LAKE CHAPTER 41 – REMINISCENCE OF ANOTHER MEMORY (PART 2)

Lake
Penulis: Mie Rebus


Kantor Divisi Sains dan Teknologi, masih dengan bangunan klasiknya yang ga pernah dicat selain putih. Zaman Maximus Khortenio masih muda, segala macam peralatan yang ada di bangunan ini tentu belum secanggih di zaman gw. Tapi tetap, kesan sarat ilmu pengetahuan saat berada di sini, masih kental terasa. Ga bisa dipercaya emang, perkembangan teknologi yang terjadi selang waktu beberapa tahun aja bisa cukup signifikan.

Seorang pria berambut kelabu belah tengah, berdiri di depan pintu baja campuran yang terbuka, ga melepas pandangan dari salah satu ruangan bengkel.

“Kamu lagi apa, Kartea?” Tanya Ayah, pada Prajurit berambut magenta yang tengah asik berkutat dengan suatu peralatan berbentuk kursi setengah dirakit.

“Lanjutkan proyek kecil tempo hari.” Jawabnya, tanpa memindahkan fokus.

Ayah melangkah masuk ke ruang bengkel Khortenio muda. Seraya meraih kunci pas di salah satu meja kecil, dia bertanya, “Ada yang bisa saya bantu?”

Dengar tawaran bantuan, Khortenio muda bukannya senang, malah pasang muka kusut. Dia bangkit, dan langsung merebut kembali kunci pas dari tangan Ayah. “Ga! Ga usah! Gw ga perlu bantuan lu!”

“Kenapa malah marah-marah?” Ayah ga paham terhadap reaksi rekannya, melepas genggaman supaya kunci pas itu pindah tangan tanpa kesulitan. Ekspresi kalem yang ditunjukkan Ayah, ga membantu buat Khortenio senang. “Saya bosan ga melakukan apapun.”

Tubuh Khortenio muda bergetar kaya menahan sesuatu meletup dari dalam. Si Mental Smith menarik napas panjang, ditahan beberapa detik, lalu dihembus perlahan. “Dengar, Act. Udah berapa kali lu hancurkan proyek ini, pas lu bilang mau ‘bantu gw’?”

Ayah ga menjawab, sekedar menatap lurus pada rekan sebaya.

“Tepat. Tiap kali lu kencangkan baut, mesin ini langsung rontok. Dan gw harus membangunnya dari awal.” Alis kelabu Ayah, terangkat sebelah kanan. Belum ada sepatah kata terucap. “Lu akan sangat membantu gw, dengan cara ga membantu. Oke?” Lanjut Khortenio muda.

Gw ketawa kecil gegara kalimat aneh barusan. Kirain, ada alasan apa dibalik kejengkelan yang dipamerkan Khortenio muda. Ternyata begitu toh. “Beneran, Maximus?

Ya. Saya udah bilang kan, tenaga Ayahmu jauh melebihi Bellato normal? Tiap kali, Lake. Tiap kali dia bantu saya merakit Jembatan Syaraf, pasti ada aja yang hancur.” Maximus Khortenio terkekeh di tengah penjelasan. “Dia yang memaksa saya buat selesaikan, tapi dia sendiri yang jadi penyebab mesinnya ga selesai-selesai.” Kepalanya menggeleng perlahan. Dia pun sama kaya gw, lagi menikmati kenangan ini.

“Oke. Kalo begitu saya jalan-jalan aja.” Akhirnya, Ayah mengalah. Dan Khortenio muda melanjutkan kerjaannya yang tertunda, ga mencegah rekan berambut kelabu keluar entah kemana.

Sebulan berlalu setelah pertemuan kedua Ayah dengan Ibu. Selama beberapa hari belakangan, Ayah selalu hilang mendadak di waktu yang sama. Mungkin efek dari hukuman dibebas-tugaskan selama 3 bulan jadi penyebabnya. Kegiatan Ayah benar-benar dibatasi, ga ada misi, ga bisa berburu, dilarang membawa senjata-senjata tertentu. Ditambah lagi, rekannya ogah menerima bantuan dalam bentuk apapun. Keadaan ini, masih harus dijalani Ayah 2 bulan kedepan.

Batas ingatan Maximus Khortenio, ga mencakup infromasi tentang kemana Ayah suka pergi. Karena waktu Ayah ‘jalan-‘jalan’, Khortenio muda selalu sibuk merancang Jembatan Syaraf, atau mengembangkan barang hasil penelitian. Dan dia juga ga pernah pertanyakan hal itu pada Ayah. Ga mau terlalu ambil pusing, katanya.

Sebenarnya saya sadar, kalo dia jadi suka pergi ke tempat yang ga saya tau. Pengen tau, tapi saya jarang nanya-nanya. Saya pikir, kalo ketemu suatu hal yang bisa dia lakukan, ya bagus dong. Jadi ga bikin kerjaan ekstra,” Ujar Maximus Khortenio, menjelaskan situasi saat itu. “sampe suatu saat, ‘itu’ terjadi.

Pagi yang tenang di suatu hari, Khortenio muda menyeduh secangkir kopi di ruangannya. Air mendidih, bertemu suhu rendah udara lingkungan, hasilkan asap tipis dari dalam cangkir tersebut. Aroma kopi khas bagi sebagian orang menggugah selera. Hal itu berlaku juga buat Maximus Khortenio. Katanya, waktu muda, dirinya termasuk pecandu kopi.

Lalu datanglah Ayah, menghampiri rekan terdekat selama ini. Masih dengan muka datar. Pas banget pria berambut magenta angkat cangkir buat minum, Ayah bilang sesuatu yang cukup mengejutkan bagi si Mental Smith, “Kartea, sepertinya saya jatuh cinta.”

Khortenio muda bengong pas dengar kalimat itu. Mata sebelah kanan, mengedip cepat. Tepi cangkir berhenti sebelum sampe di bibir. Diawali gumaman, “Uuuuhhhm…” panjang, lanjut ucapan selamat, “selamat buat lu.”

Wahaha, harus gw akui, reaksi Khortenio muda cukup menggelitik. Kaya baru dengar kabar paling aneh sejagat raya.

Bukannya ga senang, tapi saat dia bilang gitu, saya benar-benar ga tau mau ngomong apa. Masalahnya, orang ini sama sekali ga pernah keliatan dekat dengan perempuan manapun selama di Novus, tau-tau bilang ‘saya jatuh cinta’. Apa-apaan?

“… Siapa wanita itu?” Ga bisa lagi tahan rasa pengen tau, akhirnya pertanyaan keluar dari mulut Khortenio muda.

“Kamu tau kok.” Jawab Ayah singkat.

“Oh ya? Siapa?”

“… Q.”

“Q?”

“Qardahal.”

“…” Khortenio muda beradu tatap dengan Ayah sebentar, penuh tanda tanya, sambil minum kopinya. Mikir-mikir, siapa wanita yang dimaksud. Seingatnya, dia ga mengenal seorang pun dengan nama Qardahal.

“… Corite gila.”

“BFFFFFFT!” Wuahaha! Nyembur cok! Sengaja banget diarahkan pas ke muka Ayah pula! Faak, agak menjijikan sih sebenarnya. “APA!?”

Ayah menutup kedua mata, dan ga bergerak dari titik dia berdiri. Dia menggosok area mata dan sekitarnya, pake lengan kanan. “… Ga ada yang keberatan kamu kaget, tapi ga harus bikin muka saya basah begini, kan?”

Keliatan syok, Khortenio muda buru-buru menuju pintu, dan memeriksa keadaan di luar. Abis itu, pintu ruangannya langsung dikunci. Mental Smith berambut magenta menggeser satu sofa kecil yang udah ga begitu bagus dengan jahitan kulit sofa mencuat di sana-sini, dan busa udah tipis warna kuning kusam menyembul keluar, mendekat ke posisi Ayah.

“Duduk!” Bentaknya, seraya mendorong tubuh Ayah, lalu berusaha menekan bahu biar Ayah duduk di situ. “Duduk! Buruan! Dud- uuuukkh..!” Mau sekeras apa didorong, ditekan, tentu usahanya sia-sia. Sama kaya liat orang coba dorong tembok ini mah. “Act, tolong. Duduklah sebentar. Tolong.” Akhirnya menyerah dari dorong-dorongan, lebih milih minta baik-baik.

Ayah duduk di sofa bekas itu, terus langsung dapat hantaman telak di wajah, dari handuk terbang hasil lemparan Khortenio.

“APA LU UDAH GA PUNYA OTAK!?” Ga tanggung-tanggung, Khortenio muda berteriak depan muka Ayah! Benar-benar kaget, ga percaya, marah, campur aduk dah. Ahh, gw tau tuh rasanya gimana. “TOLONG BILANG KALO LU BERCANDA!”

Ayah ambil waktu beberapa detik buat bersihkan sisa noda kopi di wajah, dan rambut, pake handuk pemberian Khortenio muda. “… Apa muka saya terlihat bercanda? Ini muka orang jatuh cinta.”

Muka lu itu, gitu-gitu aja, landak albino! Mana gw tau!” Seru si Mental Smith, “Mana ada orang jatuh cinta, pamer muka datar!? Baru lu doang!” Hahaha, lucu juga ya mereka.

“Apa barusan kamu menyebut saya-” Ayah sadar kalo tadi dikatain landak albino.

“OKE! LUPAKAN!” Tapi Khortenio muda ga kasih kesempatan topiknya keluar jalur. “Kenapa harus dia, Act!? Sekian banyak individu di Novus, sekian banyak Bellatean wanita, kenapa harus dia!?”

“… Ga tau.”

“Lu. Ga. Tau.” Khortenio muda mulai uring-uringan, mondar-mandir di hadapan Ayah, sembari acak-acak rambut. “Cakep. Cakep!”

Ayah tampak masih menginspeksi reaksi dari rekan sejawat. Hal ini jelas baru bagi mereka, hal tabu juga. Entah apakah sebelumnya pernah terjadi cinta antar ras, tapi baru pertama kali dalam seumur hidup Khortenio muda, dia kenal seseorang yang terang-terangan mengaku.

“… Pernah ga kamu jatuh cinta, Kartea?” Pertanyaan Ayah, sukses bikin Khortenio muda berhenti.

“Tentu, udah lama banget. Tapi … Pernah.”

“Kalo begitu harusnya kamu tau, ga perlu alasan buat jatuh cinta. Kamu cuma perlu merasakan.” Ayah suka bijak kalo ngomong, tapi gaya ngomong ga singkronnya itu yang bikin orang lain –terutama partner sendiri, rada jengkel.

“Mantap. Sekarang lu menceramahi gw tentang cinta.” Dibalas pernyataan kesal dari si Mental Smith. “Oke, gw punya limaLima alasan lu ga bisa jatuh cinta pada Corite gila itu!” Pria itu berbalik, dan merentangkan lebar-lebar telapak tangan kiri ke arah Ayah.

“Pertama, dia berusaha membunuh lu. Kedua, dia jalang gila yang membakar wajah gw. Ketiga, dia berusaha membunuh lu…” Pada tiap alasan yang diutarakan Khortenio muda, jarinya menekuk satu per satu berurutan, mulai dari kelingking. “… Keempat, dia Bangsa Corite yang punya potensi jadi kartu mati bagi Federasi.” Untuk alasan terakhir, dia ga menekuk jari telunjuk, justru menekannya langsung pada dada bidang Ayah. “Kelima, DIA BERUSAHA. MEMBUNUH. LU! Harus berapa kali gw bilang biar lu paham!?”

“… Dia ga seburuk itu. Setidaknya, kamu harus mengenal dia lebih jauh.”

Ya kali. Apa Ayah lupa, apa yang terjadi pas pertama, dan terakhir kali rekannya itu bicara pada Ibu? Perkataan Ayah, udah pasti bikin Khortenio muda tepok jidat. Gegar otak dah lama-lama, keseringan tepok jidat. Kemudian, seolah sadar akan sesuatu, dia kembali berujar, “Tunggu, jangan bilang kalo selama ini lu suka jalan-jalan ga tau kemana…”

“Untuk ketemu Q.”

“APA!? KENAPA BARU BILANG SEKARANG!?” Kesekian kalinya, Khortenio muda terkejut.

“… Kamu ga pernah bertanya.”

“Ugh, benar juga.” Hahaha, Mental Smith berambut magenta, ga bisa mengelak dari kenyataan. “Jadi, apa yang mau lu lakukan? Federasi ga akan diam aja kalo hal ini sampe terdengar. Lu liat sendiri kan, tatapan Archon pas kita disuruh menghadap bulan lalu? Sesuatu yang buruk bakal terjadi.”

“… Saya tau. Makanya, saya cuma bisa bicarakan ini dengan kamu.” Kepala Ayah, untuk sesaat tertunduk. Tapi langsung naik lagi, sambil bilang, “Saya mau kamu menikahkan kami berdua, Kartea.”

Seketika itu juga, Khortenio muda bak kehilangan fungsi motorik tubuhnya. Membeku, dengan mulut setengah terbuka. Matanya ga berkedip, melotot selebar mungkin. Hening langsung hadir diantara kedua Prajurit berbeda kelas tersebut.

“Otak lu beneran ga berfungsi, kayanya,” ucapnya tenang. Dia melangkah menuju meja kerjanya yang cukup berantakan, lalu menyingkirkan beberapa barang dari sana dengan hati-hati. Begitu ada spasi kosong di permukaan meja, dia jedotin kepala! Keras banget! Hasilkan bunyi benturan yang cukup bikin ngilu. Luka di jidat, mulai keliatan memerah. Dia kembali menghadap Ayah, dan berseru, “gw masih bisa terima perbuatan lu yang membawa Corite itu pergi setelah apa yang dilakukannya di Sektor Anacade,” nada bicaranya beneran marah dan agak ditekan, sambil menunjuk bekas luka bakar di wajah sendiri, “gw masih belum sepenuhnya bisa terima kenyataan kalo lu bilang jatuh cinta pada Corite, dan sekarang lu malah minta gw menikahkan kalian!? Astaga, Act! Sadar ga sih, dengan tindakan lu sendiri?!”

“Tolong…” Balas Ayah. Sepasang mata kelabu tersebut, menatap dalam-dalam pada Khortenio muda. Seolah ga dengarkan berbagai penolakan yang dikemukakan si partner. “… saya ga tau harus minta tolong pada siapa lagi.”

Benar-benar ga abis pikir terhadap jalan pikiran Actassi. Sekian taun kami berkawan, tapi selalu aja ada hal mengejutkan ga biasa. Saya menyebut dia sahabat, tapi ga sepenuhnya memahami. Ketika itu kami beradu tatap, saya sadar, dia udah menjalani kehidupan yang cukup sulit. Udah barang tentu, sahabat mana yang mau membiarkan sahabatnya jalani berbagai rintangan, tekanan… sendirian? Ga ada.

“Maaf, tapi gw ga bisa.” Jawaban singkat yang memupuskan harapan Ayah satu-satunya.

Ga ada satu garis kekecewaan pun di wajah Ayah. Dalam diam, dia mendengarkan, belum melepas kuncian mata pada Khortenio muda. Di tengah penolakan itu, Ayah bangkit dari sofa, dan bersiap melangkah keluar. Begitu mereka saling memunggungi, Ayah berkata, “Saya mengerti.”

Deret gigi Khortenio muda menggertak, saling beradu. Tangannya yang mengepal, sedikit gemetar, “Ah, tepatnya… belum bisa. Pertama, gw harus yakin kalo dia calon yang tepat.” Membuat Ayah kembali menengok ke balik bahunya. “Lu teman terbaik gw, dan gw ga mau lu celaka gara-gara calon istri sendiri.”

“… Terima kasih, Kartea. Kamu satu-satunya teman saya.”

Jawaban itu, sukses bikin Khortenio muda tertusuk tepat di dada. Mereka ga berhadapan, Ayah langsung pergi tinggalkan ruangan itu. Gw agak terhenyak dengarnya. Kalo aja ada orang yang bilang begitu ke gw, yakin, gw juga akan merasakan hal yang sama.

Seperti yang kamu dengar, kalimat itu sungguh berarti, sekaligus agak mengenaskan. Actassi bilang saya satu-satunya teman, cukup jadi bukti kalo dia udah terlalu lama menjalani hidup sendirian. Dia butuh seseorang, untuk habiskan sisa hidup bersama. Dia butuh seseorang, untuk mengisi lubang hitam yang udah terlampau hampa di hatinya. Simpati saya buat Actassi, seakan ga pernah abis. Sekeras apapun saya coba jelaskan alasan-alasan dia ga bisa bersama Q, cuma masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Ga peduli sebesar apa kebencian saya terhadap Q, mana mungkin saya tega jadi penghalang cinta mereka.

Ayah… kesepian.” Ga kaya gw, yang masih punya segelintir sahabat untuk mengisi kekosongan, Ayah cuma punya Khortenio muda. Dia mengisolasi dirinya sendiri, dan harus membayar harga yang dibutuhkan untuk melangkah sendirian. Menanggung perasaan sepi, supaya ga libatkan sembarang orang yang memandang rendah, atau sebatas menghakimi dari luar.

Ya, begitulah.” Ujar Maximus sembari tersenyum tipis.

.

.

Pemandangan kembali berganti jadi daerah perbukitan hijau, di mana terdapat dua sosok prajurit Bellato jalan bersama. Dataran tinggi Bellato, di sektor Anacade, jadi tempat janjian Ayah dan Ibu hari ini. Di telinga mereka, udah terpasang Jade Talk, supaya nanti bisa komunikasi dua arah ke Ibu yang berbeda bahasa. “Lu selalu ketemuan di sini?” Tanya salah satu yang berambut magenta.

“Ga selalu. Kami sering berpindah lokasi titik temu.” Jawab Ayah.

“Corite gila itu… nekat. Gimana kalo ada pasukan patroli? Apa dia ga pikirkan keselamatannya sendiri?”

“Q akan baik-baik aja.”

Selepas berkeliling, dan memeriksa keadaan, yakin ga ada satupun prajurit Bellato selain mereka, Ayah memberi isyarat berupa siulan dengan irama tertentu. Dari balik salah satu bukit yang berjarak sekitar 100 meter, Ibu keluar dari persembunyian. Penampilan uniknya langsung mudah ditangkap mata. Ga banyak berubah, tetap ga pake Armor di bagian atas tubuh. Masih dengan rambut coklat kuning super panjang yang dikepang dua.

“Cih.” Melihat senyuman lebar dari sesosok Corite yang udah membakar wajahnya, Khortenio muda langsung menatap tajam, dan ga suka.

“Wow, kamu harus belajar tersenyum, belatung.” Ledek Ibu, pamer senyum remeh.

“Jangan panggil gw belatung, nenek sihir!” Khortenio muda ga bisa menahan kemarahan. Dengan cepat, dia menyiagakan senapan serbu dari inventori, dan mengarahkan pada Ibu.

“Hoo!? Mau kubakar sebelah wajahmu lagi!?” Balas Ibu ga kalah kasar, dan mengeluarkan tongkat yang biasa dia gunakan.

Mendadak, Ayah langsung menyela diantara mereka, sambil memegang senapan serbu dan tongkat sihir yang dipakai dua orang itu. “Saya ga mempertemukan kalian buat baku tembak.”

Genggaman Ayah cukup kuat, sampe bikin keduanya turunkan senjata, dan kembali memasukan ke inventori 4 dimensi. Ibu buang muka, sedangkan Khortenio muda menggerutu. “Gw tau, emang ide buruk ketemu lagi ama dia.

“Ha! Siapa juga yang mau ketemu sama kamu!” Balasnya, sambil melipat tangan di depan dada.

“Cukup. Kenalkan diri kalian baik-baik, atau ini ga akan berakhir.”

Keduanya tutup mulut, masih ogah mengenalkan diri terlebih dulu. Kayanya, mereka masih ga bisa merelakan kekesalan akibat saling hina barusan. Tapi akhirnya, Ibu mengalah. Dari awal, dia yang pengen memperbaiki keadaan. Jadi dia sadar, harus memperbaiki sikap urakan tersebut.

“Ch-Chamtalion Oeufcoque Qardahal, dari Komando Anti-Artileri Batalion pertama Aliansi Suci.”

Khortenio muda terbelalak dengar perkenalan dari Ibu, yang bilang dirinya memiliki pangkat tertinggi Aliansi. “L-lu… Chamtalion?!”

“Ya. Kaget? Jangan samakan aku denganmu.” Jawab Ibu, teramat ketus.

Gw juga sebenarnya ga nyangka, pangkat Ibu setinggi itu. Soalnya, ga keliatan dari penampilan. Tatoan, ke mana-mana pake tanktop merah marun doang, pake sarung tangan aja cuma yang kiri. Ga kebayang deh pokoknya.

Apa itu Komando Anti-Artileri, Maximus?” Tanya gw. Liat wajah Khortenio muda terkejut gitu, bikin penasaran.

Satuan tugas Aliansi yang dulu pernah ada sebagai antisipasi terhadap pasukan Artileri kelas berat Federasi dan Kekaisaran.

” ‘Pernah ada’?

Waktu itu, saya sendiri sama sekali ga tau keberadaan satuan tugas tersebut. Kayanya satuan tugas yang baru dibentuk. Menurut informasi yang saya terima, Ibumu bertindak sebagai kunci utama operasi. Dan saat dia memutuskan untuk mundur dari aktivitas militer, Anti-Artileri pun tinggal sejarah.” Jelas Maximus panjang lebar. “Dibubarkan.

Gw ga bisa bereaksi apapun, selain tercengang. “Wew, Ibu sehebat itukah?

Dia istimewa. Ibarat mie rebus, pake telur plus kornet. Asal kamu tau, saya sedikit iri. Oeufcoque Prajurit termuda dalam sejarah Aliansi Suci Cora yang berhasil jadi Chamtalion di usia 24. Itu mengesankan.

Serius? Lalu… usia anda dan Ayah, saat ini terjadi?

Saya dan Actassi 29 tahun, sedangkan Ibumu bilang, baru aja menginjak 26 tahun saat dia menerobos sektor Anacade.” Ujar pria berambut magenta.

Uuhh… itu ‘luar biasa’.” Gw mengeluh, “Kayanya saya ga bakal melakukan hal ‘luar biasa’ semuda itu.” Bukannya ga termotivasi untuk jadi sehebat Ibu, tapi semoga gw cukup waras ketika melakukan sesuatu 2 tahun ke depan.

Yaaa, siapa tau?” Entah kenapa, Maximus Khortenio keliatan senang, sambil mengangkat kedua bahu. Apa coba maksudnya? “Bisa aja kegilaannya diturunkan padamu.

Aduh, jangan dong.

.

.

Mereka bertiga jadi makin sering melakukan pertemuan rahasia. Biarpun Khortenio muda dan Ibu masih sering cek-cok, tapi di balik itu, mereka coba kesampingkan gengsi buat saling kenal. Sebagai orang yang sama-sama dekat dengan Ayah, mereka ga mungkin terus-terusan ribut kalo mau membuat pernikahan terwujud. Ibu berusaha keras buat menekan sikap suka mencela, merendahkan, dan susah diatur, untuk menjaga perasaan calon penghulu. Biarpun keliatan susah banget baginya. Haha.

Pertemuan itu lokasinya berbeda. Kadang Ibu yang menyusup daerah territorial Federasi, kadang Ayah dan Khortenio yang masuk territorial Aliansi. Pernah juga di daerah netral, seperti Ether, atau Vulcanic Cauldron, untuk sekedar latian, atau menemani Ibu meluapkan energinya. Selain itu, acara makan siang bersama, ga bakal terlewat. Ibu sama sekali ga bisa masak, jadi urusan bekal, terpaksa Ayah dan Khortenio turun tangan sebagai penanggung jawab.

Suatu hari, mereka melakukan ekspedisi ke Gunung Buas. Dan, yap. Udah bisa ditebak, siapa yang paling menentang hal ini. Khortenio muda, sepanjang jalan ngomel aja kerjaannya. Tapi apa daya, dia ga kuasa melawan kehendak dua orang yang dicurigai udah ga punya urat takut.

Gunung Buas adalah salah satu dari sekian banyak tempat berbahaya di Planet Novus. Gw aja belum pernah ke sana. Katanya sih biarpun lingkungannya lumayan indah dan belum tercemar, tapi diisi makhluk-makhluk agresif super menyeramkan. Dan itu udah cukup jadi alasan gw ga bakal mau menginjakkan kaki ke tempat itu… kalo ga penting-penting amat.

Mereka ga pergi terlalu dalam sebenarnya, cuma sampe daerah yang disebut Hutan Pemburu. Monster di sana, buset, ajib deh. Ditabok, malah balas nabok lebih keras. Beberapa Black Claw Warbeast yang kebetulan lagi ada di area itu, menyadari kehadiran asing, dan langsung beralih fokus pada mereka. Jumlahnya ada 5.

Pertarungan ga bisa dihindari, mereka harus melawan biarpun cuma bertiga. Ayah berada di garis depan sebagai tembok, sedangkan mantra-mantra Ibu merupakan sumber kerusakan paling utama, dibantu tower guard Khortenio muda. Party dua bangsa tersebut sukses menumbangkan Black Claw Warbeast pertama, setengah jam berselang.

Wajah pria berambut magenta tetap keliatan panik. Ibu menoleh, liat kepanikan itu. Dia berkata, “Hey, hey! Ilmuwan~ Mau liat sesuatu yang keren?” Ucapnya sambil senyum lebar.

“Hah?”

“Liat aku.” Lingkaran merah tipis menyala di sekitar pupil Ibu. Aura ungu gelap yang pekat banget, keluar dari tubuhnya. Dia berlari mendekati salah satu Warbeast yang sibuk menyerang Ayah. Selimut aura ungu gelap tersebut, melambai akibat gerakan tubuh pemiliknya. “Waahuuu~, BlablaBlack Blast!” Dia mengucap mantra, proyektil kecil hitam kemerahan, perlahan berubah warna jadi ungu tua sepenuhnya.

Proyektil tersebut meluncur deras ke tubuh Black Claw Warbeast, yang teralihkan oleh Ayah. Begitu bertabrakan, proyektil tersebut membesar seukuran Black Claw Warbeast, kemudian menciut dengan cepat, dan… hilang! Monster itu ikut lenyap tanpa sisa! Tanpa ledakkan, tanpa kehebohan, tanpa bakar-bakaran. Seolah ikut terhisap ke dimensi lain!

“Yaaahhh… gitu doang?” Sekarang, dia kecewa karena efek mantranya ga menimbullkan kembang api besar. “Kutarik ucapan tadi, itu sama sekali ga keren! Huh!”

3 Warbeast yang tersisa, merasa gentar akibat tekanan Force Ibu, dan memilih untuk kabur. Insting hewan mereka pasti bilang, ga ada gunanya terus melawan.

“A-Apa yang barusan… itu…?” Mengecewakan bagi Ibu, belum tentu bagi Khortenio muda. Si Mental Smith merasa ngeri liat Ibu pamer kemampuan.

Ayah, keliatan biasa aja. Kembali memasukkan persenjataan ke inventori 4 dimensi. Mereka berkumpul, setelah habiskan waktu cukup lama berurusan dengan 5 ekor monster ganas.

“Ayo balik! Ga ada gunanya juga lama-lama di sini!” Gertak Khortenio muda. Dia kesal, dan segera balik badan ke arah jalur yang mereka lewati sebelumnya.

“Tunggu, Khortenio. Aku… Aku…” Tiba-tiba Ibu memanggil nama si Mental Smith.

“Apa lagi?!”

“Akumaubicarapadamu!” Ibu berkata dengan cepat.

“… Ya udah. Gw dengarkan.”

“Berdua.”

Raut keheranan sama sekali ga bisa disembunyikan oleh Khortenio muda. Jadi, mereka melangkah agak jauh dari Ayah, yang lagi duduk senderan di bawah pohon, menutup sejenak matanya.

“A-aku… mau minta maaf… udah membakar wajahmu.” Khortenio ga bereaksi. Cuma menatap ke mata semerah rubi milik Ibu. “Kamu taulah, uhm… aku… aku ga sengaja. Yaaa, sengaja sih sebenarnya… tapi niat awalnya ga bikin rusak wajahmu… melainkan membu- ah, bukan… bukan! Ehm, gimana ya?” Kalimat Ibu jadi terbata-bata, seraya memainkan jemari untuk kurangi kecanggungan.

“Pikirkan dulu mau ngomong apa, baru ajak gw bicara. Karena gw ga paham makna perkataan lu.” Gerutu Khortenio muda.

“Hey! Ini pertama kalinya aku minta maaf! Aku lagi berusaha sebaik mungkin!” Ibu membentak.

Khortenio memutar bola mata, malas menanggapi, dan beranjak pergi. “Kalo gitu lu harus banyak belajar, sebelum beneran minta maaf. Karena, bukan gitu cara bersikap saat minta maaf.”

“Tu-tunggu! Oke, oke!” Ibu mencegah Khortenio pergi, dengan menarik lengannya. “Maaf. Beberapa hari ini, kita udah saling mengenal, kan? Kamu tau kalo aku punya kepribadian yang… ga begitu baik…” Kata Ibu, kali ini lebih tenang. “Aku sadar akan hal itu. Tapi, aku mau memperbaikinya demi bisa bersama orang yang kucinta.”

“…” Khortenio diam sebentar. Mencerna tiap kalimat yang baru aja didengarnya. “Apa lu serius cinta, pada Actassi?”

“Tentu!”

“Karena seingat gw, lu udah berusaha membunuhnya.” Tatapan Khortenio muda, berubah dingin.

“I-itu…”

“Kenapa gw harus percaya omongan wanita gila yang melakukan hal-hal ga wajar, contohnya meninggalkan luka yang ga bakal hilang di wajah orang lain tanpa berpikir dua kali, buat sekedar habiskan waktu luang?” Khortenio menekan Ibu lebih lanjut. “Apa lu pikir, ini semua permainan? Ini medan perang.” Ibu makin dibalut rasa bersalah, akibat perkataannya. “Lu menganggap semua usaha keras kami, ga lebih dari penghibur di saat senggang. Lu pikir, gw bisa menerimanya gitu aja?” Wajah Ibu tertunduk, ga sanggup membalas. “Perilaku yang ga bisa ditebak, dan bisa berubah dengan cepat. Lu sosiopat dengan masalah otak serius.”

Ouch, kata-kata si Mental Smith tajam banget di telinga, serangan verbal bertubi-tubi. Ibu masih dalam keadaan diam. Mengingat perilaku Ibu yang susah diprediksi, gw ga tau apa yang bakal terjadi selanjutnya.

Tubuh Ibu bergetar, tanpa diduga, dia terkekeh. “Gila, gila, gila… Ihihi. Cuma itu yang kudengar dari mulutmu selama ini, Khortenio.” Lalu, Ibu sedikit mengangkat wajah. Lingkaran tipis kembali terbentuk di matanya, dan tatapannya tertuju langsung pada mata Si Mental Smith, “Kasih tau aku, apa definisi sebenarnya dari ‘gila’?” Aura ungu gelap lagi-lagi memenuhi udara di sekeliling mereka.

Khortenio muda merasa terancam, dan mundur teratur. Dia tau, ga punya kesempatan buat bertahan, andai Ibu melancarkan serangan. “Izinkan aku berbagi pendapat. Gila itu, menyia-nyiakan hidup sebagai bukan siapa-siapa, saat aku punya darah pembunuh mengalir di nadi. Gila itu, dipecundangi, dihina, terdampar di kehidupan hampa sebagai keberadaan menyedihkan, padahal aku punya monster dalam diri, dan kunci untuk melepasnya.”

Huff, saya benar-benar berpikir bakal lenyap kaya Black Claw Warbeast tadi.” Sela Maximus Khortenio.

Gw menelan ludah, ikutan tegang jadinya. Ibu seram betul!

“Kamu pikir aku gila, tapi bagiku pilihan, Khortenio. Yang harus dihadapi masing-masing dari kita: untuk tetap rendah diri, miris, babak belur, terombang-ambing ga jelas kaya domba yang digembalakan takdir, atau… ambil kendali nasib sendiri, melepas monster yang terpendam dalam diri. Inilah keputusan yang kuambil. Antara domba, atau monster, aku memilih monster.”

Khortenio muda sama sekali ga bisa berkata apa-apa, sangking tertekannya.

Mendadak, sikap Ibu berubah lagi. Sekarang jadi riang. Aura ungu gelap dan tatapan tajamnya hilang, berganti senyum cerah menggemaskan. “Tapi, aku rela menekan ‘kegilaan’ demi Actassi. Karena aku tau, perasaan ini nyata.”

Lawan bicaranya cengo, dan kesekian kali dibuat ga paham oleh kelakuan ga terduga dari Corite wanita yang satu ini.

Ibu kuat, dan dia tau itu. Ibu punya pikiran yang ga biasa dari orang kebanyakan, dan dia sadar akan hal itu. Tapi, dia justru bangga dengan apa yang dimiliki, apa yang mampu dilakukan, dan melampiaskan energi tersebut untuk jadi beda sendiri. Dia ga takut. Karena selalu tau apa yang dia inginkan. Bebas, ga terkekang, ga ada yang mengatur hidupnya.

“Halooo? Khorteniooo?” Ibu menjentikkan jari beberapa kali di depan mata si Mental Smith. “Kenapa kamu?”

“A-ah… ga apa-apa.” Padahal mah, sama sekali ga keliatan baik-baik aja tuh.

“Actassi… membuatku tenang, dan nyaman, saat berada di sisinya.” Ibu melanjutkan, “Keberadaannya, seperti menetralisir ‘kegilaan’ yang terus berontak untuk keluar dari dalam diri. Biar bagaimanapun, aku hanya ciptaan Decem yang bisa salah. Mungkin pilihan yang kuambil udah salah dari awal, tapi satu hal yang kuyakin, kesempatan kedua selalu ada.” Suaranya begitu lembut, dan tulus. Beda banget dari sebelum-sebelumnya. “Karena itu, Khortenio. Aku minta maaf, atas semua perbuatanku yang terlampau buruk.” Mata merah rubinya menatap halus. Khortenio muda ga pernah menyangka, perilaku Ibu bisa begini.

Khortenio muda tutup mata, dan menghirup udara. Menenangkan diri. Rona merah tersirat dari wajahnya.

Hahaha, saya ga nyangka lho, bisa dibikin merona oleh Ibumu. Kalo aja ga ingat Actassi, mungkin saya udah jatuh cinta juga padanya.” Serius!? Setelah semua yang terjadi, setelah omongannya yang memojokkan Ibu?! Setelah semua ketidak-sukaan yang ditujukan buat Ibu!? Astaga.

Uhm… apa anda harus bicarakan itu, Maximus?

Ga apa-apa dong, namanya juga intermezzo. Hahaha!” Apa lu kata dah.

Selepas satu helaan panjang, kelopak mata Mental Smith berambut magenta terbuka, mulutnya berkata, “… Untuk saat ini, gw bisa memaafkan lu, Oeufcoque,” ujar Khortenio muda, pada Ibu yang terlihat sumringah, “tapi belum bisa sepenuhnya percaya pada lu. Jalan pikiran kita beda, dunia kita beda, pemikiran gw tentang lu masih sama kaya sebelumnya,” sayang, kesenangan itu cuma bertahan beberapa detik, “makanya… buktikan kalo gw salah,” namun kelegaan mengisi hati Ibu, pas liat Khortenio memberinya senyum tipis.

“Uwaaa~ Makasih, makasih, makasih, Khorteniooo!” Dia menerjang Khortenio, memeluk sekalian cium dadakan! Di pipi… tapi… tetap aja…

Khortenio muda jelas ga siap antisipasi serangan itu. Mengusap pipi kanannya sendiri, di lokasi pendaratan bibir kenyal Corite wanita, “U-untuk apa ciuman itu!?”

“Jadi tanda, kalo kamu juga termasuk orang yang kusayang. Hihi.” Pria itu terbelalak ga percaya. Udah ga sanggup menangani dinamika seorang wanita bernama Oeufcoque.

Kepala si Mental Smith menggeleng beberapa kali. Hahaha, pasti lagi mengurai betapa absurd gejolak yang dirasakannya.

.

.

“Saya menyatakan pernikahan ini, sah. Sekarang, kalian resmi menjadi pasangan suami-istri.” Ujar Khortenio muda, pada pasangan mempelai dihadapannya. Dengan gaya bicara formal.

Pohon rindang berdaun lebat, bertindak sebagai saksi bisu dari terciptanya ikatan abadi berlandaskan cinta. Asedap. Setelah Ayah mengucap janji suci untuk meminang sesosok wanita pujaan hati, Khortenio menutupnya dengan kalimat pengesahan.

“Wow, gitu doang? Kita suami-istri sekarang?” Selidik Ibu, yang ga terlalu yakin.

“Uhm, ya. Udah sesuai adat Bellato kok.” Jawab Khortenio.

“Aku kira bakal serumit Bangsa kami.”

Ayah dan Ibu, memutuskan untuk menikah di bawah hukum Bellato, dikarenakan satu-dua hal. Diantaranya, pernikahan Bangsa Corite ga sesederhana Bellato. Perbedaan ras aja, udah cukup buat Aliansi untuk ga menyetujui cinta mereka.

Pernikahan ini jauh dari kata mewah. Begitu apa adanya, dan ga dihadiri satupun tamu undangan. Cuma ada mereka bertiga, di bawah sinar mentari cerah dengan sedikit awan di langit. Ga ada gaun, ga ada kue pengantin. Ga ada satupun yang tau tentang kejadian ini, kecuali mereka. Untuk acara kali ini, pertama kali gw liat Ibu pake Armor lengkap Spiritualistnya, masih bertema merah marun yang dominan, dengan aksen biru.

Ga kaya biasanya, Ibu mengenakan kedua sarung tangan, jadi agak menyembunyikan sebagian tato di lengan kanan. Biarpun tanpa gaun pengantin, dia terlihat sangat memukau. Anggun luar biasa, pesonanya terpancar banget dari dalam. Menghapus berbagai image ‘rada-rada’, yang udah terpatri di ingatan gw sebelum ini.

Sama dengan Ibu, Ayah dan Khortenio pun memakai Armor lengkap. Ayah yang notabenenya udah gagah, jadi makin keliatan gagah hari ini. Apalagi didukung sikapnya yang kalem ga ketolongan, menambah kesan keren. Efek hari bahagia Hari Pernikahan, barangkali.

Alasan mereka ga pake pakaian yang biasa dipake pas pernikahan pada umumnya, karena enggan menimbulkan kecurigaan. Apa kata orang, bila mereka menyelinap ke daerah asing dengan pakaian formal? Gimana berantemnya, kalo pake gaun dan jas? Sebisa mungkin, mereka menghindari hal itu.

Ayah dan Ibu saling berhadapan. Ibu yang bertubuh lebih tinggi, harus menunduk supaya mata merah rubi dan kelabu bisa bertemu. Senyum keindahan, sama sekali ga bisa ditahan. Saling menggenggam tangan dengan lembut. “Aku cinta kamu, Actassi.” Kalimat sederhana, dengan segala kejujuran. Mendayu diantara semilir angin.

Ayah mendekatkan tubuh, sampe saling bersentuhan. Tangan kanannya mengusap pipi Ibu, dan sedikit menekan belakang kepala bermahkota coklat kuning lebih dekat lagi. “Saya juga cinta padamu, Q. Terima kasih.”

Selepas itu, kedua bibir insan yang lagi dimabuk asmara, saling tindih. Ayah harus berjinjit untuk menggapainya, dan Ibu mau ga mau sedikit membungkuk. Tapi tetap ga mengurangi esensi dari ciuman penuh kehangatan, dan terasa begitu dalam bagi siapapun yang liat. Bergerak perlahan dalam harmoni, menikmati tiap detik yang ga bakal terlupakan. Bertahan dalam kurun waktu setengah menit, Ayah dan Ibu terasa berada di dunia mereka sendiri. Kedua pasang mata tertutup, meresap sensasi kelembutan, mengalir dari syaraf-syaraf sensitif permukaan bibir ke seluruh tubuh secara maksimal.

2 individu, 2 bangsa, 2 kepribadian bertolak belakang, berbagi satu perasaan yang sama.

Cinta.

“Oh, faak. Bisa ga, tunggu sampe kalian di kamar?” Moment penuh romansa jadi terganggu akibat gerutuan Khortenio muda, yang merasa jadi obat nyamuk.

Bilang aja iri.

.

.

-2 Bulan kemudian-

Pagi yang tenang di suatu hari, Khortenio muda menyeduh secangkir kopi di ruangannya. Air mendidih, bertemu suhu rendah udara lingkungan, hasilkan asap tipis dari dalam cangkir tersebut. Aroma kopi khas bagi sebagian orang menggugah selera. Katanya, waktu muda, Maximus Khortenio termasuk pecandu kopi.

Tunggu… kok berasa udah pernah liat adegan ini?

Lalu datanglah Ayah, menghampiri rekan terdekat selama ini. Masih dengan muka datar. Pas banget pria berambut magenta angkat cangkir buat minum, Ayah bertanya sesuatu yang cukup mengherankan si Mental Smith, “Kartea, apa kamu bisa menerbangkan pesawat transport?”

Khortenio muda balas menatap mata kelabu Ayah, ga kalah datar. “Bisa… kenapa tiba-tiba…?” Mental Smith berambut magenta udah menciumnya. Masalah. udah apal pokoknya, atmosfir kaya gini, pasti lagi ada sesuatu di balik tempurung kepala yang tertutup helai kelabu.

“Q hamil.”

“Serius!?” Namun reaksi Khortenio muda, ga sama kali ini. Dia keliatan semangat, “Wauw! Keren! Lu bakal jadi Ayah! Kerja bagus, Act! Tapi itu berarti, dia ga bisa lebih lama lagi menetap di Markas Aliansi Suci, kalo ga mau hubungan kalian terbongkar. Kalian butuh rumah baru di suatu tempat.”

“Saya tau. Makanya, kita harus bawa dia keluar dari Novus.” Senyum bahagia Khortenio muda seketika terhapus dari wajah. Mulai sadar ke mana arah pembicaraan ini. “Saya punya tempat yang aman baginya, di Bellator.”

“Gak, gak, gak! Lu ga bisa bikin gw melakukannya! Lu ga bisa bikin gw mencuri satu pesawat transport, dan menyelundupkan Corite ga cuma ke Hanggar Armada Udara, tapi juga ke Bellator! Gak. Titik!”

.

.

-Malamnya-

“Faak! Gw melakukannya! Ga bisa dipercaya!” Omel Khortenio, sambil memegang kemudi pesawat transport. “Ga bisa dipercaya, lu bikin gw melanggar 10.000 aturan Federasi demi ini! Bajingan!” Jelas jumlah aturannya dilebih-lebihkan.

“Wow, berhenti merengek, Ilmuwan~ Liat sisi baiknya. Kamu, aku, Actassi, mengarungi Galaksi! Yeaay!” Ocehan jenaka Ibu sungguh ga membantu.

Khortenio muda memutar bola mata, dan bergumam sendiri. “Gw ga daftar jadi Mental Smith untuk kekacauan macam ini.”

Anda ga bisa bilang ‘tidak’ padanya, ya?” Tanya gw, diiringi senyum iseng.

Maximus ketawa kecil, dan mengacungkan jempol, “Satu dari Sekian banyak hal yang perlu dilakukan demi sahabat.

Maybe the choice I made was wrong from the beginning, but one thing I believe, there’s always a second chance.” – Oeufcoque/Qahazari (Ch. 41)


CHAPTER 41 END.

Next Chapter > Read Chapter 42:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-42/

Previous Chapter > Read Chapter 40:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-40/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *