LAKE CHAPTER 38 – THE LAST PERSON STANDING (PART 2)
 
                Lake 
Penulis: Mie Rebus 
Api Meinhalom menjalar, namun ga membakar tubuh sendiri. Nyala terang, dan sedikit bikin silau. Mata gw perhatikan dia sejenak yang lagi amati gerak-gerik dua lawan lainnya di arena ini, berdiri di hadapan kami. Terus, ikut-ikutan si Wizard, liat Rokai dan Elka.
Setelah terpental akibat mantra cincin api Meinhalom, ga ada tanda-tanda mereka bakal mundur, atau sekadar merasa gentar. Sebaliknya, malah makin terasa buas kayanya.
Jujur, agak lega Meinhalom bersedia bantu. Soalnya, gw ga bakal sanggup kalo harus hadapi mereka sendirian. Rokai dan Elka saling pandang, kemudian balik memandang kami. Dan keliatannya mulai paham dengan situasi yang terjadi. Pertandingan Royal Rumble, bakal mengarah jadi tag team. Dua lawan dua.
“Apapun yang mau lu lakukan, dia’mangsa’ gw,” kata Rokai pada Elka.
“Enggak, kalo gw yang kalahkan dia duluan,” oke, ralat, mata mereka bukan mengarah ke kami. Lebih tepatnya fix ke gw. Faak.
Abis bilang gitu, si Infiltrator berambut coklat langsung menerjang. Gw balik cara pegang pedang di tangan kanan, dan pasang kuda-kuda. Ga lupa rendahkan posisi berdiri, bersiap terima serangannya. Pertarungan gw dan Elka, bakal masuk ronde dua!
Ditandai benturan antar pedang di tangan kami.
Rrrrggh! Sakit akibat mantra Force angin Rokai yang pas kena bahu, kembali terasa menyengat gegara adu tenaga!
Gw coba balas serangan, gerakan menusuk pake pedang di tangan kiri. Tapi sial, dia bisa baca niat itu! Elka sedikit turunkan posisi bahu yang jadi target tusukan, lalu sigap arahkan moncong pistol tepat ke bilah pedang berwarna merah dari bawah.
“Ugh!” Satu peluru dimuntahkan oleh handgun tersebut. Tangan gw jadi menyentak ke atas, soalnya ga siap tahan gaya ledak tembakan Elka. Celah di pertahanan gw pun terbuka! Dan Elka ga buang kesempatan buat sabet pedangnya secara diagonal, sukses gores luka lumayan panjang di dada.
Jersey putih dan base layer hitam yang gw kenakan jadi sobek juga. Untungnya dalam keadaan hilang keseimbangan, gw masih sempat mundur, bikin sabetannya ga terlalu dalam.
Dia ga berhenti di situ. Mata coklat Elka masih menyorot tajam, ga lepas ‘mangsa’ di depannya begitu aja. Pedang itu kembali menari di hadapan gw. Faak! Gerakan perempuan ini gesit amat! Untuk antisipasi serangan-serangan yang datang aja, gw harus susah payah. Padahal, dia cuma pake satu tangan buat ladeni permainan dual pedang!
Gigi ini merapat, dan ludah yang terkumpul di dalam mulut, reflek tertelan. Gila ini anak! Terus aja memojokan gw. Kalo begini, posisi gw benar-benar ga untung banget.
Sesekali gw coba menghindar. Hitung-hitung hemat tenaga. Capek juga nangkis mulu karena harus sigap ikuti pergerakan Elka yang ga karuan.
Di saat fokus pada gerakan-gerakan tangan kirinya, tau-tau, ujung handgun si Infiltrator udah menempel di bahu gw! Tepat di titik yang sama di mana kena serangan Rokai tadi. Sialan! Ternyata permainan pedangnya itu dipake buat pengalihan!
Nyaring suara senjata api, ga terhindarkan. Elka sama sekali ga ragu tarik pelatuk.
Sesaat sebelum itu terjadi, tangan kiri gw sukses mendaratkan tinju sekuat tenaga buat ubah arah bidikan senjata itu. Terhindar dari laju peluru sih emang, tapi bagian nyeri akibat patah jari kelingking, jadi kena imbasnya, “ARRGH!”
Yah, mau gimana? Namanya ga sempat mikir, hal itu terjadi begitu cepat. Elka sampe tersentak, dan handgunnya terlepas. Tapi, dia langsung cengkeram erat pergelangan tangan kanan gw untuk tahan pergerakan apapun yang bakal gw lakukan.
Pedangnya kembali menghujam tubuh gw. Sialan! Masih ngotot ternyata! Lagi-lagi harus tahan hujaman Elka dengan pedang satunya yang masih terbebas. Sekarang, kita sama-sama saling mengunci dalam posisi rada canggung.
Bahu kami saling bersinggungan. Saling dorong, berusaha menekan satu sama lain, sekalian berusaha lepaskan diri pas ada kesempatan.
“Gw ga nyangka lho, lu bakal melakukan itu buat terhindar dari tembakan,” ujar Elka ketika kami lagi saling dorong.
“Gw juga ga nyangka, lu bakal nembak teman lu sendiri!” balas gw rada sewot, “kenapa lu berusaha keras buat bunuh gw!?”
“Ga sampe bunuh juga, wey! Ya… paling pingsan lah… plus bonyok dikit.”
“Wuutt?!”
“Pokonya, ini demi kebaikan lu! Kalo lu kalah dari gw, seenggaknya lu ga perlu berhadapan lawan Rokai.”
Waduh, benar-benar dah ini anak. Ya kali, itu alasan yang cukup ga masuk akal. Dan gw jengkel karena dia ga tepati ucapannya sebelum duel dimulai, “Hey! Lu bilang, ga bakal ganggu selama gw masih bisa bertahan dan melawan!”
Terus, dia kasih satu respon ngeselin, pake ekspresi meledek, “Jangan salahkan gw karena berusaha keras buat menang, dong. Itukan hak tiap peserta.”
Uhh… kalimat itu, suka ga suka, harus gw terima. Benar juga sih. Fakta kalo Elka salah satu peserta di duel ini ga bisa disampingkan gitu aja. Dan mengingat sifatnya yang suka berkompetisi, wajar kalo dia melawan gw sekeras mungkin. Ga bisa disalahkan juga.
“Frost Path!” Tanpa peringatan, seruan keras si Holy Chandra terdengar. Dia udah berdiri di arah jam 12, dan merapal mantra Force es ke arah kami! Seiring ayunan tongkat perak metalik dari bawah ke atas, muncul semacam batuan panjang dengan duri-duri yang terbuat dari kristal es.
Tapi tentu, gadis lain yang ada di arena ini, ga bakal mau ketinggalan buat pamer kemampuan. Meinhalom berada ga jauh dari gw dan Elka, dan udah bersiap merapal mantra. Tongkatnya mengarah ke jalur es itu. Lima buah segi lima kecil berwarna merah terang, mengorbit di ujung tongkat Spiritualist spesialis Force Api.
“Firefall; Straight Array…” dari tengah ruang kosong diantara kelima segi lima tersebut, tercipta pilar api besar, dalam posisi horizontal!
Force api menabrak Force es dari samping! Impact yang dihasilkan, ga usah ditanya, mengejutkan! Cukup buat bikin kita lepas kuncian. Hawa ekstra dingin, ketemu suhu panas ekstrim, timbulkan kepulan asap putih dalam sekejap. Gw bahkan udah ga tau lagi, mana suhu yang lebih dominan. Karena udah melebur jadi satu.
Gw bentangkan sebelah lengan di depan wajah, buat lindungi pandangan dari hembusan udara disertai asap yang memenuhi arena. Elka keliatan melakukan hal yang sama.
Dari balik kepulan asap putih, Rokai mengibas tangan kiri untuk bersihkan pandangan. Begitu liat Meinhalom, dia kembali bersiap. Kali ini, sekumpulan lembing es berukuran kecil mulai terbentuk, dan melayang di balik punggung si Holy Chandra berambut hitam, “Frost Shards!”
Dengan satu komando, diiringi hentakan tongkat di tangan kanan, Rokai mengirimkan puluhan… enggak, mungkin ada ratusan lembing es pada si Wizard berambut pink! Meinhalom ga bergeming, hanya menatap sayu pada serangan yang ditujukan padanya. Di kesepuluh ujung jemari, muncul titik-titik api perlawanan. Oohhh, ini nih… dia ga berniat menghindar! Melainkan nyerang balik!
“Fireflies; Reign of Flames…” Mein meniup ujung jemarinya, lesatkan titik api berjumlah ga kalah banyak dari lembing es kecil kreasi Rokai.
Kembali, kedua Force es dan api beradu. Berusaha mendominasi satu sama lain. Proyektil-proyektil api dan es saling menghancurkan! Ga biarkan satupun lolos untuk melukai sang perapal mantra. Luar biasa tingkat konsentrasi mereka, sanggup kenai target yang begitu kecil tanpa meleset satupun.
Ledakan hawa panas dan dingin, terasa lagi. Biarpun ga sebesar yang pertama, tapi masih ga kalah sengit! Hempasan udara hasil peraduan mereka, bikin gw dan Elka terdorong mundur. Kami cukup terhenyak nonton aksi Rokai dan Mein, sampe berhenti sejenak dari pertarungan. Hal ini berlangsung sekitar 2 menit. Dalam kurun waktu itu, ga ada yang niat mengalah! Kemampuan mereka sama kuat!
“Destructo Disc…” belum abis ledakan terjadi, mendadak, Meinhalom merapal mantra ketiga. Dua buah cakram api bergerigi dengan diameter cukup besar, terbentuk cepat di telapak tangan si Wizard. Sekuat tenaga, dia melempar cakram tersebut ke Rokai.
Mata hitam si Holy Chandra, keliatan melebar. Dan tunjukkan sedikit raut muka ga nyangka. Tapi cuma sesaat, sebelum kembali tenang. Bunga-bunga es berkumpul, membentuk lapisan es yang terkonsentrasi di berbagai bagian tubuh Rokai. Beberapa helai rambut, leher, lengan, dada, pinggang, sampe ke kaki. Dia menyelimuti dirinya sendiri pake kristal es, “Frost Guard!”
Rokai mantapkan kuda-kuda, lalu hentak kaki kanannya satu langkah di depan kaki kiri. Di depan si Holy Chandra, langsung berdiri kokoh sebuah dinding es ekstra tebal! Transparan, dan gw bisa liat sosok Rokai jadi membias melalui dinding tersebut.
Tapi…
Cakram api Meinhalom memotong dinding es Rokai tanpa kesulitan berarti. Hasil potongan horizontal yang benar-benar rapih dan teratur, kaya pisau super tajam memotong tahu! Rokai ga bergerak, dan biarkan cakram api itu lewat di sebelah kiri. Pinggirannya yang super panas, menggores, serta lelehkan lapisan es di tubuh Holy Chandra berambut hitam.
Hah? Apa lemparan Meinhalom sedikit meleset?
Cakram api itu belum berhenti, sampe membentur pembatas arena, dan tenggelam lebih dari setengahnya ke tembok yang dibangun dari beton solid.
Kedua Spiritualist itu terdiam. Lapisan es Rokai mulai mencair. Lantai arena pun jadi basah karenanya. Jersey yang dikenakan si Holy Chandra, sobek di bagian rusuk kiri dengan tanda gosong! Serangan Mein ga sepenuhnya meleset, ternyata.
Ekspresi kesal terpapar di wajah Rokai. Apalagi, liat Meinhalom yang menyeringai tipis padanya. Perempuan berambut pink tersebut emang ga melakukan apa-apa selain pamer tatapan sayu ciri khas. Tapi… itu kan sama aja kaya udah merasa menang dari Force es yang dipake lawan.
Meski Meinhalom jadi yang pertama mendaratkan serangan pada pesaing sesama Spiritualist, tapi bukan berarti kedepannya bakal gampang. Emang sih, Force andalan si Wizard ga bisa dipadamkan gitu aja pake Force Aqua, yang alaminya musuh dari api. Masalah utamanya, adalah kapasitas Force.
Gw udah pernah lawan Rokai, jadi gw paham, sebesar apa kapasitas Force yang dimiliki si dokter sinting. Belum lagi, dia punya stamina yang bagus banget untuk ukuran Spiritualist. Ya, arti lain; dia sanggup lempar segala macam Force ke lawan bertarung, sepanjang hari.
Beda dengan Rokai yang masih keliatan bernapas normal, Meinhalom udah mulai terengah.
Walau masih menyeringai tipis, tapi naik-turun di dadanya ga bisa disembunyikan. Dia mulai lelah. Wajar sih, mulai dari raungan pertama aja, udah terlalu maksa diri sendiri.
Karena mereka ga adu mantra untuk beberapa saat, asap putih yang memenuhi arena mulai menipis.
“Buff hoki lu boleh juga,” bisik Elka di belakang telinga. Tangannya udah merangkul bahu gw.
“… Ya, emang,” jawab gw tanpa merasa ada suatu hal aneh. Kedua mata ungu masih mengunci dua Spiritualist itu.
“Tapi maaf nih, lu harus selesai di sini,” dengar kalimat itu, gw langsung tersadar dari kelengahan. Liat ke bawah, satu kaki si infiltrator udah melintang di depan kedua kaki gw!
Shite! Faak! Shite! Faak! Shite! Faak! Telat sadar! Elka udah melanting tubuh, dan jegal tumpuan gw berdiri!
Alhasil, gw terjungkal ke depan. Jantung kaya skip satu detakan pas menatap jelas permukaan arena.
Ahh, mungkin emang ga bisa lebih jauh lagi melangkah. Dinding di hadapan gw terlampau kokoh buat dirubuhkan. Mungkin emang udah nasib kali ya. Sekuat apapun gw berusaha, ujung-ujungnya emang harus tanggung biaya ganti rugi.
Itu yang ada di benak gw, tapi di sisi lain, kepikiran juga usaha orang-orang yang terus mendorong gw untuk bisa sampe di sini. Sial, gw emang orang paling idiot sejagat raya. Cuma bisa handalkan kekuatan orang lain demi kepentingan sendiri. Harus berapa kali lagi ditolong, sebelum sanggup atasi semua secara mandiri?
Seenggaknya, cobalah buat bertahan lebih lama! Gw manfaatkan tenaga bantingan Elka, buat memutar tubuh lebih ke depan, supaya bisa mendarat pake kaki. Dan usaha itu membuahkan hasil. Punggung gw batal ketemu tanah, dan tangan gw pegangan erat pada badan Elka, buat menahan gaya gravitasi dari posisi nyaris kayang.
“Jatuhlah! Batu banget sih dikasih tau!”
“Ma-maap, Ka. Gw belum mau.”
Mata coklat yang menatap gw secara terbalik, keliatan ga percaya. Tapi tiba-tiba, dia mengangkat tatapannya itu, dan terbelalak. Terus tau-tau lepas tangannya dari badan gw, dan menjauh. Memudahkan gw untuk balik berdiri.
Sesaat kemudian, alasan kenapa dia lepas gw gitu aja jadi jelas. Karena ada bola api merah berukuran sedang nyasar ke arah gw! “Oh… shite.”
Bola api itu menabrak badan gw, dan timbulkan ledakan kecil. Sialan, ditinggal sendiri buat kena apes. Teman macam apa itu?
Asal bola api itu, siapa lagi kalo bukan dari Meinhalom. Dia dan Rokai kembali saling lempar mantra buat jatuhkan lawan. Kali ini, peraduan antara Force angin dan tanah, lawan Force api. Untung efek mantra Heat Addict masih tersisa. Jadi walau kena bola api nyasar, ga terlalu terasa.
Mendadak Rokai angkat tangan kirinya, dan kumpulkan segenap Force, konsentrasikan di telapak. Mata hitam itu geram, masih tertuju pada Meinhalom. Sambil maju beberapa langkah, dan melompat setinggi yang dia bisa, “Chaos… DUNK!” tangan kiri yang terangkat, diayun ke bawah dengan gerakan membanting.
Untuk sekejap, langit memerah. Awan yang semula agak bergulung, mulai membuka. Dan dari atas… meteor raksasa… jatuh dengan cepat!
“Wah, sarap nih orang…” rahang gw ga bisa menutup begitu liat batuan luar angkasa itu siap ratakan arena kalo emang ga ada lagi penghalang. Gila! Apa dia udah hilang kewarasan!?
“Wohohow…” Elka juga dibikin kagum, seraya senyuman menghias bibir, liat kehebatan Rokai.
Suara gaduh mulai terdengar memenuhi arena. Penonton dilanda kepanikan. Pandangan gw menyapu ke bangku penonton, sebagian mulai ada yang beranjak dari tempat duduk, dan pergi dari sini, takut tertimpa meteor! Tapi, masih ada beberapa dari mereka yang memutuskan untuk tetap tinggal. Terus gimana dengan pesertanya nih? Harus keluar juga ga ya?
Meinhalom mendongak, sepasang mata sayu pink itu tertuju ke arah meteor yang lagi dalam keadaan terbakar lapisan atmosfir, jadikan tubuh mungil si Wizard sebagai sasaran.
Dia meletakan kedua telapak tangan di depan dadanya sendiri, lalu konsentrasi, dengan tongkat masih tetap tergenggam di tangan kanan. Perlahan, segumpal energi panas berwarna merah berbentuk bola, tercipta di hadapannya. Sekaligus menyerap sisa-sisa lidah api yang masih menyala di sekitar permukaan arena.
Dia… sama sekali ga punya niat buat kabur…
“Ember’s End…” abis terkumpul maksimal, Mein melepas bola energi tersebut! Dengan kecepatan tinggi, bola energi merah melesat menuju meteor yang dijatuhkan Rokai. Kalo dibandingkan ukuran dengan meteornya, jelas kalah jauh! Bahkan bola itu cuma kaya upil di hadapan meteor.
Biarpun gitu, Mein tetep ga ragu. Tetap yakin pada apinya sendiri.
Benturan antar bola energi dan meteor, ga terelekakkan. Ember’s End menelusup ke dalam meteor! Kobaran api dan warna kemerahan di permukaan batuan luar angkasa itu, langsung terserap ke dalam. Tali-tali api, seketika muncul dari dalamnya, dan ikat kuat meteor tersebut. Tali api tersebut meresap, dan akhirnya timbul ledakan dahsyat yang hancurkan meteor Rokai berkeping-keping!
“Cih…” serpihan kecil meteor itu, jadi kaya batu biasa. Udah ga ada lagi suhu panas karena udah dinetralisir oleh mantra Meinhalom. Jatuh, di berbagai sudut arena. Kini, ketakutan penonton berhasil dilenyapkan. Tinggal gimana caranya terhindar dari batu-batu kecil.
Rokai dan Mein, belum bergerak. Si Holy Chandra masih menatap si Wizard, sembari berdecih, Diiringi hujan serpihan meteor di sekitarnya. Meinhalom sekedar senyum puas, seraya atur napasnya sendiri. Ladeni permainan Rokai emang bukan perkara gampang.
“Lu emang benar-benar… jalang neraka,” gunjing Rokai dengan nada ga senang, “tapi makasih, buat pemanasannya,” Si Holy Chandra, memutar tongkat perak metalik, dan berniat untuk serius. Tunggu… jadi dari tadi dianggap pemanasan doang? “Entangle!” begitu dia merapal mantra, dari bawah kaki Elka dan Meinhalom, keluar akar-akar tanaman yang ikat kuat, dan mengangkat tubuh mereka.
“He-hei!” Pekik Elka kaget, pas akar-akar tanaman tersebut menjalar dari kakinya, dan langsung jerat tangan tanpa bisa diganggu gugat. Dia coba memotong akar itu, sebelum benar-benar ga bisa gerak. Tapi sia-sia, akar itu bahkan ga tergores barang sedikit, “apa-apaan ini, Rokai!?”
“Harus berapa kali gw bilang? Dia mangsa gw,” jawab si dokter sinting, sambil menunjuk gw pake tongkatnya.
“Cih, cara kotor begini…” umpat Elka. Cara kotor apanya? Lah ga ada larangannya kok.
Tubuh Meinhalom keliatan bersinar, dan nyala api membara, membakar akar tanaman yang menjerat badannya. Namun sama kaya Elka, usahanya percuma. Akar itu tetap aja kuat mengikat. Sekarang, dua perempuan itu ga bisa gerak, dan ga menapak di arena. Berada semeter diatas permukaan tanah.
Udah gw duga, tujuannya dari awal, emang menjatuhkan gw sekeras mungkin.
Sejenak gw memandang dua perempuan yang keliatan kesal gegara terikat, “Makasih buat bantuannya,” terima kasih gw ditujukan buat Meinhalom, “dari sini, biar gw berjuang sendiri,” kemudian, teralih pada Elka.
“Lake! Lu…” Raut muka Elka tunjukkan kalo dia lagi gelisah maksimal. Jadi ingat, dia pun kasih liat raut wajah itu, pas pertama kali gw berhadapan dengan Rokai.
Hela napas panjang diikuti cengiran kuda tanpa rasa bersalah gw kasih buat dia, “Gw ga bakal kenapa-napa kok. Hehehe.”
Dia ga bergeming, ga tau mesti ngapain. Karena emang ga ada lagi yang bisa dilakukan buat cegah gw.
“Jangan sampe kalah,” gumamnya.
Kepala gw mengangguk, dan di dalam benak, siapkan mental buat hadapi Rokai satu lawan satu.
“Akhirnya, tiba waktu buat remukkan lu, Tulang Flem,” ujarnya dengan penekanan. Susah dipercaya dia masih keliatan segar, setelah adu kemampuan dengan Mein. Tekanan Forcenya belum ada penurunan sama sekali.
“Jadi… cuma gw yang selalu ada di pikiran lu, ya? Manisnya,” ledek gw sambil nyengir tipis, sekaligus buat penetralisir ketegangan yang terasa, “gw akan kasih neraka sebelum lu melakukannya, Dokter sinting.”
“Semoga lu ga mengecewakan.”
“Ya, semoga,” seraya berkata, gw pasang kuda-kuda. Mata tertuju lurus ke pemuda berambut hitam yang berdiri penuh determinasi. Detak jantung gw melonjak drastis. Adrenalin langsung mengalir deras di seluruh pembuluh darah, deret gigi beradu atas bawah.
Satu sentakan dari lutut mengirim badan gw dengan kecepatan luar biasa. Ga peduli semua rasa sakit melanda, yang kepikiran di otak gw cuma gimana cara biar semua ini selesai ga pake lama. Karena cuma punya waktu 2 atau 3 menit, pas pake Accel Walk.
Rokai menembaki gw pake Force api dan es secara beruntun. Tapi gw bisa liat semua itu dalam gerak lebih lambat. Bukan halangan berarti, gw bisa menghindar ke kiri dan kanan sambil terus menerjang.
Merasa ga bisa ikuti pergerakan gw, dia mengguncang tanah tempat kita berpijak, “Land Wave!”
Permukaan arena yang rata jadi bergelombang. Akibatnya lari gw jadi ga beres. Melambat, dan dia bisa menangkap posisi gw! Celaka!
“Typhoon Bane!”
“GAAAAAAAHHH!” Sialan! Lagi-lagi gw kena hantaman projektil angin yang ga kasat mata! Kali ini kena di bagian diafragma. Kayanya itu adalah mantra yang paling susah dihindari. Biarpun waktu melambat, tapi karena ga bisa liat projektilnya, percuma. Tetap aja kena.
“Lake!” dengar teriakan keras, dan liat orangnya kesakitan, Elka menyerukan nama gw.
Gegara hentakan proyektil angin yang terasa keras banget menabrak badan, gw hampir jatuh. Belum lagi makin berkali lipat terasa pedih akibat Accel Walk aktif. Untung masih kuat tahan badan pake dua tangan.
“Apa cuma itu yang bisa lu lakukan!? Lari ke sana kemari!?” Bentak Rokai ga sabar, “Entangle!”
Akar tanaman mulai muncul lagi dari bawah permukaan tanah. Kali ini gw targetnya. Ga tinggal diam, kembali gw bergerak dengan kecepatan tinggi biar ga tertangkap. Ugh, padahal rasa syok dan kaget akibat kena serangan angin Rokai belum hilang sepenuhnya.
Gw lari keliling arena, akar tanaman itu mengikuti di belakang. Lumayan kencang juga kecepatannya, tapi tetap aja lebih cepat gw ke mana-mana. Sialan! Situasi kaya gini, perkataan Rokai ada benarnya. Apa lagi yang bisa gw lakukan, selain lari-larian!? Apa!?
Duel kali ini malah terasa lebih berat. Soalnya gw pake pedang, bukan busur. Artinya, ga bakal bisa menyerang sama sekali kalo ga persempit jarak. Udah gitu karena dia udah pernah liat kemampuan gw, pastinya keefektifan Accel Walk sedikit banyak berkurang.
Dia juga pasti udah pikirkan gimana cara antisipasi serangan-serangan cepat yang jadi kelemahan.
Sambil lari, gw terus cari cara biar bisa mendekat. 3 bongkah batu yang mengorbit di atas kepala si Holy Chandra jadi hadangan selanjutnya. Bebatuan itu akan otomatis melindungi Rokai pas gw menyerang. Akh, percuma! Apapun yang terlintas di otak, ujung-ujungnya yang terbayang, gw yang bakal kena serang.
Udahlah, lakukan aja apa yang bisa gw lakukan dengan baik! Serangan frontal! Sembari ubah arah lari, genggaman kedua tangan gw di pedang makin erat. Bersiap buat lancarkan satu serangan yang bisa jadi penentu… mungkin.
Dari arah depan, gw tarik kedua tangan ke belakang, ancang-ancang menyabet pedang. Dan benar aja… jalan gw sigap ditutup 3 bongkah batu. Tapi ga masalah, soalnya dalam sekejap, gw udah pindah ke belakang Rokai!
“BFFFTTT!” sayang, satu hal yang ga disangka, siku kanan Rokai udah berada di muka! Di-dia… bisa liat gerakan gw!?
Momentum yang dihasilkan kecepatan gw, bikin Rokai ga perlu keluarkan tenaga ekstra supaya serangannya terasa sakit. Bisa dibilang, muka gw dihantam kemampuan sendiri. Bercak darah mengalir dari sudut bibir.
Demmit!
“Gw tau lu dungu, tapi ga nyangka sedungu ini,” dia bilang, datar nada bicaranya, “Mau secepat apapun, kalo terus lakukan gerakan yang sama, nenek-nenek mabok genjer juga bisa menangkis serangan lu!” Rokai berbalik, dan ayun tongkat perak metalik sekuat tenaga!
Ga lama setelah usap-usap muka, gw langsung menangkis ayunan tongkat sihir tersebut. Dia dorong ke bawah, sedangkan gw dorong ke atas. Adu kuat dengan segenap sisa tenaga yang kami punya. Selagi tongkatnya beradu dengan dua pedang, di tangan kirinya si jago merah udah bergulung, dan…
“Ignite!”
KABOOM!
Dari jarak dekat, si Holy Chandra berambut hitam meledakkan bola api di depan mata! Bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Yapp, gw terpental. Tapi, mental bukan tanpa hasil. Sesaat sebelum ledakan, gw sukses mengiris pergelangan tangannya. Bikin dia meringis tahan sakit, dan pegangi pergelangan tangan yang teteskan darah cukup banyak, “Ukh…”
Di lain pihak, lengan panjang baju gw terbakar, sekalian base layernya. Jadi tanpa lengan deh yang kiri. Sekarang bukan cuma celana gw doang yang panjang sebelah, jersey juga, “Ha! Gw yakin lu ga nyangka bakal teriris begitu!” seru gw, merespon ejekan sebelumnya.
“… Ingat pertanyaan lu yang tanya kenapa gw lebih milih jadi Holy Chandra, ketimbang Wizard?” Tanya Rokai, sembari masih menekan daerah pergelangan tangan kanan.
Pertanyaan itu bikin mikir sejenak. Ya, dulu gw sempat tanyakan hal itu padanya. Tapi seingat gw, dia ga pernah mau jawab. Karena itu makin kesini, makin ga ambil pusing. Apapun keputusannya bukan urusan gw.
Perlahan tanaman rambat menjalar dari bawah tanah, menuju kaki, lalu ke pergelangan tangannya. Beberapa kali memutar di daerah luka, dan mengikat. Tanaman rambat tersebut keliatan sedikit berdenyut, keluarkan sinar kehijauan dengan interval rendah. I-itu… hal yang dilakukannya saat lawan Dzofi, “Supaya gw bisa belajar mantra penyembuhan, supaya ga bakal kalah lagi dari lu.”
Tenggorokan gw serasa tercekat dengar pernyataan barusan. Berusaha alihkan ketidak-percayaan, dengan senyuman maksa, “L-lu… bercanda?” tapi, ekspresi gw langsung berubah begitu liat tatapan tajam dari dua mata sehitam tinta itu, pertanda serius dengan apa yang diucapkan, “… lu ga bercanda.”
“Lu adalah orang pertama yang bisa melukai gw pas duel setahun lalu. Itulah kenapa, gw ga suka lu. Dan fakta kalo lu yang jadi penyebab gw ambil kelas Holy Chandra, makin bikin kekesalan gw memuncak.” Kalimat tersebut, meluncur deras tanpa keraguan. Seolah emang dari hati banget ngomongnya.
Wew, kenapa sekarang jadi seenak jidat salahkan orang lain? “Tapi gw ga melakukan apapun, Ro. Lu sendiri yang ambil keputusan.”
“Diam…” ucapnya dingin. Sedingin es yang lagi dikontrol di tangan.
Astaga. Emang deh, gw ga akan pernah bisa paham jalan pikiran si kampret ini. Ga bisa dipercaya. Apa yang dibilangnya benar? Cuma demi alasan itu –yang menurut gw rada sepele- dia memilih jalan sebagai Holy Chandra?
“Selama ini, gw melarang diri sendiri untuk menggunakan Force badai.“
“Badai adalah Force yang gw anggap hina. Gw ga sudi menggunakannya, atas dasar apapun!“
“Dan lu, diantara sekian banyak orang..“
Untuk beberapa alasan, ucapannya pas raungan kedua berakhir, terngiang di kepala. Perilakunya ke gw bisa dibilang macam orang brengsek. Dan gw hampir selalu mengumpat padanya. Entah apa emang dasarnya begitu, atau enggak.
“Gunakan Force badai,” kata gw spontan, “gw bersedia terima semua kekesalan lu, kalo lu pake Force badai.”
Udahlah, udah tanggung. Sekalian aja jadi kompor.
“Gak. Lebih baik gw mati, daripada harus pake Force badai! Bless of The Frozen hell,” lambang raksasa Federasi Bellato tergambar di arena. Suhu udara serta merta jadi lebih rendah. Napas gw langsung hasilkan asap putih dari hidung dan mulut! “Frost Point Icewrack!”
Untuk kedua kalinya, di arena ini tebing es raksasa bakal tercipta!
Liat mantra es terkuat milik Ulkatoruk itu, ga ada lagi kecemasan dalam diri gw. Melainkan, ada kemarahan yang ga jelas asal-usulnya. Harusnya Rokai paling tau, dia ga bakal bisa menjebak gw dalam es macam Alecto.
Mantra itu kuat, tapi ga cukup cepat untuk menjerat. Dan lagi, gw malah bersyukur dengan turunnya suhu lingkungan. Bisa sedikit dinginkan badan yang bekerja ekstra keras.
Gw langsung berpindah ke samping, dan menerjang Rokai dari sisinya. Tebing es segera terbentuk tepat setelah gw berpindah, menjulang sampe tribun penonton paling atas, dan tutupi sebagian besar permukaan arena dengan kristal es.
Satu tendangan gw udah mengarah tepat ke kepala si Holy Chandra. 3 bongkah batu jadi penghalang. Gw ga peduli, tetap dorong terus! Sampe batuan tersebut ikut terbawa, dan menghantam penggunanya sekalian!
Rokai masih berdiri, tapi lunglai. Gw renggut kerahnya, dan mencegah dia jatuh. Mendekatkan wajah kami, gw benturkan dahi ke dahinya sekali, dan teriak, “Jangan ngomong begitu, bajingan! Lu- dari sekian banyak orang! Jangan ngomong ‘lebih baik mati’ daripada pake Force yang ga lu suka!”
“Dan lu, dari sekian banyak orang, membuat gw reflek pake petir!”
“Asal lu tau, gw menaruh hormat pada lu! Dan gw benar-benar menganggap kalo lu berada jauh diatas, sampe jadikan lu perbandingan diri gw yang sekarang, yang lemah, dan ga bisa apa-apa!” mata gw, mungkin keliatan penuh amarah. Tangan agak bergetar sangking kesalnya dengar ucapan Rokai. Seenaknya nyebut ‘lebih baik mati’ dengan begitu gampang. Emang dia pikir, kita punya berapa nyawa? “gw ga mau dengar kata-kata itu dari mulut lu.”
Tetiba, tinjunya mendarat di rahang gw! Bikin tangan gw lepas dari kerahnya. Ga cuma sekali, tapi dia mulai memukul gw berkali-kali, diselingi tendangan, “Lu pikir, gw pernah minta lu untuk jadikan gw sebagai tolak ukur!? Lu pikir, gw pernah minta lu untuk menaruh hormat sama gw!? Lu pikir, lu kenal gw!? Tapi nyatanya enggak, jenius!”
“Seenaknya ambil kesimpulan, tanpa tau kenyataan. Lu pikir, siapa lu? Lu bukan siapa-siapa. Ga lebih dari orang egois yang menganggap dirinya tau banyak tentang orang lain.”
“Ya, gw ga kenal lu,” senjata kami udah ga berada di genggaman. Entah sejak kapan udah tergeletak di tanah. Gw tangkap satu tinjunya, dengan tangan kiri. Dan mulai balas pukulan bertubi yang dia beri, “karena lu ga pernah kasih gw kesempatan untuk kenal! Lu yang terus-terusan bersikap ga jelas, menjauhkan diri, angkuh, arogan, bahkan ke pasien lu sendiri! Dan lu masih berani nyebut diri lu dokter, idiot!? Gw cuma bisa mikir, karena emang sebatas itu yang bisa gw lakukan!”
Selepas melakukan mantra es barusan, keliatan kalo kondisinya udah mulai ga stabil. Kesulitan ladeni pukulan, tendangan, serta dengkulan gw dari jarak sedekat ini.
Tinju gw berikutnya udah siap mendarat tanpa hambatan di muka Rokai. Tapi saat dia tertunduk, hampir nyusruk, gw malah berhenti dan berkata dalam hati, “Ini bukan Rokai yang mau gw hadapi.“
“… Gw punya alasan sendiri… untuk mengutuk Force badai. Satu alasan yang ga perlu diketahui orang banyak,” kata Rokai, di sela napas ga teratur.
“Karena… bila lu pernah dikhianati, diasingkan, dibuang, oleh mereka yang lu sebut ‘keluarga’, lu akan berhenti percaya. Lu akan mulai mengganggap hina segala tentang mereka.”
“…” ga ada respon dari mulut gw, soalnya lagi mikir mau ngomong apaan, “… Gw ga peduli apapun alasan lu,” ucap gw tegas kemudian, “gimana gw bisa kasih neraka, saat lu ga lawan gw sekuat tenaga?”
Sekarang ga tau lagi deh, siapa yang mengecewakan siapa.
“Lu cuma jadikan itu alasan buat remehkan orang lain, kan?
“Bukan…”
“Lu bilang ga mau kalah lagi dari gw, tapi lu sendiri yang masih menahan diri.”
“Ga…”
“Gw bertarung sekuat tenaga karena gw tau, lu lawan yang hebat. Apa harga diri lu terlalu tinggi untuk sekedar lakukan hal yang sama?”
“BUKAN!”
“Sekeras apapun lu menyangkal, ga akan bisa! Force badai adalah kemampuan lu, Rokai Leiten! Bukan seseorang dari keluarga yang membuang lu, bukan teman lu, bukan siapapun yang berada di Federasi, tapi milik lu seorang!”
“…”
Dia ga jawab. Tapi kemudian berdiri, tanpa suara. Keadaan kami sama-sama ga bisa dibilang baik. Darah mengalir dari pelipis, bibir, dan beberapa ukiran lukanya. Tanaman rambat masih melakukan tugas untuk pulihkan luka di tubuh Rokai. Dia menatap gw, penuh napsu membunuh.
“… Lu benar-benar ga tau gimana cara tutup mulut, ya?” Ups… ada yang marah nih. Percikan listrik mulai merambat di sekitar tangan kirinya. Force badai! Gw menelan ludah, untuk sembunyikan ketegangan.
Akhirnya, Rokai akan melakukannya. Dia berbalik, jalan 7 langkah, lalu memungut tongkat perak metalik. Saat itu, gw merasa udah melakukan satu hal paling bodoh, sekaligus paling berbahaya.
Pasalnya, berbagai macam Force ada di tubuh Rokai saat ini. Bunga es mulai tutupi leher bagian kiri, sampe nyaris ke rambut. Di tangan kanan yang genggam tongkat, terbungkus kobaran api oranye. 3 bongkah batu kembali mengorbit di atas kepala. Di bawah kaki, tanaman rambat mencuat. Dan di tangan kirinya… kilatan petir berwarna putih makin intens menyambar-nyambar, “Oke, lu yang minta.”
Angin terasa berhembus makin kencang di arena, seolah bisa menyayat kulit. Ugh, kayanya gw baru aja bangunkan monster elemental.
Dia udah pake mantra es Ulkatoruk 2 kali, dan kalo dipikir masih bisa kumpulkan Force sampe kaya gitu… shite! Benar-benar ga bisa dipercaya. Badan gw juga hampir ga kuat sih sebenarnya. Mungkin tersisa sedikit waktu sebelum Accel Walk ga bisa dipake lagi. Sedangkan duel ini, keliatan makin ga berpihak pada gw.
“Heyy, Ro! Ayo taruhan,” usul gw tiba-tiba.
Alisnya yang tertutup bunga es sedikit bergerut, “… Kenapa gw harus terima ajakan lu?”
“Soalnya gw tau, lu pengen banget hantam gw pake petir,” jawab gw tanpa ragu, “jadi, gw ga akan bergerak. Lu bisa lempar mantra Force badai terkuat yang lu punya, dan gw ga bakal menghindar. Kalo gw tetap berdiri, lu harus melakukan hal yang sama. Lu harus terima skill paling paten yang gw miliki. Kita liat, siapa yang sanggup berdiri setelahnya,” lanjut gw, panjang lebar.
“Lake, apa yang lu pikirkan!? Lu udah gila, ya!?” Elka terperangah dengar perkataan gw.
Ga tau deh masih waras atau kaga. Tapi, gw udah putuskan. Gw kelelahan, dia kelelahan. Kami udah hampir mencapai batas setelah semua pertandingan yang terlewati sebelumnya. Dengan cara inilah kami harus selesaikan.
“… Boleh juga, gw setu-“
“Taruhannya; kalo gw menang, balikin dompet yang lu sita. Gw akan beli soda seenak jidat, dan lu ga punya hak buat melarang-larang, ” belum usai Rokai berkata, gw potong kalimatnya.
“… Gimana kalo gw menang?”
“… Gw akan ikuti semua nasehat, perkataan, perintah lu, tanpa punya hak buat bantah.”
Rokai menyeringai di tengah Force yang bergejolak dari dirinya, lalu bekata datar, “Setuju.”
Napas yang keluar dari mulut mulai gw atur lagi. Coba ambil kesempatan di moment ini, buat sekedar istirahatkan kondisi badan sebentar. Kedua kaki ambil langkah menjauh, pastikan kalo ada cukup jarak diantara gw dan Rokai untuk selesaikan persaingan diantara kami. Gw berbalik, menghadap pada si Holy Chandra. Makin menakutkan aja sosoknya, usai dia bangkitkan semua Force dalam waktu bersamaan.
Kedua tangan gw rentangkan selebar mungkin, sebagai tanda ‘siap’ untuk diberi serangan.
“… Makan nih,” kilatan petir makin intens di sekujur lengan kirinya. Ga segan-segan, dia julurkan tangan kiri dengan telapak terbuka.
Sebuah proyektil petir kecil, terbentuk dari banyak titik-titik petir dalam bentuk bola, meluncur dengan kecepatan sedang dari tangannya. Gw tarik napas panjang, dan tahan di perut buat siapkan fisik serta psikis.
Proyektil itu terbang, dan mendadak berhenti pas sampe di titik gw berdiri, langsung membesar ukurannya. Gw jadi kaya berdiri di dalam bola, tapi belum ada efek apapun yang terasa. Makanya, untuk sesaat, kebingungan melanda. Mata gw menginspeksi titik-titik petir yang melayang di sekitar gw.
Lalu, Rokai mengepal telapak tangan, proyektil kedua langsung melesat secepat kilat! Beda jauh dari yang pertama! Yaaa… emang itu kilat sih, “Lightning… Crack!”
Proyektil kedua juga berhenti di tempat gw berdiri, dan langsung meretakkan udara! Meledak seluas area yang ditentukan proyektil pertama. Sensasi kejut tiada banding seketika menjalar di seluruh tubuh gw mulai dari ujung rambut sampe jemari kaki.
“KKHHH!” dengan napas yang masih tertahan di perut, kelopak mata gw tertutup. Gigi menggertak, sedangkan badan ini rasanya kaya disengat ribuan lebah. Ga, mungkin lebih parah. Kejang-kejang, terbakar, syok berat, nyaris bikin jantung berhenti berdetak. Sengatan listrik cuma berkedut selama beberapa detik. Tapi itu udah lebih dari cukup bikin gw hampir meregang nyawa, “Haaaahh…” napas yang sedari tadi tertahan, gw buang seluruhnya, satu helaan.
Faak… sakit banget. Rambut gw jadi jabrik semua nih kayanya gegara tersambar gledek. Belum lagi, luka bakar yang tercipta di sekujur badan perih bukan main. Asap keluar dari badan gw, kayak abis digoreng. Muka gw tertunduk, kedua tangan bertumpu ke lutut yang udah gemetar terlampau parah, menghimpun tenaga buat tetap berdiri.
“Lu… benar-benar…” Rokai tercengang, liat mantranya ga kunjung bikin gw jatuh. Force elemen dari badannya luntur satu persatu. Mungkin dia juga sama, bertaruh semuanya pada satu serangan barusan, “… ga punya otak,” Gw dibuat kaget oleh reaksi setelahnya.
Soalnya, dia tersenyum puas.
Dasar brengsek, selepas marah-marah, sekarang lu senyam-senyum ke gw? Lu, yang selama ini ga pernah ramah, dan selalu kasih liat muka minta ditampol kalo ketemu gw, memilih untuk senyum… sekarang!?
Faak…
Gw pasien lu, sekaligus teman seperjuangan… apa yang bikin lu berlama-lama untuk tunjukkan ekspresi itu? Ekpresi puas karena udah keluarkan seluruh kemampuan pas bertarung lawan gw.
Ya, benar juga. Kalo diingat lagi, gw punya motivasi buat berubah setelah lawan dia waktu itu. Mengubah diri dari yang lebih suka menyerah, lari dari masalah, dan sembunyi di balik sikap cuek. Ternyata, emang ga salah menaruh hormat padanya. Gw angkat wajah, tegakkan badan, dan menatapnya sebentar.
Terus berkata, “Giliran gw.”
Kedua pedang kembar, kembali gw pungut dari tanah. Warna dari Force yang mengalir di bilahnya, bukan lagi merah dan biru, melainkan jadi putih. Begitu juga dengan Force yang perlahan keluar dari badan gw.
Tempo detak jantung, perlahan kembali naik. Accel Walk masih bisa dipake. Satu serangan terakhir… gw bisa melakukannya! Yakin!
Gw berlari secepat mungkin ke arah Rokai, sambil melakukan 8 gerakan dasar yang dilakukan berturut-turut, dengan kecepatan tinggi, sampe keliatan kalo dilakukan bersamaan, “8 Crescent Storm!”
8 tebasan menyayat tubuh si Holy Chandra begitu aja. Terjangan gw terus berlanjut sampe menembus keberadaannya. Dia muntahkan darah, dan tubuhnya makin condong ke belakang.
Bunyi tulang-tulang retak dari badan gw langsung terdengar. Pergelangan tangan dan kaki, kena efek pelintiran paling dahsyat. Pas gw coba mendarat dengan kedua kaki, nyeri yang menyengat bikin hilang keseimbangan, dan ga kuat menopang badan.
Gw langsung jatuh dan terguling-guling beberapa meter akibat kecepatan yang dihasilkan. Twin Razer Blades terlempar entah ke mana karena genggaman di pedang gw udah tanpa tenaga.
Kayanya, Rokai udah hilang kesadaran. Soalnya, gw liat kedua matanya tertutup. Tubuhnya makin ditarik gravitasi, dan akhirnya jatuh dalam keadaan telentang.
“Si-sialan,” rutuk gw, seraya jedotin kepala pelan ke lantai arena berulang-ulang, “sialan… sialan…” ujung-ujungnya, gw kalah. Nyaris menang, tapi kalah.
“Peserta Lake Grymnystre; Jatuh pertama!” Pengumuman dari Conquest Borr, mempertegas kondisi babak final yang tengah berlangsung. Kayanya masih terlalu cepat bagi gw untuk bisa kalahkan si Dokter sinting, “peserta Rokai Leiten; jatuh kedua!”
“Without MAU, I will never have a chance against her (Meinhalom).” – Oritzi (Ch. 37)
CHAPTER 38 END.
Next Chapter > Read Chapter 39:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-39/
Previous Chapter > Read Chapter 37:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-37/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list

