LAKE CHAPTER 36 – BEHIND THE EXPLOSIONS

Lake
Penulis: Mie Rebus
Entah apa yang bikin keadaan jadi begini. Duduk di antara dua perempuan bening, mungkin bisa dibilang impian para Hamba Johones. Dan gw lagi merasakannya saat ini. Awalnya, gw duduk sebelah Sabilla setelah Dzofi titipkan dia tadi. Terus mendadak, Elka muncul ga tau dari mana, dan langsung ambil tempat di sebelah kiri gw.
Abis kalahkan Royal Ulfa, si perempuan berambut coklat jadi sering senyum-senyum sendiri. Gw keheranan liat mukanya. Pasti ada hal ga beres yang lagi kepikiran di balik tengkorak itu. Dan gw agak ragu untuk menyelidik lebih jauh.
Ternyata, ga cuma gw yang merasa ada kejanggalan. Sabilla juga ikutan menoleh ke Elka, dengan muka polos tapi penuh tanda tanya. Gadis berambut putih colek-colek lengan gw, dan berbisik, “Eh, dia kenapa?”
“Mana gw tau.” Balas gw, berbisik juga.
“… Bukannya kamu harus tanya, ada apa dengannya?”
“Uhh, untuk saat ini, gw bahkan ga pengen tau.”
“Oke, kalo gitu, aku aja yang tanya.” Bisik Sabilla kemudian.
“Sebenarnya… lu ga mesti-“
“Heyy, Elka,” Terlambat. Dia terlanjur melakukannya. “… kenapa senyum-senyum sendiri?”
Perhatian Elka teralih oleh pertanyaan Sabilla. Dia menoleh, seraya masih tersenyum, lalu mematung, menatap mata gadis berambut putih dengan potongan pendek, selama beberapa detik. Tau-tau, Elka menarik lengan gw, “Kenapa ga bilang, kalo dia di sini?!” Intonasinya tertahan, biar ga terdengar orang.
“Hah?” sekarang, gw ikutan dibikin bingung. “Emang lu ga sadar, siapa yang dari tadi di sebelah gw?” Si Infiltrator menggelengkan kepala bermahkota coklat. Wew, ya kali. Segede gini, ga keliatan. “Ya bukan salah gw kalo gitu!”
“… Kenapa malah bisik-bisik?” Gegara pertanyaannya belum dijawab, Sabilla bertanya lagi.
“Ah, Sabilla. Ga ada apa-apa kok,” Elka langsung menjawab, “… senang aja, berhasil sampe sejauh ini.”
“Ya, senang dan ga sabar pengen bikin gw babak be- LUFFT!” Haiish! Sikutnya sigap banget mendarat di rusuk, buat mencegah gw selesai ngomong.
“Oh ya, maaf… aku udah kelewatan, pas duel kita sebelumnya.” Dengan lihai, Elka mengalihkan obrolan.
“… Iya, ga masalah. Lake juga udah bilang, kok.” Ucap Sabilla, “Kamu hebat, Elka…”
Pujian dari gadis berambut putih, bikin senyum Elka makin merekah. “… Makasih.”
Mereka bercengkrama sedikit lebih lama. Biasalah, obrolan perempuan. Cekikikan sana-sini. Cuman topiknya agak belok aja, jadi lebih ke teknik berburu, senjata, sampe ke cara menembak. Bukan topik yang biasa jadi bahan gosip deh pokoknya.
Dan di sinilah gw, merengut jenuh bak dilupakan. Padahal, lagi berada diantara mereka berdua. Tapi situasi ini ga buruk juga sih. Mereka masih bisa akrab setelah melewati duel gilal, seolah itu bukan apa-apa. Jadi bikin orang mikir dua kali kalo mau macam-macam dengan mereka, kan?
Ga kebayang sampe sehebat apa Elka bisa melakukan sesuatu. Dihajar abis-abisan saat duel ketiga, ga bikin dia mundur atau gentar. Malah sebaliknya, masih bisa menang ketika dirasa udah ga ada harapan. Udah gitu, dengan waktu pemulihan yang terbilang cukup singkat, dia sukses membuat Royal Ulfa pingsan. Kadang, ngeri juga kalo dikira-kira.
Hasil latihan keras yang selalu dilakukannya berbuah manis. Gw masih ingat jelas, pas dulu Elka kasih latihan neraka 6 bulan sebelum lulus dari Ranger Corps. Ugh, latihan yang bikin gw berharap ga pernah dilahirkan.
Ga cuma latian fisik, bicara soal cara menembak, Elka juga pernah mengajari gw untuk jadi lebih baik pake busur. Kala itu, kami masih Kadet tahun pertama di Korporasi. Seperti yang pernah gw bilang, gw bukan penembak jitu. Tapi kalo masalah habiskan amunisi, boleh diadu.
…
-4 tahun lalu-
…Bellato’s Headquarters, Ranger Corporation’s Shooting Station…
Matahari Novus yang indah udah terbenam, langit mulai tertutup kegelapan dari ujung cakrawala. Dua Satelit alam Novus mulai menggantikan matahari, ditemani milyaran titik kecil kelap-kelip di seluruh angkasa. Udah ga ada satu orang pun di tempat latihan menembak milik Korporasi, selain gw. Memutuskan untuk tinggal lebih lama, supaya dapat waktu ekstra buat latihan.
Beberapa minggu lalu, kami diperkenalkan tentang cara penggunaan berbagai senjata jarak jauh. Dan udah beberapa hari belakangan, porsi latihan berkutat di busur dan panah. Coba tebak siapa yang punya skor paling buruk? Yup, seorang pecundang bernama Lake Grymnystre.
Bayangkan aja, dari sekian banyak percobaan, tembakan gw ga ada yang kena target! Faak! Emang gw segitu buruknya, apa?
“Kampreeet!” Sangking kesalnya, mulai membabi buta. Mulai menembak secepat yang gw bisa. Terasa sentakan adrenalin mengalir di sekujur lengan, sampe ke ujung jari. Lusinan anak panah meluncur ga beraturan tanpa jeda. Berharap ada satu aja yang kena sasaran.
“… Stop,” suara perempuan menegur gw. Suara yang ga asing sama sekali. Gw berhenti melakukan tembakan, menoleh untuk liat sosoknya bersandar di pintu masuk. Berambut coklat diikat ekor kuda, dengan poni panjang sampe tutupi mata kanan, “lu bukan senapan mesin,” katanya.
Sedikit kaget, soalnya gw kira dia udah balik ke Mesh. Gw tanya, “Ngapain ke mari?”
“Cari elu lah,” dia menghampiri gw, “tadi gw ke kamar lu. Tapi pas masuk, ga ada orang.”
Oh ya, gw ga bilang-bilang mau tetap di sini sih. Harusnya tadi- Eh… tunggu… “Gi-gimana bisa!? Kartu pass-nya kan ada di gw!?”
“Udahlah, ga begitu penting lagian.” Ucapnya santai. Kaya ga punya dosa… astaga. “… Ngomong-ngomong-“
“Iya, paham. Ga tau kenapa, gw merasa ga bisa bidik target dengan tepat.” Sambar gw sebelum dia selesai bicara. “Makanya gw berpikir, mungkin bakal lebih baik kalo asah kemampuan menembak cepat ini.”
“… Ga ada gunanya lah,” kata si perempuan berambut coklat, “liat tuh,” dia menoleh ke arah target latihan tembak jarak menengah. Mata gw mengikuti arah pandangnya, “rentetan tembakan lu berhasil kena apapun… kecuali bidang sasaran.”
Lusinan anak panah hasil tembakan gw menancap di langit-langit, di permukaan lantai, maupun di beberapa titik tembok. Tapi, kaya Elka bilang, ga ada satupun yang menancap di target. Gw berusaha mengelak sambil garuk-garuk kepala, “Ahha, yaaa… baru tau kalo gw bisa melakukan tembakan cepat hari ini, jadi… ehm… masih harus dipoles.”
“Seenggaknya latihlah akurasi lu!” Elka menyalak sambil memijit kening sendiri, “buat apa menembak secepat itu, kalo ga ada yang kena!?”
“Kalo gitu ajarin dong. Kasih tips dan trik, atau apa kek gitu,” rengek gw padanya.
Ranger perempuan itu terdiam, lalu melangkah ke bagian slot penyimpanan senjata, dan mengambil sebuah busur beserta beberapa anak panah. Setelah itu beranjak ke spot kosong di sebelah gw.
“Oke, gw akan kasih beberapa tips,” ucapnya, “lu harus tau beda busur dan senjata api itu sangat jauh. Gw perhatikan, lu lebih suka busur. Kenapa?”
Sejenak, gw amati busur di tangan kiri, “… Senjata api terlalu berisik. Gw ga suka.”
“Hmpfft,” dengar jawaban barusan, dia langsung tahan ketawa.
“Apa?” tanya gw menyelidik, “ada yang aneh?”
“Gak. Jawaban itu emang cocok kalo keluar dari mulut lu.” Elka malah senyam-senyum. Pasti dia merasa jawaban gw aneh, “Oke, dengar ya. Gw udah bilang, lu bukan senapan mesin. Dan busur jelas bukan senjata api. Makanya, cara menembaknya pun ga bisa disamakan.”
“Penggunaan busur harus dilakukan secara tenang, nyaman, dan rileks,” dia berdiri sedikit menyamping. Posisi kaki selebar bahu, keliatan anggun dan keren, “kalo senapan mesin bisa membredel sasaran puluhan kali perdetik,” tangannya mulai memasang panah pada string busur dengan 3 jemari menarik string. Telunjuk, tengah, dan jari manis. Tarikan tersebut dilakukan sepanjang mungkin, sesuai panjang lengannya, “busur ga mungkin bisa begitu, tapi,” matanya tajam, fokus ke target. Tangan kiri yang pegang busur diluruskan ke depan, guna menghindari sabetan string, dan supaya laju panah lurus sesuai bidikan, “berpotensi buat melancarkan serangan kritikal dari balik kesunyian,” ketiga jemari yang memegang string, lepas dengan santai. Secara ga langsung, string busur menyentak dengan sendirinya. Seluruh anggota tubuh Elka tetap diam sampe panah kena sasaran, tepat di tengah.
Gw tau yang dilakukannya tadi adalah dasar-dasar memanah. Pernah juga diajarkan oleh instruktur pada para kadet lain, tapi karena Elka menguasainya dengan sangat baik, gerakan dasar pun jadi keliatan super mantap. Gw menyadari sesuatu, selepas tembakan tadi, dia ambil selangkah mundur. Jadi gw tanya, “Kenapa mundur?”
Dia tersenyum tipis, “Karena gw berhasil,” seraya menunjuk kearah target, “ini tipsnya; kalo lu gagal di percobaan pertama, berdiri lebih dekat, dan tembak lagi. Kalo lu berhasil, ambil selangkah mundur, dan tembak lagi.”
Gw terdiam sebentar. Menunggu. Barangkali ada tips lain yang mau disampaikan. Tapi udah beberapa saat, ga ada lanjutan dari kalimat itu. Intinya, tembak lagi, dan lagi, “Udah? Gitu doang?”
“Ya. Dalam melakukan segala hal, ga ada yang lebih baik dari benar-benar menguasai dasar-dasarnya. Mungkin terlihat sepele dan membosankan, tapi hasilnya bisa jadi di luar dugaan,” ucap Elka, seraya ambil sebuah anak panah lagi, “perbanyak latihan sampe tubuh lu ingat apa yang harus dilakukan tanpa dikasih perintah. Jadilah busurnya, rasakan anak panahnya. Dengan begitu, lu bahkan bisa menembak tanpa harus liat target,” alih-alih fokus ke target, kali ini dia malah menatap mata gw, dan… melepaskan anak panah.
Mata gw langsung liat ke arah target lathian. Perempuan ini benar-benar melakukannya! Kemudian, balik menatap Elka. Jelas gw tertegun sejenak menatap mata coklat itu, “Pidato yang keren, tapi lu meleset.”
“Akkh!” Pekik Elka, setelah liat hasil tembakan tadi. Ternyata melenceng jauh dari sasaran. Haha, lucu juga ekspresinya. “… uhhh, masih harus latihan lagi,” tetiba, moodnya berubah jadi lesu-lesu gitu.
“Hahaha,” gw jadi ketawa lepas, “tapi makasih lho, tipsnya.”
.
.
Sejak itu, gw praktekkan ajaran Elka dari hari ke hari. Dan kemampuan memanah gw mulai meningkat. Ga jago-jago amat sih, tapi ga cupu juga. Di pertengahan aja, haha.
“Ahh, berikutnya giliran buff hoki lu, bukan?” Pertanyaan Elka bikin lamunan gw buyar.
“Ehm, iya-“
“Buff hoki…?” Sabilla jadi penasaran juga. Duh, kenapa sih, Elka ga bisa berhenti menyebut Wizard berambut pink itu dengan ‘buff hoki’?
“… Salah satu teman gw, Meinhalom namanya.” Gw menjelaskan.
“Wow, kamu kenal Meinhalom?” Si Infiltrator berambut putih, tampak sedikit kaget, “Si Mempelai Wanita Sang Lidah Api?” terkenal juga ya dia.
“Uhm, ya, kami pernah kerjasama pas misi ekspedisi Ether,” Jawab gw, mengingat kembali peristiwa yang gw lalui bersama Mein. “kenapa keliatan kaget gitu?”
“Yaah, ga nyangka aja, ada orang selain Royal Oritzi yang bisa berinteraksi dengannya,” Wuut? Serius? “dia selalu menghindar dari kita-kita yang pengen kenalan,” ahaha, tipikal Mein banget emang.
Di kepala gw, tergambar adegan fiktif saat dimana Sabilla yang ceria, mencoba berkenalan dengan Meinhalom, tapi gagal karena orangnya udah keburu panik, terus kabur mencari Oritzi.
“Oke, Bung Kus! Kita sudah semakin mendekati puncak festival! Duel kali ini, melibatkan lulusan terbaik kedua, jebolan Spiritualist Akademi! Satu-satunya Wizard yang hanya menguasai satu Force, namun memiliki segudang mantra berdaya hancur besar! Meinhalom Zildaz!”
Setelah disebut namanya, Mein tampak memasuki arena. Tapi, langkah perempuan pemalu itu keliatan ragu. Kepalanya celingak-celinguk, kaya orang lagi gelisah. Hmm, apa ada sesuatu yang bikin dia ga tenang? Perasaan, sebelumnya dia ga begitu.
“Cukup menarik di sini, Bung Binder. Karena yang akan jadi lawannya adalah skuad leadernya sendiri. Seorang Armor Rider dari salah satu tim yang tergabung dalam Divisi ke-4 Artileri, Oritzi Istoris. Dia adalah pilot tangguh, Bung. Terbukti dari keberhasilannya bertahan sejauh ini tanpa MAU.”
Kemudian, seorang lelaki berambut cepak burgundy dengan tekstur kasar, melangkah tenang. Jadi… kali ini dia akan melawan Oritzi, ya? Seru juga nih. Penasaran apa yang bakal dilakukan Mein untuk menghadapi orang yang paling dekat selama ini.
Saat mereka berdua berhadapan, raut muka Meinhalom makin ga karuan. Dia menggenggam tongkat berwarna merah bercorak kuning di depan dada, dan memalingkan wajah ke sisi kanan.
“Kedua peserta, harap mendekat, dan saling beri hormat!” Seru Conquest Borr, memberi instruksi. Dan Reaksi Meinhalom tambah pucat, plus gemetar.
Oritzi, yang sadar akan hal itu, langsung mengangkat tangan pada Conquest Borr, “Minta waktu sebentar, Conquest.” Lalu ia berlari kecil menuju Wizard yang hampir menangis.
Si Armor Rider berambut burgundy sekedar menatapnya, lalu mendekatkan telinga pada si Wizard. Meinhalom berjinjit, membisikkan sesuatu ke telinga Oritzi. Sesuatu yang mengejutkan kayanya, kalo diliat dari reaksi pria itu.
“Kenapa harus bisik-bisik dulu sih?” Celetuk Elka.
“Mana gw tau.”
Abis terkejut, Oritzi langsung tersenyum lembut sembari mengusap pucuk kepala pink Mein, lalu berpaling pada Conquest Borr. “Saya mengundurkan diri, Conquest.”
Mulut gw ga bisa menutup, kelopak mata terbuka makin lebar dengar kalimat itu. Yang benar aja! Belum mulai, kok udah mundur!? Ada apa ini!?
“Hah? Hah? Hah? Kenapa, kenapa, kenapa?” Sabilla juga mulai bertanya-tanya.
Jawaban yang sama seperti tadi gw kasih, “Mana gw tau!”
Desas-desus penonton juga mulai meningkat akibat tindakan Oritzi. Mereka semua terheran. Ga ada satupun yang mengira hal ini.
“… Apa anda yakin, Oritzi Istoris?” Conquest Borr memastikan sekali lagi. “Keputusan hasil tidak akan bisa berubah lagi setelah saya umumkan.”
Meinhalom tertunduk, menarik-narik lemah ujung jersey yang dikenakan Oritzi, seolah pengen mencegah, tapi ga mencoba yang terbaik untuk mencegah. Si Armor Rider yang lebih senior, menoleh sekali lagi pada Wizard di belakangnya, dan berkata mantap, “Yakin!”
“Baiklah, Pemenang duel ketiga putaran 8 Besar; Meinhalom Zildaz!” teriakan Conquest Borr menggema. Agaknya, ga sedikit dari penonton yang kecewa karena duel selesai sebelum dimulai. Tapi gw yakin, pasti mereka punya alasan sendiri. Alasan yang mungkin ga kan bisa dipahami orang lain.
“Apaan tuh? Ampas amat.”
“Dih, menyerah? Gitu aja? Ga laki.”
“Sebenarnya mereka niat ga sih, jadi peserta?”
“Triplek bangunan setengah jadi, bisa-bisanya lolos sampe raungan ketiga.”
Cemoohan terdengar di sekeliling gw. Orang-orang seenaknya menilai, dan menghina, tanpa tau ada makna apa dibalik hal tersebut. Kesal sih, tapi gw juga ga tau apa yang lagi terjadi, sehingga ga bisa berbuat apa-apa untuk sekedar membela.
“Wooo, ga seru ah! Kami menuntut aksi!” Elka ikutan menyoraki kedua peserta yang jalan keluar arena bersama. Wei, wei… kenapa lu?
“Ahh, tampaknya duel sama sekali tidak berjalan sesuai yang saya perkirakan, Bung Binder.”
“Wahaha! Tentu, Bung Kus! Tiada diantara kita yang mengira, akan berakhir sebelum mulai! Tapi itulah festival olahraga! Hal tidak terduga, selalu menunggu di tiap putaran! Yang terjadi, biarlah terjadi. Kalau begitu, untuk sedikit mengobati rasa kurang puas, langsung saja kita beri, duel antara Baydzofi Hardji melawan Rokai Leiten!”
Dan di sanalah mereka, memasuki arena bersamaan, membawa persenjataan masing-masing. Rokai cuma bawa sebuah tongkat, sedangkan Dzofi… hmm, sedikit lebih rempong. Dia masih memakai alat yang disebut Gravity Nullifier di tangan kiri, dan di tangan kanannya, kini terpasang sarung tangan lain. Bentuknya hampir mirip, cuma beda warna. Kalo Gravity Nullifier berwarna coklat terang, dengan suatu bulatan yang mengeluarkan sinar biru muda spiral di tengah, yang ini punya warna lebih gelap. Tapi memiliki sinar spiral yang sama.
“Peralatan aneh apa lagi itu?” Batin gw bertanya. Di pinggangnya, terdapat dua tas kecil. Entah isinya apa, gw cuma bisa tebak-tebak.
“AYO DZOFI! KAMU BISA!” Teriak Sabilla memberi dukungan.
“Wauw, teriakan yang bagus.” Celetuk gw, usai dengar semangat Sabilla.
“Hehe, harus dong! Biar perasaanku sampe ke dia.”
Sirat ketegangan, tergambar di wajah si Armor Rider berambut hitam. Sangat berlawanan dengan ketenangan yang dipamerkan lawannya. Tapi biarpun tegang, gw yakin, dia lagi berusaha menelan mentah-mentah perasaan tersebut, dan mencoba kasih liat sedikit keyakinan buat berdiri di hadapan calon Holy Chandra terkuat sepanjang sejarah Federasi.
Tapi, apa lu bisa merasakan itu, Dzo? Masih ada orang yang mendukung di belakang lu. Ga cuma Sabilla, gw juga. Jangan setengah-setengah! Lakukan yang terbaik buat kalahkan dokter sinting itu!
“Kedua peserta, silahkan saling beri hormat!” Perintah Conquest Borr.
“Heyy, Sab… apa lu tau, peralatan apa yang dia pake di tangan kanan?”
“Mm? Hmm… Aku ga begitu ingat. Padahal kalo ga salah, dia pernah kasih tau.” Jawab Sabilla, agak ragu. “Sesuatu yang berhubungan dengan Gravitasi gitu deh.”
Gravitasi? “… Nullifier?”
“Bukan. Kalo itu, yang dia pake pas raungan kedua. Yang bikin kita bisa lompat tinggiii banget,” Infiltrator berambut putih, lanjut menjelaskan pake gaya menggemaskan, “yang itu pasangannya, Gravity apa gitu.”
“MULAI!” Seruan tanda dimulainya duel, otomatis membuat perhatian kami kembali ke arena.
Dan segera setelah Conquest Borr berseru, Dzofi ambil inisiatif serangan. Maju menerjang sesigap mungkin. Rokai ga bergerak. Tangan kirinya, begitu cepat diselubungi warna oranye, dan langsung melancarkan mantra Force api yang sering dia pake, “Ignite!”
Gumpalan api meluncur deras ke arah Dzofi, dan meledak ketika membentur lawan, menghasilkan suara keras dan dorongan kuat. Si Armor Rider hanya mampu menyilangkan tangan di depan wajah buat bertahan. Tapi sekali lagi, gumpalan oranye udah berada di depan matanya, “UGH!”
Kedua kalinya suara ledakan tercipta, disertai asap dan debu beterbangan di dalam arena.
“Ignite!” Tanpa ampun, si Holy Chandra terus menghujani lawannya dengan mantra ledakan api. Biarpun Dzofi berusaha menghindar ke samping, tapi Rokai sigap mengikuti pergerakannya, dan sekali lagi, “Ignite!”
KABOOM!
Dzofi terus berlari, mencari celah dan cara untuk bisa dekati Rokai. Tapi, si Holy Chandra terasa begitu susah didekati. Soalnya begitu Dzofi coba menerjang, segumpal bola api langsung menyambut, diiringi ledakan lagi setelahnya.
Duel ini keliatan berat sebelah akibat Rokai yang terus-terusan menyerang, dan ga berbalas dari sang lawan. Dzofi belum bisa melancarkan serangan, baru sebatas manuver menghindar.
“Dzofi…” bisik Sabilla di sebelah gw. Kedua tangannya berpagut satu sama lain. Berharap Dzofi baik-baik aja. Mukanya keliatan cemas betul.
Sebenarnya, Dzofi punya satu kesempatan menang. Kalo aja dia bisa menyentuh Rokai dengan tangan kiri, dan menghilangkan Gravitasinya, udah jelas keadaan bakal lebih gampang. Kaya yang dia lakukan ke Royal Ulfa pas coba merebut headband gw.
Mungkin Dzofi tau akan hal itu, makanya dia menunjukkan cara serang yang terbilang ngotot dan nekat.
Ga ada suara lain, selain ‘KABOOM, BUMM, DUAAR’, yang memenuhi arena. Rokai benar-benar ga tunjukkan keraguan! Tapi… ada satu kejanggalan yang terpikir di benak gw, “Kenapa cuma pake Force api?” Terlebih lagi, dari tadi mantranya ga ganti-ganti. Ignite terus.
Permukaan arena mulai keliatan ga rata, dan berlubang di sana-sini akibat diledakkan si dokter sinting. Napas Dzofi terengah, dan mulai bersimbah peluh. Kali ini, gantian Rokai menerjang ke titik Dzofi berdiri, kemudian melompat sedikit.
Dia menarik tangan kiri ke belakang, tongkat masih pasif di tangan kanan, selimut api membungkus lengannya, dan dia berseru kesekian kali, “Ignite!”
Di antara ledakan yang udah terjadi, kali ini paling besar. Bebatuan kecil, retakan tanah, dan debu langsung berhamburan.
Untungnya, Dzofi masih bisa bereaksi, walau kelelahan. Dia melompat mundur, dan menjauh. Ambil napas untuk pulihkan tenaga.
“Apa dia meremehkan Dzofi?” tanya Elka, di tengah duel ga imbang. “Dia Spiritualist yang menguasai semua Force, kan? Cuma pake satu Force pas duel, bisa dibilang dia ga serius melawan.”
Gw agak terganggu juga akibat pertanyaan tersebut. Apa iya, Rokai kaya gitu? Bukannya sok bisa baca pikiran, malah, menebak-nebak jalan pikiran pemuda itu hampir mustahil. Tapi masalahnya, sorot mata tersebut, bukan sorot mata meremehkan orang lain.
Rokai melangkah, mendekati Dzofi, dan mendadak melancarkan serangan yang sama lagi. Si Armor Rider kembali mengangkat kedua lengan untuk berlindung, “Uhuk, uhuk…” dan terbatuk karena asap ledakan.
“Ohoho, Rokai Leiten sama sekali tidak menunjukkan belas kasih, Bung Kus! Membombardir Baydzofi Hardji dengan banyak ledakan, menyudutkan sampai sejauh ini! Aliran duel ini, benar-benar berpihak pada Rokai. Kelihatan sekali.”
“Setuju, Bung Binder. Baydzofi jelas kesulitan menghadapi lawan macam Rokai Leiten. Dari awal, memang sudah jelas tidak berimbang. Satu-satunya cara agar duel ini imbang, seharusnya Armor Rider diperkenankan menggunakan MAU.”
“Kalau sudah begitu, bukan festival lagi namanya, Bung Kus! Bukan Festival lagi!”
“Ah, anda benar juga, Bung Binder.”
Walau begitu, Dzofi belum lempar handuk putih. Dia masih berdiri, dan ga ada tanda-tanda bakal mundur. Rasa optimis, serta tekad yang kuat, masih berkobar di mata Armor Rider itu. Di tengah kepulan asap, dan debu, dia mengusap sedikit keringat. Ga menghiraukan memar dan luka yang dihasilkan mantra api sang lawan.
Sayup-sayup penonton di sekitar gw pun, mulai berpikiran sama. Dan mulai keluarkan komentar racun.
“Oii, oi… apa ga lebih baik menyerah aja sekarang? Daripada dijadikan bulan-bulanan.”
“Ahha, mau gimana lagi? Apes sih dia, lawannya Rokai.”
“Pemandangan yang kurang enak diliat ini sih.”
Sabilla terlihat jengkel akibat komentar-komentar ga bertanggung jawab tersebut. Tangannya meremas baju ruang perawatan yang ia kenakan, sambil gigit bibir bawah menggemaskan.
Di lain sisi, gw liat Rokai, masih tenang dan tajam. Dengan ekspresi datar dan serius, “Gw rasa, dia ga meremehkan Dzofi sama sekali,” ucap gw, balas kata-kata Elka tadi.
Rokai emang suka arogan, sadar kalo dia jenius, dan berkemampuan hebat, kadang suka menyombongkan diri dengan cara menyebalkan di depan gw. Tapi… kalo lagi tarung, dia bukan tipe orang kaya gitu. Fokusnya, determinasi, menekan lawan secara ga langsung, sekuat mungkin. Dia ga pernah menahan diri. Di balik ledakan itu, ada seorang pria yang siap melakukan hal gila buat hancurkan lawan, ga peduli siapapun.
“Justru sebaliknya, dia menganggap Dzofi sebagai pesaing. Itulah kenapa, dia ga tanggung-tanggung. Ga kasih celah sedikitpun bagi Dzofi untuk balik menyerang.” Gw berpendapat. Tapi, sekedar asumsi doang. Ga bisa berspekulasi lebih jauh, “Emang, dia cuma pake satu mantra, tapi satu mantra itu bahkan lebih kuat dari beberapa mantra dari Spiritualist berkemampuan rata-rata,” dan bisa jadi, dia lelah abis melakukan mantra es Ulkatoruk di duel pertamanya lawan Alecto.
“HEEAA!” Sementara serangan Rokai makin gencar, ga bikin Dzofi patah arang! Dia kembali maju, serangan frontal dari depan, gigi menggertak, membelah kepulan asap di antara debu dan pasir. Ga diduga, Rokai ikut melesat maju, mengonsentrasikan Force di sekujur lengan kiri. Mereka akan saling beradu!
Mantra Ignite kembali hasilkan ledakan besar! Tepat di depan muka Dzofi, asap dan udara panas langsung mengebul! Oh, shite! Bisa gosong tu anak!
Sabilla menjerit, dan bangkit dari tempat duduk. “DZOFI!”
Tapi, kecemasan itu hilang begitu liat Rokai cuma meledakkan sepotong jersey. Ya, entah gimana caranya, dalam jarak sesempit itu, Dzofi berhasil melepas jersey yang ia kenakan dan menghindar ke samping.
Tangan kanan Dzofi meraih tas di pinggangnya, dan keluarkan beberapa bola kecil terbuat dari alumunium. Dia lompat untuk menjangkau tubuh si Holy Chandra, dan melempar bola-bola tersebut padanya. Ayo, Dzo! Tunjukkan ke mereka! Buat mereka makan kata-kata mereka sendiri!
Mendadak, bola alumunium yang dilempar si Armor Rider, keluarkan ledakan kecil! Kepulan asap langsung membungkus seluruh arena, halangi pandangan para penonton. Gw juga udah ga bisa liat apa yang terjadi di balik asap bergulung-gulung itu.
Di dalamnya, tiga ledakan lagi terdengar. Entah apa penyebabnya, apakah mantra Ignite, atau hal lain. Gw sama sekali ga bisa pastikan. Cuma kilatan kecil yang keliatan, semacam sekelebat cahaya yang dihasilkan ketika granat meledak.
“Death Gale!” Sontak, angin kuat berhembus dari arena, bikin asapnya tersingkir! Kami jadi kembali bisa liat kelanjutan duel ini. Rokai berdiri, memutarkan tongkatnya ke sekeliling. Dan yang bikin gw tercengang, keliatan luka-luka bakar di lengan Si Holy Chandra, serta kaki. Dan di sekitar kakinya, terdapat 3 lubang kecil yang dangkal, tepat di mana gw liat sekelebat cahaya tadi.
Setelah merapal mantra Force angin, dia menoleh ke sisi kanan seraya serabut, dan tumbuhan hijau, langsung muncul dari tanah. Menjalar melalui kaki, dan menuju kedua lengannya yang terluka. Membalut luka-luka yang terdapat di kaki, lengan, dan bagian tubuh manapun, bak pengganti perban, “Lumayan, Specialist. Tapi belum cukup.”
“Ahaha, gw tau… menghadapi lu itu susahnya bukan main,” dari balik kepulan asap tersisa, Dzofi berdiri, dengan tangan kiri terangkat tinggi. “Bahkan buat mendekat aja, keliatan mustahil,” bercak darah dan debu bercampur di tubuhnya, menodai kaos dalaman putih, dengan noda tanah, “makanya, gw akan coba segala cara yang terpikir di kepala untuk menjatuhkan lu… Rokai Leiten.”
Sisa asap yang masih ada di arena, perlahan memudar. Kasih liat pemandangan yang bikin kita tercengang! Pecahan-pecahan batu berbagai ukuran, mulai dari ukuran kerikil sampe lumayan besar akibat dari rentetan ledakan kreasi Rokai, melayang di atas kepala si Holy Chandra!
Jangan-jangan, itu emang rencananya dari awal! Lari-larian tanpa pola jelas, dan dari serangannya yang terkesan nekat… rela terus dibombardir, demi satu kesempatan ini? Bukan untuk menyentuh tubuh Rokai?
“Izinkan gw berbagi sedikit info, Gravity Nullifier adalah salah satu penemuan kebanggaan gw, yang udah di-acc Maximus Khortenio…” Ujar Dzofi, sambil kasih senyum percaya diri. “… alat ini berfungsi untuk hilangkan gravitasi dari benda apapun yang gw sentuh…” tangannya yang satu, menunjuk ke sarung tangan di tangan kiri, “… dan yang ini, Gravity Grip…” dia tunjukkan tangan kanannya pada sang lawan.
Rokai mendongak untuk liat bongkahan-bongkahan batu melayang, siap menimpanya kapan aja. Tapi tetap tenang, dan ga bereaksi berlebihan.
“… fungsinya agak berlawanan dari gravity Nullifier…” Lanjut Dzofi, “… dengan ini, gw bisa melipat-gandakan gravitasi…” Tangan kirinya diturunkan, gantian tangan kanan yang terangkat. Di udara, dia mengepalkan telapak tangan, lalu melakukan gerakan membanting! Seketika, semua bongkahan batu yang melayang, jatuh serentak! Hendak menimpa Rokai yang belum bergerak sama sekali! “… oh ya, ini masih purwarupa.”
Bagus! Kalo ini berhasil, dia pasti menang! Memanfaatkan celah diantara kelengahan lawan yang mungkin ga nyangka langkah inilah bakal jadi penentu hasil duel!
“Saat raungan kedua, gw ga perhitungkan lu, sehingga lu punya kesempatan buat ambil headband. Tapi gw janji ga akan melakukannya lagi, supaya siap menghadapi segala macam siasat yang mau lu lakukan.” Rokai berkata, “izinkan gw berbagi sedikit info, Specialist…” dia memindahkan pandangan pada Dzofi, “… butuh lebih dari tanah dan batu, untuk menjatuhkan gw,” bongkahan-bongkahan batu berbagai ukuran tersebut mendadak berhenti di udara begitu aja, pas jarak tinggal beberapa inci di atas kepala Spiritualist berambut hitam! Seolah ada sesuatu ga kasat mata yang menghalau lajunya! “gw harap lu ga lupa, lagi berhadapan dengan Spiritualist yang bisa manipulasi semua Force elemen.”
Reaksi gw udah ga jauh beda kaya Dzofi. Terbelalak ga percaya.
“Si-sialan!” Seru si Armor Rider, meluapkan rasa frustasi ke bawah, sembari tertunduk dan memegang kedua lutut. Gimana ga frustasi? Abis Semua usahanya untuk melakukan satu kesempatan serangan, dipatahkan tanpa kesulitan sama sekali. Kaya bukan Dzofi, bisa luput tentang kemampuan Rokai, “Sialan! Sialan!”
“Ignite; Raze.” Dengan satu sapuan tangan dari bawah ke atas, Rokai mengirimkan banyak gumpalan api, untuk meledakkan semua batuan melayang, sekaligus! Batu-batu tersebut terurai bentuknya menjadi serpihan, dan butir debu yang jatuh ke tempat di mana seharusnya mereka berada.
Emang deh itu orang, paling jago kalo masalah memupuskan perjuangan lawan.
“Sekak mat, ya?” Gumam Elka.
“Ugh… Dzo…“
“Belum…” tukas Sabilla pelan, “… Belum.”
Si Armor Rider udah kehabisan napas. Capek, dan sakit terbakar terus. Apalagi, liat luka-luka Rokai udah tertutup pelan-pelan, abis dibalut akar menjalar… bikin semangatnya makin redup, pasti.
“Tegakkan badan lu, Hardji!” Rokai berseru pada Dzofi yang tertunduk, sembari menyalakan kembali api di tangan kiri. “Duel kita, BARU DIMULAI!” Keras kata-kata itu, menusuk telinga.
Bagi dia, iya baru mulai… lah buat Dzofi, ya kali. Dia udah coba kemampuan terbaiknya dari tadi, dan bisa dibilang kehilangan kesempatan buat menang. Bukannya itu agak berlebihan? Bahkan, Rokai ga tau kan, lawannya masih bisa melawan, atau enggak?
“Ga perlu dikasih taupun, gw tau… ini belum selesai.” Dzofi kembali angkat kepala! Urung untuk menyerah! Gokil juga tu anak. Si Armor Rider mulai melangkah, dari jalan, jadi lari. “Gw ga akan menyerah, GA DI SINI!”
Rokai ga beranjak, biarkan Dzofi yang datang menghampiri, bersiap untuk meladeni. Barangkali bakal selesaikan dengan satu serangan berikut. Force oranye kembali berkobar di tangan kiri Rokai. Tapi sayang, belum juga sampe di hadapan lawan… lutut Dzofi menekuk, keseimbangannya goyah. Alhasil, tubuhnya tersungkur 2 meter di depan Holy Chandra berambut hitam.
Dia jatuh dalam keadaan tengkurap, “Uugghh!”
Api yang udah tersulut, tinggal menunggu dilempar, padam kembali diantara ruang kosong. Rokai batalkan niat menyerang. Kayanya, dia sendiri ga menyangka hal ini bakal terjadi. Terlihat dari keterkejutan di garis wajah.
Liat salah satu peserta terjatuh, Conquest Borr berniat mengumumkan hasil duel dengan segera, “Baydzofi Hardji-“
“S-saya masih bisa lanjut!” Langsung dipotong oleh yang bersangkutan, “duel ini, belum selesai… ga akan selesai… sampe di sini…” Dzofi masih berusaha keras buat bangkit, menopang badan pake kedua tangan yang udah gemetaran. Napas udah pendek ga beraturan, terengah parah. Badannya terangkat sedikit, tapi kemudian langsung tumbang lagi, “Aargh!”
“… Tapi kamu sudah jatuh, Baydzofi Hardji. Kalaupun masih kuat lanjut, kamu telah kalah,” kata Conquest Borr.
“Kkkhh.. saya.. saya cuma ga pengen berakhir memalukan begini…” Dzofi mengepal kedua tangan kuat-kuat, menggertak gigi, namun tetap menempelkan dahi ke lantai arena, belum mampu berdiri, “… saya cuma ga pengen kalah gara-gara keserimpet kaki sendiri.”
Dzo… gw tau, biarpun dia berusaha sembunyikan fakta kalo tubuhnya udah ga kuat, tapi dia tetap punya keinginan untuk terus maju. Dan di mata gw, itu bukan kekalahan yang harus dianggap memalukan.
“Baydzofi Hardji; Jatuh! Pemenang duel terakhir putaran 8 Besar; Rokai Leiten!” Akhirnya, pengumuman hasil absolut dari duel ini dikumandangkan. Rokai menang. Dan tanpa mengucap apa-apa, dia berbalik, langsung keluar arena. Dzofi ditandu keluar, dan ga pake lama, dibawa ke ruang perawatan.
“Aku mau tengok Dzofi dulu.” Sabilla berkata.
“Gw ikut, ya?” Dia mengangguk, tanpa balik badan. Ikut sekalian jaga Sabilla. Dititipkan sih, oleh kawannya.
Elka juga ikut berdiri dari bangku penonton, dan tepuk-tepuk celana di belakang paha, lalu ikut langkah kami ke ruang perawatan.
Di ruang itu, Dzofi terbaring sambil menerima perawatan luka bakar. Sabilla jadi pengunjung pertama yang masuk ke mari. “Hai, Dzofi.”
Dengar suara Sabilla, dia langsung tutup muka pake bantal.
“Lho, kok gitu? Nanti ga bisa napas,” kata Sabilla seraya menyingkirkan bantal tersebut.
“A-ah…”
Gw jalan ke sisi ranjangnya, dan bilang, “Perjuangan lu mantap banget tadi.”
“Lake…” dia menyebut nama gw dengan penuh kekecewaan. “… maaf, setelah obrolan kita di ruang ganti, gw kira bakal punya kesempatan menang. Yang ada malah… malu-maluin,” tangan kanannya menutupi dahi sendiri.
“Itu-“
“Enggak!” Baru mau menyanggah, Sabilla membentak duluan. “Kamu ga malu-maluin! Itu adalah duel paling keren yang pernah kutonton!” Wew, bisa bersikeras juga ternyata.
Dzofi terperangah, liat reaksi Sabilla. Sempat bisu beberapa detik, dan kedua pasang mata mereka bertemu, ga pake ngomong. Sadar kelamaan saling pandang, si Armor Rider memecah kebisuan, “M-ma… makasih, ya,” sembari buang muka, dan tersipu malu.
Sabilla juga, pipinya merona merah, makin menggemaskan aja deh, “I-iya.. sama-sama.” Udah sih, jadian sana… keburu ditikung orang nanti.
“Liat kan? Ga ada yang menganggap perjuangan lu memalukan, bro. Justru lu harus berbangga.” Tukas gw meyakinkan.
“Ahaha, tapi kalah tetap kalah. Selebihnya, gw cuma bisa menitipkan semangat ini pada lu.” Dzofi angkat tangan kanan, dengan telapak terbuka. “Janji ya, menang buat gw juga.”
Gw hela napas. Dia udah berusaha sekeras mungkin, tapi gagal. Benar kata Sabilla, itu bikin dia keliatan keren. Selanjutnya, gantian. Gw juga harus berjuang dengan segala yang gw punya. Membawa genggaman tangan gw padanya, dan mengucap satu janji, “Menang buat lu juga, janji.”
“Ha,” Elka, yang dari tadi diam di dekat pintu masuk, mulai bersuara, “janji yang manis. Bakal lebih manis lagi kalo gw patahkan di semi-final nanti.”
“Tsk. Lu tuh ya, hobi amat rusak suasana. Heran.” Omel gw. Eh, dia malah ketawa kecil.
Dzofi dan Sabilla, serempak menatap kami berdua. Terpaku, dan keheranan, “Semi-final?”
“Ya. Kenapa?” Elka balik bertanya, “ada yang salah?”
“Eh? … Emang kalian ga tau?” Sabilla menambahkan rasa penasaran gw. Ada apa dengan suasana membingungkan ini?
“Ehem… ga tau apa dulu nih?” Kata gw, sembari berupaya senyum maksa. Firasat mendadak jadi ga enak.
“Gini bro, ga ada yang namanya final, atau semi-final. Acara puncak raungan ketiga, disebut ‘Orang Terakhir Yang Berdiri’ … ” Oke fix, perasaan makin terganggu, “… di mana 4 orang yang lolos dari babak 8 besar, bakal berada di arena, dan bertarung satu sama lain dalam waktu bersamaan.”
“Haa. Jadi, ada kesempatan buat lawan mereka sekaligus? Seru nih,” Elka malah terdengar senang dan santai.
WUUUUUUTTTTT!? Gw langsung membeku di tempat dengar informasi dadakan tersebut. Masih tersenyum, tapi jerit panik dalam hati. 4 orang yang lolos dari babak 8 besar… berarti gw, Elka, Meinhalom, dan Rokai, bakal berada di arena, dan bertarung satu sama lain dalam waktu bersamaan? FAAAK! Dan gw kira, gw udah cukup apes harus lawan Elka, sekarang ditambah dua orang abnormal!?
Kenapa ga ada yang kasih gw lebih awal tentang hal ini!? Mati weh, mati!
“Fear is the easiest thing to be remembered by our brain.”
– Rokai (Ch. 23)
CHAPTER 36 END.
Next Chapter > Read Chapter 37:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-37/
Previous Chapter > Read Chapter 35:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-35/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list
Catatan Author:
Kemampuan menembak Lake sebenarnya parah, pake banget. Tapi makin membaik dari waktu ke waktu. Di chapter-chapter awal, biar kata kemampuannya pas-pasan, Lake sempat pake busur sebagai senjata utama. Dan saya emang sengaja ‘menyimpan’ kemampuan ‘Rapid Fire’-nya. Eh, ga taunya kelamaan disimpan, baru dijelaskan sekarang. Lake punya 5 indra yang lebih peka dari kebanyakan Bellatean. Karena pendengarannya peka, dia ga suka sesuatu yang terlalu bising, termasuk senjata api.
Meinhalom punya dua sisi berbeda, yang satu mengidap social anxiety. Artinya, dia selalu merasa takut, gelisah, dan uring-uringan kalo harus berinteraksi dengan individu di sekitarnya. Sangking gelisahnya, Meinhalom punya cara bicara yang terbilang aneh. Susunan dan pemilihan katanya ga biasa, dan tiap 3 kata, dia selalu kasih jeda (makanya saya sering menandakannya dengan koma (,) dan titik-titik (…) kalo ada bagian dialog Mein). Si Wizard cuma merasa aman dan nyaman, saat berada dekat dengan individu tertentu. Dalam kasus ini, kakaknya yang udah ga ada, dan Oritzi. Bahkan dia masih agak gelisah-gelisah unyu terhadap Lake. Yang satu lagi, The Flame’s Bride. Lebih pemberani, tegas, dan keras, cenderung mengekspresikan maksud lewat gesture dan raut muka, tapi ga pernah mengucap sepatah katapun, kecuali mantra yang akan dia pake.
Diantara ke-4 Force yang ada, Force Tanah (Terra) jadi favorit Rokai. Force Angin (Wind), favorit kedua. ‘Ignite’ adalah mantra Force api yang paling sering dia pake. Mantra itu cukup sederhana, cuma segumpal api yang dilempar sekuat tenaga, menghasilkan ledakan berdaya hancur lumayan besardan tenaga dorong pas menabrak sesuatu, atau sampe pada jarak tertentu.