LAKE CHAPTER 34 – PRETENSION

Lake
Penulis: Mie Rebus
Siang menjelang sore, matahari masih kuat menyorot panas ke area pendudukan Corite. Markas Besar Aliansi Suci tepatnya.
Di mana sepasang Grazier duduk santai di kedai es krim yang cukup ramai seusai patroli di sekitar Istana Haram. Salah seorang dari mereka adalah Grazier berambut ungu. Terkuncir rapi seperti biasa. Tangannya asik aduk es krim coklat favorit, tapi pikirannya sedang terbang jauh di balik awan.
Gadis itu melamun, menatap hampa pada pergerakan sendok yang mengacak-acak isi gelas di atas meja.
Benaknya proyeksikan sirat wajah sesosok Bellato. Dengan sepasang mata ungu, senada dengan rambut Grazier itu. Rambutnya bukan putih, atau hitam. Melainkan perpaduan antara keduanya. Berada di tengah-tengah antara hitam dan putih, kelabu. Raut wajah menyebalkan saat pertama kali mereka bicara. Pria kecil itu bahkan berbincang sambil menatap langit-langit ruang es awalnya.
Beberapa saat saling bicara tanpa bertemu pandang, perkataan pria kecil itu begitu hati-hati, dan kaya ga peduli. Ga niat sama sekali untuk berbincang lebih jauh.
Tapi saat Bellato itu menoleh pada Faranell, moment ketika mata kuning dan ungu beradu, perempuan berambut ungu memastikan perasaan mengganjal di hati. Perasaan yang hinggap sejak dia melukai leher si Grazier. Sesuai dugaan Faranell, mata ungu itu, benar-benar jernih.
Seolah gampang banget ditebak kalo kala itu ada keraguan terpancar dari sana.
Gelisah, masih belum bisa terima keberadaan Faranell yang duduk begitu dekat. Cari pembenaran, menimbang-nimbang konsekuensi dari perbuatan ke depan. Belum pernah Faranell bertemu Bellato, atau bahkan Corite lain yang punya mata sejernih itu.
“Gw… ga punya alasan khusus. Cuman terlalu takut aja… buat mengakhiri kehidupan.“
“Gw diliputi keraguan. Apa iya, gw bisa segampang itu bunuh lu?“
“Dan ini terdengar konyol, tapi… gw kepikiran ama orang-orang yang bakal lu tinggalkan kalo lu meninggal.“
Kata-kata itu, ga akan pernah dilupakan oleh Faranell. Kata-kata yang sanggup bikin dia tercengang di tempat. Kata-kata yang ga pernah disangka akan keluar dari mulut sesosok Bellato, yang kerap disebut makhluk kerdil serakah, ga punya kepercayaan.
Itu bukan perkataan makhluk kotor, hina. melainkan makhluk yang sama-sama menjunjung tinggi kehidupan.
“Gann…” Ujar Faranell, pada pria yang duduk berhadapan dengannya.
“Ngg?” Gumam si Grazier lelaki, gara-gara mulut diisi es krim.
“… Aku mau ketemu Lake.”
“Oh… yaudah.” Jawabnya santai. “Mau diantar?”
Faranell angkat muka, menatap hampir ga percaya, “Se-Serius!?”
“Ngg? Kenapa kaget?”
“… Aku mau ketemu Lake.” Gadis berambut ungu itu mengulang perkataannya.
“Iya, terus?”
“Lake. L-a-k-e.”
“…” Sejenak, Gannza mikir, sembari mengulum sendok. Agak bingung dengan sikap Faranell, “Emang.. siapa…?”
Wajah Faranell mendekat, condong pada telinga Gann, dan berbisik, “Rambut kelabu.”
“HUGH! AP-” Serta merta Gann tersedak. Berdiri, dan mau teriak. Tapi dicegah oleh tangan kiri Faranel yang langsung membekap mulut Grazier lelaki.
“Sssst! Ssstt! SSSSSSSTTTT!” Ditambah tangan kanannya menekan bagian belakang kepala Gannza, cegah suara keluar lebih jauh. “Ah, Eheh- ehehe.. Maaf, maaf.” Ucap Faranell, pada orang-orang di sekitar yang pusatkan perhatian pada mereka berdua, “Semua baik-baik aja.” Lalu menarik serta si Grazier lelaki menjauh dari kedai.
Setelah dirasa berada di tempat yang jarang dilalui orang, di salah satu sudut terasing markas besar, hanya ada satu toko armor yang sedang sepi pembeli di dekat situ, Faranell melepas tangan di mulut kawan lelakinya.
“Aku ga berhak ditampar gini, tau?” Gerutu Gannza, mengusap bibir sendiri. Merasa hampir jontor.
“Abis kamu sih, ancang-ancang teriak.”
“Menurutku normal, kalo seseorang abis dengar hal gila yang diutarakan temannya!” Sindirnya lagi, dengan nada tertahan biar ga terdengar orang.
“Ma-maaf,” Faranell menunduk, gelisah, menerka-nerka perasaan si lelaki.
Gannza hela nafas, sedikit lebih tenang dibanding tadi, “Udah berapa kali kubilang, jangan pikirkan dia terus! Dia bawa pengaruh buruk buat kamu.”
“Tapi aku mau ketemu dia, Gann! Mengenal dia lebih jauh!” Bantah Faranell, di tengah kegelisahan. “Mengenal Bellatean lebih jauh!”
Kedua tangan Gannza, memegang erat bahu Faranell, yang lebih pendek darinya. “Aku ga bisa biarkan kamu melakukan itu! Apa kamu lupa, Anclaime Sada tewas di tangannya!?”
“… Udah berapa kali kubilang, dia ga melakukannya dengan sengaja! Yang dia lakukan… cuma pertahanan diri,” bola mata kuning Faranell, menatap dalam-dalam mata Gannza, seakan meneguhkan kalimat terucap, “kumohon..”
“Keadaan dengan Anclaime Raha udah runyam, sekarang kamu mau tambah perkara?”
“Aku akan pikirkan cara buat perbaiki hubungan dengan Raha, tapi untuk sekarang, aku mau ketemu Lake dulu,” Faranell masih bersikeras, bikin Gann tersentak. Pasalnya, semenjak pertemuannya dengan si rambut kelabu, dia emang sedikit berubah. Lebih berani pertahankan keinginan ketimbang gelisah, dan mundur akibat tekanan.
“… Aku masih ga percaya padanya, Faranell,” masih ada kecemasan di hati Gannza, mengingat dulu Faranell hampir mati juga gegara Bellato itu.
“Kalo gitu, kamu ga perlu percaya padanya,” tangan halus si Grazier perempuan usap lembut pipi Gannza, dengan tatapan sejuk, berusaha padamkan api kecemasan, “kamu cuma perlu percaya padaku.”
Ditatap mata memohon begitu, akhirnya luluhkan keras sikap Gannza. Pada poin ini, pemuda itu tau, udah susah yakinkan Faranell, seberapapun keras dicoba. Grazier lelaki itu lepaskan pegangan pada kedua bahu perempuan berambut ungu, genggam tangan Faranell di pipinya, terus berkata pasrah, “Oke. Akan kulakukan. Demi kamu.”
Dengar respon positif itu, bibir tipis Faranell menyungging senyum selebar-lebarnya, “Yeaay!”
“Tapi ingat, kalo dia mencelakakanmu, atau kalo perlu, pas dia baru niat melakukannya, aku ga akan segan mengurai molekul tubuhnya.”
“Hahaha, tenaaang. Dia ga kaya gitu.” Sanggah Faranell ringan, “Harusnya kalian juga saling mengenal lebih jauh, pasti cocok.”
“Ga!” Gerutu si pemuda, tegas. “Aku ga bisa percaya gitu aja pada Bellato yang hampir bunuh kamu,” alasan lain Gannza bersedia terlibat. Karena ini lebih baik, supaya bisa lindungi Faranell. Daripada biarkan gadis ini melakukan hal ga wajar sendirian tanpa sepengetahuan orang terdekat, “jadi, gimana rencananya?”
“Hhmmmmmmmmm…”
Gumaman panjang Faranell, dilengkapi pose mikir; kedua lengan terlipat di depan dada, memejam mata, alis berkedut keras-keras, cuma berarti satu hal.
“… Kamu ga berpikir sampe ke sana, kan?” Tanya Gannza dengan nada datar.
Ga lebih dari sekedar gelengan kepala, yang dilakukan si Grazier perempuan buat jawab.
“Bisa hubungi dia, atau apa gitu?”
Kembali, Faranell geleng-geleng.
Membuat Gannza menutup wajah dengan telapak tangan sendiri, keluh ga percaya, “Astaga, Faranell…”
“Ahh, akan kupikirkan suatu cara- ehm… nanti,” balas Faranell, ragu-ragu.
“Apa, tepatnya!? Kita ga mungkin ketuk pintu depan Markas Besar Bellato, dan berkata ‘Hai, kami ingin bertemu Lake, prajurit Bellato berambut kelabu!'” Gann berusaha sebisa mungkin rendahkan volume, biarpun sebenarnya, dia udah pengen banget berseru.
Mata kuning Faranell melebar, dengar omongan Gannza. Begitu semangat berujar, “Ide bagus!”
“Ya. Ide- APA!?” Pemuda Corite itu udah ga bisa lagi menahan luapan kaget dari dalam, “Itu bukan ide bagus, itu namanya bunuh diri!”
“Pfft, AHAHAHA! ADUH-ADUH, APAAN INI!? INI MAH SAMPAH!” Mendadak, terdengar suara keras wanita pemilik toko Armor, ga jauh dari tempat mereka. “MASIH ADA TOH, YANG PERCAYA KALO NGUMPULIN GINIAN, BISA JADI KAYA!?” Faranell dan Gannza, terlonjak dengernya. Dan sejenak berhenti berdebat, buat liat ada apa gerangan. Kedua pasang mata Grazier, berkedip cepet.
“Hah…?” Sesosok Corite bertubuh tinggi banget, lebih tinggi dari Gannza, maupun Corite pada umumnya, masuk pandangan sepasang Grazier tersebut. “Maksudnya apa?”
“Aduh, mas. Kalo lagi butuh uang, bilang aja. Pasti kukasih kok. Udah biasa, dimintain uang mah. Ga usah ngumpulin sampah gini.” Jawab si pemilik toko, diiringi tawa ledekan. “Kasian banget sih, lagi putus asa ya? HAHAHA!” Lanjutnya menghina.
“Lho, saya cuma menjalankan misi doang; ngumpulin kulit Villain Cannibal. Jadi ya.. saya kerjakan.” Sanggah sosok tinggi berambut pirang dengan potongan cepak. “Kan katanya, situ sendiri yang pesan.” Keringat dingin mulai mengucur, sekuat tenaga menahan malu.
“Masa? Kata siapa? Saya ga pernah minta gituan. Kamu ditipu kali,” si wanita pemilik toko, langsung membalikkan pernyataan prajurit tinggi itu. “Tau ga? Tadi ada juga yang ngumpulin sampah macam kamu. Pas dikasih ke orang yang disangka klien, malah diketawain satu markas.” Timpalnya lagi. “Tiati mas, banyak aksi tipu-tipu bermodus cepet kaya.”
Si prajurit tinggi, syok bukan main, selepas dengar fakta absurd di salah satu poin penting kehidupannya sebagai tentara Aliansi. Tergambar jelas dari garis wajahnya, “Ma-maksudnya… Saya ditipu.. gitu?”
“Yaiyalah!”
“Sialan! Bisa-bisanya… ARRGH!” Dia meluapkan kefrustasian, garuk-garuk kepala, sambil dongak. “… Liat aja, itu orang, akan kubuat lebih pendek… LAGI! Bangsat!”
“Udah, udah… ga usah marah-marah. Badan udah tinggi, nanti darah ikutan tinggi lho.” Ucap si pemilik toko, seraya ngeluarin uang, sedikit. Seratus ribu aja ga nyampe. “Nih, saya kasih receh.” Si prajurit tiang listrik itu, ga punya pilihan, selain menerima pemberian, dihias ekspresi mau ga mau.
“… Uhm, apa itu tadi?” Tanya Gann pada Faranell, masih belum beranjak sedikitpun.
Yang ditanya, sekedar ngangkat kedua bahu, masih belum berganti arah pandang, dan keheranan, dari toko armor tersebut, “Mana kutau..”
“Oh ya, kuharap kamu ga serius, tentang ‘mengetuk pintu depan Markas Besar Bellato’.” Bisik Gann, mendekatkan mulut pada telinga kiri Faranell.
“Tentu…” Sudut bibir Faranell, menekuk ke atas, sebelum berbalik dan beranjak dari hadapan Gannza. “… Bisa jadi.”
“Heyy, heyy, apa arti senyum itu…?” Tanya Gannza kesel, mencium bakal ada yang ga beres, sembari menyusul Faranell. “Aku ga suka. Benar-benar ga suka. Faranell! Tunggu!”
Keduanya kembali berbaur di tengah ramai Markas Besar Aliansi Suci, lalu lalang menggerakan roda kehidupan di salah satu koloni para Corite, di Planet Novus. Siapa yang tau apa yang akan terjadi nanti? Entahlah, bahkan mereka berdua ga berani untuk menebak. Yang bisa mereka lakukan, cuma menjalani hal yang mereka- atau Faranell, yakin itu benar.
.
.
Di lain tempat, suatu dataran berpasir, bersuhu tinggi, berdiri koloni dari makhluk bertubuh logam, yang ikut ambil bagian dalam perang di Planet ini. Kekaisaran Accretia. Tubuh ga berdaging, dengan tinggi menjulang, hampir setara MAU Bellato, bisa menguntungkan kala harus menghadapi kondisi lingkungan gersang dan kekeringan kaya gini. Karena, mereka ga perlu cemas terhadap ancaman dehidrasi.
Lembah Cratter, tempat para kadet Accretia menjalani pelatihan awal, terlihat dua prajurit Accretia berpangkat Centurio sedang melakukan sparing. Yang satu, seonggok Mercenary, lengkap dengan Armor merah tua kehitaman. Sedangkan, sang lawan, adalah Punisher, bersenjatakan sebuah Spadona berwarna Cyan.
Keras, sparing di antara mereka. Biarpun cuma sparing, tapi ga ada yang mau mengalah. Dentingan senjata tajam bertemu perisai, nyaring terdengar berkali-kali. Begitu focus, ga hiraukan beberapa logam yang berhenti sejenak untuk menonton aksi gratis.
Mereka nyaris imbang, sampe ketika tubuh si Punisher, yang terlindung armor biru navy bercorak putih, sedikit berubah. Beberapa lapisan logam di beberapa bagian seperti lengan, dada, kaki, membuka dan bercahaya biru-kehijauan. Optik merahnya pun, jadi biru-kehijauan. “Aggressor Mode.”
Dengan satu hantaman telak pada perisai si Mercenary, ga sanggup menahan beban yang diberi si Punisher melalui Spadonanya. Bunyi bak ledakan tercipta akibat tenaga luar biasa. Alhasil, dia tersungkur, seusai menyerap benturan.
“Ini cuma sparing, lu ga perlu pake ‘itu’, sebenarnya.” Gerutu seonggok logam dominan merah.
“Percuma sparing, kalo ga ada hasil.” Balas si Punisher lugas. “Dan ketidak-mampuan lu menahan serangan barusan, jadi bukti kalo lu masih lemah, Ironall.”
Accretia bernama kode Ironall tersebut, bangkit dari tanah, dan memungut perisai serta pedangnya yang sempat lepas. Dengan santai, mencibir, “… Mentang-mentang baru servis plus ganti oli, bawaannya mau gas terus, ya?”
“Ah, diamlah.” Balas si Punisher, kembali menodongkan Spadona pada Ironall, “Ayo, lagi.”
“Wowowow, gw rasa cukup untuk hari ini, Gabber,” namun, sang lawan malah menyimpan kembali persenjataan, “udah 3 kali kita melakukannya, dan udah 3 kali juga lu menang. Masih belum puas juga?”
“… Masih kurang. Gw harus bisa lebih kuat lagi.” Jawab Gabber, masih belum menurunkan Spadona.
Kawan Mercenary-nya sekedar menggeleng, melihat kelakuan Gabber. Dia kenal betul, sifat Accretia yang satu ini. Ga pernah puas kalo soal pertarungan, seolah emang itu hobinya. Entah kekuatan kaya apa lagi yang dia cari, padahal… diantara jajaran Punisher muda, dia terbilang di atas rata-rata.
“Turunkan senjata lu. Itu menyebalkan, tau?” Ujar Ironall, diiringi gerakan tangan menekan ke bawah, permukaan Spadona si Punisher berarmor biru navy. Setelah Gabber menurunkan Spadona, lengan merah Ironall, merangkul leher kawannya. “Gw kasih tau ya, semakin keras kita mencari kekuatan, justru akan semakin menjauh dari kekuatan sejati,” ucap Ironall, mengingatkan dengan gaya jenaka, “itu akan datang sendiri, kalo udah waktunya.”
“… Film busuk apa yang lu tonton, sampe meracuni otak dengan omongan ga masuk akal?” Bantah Gabber jengkel, akibat prinsipnya ga sesuai dengan perkataan Ironall. “Mana mungkin bisa jadi kuat, kalo yang lu lakukan cuma nunggu kekuatan itu datang?” Dia menepis tangan Ironall di bahu.
“Oke, oke, sebenarnya yang ingin gw sampaikan, masih banyak hal yang bisa kita lakukan dengan tubuh luar biasa ini! Nikmatilah sedikit, ketimbang merasa ga puas-puas, ujung-ujungnya malah membebani diri lu sendiri.”
“Satu-satunya hal memuaskan dari tubuh ini, adalah saat bisa bikin gepeng para kurcaci, atau penyihir sok alim, sekali hantam.” Ujar Gabber sarkas, sembari memanggul Spadona di bahu kanan.
“Hahaha. Dasar. Kabel intelijensi di otak lu, koslet kayanya. Nyambung ke streeength mulu.” Ledek Ironall, mengangkat sebelah bahu sambil ketawa. “Yah, setidaknya, gw udah bilang. Sisanya, terserah.”
Beberapa saat selepas perbincangan mereka, terlihat seorang prajurit kekaisaran berjalan menghampiri Gabber. Sensor optic berwarna hijau cerah, serasi dengan satu set armor tempur berwarna hijau safari. Bila diliat dari bentuk, dia adalah seonggok Ranger. “Maaf mengganggu waktu anda. Perkenalkan, saya adalah Triarii SS-101, Code Name Scattershot. Saya diperintahkan langsung oleh Legion Warwick, untuk menyampaikan pesan ini pada anda, Centurio GR-133.”
Perkataan prajurit tersebut, menarik perhatian Gabberwockie, yang merasa memiliki nama tersebut, menanggapi. “… Pesan apa?”
“Anda diminta menghadap secepatnya.” Kata Scattershot lugas, dan menanti perintah selanjutnya.
“Okelah, kalo gitu, gw pergi dulu. Sekalian menjalani beberapa misi tersisa.” Si Mercenary, pamit pada kawannya, berhubung dia dipanggil ke ruang Archon. Jadi ga ada kegiatan yang bisa dilakukan lagi.
Pandangan optic merah Gabber, balik lagi pada Scattershot, yang masih sabar menunggu. “Dimengerti. Kamu boleh pergi, Triarii.”
Dengan sepatah kata dari si Punisher, maka berlalulah SS-101.
Ruang Archon kekaisaran Accretia, bernuansa gelap, dan abu-abu. Di hadapan Gabber, berdiri Accretia berjubah merah, memunggungi dirinya. Sedang menatap keluar jendela besar untuk beberapa lama. Di lantai, tepat di depan meja kerja berlapis logam, dilengkapi layar antar muka canggih sebagai penggerak pasukan dari garis belakang, terdapat sebuah karpet persegi yang cukup besar, berwarna merah dengan garis hitam di pinggir. Menambah kesan menegangkan.
“Jadi, apa kamu sudah memastikannya, Centurio?” Tanya Accretia berjubah, begitu formal, tanpa balik badan.
“Ya, Legion. Tidak salah lagi.” Jawab Gabber yakin.
“Begitu.” Ucapnya singkat. Accretia itu, adalah Archon dari pihak Kekaisaran. Legion WK-09, Code Name Warwick, seorang Striker kelas berat. Bisa dibilang Veteran yang menjabat sebagai Archon, untuk periode waktu terlama. Mengenakan Armor putih dari ujung kepala, hingga kaki. “Tidak kusangka, masih tersisa satu… Grymnystre di semesta ini. Tampaknya, misi Ether tidak sepenuhnya gagal.” Dia berbalik, kali ini menghadap Gabber. Kedua sensor optic, bertemu di satu titik. “Apa dia.. kuat?”
“…” Si Punisher diam sebentar, “… Sepintas, dia tidak terlihat kuat, namun kemampuan tempurnya cukup mengejutkan. Dari berhasil menumbangkan Black Knight Corite seorang diri, sampai pada titik sanggup mengimbangi Aggressor Mode.”
“Ahh, Grymnystre. Memang tidak pernah mengecewakan.” Ujar Warwick, puas mendengar pernyataan bawahannya. “Klan Bellato yang disebut-sebut terlahir hanya untuk bertarung. Memporak-porandakan baik Kekaisaran, maupun Aliansi Suci. Bahkan, sampai Federasi. Membawa kekacauan, ke manapun mereka menapakkan kaki.” Lanjutnya, seolah menjadi saksi atas sepak terjang para Grymnystre. “Tidak peduli seberapa keras kamu menghajar, menjatuhkan mereka, mereka akan kembali berdiri, dan balik menghajar lebih keras.”
“… Saya pernah dengar berbagai rumor tentang itu.”
“Itu bukan Rumor, Centurio. Itu fakta.” Sanggah Sang Archon, jalan menuju sisi kiri ruangan, memandang pajangan berupa bendera kebesaran dengan lambang Accretia, melekat di dinding. “Cobalah memojokkan mereka. Saya tidak pernah melihat keputus-asaan, ataupun ketakutan. Mereka tidak pernah takut mati, tidak pernah takut apapun.”
“… Kalau begitu, mereka sama seperti kita.” Kata si Punisher. Warwick segera berbalik, membenturkan kepala logamnya, dengan kepala logam Gabber. Menimbulkan bunyi denting yang cukup keras. Biarpun begitu, si Punisher berarmor biru navy, ga bergeming.
“Hampir, Centurio! Hampir! Kamu tahu? Saya selalu punya keinginan kecil, di luar kejayaan Kekaisaran; yakni setidaknya membuat salah seorang dari mereka menderita. Saya ingin mendengar seorang Grymnystre menjerit, berteriak, memohon ampun, berjuang mempertahankan napas, tanpa bisa melakukan apa-apa…” Warwick Sang Striker, mengangkat telapak tangan kanan yang terbuka, lalu mengepal dalam gerak perlahan, di depan sensor optic Gabber yang masih mematung. “… tiap tetes darah, tiap jengkal kulit, tiap tulang, tiap serat kehidupan di dalam tubuhnya, saya ingin melakukan lebih dari sekedar menghancurkan.” Caranya bicara, terbilang menakutkan. Dijamin bisa menggetarkan mental lawan bicara, kalo ga cukup kuat.
“… Haruskah kita bawa dia kemari?”
“Belum, belum waktunya Centurio, belum waktunya.”
Tanpa dikasih taupun, Gabber udah tau gimana rasanya melawan Grymnystre. Menegangkan, sengit, lebih sengit dari berbagai pertempuran yang pernah dia alami. Di lain sisi, seru dan menyenangkan. Karena akhirnya, ada kondisi dimana si Punisher merasa wajib keluarkan kemampuan maksimal pas bertarung. Lake Grymnystre, satu nama Bellato yang akan selalu tersimpan dalam data base memorinya.
Juga jadi alasan, makin getolnya dia mencari kekuatan lebih besar lagi untuk bisa lampaui kurcaci itu. Tapi, satu pertanyaan terbesit di otak organiknya, “Apa keinginan ini, sama dengan keinginan untuk menghancurkannya?“
“Ahh, hal lain yang ingin saya sampaikan; mengenai pemindahan tugas.” Lanjut Sang Archon, nada bicaranya lebih tenang kali ini. “Saya akan melakukan transfer data, seputar tim barumu.”
Seketika, dalam lingkup pandangan Gabber, terpampang berbagai arsip digital seputar beberapa prajurit, disertai banyak listing kode pemrograman, berkelebat cepat. Ada nama Ironall dan Scattershot di sana, “Kamu mengenal Ironall, dan saya yakin, kamu sudah bertemu Scattershot. Mereka termasuk di dalamnya.”
“Ranger hijau safari itu? Ya, saya sudah bertemu dengannya,” Namun, ada beberapa nama kode yang masih asing, alias belum dikenal Gabber sejauh ini. “Crosshair, Linkbuster, Cloudrake? Siapa cecunguk-cecunguk ini?“
“Bagus. Untuk sisanya, mungkin kamu akan segera bertemu dengan mereka,” ujar Warwick.
“… Keputusan di tangan anda, Legion.” Ia merendah. Suka ga suka, perintah Archon tetaplah mutlak. Dan Gabberwockie ga berhak protes, terhadap keputusan apapun terhadap penempatannya.
Tetep aja, dia berpikir, siapapun kameradnya, asal mereka ga jadi beban, itu ga akan mempengaruhi tujuan utama; pencarian kekuatan untuk berdiri di puncak tertinggi. “Melebihi siapapun, melebihi si cebol itu.“
.
.
Seorang perempuan berambut hitam dicepol, menghempas tubuh ke bangku penonton di arena serbaguna yang masih kosong, tepat di sebelah pemuda berambut kuning acak-acakan. Belum ada kalimat sapaan, atau sekedar basa-basi keluar dari mulut mereka berdua. Wajah serupa, ga bikin keadaan bakal berjalan baik. Beberapa orang bilang, saudara kembar itu harusnya akrab dan rukun. Tapi, hal itu kurang berlaku bagi Ilkash bersaudara.
Setelah kalah dari duel cukup sengit, tanpa diduga, Hash’Kafil yang biasanya lebih berambisi dari orang lain, ga keliatan frustasi atau permasalahkan hal tersebut. Mata hitam Ranger itu masih perlihatkan jemu pada siapapun yang liat. Jelas, itu bikin Ish’Kandel agak heran.
Liat tatapan penuh tanda tanya kembarannya, Hash’Kafil mencela, “Apa lu liat-liat, buruk rupa?”
“Ga. Ga apa-apa. Aneh aja, liat lu menyerah gitu tadi,” balas Ish’Kandel, dengan nada dibuat-buat, “ga biasa.”
“Ga cuma buruk rupa, lu juga buta ya?” Respon sinis dari kembarannya, membuat Ish’Kandel memutar bola mata.
Masih tergambar jelas ekspresi terhenyak dari pemuda berambut kuning, “… Heyy, kayanya lu lupa ya, kalo kita ni kembar? Muka kita ga ada beda!”
“Salah. Jelas beda. Lu lebih jelek.“
“Luar biasa,” Jawab Ish’Kandel, seraya tepok jidat sendiri. Mulai malas hadapi sikap menyebalkan kembaran perempuan, “bukannya lu bilang mau kalahkan Elka tahun ini, gimanapun caranya? Liat lu menyerah, kaya liat lu buang salah satu ambisi yang lu punya. Dan itu aneh… banget.” Lanjut Ish’Kandel.
Hash menghembus napas sekali, baru kemudian bilang, “Udah jelas, kan? Gw kehabisan amunisi.”
“… Bohong,” mata kuning Ish’Kandel belum lepas dari perempuan itu, biarpun Hash’Kafil sama sekali ga menatapnya dari tadi, “mungkin kita emang ga pernah akrab, tapi tetap aja kembar. Gw lebih kenal lu, ketimbang orang lain,” ucapan yakin Ish’Kandel, sukses mengalihkan tatapan Hash’Kafil, “saudara kembar, punya ‘koneksi’ tersendiri.”
“… Gw lupa lu ga pernah pandai tutup mulut,” keluh Hash’Kafil pasrah. Dia tau, emang hampir mustahil bohong pada si kembaran, “Si Grymnystre… hampir bikin nyawa gw melayang tadi,” lanjutnya, masih dengan nada malas-malasan.
“Hah? Ahaha, bisa aja becandanya-” ekspresi jenaka si Shield Miller, berubah kaget, pas tatapan Hash’Kafil berpindah, menatap kesal pemuda berambut kuning, “… Serius?”
“Kalo bukan gegara dia batal melepas jemari di tali busur, gw ga akan bicara dengan lu sekarang,” ujar Ranger berambut hitam.
“Tapi, posisi kalian berimbang tadi! Okelah dia menodong leher lu, tapi kan lu juga nodong… nodong…” reaksi ga percaya Ish’Kandel, rada memuncak, terhenti sebentar. Ragu buat meneruskan kalimat yang tertunda, “ehem… anunya!”
“… Itulah yang lu liat, karena lu sendiri ga di sana,” Hash berkata, menopang dagu dengan telapak tangan kiri, “gw ga nyangka bakal bilang ini, tapi…” Tatapan mata hitam, keliatan berusaha menampik fakta. Menatap kosong ke arena, “… dia lebih cepat dari gw. Kalo aja itu di medan perang, Hash’Kafil Ilkash udah tinggal sejarah.”
Mata kuning si Shield Miller berkedip beberapa kali, terheran liat reaksi kalem si kembaran. Biasanya, Hash’Kafil bukan tipe orang yang santai abis dikalahkan. Biasanya, ga suka terima kenyataan, kalo dia bisa kalah. Benak Ish’Kandel jelas ingat pas dulu Ranger perempuan itu uring-uringan setelah dihajar Elka Nordo. Dan kekalahan itu, malah bikin Hash’Kafil ‘terobsesi’ buat balas Elka.
“Biar lu jelaskan begitupun… tetap aja aneh.” Celetuk Ish’Kandel, masih belum paham prilaku Hash’Kafil.
Ga cuma Ish’Kandel yang merasa aneh. Bahkan, Hash’Kafil sendiri, merasakan hal tersebut. Dia ga menyangka bisa setenang ini, dan merasa tanpa beban biarpun dikalahkan. Mungkin karena satu hal yang dibisikkan oleh setitik kesadaran, jauh di dasar nurani. Dia penasaran, sejauh mana festival olahraga ini bisa jadi menarik, “Apa yang akan lu lakukan, Nordo? Saat berhadapan satu lawan satu lawan ‘pacar’, yang selama ini selalu mati-matian lu jaga?“
Dia percaya, Elka bakal terus melaju di raungan ketiga. Yang ga disangka, yaitu Lake yang masih bertahan sejauh ini. Mau karena hoki atau emang menyimpan potensi kemampuan… menang, ya menang.
“You can win. You must win. You’ll absolutely win.” – Meinhalom (Ch. 27)
CHAPTER 34 END.
Next Chapter > Read Chapter 35:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-35/
Previous Chapter > Read Chapter 33:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-33/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list