LAKE CHAPTER 42 – REMINISCENCE OF ANOTHER MEMORY (PART 3)
Lake
Penulis: Mie Rebus
Pesawat transport yang digunakan Khortenio muda untuk bawa Ibu dan Ayah ke Bellator, ga terlalu besar ukurannya, tapi cukup leluasa bagi 3 penumpang. Perjalanan ini bisa dibilang begitu mendadak, dan ga ada persiapan. Memaksa Khortenio dan Ayah buat berimprovisasi. Mereka ‘meminjam’ pesawat tersebut, dari Hanggar Armada Udara, ehem… secara illegal pastinya.
Khortenio ga sembarangan dalam hal memilih moda transportasi mana yang jadi kandidat. Dia memilih pesawat transport dengan fitur tambahan, yaitu mode siluman. Sebelum lepas landas, Mental Smith berambut magenta menon-aktifkan peralatan elektronik yang berfungsi memancarkan posisi pesawat. Salah satunya ELT (Emergency Locater Transmitter). Supaya Federasi ga bisa mendeteksi keberadaan mereka. Sekalian memasang alat pengacak sinyal.
Pesawat tersebut melintas ruang angkasa yang memiliki beragam cahaya kelap-kelip dari taburan bintang. Planet-Planet besar di sekeliling mereka, seolah jadi penonton tanpa suara, menyaksikan sebuah objek yang ukurannya jauh lebih kecil, melewati satu-dua Planet dengan cepat.
Di bagian kokpit, Khortenio muda menekuk wajah, keliatan masih kesal dan gusar. Ditambah lagi, harus dengar Ibu menyanyi semenjak keluar dari atmosfer Novus.
“Kalau kau suka hati, tepuk tangan~” Ayah yang duduk di kursi ko-pilot, ikutan tepuk tangan. “Kalau kau suka hati, tepuk tangan~” Ekspresi senang Ibu, kontras banget dengan muka Ayah yang datar. “Kalau kau suka hati, mari kita lakukan Kalau kau suka hati, tepuk tangan~” Ditutup tepukan tangan Ayah dan Ibu berbarengan.
“Ini bukan piknik! Bisa-bisanya lu berdua pake nyanyi segala!” Omel Khortenio muda. “Faak. Ga bisa dipercaya.”
“Kenapa sih? Dari tadi ga bisa liat orang lain senang.” Ibu balas menggerutu.
“Heyy, gw mempertaruhkan karir di sini, jadi sebaiknya anggap hal ini serius!”
Ayah mulai bertanya, “Apa kamu masih marah pada saya, Kartea?”
“Lu nanya, apa gw masih marah?” Alih-alih jawab, Khortenio muda justru balik bertanya. “YA MASIHLAH! Gw pengen mukulin muka lu yang ngeselin itu sampe tunjukkan ekspresi!” Serunya dengan nada tinggi. “Tapi gw tau itu ga akan berhasil. Sial.” Eh, mendadak pasrah. Haha.
“… Maaf, Kartea.” Ayah menengok pada kawannya di sebelah kanan. “Kamu bisa memukul saya sepuasnya setelah tiba di Bellator.”
“Jangan dianggap serius, astaga. Udah punya istri, masih aja ga punya selera humor.” Ejek si Mental Smith yang alih profesi sementara jadi Pilot.
Ibu membunuh kebosanan dengan beragam cara. Salah satunya memandang keluar jendela, mengagungkan keindahan antariksa. Sinar kelap-kelip dan keajaiban sistem tata surya, membentuk refleksi di mata merah rubi yang melebar akibat terpana. Mulutnya setengah terbuka, untuk waktu cukup lama.
“Indah.” Gumam satu-satunya wanita di pesawat ini.
Semesta yang ga terbatas, seolah ga berujung. Tanpa dasar untuk menapak, tanpa garis atau ruang untuk berperan jadi pengekang bagi siapapun yang berani menjelajah.
Khortenio muda bertatapan dengan Ayah selepas dengar perkataan Ibu. Kedua ujung bibirnya menekuk ke atas. Dia ga bisa menahan senyum saat Ibu memperlihatkan sisi lugu.
Sesekali Khortenio mengaktifkan pilot otomatis. Gimanapun, dia juga butuh istirahat. Selama koordinat yang dimasukkan tepat, dijamin ga bakal tersesat. Perbekalan mereka terbilang memadai. Ayah udah mengumpulkan berbagai macam suplai jauh-jauh hari. Ternyata, perjalanan ini ga sepenuhnya tanpa persiapan.
Khortenio muda tampak kaget, dan langsung buang muka suatu ketika melihat Ibu baru abis mandi. Tubuh langsing berkulit mulus itu cuma ditutup selembar handuk, pamerkan tato ungu di sekujur lengan kanan. Rambutnya yang tergerai super panjang dan lebat dari kepala hingga tumit. Ayah suka membantu Ibu mengeringkan rambut. Karena kalo dilakukan sendiri, cukup makan waktu.
Setelah setengah bulan perjalanan, setengah bulan menghadapi celotehan Ibu yang ga karuan, akhirnya Khortenio muda bisa sedikit bernapas lega. Sebuah Planet berwarna hijau kekuningan mulai masuk jarak pandang.
“Para penumpang sekalian, dengan Pilot anda yang berbicara, Conquest Khortenio Kartea. Harap periksa kembali barang bawaan anda, karena pesawat sebentar lagi akan memasuki atmosfer Bellator.” Ucapnya, menirukan gaya formal Pilot beneran.
“Oh, oh, oh! Yang mana, yang mana!?” Tanya Ibu pada Ayah, dengan semangat.
Ayah menunjuk Planet yang dimaksud, “Yang itu.”
“Lu yakin, mau menetap di Bellator? Planet kami punya gravitasi yang lebih berat, dan kondisi lingkungan yang ga begitu baik.” Khortenio bertanya pada Ibu, saat mengaktifkan mode pesawat siluman. Altimeter saat ini menunjukkan angka 650 kilometer.
“Ha! Kamu meremehkanku? Sekedar info, bangsa kami terlatih menghadapi kondisi yang sangat ga nyaman.” Bantah Ibu begitu yakin. “Lagian, aku punya medan kinetis.”
“Oke, terserah.” Khortenio muda mengembalikan mode pesawat jadi manual. Kembali ambil alih kemudi. “Harap kencangkan sabuk pengaman, jangan berdiri, dan jangan muntah.”
Mengorbit Bellator dengan kecepatan sekitar 8 kilometer per detik, sebelum melakukan pengereman udara begitu mendekat ke atmosfer terluar dengan ketinggian 150 kilometer, yang punya kepadatan gas paling tipis selama kira-kira 15 menit.
Hal ini bertujuan supaya pesawat transport ga serta-merta menghujam Bellator. Diperjelas juga ama omongan Maximus Khortenio, “Gesekkan antara badan pesawat dan lapisan atmosfer, menghasilkan suhu yang tinggi banget. Biarpun dinding pesawat transport udah dilapis keramik anti panas, suhu yang terlampau tinggi tetep bisa menghancurkannya. Karena itu, saya harus hati-hati.“
Tangan Khortenio muda yang memegang tuas kemudi, menegang pas tahan getaran yang terjadi. Pesawat mulai masuk atmosfer Bellator. Ibu sedikit panik, karena seisi pesawat transport mulai berguncang agak keras. “Ilmuwan! Apa kita baik-baik aja!?”
“Tenang, turbulensi adalah hal yang wajar.” Ucap sang Pilot dadakan, coba untuk ga terlihat tegang. “Dan diamlah sedikit, gw lagi berusaha pastikan kita bakal baik-baik aja!”
Sedangkan Ayah? Satu-satunya yang paling santai diantara mereka.
Gesekkan antara udara dan badan pesawat makin intens, seraya memasuki ketinggian 150 kilometer dari permukaan tanah. Tekanan gravitasi yang mereka alami, cukup kuat serta makin memusingkan. Ibu Menggenggam kuat-kuat tangan Ayah.
Di sisi lain, Khortenio muda mengertak gigi dan komat-kamit. “Ayolah, ayolah, ayolah, ayolah! Jangan kecewakan gw, sayang!”
“Mau saya bantu, Kartea?”
“GAK! JANGAN SENTUH APAPUN!” Si Pilot membentak.
Angka pada Altimeter berkurang dengan cepat. Tadi menunjukkan 150, kini udah berada di ketinggian 122. Terus berkurang. Khortenio muda merasakan mual, tapi sekuat tenaga berusaha menahan. Belum lagi sakit kepala, dan denyut nadi meningkat akibat tekanan gravitasi yang luar biasa.
Ketegangan belum berkurang sampe menyentuh ketinggian 70 kilometer. Pesawat tersebut makin ditarik gravitasi, melaju pada kecepatan 18.800 kilometer per jam. Khortenio muda mengarahkan tuas kemudi agar lajunya jadi menyamping, supaya ga melesat ke tanah terlalu cepat.
Berbagai peralatan elektronik mengeluarkan bunyi alarm, beberapa ada yang mati, terus nyala lagi. Suplai oksigen bersinar merah kedap-kedip, seolah dalam keadaan kritis.
“ILMUWAN!” Jelas keadaan ini bikin Ibu makin panik.
“GW TAU, GW TAU! KITA BAKAL SELAMAT!” Sahut si Mental Smith, “… Mungkin. Hahaha … mampuslah kita.” Dilanjutkan ketawa getir.
Keadaan ini berlangsung sekitar 10 menit. Baru mulai normal lagi saat mereka berada di ketinggian 50 kilometer. Khortenio muda melakukan cek kilat buat memastikan semua kembali berfungsi tanpa ada kerusakan berarti. Hembusan napas lega terdengar dari Prajurit berambut magenta. Resmi masuk kawasan langit Bellator dengan selamat.
“Cukup menegangkan.” Ayah berkata, tapi ga singkron dengan muka. Dia mengelus rambut Ibu beberapa kali, “Kamu ga apa-apa, Q?”
“Tadi itu…” Tatapan Ibu kaya orang yang baru lolos dari kematian, “LUAR BIASA! BISA KITA LAKUKAN LAGI!? AYO DONG, AYO DONG, AYO DONG!”
“Lain kali, Q. Lain kali.” Jawab Ayah, sembari kasih lirikan penuh arti pada Khortenio muda.
Si Pilot dadakan mengacung jari tengah pada Ayah, udah males nanggepin omongan mereka. Terlalu capek setelah menghadapi keadaan tadi.
.
.
“Jadi, ini tempat aman yang lu maksud?” Tanya si Pilot.
Pesawat transport tersebut, terbang melintas Hutan Alcatra. Salah satu daerah yang terbilang masih jarang terjamah polusi, dan pencemaran lingkungan. Letaknya jauh dari kota terdekat. Bisa dibilang daerah yang cukup terpencil. Emang sengaja Ayah mencari tempat yang ga menarik terlalu banyak perhatian.
“Sedikit lebih jauh ke timur, ada rumah di sana.” Jawab Ayah.
Dan benar aja, sebuah bangunan dari banyak balok kayu sederhana dengan nyala lampu begitu mencolok di tengah lingkungan yang minim cahaya. Mereka tiba saat malam turun. Keadaan sempurna untuk melakukan pendaratan pertama. Di depan rumah tersebut, ada tanah lapang yang cukup luas untuk dipakai sebagai spot pendaratan vertikal.
“Tunggu di sini. Apapun yang terjadi, jangan bantu saya.” Kata Ayah saat menapakkan kaki keluar, lalu berjalan menuju pintu depan. Beberapa saat kemudian, Sang penghuni rumah membuka pintu, dan Ayah masuk ke sana.
Ibu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal, akibat terlalu lama berada di pesawat. Menghirup udara Bellator pertama dalam seumur hidupnya.
“Huuuaaah! Seru juga ya, perjalanan ini. Hai, anakku. Kita udah sampe di Planet asal Ayah~” Dia berkata, mengelus lembut perut sendiri.
Gw tersenyum dengarnya, kali pertama dengar Ibu bicara pada gw yang masih dalam kandungan.
“Heyy, Ilmuwan. Kamu tau sesuatu tentang rumah itu?”
Sambil angkat kedua bahu, Khortenio menjawab, “Entah. Dia ga pernah cerita.”
Di tengah tatapan mereka yang tertuju ke rumah itu, mendadak Ayah terlempar keluar dari pintu depan! Seketika, pintu rumah tersebut jebol, cuma tersisa sebagian kecil, diiringi suara keras akibat benturan tubuhnya dengan permukaan tanah.
“A-Act…?” Khortenio muda bingung bukan main. Yaiyalah, selama ini ga ada sejarahnya ada orang yang sanggup bikin Ayah terlempar begitu! Penasaran jadinya, siapa pemilik rumah misterius itu.
“Siapa yang bikin Ayah mental, Maximus?“
“Liat aja sendiri.” Responnya enteng.
Ayah keluarkan perisai besar, dan menghunuskan pedang yang biasa dia gunakan, lalu kembali ke dalam. Tapi lagi-lagi, benturan keras terdengar, dan kedua kalinya sosok berambut kelabu belah tengah terlempar keluar, dari tempat yang sama.
“Apa yang terjadi!?” Khortenio muda ga bisa melakukan apa-apa, sangking herannya.
“Mana kutau.”
“Bukannya kita harus bantu!?” Seru si Mental Smith pada Ibu.
“Kamu dengar kan, kata-kata Actassi tadi?” Ibu ga menunjukkan tanda-tanda tertarik buat ikut campur. “Apapun yang terjadi, jangan bantu dia.”
Dari dalam rumah, keluarlah sosok Bellatean lain. Warna rambutnya sama kaya Ayah, abu-abu. Dibiarkan panjang sepundak, memanggul sekop di bahu. Kini dua orang yang sama-sama memiliki rambut kelabu saling berhadapan. Tampang mereka serius banget, dan udara jadi terasa mencekam.
Tunggu, kok mukanya kaya mirip seorang yang gw kenal? Matanya hijau dedaunan, jubah putih itu, apa dia … ah, mana mungkin.
“Brengsek. Ganggu tidur orang, hancurkan rumah, dan bikin kotor jubah kesayangan gw di tengah malam buta begini.” Kata Bellatean itu. “Udah berani angkat pedang di hadapan gw? Lu pikir bisa mengalahkan gw?”
Mata Khortenio melebar pas liat sosok tersebut. Kaya baru sadar akan sesuatu yang penting. “Di-dia kan…”
Ayah dan Bellatean itu maju bersamaan. Benturan antara senjata mereka dahsyat banget! Gelombang kejut sampe terasa begitu adu tenaga! Bisa dipastikan kalo Bellatean itu bukan orang sembarangan. Bayangkan aja, dia ga gentar melawan Ayah dengan persenjataan Shield Miller lengkap, modal sekop doang!
Belum lagi dia mampu mengimbangi kekuatan Ayah yang terkenal abnormal. Force dari tubuh mereka mulai menekan udara, dan gelombang kejut hasil tiap kali beradu senjata bisa getarkan daratan. Kawah-kawah dangkal pun terbentuk pas senjata mereka sesekali menghantam tanah di sekitarnya.
Dentingan demi dentingan tertangkap telinga. Ayunan pedang Ayah yang terkenal amat bertenaga berhasil dihindari satu per satu. Bergerak ke sana kemari, di tengah selimut langit yang gelap. Gerakan mereka sama gesitnya. Enggak, Bellatean itu jauh lebih lihai. Mungkin karena dia ga pake perisai.
Pada satu kesempatan, Ayah lancarkan tendangan kejutan ke perut Bellatean itu saat dia lagi menerjang dengan kecepatan tinggi, membuatnya terpental jauh menuju pepohonan di belakangnya. Empat pohon besar langsung tumbang, namun belum cukup buat hentikan laju tubuh si Bellatean berjubah.
Ga buang waktu, Ayah manfaatkan keadaan tersebut buat balik menyerang. Bellatean berjubah putih kembali bangkit dari tengah tindihan pepohonan, sorot mata hijau itu keliatan makin ganas dari sebelumnya. Pertanda belum mau menyerah.
Luka goresan akibat terbentur pepohon dan dislokasi di tangan serta rusuk Bellatean berjubah itu gak bisa disembunyikan. Namun, terlihat dari tubuhnya keluarkan asap seiring napas yang makin cepat, dan … luka-luka yang dia derita mulai pulih dengan kecepatan gak bisa dipercaya!
Dia menancapkan sekop ke salah satu batang pohon besar yang tumbang di sebelahnya, dan mengayunkan pohon tersebut pada sumbu horizontal untuk menyambut Ayah!
Batang pohon itu terbelah jadi dua pas Ayah membentang perisai ke sisi kiri guna memblok serangan. Tenaga hantaman pohon sebesar itu, ga bikin Ayah bergeser dari tempatnya berdiri! Edan, ini pertarungan dua orang yang punya kekuatan di luar akal sehat Bellato!
Tapi rupanya, serangan itu cuma pengalihan. Tanpa disadari, lawan Ayah udah berada semeter di depan, bersiap mengumpulkan momentum percepatan. Di detik terakhir, Ayah memindahkan blokade perisainya ke depan.
Satu hantaman sekop berputar dari Bellatean itu sukses ditangkis perisai. Tapi… karena hentakannya begitu kuat, pijakan Ayah sedikit terdorong ke belakang. Itu sama sekali ga normal! Sakti amat!
“Wow, lumayan.” Puji Ibu, sambil kagum melihat dua Bellatean Pria unjuk kebolehan. “Boleh juga, bisa menekan Actassi sejauh itu.”
“Iyalah. Wajar.”
“Mm?”
Ayah melompat, pedangnya terangkat tinggi, bersiap selesaikan pertarungan. Lawannya ga berusaha menghindar, malah membentang sekop di atas kepala, berniat menahan serangan langsung. Ayah kerahkan segenap kekuatan untuk disalurkan ke pedangnya!
Pijakan kaki Bellatean itu melesak beberapa senti ke dalam tanah akibat menahan serangan Ayah! Debu dan butiran pasir terbang, permukaan tanah udah ga rata. Bebatuan jadi terangkat sesaat.
Senjata mereka masih sempat saling menahan sebelum sekopnya patah, dan pedang Ayah berhenti tepat di atas bahu kanan Bellatean itu. Beberapa menit mereka terdiam di posisi begitu. Ga kehilangan waspada, dan belum menurunkan tensi. Sekalian atur napas barangkali.
“Mantap.” Ujar Bellatean berambut kelabu panjang sambil tersenyum simpul, serta menjatuhkan patahan sekop yang dipegang. Ayah menarik pedang, dan kembali simpan persenjataan. “Kuat seperti biasa, Acti.” sapanya.
“Kamu juga.” Mereka berpelukan, dan saling menepuk punggung. “Pensiun ga membuatmu tumpul.”
“Tentu, udah insting dari lahir. Hahaha.” Suasana ga lagi mencekam, tiba-tiba jadi hangat antara kedua orang yang sempat bersitegang. “Gw liat lu bawa teman kemari.” Ujarnya, mengalihkan pandangan pada dua orang lainnya yang menonton aksi barusan. Keliatan banget garis kebingungan di wajah Khortenio muda.
“Ah, ya. Kartea, Q. Kenalkan, Kakak sepupu saya.”
Tatapan Bellatean berjubah itu agak sedikit kaget begitu liat Ibu, tapi langsung berubah lagi jadi ramah. Apa dia ga merasa aneh liat Corite di tanah Bellator?
“Rentogarp Grymnystre, boleh dipanggil Ren biar singkat.” Heyy, dia bisa bahasa Corite tanpa pake Jade Talk.
“Panggil dia Ren-Ren.” Celetuk Ayah.
“Jangan! Cukup sekali. Ga perlu dua kali.”
“Kenapa? Bukannya menggemaskan?” Ayah kembali meledeknya.
“Itulah alasannya.”
Gw cengo pas dengar nama Bellatean itu. “Paman Ren!?“
Soalnya, seingat gw Paman tuh rambutnya pirang, bukan abu-abu. Ditambah bukan cuma tentang Ibu, tapi juga fakta lain tentang kebenaran bahwa Paman juga seorang Grymnystre sangat mengejutkan. Selama ini gw beneran dibohongi mentah-mentah tanpa alasan jelas.
“Panggil aku Qahazari.” Ibu mengucap nama barunya dengan bangga.
“Nama yang cantik untuk Corite yang mempesona.” Goda Paman Ren, seraya berjabat tangan.
“Aww, bisa aja deh kamu~”
“Co-Conquest Khortenio Kartea.” Khortenio muda keliatan agak tegang pas mengenalkan diri, “Maaf, A-apa anda Maximus Ren yang itu? Mantan Archon dengan julukan Dewa Perang Dalam Legenda?”
“Ahaha, ga perlu terlalu formal. Masa dimana nama itu berlaku, udah lama berlalu.” Paman Ren merendah. “Kini gw cuma orang pinggiran yang suka berkebun.”
“Ya, panggil dia Ren-Ren.”
“Jangan! Cukup sekali! REN!”
Setelah perkenalan singkat, mereka memutuskan buat lanjut obrolan di dalam rumah. Paman Ren tampak ga asing dengan kehadiran Ibu yang notabenenya Corite diantara mereka. Beda banget dengan reaksi Khortenio muda saat pertemuan rahasia.
“Paman Ren itu… mantan Archon!?” Sumpah, gw kira Paman cuma seorang petani biasa. Daerah ini ga sama dengan yang ada di ingatan gw waktu masih kecil. Kalo ga salah, dulu kami tinggal di daerah pedesaan. Bukan hutan belantara.
“Yupp, dia sempat menjabat satu periode, sebelum dinyatakan hilang pada suatu insiden. Semua yang ada di Federasi mengira, dia udah gugur dalam pertempuran. Eh, ternyata masih segar bugar di Bellator. Makanya saya kaget banget.” Jelas Maximus Khortenio.
Empat cangkir berisi teh manis udah tersaji diatas meja ruang tamu berbentuk persegi panjang. Bagian dalam rumah kayu ini masih terekspos dari luar akibat hancurnya pintu depan. 3 Bellato dan 1 Corite itu duduk di sofa kulit warna coklat yang ada. Ayah dan Ibu ambil posisi di hadapan Paman Ren yang melipat kedua tangan di depan dada, dan Khortenio muda.
“Jadi… begitu.” Gumam pria yang gemar memakai jubah. “Kamu udah resmi jadi istri Acti, di bawah hukum Bellato?” Dari tadi, dia sekedar dengar seksama penjelasan dari Ayah, Ibu, dan Khortenio muda. Ibu menganggukkan kepala beberapa kali sambil senyum lebar sebagai respon. “Huff, entah apa yang harus gw katakan tentang hal ini.”
“Kayanya Anda ga keliatan kaget.” Sela pria berambut magenta.
Paman Ren menyandarkan tubuhnya ke sofa, “Yah, bisa dibilang… ini bukan pengalaman pertama buat gw.”
Khortenio muda tersentak, “Maksudnya… anda juga?”
“Ah- bukan, bukan.” Dengan cepat, dia membantah maksud pertanyaan si Mental Smith. “Lebih tepatnya, salah satu sahabat gw. Melihat kalian, jadi rindu saat-saat itu.”
Ayah dan Khortenio muda, saling bertukar pandang sesaat. “Ada pasangan antar ras lain, sebelum mereka!? Siapa!?”
“Beneran, Maximus!? Siapa mereka?“
“Entahlah, Maximus Ren ga pernah menceritakan detilnya pada kami.“
Paman Ren memejamkan mata, sejenak menghela napas diantara keheningan malam yang makin larut. “Gw ga bisa jawab. Itu rahasia.” Salah satu ujung bibirnya tertarik, membentuk senyum berliku. “Tapi ga pernah menyangka, sepupu gw akan melakukan hal yang sama. Apalagi sampe nekat menyelundupkan Corite.”
“Saya ga punya pilihan lain, Ren-Ren.” Ayah angkat bicara.
“Tapi istri lu ga bisa selamanya menetap di Bellator. Cepat atau lambat, bangkai pasti bakal tercium juga.” Ucap Paman Ren tenang, tapi penuh keseriusan. “Seberapa keras pun kita menyembunyikan keberadaannya, suatu saat pasti bakal ketahuan.”
“Oh santailah, Pak Tani. Ini cuma sementara.” Ibu menyela pembicaraan. “Begitu anakku lahir, kami akan kembali ke Novus dan cari tempat tinggal baru.”
Paman Ren keliatan kurang yakin, masih menimbang-nimbang keputusan apa yang akan diambil. Dia menatap Ayah, untuk sekali lagi memastikan, kalo keputusannya ga salah. “Oke. Kalian boleh tinggal di sini-“
“YESS!” Ibu bersorak gembira, diikuti helaan lega Khortenio muda.
“… tapi gw cuma punya dua kamar.” Lanjut Paman Ren.
Ibu dan Ayah, langsung menatap Khortenio muda, pake tatapan bujuk rayu. Dan kaya yang udah-udah, pria berambut magenta ga kuasa menolak. “Huuffff, iya, iya! Gw bisa tidur di pesawat. Atau di ruang tamu! Puas!?”
Kadang suka kasian juga pada Khortenio muda. Suka jadi imbas kelakuan semena-mena orang tua gw.
Dengan berakhirnya diskusi, maka dimulailah hari-hari baru Paman Ren, dapat tambahan 3 pengungsi Novus di rumahnya.
.
.
Paman Ren adalah orang yang lumayan kalem dan serius. Biarpun level kalemnya belum sampe kaya Ayah. Dia masih menunjukkan emosi di berbagai situasi. Punya hobi berkebun, dan punya kebun sendiri di halaman rumah. Beragam jenis sayuran, dan tanaman obat, dia tanam sendiri supaya ga perlu sering-sering pergi ke kota buat belanja.
Gw masih ingat pas diajari cara-cara menanam benih tomat waktu masih kecil. Tapi sayang, gw ga tertarik dan lebih milih ga memerhatikan.
Kehadiran Ayah cukup membantu dalam hal menggembur tanah. Tenaga dua orang Grymnystre jauh lebih baik dari pada satu. Dan bisa mencakup area yang luas juga. Selain dari sayur-mayur, asupan gizi mereka juga didapat dari daging. Dari mana dapat daging? Ya tentu berburu dong. Namanya juga tinggal di hutan.
Pintu kayu yang rusak akibat pertarungan singkat Ayah dan Paman, udah diperbaiki. Paman Ren ngotot Ayahlah yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. Ya udah, ngotot juga nyuruh benerinnya. Yang melempar siapa, yang disalahkan siapa.
Sesekali, Ibu ikut Paman berburu. Penasaran, katanya. Tapi bukannya bawa balik hasil buruan, malah Paman yang balik dalam keadaan gosong. Entah apa aja yang mereka lakukan di balik rimbun pepohonan.
Khortenio muda adalah tipe yang ga suka pekerjaan kasar di bawah terik matahari. Dia lebih suka mengurung diri dalam pesawat, bersama perangkat-perangkat canggih ketimbang menjalani hidup bak Bellato primitif. Tapi bukan berarti yang dilakukannya ga guna. Dengan perangkat seadanya, dia masih bisa memasang parimeter di sekeliling rumah, sejauh 5 kilometer.
Selain berkebun, Paman Ren juga pandai dalam urusan rumah tangga. Efek tinggal sendiri. Ibu belajar banyak kiat-kiat mengurus rumah dari dia. Mulai dari masak, mencuci, melipat pakaian, dan bersih-bersih. Memasuki usia kehamilan bulan keempat, tubuh Ibu mulai terlihat berubah. Perutnya membesar, diikuti juga membesarnya napsu makan. Porsi makannya jadi 2… err, bahkan 3 kali lipat. Membuat Ayah dan Paman maksa Khortenio muda untuk ambil bagian cari sumber pangan.
Ada satu kejadian lucu, saat Ibu belajar masak. Dia minta Khortenio muda mencicip hasil ‘eksperimennya’ saat makan siang.
“GW MOHON, JANGAN! TOLONG!” Teriak si Mental Smith, seraya berlari dari dapur ke pintu depan.
Ayah dengar keributan itu dari luar, dan bertanya pada kawannya. “Kamu kenapa, Kartea?”
“Dia mau bunuh gw! Tolong!” Dia menjawab. Tangannya yang gemetar menunjuk ke dalam rumah.
“Ah, ayolah. Aku ga mau membunuhnya, tapi memberinya makan!” Ibu sewot gegara Khortenio muda salah interpretasi. Di tangannya ada sendok dengan cairan hijau pekat yang meletup-letup.
“Woot!? Liat benda itu, cium baunya! Itu limbah eksperimen nuklir yang mematikan!” Khortenio muda tetap teguh pada pendirian. “Gw ga bakal sudi benda itu masuk mulut!”
“Tsk, dasar Bapak paranoid. Apanya yang mematikan? Hap.” Tanpa pikir panjang, Ibu memasukkan sendok ke mulut sendiri. Ayah dan Khortenio terdiam, Ibu terdiam… sebelum menjatuhkan sendok di tangan. “U-Uggh… aku butuh kamar mandi.” Lanjut perempuan berambut coklat kuning, dan langsung ngacir ke dalam sembari menutup mulut pake kedua tangan.
Ada-ada aja dah. Kalo kandungannya kenapa-napa, gimana? Nasib gw bisa dalam bahaya walau belum lahir ke dunia.
Bulan keenam, bayi dalam perut Ibu –gw- sedikit bergerak dan menendang. Pengalaman ini begitu berharga baginya. Keliatan banget dari ekspresi yang sangat bahagia. Biarpun dia tau, berbadan dua bukanlah hal yang gampang dijalani. Harus menjaga asupan nutrisi, harus membatasi diri dari kegiatan berbahaya, harus kurangi aktifitas yang bisa membuatnya kelelahan, harus ini, harus itu, dan harus-harus lainnya.
Musim dingin membuat semua lebih sulit. Stok makanan harus dihemat, air bersih didapat dari mencairkan salju atau es, dan hewan buruan agak sulit dicari. Untung hasil panen sebelum musim dingin dari kebun paman, terbilang melimpah. Jadi ga perlu khawatir kehabisan sayuran. Tapi Ibu membuktikan perkataannya, kalo mental bangsa Corite emang terlatih menghadapi keadaan ga nyaman. Dia bisa menyesuaikan diri.
Ibu mengembangkan hobi baru, yakni merajut. Awalnya dia kesal karena ga bisa-bisa masukkan benang ke jarum sulam. Ujung-ujungnya malah memusnahkan peralatan rajut yang dikasih Paman Ren. Eh, dia minta lagi yang baru. Terus lama-lama asik sendiri. Sulit-sulit asik, katanya. Dia merajut 4 syal biru, masing-masing untuk Ayah, Paman, Khortenio muda, dan dirinya. Biarpun hasilnya belum bisa dibilang bagus, tapi mereka menghargai usaha Ibu.
Khortenio muda dan Paman Ren jadi sering pergi ke kota menggunakan kendaran ekspedisi darat yang dimiliki Paman. Belanja keperluan Ibu dan bayi yang begitu banyak, sekalian mampir ke toko-toko buku, dan perpustakaan. Sangking seringnya, orang mengira mereka pasangan… ehem… udahlah. Ga perlu dijelaskan.
.
.
Bulan kedelapan, Khortenio muda makin sering mengurung diri dalam pesawat. Begadang dari pagi ketemu pagi. Mereka liat muka Khortenio, pas jam makan doang. Selebihnya, nihil. Ayah tampak cemas, biarpun ga keliatan dari mukanya yang datar.
“Kartea.” Pada suatu malam, dengan segelas kopi, dia mendekati kawannya yang sibuk membaca jurnal elektronik. Di beberapa sudut kokpit, berserakan buku, dan lembar-lembar kertas. “Kamu lagi apa?”
“Ah, makasih.” Disodorkan kopi, tentu ga bakal nolak. “Belajar.” Jawabnya singkat.
“Belajar apa?”
“Belajar semua hal yang bisa gw temukan tentang ilmu kedokteran, anatomi Corite, dan kalo beruntung, tentang ras campuran. Gen, dan kawan-kawannya.” Kata Khortenio sekenanya.
“Buat apa?”
Seketika, si Mental Smith mematikan perangkat. Jengah mungkin, diserang rentetan pertanyaan, “Dengar Act, Istri lu bakal melahirkan sebulan lagi. Gw yakin lu dan sepupu lu, ga pernah tau gimana cara menghadapi proses persalinan. Bahkan gw pun bukan ahlinya, karena istri lu bukan mesin. Jadi, setidaknya gw harus tau beberapa hal.”
“… Terima kasih, Kartea. Atas semua yang sudah kamu lakukan,” tanpa keraguan, Ayah agak membungkuk. Menunjukkan rasa terima kasih paling dalam, “saya berhutang nyawa padamu.”
“Wa-? Ahh- Uhm…” Khortenio muda salah tingkah, langsung menyalakan perangkatnya kembali. Agak tercengang gegara perkataan yang baru aja dia dengar, “… lu ga perlu bilang begitu,” berusaha ga memedulikan Ayah yang duduk di kursi ko-pilot, sekadar habiskan malam terakhir musim dingin, memandang kilau milyaran gugus bintang bersama satu-satunya teman yang dia punya.
.
.
“Heyy, Khortenio. Bisa kita bicara?” Tanya seorang pria yang selalu memakai jubah putih.
“Boleh.” Yang ditanya, langsung mengalihkan pandangan dari lembaran kertas di tangan.
Paman Ren duduk di kursi ko-pilot, dan meraih sebuah buku yang tergeletak di bawahnya. “Gimana Novus memperlakukan Acti?”
“Ga terlalu baik.” Khortenio muda ambil waktu untuk mengatakan yang sejujurnya. “Banyak yang mencibirnya sebagai pengkhianat, atau terkutuk, atau darah haram, atau semacamnya.”
“… Begitu.” Paman Ren menimbang-nimbang buku tersebut di tangannya, “Yah, mungkin itu salah gw juga.”
“Maksud anda?”
Pandangan Paman Ren, beralih ke Mental Smith. Sambil memaksa senyum, dia berujar, “Anggap aja gw melakukan kesalahan fatal di masa lalu.” Di balik senyum itu, tersembunyi kepahitan. “Berdiri bela hal yang lu anggap benar, belum tentu bisa diterima oleh suara mayoritas. Gw tau itu terlalu egois, karena ga pikirkan akibat jangka panjang. Tapi gw ga menyesal.”
“… Saya ga paham kata-kata anda.”
“Lu bakal paham secepatnya. Toh lu juga melakukan hal yang sama.” Kali ini Paman Ren pamerkan deret gigi putihnya.
“…” Khortenio muda mengangkat sebelah alis. Kayanya butuh algoritma pemecah kode, untuk menyerap makna sebenarnya di balik kalimat Paman Ren. “Boleh saya tanya sesuatu, Maximus Ren?”
“Silahkan. Dan ga perlu pake Maximus, gw kan udah pensiun.”
“Hahaha, oke. Ren. Kenapa para Grymnystre kerap dapat perlakuan ga mengenakan?” Khortenio muda menatap serius pas nanya. “Actassi orang yang baik, anda orang yang baik. Ga sepatutnya mereka melakukan hal itu.”
“Siapa yang tau? Keluarga kami punya sejarah panjang. Terlalu panjang untuk jadi bahan obrolan sederhana.” Ujar Paman Ren. “… kebanyakan orang akan merasa takut terhadap sesuatu yang ga mereka mengerti. Mereka ga mengerti kami. Karena itulah, mereka takut.” Raut wajah Paman Ren, berubah suram. “Ada ‘mereka’ yang membenci, ada mereka yang cinta. ‘Mereka’ yang membenci, memburu kami satu persatu. ‘Mereka’ mengincar sesuatu yang cuma dimiliki keluarga kami, untuk tujuan yang belum terbongkar.” Dia mengepalkan tangan kanan kuat-kuat.
Akhh, ini… kalo ga salah pernah diceritakan juga ama Kakek Aet di Ether!
“Me-memburu Grymnystre?!” Pria berambut magenta tersentak, “Saya ga yakin, ada yang berani melakukan hal semacam itu! Maksud saya, anda dan Actassi punya kekuatan mengerikan! Siapapun pasti bakal mikir ratusan kali!”
“… Ga semua Grymnystre terlahir dengan kekuatan kaya gw dan Acti.” Sanggah Paman Ren. “Kemampuan unik kami cuma manipulasi adrenalin. Tapi bentuk dari manipulasi adrenalin itu sendiri bervariasi.”
“T-Tapi… tetap aja-“
Pria bermata hijau tersebut bangkit dari kursi ko-pilot. Matanya memandang ke bawah, dia berkata, “Kami bukan mesin perang, Khortenio. Mau sekuat apapun, pada akhirnya, kami hanya Bellatean dengan satu jantung.”
Khortenio merenungkan kalimat tersebut, dan merasa bersalah. Karena untuk sesaat tadi, dia menganggap Grymnystre emang terlahir cuma buat terlibat pertarungan.
“Ren! Pertanyaan terakhir!” Serunya, sebelum Paman Ren keluar dari pesawat. Pria berjubah di depannya berhenti, dan balik badan. “Apa semua Grymnystre selalu berambut kelabu?”
“Ahaha!” Yang ditanya, malah ketawa renyah. “Ga selalu. Tapi kebanyakan dari kami begitu.”
.
.
-1 Mei 3614-
“HUAAA! SAKIT! SAKIT!” Ibu teriak keras banget! Sambil setengah berbaring di tempat tidur, dan meremas tangan Ayah sekuat tenaga.
“Atur napas lu, atur napas, Ouef- Qahazari!” Seru Khortenio muda. “Ren! Air hangat! Satu ember, dan handuk!”
Suasana mendadak jadi tegang, pas tengah hari bolong, Ibu merasakan ada yang aneh di perutnya. Kontraksi pertama! Seisi rumah panik bukan kepalang. Untungnya, berbekal pelajaran dan informasi yang diserap beberapa bulan ke belakang, kini Khortenio muda beralih profesi lagi jadi bidan.
“Napas, napas, dorong!”
“HNGGGGGGGG! GAAAK! GA BISA, ILMUWAN! AAAAKHH!”
“Bertahanlah, Q. Kamu pasti bisa. Saya ada di sini.” Ayah coba menenangkan.
Tapi percuma, air mata udah membasahi mata merah rubi. Pasti Ibu lagi merasakan sakit bukan main, sampe membuatnya nangis histeris. Keringat membanjir di seluruh bagian tubuhnya, bikin lepek kaos yang ia kenakan.
Dia menggeleng, “Aku ga bisa. A-aku ga kuat, aku… aku… ga sanggup…”
“Kamu istri saya, kamu wanita yang kuat. Saya percaya padamu.” Bisik Ayah, diiringi kecupan lembut di dahi bersimbah peluh.
Ga tega liat Ibu mengerang begitu. Bisa jadi, inilah perjuangan paling berat yang pernah dia rasakan. Menerobos territorial Federasi, dan melawan rentetan tembakan yang mengarah padanya, ga bikin dia keluarkan keringat walau cuma seujung jari. Dada gw mulai terasa terhimpit sesuatu.
Ga sadar gw menggumam, “Ayo, Bu. Ibu bisa.“
“Lu harus fokus, Qahazari. Konsentrasi, singkirkan segala macam stress, jangan mikir yang macam-macam. Cukup dengarkan instruksi dari gw, oke? Kita akan coba sekali lagi.” Perkataan Khortenio muda, dibalas anggukan lemah. “Napas, napas, napas, napas, dorong!”
“AAAAAARRRRRGG!”
“Bagus, bagus! Gw udah pegang kepalanya! Teruskan! Dorong lebih keras!”
“UUAAAAAAAA!”
“Astaga, ini lebih susah dari perkiraan. Kayanya gw bakal- Uhhkk… Pingsan…” Kata Khortenio muda, begitu liat tubuh bayi berlumuran darah, dan plasenta. Kasur yang ditempati Ibu juga udah dibasahi cairan ketuban.
“Kartea, jangan pingsan dulu.”
“Qahazari, satu dorongan terakhir. Ayo, satu dorongan terakhir. Bernapaslah!” Ibu yang udah lemas, ga kuasa mengikuti instruksi Khortenio muda. Genggaman di tangan Ayah aja, udah ga bertenaga sama sekali. Kelopak matanya hampir menutup. “Qahazari, dengar gw! Pertahankan kesadaran! Demi anak pertama lu! Dorong!”
“Ini handu- ah, sial…” Paman Ren langsung pingsan begitu masuk kamar, liat tubuh bayi setengah keluar. Cupu banget njir. Ini nih, mantan Dewa Perang!?
“ACTASSI! HANDUK!” Bentak Khortenio muda.
“HAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRKKKKH!” Entah Force dari mana yang bikin tenaga Ibu balik lagi untuk sesaat. Yang jelas, itu udah lebih dari cukup untuk membawa gw ke dunia.
Khortenio muda sigap menahan tubuh pemilik kehidupan baru, dan membelitkan handuk ke sosok mungil tersebut. Memotong ari-arinya, dan membersihkan bercak darah yang tersisa. Aduh, kok gw jadi ngilu sendiri ya? Tapi yang penting, semua lancar. Ibu tergolek lemah, kehilangan segala daya, dan merebahkan tubuh ke kasur. Langsung memejamkan mata. Dadanya naik turun teramat cepat. Napasnya masih ga teratur.
Ayah mengusap lembut kepala Ibu, mencium keningnya, dan berujar, “Kamu berhasil, Q. Saya cinta kamu.”
“Mana… anak… kita?” Perlahan, Ibu berusaha buka mata. “Aku… aku mau…” Tenaga belum sepenuhnya pulih.
Gw memerhatikan bayi yang lagi dibasuh air hangat dengan ekstra hati-hati, oleh Khortenio muda. Senyum di muka gw, berganti jadi keheranan pas liat rambut bayi itu berwarna cokelat muda, dengan beberapa helai kekuningan. Perasaan, rambut gw ga gitu deh. “Siapa bayi ini, Maximus?“
“Siapa lagi kalo bukan kamu.“
“Tapi… rambutnya…”
Gw menatap penuh tanda tanya pada proyeksi kesadaran Maximus Khortenio. Pria paruh baya itu, cuma merespon dengan satu senyuman.
“Ada yang ga beres…” Khortenio muda berkata, menghadap Ayah dan Ibu, sambil menggendong bayi itu. “Dia ga menangis.” Raut mukanya keliatan tegang.
“Apa?“
“Apa itu buruk, Kartea?” Ayah bertanya.
“Umumnya, ya! Saat bayi lahir, bisa dipastikan mereka dalam keadaan menangis! Kalo diam aja kaya gini, berarti ada yang salah!” Seru si Mental Smith.
“Ada alasan kenapa darah campuran sepertimu sangat jarang, biarpun perkawinan antar ras bukan hal baru. Karena sistem kekebalan tubuh Bellato, mengidentifikasi gen Corite sebagai ancaman.” Mata gw melebar selebar-lebarnya, terhenyak. “Berdasarkan data dari berbagai jurnal yang saya pelajari, keturunan berdarah campuran punya kesempatan yang sangat kecil untuk bertahan hidup. Bahkan banyak banget kasus yang menyebut ‘janin gugur dalam kandungan’. Kalopun ada yang selamat, bayi keturunan campuran cuma bisa bertahan paling lama 3 bulan. Dan kondisimu saat lahir, sangat sangat lemah.“
Wajah Ibu keliatan sedih banget, dan ga bisa terima kenyataan. Air mata kembali meninggalkan jejak di pipinya. Ayah mengelus punggung Ibu berkali-kali, ga berkata apa-apa.
“Boleh aku gendong dia, Khortenio?” Diantara isak tangis, Ibu mengulurkan tangan. Khortenio ga tega liatnya, jadi dia ga punya pilihan lain.
“Dia laki-laki.” Ujarnya, seraya menyerahkan pada Ibu.
“Laki-laki tampan. Seperti Ayahnya…” Ucapan Ibu terdengar begitu lirih. Dalam dekapnya, dia membelai rambut gw penuh kasih sayang tanpa batas, “Actassi, apa kamu mau mengorbankan apapun, demi anak kita?”
“… Kamu ga perlu bertanya soal itu.”
“Syukurlah…” Ibu meraih tangan kanan Ayah, dan mengarahkannya ke kepala gw versi bayi, menggenggamnya pada waktu bersamaan. Dia memejamkan mata, mengatur napas, serta berkonsentrasi. Secercah pendar lavender, mulai keluar sedikit demi sedikit dari tubuh Ibu. Aura yang terasa halus banget. Bertolak belakang dengan aura ungu pekat waktu itu.
“Kamu akan liat keajaiban.”
Pendar cahaya lavender tersebut, berputar pelan memenuhi ruangan, sebelum merasuk ke tubuh gw. Perlahan, rambut coklat kuning gw rontok semua. Ga meninggalkan sisa. Terlihat ada sedikit pergerakan dari tubuh mungil dalam dekapan Ibu. Beberapa menit kemudian, terdengarlah tangisan bayi yang melantun di telinga. Menghangatkan hati mereka yang dengar. Seiring tangisan bayi, Ayah mendadak kehilangan keseimbangan, dan jatuh lemas. Napasnya memburu, dan tiba-tiba berkeringat.
“Ibumu punya aura bio-kinetis. Dia bisa menata ulang gen di dalam tubuhmu.“
“Ibu bisa melakukan itu?!” Wew, keren juga kemampuannya.
“Awalnya, saya ga percaya hal semacam itu, tapi hal itu terjadi di depan mata.” Jelas Maximus Khortenio, “Q menekan gen Corite dalam tubuhmu. Rambut coklat kuningmu rontok keseluruhan, dan nantinya akan tumbuh rambut kelabu kayak Ayahmu. Selain itu, dia juga memindahkan sebagian kecil pengetahuannya sendiri dan lebih dari setengah kekuatan Actassi.“
Ja-jadi gw punya lebih dari setengah kekuatan Ayah!? “Tunggu, Maximus! Kalo apa yang anda bilang itu benar, kenapa saya ga sekuat Ayah? Lebih dari setengah itu berarti hampir sebagian besar!“
“Kan udah saya bilang, kondisi tubuhmu sangat sangat lemah sewaktu dilahirkan. Jauh banget dari kata sehat. Bayangkan, tubuhmu yang sekarang udah menerima kekuatan dari Ayahmu, masih terbilang ga begitu kuat, kan?“
Tangan gw mengepal dengar fakta yang dipaparkan Maximus Khortenio, deret gigi saling beradu, “Itu berarti… saya emang dasarnya lemah.”
“Jangan bilang begitu!” Bentaknya. “Ibumu ga akan senang mendengarnya.” Tatap mata Maximus Khortenio mengarah pada Ibu yang masih mendekap gw versi bayi erat-erat. “Makin hebat suatu kemampuan, makin besar juga harga yang harus dibayar…” Mata gw terbelalak, liat tangan kanan Ibu lunglai ke samping. Sepasang mata merah rubi, kehilangan sinar kehidupan yang sempat menari di sana beberapa saat lalu. Kelopak matanya turun, tapi ga menutup sepenuhnya. “… Kamu bertahan sampai sejauh ini. Itu udah cukup jadi bukti kalo kamu ga lemah.“
Gw mendekat ke kasur, kedua mata ini berair, perasaan sedih langsung meletup dari dada. Ingin coba sentuh wajahnya, dia ga bergerak, ga bersuara, ga bernapas. Cuma ada suara tangis bayi yang masih di dekapannya. Tangan gw bergerak menyentuh kening, lalu turun ke pipi. Ga bisa, tembus. Ga bisa menyentuhnya sama sekali, “Ibu…“
Desiran air mata gw biarkan mengalir bebas. Membentuk sungai di kedua pipi. Ga ada niat buat ditahan-tahan. Gw mulai sedikit terisak.
Khortenio muda menghampiri, dan mengambil bayi yang belum berhenti menangis dari lengan Ibu. “Act, Q udah…”
Ayah kembali berdiri, memandang wajah Ibu penuh kehangatan. Masih tanpa ekspresi, tapi yang jadi pembeda, tetes air mata jatuh dari iris kelabu. “Q…” Dia menggunakan telapak tangan kanan, untuk menutup mata Ibu sepenuhnya. Mengelus pipinya dengan sentuhan cinta, memberi satu ciuman terakhir di kening, sebagai tanda perpisahan.
Gw coba menahan isakkan yang makin menjadi. Ingatan yang terpampang di depan mata, begitu pahit, sekaligus begitu manis. Memilukan, tapi di saat yang sama, indah. Sampe udah ga tau harus bilang apa buat menggambarkannya. Sejenak gw pejamkan mata, terasa asin di mulut, pas air mata gw masuk melalui celah bibir.
Usia pernikahan Ibu dan Ayah, masih terlalu muda untuk dipisahkan. Masih banyak waktu yang harusnya bisa mereka gunakan berdua, tapi takdir punya jalan sendiri.
“Heyy,” Pas kepala gw tertunduk, tenggelam diantara duka yang ikut terasa, Maximus Khortenio menegur. “Kamu bakal melewatkan bagian favorit saya.“
Gw angkat muka, buat liat Khortenio muda menyerahkan tubuh mungil dalam gendongan pada Ayah. Moment pertama Ayah gendong gw, sangat hati-hati. Tangan kanan menopang leher, sedangkan tangan kiri menopang tubuh. Dia menatap penuh kasih sayang ke bola mata kecil yang berusaha keras membuka, dan… dan… tersenyum.
Ayah tersenyum begitu tulus. Si Mental Smith muda berambut magenta ga menyangka bakal liat senyum kawan Shield Miller untuk pertama kali, selama dia mengenalnya.
“Kamu adalah cinta sejati dalam hidup saya. Semua yang saya punya, diri saya apa adanya, adalah milikmu. Selamanya,” katanya, diiringi kecupan paling lembut di dahi gw versi bayi.
Deng! Sensasi merinding dalam artian positif, terasa menjalar dari belakang leher, sampe ke ujung kaki.
“Itu senyum paling indah yang pernah saya liat di wajahnya.“
“Itu… kata-kata paling indah yang pernah diucapkan seseorang buat saya.” Gw menimpali perkataan Maximus Khortenio, seraya berjalan mendekat ke Ayah. Tatapan lurus tertuju pada iris kelabu. Pengen banget rasanya peluk Ayah kuat-kuat. Gw melingkarkan kedua lengan di sekitar tubuh lelaki berambut kelabu belah tengah, dan menariknya dalam pelukan. Tapi, siapa yang coba gw bohongi? 100.000 kali dicoba pun, hasilnya bakal sama.
Ga adil, ga adil. Sosok Ibu dan Ayah yang selama ini gw rindukan, ada di depan mata, tapi terlalu jauh untuk diraih. Isak tangis yang tadi sempat reda, mulai datang lagi. Kali ini ga kuasa tertahan. Maximus Khortenio menepuk bahu gw beberapa kali, “Tiap orang tua di dunia ini, adalah pahlawan sejati bagi anak-anaknya.“
Sebuah kenangan tentang perjalanan hidup ini,
Diisi hari-hari indah saat kalian yang menjalani.
Senyum yang berarti sayang, anda pamerkan tiap hari.
Diam yang berarti pertanyaan, ajarkan saya hidup setengah mati.
Anda beri saya asa untuk dikejar.
Jadikan mimpi indah saat saya melihat anda hebat.
Anda sosok idaman yang membayangi saya.
Kerutan di wajah anda, goresan sejarah perjuangan kerasnya.
Perjuangan terakhir anda, adalah awal dari milik saya.
Saya ingin melihat anda bahagia di sana, di Nirwana.
Ingin anda tersenyum melihat saya di sini, di dunia.
Dan tiap saat, doa-doa terkirim untuk anda.
Darah yang mengalir di seluruh nadi ini adalah milik kita.
Tiap tetesnya bagai doa untuk anda.
Alirannya deras, lambangkan semangat untuk hidup.
Terima kasih untuk kisah menakjubkan ini.
Selanjutnya, akan terukir kisah baru yang abadi.
Cerita tentang kami.
“You are the love of my life. Everything I have, everything I am, is yours. Forever.” – Actassi (Ch. 42)
CHAPTER 42 END.
Next Chapter > Read Chapter 43:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-43/
Previous Chapter > Read Chapter 41:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-41/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list

