Lake
Penulis: Mie Rebus
…Hutan Crawler, Sektor Solus…
“Udah kubilang, ini ga akan berhasil.” Ujar sesosok Grazier lelaki.
“Pasti bisa kok. Aku percaya.” Balas kawannya, Corite wanita berambut ungu. Dia menembakkan mantra Force Air pada Kadet-Kadet Federasi yang sedang berlatih di daerah ini.
“Harusnya aku ga menyetujui ‘rencanamu’. Bahkan, ini sama sekali ga bisa disebut rencana.” Gerutu si lelaki.
“Gann, kalo kamu punya rencana yang lebih bagus, aku akan dengarkan dengan senang hati.”
Apa yang sedang mereka lakukan? Menyusup tentunya, serta mengacak-acak Sektor Solus dengan harapan Federasi mengirim beberapa Prajurit untuk atasi masalah ini, dan berharap salah satu diantara mereka ada seorang Sentinel berambut kelabu supaya mereka bisa bertemu.
Semua ini adalah hasil pemikiran polos Faranell karena dia ga bisa menemukan cara untuk hubungi Lake. Tentu, dia ga pernah bermaksud melukai siapapun selama operasi berlangsung. Mantra air yang dia gunakan, cuma buat menakuti para Kadet muda Federasi. Tapi tetap aja, ini aneh.
“Aku ga bilang ‘punya rencana lebih bagus’. Tapi rusuh di territorial Bellato, dan berharap yang terbaik!? Serius!?” Seru Gannza, “Liat tuh, mereka tetap ga menugaskan si uban kemari.” Lanjutnya, seraya liat satu tim pasukan Federasi beranggotakan 4 Prajurit senior, tiba di lokasi.
Ekspresi Faranell berubah sedikit kecewa. Dari balik rimbun semak pepohonan, Faranell menarik lengan Gann, kemudian berlari dari tempat kejadian perkara, “Besok! Kita lakukan lagi besok! Mu-mungkin kita harus pindah lokasi, siapa tau area ini bukan tanggung jawabnya, mungkin kita harus culik salah satu Kadet, buat kesepakatan, atau… atau- AWW!” Grazier wanita meracau sendiri, sampe tiba-tiba berhenti dan memegang sisi kepalanya.
Mengingat satu lagi alasan untuk bertemu dengan si cebol bermata ungu.
Sakit kepala yang suka mendadak menyerang Faranell makin sering terjadi. Si Grazier berambut ungu makin sering liat simbol-simbol yang ga bisa dimengerti. Faranell udah menulis simbol-simbol yang dilihatnya, dan mempelajari lebih lanjut semenjak pertama kali sakit kepala menyerang.
Dia berasumsi simbol-simbol itu adalah karakter dari sebuah bahasa yang belum dikenalnya. Tapi nihil, ga ada satupun buku di Perpustakaan Numerus yang menjelaskan, atau bahkan sekadar memiliki karakter seperti itu.
“Simbol-simbol itu lagi?” Gann mengelus punggung Faranell, nada khawatir terdapat di balik pertanyaan. Faranell juga udah cerita semua pada Gannza, tapi kebenaran tentang simbol-simbol itu masih belum bisa terpecahkan.
Satu-satunya yang dikhawatirkan Gannza adalah simbol tersebut muncul diiringi sakit kepala yang begitu mengganggu. Faranell bilang, rasanya teramat nyeri. Kepala serasa mau pecah seketika. Grazier lelaki ga ingin senyum manis Faranell berganti ekpresi kesakitan. Bahkan Innana ga kuasa jadi pereda rasa sakit itu.
Wanita berambut ungu mengangguk pelan, sepasang mata kuning tersebut menatap lesu pada kawannya sejenak, “Apa yang salah denganku, Gann?”
Merasakan kegelisahan, Gannza langsung memegang kedua bahu Faranell, coba menenangkan, “Ga ada yang salah denganmu. Kamu akan baik-baik aja. Kita akan ketemu dengan si Uban itu, aku janji.” Kemudian, gantian dia yang genggam pergelangan tangan Faranell, “Untuk sekarang, kita harus pergi dari sini. Kamu butuh istirahat untuk besok,” melanjutkan lari yang sempat terhenti, dan pulang ke Markas Aliansi Suci.
Ga disadari, sebuah lensa optik hijau milik Accretia berarmor hijau safari, tengah mengawasi gerak-gerik Faranell dan Gannza. Merekam aktifitas yang mereka lakukan di area Hutan Crawler beberapa hari belakangan.
.
.
…Reminiscence…
Setelah liat kenangan yang cukup menyesakkan, gw berusaha tenangkan diri. Maximus Khortenio ga berujar sepatah katapun, masih menunggu semburat emosi mereda kembali. Ada pertanyaan yang mengganjal di kepala. Paman Ren bilang, Ayah adalah seorang Prajurit Federasi yang tewas sebelum gw lahir.
Sedangkan, Maximus Gatan pernah cerita gimana Ayah tewas dalam misi penyelamatan Satuan Tugas Gabungan 15 tahun lalu, tepat pas gw berumur 7 tahun.
Banyak fakta yang disembunyikan dari gw. Fakta yang dibelokkan, entah karena apa. Kayanya, ini saat paling pas untuk meluruskan semua. Bingung harus mulai dari mana. Jadi, gw mulai aja dari pertanyaan sederhana, “Maximus, kenapa Ayah meninggalkan saya?“
Si Pria paruh baya pasti menyadari apa makna di balik pertanyaan itu. Wajahnya agak berubah murung, dan sedikit menunduk. Lama dia bungkam sebelum putuskan untuk ganti latar pemandangan, kembali ke awal. Pepohonan hijau.
“Maaf, Lake. Itu semua salah saya.” Maximus Khortenio menatap mata ungu gw dalam-dalam, seolah berusaha kumpulkan keyakinan buat bicara, “Dan bisa dibilang, saya juga yang membunuh Actassi.“
Gw cukup kaget dengar jawaban ga nyambung tersebut keluar dari mulut si Mental Smith, “A-apa? Apa… maksudnya?“
Pemandangan di sekeliling kami berubah lagi. Memperlihatkan gimana Ayah habiskan hari-harinya dengan menimang bayi, “Sepeninggal Q, Actassi merawatmu dengan baik selama setahun penuh. Sebenarnya hal itu cukup mengejutkan, mengingat dia seorang Shield Miller gagah yang punya kekuatan luar biasa, bisa jadi begitu lembut ketika kamu berada di tangannya. Udah gitu, ga ada yang nyangka juga, dia tau apa yang harus dilakukan. Saya liat perubahan dalam diri Actassi. Dia ga lagi kaya orang tanpa emosi. Cuma dengan melihatmu menggeliat aja, sesekali dia bakal tersenyum tipis.“
Suka-duka saat Ayah merawat anak semata wayangnya, kini terpampang jelas. Mulai dari kelegaan pas berhasil ganti popok, sampe penderitaan akibat gangguan tidur gegara gw yang suka nangis tengah malam. Kesulitan memberi asupan susu, hingga ke tahap gelisah pas gw jatuh sakit. Diantara mereka bertiga, cuma Ayah yang sama sekali ga pernah mengeluh dihadapkan dengan susahnya merawat bayi.
Sebaliknya, dia terlihat… begitu tulus. Dari matahari terbenam, sampai matahari terbit, dia rela lengannya dijadikan kasur supaya gw nyaman tidur.
“Saya sadar, kalo kita ga bisa terus selamanya berada di sini. Kita harus kembali ke Novus, kita masih punya kewajiban. Jadi, suatu senja saya bicara padanya, bilang bahwa Federasi membutuhkan kita di sana, dan kita udah cukup lama lari dari pertempuran. Tapi dia menolak. Actassi ga mau meninggalkanmu, atau membawamu serta ke Novus.“
“Liat dia, Kartea,” Ucap Ayah sambil terus menatap gw yang terbangun di dekapnya, mulai sedikit buka mata, “bahkan saat ga melakukan apapun, dia begitu menggemaskan. Saya ga mau meninggalkannya.”
“Kalo gitu bawa dia, Act. Tinggal di Novus. Gw akan bantu cari tempat tinggal buat kalian berdua.”
“Saya juga ga mau membawanya ke sana.” Ayah menegaskan.
“… Apa yang lu mau untuk anak lu?” Mendadak, Paman Ren menyela pembicaraan mereka. Kedua tangan Pria yang gemar pake jubah itu terlipat di depan dada, “biar gimanapun, dalam tubuhnya mengalir darah Grymnystre, Acti. Cepat atau lambat-“
“Untuk sekarang, saya ga mau dia jadi apa-apa. Untuk kedepannya, saya akan biarkan dia memilih jalan sendiri,” potong Ayah, bicara tanpa menatap Paman Ren, “bila suatu saat dia menginjak tanah Novus, maka biarlah itu terjadi. Tapi itu ga akan terjadi dalam waktu dekat.”
“Tolong, mengertilah,” Khortenio muda masih berusaha yakinkan Ayah, “lu sendiri yang bilang, perjalanan ini cuma sementara. Cuma sampe anak lu lahir, terus kita bakal balik.”
“… Itu saat saya masih punya Q. Sekarang, dia telah tiada, saya ga punya siapapun selain Si Kecil ini.” Agak lirih balasan dari mulut Ayah, “Saya ga punya alasan lagi untuk kembali ke Novus.”
“Lalu, keluarlah kalimat yang sampe sekarang masih saya sesali.”
Khortenio muda tampak gelisah, dan agak ragu untuk merespon perkataan Ayah. Seakan berpikir keras apakah benar-benar perlu mengatakan hal di pikirannya, atau enggak. Gelagat ga biasa itu ga luput dari pengamatan Paman Ren yang terus menatap kawan si adik sepupu sambil bersandar di sudut ruang tamu. Menunggu untaian kata seperti apa yang bakal tertangkap telinga tiap-tiap dari mereka.
“Lu bilang… lu hutang nyawa kan, pada gw?” Ayah menoleh pada Si Mental Smith yang buang muka ke sisi kanan sambil gigit bibir bawah keras-keras, enggan sama sekali bertatap mata dengannya.
“Andai saya bisa kembali ke masa itu, dan membatalkan semua perkataan yang telah terucap.“
Mata hijau dedaunan Paman Ren sedikit melebar. Ga percaya bahwa kata-kata itulah yang akan terlontar dari Khortenio Muda. Tapi dia sama sekali ga berniat mencegah, atau berkata apapun buat menyela. Justru pindahkan tatapan ke lantai dengan garis wajah lesu tergambar di sana.
Dia kenal Ayah terlalu baik. Dia tau jawaban apa yang akan dikatakan Ayah pada kawan satu-satunya.
“… Oke,” jawaban itu akhirnya keluar dari mulut pria berambut kelabu belah tengah, selepas beberapa saat, “saya mengerti. Ren-Ren, boleh saya titipkan Si Kecil padamu?”
“Tentu boleh. Lake udah kaya anak gw juga kali,” jawab Paman Ren enteng. Sang Mantan Archon berusaha ga tunjukkan getir di hati di balik sikap santai tersebut.
“Terima kasih,” balas Ayah datar, “Kartea, bisa kita berangkat besok malam? Saya ingin berangkat saat Si Kecil terlelap.”
Khortenio muda mengangguk diiringi ucapan, “Besok malam.” lalu beranjak masuk ke rumah, meninggalkan Ayah yang ga ada bosannya menimang gw di teras.
.
.
-Besok Malam-
Di bawah titik bintang menghias gelapnya langit Bellator, dua Bellatean pria bersiap untuk melakukan perjalan antariksa setelah hampir 2 tahun berada di Planet asal mereka. Khortenio lebih dulu masuk pesawat, untuk melakukan pengecekan terakhir, serta menyalakan mesin.
“Ren-Ren…” Panggil Ayah ketika berada di depan palka pesawat. Yang dipanggil menengok ke sebelah, “… jangan sampai dia tau, kalo Ibunya seorang Corite. Jangan sampai dia tau, kalo kamu saudara saya.”
“Hah?” Paman Ren balik bertanya, “lu mau gw bohong pada keponakan sendiri?”
“Ya,” A-Ayah? Tapi … kenapa? “Demi kebaikannya. Dia ga akan paham betapa rumit hal-hal yang terjadi di Novus. Dan juga, saya ga mau ‘Mereka’ tau keberadaan Si Kecil. Beri tau tentang Q, ketika dia paham situasi yang kita hadapi. Makin sedikit yang dia tau, makin bagus.”
“Baiklah. Kalo gitu, gw harus warnain rambut nih kayanya,” Paman Ren menyanggupi permintaan Ayah seraya mengusap rambut sendiri, “tapi gw ga bisa kasih tau dia tentang kebenaran dirinya,” lanjut Paman Ren, sambil pindah posisi ke hadapan Ayah, dan meletakkan telunjuk di dada adik sepupu, “lu harus kasih tau sendiri. Secara langsung. Supaya lu selalu punya alasan untuk kembali ke sini, dan bertemu putra lu satu-satunya.”
Ayah mengangguk pelan, “Terima kasih,” lalu langsung melangkah menuju palka pesawat yang terbuka, melewati Paman Ren begitu aja.
Sebelum pria berambut kelabu belah tengah benar-benar masuk pesawat, Si Bellatean berjubah putih bertanya, “Yakin lu, ga mau bilang sesuatu untuknya, atau melihatnya untuk terakhir kali?”
Ayah menggeleng pelan, “Saya akan merasa sulit untuk berpisah.”
Paman Ren tersenyum simpul dengar jawaban Ayah, “Setidaknya lu bisa kasih sesuatu, kan?”
Ayah terdiam sejenak sembari pegang syal biru yang melilit di lehernya, berkibar akibat tertiup hembusan angin di sekitar mesin pesawat yang mulai meraung. Hendak melepasnya tapi ga jadi, “Ga perlu. Saya dan Q udah memberikan sesuatu untuknya.”
Udah memberikan… sesuatu?
Paman Ren memandang punggung Ayah penuh kebingungan, tapi ga mempertanyakan maksud omongan yang baru aja didengar, “Hati-hati di jalan. Gw bakal selalu kasih kabar kalo suatu saat harus pindah dari sini.”
Untuk terakhir kalinya, Ayah menoleh ke belakang dan mengangguk pelan.
Begitu Ayah duduk di kokpit, dia langsung bertanya, “Kartea, boleh saya minta tolong sekali lagi padamu? Saya bersumpah, ini akan jadi yang terakhir kali.”
Merasa ga enak udah bawa-bawa masalah hutang nyawa, Khortenio muda tentu menyanggupi, “Tolong apa?”
“… Berjanjilah, apapun yang terjadi, selesaikan proyek itu.”
Khortenio muda tampak paham, biarpun Ayah ga beri detail terhadap Proyek apa yang dia maksud. Khortenio udah tau. Proyek yang selalu dipaksakan oleh Ayah, supaya cepat selesai, tapi ga selesai-selesai.
“Tentu, gw janji akan menyelesaikannya. Apapun yang terjadi.”
“2 tahun lamanya kami meninggalkan Novus. Dan ketika kami kembali, tentu ga langsung disambut dengan baik. Buruk, malah. Berbagai cercaan, dan makian, menghujani kami secara bertubi. Dicap pengecut, karena lari dari pertempuran. Untunglah Federasi lagi-lagi bersedia meringankan hukuman yang kami terima karena rentetan pencapaian di masa lalu.“
“Ya, begini-begini saya termasuk Mental Smith paten yang terlibat dalam banyak penelitian dan pengembangan teknologi terbaru, lho. Dan Actassi… bisa dibilang dia… dinding yang melindungi pasukan garis depan. Tapi, hukuman yang kami terima ga bisa dibilang enak juga. 18 bulan masa tahanan, ditambah penurunan pangkat 2 tingkat. Semua kerja keras untuk naik jadi Conquest, harus diulang dari awal. Tetap, itu ga bikin kami patah arang, dan terus melangkah. Namun … ada satu hal yang luput dari pengetahuan saya, satu hal fatal yang bisa membahayakan nyawa Actassi.“
Pemandangan berganti, kini perlihatkan Ayah berada di ruangan Khortenio muda, “Sini, gw periksa persenjataan lu.”
Udah lama banget sejak terakhir kali Ayah menggunakan pedang dan perisainya. Bahkan udah lama ga pernah dikeluarkan dari inventori. Jadi, jelas butuh uji kelayakan.
Ayah keluarkan perisainya seperti biasa, tapi kemudian, ada yang aneh. Begitu keluar dari inventori 4 dimensi, perisai itu langsung membentur permukaan lantai dengan keras. Khortenio muda tersentak, sedangkan Ayah terdiam, tangan kirinya masih terpatri di balik perisai.
“Pelan-pelan, woi! Lantainya bisa hancur!” Seru Mental Smith berambut magenta.
Ayah mendongak, sepasang mata kelabu bertemu dengan mata Khortenio muda, “Kartea, saya ga bisa … mengangkatnya.”
“Apa?” Khortenio muda bengong sebentar, lalu senyum meledek, “lu bercanda, kan?”
Dari balik perisainya, Ayah mencabut pedang yang biasa dia gunakan. Kaya tadi, pedang itu langsung jatuh ke lantai dengan keras, tapi masih dalam genggaman. Seolah tangan kanan Ayah sama sekali ga kuat menopang beratnya.
“Saya ga bisa angkat pedang.”
Fenomena ini membuat Khortenio bingung. Perisai dan pedang Ayah emang punya berat jauh diatas senjata Warrior normal. Jauh banget. Namun, selama ini Ayah ga pernah kesulitan buat pake persenjataan tersebut karena kekuatan murni yang dimilikinya. Lagian, itu Ayah sendiri yang memilih.
Bahkan Khortenio ga kuat sekadar mengangkat pedangnya walau udah pake dua tangan. Boro-boro mengayun. Tapi ini… liat Ayah berjuang keras untuk sekadar menyiagakan kuda-kuda, bukan pemandangan biasa.
Seketika, Khortenio muda menggeser sebuah meja kecil ke tengah ruangannya, “Act, ayo adu panco,” Ayah menuruti ajakan Kartea. Meletakkan pedang dan perisai, dan meraih tangan Khortenio muda yang udah siap duluan di atas meja. Tangan mereka saling menggenggam, “satu… dua… tiga!” Sesuai aba-aba, mereka mengerahkan seluruh tenaga!
Hasilnya bisa ditebak, Ayah lebih unggul… sedikit!? Sampe-sampe Khortenio sempat balas mendorong ke arah sebaliknya!? Adu panco yang harusnya bisa dimenangkan Ayah dengan gampang, jadi berimbang.
“Lu ga… bercanda,” gumam Khortenio muda, ga menyelesaikan pertandingan kecil yang berlangsung kurang dari dua menit tersebut.
“Saya ga bercanda,” balas Ayah tetap kalem, tapi dadanya agak naik-turun.
“Actassi kehilangan lebih dari setengah kekuatannya, setelah apa yang dilakukan Q. Dan saya ga pernah sadar. Ga ada seorang pun yang sadar, bahkan dia sendiri. Padahal, kekuatannya melemah drastis. Terbayang ga? Sampe saya nyaris mengimbangi. Kalo aja dalam keadaan normal, lengan saya udah lepas duluan di detik pertama adu panco dimulai.“
“Oke, oke, baiklah. Kita harus tenang menyikapinya. Jangan panik, jangan panik… hufff.”
“Kamulah satu-satunya yang panik di sini, Kartea,” celetuk Ayah. Sempat-sempatnya ya, dalam keadaan kaya begini.
“Diam!” Seru Khortenio muda, “gw lagi mikir nih,” lanjutnya, “oke, santai. Gw akan tempa senjata baru buat lu, yang lebih ringan. Supaya lu tetap bisa bertarung di garis depan.”
“Saya ga keberatan, walau kamu ga membuatkan saya senjata. Asal proyek itu kamu selesaikan.”
“Gak! Kesampingkan proyek itu, hal ini ga mungkin bisa dibiarkan! Lu bakal jadi sasaran empuk! Ga cuma Aliansi Suci, atau Kekaisaran, tapi juga Bangsa kita!” Begitu rupanya. Selama ini meski kerap mengalami kejadian ga enak, tapi orang-orang di sekeliling Ayah masih segan terhadapnya. Segan terhadap kekuatan yang dimiliki Ayah, bisa juga takut… mungkin.
Bila mereka tau Ayah ga lagi kaya dulu… gw ga mau bayangkan apa yang bakal terjadi.
“Saya benar-benar ga tenang, dan mulai mikir yang macam-macam. Apa keputusan memaksa Actassi kembali ke Novus tepat? Apa ini ga berbahaya baginya? Apa saya masih bisa disebut punya hati? Memisahkan Ayah dan anak begitu aja, tanpa pertimbangkan segala kemungkinan. Saya takut. Takut udah melakukan suatu hal buruk yang ga bisa dibatalkan lagi.“
Rentetan frame memori dari Maximus Khortenio berkelebat dan memperlihatkan kehidupan mereka di Novus pasca menjalani hukuman 8 bulan masa penahanan.
“Selain dari kekuatannya yang melemah, ga ada yang berubah dari diri Actassi. Dia masih sama kaya selama ini saya mengenal Shield Miller itu. Masih ga kenal takut, dan memegang teguh idealisme yang dia punya. Pengambilan keputusannya pun ga bisa dipandang sebelah mata. Tapi suka atau enggak, dia harus mengubah gaya bertarung. Karena dia bukan lagi dinding yang dulu…“
Pada suatu pertarungan dengan sesosok Punisher Accretia yang melakukan rangkaian pembantaian skuad latihan di Sektor Sette, Ayah terpental beberapa meter ke belakang, bahkan sampe terguling setelah menerima serangan-serangan brutal pada perisainya.
“Dia bukan lagi dinding yang ga bisa ditembus … dan perisai buatan saya, ga sekuat perisai miliknya. Sekarang, bukan cuma Maximus Ren yang bisa bikin dia terjungkal.“
Tapi Ayah belum menyerah sepenuhnya! Dia kembali bangkit, buang perisai yang udah hancur setengah, memperkuat genggaman pada pedang dan menerjang Punisher itu lagi. Pertarungan itu berlangsung keras, sedangkan para Kamerad yang lain masih ragu untuk membantu.
“Seperti kata Maximus Ren, sekeras apapun kami berusaha menyembunyikan bangkai, suatu saat pasti tercium juga. Sekeras apapun kami berusaha menyembunyikan fakta Actassi udah ga sekuat dulu, Kamerad yang lain pasti akan tau. Dan akhirnya, mereka tau. Mereka menyadari perubahan yang dialami Actassi dengan melihat pertarungan itu, dan mulai bertanya-tanya.“
“Act!” Teriak Khortenio muda, “Heyy, kenapa kalian cuma nonton!? Kita harus bantu!”
Setelah agak lama nonton Ayah lawan Punisher itu sendirian, kamerad lain mulai tergerak untuk bantu. Didorong oleh teriakan Khortenio muda. Mereka habiskan banyak waktu dan tenaga, cuma untuk habisi satu Punisher Accretia, dengan Ayah tetap berada di garis terdepan.
Mungkin itulah kali pertama, Khortenio muda… dan Prajurit-Prajurit lain liat Ayah terluka. Darah mengalir dari kepala, memerahkan beberapa bagian rambut kelabunya. Tangan kiri yang tadi pegang perisai, mengalami patah akibat tahan hantaman kapak Si Punisher. Biarpun sempoyongan, tapi Ayah masih berdiri.
Khortenio bertanya dengan nada tinggi, “Apa lu udah hilang akal sehat!? Kenapa lu tetap melawan!? Lu bisa mati!”
“Itulah tugas Shield Miller, Kartea…” Jawab Ayah lirih ditambah napas tersengal, “… kalo bukan saya yang di garis depan, siapa lagi?”
“Goblok! Lu dan idealisme lu itu!” Cela Khortenio, “Ada perbedaan antara beranikan diri dan bunuh diri! Yang lu lakukan tadi-“
“Selesaikan proyek itu.”
“Diam!”
Actassi, apa kamu mau mengorbankan apapun, demi anak kita?
“Ayah,” demi gw… demi gw. Demi napas anak satu-satunya… dia ga cuma rela kehilangan satu-satunya wanita yang dicintai, tapi juga kekuatan yang pernah dimiliki. Rela rasakan sakit, dan ga takut menanggung luka, fisik maupun batin. Ga mengeluh, ga mengutuk, ga ada penyesalan. Menerima lapang dada, apapun yang dibawa hari esok. Semua itu dipendamnya, dalam diam.
“Kami tetap mengabdikan diri untuk Federasi. Ga terasa, 7 tahun berlalu setelah kepulangan kami ke Novus. Dengan usaha ekstra keras, dan pengakuan dari petinggi Federasi, kami berhasil kembali jadi Conquest. Lebih baik dari itu, dianggap telah menebus kelalaian di masa lalu, kami dipromosikan jadi Maximus. Saat itu saya naik jabatan jadi Wakil Komandan Divisi Sains dan Teknologi, sedangkan Actassi, sebagai pemimpin Skuad 12 dari Resimen 1, Satuan Tugas Gabungan.“
“Catatan misi terakhir Maximus Actassi Grymnystre… adalah Penyelamatan Skuad Patroli Federasi di Tambang Tengah 15 tahun lalu. Dia tewas… saat jalankan misi tersebut,” Maximus Khortenio keliatan berat hati menjelaskan, “sebulan sebelum itu, Actassi sempat minta izin pada jajaran dewan untuk pulang ke Bellator, dengan tujuan bertemu kerabatnya. Bertemu kamu. Tapi tentu, dia ga pernah bilang siapa kerabat yang dimaksud. Dan kali ini, saya ga ikut.“
“A-apa? T-tapi… saya ga pernah bertemu Ayah sama sekali, Maximus! Saya aja baru tau mukanya hari ini!” Gw dibuat bingung dengar cerita pria paruh baya berambut magenta.
Dia menatap gw, dan bertanya dengan nada rendah, “Kamu yakin?“
“Sa-saya…” coba menyusuri lagi tiap ingatan yang ada, untuk yakinkan diri kalo emang ga pernah sekalipun liat sosok Ayah. Sosok yang muncul justru Paman Ren dengan rambut pirangnya, yang merawat gw sejak kecil. Tapi mendadak, ingatan tentang pria asing dengan mantel bertudung coklat di tengah gerimis yang pernah gw temui di bangku taman lewat di pikiran. Sepasang iris kelabunya, ditambah syal biru lusuh tebal yang melilit di leher. Gw terhenyak, dan sedikit menatap ke bawah, “… saya ga yakin.“
Maximus Khortenio tersenyum, “Mungkin ketemu, tapi ga ingat. Karena kamu masih kecil.“
“Mungkin…“
Pemandangan kembali berubah. Pamerkan ruangan baru Khortenio yang kini menjabat sebagai Wakil Komandan Divisi. Saat sedang duduk di depan 4 monitor, seorang lelaki dengan tanda pangkat Major melangkah masuk serta memberi sikap hormat, “Maaf mengganggu waktu anda, Maximus. Tapi kami butuh anda di pusat kontrol Satuan Tugas Gabungan.”
“Hmm? Ada perlu apa Satuan Tugas Gabungan dengan saya?”
“Sinyal komunikasi Skuad 12 dari Resimen 1 Satuan Tugas Gabungan terputus, dan terblokir total. Penyebabnya belum diketahui,” Ujar Prajurit berpangkat Major itu.
Mendengar Skuad 12, Khortenio langsung agak tersentak dan bangkit dari kursinya lalu melangkah terburu-buru, “Apa kalian udah coba frekuensi lain?”
Prajurit itu menjawab seraya ikuti langkah Khortenio, “Udah, Maximus. Tapi tetap ga bisa. Pesan kami ga bisa mencapai mereka.”
“Gimana dengan meretas gelombang radio, untuk mengirimkan kode morse?”
“Kami udah coba segala cara yang memungkinkan.”
“Kalo begitu, ada kemungkinan mereka dalam masalah, Major.”
Sesampainya di ruang kontrol, Khortenio disambut pimpinan Resimen 1 yang menjabat saat itu. Si Mental Smith langsung bertanya, “Klent, situasinya?”
“Skuad 12 telah menemukan lokasi penyanderaan. Laporan terakhir dari pimpinan Skuad, mereka telah menerobos masuk dan dalam proses penyelamatan sandera. Tapi cuma sampai di situ. Komunikasi kami terputus, belum ada kabar lebih lanjut.” Jelas Pria yang dipanggil Klent.
“Sudah berapa lama komunikasi terblokir?” Tanya Khortenio. Raut serius terpapar di wajah.
“1 jam 40 menit, atau mungkin lebih sedikit.”
“Ada sesuatu yang ga beres. Matikan semua perangkat keras, kemudian hidupkan lagi. Lakukan re-boot penuh pada setiap perangkat lunak yang kalian pakai! Jalankan program diagnosa pada frame utama. Cek sambungan kabel komputer operasi yang menyambungkan menara komunikasi! Pastikan jaringan kita ga ada yang terganggu. Perbaiki tiap error yang terjadi, dan perbaiki dengan cepat! Ini bukan latihan!” Khortenio mengeraskan suara saat memberi instruksi, seketika personil ruang kontrol mulai sibuk sendiri.
“Apa menurutmu ini-“
“Ada yang cari masalah dengan kita.” Potong Khortenio.
Proses tersebut memakan waktu 5-7 menit, tapi tetap belum bisa menghubungi Skuad 12 di luar sana. Liat itu, Khortenio langsung turun tangan. Jalan menuju salah satu komputer operasi, “Boleh saya pinjam sebentar?”
“O-oh… silahkan, Maximus.” Personil itu terbata, dan begitu kikuk pas bangun dari tempat duduk.
Jemari pria berambut magenta langsung menari di atas keyboard, dan memasukkan rangkaian instruksi dalam bahasa mesin yang sama sekali ga gw paham. Yang gw liat di layar cuma angka 0 dan 1. Kode Binari, mulutnya sibuk gumam bisikkan-bisikkan, “Ayolah, Act… gw harap lu baik-baik aja… jangan mati, jangan mati… tolong…”
Selepas beberapa menit, ada seruan dari personil lainnya, “Sinyal komunikasi telah kembali tersambung, Maximus!”
Khortenio segera mengambil set mikropon, dan langsung melakukan panggilan, “Skuad 12, Skuad 12… Headquarter pada Skuad 12.”
Semua yang ada di pusat kontrol terdiam tunggu jawaban. Harap-harap cemas, semoga bisa mendengar suara seseorang di seberang sana. Ga ada respon yang datang dalam 30 detik, nyaris memupuskan harapan mereka.
Tapi kecemasan langsung berubah lega, setelah dengar bunyi gemerisik radio, disusul suara lelaki kelelahan membalas panggilan Khortenio, “Di… di sini Skuad 12, ganti.”
“Skuad 12! Syukurlah! Akhirnya kami bisa melakukan kontak. Frekuensi radio kalian mendadak terblokir selama 2 jam dan ga ada kontak sama sekali. Dengan Skuad Leader-kah saya bicara?” Khortenio tau, bahwa yang bicara bukanlah Ayah, tapi dia tetap aja pertanyakan hal itu untuk memastikan bukan hanya buat dirinya, tapi juga personil lain yang ada di ruang kontrol.
“Bukan. Saya Sentinel, Captain Gatan Valsynvis. Anak didik Maximus Actassi Grymnystre.”
“Perasaan buruk menghampiri saya tepat setelah dengar balasan itu. Saya merasa resah untuk tanya hal selanjutnya. Tapi saya tau, mau ga mau, saya harus cari tau.“
“Gatan, di mana Maximus Actassi?”
Sunyi kembali mengisi ruang kontrol, Khortenio menelan ludah di balik layar komputer yang proyeksikan bayang-bayang barisan kode di wajahnya.
Belum ada jawaban dari Gatan muda. Maka, Khortenio bertanya lagi, “Captain Gatan… kamu dengar saya?”
“Gugur… dalam tugas, Pak. Begitupun anggota Skuad lainnya.”
Si Mental Smith terhenyak, punggungnya serasa lemas, dan langsung bersandar di kursi yang dia duduki. Dia ga bisa percaya apa yang baru aja didengar. Sayup-sayup terdengar bisikan di seisi ruangan, dan kegelisahan yang mulai menyelimuti tiap individu.
“Saya benar-benar syok. Hal yang saya takutkan selama ini, beneran terjadi. Saya sungguh menyesal, tapi tentu, sebagai Wakil Komandan, saya wajib tetap tenang di depan Prajurit lain. Karena ini belum selesai.”
Khortenio kembali menegakkan tubuh dalam posisi duduk, “Laporkan status misi, nak. Apa cuma kamu yang selamat?”
“Misi… terlaksana. Seorang sandera berhasil diselamatkan. Butuh perawatan medis secepatnya.”
Khortenio melepas mikropon, dan juga head set yang dia pake. Wajahnya tertunduk, melangkah menuju pimpinan Resimen 1, “Bawa mereka pulang, Klent.” Ucapannya terdengar agak dalam.
Klent menanggapinya, “Dimengerti.” Kemudian sigap mengambil alih komunikasi, “Baiklah Sentinel, tetap di tempatmu berada. Kirimkan koordinatmu agar pesawat kita bisa jemput kalian berdua pulang.”
Khortenio udah keburu tinggalkan ruangan kontrol, dan berjalan cepat sambil masih tertunduk. Di tengah perjalanan kembali ke ruangan sendiri, mendadak dia mengepalkan tangan kanan, dan meninju dinding lorong keras-keras. Ga peduli akan rasa sakit yang dirasa, dia berteriak, “FAAK!”
“Ketimbang sakit, rasa bersalah lebih dominan di hati saya. Itu adalah perasaan terburuk yang pernah saya rasakan selama menjadi Prajurit Federasi. Bukan sekali dua kali saya pernah liat bahaya mengancam, atau bahkan kematian, tapi ini jadi yang terburuk. Sayalah yang memisahkan kalian berdua. Menghalangi keinginan seorang Ayah untuk tetap berada di samping anaknya. Untuk melihat anaknya tumbuh, dan berkembang. Bahkan, sampe membuat Sang Ayah tewas karena keputusan egois belaka. Saya pribadi paling buruk sepanjang masa.“
Khortenio muda tersentak, teringat sesuatu yang membuatnya berlari menuju gudang Divisi Sains, dan buka terpal yang membungkus tumpukan rongsok. Peralatan berbentuk kursi rakitan yang baru setengah dirakit. Keliatan dari kondisinya, terbengkalai.
“Kamu tau, apa lagi yang membuat kejadian ini makin pahit? Saya mengabaikan janji pada Actassi. Akibat kebuntuan dan ga ada progress dari proyek Reminiscence… saya ga berniat melanjutkan. Actassi ga pernah sekalipun marah pada saya. Dia mengingatkan saya, tapi sekaligus menerimanya hanya karena satu kalimat ‘hutang nyawa’ yang pernah terucap. Bukan begini… saya sama sekali ga mau ini terjadi…“
“Cukup,” Ujar gw, bikin perkataan Maximus Khortenio berhenti. “saya rasa ini lebih dari cukup, Maximus. Bisa kita kembali ke realita sekarang?” gw ga menatap Maximus Khortenio saat bertanya.
“… Baiklah,” Jawabnya. Maximus Khortenio menyapu layar antar muka yang ada di telapak tangannya, “mengakhiri penyatuan syaraf.“
Pemandangan hutan hijau di depan mata berganti jadi warna biru muda bercorak putih tanpa bidang untuk menapak, terus perlahan biru mudanya memudar, memudar. Sisakan corak putih yang lama-kelamaan mendominasi. Akhirnya, pandangan gw jadi putih semua. Hal itu ga berlangsung lama, sampe mata gw menangkap bayang-bayang perabotan elektronik, dinding, bangunan, bidang.
Gw mengedip berkali-kali dengan cepat untuk memperjelas penglihatan yang masih blur, sesekali mengucek mata yang terasa perih.
“Kamu bisa melepas perangkat kepalanya. Udah aman.” Ucap Maximus Khortenio sambil bangkit dari kursi.
Jadi gw ikuti apa yang dia lakukan, dan merapikan kembali perangkat kepala itu. Kita udah kembali ke dunia nyata sekarang. Masih terasa aneh, sih. Tapi mungkin butuh waktu beberapa menit buat terbiasa lagi.
“Lake,” panggil Maximus Khortenio. Pas gw tengok ke arahnya, dia langsung bersujud di kaki gw! “Dari hati yang paling dalam, saya minta maaf padamu! Semua salah saya! Sayalah penyebab kamu menjalani hidup sendirian tanpa tau apa-apa! Maaf beribu maaf!”
Wooot!? Ga… ga salah nih!? Dia merengek gitu!?
Reflek, gw berusaha bangkitkan tubuh pria paruh baya itu, “Gak Maximus, saya mohon! Jangan lakukan ini! Anda ga perlu sampe begini!” Ujar gw agak keras untuk menandingi suara nyaringnya, “semua bukan salah anda, sama sekali bukan salah anda!”
Kaget juga sih, ada orang yang segitunya pas minta maap ke gw. Apalagi seorang berpangkat Maximus yang melakukannya. Tentu gw jadi merasa ga enak juga.
“Kamu ga paham! Saya selalu dihantui rasa bersalah. Bahkan sampai sekarang, saya masih sering merasakannya! Dari luar mungkin saya terlihat galak dan keras. Tapi itu semua cuma topeng,” Maximus Khortenio melanjutkan keluhannya, masih dalam posisi kepala menempel di lantai, “terutama ketika saya bertemu denganmu setelah kamu meledakkan salah satu ruangan Divisi Sains. Saya berusaha sekeras mungkin untuk menahan perasaan ini dengan bersikap tegas padamu!”
Uhm… itu sih bukan tegas lagi. Orang ini teriak-teriak depan muka gw waktu itu.
“Oke, oke! Saya maapkan anda, tapi tolong… angkat kepala anda,” ada yang bilang kalo kita makin berumur, perasaan kita juga makin sensitip. Mungkin itu yang dirasakan Mental Smith ini kali ya, “tolong… anda ga perlu sujud untuk dapat maap dari saya.”
“Kamu mau… maafkan saya… begitu aja?” Dia bertanya, sembari gw bantu berdiri.
Sebenarnya gw ga mau menyalahkan siapapun. Lebih tepatnya, ga pantas menyalahkan siapapun. Ya, emang orang ini adalah penyebab utama Ayah meninggalkan gw, dan secara ga langsung berimbas pada masa kecil yang gw jalani. Tapi dia ga bisa dijadikan kambing hitam.
Semua udah terjadi, dan menimpakan kesalahan pada orang lain ga akan bikin Ayah hidup kembali, “Tentu, Maximus.”
“Gak, gak! Kamu harus hukum saya! Benci saya! Tembak saya! Buat saya melakukan sesuatu yang ga masuk akal! Apapun!”
“A-apa!? Gak! Kenapa saya harus melakukan itu!?” Gw coba melawan sengit segala macam perkataan yang keluar dari mulut Maximus Khortenio.
“Karena saya orang jahat, Lake,” Jawab pria berambut magenta penuh emosi, “saya orang jahat, dan pantas terima hukuman.”
Hadeuh… situasi begini nih yang bikin gw garuk-garuk kepala.
“Salah, Maximus. Anda bukan orang jahat. Ya, anda galak, berisik, mengganggu, dan… saya sempat… ehem… takut. T-tapi saya udah pernah berada di kepala anda, dan saya tau, anda bukan orang jahat,” gw turunkan nada bicara supaya pembicaraan bisa lebih tenang, “anda selalu ada saat orang tua saya butuh. Baik saat susah, atau senang. Bahaya, atau aman. Rela bahayakan karir sendiri demi bantu sahabat. Anda berdiri di sana, diantara Ayah dan Ibu, ketika semua orang berpaling dari mereka. Anda satu-satunya yang peduli. Saya ga mungkin bisa benci pada orang yang udah melakukan semua itu.”
“Itu semua cuma kedok… ga membantu hilangkan rasa bersalah yang selama ini masih bersarang, Lake. Saya harus menebus kesalahan masa lalu,” kata Maximus Khortenio, matanya bertemu dengan mata gw. Kami beradu pandang saat bertukar pendapat, “waktu seolah berhenti bagi saya, sejak hari itu.”
Beberapa saat, gw menutup mulut. Mengiba pada Si Mental Smith. Selama ini, Maximus Khortenio adalah orang yang berperan penting dalam kemajuan teknologi tempur Federasi. Ide-idenya selalu berorientasi dengan masa depan. Berpikir tentang apa yang bisa dilakukan Bellato selanjutnya, dan mendorong inovasi lebih jauh. Tapi di balik itu, tersembunyi kenyataan lain. Perasaan yang masih belum bisa mengikuti langkah logika menuju masa depan. Terjerat di masa lalu.
“… Untuk itulah, kita punya yang namanya kesempatan kedua,” tukas gw, abis jeda lumayan lama. Kayanya gw tau, apa yang dimaksud Ayah dengan ‘udah memberikan sesuatu’, “Ibu percaya pada kesempatan kedua, begitupun dengan Ayah. Sebagaimana mereka memberi saya kesempatan kedua untuk tetap bernapas. Semua orang berhak mendapatkannya, Maximus. Semua, termasuk anda. Karena kita ga bisa ulang kembali waktu.”
Mata Maximus Khortenio agak melebar, “Kamu…”
Gw tersenyum, “Saya berterima kasih sebesar-besarnya, udah diperlihatkan kenangan yang menakjubkan. Biarpun ga bisa diabadikan dalam bentuk video, atau foto, atau apapun, tapi sosok Ayah dan Ibu udah terpahat di sini,” telunjuk kanan gw, menyentuh sisi kepala yang tertutup helai kelabu tipis, “kenangan masa lalu anda akan jadi pondasi masa depan saya.”
Setelah keheranan pake mata berkaca-kaca beberapa saat, Mental Smith berambut magenta tertawa keras, “HAHAHA! Kamu tau? Saya selalu mikir kamu itu kombinasi yang unik dari mereka berdua. Dan itu terbukti!” Uhm, apa itu pujian? Ya udah, gw anggap pujian aja deh. Untunglah. Keliatannya, dia udah merasa lebih baik. Maximus menepuk bahu gw, “Terima kasih, udah memaafkan saya,” terus menarik tubuh gw ke pelukannya.
Gw putuskan untuk ga melawan, dan keadaan kali ini ga begitu membingungkan kaya yang pertama, “Sama-sama,” Balas gw, sembari menepuk punggung pria paruh baya itu tiga kali.
Pas kami berdua keluar dari ruangan rahasia menuju ruangan Khortenio, dia berujar, diiringi tawa kecil sembari bersiap menutup pintu ruang tersembunyi itu, “Dasar, Ayahmu itu. Sekarang saya tau, kenapa dia selalu memaksa saya selesaikan proyek Reminiscence.”
“Kenapa?”
“Dia membuat saya jadi pembawa pesan. Bajingan.”
“Pembawa… pesan?” Alis gw naik sebelah.
“Entahlah, tapi mungkin dia udah tau suatu saat kita pasti ketemu… hahaha… dan dia mau cerita semua dengan manfaatkan ingatan saya sebagai medianya. Benar-benar deh.” Beneran?! Wew, gw aja ga kepikiran sampe situ sih. Maximus mendongak, lalu mengepal tangan ke atas, “lu dengar itu, Act!? Puas lu sekarang, hah!? Gw harap masalah ga ikut lu ke sana! Karena gw ga bakal bisa bantu lu dari sini!”
Haha, ini gw harus marah atau kasian ya?
Maximus Khortenio menutup pintu menuju ruangan rahasia, iseng gw bertanya, “Apa anda udah berkeluarga, Maximus?”
“Ya udahlah! Emang kamu pikir saya ini apa!? Jomblo abadi!?” Bentaknya. Ugh, balik jadi galak lagi nih.
Sukses bikin gw ciut, “Bu-bukan… saya ga mikir gitu, beneran.”
“Kenapa kamu menjauh begitu? Saya cuma bercanda, tau?” Gak. Gak tau! Mana ada yang bisa bedain lu bercanda atau kagak kalo pasang muka seram begitu! “Saya punya dua orang putra di Bellator, mereka jauh lebih muda darimu. Dan sekarang tinggal di sana bersama Istri saya.”
“Ohh, saya ikut senang buat anda, Maximus.” ucap gw setulus mungkin. Untunglah kalo dia bisa menemukan seseorang untuk habiskan sisa hidup bersama. Jadi ga kasian-kasian amat kan.
Tapi ucapan gw justru dibalas sinis olehnya, “Apa maksud ucapanmu!? Apa yang ada di pikiranmu, hah!?”
“Bu-bukan apa-apa! Sumpah!” Haduh Si Bapak ini, sensi amat perasaan.
.
.
…Markas Besar Kekaisaran Accretia…
Gabberwockie beserta kelima rekan tim barunya sedang berada di Ruang Archon kekaisaran Accretia, bernuansa gelap, dan abu-abu, untuk mendengarkan arahan langsung dari Warwick, terkait rencana invasi pasukan Kekaisaran.
Pertemuan ini bersifat dirahasiakan, bahkan dari Kamerad Accretia yang lain.
Warwick, Sang Archon Kekaisaran dengan zirah putih dari ujung kepala hingga kaki, dilengkapi jubah merah, berdiri di hadapan mereka.
Melakukan scan menyeluruh dengan lensa optik pada masing-masing anak buahnya, “Seperti yang kalian tau, besok, pasukan Kekaisaran akan memberi salam pada Bellatean, dengan menggedor pintu rumah kurcaci di Sektor Solus. Kalian, sebagai pasukan khusus yang saya bentuk, tentu tau objektif sebenarnya yang kalian bawa. Semua persiapan berjalan optimal, tinggal eksekusinya. Sudah terlalu lama kita berada dalam bayang-bayang Ultimatum. Ini saatnya Kekaisaran lepas sepenuhnya dari ‘Mereka’.”
Salah satu dari kelima Accretian di depan Warwick, yang memiliki nama kode Linkbuster bertanya, “Apa istimewanya Bellatean itu? Sampai kita melakukan penyerangan ke Solus.”
“Ohh, Linkbuster. Kamu akan tau begitu membawanya kemari.” Jawab Sang Archon tanpa memberi penjelasan, “Bawa dia pada saya hidup-hidup. Jika dia melawan, buat dia sekarat. Tapi jangan bunuh dia. Jangan sampai ‘mereka’ mendapatkan tubuhnya duluan.”
Seonggok Punisher memakai Armor biru navy tampak ga mengeluarkan sepatah katapun. Entah apa yang ada di pikirannya, bahkan Ironall yang berada di sebelahnya enggan menebak.
“Kalau begitu saya rasa besok adalah waktu yang tepat.” Ujar Linkbuster, “Scattershot juga sudah ditugaskan untuk terus memantau daerah itu.”
“Besok.” Ucap salah satu Ranger Accretian yang ga sabar dan mengeluarkan launchernya. Terdapat ukiran kata ‘Crosshair’ di sisi launcher tersebut.
“Cloudrake, kendalikan temanmu yang satu ini.” Tukas Linkbuster geram.
Si Mercenary bernama Cloudrake, menyikut Accretia lain berarmor merah strip putih di sampingnya, “Gw enggan berurusan dengannya, Ironall. Lu ajalah.”
“Sama.” Jawab Ironall ogah-ogahan.
“Jika kalian masih ingin ribut, lanjutkan di luar.” Tegas Sang Archon. Seketika, mereka ga lagi bersuara, “Bubar.” Dengan perintah itu, maka keluarlah mereka dari ruangan Warwick.
Gabber masih ga berkata apa-apa, jelas di otak organiknya sesuatu sedang berputar. Mengingat kembali apa yang dia alami di Ether, ketika Bellatrean tua bangka menjelaskan semua keadaan yang diduga akan terjadi dalam waktu dekat.
Ultimatum. ‘Mereka’. Organisasi yang memburu klan Grymnystre sejak lama, berani menjalin kerjasama dengan Accretia, tanpa sepengetahuan bangsanya sendiri. Mungkin sebuah langkah yang salah telah percaya pada ‘mereka’. ‘Mereka’ menginginkan cebol itu untuk diekstrak sebagai bahan untuk membuat Etheron yang baru. Untuk sekali lagi memicu perang yang pernah berakhir 215 tahun lalu.
“Bellatean tua itu ga membual, rupanya.” Pikir Gabber.
Warwick ga mau hal itu terjadi. Dia ga mau lagi mengikuti permainan Utimatum, sampai berani intervensi. Ini bukan lagi hal sepele. Itu, atau alasan kalau dia cuma terobsesi membuat si cebol itu menderita seperti yang pernah diutarakannya.
.::The End of Reminiscence Arc::.
“I want to hear a Grymnystre srcreaming, crying, begging for mercy, struggling to catch his breath without being able to do anything. Every blood he shred, every fabric of his life, every bone, every inch of his skin, I want to do more than just crushing.” – Warwick (Ch. 34)
CHAPTER 43 END.
Next Chapter > Read Chapter 44:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-44/
Previous Chapter > Read Chapter 42:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-42/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list