Ranger terbaik.
Gw dan si Kuya ini, udah pernah berhadapan dengan Hash’Kafil dulu. Kami berdua dijatuhkan secara bergantian semudah membalik telapak tangan.
Infiltrator di depan gw memegang erat kedua bahu, dan berkata mantap, bikin gw agak tersentak akibat tindakannya, “Karena itulah, jangan tunjukkan rasa takut. Dia bisa menciumnya.”
“Ngomong sih gampang…” Iya, dia sih enak, punya kemampuan tempur di atas rata-rata. Lah gw? “… selama ini lu selalu di atas dia, makanya, lu ga tau gimana rasanya memandang ke atas.”
“…” Dia terdiam, melepas pegangan dari bahu gw dan mundur. Perlebar jarak diantara kami. “… Kata siapa?” Elka bertanya lirih. Entah kata siapa. Tapi logikanya, saat lu jadi yang terbaik, emang ga ada lagi yang bisa lu liat pas mendongak, kan? “Selama ini gw selalu memandang ke atas, buat liat lu.”
Respon dari si Infiltrator benar-benar bikin gw terhenyak.
Apa maksudnya? Dahi gw bergerut, mencerna sekali lagi perkataannya. Garis kebingungan muncul di muka. Dia memandang ke atas, buat liat… gw? “… Hah?”
Elka hanya memejam mata, diiringi hela napas, “Lu tuh ya, percaya diri sedikit kek.” Dia tersenyum, lebih tepatnya ketawa kecil. Kedua iris coklat kembali terlihat. “Tapi jangan terlalu nekat, gw yang khawatir nanti.”
“Akan gw coba…” Ga ada yang bisa gw lakukan, selain balas senyuman itu. Ya, ga ada alasan untuk ga mencobanya. Kalo masih aja kepikiran, berarti gw emang beneran pengecut. “… Tinggal dulu ya, mau siap-siap. Cepat meleleh lu, Kuya! Hahaha.”
“Berisik, cebong!” Suara itulah yang terakhir gw dengar, saat berlari keluar dari ruang perawatan, menuju ruang ganti sembari cengar-cengir.
Banyak hal lalu-lalang di kepala gw saat ini, sampe ga bisa tentukan satu hal yang harus jadi prioritas untuk lebih dipikirkan. Arrgh! Kebiasaan buruk! Kenapa sering mikirin secara berlebihan tentang sesuatu yang gw anggap mustahil dicapai? Kenapa selalu mikirin banyak hal dalam satu waktu?
Setiap orang selalu punya zona nyaman. Ga terkecuali gw. Ga sedikit orang-orang yang berani melangkah keluar dari zona itu. Butuh keberanian besar untuk ambil resiko. Salut buat mereka, hal itu ga segampang buka kaleng soda. Mereka berani mencoba, dan hadapi kemungkinan terburuk. Sedangkan, di sinilah gw, mikirin hal-hal sepele yang belum tentu akan terjadi.
Sering berada di bawah, membawa efek tersendiri bagi diri sendiri. Atau seenggaknya, itulah yang gw kira. Karena saat memandang ke atas, gw melihat banyak orang di sana. Elka, Hash’Kafil, Ulkatoruk, Ish’Kandel, Meinhalom, dan terutama… Rokai. Bahkan si kampret Alecto pun ada di sana.
Apa yang membedakan mereka dengan gw? Kenapa perasaan ‘ga bisa sejajar’ dengan mereka selalu hadir? Apa mungkin karena gw selalu liat lewat sudut pandang negatif? Apa gw segitu pesimistik jadi prajurit?
“Apa lu pernah bunuh seseorang, Lake?”
“Sada itu salah satu… bisa dibilang, musuh bebuyutan saya ketika masih Royal.“
“Black Knight dari Corite…? Sada…?“
“Anclaime Sada harusnya udah jadi Chamtalion dari kapan tau, tapi dia selalu menolak. Secara ga resmi, kamu udah kalahkan seorang Chamtalion.”
“Apa lu menikmatinya, Lake? Menikmati moment saat lu mencabut nyawa Corite itu?“
“Kamu benar-benar seorang Grymnystre, ternyata.“
Atau jangan-jangan, yang gw takutkan sebenarnya bukan mereka yang berada di atas, melainkan… hal-hal yang mampu gw lakukan…?
Gak, enggak, enggak! Ketika berlari, gw menggeleng kuat-kuat. Berharap perkataan itu ga meracuni benak lebih jauh. Biarpun duelnya udah selesai, biarpun orangnya udah minta maap, pertanyaan profokatip dari Royal Lace masih tinggalkan jejak ga mengenakan di memori. Sialan!
Apa salah, terlahir dengan menyandang nama Grymnystre? Gw sama sekali ga seperti yang mereka kira! Diri gw … diri gw yang sebenarnya- “WADOOH!”
Tenggelam dalam lautan pikiran, kehilangan fokus terhadap arah lari, mendadak gw menabrak orang di perempatan lorong, bikin gw jatuh terduduk sambil tutup mata. Kayanya orang yang gw tabrak, lagi lari juga. Tiba-tiba nongol dari kanan. Makin tepos dah ni pantat.
“Adududuh… Ma-maap..” Seraya usap-usap pantat, terus inisiatip minta maap karena nyadar ini kesalahan gw. Pas buka mata, kirain bakal liat orang itu ikutan jatuh. Ternyata dia masih kokoh berdiri!
“Ahh, lu ga apa?” Kata pemuda berambut hitam dengan potongan pendek di depan gw. Dia mengulur tangan, guna bantu berdiri. “Harusnya gw yang minta maaf, udah seenaknya lari di koridor.” Lanjutnya.
“Eh geblek! Apa-apaan ni orang?!” Batin gw berdecak, mata gw menyusuri wajahnya, terlihat dua bola mata berwarna biru menatap sedikit ke bawah, keheranan, sembari tangan masih tetap terulur. “Perasaan, gw nabrak dia sambil lari juga kan, tadi? Kuat amat!“
“Hoi, Hoi.. Kok bengong? Lu ga apa?” Liat gw terpaku lebih dari 10 detik, dia ulang pertanyaannya. Hal itu sekaligus jadi penghancur lamunan.
“Eh, iya … ga apa-apa.” Tangan kanan gw, menyambut uluran tangannya. Genggaman pemuda itu keras, tapi tau gimana cara megang kendali tenaga. Dan permukaan telapak tangannya, sedikit kasar. “Makasih, ya.”
“… Lake Grymnystre. Lu Lake Grymnystre, kan?” Serta merta, dia langsung nanya, begitu gw berdiri.
“Uhm… ya,” Jawab gw, agak ragu. Kok dia tau nama gw? Kalo ternyata kita pernah ketemu dan gw lupa, uhh, betapa ga sopannya seorang Sentinel berpangkat Captain ini, “maap nih sebelumnya, apa… gw kenal lu?”
“Oh ya, betapa ga tau etika. Nama gw Lech, Captain Lech Kroznan.” Rupanya anggota militer juga. Gw kira warga sipil, eh taunya pas diliat lagi, pake jaket Warrior Dept. Telat nyadar. Kaos dilapis jaket, dan celana pendek santai warna coklat tua. “Berserker dari Brigade Support Federasi.” Satuan Tugasnya Rokai…
“Lech.. Kroznan..” Desis gw pelan, tambahkan info baru di database pikiran. Yap, ini pertama kalinya gw ketemu dia.
“Kenapa ekspresi lu begitu?” Tanya si Berserker, enteng.
“Ehm, enggak, memastikan doang.” Sudut bibir gw menekuk senyum simpul biar hilang canggung. “Gw ga begitu kenal banyak orang, sebenarnya. Tapi akhir-akhir ini… banyak yang tau siapa gw sebelum gw tau siapa mereka.”
“Yaiyalah… kembali dari Ether setelah dinyatakan hilang 3 bulan- Oh, turut berduka buat tim lu.” Tukas Lech. Hufft, lagi-lagi gegara kejadian itu.
“Iya, makasih. Sampe sekarang, kejadian itupun belum ketemu ujungnya.” Wajah gw sedikit tunjukkan kemurungan, bila menggali memori tentang pembantaian tim ekspedisi Ether.
Tangan bertenaga si Berserker, menepuk bahu gw. Untung ga terlalu kenceng. Bisa patah tulang yang ada. “Gw paham perasaan lu. 3 bulan yang lalu juga… Brigade Support mengalami bencana serupa di Sektor Solus.”
“Bencana…?” Tanya gw penasaran.
“… Satu regu pasukan keamanan, dibunuh secara keji di Twin Cave. Bahkan sahabat gw… ikut jadi korban. Sedangkan gw, sedikit lagi menyebrang ke alam sana waktu itu.” Gw perhatikan, tangan pemuda berambut hitam makin kuat mengepal, dan deret giginya beradu. Dia lagi tahan emosi meletup. “Itu mimpi terburuk yang pernah gw alami. Andai gw bisa sebut itu sekedar mimpi buruk, tapi itu realita.”
Pembantaian… Twin Cave…? Mungkin terjadi pas gw lagi di Ether, makanya ga pernah dengar kabar tersebut. Mungkin ga ya, pelakunya sama? Maksud gw, membantai regu pasukan keamanan bukan hal gampang. Yang melakukannya pasti punya kemampuan abnormal.
“Turut berduka, buat mereka yang gugur. Terutama sahabat lu. Hadapi kehilangan ga pernah menyenangkan.”
“Ahh, Makasih ya. Hufft… gw masih ga percaya, dia udah ga ada.” Hembus napas diantara percakapan kami, serta senyum ditabur bumbu pilu, jadi penanda si Berserker masih berat menanggung beban tersebut. “Entah udah jadi apa dunia ini, kematian massal di mana-mana.” Keluhnya, seraya mendongak liat langit-langit lorong.
Sebenarnya, gw ga tau harus bilang apa. Ya namanya Novus medan perang, hal-hal kaya gitu cepat atau lambat, pasti bakal menimpa pihak yang bertikai tanpa terkecuali. Percuma mau dicegah, ga akan bisa, selama kebencian antar ras masih ada.
“… Kematian selalu lebih dekat dari urat leher kita masing-masing, bro.”
“… Hmm.” Mata biru itu kembali mengarah ke bawah, menyipit, dan menatap gw sebentar penuh makna. Bisa jadi, dia ga setuju dengan tanggapan gw kali ini. “Oh ya, ngomong-ngomong, lu melakukan banyak hal keren di festival taun ini.” Agaknya, dugaan gw meleset.
Sedikit terkejut, dia bakal bilang gitu. Ga sadar, tangan gw garuk-garuk tengkuk. “Ahaha, ga juga. Hoki aja itu mah.”
“Ahh, ga perlu merendah. Lu tau kalo gw benar, kan?” Katanya, sekarang nyengir.
Yaaaa, ga sepenuhnya salah sih. Tapi gw mah gitu orangnya, ga mau sombong. Pffft.
“… Apa lu ga ikut festival taun ini?” Pengalihan pembicaraan, supaya ga perlu lanjutkan topik tadi. Udah gitu, kalo ingat badan gw mental abis tabrak doi, masih aja susah dipercaya. Emang gw seringan itu apa? Gw kan ga kerempeng-kerempeng amat.
Ga jauh bedalah dengan Lech. Okelah, dia lebih berisi. Tapi kayanya, ini bukan masalah berat badan, tapi kekuatan dan keseimbangan. Dia bukan Berserker sembarangan.
“Enggak, sibuk bantu Kakak gw jual kue dan roti.” Ringkas Lech, terus menunjuk arah pintu keluar dengan jempol, “Kami punya stand di luar, tapi karena dilarang gelar lapak di dalam, ya mau ga mau, gw yang jajakan ke penonton.” Dia menjelaskan, tanpa beban. Terlalu tanpa beban.
“Ohh, begitu.”
“Yap, makanya gw lari-larian terus, biar ga buang waktu dan bisa jual sebanyak mungkin selama festival berlangsung! Hehehe.” Mata birunya terlihat bersemangat nyari rejeki. Yah, gw juga jadi terpengaruh energy si Berserker berambut hitam, ikut tersenyum tipis.
“Kalo gitu, harus lebih hati-hati. Soalnya, lu bisa bikin gepeng orang lain kali.” Ledek gw padanya, diiringi tawa kecil. Sumpah, orang ini nabrak macam Red Goliath.
“Hahaha.. Emang gw apaan? Red Goliath?” Oh, liat itu! Kami punya pemikiran yang sama. “Hei, mampir yuk, ke stand kami.” Selepas balas ledekan, dia malah ngajak gw ke stand kue dan rotinya.
“Hmm, pengen sih. Tapi, gw giliran duel berikutnya.” Aiiih, gw dan mulut yang ga singkron dengan otak. Padahal, anakonda di perut udah menabuh genderang perang lawan rasa lapar! Pasti gw akan menyesali keputusan ini nantinya. Faak.
“Owhh… Benar juga. Raungan ketiga masih berlangsung.” Seraya tepok jidat sendiri, dia berkata. “Lain kali, kalo ada waktu, mampir-mampir ke toko kami di sektor Barat Markas, ya!”
“Tentu.”
“Oke, cabut dulu. Order menanti.” Pemuda itu balik badan, dan bersiap lanjutkan lari ke arah pintu keluar yang tadi terhenti.
“Hati-hati lu, nabrak lagi.” Sembari berlalu ke ruang ganti, sekarang gw putuskan buat jalan aja.
Pas tangan gw mendorong pintu ruang ganti untuk dibuka, tau-tau orang itu berseru, “Heyy, Lake!”
Suwe, bikin kaget aja. Kepala gw menengok buat tatap figur tegapnya, tepat di tengah perempatan koridor. Terus, sekali lagi, Lech berseru, dan pamer deretan gigi. “Senang berkenalan dengan lu!”
“Hah…?” Sebenarnya, kurang menangkap makna dibalik tindakan si anggota Brigade Support Federasi sampe dahi gw bergerut. Kenapa baru bilang sekarang, coba? Tapi ya udahlah, ikuti aja. Mungkin, dia berusaha sopan. Ga ada maksud jahat juga lagian. Bibir gw senyum lebar, dan balas berkata agak keras biar terdengar, “Yoo, sama-sama.”
…
“PARA PENONTOOON! YANG DI SINI YANG DI SANA YANG ADA DI MANA-MANA! Saya yakin, seyakin-yakinnya, dari keyakinan yang paling yakin, anda sekalian sudah tidak sabarrrrr untuk melihat kelanjutan raungan ketiga! Maka, kami persembahkan putaran 8 BESAR DI DEPAN MATA ANDA!”
“Hahaha, sepertinya anda terlampau eksplosif kali ini, Bung Binder. Penonton bisa kabur bila anda terus seperti itu.”
“Ohho, ini adalah bukti semangat masa muda saya belum padam, Bung Kus! Biarpun dari segi usia… ya sudahlah. Hahaha. Mari sejenak kesampingkan topik tadi, dan kembali ke Arena! Sudah ada Lake Grymnystre, dan Hash’Kafil Ilkash yang akan berhadapan sebentar lagi.”
Hmm, berada di sini ga membuat gw peduli akan ocehan komentator. Dengar sih, mereka ngomong apa. Tapi tetap aja, mata ungu tertuju pada seorang wanita berambut hitam dicepol yang berdiri ga jauh di depan gw, memegang senjata jenis Crossbow di tangan.
Sedangkan gw…
“Ohoho, tampaknya Lake Grymnystre mengganti senjata yang digunakan, Bung Kus. Tidak ada pedang beda warna untuk kali ini.”
Membawa Beam Bow yang udah lama nganggur di inventori 4 dimensi.
“Begitulah, Bung Binder. Entah apa yang jadi penyebab di balik hal tersebut. Tapi baiknya, kita saksikan saja jalan duel ini.”
Alasannya ga lain ga bukan, karena kesulitan pegang pedang pake tangan kiri. Tadi gw udah coba di ruang ganti, jari kelingking susah banget buat ditekuk. Sakit pula. Ga mungkin pake satu doang, Twin Razer Blades ga lebih dari sekedar besi usang kalo terpisah. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, gw putuskan pilih Beam Bow.
Ga tau deh gimana hasilnya nanti. Sembari pake kedua sarung tangan, benak gw coba ingat-ingat kembali kapan terakhir kali pake busur. Kalo ga salah sih, sejak kejadian Isis merah di Sette. Hmm, 2 bul- ah, enggak, setengah tahun yang lalu.
Semoga kemampuan gw secara ajaib bisa lebih baik daripada saat latian menembak bareng Alecto sebelum raungan ketiga tadi.
“Kedua peserta, harap mendekat.” Sesuai tanda dari Conquest Borr, kami melangkah maju. Hash’Kafil punya tatapan ga biasa, sepasang kelopak matanya cuma kebuka setengah. Selalu keliatan kaya tatapan orang ga peduli terhadap segala hal, tapi sebenarnya dia berambisi lebih dari siapapun. “Saling beri hormat!” Mata hitam dan ungu, belum lepas beradu. “MULAI!”
Tangan kanan gw sigap ambil 5 anak panah beam dari inventori di paha kanan, lalu posisikan busur sejajar sumbu horizontal, menembak kelima panah sekaligus ke arah sang lawan. Namun, Hash’Kafil ga mau kalah! Dengan cepat menembak 5 kali beruntun guna antisipasi tembakan panah gw yang meluncur deras.
Gw ga diam di satu titik seusai melepas 5 anak panah pertama, melainkan langsung beranjak ke sisi kanan dan cari sudut yang tepat untuk lancarkan serangan lanjutan. Lagi-lagi, Hash’Kafil tampak sepemikiran. Perempuan itu juga berpindah ke kiri supaya ga kehilangan kuncian terhadap lawan.
“Fast Shot!” Kali ini, dua anak panah melesat nyaris tanpa jeda dari Beam Bow.
“Fast Shot,” Cih! Kembali dia niru tindakan gw!
Ga biarkan diri untuk diam, kembali tangan kanan gw menarik tali busur ke belakang, ancang-ancang tembakan berikutnya. Kali ini 3 kali berturut. Sebagai sesama Ranger, kami harus mampu saling mengungguli andalkan kelihaian masing-masing.
Di situlah letak kesulitannya. Saat adu tembakan di arena terbuka gini, kita dituntut untuk kreatip. Karena sulit lakukan variasi serangan, maupun berlindung dari tembakan lawan.
Bunyi desingan panah saling beradu terdengar nyaring berkali-kali. Sama halnya dengan bunyi perisai udara yang ga kuasa menahan laju tembakan dua Ranger dari satuan tugas berbeda. Kami ga bicara, biarkan aksi yang jelaskan semua.
Hash’Kafil menerjang maju sambil lakukan tembakan. Gigi gw mengertak dan miringkan tubuh ke samping, hindari 3 anak panah yang terukur akurasinya. Satu anak panah sempat menggores tipis pipi. Kalo aja ga bereaksi tadi, entah gimana nasib gw! Faak! Perempuan ini ga main-main! Ga ragu arahkan tembakan ke kepala!
Alhasil, gw lompat mundur, berusaha untuk terus jaga jarak darinya. Berkali-kali tangan gw mondar-mandir dari inventori 4 dimensi ke busur, coba perlambat gerakan Hash’Kafil, walau sebentar aja dengan tembakan-tembakan gw.
Gerakan Hash’Kafil emang cekatan, keseimbangannya juga bagus. Persis kaya yang dibilang Elka! Dia lihai banget mengelak, tapi sambil tetap maju! Sesekali, dia blok lesatan panah gw dengan lesatan panahnya sendiri.
Duel ini udah kaya kucing-kucingan. Dia maju terus, ngotot persempit jarak antara kita. Sedangkan gw kebalik, setengah mati coba menjauh dari kembaran Ish’Kandel.
Capek juga lari-larian mulu. Demmit! Gw berhenti seketika, perkuat pijakan dan kuda-kuda. Hidung tarik napas sebanyak mungkin, terus buang pelan-pelan, pertajam fokus supaya akurasi ga berantakan.
Oke, kita liat apa lu bisa menghindar kali ini!
Sentakan adrenalin terpusat di sekujur lengan kanan, dan tingkatkan kecepatan gerak sampe lewat maksimal! Mungkin gw emang bukan pemanah jitu macam Elka, sama sekali bukan Ranger yang punya akurasi sempurna. Bahkan ga lebih baik dari Alecto.
Tapi kalo soal habiskan amunisi, beda urusan! Gw cukup percaya diri dalam hal memanah cepat, menyamai kecepatan senapan serbu otomatis, “Rapid Fire!”
Faak! konsekuensinya ya gitu, gw kesulitan arahkan tembakan dengan benar. Hujan panah hampir ga terhitung, terbang bak peluru nyasar ke arah Hash’Kafil. Upss… Seenggaknya, gw udah berusaha yang terbaik buat targetkan satu titik, tapi kayaknya beberapa agak melenceng.
Raut wajah Ranger berambut hitam, berubah sedikit. Bibirnya perlahan gariskan senyum penuh arti, padahal lagi dihadapkan serangan super keren dari gw. Tsk. Apa dia putus asa? Tapi mata itu, bukan mata orang putus asa.
“Ga jelek, ga jelek sama sekali…” Ucap Hash’Kafil pelan, dia liat jauh ke dalam mata ungu. “… tapi, apa lu beneran mikir bisa kalahkan gw, Lake Grymnystre?”
Mata gw dibuat terbelalak oleh pertanyaannya, “Apa!?“
“… Ya, bisa.” Jawab gw singkat, satu jawaban yang juga berperan sebagai tambahan kepercayaan diri.
“… Naif.” Hinaan yang singkat, “Lu ga punya tujuan untuk diperjuangkan, dan gw ga sudi kalah dari orang seperti lu.”
Mendadak, Hash’Kafil lempar Crossbow yang sedari tadi digenggam dengan tangan kanan ke atas. Dari inventori 4 dimensi yang terdapat di punggung, tangan kirinya tarik keluar sebuah Crossbow lain, terus lagi-lagi dilempar keatas.
Gerakan itu terbilang cepat, bikin kedua Crossbow melayang di udara dalam waktu hampir bersamaan. Gw pikir itu udah semua Crossbow yang dia bawa, ternyata, Hash’Kafil membuktikan kalo pemikiran barusan sama sekali salah!
Saat dua Crossbow yang melayang kembali ditarik gravitasi, kedua tangan kosong perempuan itu tarik keluar dua buah Crossbow lagi dari inventori! Woot!? Banyak amat!
Sekarang, senyum berganti jadi seringai di bibir Hash’Kafil. Dia berseru, “Strafe!”
Detik seperti berdetak lebih lambat, memaksa kami terjebak sesaat dalam permainan waktu. Bukan, ini bukan Accel Walk, karena gerakan gw ikut terpengaruh. Begitupun hujan panah hasil tindakan gw beberapa saat lalu. Lesatannya hampir mendekati berhenti.
Jari Hash’Kafil menekan pelatuk kedua Crossbow dengan mantap secara bergantian dalam interval kurang dari setengah detik, muntahkan dua panah nyaris sekaligus. Tepat setelah menembak, dia langsung lempar kedua crossbow di tangan ke atas.
Seperti tadi, dimulai dari yang kanan terlebih dulu, baru diikuti yang kiri. Timingnya benar-benar sama persis!
Tanpa harus melakukan gerakan ekstra, dua Crossbow yang dilempar pertama kali langsung jatuh tepat dalam genggaman Hash’Kafil. Ga buang waktu, dia sigap membuat kedua Crossbow itu bekerja. Terus gerakan tadi diulang.
Gerakan Ranger berambut hitam tersebut begitu terkoordinir, ritme sempurna, keren banget diliat dengan gerak lambat dan terus dilakukannya dalam pengulangan tanpa cela! Waktu kembali berjalan sebagaimana mestinya. Sekejap, rentetan anak panah balasan telah beterbangan di tengah arena!
Mampus! Ternyata, dia juga bisa menembak cepat! Cerdas juga, mengakali mekanisme Crossbow yang punya jeda waktu sekitar 1.02 detik diantara tiap tembakan, pake cara kayak gitu. Menghilangkan 1.02 detik yang notabenenya terlalu berharga buat dibuang di saat seperti ini.
Gila! Ga bakal ada yang kepikiran pake 4 Crossbow dalam pertempuran! Kecuali … lawan di hadapan gw.
“Lu bahkan ga punya keberanian untuk percaya pada Nordo! Itu karena lu terlalu lemah, terlalu pengecut,” ujarnya di tengah pertukaran panah, “lu ga pantas berdiri di sisinya. Dia itu kuat, sangat kuat. Dia ga akan kalah dari siapapun kecuali gw, dia ga butuh lu buat jadi beban. Sebaiknya lu menyerah sekarang, supaya gw bisa kalahkan dia di duel berikutnya!”
Gw ga bisa balas cibiran Hash’Kafil, soalnya sebagian besar benar. Bukannya ga percaya pada Elka. Tentu gw percaya, tapi ga mungkinlah diam aja pas nyawanya terancam, kan?
Baik gw dan Hash’Kafil sama-sama ga mau kalah. Masih saling adu kemampuan menembak cepat tanpa jeda. Ratusan panah saling berbenturan, banyak bergelimpangan di arena, ga sedikit juga yang lolos, lewat di kiri-kanan tubuh kita. Menyerempet beberapa bagian tubuh, tapi ga sampe tertancap atau kena bagian vital.
Cukup lama kami melakukan ini sampe gw merasa lelah, gerakan tangan mulai melambat. Eh, tunggu, ja-jarak kami … sejak kapan makin dekat!? Apa dia menembak sambil perlahan maju? Shite! Gw benar-benar ga sadar!
“Setahun lebih lewat, lu tetap aja jalan di tempat,” cibirnya lagi.
“Gw ga jalan di tempat! Gw udah tau kenapa gw berjuang!”
“Oh… kalo gitu…”
Terlambat! Hash’Kafil melempar dua Crossbow ke atas, tapi kali ini sedikit beda. Lemparannya agak kedepan! Setelah tangkap dua senjata yang jatuh, dia langsung menerjang gw!
Shite! Shite! Shite!
Tangan gw meraba-raba paha kanan, berusaha ambil sebuah panah beam, tapi gagal gegara panik. Jadinya, terpaksa mata gw melirik sedikit buat liat letak mulut inventori. Lalu langsung mengincar Hash’Kafil yang lagi berlari kecepatan penuh.
Sayangnya, perempuan itu tau-tau udah hilang dari pandangan pas mata gw balik ke depan!
“Di mana dia!? Di mana!?” Setitik bayangan di arena, menyadarkan gw akan posisi sang lawan, “ATAS!“
“… Kasih tau gw,”
Dia melompat tinggi dan berakrobat di udara! Salto sembari menembak dalam posisi kepala lagi di bawah, kaki di atas! Faak! Dua panah melesat, gw menghindar dengan lompat ke samping.
Serangannya cuma menghujam permukaan arena. Tapi ga sampe situ, Hash’Kafil masih lanjut pake teknik 4 Crossbownya. Lempar dua, langsung tangkap dua, lanjutkan serangan!
Ogah Cuma jadi sasaran tembak, gw membidik tubuh langsingnya. Mumpung lagi di udara, ga mungkin dia bisa mengelak!
Gw tarik tali busur, kasih daya pada talinya, lalu langsung melepas begitu udah mentok. Satu panah Beam memburu keberadaan Hash’Kafil. Kali ini gw yakin, ga ada yang bisa dia lakukan!
“Apa tujuan lu, Uban?”
Ga ada, kecuali menghalau panah beam tersebut dengan Crossbow di tangan kanan… lalu langsung balas tembakan begitu Crossbow lain jatuh di genggaman tangan kiri. Tsk! Terpaksa mundur. Karena dia bakal mendarat di tempat gw berdiri, dan untuk hindari serangan balasannya.
YAK! Dia mendarat tepat di depan gw! Untungnya gw udah siap menodong dia dengan panah. Namun, usaha gw sia-sia. Pas udah mau lepaskan tali busur, dia berputar, terus menendang bagian bawah busur gw! Jadinya, bidikan busur melenceng, “UGH! Sialan!”
Selesai dia tendang, dilanjut tembakan Crossbow. Tapi ga mau kalah, tangan kiri gw yang pegang busur melayang keras guna ubah arah tembakannya. Sesaat sebelum panah keluar, bidikan Hash’Kafil melenceng.
“gw tau, gw lemah. Ga pantas kalo dibandingkan dengan kalian, mungkin gw cuma seonggok sampah ga berarti,”
Sangking keras ayunan busur, Hash’Kafil sampe jatuhkan Crossbow itu. Langsung aja gw tendang jauh-jauh biar ga bisa diraih lagi.
“dan sadar, betapa beruntung gw punya sahabat kaya Elka.”
Shite! Dia masih punya 3 senjata sisa! Biarpun keadaan berubah dari pertarungan jarak jauh, jadi pertarungan jarak dekat, tapi ritme pengulangan itu tetap ga berubah. Lihai, dia berdiri. Satu Crossbow jatuh lagi di tangan kiri, mengarah ke dada gw! Jari telunjuk si anggota Divisi Artileri, udah menekan pelatuk.
“Persetan dengan jadi yang terbaik, terkuat, mendominasi Novus, atau apalah itu,”
Ga pake pikir panjang, gw sedikit rebahkan tubuh. Salto ke belakang seraya menendang lagi sekuat-kuatnya. Kali ini membuat Crossbownya mental ke atas.
“gw ga peduli, selama masih ada dia,”
Begitu di atas dua kaki, gantian gw menyerang! Kali ini gw harus lebih cepat lepas panah beam, supaya dia ga sempat menghindar! Tapi lagi-lagi, seakan udah baca ke mana arah tembakan, dalam jarak segini dekat, dia miringkan badan ke kanan! Biarkan panah lewat gitu aja.
“hal itu yang paling penting bagi gw. Karena itu,”
Tangan kanan Hash’Kafil kembali udah pegang Crossbow yang jatuh dari atas, menembak lagi tanpa buang waktu. Gw lakukan tendangan berputar untuk melucuti senjatanya, sekaligus sebagai manuver hindaran sembari meraih salah satu panah beam yang kebetulan tertancap di dekat gw dan langsung membalas!
“gw berjuang untuk bertahan hidup, supaya selalu bisa berdiri di sisinya!”
Tangan gw batal melepas tali busur. Gerakan kami terhenti, mata hitam perempuan itu sama sekali ga perlihatkan emosi. Ujung anak panah beam tepat mengarah ke lehernya. Bersamaan dengan jatuhnya Crossbow terakhir, tepat di genggamannya yang langsung membidik ke… ehem… ‘Si Joni’.
Kami saling todong, saling tatap mata, tempo napas jadi meningkat, dada naik-turun. Pertarungan jarak dekat itu begitu cepat, kurang dari 10 detik kami adu tangkas. Tau kalo Crossbow itu lagi bidik tepat ke tengah kedua paha, gw telan ludah, berteriak dalam hati, “Bertahanlah, Joni! Abang ga akan biarkan kamu celaka!“
“… Ga jelek, ga jelek sama sekali,” responnya pelan plus tetap tenang, “keliatannya, lu bukan jalan di tempat. Tapi lompat jauh ke depan,” hah? Apa lagi maksud perkataannya? Apa dia mencibir gw lagi? “mengesalkan, tapi apa boleh buat. Kalah, ya kalah,” Hash’Kafil angkat Crossbownya, kasih liat kalo udah … ga ada satupun anak panah tersisa. Abis itu, buang senjata ke samping.
“Apa kamu bisa bergerak, Hash’Kafil?” Tanya Conquest Borr.
“Negatif,” Hash’Kafil menjawab lugas sambil terus memandang agak sayu mata gw yang balik menatapnya dengan penuh keterkejutan.
“Baiklah! Pemenang duel pertama putaran 8 Besar; Lake Grymnsytre!” Seru Pria botak paruh baya, mengonfirmasi hasil duel.
He? … Menang nih? Udah, gitu doang!? Agaknya masih ga percaya dengan apa yang terjadi.
Ranger wanita itu memunggungi gw, melangkah keluar arena sebelum berhenti gegara gw nanya, “Kenapa? Setelah semua yang lu bilang, ga bakal kalah dari gw, kenapa segitu gampang lu mengaku kalah?”
“… Liat sendiri kan? Gw kehabisan amunisi,” jawabnya ringan.
“Selama musuh ga tau lu kehabisan amunisi, harusnya itu memberi lu banyak pilihan lain.”
Sejenak dia hadap kiri 90 derajat, melengos ke gw dan berkata sinis, “Lu dungu, ya? Anggap aja itu hadiah. Lain kali, jangan harap gw akan melakukannya lagi,” abis itu lanjut berjalan.
Kenapa sih, dia ga langsung ke intinya? Biar gw paham gitu lho, ga usah bertele-tele.
“Well, i tried my best. But my best wasn’t good enough.” – Alecto (Ch. 33)
CHAPTER 33 END.
Next Chapter > Read Chapter 34:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-34/
Previous Chapter > Read Chapter 32:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-32/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list