LAKE CHAPTER 40 – REMINISCENCE OF ANOTHER MEMORY (PART 1)

Lake
Penulis: Mie Rebus


Oke, pertanyaan Maximus Khortenio cukup mengejutkan. Gimana engga?! Dia nanya, apa gw mau ketemu orang tua yang udah lama ga ada?! Apa si Bapak ini lagi bercanda? Kalo beneran bercanda, ini bukan sesuatu yang lucu.

“Maximus, apa maksud anda?” Tanya gw kebingungan.

Si mental smith berambut magenta ga langsung jawab. Melainkan melangkah masuk ke ruangan rahasia lebih dulu, baru kemudian ngajak gw, “Ayo sini.”

Ga ada pilihan selain ikuti kemana dia pergi. Gw bangkit dari kursi, dan menuju ke ruangan itu. Ada apa di dalam sana? Pertanyaan tadi, ga berani gw lontarkan, karena masih meraba-raba keadaan.

Ruangan tersebut ga terlalu luas ternyata. Ukurannya ga lebih besar dari kamar gw. Tapi ada cukup ruang kosong buat meletakkan dua kursi, dilengkapi suatu perangkat kepala, terhubung pake semacam kabel. Macam kursi elektrik buat eksekusi mati yang biasa gw liat di tipi-tipi. Otak gw langsung mikir hal-hal aneh.

Ru-ruangan apa ini?! Apaan tuh?!

“Proyek Reminiscence.” Maximus Khortenio tampak sedikit sibuk untuk mengaktifkan alat asing di depan gw. “Salah satu projek yang saya buat semasa muda. Dan terus saya kembangkan secara pribadi. Alat ini, namanya Jembatan Saraf (Neural Bridge).”

“Jembatan.. saraf?”

“Ya. Berfungsi untuk menghubungkan sistem saraf dari dua individu yang duduk di sini, dengan menangkap impuls-impuls neuron di otak mereka.” Maximus Khortenio coba kasih penjelasan sederhana.

“Menghubungkan.. system saraf?” Tapi, gw belum paham. “Gunanya?”

“Hmm. Begini analoginya; otak kita terbentuk dari milyaran sel, ibarat super komputer paling canggih dengan milyaran kode. Ga ada teknologi yang mampu menduplikasi otak secara sempurna, atau bahkan sekedar 10% kinerjanya, sama sekali mustahil. Ga ada satupun yang diizinkan mengakses super komputer ini, kecuali diri kita sendiri, kan? Diri kita, adalah administrator super komputer yang ga punya tandingan.” Kali ini, pria paruh baya tersebut berdiri, dan menghadap gw.

Sampe sini sih, masih agak paham. Jadi gw angguk-angguk aja.

“Nah, gimana kalo seumpama, saya mau pinjam ‘super komputermu’? Sedangkan, cuma administrator yang punya hak akses?”

Buat apa pinjam ‘komputer’ gw? Kan dia udah punya sendiri.

Tapi, gw sih mikirnya, di sistem operasi bisa dibikin dua profil sebagai identifikasi. Gw, pemilik komputer, bisa login sebagai administrator, dan punya hak akses penuh buat menyunting, mengubah, modifikasi isi komputer sesuka hati. Kalo ada yang mau pinjam.. “Uhm, login sebagai ‘tamu’?”

“Hahaha, tepat!” Dia nunjuk gw, keliatan semangat banget. “Sekarang, duduk di sini.” Terus, telunjuknya pindah ke kursi di sebelah kiri. Gw belum sepenuhnya mengerti dengan ocehannya barusan. Ya udahlah, ikuti aja dulu apa maunya. Barangkali, nanti bakal paham sendiri. “Saya akan izinkan kamu login sebagai ‘tamu’, di ‘komputer’ saya.” Ujarnya, seraya ikut duduk di kursi sebelah kanan, dan memakai perangkat kepala.

“Apa…?” Tunggu, kalo analogi otak adalah komputer, berarti… “Apa ini alat untuk liat isi kepala.. orang lain?”

“Sederhananya, ya.” Jawabnya singkat. Gw ga percaya, ada alat semacam ini. Udah sejauh mana peradaban kita berkembang? “Melalui proses penyatuan saraf (Neural Handshake), sistem saraf, pikiran, panca indra kita jadi satu.”

“… Artinya, saya akan berada di kepala anda sebentar lagi.” Gw ambil kesimpulan, dari penjelasannya yang muter-muter.

“Ya. Akhirnya paham juga.” Apa benar, hal kaya gini mungkin buat dilakukan? Yaaa, gw udah pernah liat Rokai menjatuhkan meteor… jadi… ga ada yang ga mungkin kayanya. Tapi kalo benar, ini terobosan luar biasa! Ga perlu susah-susah interogasi lagi. Dudukin aja dimari, dan kita bisa tau semua yang mau kita tau. Tapi, tentu bisa bahaya juga kalo jatuh di tangan musuh. “Menjelaskan konsep mesin ini pake bahasa sederhana, kaya menjelaskan sains roket pake fisika dasar.”

Boro-boro sains roket, fisika dasar aja bisa bikin gw kalang kabut. “Tapi, apa ga bahaya, kalo ciptaan anda ini jatuh ke tangan Kekaisaran, atau Aliansi Suci?” Tanya gw, sembari pake perangkat kepala.

“Tentu bahaya, makanya saya merahasiakan ini dari siapapun. Ga terkecuali Federasi. Cuma Actassi dan kamu yang tau.” Jemari tangan kirinya sibuk menekan tombol yang jadi antar muka alat ini.

“Ayah..”

“Dia yang terus maksa saya untuk selesaikan proyek ini, apapun yang terjadi.” Satu senyum tulus terpatri di bibir Maximus Khortenio, mengingat masa muda. “MEMULAI PENYATUAN SARAF!” Eh mendadak, dia berseru serius.

“Ingat Lake, ini bukan tanpa resiko. Jangan tersesat saat berada di arus memori. Ada kemungkinan kamu ga akan bisa kembali. Akses random bisa memicu gelombang otak berlebihan, banjir memori. Biarkan mengalir, jangan sampe tersangkut. Jangan hiraukan, tetap di jembatan, jangan sampe ikut hanyut. Penyatuan saraf harus tenang, dan terkendali.”

“Hah!? Gimana!?”

“Penyatuan saraf dimulai!” Shite! Dia bahkan enggan mengulang perkataanya!

Seketika, pandangan jadi blur. Mata menangkap biru muda, yang jadi latar warna pada lingkungan di sekeliling. Segala macam perabotan, dinding, bangunan, hilang semua. Seolah di teleport ke antah berantah. Perlahan, muncul corak-corak putih, diantara padatnya biru. Gw celingak-celinguk, dan keresahan menghampiri. Dimana ini!? Apa yang terjadi!?

Berdiri tengah warna biru muda bercorak putih, ga ada bidang yang jadi tempat berpijak. Rasanya, bak menapak di tengah langit berawan tipis, tanpa daratan sejauh mata memandang. Perasaan ini.. hampir sama kaya bermimpi. Terasa nyata, tapi sebenarnya semu.

Seketika, pemandangan di depan mata, berganti begitu cepat. Kilatan gambar, kehidupan dan kilas balik kejadian yang penah gw alami, semua terpampang. Dari waktu masih kecil, dirawat oleh paman, menjalani kehidupan ga beruntung berdua dengan Elka, masa-masa pendidikan akademi, Ether, Festival Olahraga, semua. Seperti mengedipkan mata berulang-ulang, dengan cepat. Yang terlihat adalah rentetan frame.

Ada satu ingatan yang mengalihkan fokus sepenuhnya. Ingatan hari meninggalnya nenek Elka. Kalo ga salah, waktu itu usia gw masih 7 tahun, dan Elka 8 tahun. Pemandangan biru muda bercorak putih, berganti jadi suasana upacara pemakaman di suatu sudut kota Bellator.

Gw yang masih kecil jelas masih imut-imut, berusaha tutupi rambut kelabu yang mencolok dengan topi berukuran lebih besar dari kepala sendiri. Haha, lucu juga kalo diingat lagi. Gw berdiri di sebelah Elka kecil yang lagi menangis dalam diam. Air matanya mengalir di pipi, tapi ga ada isak tangis, atau suara apapun dari mulutnya.

Liat hal itu, tentu menghancurkan separuh hati. Masih ingat betul, itulah penyebab gw paling ga suka liat air mata perempuan itu. Liat dia berusaha sekuat tenaga sembunyikan pedih dari seluruh dunia biar ga ada yang tau, betapa sakit yang kerasa di dalam dada.

Gw ga tau apa yang harus dilakukan saat itu, jadi gw pergi dari sisi Elka kecil yang masih tetap berada di depan makam neneknya. Gerimis mulai turun, semua orang mulai beranjak satu persatu dari sana. Mata gw memberi lirikan terakhir pada gadis kecil berambut coklat, sebelum benar-benar tinggalkan tempat itu.

Langkah kaki bawa gw menuju bangku di sebuah taman. Jadi tempat beristirahat sejenak setelah upacara pemakaman. Di masa ini, Elka adalah satu-satunya teman yang gw miliki. Tentu gw ga mau liat keadaan teman dekat kaya gitu. Namun usia 7 tahun masih terlalu dini untuk berpikir hal-hal kompleks dan menangani peristiwa krusial di sekitar, bahkan saat peristiwa itu menyangkut diri sendiri.

Tiba-tiba, ada seseorang mengenakan mantel bertudung warna coklat gelap, ikut duduk di sebelah gw. Dari leher kehidungnya, tertutup syal biru lusuh yang cukup tebal. Ah, gw ingat orang ini. Pria asing yang kasih saran tentang apa yang harus dilakukan terhadap situasi yang menghimpit kami.

“Kamu keliatan murung, teman kecil. Ada apa?” Dia bertanya, dengan suara agak berat.

“Uhm… Om siapa? Maap, Pamanku bilang supaya ga bicara dengan orang asing.” Jawab gw. Wow, sepolos itu ya dulu.

“Berarti Pamanmu membesarkan anak dengan metode yang tepat.” Balasnya. Dia menatap ke bawah, tertuju ke permukaan beton yang mulai tertimpa titik air. Wajahnya ga jelas terlihat karena ketutupan tudung mantel, dan syal. Tapi matanya masih keliatan, sepasang iris kelabu. “Saya bukan siapa-siapa, cuma pejalan kaki yang kelelahan.” Lanjutnya lirih.

Curah gerimis yang turun makin intens, sedikit lagi bakal jadi hujan. Tapi, ga ada tanda-tanda gw dan Pria itu akan pindah tempat. Mata ungu gw berpindah pada pria bertudung, menyiratkan rasa pahit. “Om… temanku kehilangan orang yang paling dia sayangi hari ini. Aku liat air matanya. Dia pasti sedih banget. Kalo dia sedih, aku juga ikut sedih, Om. Dadaku sakit.”

Tangan gw menepuk dada sendiri, merasakan detak jantung yang berdetak lebih cepat. “Aku pengen melakukan sesuatu, tapi ga tau harus ngapain. Aku ga pengen dia sedih terus, aku ga pengen liat dia habiskan air mata. Nanti, matanya bisa kering.”

Si Pria terdiam, beberapa lama memandang gw. Matanya basah, entah air mata, atau karena gerimis yang makin deras. Di tengah tempratur yang makin dingin, dia bertanya, “Kamu peduli padanya? Apa kamu mau melakukan apapun demi temanmu?”

Tanpa ragu, Lake kecil mengangguk. “Mau Om! Mau banget!”

“Ada hal yang bisa kamu lakukan…” Kata si Pria bermantel cokelat. “… Jangan pernah tinggalkan dia sendirian. Berjalanlah di sampingnya, selalu ada untuknya kapanpun dia butuh seseorang untuk berbagi kesedihan, atau kebahagiaan. Habiskan waktu selama mungkin bersama. Kalo perlu, jadikan dia tawananmu, supaya dia ga bisa kabur. Supaya kamu ga bisa melepas pengawasan.”

“Jadikan… tawanan…?” Gw yang masih kecil mana mungkin paham makna dari kalimat-kalimat itu. Apa hal yang bisa bikin kita bahagia? Tapi sedikit banyak udah tau apa yang harus diperbuat, dan ga murung lagi. Lake kecil berdiri, dan betulkan posisi topi di kepala. “Makasih ya Om, aku akan lakukan apa yang Om bilang!” Gw berlari, balik lagi ke makam Nenek Elka.

Si Pria asing ga habiskan waktu lama. Begitu Lake kecil berlari tinggalkan taman, pria itu berdiri lalu jalan ke arah berlawanan, di tengah ujan.

Saran dari pria bermantel coklat itulah yang selalu terngiang, dan bikin gw selalu berada di samping Elka sampe sekarang. Janji yang terucap pada Elka, adalah hasil perbincangan singkat kami. Gw ga pernah memikirkannya waktu itu. Rada samar juga sebenarnya. Tapi, ingat-ingat lagi kejadian ini, bikin gw mikir sekarang… “Siapa pria itu?

Tanpa sadar, proyeksi kesadaran gw seolah terpisah dari tubuh anak kecil yang tengah berlari menuju pemakaman. Malah balik ikut menapaki jalan yang sama dengan si Pria asing. Mau tau lebih jauh tentang dia. Atau seenggaknya, cuma liat muka pun ga apa. Namun, belum sempat ambil 3 langkah, lengan gw ditahan. “Heyy, apa saya bilang? Jangan sampe ikut hanyut.

Ma-Maximus?!” Proyeksi kesadaran Maximus Khortenio, ga biarkan gw melangkah. “T-Tapi..

Ini cuma ingatan, Lake. Dan ingatanmu tentang pria itu terbatas sampe di sini. Kalo mengejarnya, kamu bakal terhanyut arus memori, dan ga bisa kembali.” Maximus Khortenio coba meyakinkan gw untuk ga mengejar pria asing itu.

Kenapa anda bisa tau batas ingatan saya?

Karena kita lagi terhubung satu sama lain.” Jawabnya singkat, dan padat.

Apa yang terjadi seandainya kita ‘hanyut’?”

“… Seperti mengalami Koma. Tubuh tetap bernapas, tapi kesadaran ga kembali.” Ah, shite. Agak menyesal juga udah nanya. Untung aja tadi dia datang tepat waktu. “Ayo ke ‘jembatan’.

Jembatan?” Mendadak, pemandangan kota Bellator yang diguyur gerimis, kembali berganti jadi warna biru muda bercorak putih ga beraturan. “Sebenarnya, dimana ini?

Ini di dalam kepalamu.” Jawaban Maximus Khortenio, bikin gw terhenyak. “Dan rentetan frame yang kamu liat tadi adalah arus memori.

Apa yang anda lakukan di kepala saya, Maximus?

Bimbing kamulah, supaya ga nyasar.” Sesampainya kami di ‘Jembatan’, kami berhenti sejenak. ‘Jembatan’nya kaya terbuat dari bebatuan yang bersinar. Bentuknya sederhana, layaknya jembatan yang ada di pedesaan, dengan pegangan di kedua sisi. “Siap untuk melangkah ke dalam kepala saya, nak?” Dia bertanya, sambil senyum berliku.

Oke…” Pas kaki gw menginjak jembatan, warna biru muda bercorak putih, berganti jadi nuansa hijau pepohonan. Kalo tadi berasa kaya jalan di langit, sekarang kaya ada di tengah hutan lebat. Ada beberapa sudut yang lebih gelap dari sudut lainnya. Ga kaya tadi, rentetan frame ga muncul secara berlebihan, melainkan terkendali dalam genggaman Maximus Khortenio.

Selamat datang.” Kata Maximus Khortenio.

I-ini…

Maximus Khortenio menyentuh sisi kepalanya sendiri, dengan telunjuk. “Di sini. Hahaha!

Wow. Ada pepohonan di kepala anda.” Celetuk gw, sambil terus liat sekeliling.

AHAHAHA! Kamu bisa lawak juga ya.” Ehm, padahal ga ada niat melucu sama sekali.”Ah, mari kita cari di mana orang tuamu.” Maximus Khortenio mencari ingatan tentang orang tua gw, dengan cara menggeser satu persatu memori di genggamannya. “Ada beberapa hal yang ga boleh kamu liat, jadi saya di sini sebagai ‘Administrator’, akan menentukan hal-hal apa yang bisa diliat ‘tamu’.” Isi kepala si Bapak ini, jelas lebih teratur dari isi kepala gw. “Hmm, ini dia.

Pemandangan hutan lebat tiba-tiba langsung berganti dengan cepat. Dataran Anacade! Ya… ga salah lagi! Bahkan, Benteng Anacade keliatan berdiri megah. Biarpun agak sedikit berbeda, tapi gw masih kenal bangunan itu. Kami liat rentetan kejadian ini dari mata sesosok Bellatean muda berambut magenta.

ACTASSI! ACTASSI GRYMNYSTRE!” Di depan Benteng Anacade, berdiri seorang wanita. Kalo diliat dari postur, jelas dia adalah Corite.

Bermata merah rubi. Tinggi, dan langsing tubuhnya. Kakinya jenjang sekaligus ramping, dan kulitnya putih. Yang paling menyolok dari penampilannya… rambut, panjang banget. Dikepang dua, menjuntai sampe nyaris mencapai tumit. Punya dua warna, coklat muda, dengan helai-helai di sisi kepalanya warna kekuningan. Oh, beberapa helai di poninya, juga ada yang kuning.

DON’T BE A COWARD! GET THE FUCK OUT AND FIGHT ME LIKE A MAN!” Dia teriak berkali-kali. Biarpun lagi ada di depan markas musuh, dia ga peduli. Dan Anehnya, dari sekian banyak Prajurit Bellato yang berkumpul di hadapannya, ga ada satupun yang berani intervensi.

Dia ga pake Armor untuk melindungi bagian atas tubuh. Melainkan cuma tanktop merah marun yang ga sampe menutupi perut. Sehingga mengekspos tato ungu di sekujur tangan kanannya, tato dengan bentuk yang ga bisa gw jelaskan. Semacam corak… tribal, mungkin? Ga tau juga deh. Tato tersebut menutupi bahu, lengan, sampe ke pergelangan tangan. Juga bagian dada, dan pinggang ga ketinggalan.

Penampilan wanita itu unik banget, dan dia belum berhenti teriak. “ACTASSI! SHOW YOURSELF!

Siapa itu, Maximus?” Tanya gw, tanpa alihkan perhatian dari wanita Corite itu. “Kenapa dia teriak-teriak di depan markas musuh?

Sebelum jawab, boleh saya tanya satu hal?

Kedua bahu gw terangkat, “Boleh.

Apa yang kamu tau tentang Ibumu?

Gw coba ingat-ingat lagi dari cerita yang pernah disampaikan Paman tentang Ibu, “Berdasarkan cerita Paman saya, Ibu bernama Qahazari. Dia adiknya Paman, seorang Wizard, tapi memutuskan buat pensiun dini pas hamil. Katanya, Ibu meninggal saat proses… persalinan.” Kepala gw jadi menunduk sedikit.

“… Ada lagi?

Gw menggeleng, buat jawab pertanyaan Pria berambut magenta. Cuma itu yang gw tau tentang Ibu. Paman ga pernah cerita lebih banyak.

Oke, ini yang harus kamu tau. Ada beberapa fakta yang sedikit dibelokkan oleh Pamanmu.” Dengar pernyataan itu, mata gw melebar. Dan berpindah fokus pada Maximus Khortenio dengan penuh rasa penasaran.

Maksudnya?

Pertama; Qahazari bukan nama asli Ibumu, melainkan Oeufcoque. Dia memutuskan buat ganti nama setelah menikah dengan Ayahmu.

Jelas gw kaget dengarnya. Jadi selama ini, salah mengira dong? Kok namanya ribet amat. “Of- Ef.. apa?

Kedua; dia bukan Wizard, melainkan Warlock. Tapi bagian pensiun dini dan meninggal pas melahirkanmu, itu beneran.” Gw berhenti dengarkan kata-katanya setelah kalimat pertama. Mata gw tertuju dalam-dalam pada sepasang mata Maximus Khortenio, ga kedip, menatap penuh tanda tanya.

Warlock…? Bukannya Warlock itu Bangsa…” Maximus Khortenio senyam-senyum, sambil angguk-angguk. Pandangan gw berpindah dari Maximus Khortenio, ke wanita Corite tersebut, terus balik lagi pada Maximus Khortenio. “Jangan bilang kalo…” Telunjuk kanan gw, tertuju pada si wanita Corite berambut coklat kuning.

Maximus Khortenio menunjuk gw, dan menggerakan mulutnya tanpa keluarkan suara. Dari gerak mulut itu, keliatan kalo dia bilang; “Ibumu.

APAAAAA!?” Serta merta, gw teriak sekeras mungkin. Kalo aja orang-orang di dunia ingatan ini bisa dengar dan liat gw, mereka pasti bakal ikutan kaget juga. “JA- Ehem, Ibu saya seorang Corite!? Saya SETENGAH CORITE!?” Gw coba untuk tenang, tapi ga bisa.

Yang pertama, ya.

Hal ini jelas mengejutkan banget. Ga pernah nyangka, kalo Ibu yang melahirkan gw, berasal dari bangsa yang harusnya kita perangi. Napas mulai ga teratur, dan rasa gelisah memenuhi dada. Gelisah karena udah ga tau apa lagi yang ga gw tau dari hidup sendiri.

Sekarang, rasa kesal dan geram mencuat. Pengen rasanya salahkan Paman atas hal ini. Kenapa pula dia harus bohong!? Kenapa dia ga cerita yang sejujurnya aja!? Ada kepentingan apa, sampe harus belok-belokkan fakta!? Tapi percuma juga. Kekesalan ini ga bakal hilang. Lagian, Paman udah ga ada. Ga baik menyalahkan orang yang udah terlebih dulu tinggalkan kita. Gw cuma bisa berkata pasrah, “Jadi hidup saya adalah sebuah kebohongan.

Saya ga akan bilang hidupmu sebuah kebohongan. Cuma diplintir aja dikit.

Dengan segala hormat, Maximus, perkataan anda ga bikin saya merasa lebih baik.” Seenaknya aja bilang plantar-plintir.

Gw perhatikan wanita Corite itu, inspeksi sosoknya lebih lanjut. Dari ujung rambut, sampe ujung kaki. Dia lebih tinggi dari gw. Dan… wow. Ada sesuatu di senyumannya, yang bikin ga bisa berpaling. Telapak tangan gw mendarat di pipinya, coba buat nyentuh, tapi sia-sia. Tangan kanan ini langsung tembus.

Dia cantik, kan?” Maximus Khortenio bertanya. “Rambutnya alami lho, ga pernah diwarnain.

Ya…” Gw ga kuasa menahan senyuman, dan rasa haru setelah 22 tahun akhirnya bisa liat wajah Ibu. Biarpun di satu sisi masih belum kuasa terima fakta yang baru disodorkan Maximus Khortenio, tetap aja… di sisi lain, gw cuma seorang anak yang merindukan figur orang tua. “Kalo aja saya punya rambut kaya Ibu, tingkat kegantengan saya pasti meningkat.” Rasa tertarik langsung muncul, di detik pertama gw liat rambutnya yang punya dua warna. Benar-benar unik.

Liat gw senyum, Maximus Khortenio berujar, “Senyumanmu sama persis kaya dia. Begitu cerah dan lebar.

Begitukah?” Yah, gw rasa untuk sekarang, bisa liat rupa Ibu aja udah patut disyukuri. Walaupun moment ini cuma bisa terekam di otak, tapi rupa Corite paling didamba tentu akan abadi. Tiba-tiba, sesosok Bellatean melangkah keluar dari dalem Benteng Anacade. Pria berambut kelabu belah tengah, lumayan lebat. Perhatian gw langsung teralihkan. “Maximus! I-itu…

Ah ya, itu Ayahmu.

Jadi itu Ayah? Dia keliatan sedikit mirip dengan gw, tapi tatapan matanya lebih tajam, dengan raut muka serius. Bola matanya kelabu, senada dengan rambut. Tubuhnya lebih pendek dari gw, tapi lebih kekar dan berisi.

Oh, that grey hair… Finally!” Ujar Ibu dalam bahasa Cora, sambil tunjukkan seringai. “Decided to crawl out of your damn cave, eh Grymnystre?

Ayah menghampiri kami, sedari tadi perhatikan gerak-gerik Corite wanita. Prajurit berambut magenta dengan potongan pendek. Versi lebih muda dari pria paruh baya yang menemani gw, “Kartea, kenapa dia meneriakkan nama saya berulang kali?” Tanya Ayah kalem.

“Mana gw tau. Apa lagi yang lu lakukan kali ini?” Maximus Khortenio muda, tanpa luka bakar di sekitar mata kirinya.

“Saya ga melakukan apapun.” Jawab Pria berambut kelabu, sebelah alisnya terangkat pertanda ga paham maksud sindiran kawannya.

“Kenapa masalah selalu tertarik dengan lu, sih?” Ledek Khortenio muda, kemudian mengeluarkan Jade talk, dan memasang perangkat tersebut di telinga kanan. “Yah, gw akan coba bicara dengannya.”

“Hati-hati, Kamerad. Corite itu berbahaya. Dia meledakkan semua orang yang mendekat.” Seorang Prajurit Bellatrean, mengingatkan kami.

“Kalo gitu, kenapa ga balas tembak aja sekalian?” Balas Khortenio muda.

“Kalo bisa, udah kami lakukan dari tadi…” Khortenio muda keliatan tersentak, “… Ada medan kinetis ga terlihat yang melindungi Corite itu. Serangan-serangan kami ga mampu menyentuh tubuhnnya.”

Khortenio muda berjalan ke depan, menghampiri Ibu yang masih belum melakukan pergerakan. “Alright, Corite. You are now in Bellatrean territory. We need you to put your weapon down, and explain yourself.” Berkat bantuan Jade talk, Khortenio muda jadi bisa komunikasi dengan Corite wanita itu. Biarpun… gw ga ngerti apa yang mereka bicarakan.

Fucking maggot doesn’t deserve my explanation.” Raut wajah Ibu berubah geram, seraya mengarahkan ujung tongkatnya pada Khortenio muda. Setitik Force api hitam kemerahan, perlahan terkonsentrasi. “Any last word? Nah! Just die!” Eh tau-tau, mukanya berubah lagi jadi tersenyum remeh. Proyektil kecil meluncur cepat banget, menembus udara dan ruang kosong! Diiringi bunyi melengking.

Terlihat jelas gumpalan api hitam kemerahan di depan mata gw, seolah gw yang jadi sasaran tembak!

Di-dia nyerang anda!?” Ibu menembak Khortenio muda, tanpa mikir dua kali!? Si Mental Smith ga bisa bereaksi, cuma terpaku di tempat.

Dengan Force Kegelapan. Ya. Dia kasih saya luka bakar ini, pas pertama kali kita ketemu.” Jawabnya santai. Proyektil kecil itu meledak di depan kami, dan menghasilkan kobaran api hitam kemerahan besar bukan main! Diiringi suara ledakan yang bisa bikin pengang. “Untung, Actassi cepat bereaksi terhadap hal itu.

Ayah udah beranjak dari tempatnya berdiri, sejak beberapa detik sebelum Ibu melempar mantra. Sayangnya, Ayah ga cukup cepat. Saat proyektil udah meledak, dia baru bisa menarik tubuh Khortenio muda ke belakang, dan membentangkan perisai besar untuk cegah kobaran api besar menghanguskan tubuh Khortenio muda.

“AARGH! MATA GW! BAJINGAN!” Serangan itu bisa diminimalisir berkat tindakan Ayah. Khortenio muda menggeliat, seraya pegang sisi wajah sebelah kiri. Sedangkan Ayah, masih menahan kobaran api, seolah ga merasakan suhu super tinggi yang menjalar di depan perisainya sampe padam perlahan.

Liat ada Prajurit diserang, yang lain langsung pasang sikap siaga. Dua Holy Chandra merangsek dari kerumunan, dan segera berlari menuju Khortenio muda yang terluka. Mereka langsung melakukan pertolongan. “Kamu ga apa-apa, Kartea?” Ayah bertanya, wajahnya datar hampir tanpa ekspresi.

“DIA MEMBAKAR MUKA GW, DAN LU MASIH NANYA?” Oh wow, yang ditanya malah murka. “Ya, ga apa-apa!” Dia membentak, dibumbui sarkasme.

“Bagus. Saya pinjam dulu ya.” Kata Ayah, sembari menunjukkan Jade talk yang udah berpindah dari telinga Khortenio muda, ke tangannya.

“Act! Kapan lu…?” Dia sama kagetnya dengan gw, yang ga liat gimana cara Ayah nyomot Jade talk tersebut. Cepat benar tangannya. Teriakan dari mulut Khortenio muda, ga terbendung. “… HAJAR IBLIS BETINA ITU! GA USAH BANYAK OMONG!” Tapi, yang diteriaki ga merespon.

Keadaan makin terasa tegang. Biarpun Ayah masih keliatan kalem menghadapi seringai Ibu yang udah kaya maniak. “Apa mereka bakal bertarung, Maximus?

Hmm, nikmati aja pertunjukannya, dan liat sendiri.” Jawabnya enteng.

“Sayalah yang kamu cari.” Ucap Ayah pada wanita di depannya. “Kamu ga perlu menyakiti yang lain.” Wow, ternyata dia lebih kalem dari yang selama ini gw pikirkan.

Gw udah pernah ketemu orang kalem. Sebut aja Rokai, Maximus Croiss, Hash’Kafil. Sekalem-kalemnya mereka, tetap aja di satu moment, ada kalanya terasa perubahan sikap biarpun cuma sedikit. Tapi, Ayah berbeda. Kesan ini gw dapat dari pas pertama kali liat sosoknya tadi. Entah gimana bilangnya, kayak… dia beneran ga menunjukkan gejolak emosi sama sekali. Datar, dan hampir susah banget menangkap apa yang lagi dia rasakan dari kalimat yang terucap.

“Heh! Jangan salahkan aku bila kawanmu bertindak sok.” Wow, sekarang gw beneran bisa paham kalimat yang diucapkan Ibu! “Ga ada yang minta dia bicara-“

“Apa yang kamu inginkan, Corite?” Belum lanjut dia bicara, Ayah keburu potong kalimatnya.

“Meh, ga ada. Cuma ingin habiskan waktu luang…” Jawab Ibu pake nada riang, seraya memutar-mutarkan satu kepangan super panjang di tangannya. “… dengan pertarungan menegangkan, dan lawan yang sepadan buat dibinasakan!” Tapi, ekspresi itu langsung berubah ganas. “Aku ingin menguji kabar burung yang bilang, kalo kamu adalah Shield Miller paling keras, Actassi Grymnystre! Aku, Oeufcoque Qardahal, menantangmu di sini, sekarang juga!”

“Auf… apa?”

“Oeufcoque..”

“… Nama yang sulit, Q.”

“Q?” Mereka terdiam sebentar. Sebelah alis Ibu terangkat, “… Kenapa kamu panggil aku ‘Q’?”

“Qardahal…” Ayah menjawab, sambil keluarkan sebilah pedang satu tangan dari balik perisai besarnya. “… Q. Saya terima tantanganmu.”

Astaga.. mereka bakal beneran berantem!” Seru gw, pada Maximus Khortenio.

Ya beginilah awal pertemuan orang tuamu, nak.

“Hahahaha! Makan malam hari ini; kurcaci bakar bertabur pasir dan ampas ala Chef Oeufcoque!” Tanpa peringatan, Ibu langsung menghujani Ayah dengan rentetan mantra Force dari berbagai elemen! Ga tanggung-tanggung! Angin berhembus kencang, disertai kilatan petir. Belum lagi ledakan api memekakkan telinga. Daratan Anacade, sampe terasa berguncang. Ga kasih napas, wanita itu melakukannya. Ga ada lagi senyuman yang tadi dibilang lebar dan begitu cerah, adanya seringai sadis yang ga pernah gw sangka bakal keluar dari diri seorang wanita yang begitu cantik.

Astaga! Ibu saya gila!

BAHAHAHA! Liat mukamu!” Eh, Maximus Khortenio malah ngakak liat reaksi gw. Kampret si Bapak ini. “Itulah Ibumu. Harus saya akui, dia emang rada-rada. Tapi dia tetap wanita yang luar biasa.

Pertarungan antara Ayah dan Ibu, masih terus berlangsung. Ayah belum menyerang sekalipun. Dari awal cuma pasang mode bertahan dari gelombang serangan dahysat! Mereka berdua dikelilingi kepulan asap dan debu hasil ledakkan tiada henti, halangi pandangan kami, “Ayo, Cebol! Buat duel ini jadi lebih seru!”

Actassi adalah Shield Miller paling kuat yang pernah saya kenal. Kuat dalam arti, tenaganya memang benar-benar melebihi Bellato normal. Dia ga pernah sekalipun keliatan ga berdaya di tengah pertarungan. Ga pernah, sampe dia berhadapan dengan Q.

Suara ledakkan dan kilatan petir, baru berhenti 15 menit kemudian. Perlu waktu buat kepulan asapnya memudar. Dari balik asap itu, terdengar suara sesuatu jatuh, dan beradu dengan permukaan tanah. Kemudian seiring asap dan debu yang memudar, keliatan Ayah… bertumpu di atas kedua lututnya, di hadapan Ibu. Perisai serta pedangnya tergeletak di tanah. Armor berat yang dikenakan, lecet dan retak, disertai tanda hangus. Sarung tangan kanannya… hancur.

Q adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat Actassi, secara harfiah, bertekuk lutut.

Semua yang liat kejadian itu kaget. Setelah digempur terus menerus, akhirnya tumbang juga. Pertarungan mereka, masuk kategori ‘mengerikan’ bagi Prajurit-Prajurit lain. Yah, ga bisa disebut pertarungan juga sebenarnya, karena Ayah sama sekali ga menyerang.

“ACT!” Khortenio muda menyerukan nama Ayah, sambil memegangi sisi kiri wajahnya yang baru aja diperban oleh seorang Holy Chandra. “Ayolah, jangan bercanda! Gw tau rasa humor lu jelek, tapi bercanda di saat begini benar-benar ide buruk!” Di antara semua Prajurit, dia yang paling ga percaya dengan apa yang diliat matanya sendiri.

Ga ada balasan. Ayah terdiam. Mulutnya tertutup rapat. Di depan Ayah, Ibu masih berdiri, menodongkan tongkatnya yang udah ga keluarkan Force lagi. Mereka ga bergerak sampe sudut bibir Ibu menyungging senyum, “Hah! A-ku… menang…” Lalu keluar darah dari hidungnya, mata merah rubi itu menutup, tubuhnya hilang keseimbangan, dan jatuh ke depan.

Mendadak, Ayah langsung berdiri. Menangkap tubuh langsing yang ditarik gravitasi. Selain dari perlengkapannya yang rusak, dia keliatan baik-baik aja! Ibu yang ga sadarkan diri, jatuh dalam dekapan Ayah.

Begitu liat kawannya berdiri, Khortenio muda menghampiri, “HEYY! Lu ga apa-apa!?” Kekagetannya belum berakhir.

“Saya baik-baik aja, tapi dia enggak.” Jawab Ayah, seraya menyeka darah yang deras mengalir dari hidung Ibu.

“Kenapa lu ga berusaha menyerang balik!? Lu biarkan dia menyerang sesuka hati!”

“Kamu tau alasannya, Kartea.” Ayah berujar, bola mata kelabunya mengarah pada Khortenio muda. “Saya ga mengayunkan pedang untuk lawan wanita.” Wow, kata-kata yang bagus.

“DIA BERUSAHA. MEMBUNUH. LU! ASTAGA, ACT!” Kini, kawannya sewot sambil garuk-garuk rambut sendiri.

“… Tapi dia gagal. Masalah selesai.” Ayah menggotong tubuh Ibu di bahunya tanpa kesulitan berarti, kaya ga punya berat. Kemudian, melangkah menjauh dari Benteng Anacade.

Seketika itu juga, Khortenio mengeluarkan senapan serbu, dan arahkan larasnya pada Ayah. Diikuti beberapa Prajurit yang juga bersiaga, “Mau kemana lu?”

“…” Langkah kaki Pria bermata kelabu terhenti. Dia menengok ke belakang, dan liat satu persatu muka Prajurit yang mencegahnya beranjak. “… Bawa Corite ini kembali ke tempat seharusnya dia berada.”

“Lu ga bisa melakukannya!” Bantah Khortenio muda.

“Kenapa?”

“Dia udah seenaknya menerobos teritori Federasi, dan buat kerusuhan, sampe jatuh korban… dan dia membakar wajah gw, Act!” Seru Khortenio muda dengan geram. “Tolong, gw ga mau lu ikut terluka.” Tangannya yang pegang senapan, agak bergetar.

Kamu tau? Saya sebenarnya paling ga pengen mengarahkan senjata pada Actassi. Tapi, saya dan Kamerad lain ga punya banyak pilihan. Ibumu ga bisa dibiarkan bebas tanpa menanggung konsekuensi dari tindakannya.

Liat gelagat mengancam dari kawan-kawan seperjuangannya, ga bikin keputusan Ayah berubah. Dia kembali menatap ke depan, sambil berkata, “Kalo kamu pikir itu bisa bikin saya berhenti…” Terus, kakinya bergerak. Lanjutkan langkah yang tadi sempat terhenti. “… silahkan coba.”

Tapi, siapa yang coba kami ancam? Pria yang baru aja dibombardir petir dan ledakkan Force kegelapan, masih bisa menggotong tubuh Corite seolah ga terjadi apa-apa? Hah! Persetan dengan protokol.” Maximus Khortenio ketawa kecil, bernostalgia dengan masa lalu.

“Cih..” Khortenio muda menurunkan senjata, dia tau semua itu sia-sia. “… hati-hati di jalan.”

Faaaaakk, kereeen banget Kapten! Omaigad! Kapan ya gw bisa sekeren itu? Hahaha. Jadi senyum-senyum sendiri nih.

Tiba-tiba, pemandangan Sektor Anacade berubah jadi sebuah ruangan yang rapih dan bersih. Terkesan cukup mewah, dengan karpet krem bermotif segi enam hitam. Kayanya, ini ruangan Archon. Di depan meja sudah berdiri dua orang Prajurit, dalam sikap istirahat di tempat. Di hadapan mereka, duduk Sang Archon, mengenakan Armor lengkap dengan jubah berlambang Federasi di punggung.

“Berdasarkan berbagai laporan kejadian kemarin, kamu membebaskan penyusup dari Aliansi Suci begitu saja. Bahkan, sampai membawanya sendiri. Apa benar, Conquest Actassi?” Tanya pria itu pada Ayah.

“Ya, Maximus.”

“Apa alasanmu melakukannya? Kenapa ga kamu bunuh di tempat?”

“Dengan segala hormat, Maximus. Corite itu sekarat setelah menguras Forcenya.” Jawab Ayah mantap, “Dan saya Prajurit, bukan pembunuh. Saya ga akan pernah membunuh lawan yang ga bisa melawan.”

“Kamu tentu sadar kan, kalo lawanmu kemarin adalah Warlock Corite, dari Aliansi Suci?”

“Siap, sadar, Maximus.”

Sang Archon menghela napas sejenak, memijat keningnya sendiri, “Menurut laporan, sebelum kamu datang, dia meledakkan beberapa Prajurit yang coba mendekat, hingga terluka parah. Kawanmu ini salah satunya.” Dia menggestur pada kami. “Saat Prajurit kita balas menyerang, ga ada serangan yang bisa menembus medan kinetis yang melindungi Corite itu. Kamu tau apa artinya?”

Ayah ga menjawab. Khortenio muda pun belum angkat bicara.

“Dia berbahaya. Dan kita belum tau apa lagi yang bisa dia lakukan. Mungkin di masa depan, dia bisa jadi kartu mati bagi Federasi. Mungkin kamu bisa bertahan, tapi Prajurit-Prajurit lain, belum tentu. Melihat tindakanmu di lapangan, banyak dari Kamerad yang mulai meragukan kredibilitasmu, dan kata-kata ‘pengkhianat’ sayup-sayup mulai terdengar…” Khortenio muda, keliatan cukup tersentak dengar perkataan Sang Archon. Dia melirik kawan di sebelah kanannya dengan tatapan mengiba.

Gigi gw juga jadi menggertak gara-gara Ayah dituduh yang bukan-bukan. Ternyata, kita pernah mengalami hal yang sama, pada masa kehidupan yang berbeda. Dasar, orang-orang ga tau diri yang kerjanya cuma menilai dari luar.

Dada gw dipenuhi amarah tertahan. Berusaha biar Maximus Khortenio ga sadar akan hal itu. Tapi sepertinya percuma, kita lagi terhubung melalui Jembatan Neural. Dia bakal tau.

“Saya menghargai idealisme yang kamu pegang,” Sang Archon mengaitkan kedua tangannya satu sama lain, dan menumpu dagu sembari menatap tajam pada sepasang mata kelabu, mempertanyakan satu hal krusial bagi status keprajuritan Ayah. “tapi saya harus yakin, apa kamu benar-benar berjuang untuk Federasi?”

“Saya ga akan berada di sini, bila bukan untuk Federasi.” Ayah ga mau kalah, membalas tajamnya tatapan mata yang menyayat dari Archon. Ga biarkan dirinya ditekan lebih jauh.

“…” Sang Archon terdiam, tapi masih belum melepas adu pandang dari Prajurit berambut kelabu. Dia beralih pada Pria berambut magenta. “… Ada yang mau kamu tambahkan, Conquest Khortenio?”

“… Kalo ga ada dia, bukan cuma wajah saya yang terbakar, Maximus.” Ucap Khortenio, coba untuk ga teriak atau tinggikan nada bicara. “Actassi bukan pengkhianat.”

Maximus!” Gw terkesan dengan ucapan itu, dan menengok ke arahnya.

Dia tersenyum, dan acungkan jempol, “Satu dari sekian banyak hal yang perlu dilakukan demi sahabat.

“Baiklah. Dengan ini, Conquest Actassi Grymnystre akan dibebas-tugaskan selama 3 bulan, sebagai hukuman atas penolakan bekerja sama.” Ucap Sang Archon tegas.

Khortenio muda, tampak ga terima. “T-tapi, Archon-“

“Hukuman bisa saja lebih berat, karena adanya indikasi berpihak pada Aliansi. Tapi, karena kamu bersaksi atas penyelamatan yang dilakukannya, maka saya memutuskan untuk kasih keringanan.” Sang Archon membungkam Khortenio muda, sebelum sempat berargumen lebih jauh. Lelaki berambut magenta merasa dikalahkan, dan ga jadi berargumen, “Kalian boleh keluar dari ruangan saya.”

“Siap, terima kasih, Maximus.” Kedua prajurit itu berkata barengan, memberi sikap hormat, sebelum balik badan dan berjalan keluar.

Khortenio muda menundukkan kepala. Ayah sadar akan hal itu, jadi di tengah jalan, dia buka obrolan. “Kartea, terima kasih.”

“Buat?” Tanya Khortenio muda.

“Udah percaya pada saya.”

“Ha, ga perlu terima kasih untuk hal semacam itu.”

“Maaf,” usai bilang makasih, sekarang Ayah minta maap.

Jelas hal ini bikin Khortenio muda keheranan, “Kenapa sekarang malah minta maaf?”

“Saya tau kamu marah dan benci pada Corite itu karena udah merusak wajahmu,” Wajah Ayah sama sekali ga ada perubahan ekspresi pas bicara. Gitu-gitu aja, kalem. “dan saya malah bawa dia pergi.”

“Oh, ya. Ini bakal membekas seumur hidup kayanya,” kawannya mengeluh, sambil memegang sisi wajah yang masih diperban, “tapi mau gimana? Ga ada yang bisa gw lakukan buat mencegah lu.” Katanya pasrah. “Lu melakukan hal yang lu anggap benar, dan gw bisa menerima itu. Ngomong-ngomong, lu bawa ke mana tu Corite gila? Jangan bilang ke Markas Aliansi Suci. Karena itu berarti, lu sama-sama ga waras.”

“Saya ga gila, Kartea.” Sanggah Ayah, “… Pantai Crimson. Saya geletakin aja, berharap ada Corite lain yang lewat.”

“Pfft… apa?! Hahaha.”

“Apa?”

“Ga. ga apa. Lucu juga ya lu.” Gw dan Maximus Khortenio, sekedar menatap punggung mereka yang makin menjauh.

Ayahmu jarang banget tersenyum. Bahkan, selama saya mengenalnya, cuma sekali saya pernah liat dia senyum.

Eh? Beneran?” Gw terhenyak, dan kurang percaya. Tapi, kalo diperhatikan sih, emang Ayah terlalu datar jadi orang. Dia ga menunjukkan takut, atau resah, atau senang, atau apa kek gitu.

Dia ga berinteraksi dengan banyak orang, penyendiri, ga banyak bicara, ga pernah marah, tapi juga ga pernah ketawa. Ga pernah dendam, ga pernah iri, ataupun menghakimi. Dia ga biarkan orang lain liat emosinya. Dan saya ga pernah tau apa yang lagi dia rasakan. Entah apa penyebabnya, mungkin karena reaksi orang terhadap keberadaannya cukup negatif. Sebenarnya, saya tau dia ga suka itu. Dia udah melakukan banyak hal, tapi masih ada aja yang menggunjing cuma karena menyandang nama Grymnystre. Tetap aja, orang-orang itu cuma berani di mulut, ga berani mengonfrontasi secara langsung. Mereka masih sayang nyawa, hahaha! Susah berkawan dengan Ayahmu, tapi cukup seru sih kalo kita udah tau selanya.

Ahaha.. Makasih, Maximus, udah mengenal Ayah saya dengan baik.” Seenggaknya sekarang gw tau, masih ada orang yang ga menilai Ayah dari luar, selain Maximus Gatan.

ACTASSI!” Latar lingkungan kembali berganti, kembali jadi Benteng Anacade. Dan lagi-lagi, Ibu udah siap dengan perlengkapan perangnya, meneriakkan nama Ayah. Kali ini, dia keliatan kesal, sekaligus marah, “FUCKING TWO LEGGED TWAT MIDGET! WE’RE NOT DONE YET, FUCKTARD!

Ibu… lagi?!” Ajegile, ga ada kapoknya. Gw geleng-geleng, ga habis pikir.

Hahaha! Ibumu cukup gigih.

YOU THINK I’LL LET YOU GO AFTER WHAT YOU’VE DONE TO ME!?” Ini mah bukan gigih lagi, tapi terobsesi!

Ga jauh dari Corite berambut coklat kuning, Khortenio versi muda tepok jidat, dan langsung menghubungi seseorang. “Dia datang lagi. Buruan kemari sebelum dia meledakkan seseorang- BODO! Siapa peduli lu lagi ‘dibebas-tugaskan’? Dan ga, jangan suruh gw ngomong ama dia!”

Sebenarnya ga kebayang sih, gimana orang kalem bin pendiam macam Ayah, ujung-ujungnya bisa menikah dengan orang yang… ehm… gw mikir keras, cari kata yang lebih halus buat deskripsikan sifat Ibu… –uhm, eksentrik?!

Yang namanya jodoh emang ga bisa disangkal dah, misteri kehidupan.

You do know that I don’t believe in coincidence.” – Khortenio (Ch. 37)


CHAPTER 40 END.

Next Chapter > Read Chapter 41:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-41/

Previous Chapter > Read Chapter 39:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-39/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Catatan Author:
Actassi merupakan nama dari bahasa Chamoru, yang artinya lautan/laut lepas. Sedangkan Oeufcoque adalah bahasa perancis, Oeuf=Cangkang, Coque=Telur. Atau bisa juga diartikan sebagai nama hidangan, Oeuf a’la Coque, yang berarti Boiled Egg/Telur Rebus. Aslinya, Oeufcoque dibaca Eufkohg di bahasa perancis (E-nya ga terlalu kedengeran), tapi saya pribadi lebih suka nyebutnya Aufkouk.
Regards,
Mie Rebus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *