LAKE CHAPTER 39 – BROKEN, EXILED, RECOVERED

Lake
Penulis: Mie Rebus


Ga ada pemandangan lain yang tertangkap mata gw, kecuali jajaran lampu di langit-langit lorong. Gw ditandu oleh 2 orang petugas medis keluar arena. Mengalami luka yang ga main-main abis melancarkan serangan terakhir tadi. Sakit, panas, perih, gw meringis, berusaha tahan semua itu. Bergeliat di atas tandu, nyari posisi enak yang ga bebankan tubuh.

Yakin, serangan terakhir yang gw lakukan bukan cuma berdampak ke Rokai, tapi juga diri sendiri. Sekujur badan berasa remuk, tulang-tulang gw pasti seenggaknya mengalami keretakan. Mungkin bakal lebih baik kalo pingsan aja daripada sadar tapi merasakan rangkaian sensasi ga menyenangkan. Bahkan, gw udah ga bisa bangun buat keluar dari arena tadi.

Mulut ga bicara, tapi pikiran sama sekali ga bisa berhenti mikirin macam-macam. Ah, ya… dimana si dokter sinting itu? Terakhir gw liat, dia juga ditandu keluar. Soalnya pingsan di tempat. Semoga serangan gw ga mengancam nyawanya.

Yah, gw udah berusaha yang terbaik buat ga menyayat dia terlalu dalam sih. Sisanya, tinggal berharap aja.

Gw dibawa ke suatu ruangan, di mana ada dua kasur disana. Dua petugas tadi pindahkan badan gw ke kasur secara perlahan. Soalnya, pas mereka menyentuh badan buat angkat gw aja, lenguhan kecil lolos dari mulut, “Ad-duduh..”

“Ah, maaf.” Salah satu dari mereka, berkata.

“Ga apa-apa, makasih ya Bang.” Balas gw.

“Yap. Oh ya, tunggu aja sebentar, nanti akan ada petugas medis lain untuk merawat lukamu.” Anggukan kepala, gw beri sebagai respon. Dengan itu, berlalu lah mereka berdua dari ruangan.

Sepasang mata gw kembali berkeliling, menyelidik lingkungan sekitar. Sebenarnya pengen tidur sih, tapi rasanya badan kaya gini ga enak benar buat tidur. Satu hal yang ga gw sadar pas masuk sebelumnya, di ruangan ini udah ada pasien lain ternyata. Di kasur sebelah udah ada yang tiduran duluan.

Kepala gw sedikit nengok, buat identifikasi pasien itu. Dan ternyata, dia bukan orang asing. Malah faktanya, dia yang barusan aja lempar mantra Force badai. Siapa lagi, kalo bukan Si Holy Chandra paling ngeselin sejagat raya?

Jersey putih berkerah agak tinggi yang dia pake, ternoda cairan merah dari badannya sendiri yang dihasilkan ukiran kedua pedang gw. Terus udah sobek-sobek pula, ga layak pake lagi. Terdapat memar di muka, lengan, dan beberapa bagian tubuh lain. Mungkin bekas pukulan, dan tendangan gw yang mendarat telak. Kesadarannya juga belum balik. Demm, dia keliatan amburadul.

Beberapa saat, masuk seseorang ke ruangan ini, mengalihkan perhatian gw dari Si Holy Chandra yang ga sadarkan diri. Sesosok wanita berambut biru pudar, memapar senyum pas sadar kalo tatapan gw beralih padanya. Senyum itu yang bikin gw tertegun sejenak tiap kali melihatnya. Karena sampe kapanpun selalu menyejukan hati.

Astralist Rylit. Jadi, untuk kesekian kalinya kita ketemu lagi hari ini. Dan untuk kesekian kalinya, dia lagi petugas yang bertanggung jawab atas perawatan gw dan kawan-kawan. Dia menyapa duluan, sadarkan gw dari keadaan beku dengan suara renyah. “Hai, ketemu lagi.”

“Eh, i-iya Mbak.” Jawab gw, dibikin gugup.

Perempuan itu mendekat, dan mengamati tubuh gw. “Hmm, keretakan akibat putaran spontan di tulang pergelangan kaki, dan penempatan gaya yang berlebihan di pergelangan tangan. Otot paha mengalami kejang, disertai nyeri. Otot betis begitu tegang, dan kesulitan untuk rileks. Persendian bahu pun hampir mengalami dislokasi. Luka bakar yang diakibatkan interaksi dengan Force badai secara langsung.” Si Astralist kasih satu diagnosa cepat, tanpa nanya apa-apa, tanpa sentuh apapun. Murni cuma dari hasil mengamati tubuh gw beberapa saat. Dia agak terperangah, “… Wow, susah dipercaya satu mantra dari Rokai jadi penyebab ini semua.”

“Uhm.. Bukan, Mbak.” Gw bantah omongannya. Ini bukan gegara serangan Rokai yang gw terima mentah-mentah, melainkan.. “Ini gara-gara saya terlalu maksa.”

Sembari keluarkan beberapa benda kecil, yang keliatan macam biji-bijian dari kantong baju dinasnya, Rylit membalas, beri senyuman khasnya yang bikin adem. “Biar gimanapun, fakta kalo luka ini bahaya bagimu, ga bisa disangkal.” Terus, dia genggam biji-bijian tersebut, dengan kedua telapak tangan. Force hijau nyala terang dari genggaman tangan Rylit, “Plant Form…” Begitu mantra terucap, muncul tanaman rambat hijau berdaun lebat yang cukup panjang! Tanaman rambat itu menyeruak, dan ga bisa diam, “… Nature’s Armor.”

Seketika, tanaman rambat itu bergerak menuju tubuh gw, dan mulai menjalar dari kaki, terus ke balik celana, ke balik lapisan baju, melilit, melingkar tiap jengkal permukaan tubuh bagian atas diiringi nyala hijau yang berdenyut dalam interval rendah. Terus sampe ke leher, bahu, dan lengan. Bahkan, sampe muka. Biarpun ga menutupi semua bagian muka, tetap aja bikin gw keliatan aneh. Rasa nyaman luar biasa, langsung menghampiri.

Mantra itu..” Sama kaya yang dipake Rokai pas di arena. Kurangi rasa sakit, yang dari tadi muncul berantai. Gw tutup mata, sangking nyamannya. Bau semerbak dedaunan hijau, menyapu indera penciuman.

“Nah, sekarang kamu akan merasa enakan.” Ucapnya halus, lalu beralih pada pasien berikutnya.

Kelopak mata gw kembali membuka, perhatikan gerak-gerik si petugas medis. Sebelum mulai perawatan, dia melucuti jersey yang dikenakan Rokai, sekalian juga daleman yang melapisi, sisakan celana doang. Mengekspos tubuh Si Holy Chandra, yang penuh luka dan bercak darah. Dia tampak ga canggung sama sekali, buka-buka baju lelaki. Udah biasa, barangkali.

“… Kamu yang jadi penyebab luka ini..” Gw ga bisa sepenuhnya ngerti makna dibalik ucapannya, entah pertanyaan, atau pernyataan, atau perkataan yang ga butuh respon.

“I-iya.” Tapi ujung-ujungnya jawab juga, biarpun agak ragu, karena merasa ga enak udah bikin sekarat teman Satuan Tugasnya, “Apa… lukanya fatal?”

Rylit membasuh tangan dengan alcohol, sekalian kapas yang bakal dipake. Sambil bersihkan bekas darah di permukaan kulit Rokai, dia berujar, “Kalo lebih dalam satu senti lagi aja… ya, fatal.”

Deg!

Rasa tegang, seketika menghampiri begitu denger kata-kata wanita berambut biru pudar. Gw ga bisa liat reaksi Rylit pas ngomong gitu, karena dia memunggungi lawan bicara. Ugh! Gw ga percaya ama diri sendiri, bisa-bisanya hampir bikin kamerad tewas. “Ma-maap, saya ga maksud-“

“Sayatan pedangmu nyaris kena arteri di kedua lengannya, dan hampir tembus lapisan otot di bagian ulu hati,” Wanita itu memotong kalimat gw, bikin rasa bersalah lebih kerasa. “tapi dia akan baik-baik aja…” Mata gw memandang punggung Si Astralist, “… Saya percaya.”

Kata-kata Mbak Rylit, terdengar… tulus. Seolah emang yakin pada teman sesama anggota Brigade Support Federasi. Liat reaksi-reaksi kecil yang ditunjukkan Conquest Rylit, mungkin ada indikasi kalo hubungan mereka ga seperti yang pernah dibilang si Astralist pas pertama kali gw dirawat. Lebih dari sekedar kenal sebagai kamerad di satuan tugas.

“Tau ga? Tadi pertama kalinya lho, saya liat dia berusaha begitu keras.” Katanya, sambil menaruh dua telapak tangan bersinar hijau pudar di dada Rokai. Menyapu bagian tubuh atasnya sampe ke kaki. Untuk beberapa alasan, Rylit ga pake mantra yang tadi. “Dia selalu bisa melakukan banyak hal dengan gampang. Jadi, liat raut mukanya di arena tadi… cukup langka.”

“Mbak kenal banget dengan Rokai, ya?”

“Tentu.” Jawabnya spontan, “Maaf, saya bohong padamu sebelumnya. Dia bukan sekedar teman sesama satuan tugas, dia adalah anak didik kesayangan saya.” Hal itu dilakukannya sambil melilit perban, guna menutup sebagian besar luka yang diderita si Holy Chandra. Udah gw duga, ternyata emang ada sesuatu yang lebih diantara mereka.

“Ga apa kok, saya ga keberatan.”

Masih melakukan pekerjaannya di tubuh Rokai, kali ini berlanjut ke prosedur penjahitan luka, perempuan itu kembali bicara, “Prajurit biasa aja seperti saya, jadi mentor dari seorang Spiritualist dengan bakat paling luar biasa yang pernah saya kenal… itu susah dipercaya.”

Mbak Rylit berkata dengan nada yang disamarkan ketenangannya. Berusaha sembunyikan ketidak-percayaan diri dari beban yang ditanggung, yakni membimbing Spiritualist dengan kemampuan diatas dirinya.

Emang sih, kalo diliat dari kapabilitas yang dimiliki Rokai, kayanya dia udah ga perlu orang lain buat mengajarkan sesuatu.

“Jangan bilang begitu, Conquest.” Gw dan Mbak Rylit, dikejutkan oleh suara Rokai. Akhirnya dia sadar. Tapi, matanya masih tertutup. “Tiap pengetahuan baru yang anda bagi untuk saya, ga ternilai harganya.” Perlahan kelopak mata pemuda itu terbuka, perlihatkan sepasang bola mata sehitam kolam tinta, sedikit lirik sang mentor. “Anda lebih dari sekedar Prajurit biasa. Anda mentor saya.”

Rylit tertegun sejenak, terus selepas jahit beberapa lukanya, perempuan itu menepuk lembut kepala Rokai, dan kasih usapan peduli. “Anak ini, selalu deh. Sebenarnya siapa yang perlu bimbing siapa di sini?” Dia senyum lagi, dan efek dari senyumannya pun bisa bikin Rokai beku ditempat, sama kaya gw dan Elka waktu pertama kali ketemu ama si Astralist. “… Kamu akan jadi Holy Chandra paling hebat di masa depan.”

“Pasti. Karena Anda melatih saya dengan baik.” Wew, gimana caranya tuh Mbak Rylit bikin Rokai jadi berkelakuan baik begitu?! Berlawanan betul dari sikapnya selama ini ke gw.

Setelah itu, ga ada kalimat apapun yang keluar lagi dari mulut kita bertiga. Hening tiba-tiba mengisi udara di ruangan ini, iringi gerakan tangan Mbak Rylit yang baru gw tau, diam-diam udah berpangkat Conquest, menutup luka demi luka di badan Rokai.

Kelopak mata gw terasa agak berat, rasa pusing juga belum berhenti menendang bagian belakang kepala. Jadi, perlahan gw menutup mata. Pengen coba tidur, tapi rasanya masih belum enak untuk terlelap. Beberapa saat kedua mata ini terpejam. Entah udah berapa lama, kesadaran gw ada diantara mau tidur atau tetap bangun.

Udah mau lelap, tapi kuping masih bisa menangkap suara, atau bunyi di sekitar.

“Ey…” Satu lelaki di kasur sebelah, bersuara. “Ey, Tulang flem.”

Gw masih terpejam, dan malas buka mata. Yaudah, gumam aja buat balas panggilannya. “Hm?”

“Makasih…” Hah? Ga salah dengar nih? Dia bilang makasih? Ke gw? Karena heran, gw buka mata, dan tengok ke kanan. “… Makasih ga bunuh gw tadi.” Lanjutnya ogah-ogahan.

Conquest Rylit udah ga bersama kami. Gw liat, badan bagian atas Rokai udah hampir semua ketutup perban. Dia ambil posisi duduk di atas kasurnya, sedangkan gw masih tiduran.

“… Ya, sama-sama. Makasih udah menahan diri. Kalo ga, bisa mati gw kesamber gledek.” Balas gw sekedarnya.

“Sebenarnya, gw emang niat bikin lu mati sih.” Kata Rokai, seraya pasang tampang serius, dan nada bicara yang ga dibuat-buat.

“APA!?”

“Bercanda.”

Gg-g… Wuuuutt!? Mata gw melebar, pas bertatapan dengan si Dokter sinting. Dia balas dengan muka datar dan sok ga merasa bersalah.

“Jangan pernah bercanda. Pake muka kaya gitu. Lagi.” Gerutu gw. Njir! Jantung rasanya mau copot. Masalahnya, dia ngomong serius banget coba! Lu ga bisa seenaknya ngomong ‘niat bikin mati’ ke orang lain, dihias keseriusan raut muka! Ga bisa!

“Lu ga perlu sekesal itu, kan?” Dia nanya, tapi kaya setengah meledek. Ya kali, siapa juga yang ga gondok digituin. “Oh ya, kayanya gw juga harus minta maaf, udah meluapkan kekesalan gw hari ini secara berlebihan ke elu.”

Oke, sekarang rahang gw hampir jatuh beneran. Cengo, melototi Si Holy Chandra. Dia minta maap! Dia. Minta. Maap! Gw sepenuhnya ga percaya dengan hal ini. Bencana apa yang bakal terjadi dalam waktu dekat!? “Siapa lu, dan apa yang lu lakukan pada Rokai?!”

“Apa…?” Rokai keliatan kurang paham, sebelah alisnya terangkat. “… Apa maksud reaksi lu itu?”

“Rokai yang asli boro-boro minta maap, justru minta ditabok abis melakukan suatu hal ngeselin!” Omel gw rada menggebu.

Sepasang mata hitam itu mengunci gw, coba mencerna situasi. “Dengar, Tulang flem. Gw ga suka lu, tapi ga benci lu. Plus, gw ga serendah itu. Kalo emang sadar punya salah, ya gw akan minta maaf. Itu wajar. Lagian, lu ga berhak terima kekesalan gw sebelumnya tanpa tau apa-apa. Gw menyebut lu egois, tapi justru kata itu lebih pas buat diri sendiri.”

Omongan barusan, kayanya omongan paling panjang lebar yang pernah keluar dari mulutnya. “Ya, ya, terserah lu dah. Permintaan maap diterima.” Balas gw, seraya mengalihkan mata ke langit-langit ruangan. Sejenak terdiam, dan ga gitu yakin mau nanya. “… Sekarang lu bahas hal itu… apa yang jadi pemicu kekesalan lu? Sesuatu yang berhubungan dengan… Keluarga?”

“… Kepo banget.” Jawaban yang luar biasa.

“Heyy! Lu utang penjelasan ke gw setelah seenak jidat nyalah-nyalahin orang hari ini!” Kesekian kali, menggerutu hadapi sikapnya. Ternyata gw salah mengira. Dia emang Rokai yang minta ditabok, “Lu tau? Oke. Ga masalah. Gw juga ga mau dengar-” Tangan kirinya meraih Log yang ditaro di inventori, dan menodongkan ke muka gw, ga kasih kesempatan kalimat sampe selesai.

Di layar persegi panjang Log yang menyala, terdapat sebuah artikel berita hari ini, bertajuk, “Generasi Baru Pewaris Perusahaan Spiralinx.

Ga paham tujuannya melakukan itu. Heran sesaat, dan mata gw bolak-balik menyelidik halaman artikel itu, sampe gw dapat visi lebih baik terhadap foto pria yang disebut ‘Generasi Baru’. Dia keliatan kaya versi lebih tua, lebih cerah, lebih berisi baik dompet maupun badannya, dari Rokai. Mata gw melebar sedikit, akibat rasa kaget pas sadar sesuatu. Gw balik menatap Rokai, minta klarifikasi.

“Yap, dia Kakak gw.” Katanya, mengonfirmasi rasa penasaran.

“Apa yang…?” Gw nanya, agak hati-hati. Karena tau ini bisa jadi topik sensitif.

“Intinya…” Tatapan Rokai bertemu dengan lampu ruangan. Dia ga berkedip, biarpun tau, liat cahaya lampu bikin matanya pedih. “… Pengkhianatan, pengasingan, dan.. affair.” 3 kata itu, dipilih untuk jelaskan masa lalunya secara keseluruhan.

“Apa?” Belum paham, apa maksud si Holy Chandra.

“Panjang ceritanya…”

“… Gw ga akan keluar dari sini dalam waktu dekat kayanya. Jadi… banyak waktu luang.”

“Haha. Keparat.” Rokai ketawa getir, sambil memejamkan mata. Lalu, memandang gw. “Mungkin, lu pernah dengar Perusahaan Spiralinx?”

Gw mengangguk. Seingat gw, itu perusahaan raksasa yang cukup dikenal namanya di Bellator. Kalo ga salah, bergerak di beberapa bidang. Tapi utamanya, di bidang manufaktur.

“Itu, adalah Perusahaan yang dikelola orang tua gw dulu.” Dia ketawa getir, “Dulu. Karena apa yang lagi lu baca sekarang.” Rokai menarik tangan kirinya, dan mematikan Log sebelum lanjut bicara. “Gw anak kedua dari tiga bersaudara. Punya kakak lelaki bernama Dyro, yang barusan lu liat fotonya, dan adik perempuan, namanya Aidy. Gw menyayangi mereka, sebagaimana saudara pada umumnya. Tapi kayanya, cuma adik gw yang membalas rasa kasih sayang itu.”

“Tunggu, jadi lu anak orang kaya dong?” Sela gw.

“… Dulu.” Jawabnya tegas. “Sekarang, ga lagi.” Seraya helaan napas Si Holy Chandra yang makin berat, menggali lagi memori yang kembali muncul ke permukaan. “Sebagai anak kedua, tentu gw menghormati Kakak, yang akan jadi pemimpin perusahaan selanjutnya, gantikan Ayah. Itu yang selalu ada di pikiran gw dan Aidy, tapi nyatanya, Ayah selalu membicarakan gw, gw, dan gw. Membandingkan kami, bilang kalo Kakak gw harus jadi sebaik, atau bahkan lebih baik dari gw.”

“Sebenarnya, gw bukan orang yang jenius, tapi cuma cepat belajar. Gw suka belajar. Menemukan hal baru, dan terus menggali untuk lebih menguasai sesuatu. Mencoba hal-hal yang belum pernah gw lakukan. Dan… semua selalu berakhir dengan gw menguasai hal-hal tersebut terlampau baik.”

Uhh… Halooo!? Bukannya itu disebut jenius?

“Gw ga pernah kepikiran tentang mewarisi perusahaan. Urusan macam itu, ga bikin gw tertarik. Kalo emang mereka serius menurunkan kepemimpinan ke gw, tanpa ragu akan gw kasih ke Kakak.” Dia hela napas lagi, “… Tapi kayanya, Kakak gw punya pemikiran yang berbeda.”

“Entah apa yang dia bilang ke Aidy, tapi ga tau gimana caranya, adik gw dihasut untuk percaya, kalo gw berusaha untuk menyingkirkan mereka berdua. Aidy buru-buru datang mencari gw, untuk konfirmasi kebenarannya. Waktu itu, gw lagi di kamar, iseng bikin sebuah prakarya. Dan butuh waktu berjam-jam buat yakinkan dia, kalo apapun yang dibilang Dyro padanya… itu bohong.” Matanya tertutup rapat, “Tapi kemudian, kecelakaan yang disengaja, terjadi. Dyro yang juga ada disana, mendorong Aidy ke arah gw yang lagi pegang gunting… hal selanjutnya yang gw tau, perut adik gw… tertusuk lumayan dalam.”

“Yang paling luar biasa, orang tua gw ada disana untuk liat kejadian itu… setelahnya. Mereka liat Aidy udah tergeletak ga berdaya di lantai, bersimbah darah, dengan tangan kanan gw pegang gunting, yang berlumuran darah adik sendiri.” Napas Rokai, perlahan jadi ga menentu. “Kalopun gw yang jadi korban, mungkin semua bakal sama aja. Adik gw yang bakal kena getahnya. Kakak gw cuma pengen memastikan ga ada yang halangi dia untuk jadi pimpinan perusahaan.” Mendadak, tangan kiri Rokai memukul meja kecil yang pisahkan ranjang kami, keras banget! Sampe bikin gw terlonjak kaget. Dia ga peduli dengan keadaan tangan yang baru aja dijahit. “Kenapa?! Kenapa dia harus melakukan itu!?” Pertanyaan retorik, terucap penuh kegeraman. “Yang harus dia lakukan cuma minta, atau bicara, gw bakal senang hati minggir dari jajaran ahli waris. Ga harus kaya gini…”

Rokai menggeleng kepalanya, berusaha singkirkan kemarahan yang tiba-tiba. “Usai ‘kecelakaan’ itu… Aidy masuk rumah sakit, dirawat inap. Dokter bilang, dia koma. Sampe sekarang, gw bahkan ga tau gimana keadaannya. Sedangkan gw ga dianggap. Mereka ga percaya apapun perkataan gw. Kalopun mereka percaya… ga ada tempat di keluarga itu bagi ‘pembunuh’. Dosa yang gw lakukan, bakal abadi, dan selalu diingat sebagai sejarah kelam keluarga Leiten. Jadi, gw diusir dari rumah, ga dianggap anak lagi, dan mengulang semuanya.”

“Sayangnya, gw masih terlalu muda dan berpikiran pendek. Berniat mengulang semua, tapi ga tau gimana caranya. Ga punya tujuan setelah menginjakkan kaki di luar rumah. Satu-satunya tempat yang kepikiran di kepala gw adalah rumah Ulkatoruk…” Rokai berhenti beberapa detik, “… Lukta.”

“Luk… ta?” Tanya gw.

“Itu nama belakangnya. Dia tetangga gw, terus pindah keluar kota ketika kami beranjak remaja. Ulkatoruk orang yang bisa dipercaya, tapi punya kebiasaan aneh untuk ga memberi tau nama lengkapnya ke orang yang baru dia kenal. Gw tinggal cukup lama di rumahnya, dan suatu hari liat formulir pendaftaran Prajurit untuk diberangkatkan ke Novus di meja belajar. Jadi, gw putuskan buat ikut bareng Ulkatoruk, tinggalkan Bellator, karena ga ada lagi tempat yang bisa disebut ‘rumah’ di sana.”

“G-gw… ga tau lu sedekat itu dengan dia.”

“Kami cukup dekat…” Rokai bilang, “… Dia yang ajari gw penguasaan Force Aqua.” Tangannya terlihat mengepal pas ingat tentang Ulkatoruk.

Gw mendengarkan dari tadi, dan lagi mikir gimana pendekatan yang tepat untuk subyek macam ini. “Uhm…” Masih ga yakin sih, tapi, ya udahlah… “Tapi, apa hubungannya dengan kebencian lu terhadap Force badai?”

Rokai menatap geram, dan mematikan. Ugh, apa pertanyaan gw salah?

“Keluarga Leiten bukan praktisi ilmu Spiritual garis keras, tapi punya satu tradisi yang terus dijaga turun temurun. Biarpun kebanyakan dari Leiten ga pernah berkecimpung dalam bidang Spiritual, tradisi itu ditujukan supaya kami bisa menjaga diri dari serangan dunia luar.” Rokai memandang telapak tangan kirinya yang dibalut perban. “… Kami diwajibkan untuk menguasai Force badai, biarpun cuma dasarnya. Itulah kenapa, gw ga mau memakai Force badai…”

Karena, bila lu pernah dikhianati, diasingkan, dibuang, oleh mereka yang lu sebut ‘keluarga’, lu akan berhenti percaya…” Ohh, jadi itu maksudnya. Baru paham. “… Lu menganggap hina segala tentang mereka.”

“Ya.”

“Terus, apa yang akan lu lakukan kedepannya?”

“Maksudnya?”

“Yah… uhm, sekarang lu tau Kakak lu yang jadi pimpinan Perusahaan.”

“Itu pertanyaan dungu. Ya tetap jalani kehidupan yang gw punya… sendirian.” Dia memijat batang hidungnya, dengan jari telunjuk, dan jempol kanan. “Gw ga mau lagi berurusan dengan mereka. Persetan.” Napasnya mulai kembali ga teratur. “Tapi, kalo sampe liat muka Dyro secara langsung…” Rokai menegangkan otot kedua lengan, percikan listrik keluar dari lengan kiri, “… gw bakal bikin dia menderita.”

“Jangan,” Bantah gw sigap. Beuh, untung abangnya ga di Novus. 100% mampus yang ada, “lu bakal menyesal kalo melakukan sesuatu yang begitu radikal.”

“Kayanya gw udah ga punya apa-apa buat disesali.”

“Oh ya? Gimana dengan Conquest Rylit?” Tanya gw, “Dari caranya bicara, keliatan dia begitu peduli anak didiknya. Lu udah mengulang kembali kehidupan lu, membangun lagi jalan yang mau ditempuh.” Gw tengok ke arah Rokai. “Lu punya pasien, lu punya teman –mungkin, ga yakin sih. Masih ada orang yang peduli sama lu.” Sebenarnya, pengen berdiri dan pukul mukanya kaya yang gw lakukan di arena tadi, tapi keadaan lagi ga memungkinkan. “Jangan hancurkan jalan yang udah susah payah lu bangun ulang. Coba sekali-kali hargai diri lu sendiri, Dokter sinting.”

Rokai terhenyak, dan matanya melebar. Dia buang muka, menghindar dari tatapan mata ungu. Kesunyian canggung, sempat kembali ke ruangan ini. Barangkali omongan gw terlalu sok tau, dan terlalu menggurui.

Entahlah, seenggaknya, itu yang ada di benak gw. Dia lebih baik dari itu, Rokai selalu tenang dan kalem menghadapi berbagai situasi. Pemikiran tadi lolos karena semburat emosi udah ga bisa tertahan, meruntuhkan dinding ketenangan yang dia punya.

Kemudian, dia mengumpat. “Faak. Lu sengaja melakukannya, kan?” Sambil menekuk sudut bibir ke atas, membentuk senyum tipis.

Gw jadi ketawa, “Hahaha! Ternyata lu masih ingat,” ya, gw tadi mengulang satu kalimat yang pernah dia bilang ke gw dulu.

“Itu kata-kata gw, mana mungkin lupa.” Rokai merogoh inventorinya, tampak mencari sesuatu, “Apa lu cuma bisa mencuri kata-kata orang lain? Tukang bajak.”

“Apa yang coba gw katakan adalah… pikirkan lagi, oke? Sebelum lu tiba di level ‘persetan’.” Pandangan gw, balik lagi ke langit-langit. Dengar cerita Rokai, jadi ingat Meinhalom. Kalo ga salah, dia juga lari dari rumah, dan memutuskan buat meninggalkan Bellator, dan orang tua yang masih menyayanginya.

Mereka berdua, mengambil langkah besar di satu titik kehidupan. Ibaratnya, lagi ada di persimpangan jalan, dan harus berpikir cepat mau ambil jalan yang mana. Itu ga gampang, butuh keberanian besar untuk terima risiko yang bakal mereka temukan di depan. Tapi, itulah intinya. Lu harus berani. Karena tanpa keberanian, lu ga bakal punya kesempatan buat berubah. Mau jadi apa di masa depan, itu urusan nanti. Lu cuma harus menjalaninya semaksimal mungkin.

Sekarang, gw penasaran gimana kelanjutan duel antara Elka dan Meinhalom. Siapa yang bakal keluar jadi pemenang?

Pas lagi asik mikirin hasil Festival Olahraga, tau-tau dada ini kejatuhan suatu benda berwarna hitam, berbahan kulit yang udah lama ga gw liat. Dompet. Tepatnya, dompet gw! Rokai melempar dompet itu dengan tangan kanannya, dan jatuh tepat di dada. “Oke, gw kalah lagi. Tuh gw balikin.”

“Tunggu, apa!? Heyy, bukannya gw jatuh duluan?! Lu lah yang menang!” Seru gw, dengan nada rada tinggi. Agak bingung dengan pernyataannya.

“Lu sanggup tetap berdiri dari mantra badai, bahkan sampe nyerang balik, dan bikin gw pingsan seketika.” Balas Rokai, lebih santai sekarang. “Gw benci mengakuinya, tapi kalah tetap kalah.” Astaga, sebenarnya siapa yang ga punya otak di sini? “Lain kali, lu harus lawan gw lagi. Lain kali, gw ga ba-“

“Gak! GAK! MAKASIH!” Ajegile ni bocah. Apa pemahaman orang jenius, emang beneran beda dengan orang normal?

“… Kenapa?”

“Lu menakutkan. Ogah berantem lagi lawan lu…”

“… Jadi lu beneran takut ama gw?”

“Kayanya…”

“… Cupu.”

“Sinting…”

“… Omong kosong.”

“Banyak omong…”

“… Otak setengah sendok nyam-nyam.”

“Tampang kaya arwah ikan gabus…”

“… Jenius.”

“Idiot…” Gw balas ejekannya dengan ketus. Peduli amat. Kalo sering-sering ketiban meteor, kesamber gledek, kebakar, membeku, bisa mati beneran lama-lama. “Oke, gw akan ambil dompet ini. Dan karena ga sepenuhnya menang, jadi gw bakal tetap patuh terhadap instruksi dari lu… Dengan syarat; kalo gw ga merasa keberatan. Hahaha.”

Rokai geleng-geleng, “Terserah.”

Harus gw akui, tadi itu obrolan yang cukup menarik. Dibalik sikap menjengkelkannya, gw tau dia ga seburuk itu. Yang perlu dilakukan… ya banyak-banyak sabar aja menghadapi orang ini. Gw merasa, itu adalah obrolan terlama diantara kami. Selama ini, yang terjadi kan antara dia belaga sok keren, atau ga ada abisnya mencela gw.

Kami lanjutkan obrolan ringan, biarpun Rokai orangnya agak hemat kata –padahal, tadi nyerocos terus. Perlahan, dia udah balik ke keadaan semula. Aura ketenangan dan tekanan kalem di sekelilingnya mulai kembali. Bagus deh, gw rasa.

“Cie udah baikan…” Di tengah obrolan, Elka menyela. Si infiltrator berambut coklat berdiri di pintu masuk, dan tersenyum pada kami. Terdapat medali yang digantung di lehernya. Elka jalan ke sela kosong diantara dua kasur, hadap ke gw, dan nanya, “… Coba tebak?”

“Uhh… lu menang?” Pasti dia mau menyombongkan diri.

“Hehehe.” Yup… dia menang. “Gimana kondisi lu?”

“Ga bisa gerak. Tapi udah enakan sih. Mungkin gw butuh istirahat.”

“Bukan mungkin lagi, tapi emang butuh.” Ucapnya.

“Jadi, lu mengalahkan Meinhalom?” Kali ini, Rokai bertanya.

Elka berbalik, kali ini menghadap Rokai. “Yup. Hebat, kan?”

“Lumayan.” Jawab Rokai, seraya angkat kedua bahu.

“Lumayan?” Tanya Elka, dengan intonasi ditekan. Seolah ga terima. Astaga. “Mungkin lu mau rasakan gimana… lumayannya?”

Rokai membalas, ga mau kalah, “Apa itu satu tantangan?”

“Mungkin…” Perempuan itu masih lanjut, mata coklatnya bertemu dengan mata hitam Si Holy Chandra, “… Tergantung.

“Ha, luar biasa. Gw suka gaya lu.” Di luar dugaan, Rokai sumringah, “Ey, Tulang Flem. Harusnya lu belajar dari pacar lu ini.”

“Yeeaa… Ga. Ga akan terjadi.” Balas gw singkat. “Dan dia bukan pacar gw.”

“Apa?” Pandangan Rokai berganti jadi agak terhenyak, dari gw, ke Elka. Si Infiltrator perempuan mengangguk. “Jadi, ga apa-apa kalo gw deketin lu?”

“APA!?” Sekarang, gantian gw yang kaget. Yah, kemungkinan besar Elka bakal menolak sih.

“Tentu. Gw ga keberatan.”

“APA!?” Tapi justru sebaliknya, jawaban perempuan itu bikin gw syok. “Tunggu! Kayanya ga gitu cara pendekatan ke perempuan.”

Rokai kembali beralih ke gw, dengan tatapan merendahkan, “Apa lu pernah pacaran sebelumnya?”

“Uhm, belum.”

“Kalo gitu tutup mulut lu.” JDER! Omaigad… intonasi tajam nan datar, malah bikin efek kalimatnya makin sakit banget. Kaya ditembak pake senapan runduk dari jarak semeter, di kepala.

.

.

Setelah beberapa jam, akhirnya gw keluar dari ruangan itu. Tapi Conquest Rylit bilang, lebih baik kalo gw jalani perawatan lebih lanjut di tabung pemulihan untuk mempercepat proses penyembuhan. Elka bawa gw keluar pake kursi roda. Dan saat lewati lorong menuju arena, di ujung sana ada suatu hal aneh yang menarik perhatian gw.

“Eh bisa ke arena dulu ga?” Tanya gw, pada Elka di belakang.

“Mau ngapain?” Dia balik nanya.

“Pengen liat aja.”

Jadi dia mengarahkan kursi roda menuju arena. Dan betapa kagetnya gw, liat pemandangan di depan mata! Pemandangan yang beda banget dari pas terakhir gw di tengah sana! “Lu… lu hancurkan arenanya!?”

Ya, di tengah sana, bekas hangus dan kawah dangkal di berbagai tempat, sebagai pertanda ada pertarungan ganas terjadi. Arena yang semula memiliki permukaan rata, kini udah ga beraturan. Nyala percik api masih tersisa, kecil, di beberapa tempat. Asap keluar dari pusat kawah-kawah dangkal tersebut.

Ga cuma kawah dangkal, tapi ada juga tanah yang membentuk gundukan, dan keluarkan hawa panas dari dalam. Entah pertarungan kaya apa yang udah terjadi di sini, sampe bikin arena jadi ga rata lagi.

“Enak aja! Gw ga ngapa-ngapain! Itu kerjaan buff hoki lu, tau.” Bantah Elka tegas.

“Meinhalom?!”

“Ya. Kayanya dia terlalu maksa, dan ga ingat kondisi badannya yang udah mencapai batas. Jadi ga susah deh buat dikalahkan.” I-ini anak terlalu santai. Mein pasti mengeluarkan sisa tenaga yang dia punya, kalo bisa bikin keadaan arena sampe kaya gini. Tetap aja, masih belum bisa menang. Edan.

“Terus, gimana keadaannya setelah itu?”

“Dia pingsan karena terlalu banyak pake Force. Selebihnya, ga tau.” Jawab si Infiltrator berambut coklat.

Hmm, gw harap dia baik-baik aja. Pengen liat keadaannya sih, tapi gimana? Kondisi badan gw sendiri ga bisa dibilang udah pulih. “Yaudah Ka, udah cukup.”

Kemudian, gw langsung dibawa ke tabung pemulihan, habiskan waktu 5 hari lebih direndam cairan penyembuh. Mekar, mekar dah. Haha yang penting cepat sembuh. Oh ya, sebagai juara 1, Elka berhak atas hadiah Dalant tunai senilai 50 juta. Wew, mandi duit mendadak tu anak. Sedangkan, juara 2 hadiahnya 25 juta, juara 3; 12 juta, dan juara 4; 6 juta.

Lumayanlah daripada ga dapat sama sekali. Masih untung dikasih hadiah haha. Ini hari dimana pemulihan gw usai. Dan Elka bilang, mau traktir-traktir makan begitu gw keluar dari tabung pemulihan. Aseeek. Ini dia yang ditunggu-tunggu.

Keretakan tulang yang gw alami, udah 90% sembuh. Masih sedikit terasa nyeri di beberapa bagian, tapi petugas medis bilang, itu normal. Cedera yang berhubungan dengan tulang, emang ga bisa sembuh secara instan. Butuh proses alami untuk bener-bener sembuh 100%, dan itu bakal makan waktu.

Kecuali… kalo Meinhalom yang menangani. Tapi… ogah ah.

.

.

Ranger Mesh, Kamar Lake…

Pas lagi ganti baju, mau siap-siap ketemu di tempat janjian dengan Elka, mendadak pintu kamar gw ada yang ngetok. Pasti bukan Elka, karena dia selalu nyelonong masuk. Bukan Alecto juga, karena ketukannya beda. Siapa kira-kira?

Gw buka pintu, dan di hadapan gw, berdiri seorang pemuda berambut hitam, dengan kacamata debu berada di dahinya. “Eh, elu. Masuk, masuk.”

“Yo…” Balasnya suram, tapi maksa senyum. Beuh, kenapa ni anak? Ga kaya biasanya. “Ga usah, gw cuma sampaikan pesan; Maximus Khortenio mau bicara empat mata dengan lu.”

DEG!

Shite! Gw hampir lupa kalo masih punya satu masalah besar! Karena gw gagal keluar sebagai pemenang Festival Olahraga, hukuman dan ganti rugi kerusakan yang gw perbuat di kantor Divisi Sains dan Teknologi menanti. “U-Ugh, tentang itu ya…”

“Lu tau kenapa muka gw begini?” Dzofi nanya, sembari tunjuk mukanya yang ditekuk abis-abisan. “Karena pagi-pagi udah kena semprot.”

GLEK!

Suara ludah tertelan. Mampus, nasib gw bakal ga jauh beda nih kayanya. Huff, terpaksa harus ditunda dulu bersenang-senangnya. Sial. “O… ke. Gw kabari Elka dulu.”

Tangan gw meraih Log misi, dan sembari jalan bareng Dzofi menuju kantor Maximus Khortenio, mengirim pesan teks pada Elka.

Sorry nih Ka, mendadak ada urusan. Lu Duluan aja.

Ga lama, ada balasan.

PIIP.. PIIP..

Urusan apa? Lama ga?

Dipanggil Maximus Khortenio. Ga tau nih.

PIIP.. PIIP..

Gw tunggu lu aja.

Udah ga usah.

PIIP.. PIIP..

Gw ga mau pergi tanpa lu.

Huft. Ya udah.

Dasar. Ada-ada aja. Kadang membujuk dia, ga jauh beda kaya membujuk batu. Apa boleh buat, emang orangnya sendiri yang mau.

“Kira-kira, bakal ngomel tentang apa ya, mentor lu itu?” Tanya gw penasaran pada Si Armor Rider.

Pertanyaan gw, malah bikin moodnya, makin drop, “Lebih baik, nanti lu dengar aja sendiri.” Se-segitunya kah? Sampe kehilangan semangat hidup. “Ngomong-ngomong, apa yang lu lakukan udah hebat. Walau ga menang, tapi hebat. Lu berhasil imbangi Prajurit-Prajurit ga normal itu.”

“Itu karena lu bikin gw berjanji, kan?” Gw bilang, “gw udah usaha keras lho.”

Dzofi menyungging senyum, “Ya, tau. Itu luar biasa.”

Sesampenya di depan pintu ruangan Khortenio, keraguan menghampiri. Apa gw udah siap mental buat diteriaki abis-abisan? Gw terpaku beberapa lama, sampe pintu di depan gw kebuka sendiri. Di dalam, seorang pria berambut cepak magenta, lagi berjalan menuju dispenser, dan ambil air minum. “Semoga selamat. Kalo butuh apa-apa, lu tau di mana ruangan gw. Oke?”

Kepala gw, mengangguk perlahan. Si Teknopat berbalik, dan beranjak menuju ruangannya sendiri. Sekarang, tinggal seorang diri nih. Ya udah, biar cepat selesai, gw beranjak masuk. “Pe-permisi, Maximus. Saya hadir memenuhi panggilan Anda.”

Dia berbalik, dan menatap gw. Matanya yang tampak seram, dengan bekas luka bakar di sisi wajah sebelah kiri, sukses bikin gw ciut. Segitu, belum disembur omelan keras ala Pimpinan Divisi Sains… Ahh, hancurlah hari gw.

Khortenio meletakkan gelas di atas mejanya, dan berjalan menghampiri. Masih mengunci pandangan ke muka gw. Dalam hati gw mengulang perkataan, “Plis jangan teriak, plis jangan teriak, plis jangan teriak.” Macam orang dungu. Ugh, di kepala gw, udah kepikiran segala hal buruk yang bakal dilakukannya. Faak.

Tapi,

Semua pemikiran itu buyar pas dia melakukan satu hal yang paling ga terduga. Dia memeluk erat tubuh gw. Pelukan itu… gw harus bilang, terasa hangat. Kaya seseorang yang udah lama banget ga ketemu, dan kembali dipertemukan. Gw ga tau harus bilang apa, tapi ga melawan. “Ma-Maximus?”

Dia melepas pelukannya, sambil senyum tulus, dan bilang. “Kamu udah tumbuh jadi seorang Pria.”

“Apa?” Yakin, muka gw pasti rada blo’on. Soalnya emang lagi ga paham apa yang terjadi.

“Oh, kamu keliatan bingung.”

Iyalah! Jelas! Secara, gw datang kesini nyiapin mental bakal dimarahin abis-abisan kaya saat terakhir kali berada di sini, dan ternyata… semua ga kaya yang gw pikirkan. “Uhh… ya.”

“Silahkan, duduk dulu.” Dia arahkan tangan ke kursi di depan mejanya. Terus, dia sendiri beranjak ke kursinya. “Oke, saya ga akan bertele-tele. Udah sejak lama saya kenal kamu sebenarnya. Bahkan, saya jadi saksi pas kamu dilahirkan.”

Mata gw melebar denger pernyataan itu, “Hah?”

“Ya, kamu ga salah dengar.”

“Tapi, gimana anda bisa kenal saya? Sejak lahir pula. Gimana dengan… kenapa tiba-tiba anda…” Sangking ga tau harus bereaksi gimana, respon gw jadi ga dalam satu kalimat full.

“Saya adalah sahabat Actassi dan Qahazari, Lake. Ayah dan Ibumu.” Jawab Pria paruh baya itu.

“Ayah… Ibu…” Gumam gw tanpa sadar, “tunggu, tunggu Maximus. Apa anda panggil saya, untuk bicara masalah ini?”

Dia tenggak air dari gelasnya, dan mengangguk sekali, “Ya.”

Jadi, tebakan gw tepat. “Gimana dengan masalah… ehm… ganti rugi dan… hukuman… yang saya terima?”

“Hah?” Mukanya berubah keheranan. “HAHAHA!” Tetiba, dia ketawa keras. “Kamu beneran anggap kalo itu semua serius!?”

“Uhh…” Eh, apa!? Apa maksud semua ini?!

“Sebenarnya, saya cuma pengen kerjain Dzofi. Karena itu cukup jadi hiburan tersendiri bagi saya. Ga nyangka, ada lagi yang ikutan kejebak… Hahahahaha!” Sialan. Jadi selama ini kita dipermainkan!?

“Tapi, gimana dengan-“

“Segala kerusakan udah ditanggung Federasi. Kerusakan kecil seperti itu, adalah harga murah yang harus kami bayar untuk kemajuan teknologi Bellato.” Ucapnya mantap. Gw agak tercengang, karena dari tadi, dia belum teriak-teriak. Apa jangan-jangan, kepribadiannya ga kaya yang selama ini kita kira? “Lagian, kamu udah berhasil sampe final, dan menduduki peringkat 4. Perjuanganmu patut diacungi jempol. Itu ga bisa disepelekan.”

Jadi… gw berjuang cuma demi bikin dia senang, ya? Kampret juga Si Bapak satu ini. Kesal sih, sayang, gw lagi ga berada di posisi yang bagus buat menggerutu.

“Hmm, sampe dimana tadi? Oh ya, saya mengenal baik orang tuamu. Dan saya pikir, udah waktunya kamu tau kebenaran tentang mereka.”

Kebenaran tentang mereka…?” Jujur, dalam hati, pengen tau lebih jauh. Pengen nanya-nanya seputar kedua orang tua yang ga pernah gw kenal, atau bahkan sekedar liat rupa mereka. Tapi… ga tau harus mulai dari mana. Kepala gw agak tertunduk, dan memandang jemari yang saling bertaut di atas kedua paha. Gw terdiam sejenak.

Maximus Khortenio tampak beri waktu, supaya gw bisa perlahan cerna informasi, dan ga biarkan otak gw dibanjiri hal-hal baru yang datang dari segala arah secara mendadak. “Maximus, boleh saya tanya sesuatu?”

“Tentu. Apapun itu, tanyakan aja.”

“Gimana rupa orang tua saya?” Tanya gw, sambil tetap tertunduk. Pria berambut magenta itu, berdiri dari kursinya, dan jalan ke salah satu sudut ruangan.

“Saya ga pernah punya satupun foto mereka, jadi ga bisa kasih gambaran jelas.” Dari balik dinding di hadapannya, muncul sebuah panel rahasia, yang merupakan alat scan sidik jari dan retina. Seusai melakukan scan, dinding tersebut membuka. Bertindak sebagai pintu masuk ruangan rahasia di dalam kantor ini, “… Apa kamu mau ketemu dengan mereka?” Pria itu bertanya santai, dihias senyum merekah di wajah.

DEGDEG!

Jantung terasa berdetak sedikit lebih cepat. Bola mata gw seolah mau lompat keluar, memandang senyum penuh makna dari pria paruh baya itu. Terhenyak dengar pertanyaan itu. Gw ga salah denger, kan? “Apa?!”

.::The End of Sports Festival Arc::.

Wait! I don’t think that’s a proper way to approach a girl.”
Did you ever date before?”
Uhm, not… yet.”
Then shut your mouth.” – Lake & Rokai (Ch. 39)


CHAPTER 39 END.

Next Chapter > Read Chapter 40:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-40/

Previous Chapter > Read Chapter 38:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-38/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Catatan Author:
Wew. Akhirnya setelah makan 15 chapter, arc Festival Olahraga selesai! Saya sendiri ngerasa sih kalo itu udah kepanjangan. Tapi yaudahlah.. hehe.
Tujuan dari arc ini adalah pengembangan karakter Rokai dan Meinhalom, diselipin juga pengenalan lebih lanjut beberapa karakter lain yang ga terlalu disorot di arc sebelumnya.
Terima kasih pada semua pembaca cerita ini, atas kesediaannya meluangkan waktu untuk terus ngikutin naik-turunnya cerita yang saya tulis, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Terima kasih buat Bid’ah Slayer, Hafidz, dan Yugoslavic udah ijinkan saya make karakter mereka, biarpun baru Lace dan Lech, tapi siapa tau di arc depan bisa muncul yang lain. Haha. Terima kasih yang udah bersedia ninggalin feedback, kritik, dan saran supaya saya bisa terus belajar. Those were priceless!

Regards,
Mie Rebus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *