LAKE CHAPTER 44 – BLUEBERRY CHEESECHAKE

Lake
Penulis: Mie Rebus
Berjalan meninggalkan ruangan Maximus Khortenio, dengan segudang informasi baru dari ingatannya. Kaya apa rupa orang tua gw, apa diri gw sebenarnya, sifat unik dari mereka, ga ada yang gw tau sama sekali sampe hari ini. Lucu juga, gimana dalam satu hari, semua bisa berubah 180 derajat. Dan setelah tau kebenarannya, bingung harus ngapain lagi. Haruskah anggap ini hal serius, atau sekadar anggap ini ga akan berpengaruh dalam keseharian yang udah terlewati?
PIIP, PIIP, PIIP.
Log berbunyi, dan gw liat tulisan yang tertera di layar. Memandang beberapa detik, lalu bergumam sendiri, “Uhm… apa gw bakal mati?”
Di layar log terpampang, ’27 panggilan tidak terjawab, 5 pesan belum dibaca.’ Dari… Elka.
Ibu jari mulai berselancar di atas layar, buka pesan darinya satu persatu, mulai dari yang terlama.
Lagi dimana? Kok ga diangkat?
Hei.
Gw tunggu 5 menit lagi, kalo ga diangkat juga…
Oke, cukup.
Mati lu.
“Yup, mampus gw.” Agaknya gw lupa, janji makan-makannya ga jadi dibatalkan. Dia bilang, mau nungguin gw menyelesaikan urusan dengan Maximus Khortenio. Ga heran kalo dia bakal marah. Salah gw juga sih.
Ga peduli setinggi apa pangkat atau jabatan lu di Kemiliteran Federasi, ga ada hal yang lebih mengerikan di dunia ini ketimbang melewatkan 27 panggilan dari seorang perempuan.
Kalo udah begini, harus cari sogokan. Jadi, gw melangkah menuju toko roti yang terletak di sektor barat Markas Besar. Ingat toko ini, direkomendasikan ama seorang kenalan Berserker yang pernah bertabrakan di lorong Arena Serbaguna. Selagi jalan, beberapa orang berbisik seraya melirik ke arah gw. Apa lagi sekarang? Ga ada puas-puasnya ngomongin orang lain.
Berbagai pikiran negatif langsung meracuni otak gw, begitu liat mereka saling berbisik satu sama lain. Coba untuk ga peduli, dan masa bodo terhadap gunjingan apapun dari mereka. Tapi… pikiran-pikiran tersebut salah besar. Karena seseorang menghampiri gw, dan berseru, “Hey, Lake! Kerja bagus di Festival Olahraga minggu lalu!”
Jelas dibikin kaget oleh perkataan orang itu, “Hah? Uhm… ma-makasih,” Mereka… memuji gw? Dimulai dari satu orang, lalu yang lain ikutan menghampiri. Tatapan mereka bukan tatapan menyayat kaya yang biasa gw terima, lebih menunjukkan kekaguman. Ugh, gw benar-benar ga terbiasa dengan keadaan ini, dan mulai resah, “i-itu cuma hoki kok. Lagian, ujung-ujungnya gw kalah juga.”
“Kalah, tapi di final! Ga gampang untuk sampe final!” seru yang lain, “Pertarungan lu dan Rokai epik pula!” Sambung-menyambung, antusias, “Hey, boleh gw foto dengan lu? Untuk kenang-kenangan?”
“Uh… tentu, kenapa enggak,” baiklah. Ini aneh. Ga merasa cukup nyaman untuk berekspresi di depan kamera kali ini. Jadi, mungkin senyum canggung terpampang di muka, saat kilatan kamera terpancar. Begitu selesai, gw berkata, “duluan ya, mau beli kue.”
Mereka tampak paham, “Makasih! Dan tetap ga ada obat!” Wew, slogan macam apa itu?
Jadi… orang-orang mengapresiasi apa yang gw lakukan cuma gegara festival olahraga? Bukannya ga senang sih, tapi lebih tepat kalo dibilang ga nyangka. Padahal, ikut-ikut gituan karena dipaksa. Yah, ga buruk juga ternyata.
Sesampainya di sektor barat, mata gw jelalatan nyari toko roti dan kue yang dimaksud. Daaan… ketemu. Sebuah toko kecil dengan papan bertuliskan Kroznan Kue dan Roti. Dengan dinding luar bercat krem muda, serta pintu kaca dihias tanda ‘buka’ menggantung. Pas buka pintu, terdengar dentingan lonceng kecil bersuara.
“Selamat datang.” sambut seorang wanita dari balik etalase yang diisi berbagai hidangan roti dan kue. Bau hasil pemanggangan roti, dan kue yang menggugah selera langsung menggelitik hidung. Gw membalas sambutannya dengan senyum dan anggukan kepala, lanjut mulai liat-liat sajian yang ada di toko ini.
“Maap, Mbak. Apa toko ini jual kue yang pake blueberi?” Tanya gw seraya masih terus menyusuri etalase.
“Blueberi? Ada,” Jawab wanita itu. Dia menunjukkan roti isi blueberi, sama banget kaya yang suka dimakan Elka. Jadi di sini belinya. “kami punya roti isi blueberi, dan kue keju blueberi.”
Kayanya, roti doang ga bakal cukup buat menyogok Elka. Lebih baik gw beli kue keju blueberi aja, “Kalo gitu, saya mau kue kejunya. Bungkus 4 potong ya.”
“Kamu suka blueberi?” Di tengah membungkus pesanan, Mbak itu ngajak gw ngobrol, “saya jadi ingat ada satu pelanggan kami yang selalu beli roti dan kue bertoping blueberi. Ga pernah yang lain.” Kayanya gw tau tuh siapa.
“Ahha, kalo saya sih suka semua yang manis, Mbak. Asalkan… bukan coklat.”
“Oh ya? Kenapa? Coklat kan rajanya makanan manis.” Tukas wanita itu.
Sambil garuk bagian belakang kepala, gw jawab, “Alergi.”
“Ohh… begitu,” Usai membungkus, dia menyerahkannya, “semua jadi 120.000 dalant.” Gw beri uang pas, lalu mendapat senyum dari wanita itu, “Terima kasih, sering-sering berkunjung ya!”
“Iya Mbak, sama-sama.” Bersemangat betul wanita yang satu ini.
Gw balik badan, diiringi langkah menuju pintu keluar. Meninggalkan ruangan yang diisi dengan semerbak aroma roti dan kue khas sambil menenteng kantung belanjaan di tangan kanan.
“Laaaake!” Ebuset! Baru juga keluar dari toko roti, sekarang gw ditubruk dari samping oleh seorang wanita berambut hijau pendek!
“Si-Sirvat!” Gw nyaris ambruk menahan berat badan Skuad Leader ini. Dia udah bisa jalan sekarang? Cepat benar. Bukannya lagi jalani masa rehabilitasi 5 bulan? “Kamu… ga pake kursi roda lagi?”
“Ehehehe, engga dong,” ujar Sirvat. Dia menaikkan sedikit rok panjang yang dikenakannya di bagian kanan, “supaya makin cepat terbiasa dengan kaki baruku,” terlihat bagian kaki kanan mekanik di bawah sana. Mengkilap dengan dominan warna perak metalik, “gimana menurutmu? Suka ga?”
Udah seminggu ga ketemu Sirvat sejak Festival Olahraga. Belum sempat jenguk juga bareng Ish’Kandel. Makanya, agak tercengang liat ‘kaki besi’ wanita ini. Masih jelas terekam gimana dia begitu cemas dan bimbang sebelum operasi, ragu antara iya atau engga. Keputusan yang sulit, emang. Sebagai wanita, di dalam hatinya pasti ga pengen terlihat jelek cuma gara-gara satu kakinya berubah jadi metal.
Tapi hati Warriornya pasti ga tinggal diam. Meneriakkan alasan lain untuk berani menjalaninya. Ga ada alasan untuk ga jujur dengan pendapat gw, “Wow, keren!” Reaksi gw jadi kaya anak kecil yang kagum, “Aku suka.”
“Beneran?” tanya Sirvat. Gw menganggukkan kepala, “jadi resmi ya, kita pacaran?” Tukasnya, sembari merangkul lengan kiri gw.
“Wooot!?” kenapa jadi nyambung ke sanaaa!? Selagi meronta, gw bilang padanya, “Tu-tunggu! Kayanya tadi lagi ga ngomongin ginian!”
Berserker wania itu tertawa lepas, “Bercanda, abis reaksimu selalu lucu sih.” Kemudian melepas rangkulannya dari lengan gw. Asem. Yang semacam itu sebenarnya ga patut dijadikan bahan gurauan. Sebelah alis gw terangkat sebagai respon atas tindakannya. Sirvat melirik kantung yang gw bawa, “Eh, beli kue ya? Pasti buatku. Mau dong!”
“Ah, maap. Ini buat Elka.”
Gw liat sorot mata krem tersebut sedikit berubah, mendadak agak down. Sepatah suara terdengar dari mulut Sirvat, “Oh…”
Ehem… apa gw salah ngomong? Bukannya pelit nih, tapi kue keju ini salah satu senjata buat hadapi raja terakhir. “Tapi… euh…” Sirvat mendongak dikit. Mata kami pun bertemu, “aku bisa belikan lagi buatmu… kalo mau.”
“Yeeaay!” Si Berserker melonjak gembira, lalu buru-buru tarik pergelangan tangan kiri gw, balik ke dalam toko, “Ayo, buruan!”
Sirvat memesan kue es krim coklat bertabur kacang, sedangkan gw pesan pie buah. Untung toko ini menyediakan meja dan tempat duduk, jadi ga perlu cari tempat lagi buat makan. Kami ngobrol banyak hal, sembari habiskan kue pesanan. Ngalur ngidul dari topik A sampe Z. Yaa… sebenarnya kebanyakan dia yang ngomong sih. Gw cuma jadi pendengar, dan sesekali kasih tanggapan singkat.
“Jadi begitulah, 5 bulan terlalu lama buatku. Harusnya mereka mempercepat masa rehabilitasi,” oceh Si Berserker wanita, “sekarang aja aku udah bisa jalan. Ini lebih cepat dari yang diperkirakan.”
“Mungkin pihak medis ga mau ambil risiko,” respon gw. Jemari yang megang garpu kecil, memotong pinggiran pie buah yang garing. “bisa jalan, bukan berarti bisa langsung kembali ke zona tempur.”
“Tapi aku ga sabar untuk kembali jalankan misi…” kepala bermahkota hijau itu tertunduk, “… udah terlalu lama aku ga melakukan apapun.”
“… Ah, ga juga,” Gw menyangkal pernyataannya, “beradaptasi dengan mekanisme itu juga sesuatu, kan?”
“Selalu deh, ketemu aja sesuatu untuk balas omonganku. Tsk.” Sirvat berdecih, dan melahap satu suapan kue coklat di depannya.
“Ahaha. Ngomong-ngomong, gimana cara menggerakkannya?”
“Hmm, berkonsentrasi lebih keras,” Ujar Sirvat, “kata dokter, prinsipnya sama kaya menggerakkan kaki biasa. Tapi jaringan syaraf tiruan yang diimplementasikan, ga bisa menangkap gelombang otak yang terlalu lemah.”
“Oh ya? Berarti rasanya benar-benar kaya punya kaki baru.”
“Ya enggalah! Jelas beda! Biarpun bisa kugerakkan, tapi aku ga bisa merasakan apa-apa. Liat nih,” Kaki mekanik Sirvat terasa bergerak, dan sesekali menyenggol kaki gw. Terasa dingin, “aku ga bisa merasakan geli, atau hangat, atau… apapun.”
Tiba-tiba, kaki mekanik itu menginjak keras kaki kiri gw! Keras banget! “FFFFFA… FFT!” Gw berusaha keras untuk tahan umpatan yang udah diujung lidah sambil mengusap bagian yang kena injak.
“E-eh! Ma-maaf, maaf!” Sontak, Sirvat menarik kakinya, “itu salahku… ga fokus, jadi hilang kendali. Ehehe…” Jelas sudah alasan kenapa dia belum diizinkan kembali bertugas.
Puas menyantap kue, kami melangkah menuju Mesh Warrior. Sangking baiknya jadi laki, mau-mau aja dipaksa buat antar Sirvat balik. Padahal masih kerasa sakit di kaki. Jalan aja jadi agak susah.
“Maaf ya, aku beneran ga sengaja.” Pas sampe di depan Mesh Warrior, untuk ketiga kalinya, dia menyesal.
“Udah kubilang ga apa. Permintaan maap diterima.” Ketiga kalinya juga gw maapkan dia.
“Makasih lho, traktirannya… dan juga… udah meluangkan waktu buatku.” kata perempuan berkulit lebih gelap sembari memberi gw satu senyuman, “Tadi itu menyenangkan.”
Gw ga kuasa buat ga balas senyumnya, “Tentu! Ga masalah, Sirvat.”
“Sampai nanti, Lake.”
“Sampai nanti.” Lalu kami saling balik badan, melangkah ke arah berlawanan.
Harus gw akui, kegiatan berbincang sambil ngemil tadi emang cukup menyenangkan. Habiskan waktu bersama teman, biarpun cuma melakukan sesuatu yang ga terlalu istimewa, bisa jadi kenangan berharga. Apalagi kalo teman itu perempuan yang lumayan kece, yang menaruh perasaan pada lu, tapi lu sama sekali ga menanggapi perasaannya… ugh… kok rasanya gw jadi laki brengsek amat, ya?
Belum lama salam itu terucap, belum jauh gw melangkah, terdengar suara seorang pria bertanya, “Hoo, jadi itu, mangsa baru lu?”
“Bukan urusan lu,” Desis Sirvat ga senang, “bisa minggir? Lu menghalangi jalan.”
Gw sedikit melirik, untuk liat siapa yang berani cari perkara dengan Berserker wanita itu. Sesosok lelaki bertubuh kekar, dengan rambut potongan cepak tentara berdiri bersandar di pintu masuk Mesh. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Diliat dari tampang, mungkin dia lebih tua dari gw beberapa tahun.
“Ayolah, jangan kasar begitu ke Pria yang pernah lu incar.” Ujarnya sembari menyeringai.
“Heh! Yang benar aja,” Bantah Sirvat, “lu aja yang terlalu percaya diri.”
“Hey… jangan kira gw ga kenal tipe perempuan kaya lu, lacur,” nada pria itu berubah jadi dalam, dan menekan, “gw ga kenal lu sehari-dua hari, dan bukan sekali-dua kali gw liat lu mendekati lelaki.”
Kaget langsung menyerang pas dengar Pria itu menyebut Skuad Leader gw pake kata yang ga pantas. Apa-apaan dia!? Minta dihajar banget ini sih! Tapi kayanya, gw ga perlu ikut campur. Mengingat itu Sirvat, pasti dia bakal langsung menghajarnya sendiri.
Namun, dugaan gw melenceng.
Sirvat tertunduk, dan biarkan matanya tertutup bayangan rambut hijau, “Apa yang lu mau, Honzo?” cuma pertanyaan getir yang keluar dari mulutnya.
“Hmm, ga begitu penting. Cuma mau ingatkan, untuk kurang-kurangi kelakuan lu yang kaya jalang itu. Ga tau malu, menawarkan diri ke tiap lelaki yang menarik perhatian lu. Cih,” pria itu lanjut merendahkan Sirvat.
Tubuh Sirvat bergetar, giginya menggertak, dan kedua tangan mengepal makin keras, “Penting banget ya, harus ikut campur terhadap gimana cara gw jalani hidup!? Gw bilang sekali lagi, itu bukan urusan lu!”
“Ga kapok, udah cacat begitu!? Masih untung bisa selamat, bukannya berubah, malah makin kegatelan! Ga heran semesta memberi peringatan yang ga bakal bisa dilupakan selama sisa hidup lu!” Tatapan Sirvat menunjukkan geram yang makin menumpuk, tapi… setitik cairan bening keluar dari sudut mata wanita berambut hijau, pas meladeni silat lidah Pria itu.
Ohoho, sekarang gw benar-benar ga suka keadaan ini. Lu ga bisa bro, seenaknya bikin perempuan meneteskan air mata.
Oke, ini udah kelewatan. Gw kembali melangkah menuju kedua orang itu.
Dengan cepat, Sirvat berbalik dan melangkah tergesa-gesa sambil tetap nunduk. Dia bahkan enggan menatap gw pas kami saling melewati. Tapi sigap gw cegah dia pergi lebih jauh, dengan menangkap pergelangan tangan kirinya.
“Kamu ga perlu lari dari orang kaya dia, Sirvat.” Gw berujar dengan intonasi tertahan, sembari menatap lurus pada Pria yang dipanggil Honzo.
Sirvat tersentak, dan alihkan mata ke gw, “L-Lake!?”
“Hmm? Masih belum pergi ternyata,” Honzo berujar ketus.
“Maap atas kelancangan saya, udah menguping obrolan kalian. Sebagai lelaki, saya percaya kalo kita wajib menghargai perempuan,” gw merespon omongan Pria itu.
“Hah! Lu bisa bilang gitu karena ga tau tipe perempuan kaya apa dia!” Pria bertubuh kekar itu beranjak dari tempatnya berdiri, dan jalan ke hadapan gw, berusaha mengintimidasi orang yang lebih kerempeng. Tapi, gw ga akan mundur, “apa jangan-jangan, lu dibutakan karena udah merasakan tubuhnya?”
Sumpah, pengen banget langsung melayangkan kepalan tangan ke muka orang ini. Tapi masih sadar diri. Pukulan gw ga sekuat Ish’Kandel, atau Alecto. Udah gitu, tangan kanan ini masih pegang bungkusan kue keju blueberi.
“Kamu ga perlu membelaku,” Sirvat coba menarik gw untuk menjauh, “kamu ga perlu berurusan dengannya.”
Tapi gw menolak. Salah satu ujung bibir gw tertarik ke atas, “Ga apa. Kamu pantas buat dibela.”
Sepasang mata krem itu melebar, “Ah… dasar, curang…” gw ga begitu paham maksud dibalik perkataan tersebut. Dia kembali menunduk, tapi kali ini wajahnya dihias senyum simpul.
Honzo udah persempit jarak diantara kami. Mungkin cuma terpisah 5 sentimeter, menatap gw remeh, dan masih menekan, “Hey, lu belum jawab pertanyaan gw, cunguk!”
“Mencela seseorang, ga bikin anda lebih baik dari orang yang anda cela,” Gw menegaskan sambil pasang tampang paling kece sejagat raya, “dan saya ga perlu meniduri Sirvat, untuk tau kalo anda jauh lebih rendah darinya,” anjay~
Tanpa peringatan, sisi rahang bawah gw dihantam pukulan keras dari tangan Honzo! “UGH!” Kampret! Akibat tampang gw terlalu kece nih pasti. Syok, dan ga sempat bereaksi. Pukulan tersebut terhitung cepat dan tanpa ancang-ancang, tapi tenaga yang dihasilkan jelas ga main-main.
Tubuh gw oleng, kesempatan ini ga dibuang olehnya untuk melancarkan satu pukulan lagi. Kali ini dengan tangan kanan. Pukulan kedua tepat mengenai tulang pipi, sukses bikin kepala gw pusing dan akhirnya jatuh.
“LAKE!” Pekik Sirvat.
“Shite! Kuenya!” plastik yang berisi kotak kue juga ikut terhempas ke tanah. Hal pertama yang gw lakukan pas rasa syok memudar, adalah berusaha meraih kotak tersebut dan mengamankannya. Berharap isinya ga berantakan.
Tapi Honzo punya rencana lain. Ga mikir panjang, dia injak-injak kotak kue di depan mata gw, “Banyak omong, bocah tengik! Lu kira, lu keren karena udah menceramahi gw!? Bajingan!” Kini, kotak itu remuk. Bentuknya udah ga karuan. Krim keju dan toping ungu tua luber ke mana-mana.
Bangke! Kue buat Elka… faak! Bisa mati beneran nih urusannya!
“Bangun! Gw belum puas menghajar orang sok tau kaya lu!” Teriak Honzo. Liat gw kena pukul dua kali, Sirvat akhirnya ga tahan. Dia maju, kemudian cepat menginjak satu kaki Honzo pake kaki besinya itu dengan tenaga yang keliatan berkali lipat ketimbang pas dia injak kaki gw, “AAARRGH! DASAR LACUR!” Pria bertubuh kekar itu mencak-mencak, sembari lompat-lompat satu kaki, dan megangin kaki yang terinjak.
Satu tendangan dari kaki perak metalik Sirvat ke sisi kepala Honzo, berhasil membungkam kicauannya, membuat Honzo hilang kesadaran seketika, “Humph! Cuma karena gw ga mau bikin lu babak belur, bukan berarti gw ga bisa,” haha, ternyata Sirvat tetaplah Sirvat. Si Berserker wanita langsung menunjuk beberapa Kadet Warrior muda yang ada di sekitar kami, “Hey, kalian! Bawa makhluk jadi-jadian ini ke ruang perawatan! Buruan!” Perintahnya.
“Si-siap, Caters!”
Gw berdiri, lalu menepuk-nepuk debu dan serpihan tanah yang menempel di jaket serta celana. Sirvat menghampiri. Garis kecemasan muncul di wajahnya, “Mulutmu… berdarah…”
“Ah,” lalu gw meludah, guna membuang darah yang terkumpul. Pukulan pertama tadi menyerempet sudut bibir, juga melukai gusi rupanya, “ga parah kok. Tenanglah.”
“Ayo ke kamarku, biar bisa kubersihkan.” Ajak Sirvat. Tangannya udah cengkram pergelangan tangan gw aja.
“Makasih, tapi ga perlu. Nanti juga sembuh sendiri,” gw coba menolak halus. Mata ungu beralih pada kotak kue yang runyam. Abis ini masih harus beli kue keju blueberi lagi soalnya.
“Gak!” Serunya, seraya menguatkan cengkraman di tangan gw, “pokoknya kamu ga boleh pergi sebelum luka itu dirawat!” Perintah wanita berambut hijau pendek ini terdengar galak, tapi kontras banget dengan mata kremnya yang berkaca-kaca.
Uuuhhh… ya udah, apa boleh buat. Mau ga mau, gw turuti omongannya. Paling ga bisa deh dikasih liat pemandangan kaya gitu. Tsk.
Biarpun sifatnya cenderung tomboy, Sirvat cukup baik dalam urusan kerapihan. Kamarnya tertata apik, dan ga berantakan sama sekali. Satu set barbel tergeletak di bawah meja dengan sebuah laptop diatasnya. Dindingnya dicat putih, dengan satu kasur berukuran sedang, ditutupi bed cover hijau gelap. Nuansa kamar ini ga terlalu cerminkan stereotip kamar perempuan yang serba cerah. Malah ga terlalu mencolok… tapi tetap nyaman untuk disinggahi.
Ga ada obrolan diantara kita saat Sirvat mulai bersihkan luka. Kesunyian setia temani kami di ruangan ini.
“Ssshh!” perih, kerasa kayak digigit semut pas cairan alkohol basahi luka sobek di bibir gw.
“Tahan ya,” Akhirnya, dia bicara, “sedikit lagi.”
Gw mengangguk. Sesekali curi kesempatan untuk bertatapan dengan Si Berserker. Tapi ga kunjung bisa. Soalnya, Sirvat seolah menghindar. Malah buang pandangan ke arah lain pas di satu titik mata kami beradu.
“Sirvat… maap.” Ucap gw, “berlagak sok keren untuk menolong, ujung-ujungnya malah ditolong,” jadi merasa konyol sendiri kalo ingat kejadian tadi, “aku ini idiot.”
Dia ga langsung merespon. Melainkan, lanjut bersihkan luka beberapa saat, terus memasukkan kapas itu ke tempat sampah.
“Kamu tau, selama ini… aku emang selalu terbuka pada siapapun yang mendekat. Aku bukan termasuk wanita yang pilih-pilih dalam urusan pasangan. Karena itulah aku ga berdaya melawan perkataan Honzo. Karena aku yang paling tau, kalau itu fakta,” Sirvat menatap gw, sendu. Berusaha untuk tersenyum, “tapi, pas aku liat kamu melawan Rokai pertama kali, ada perasaan berbeda. Perasaan yang bilang, ‘aku mau Pria itu.’ Hatiku memilih, Lake. Untuk pertama kali. Awalnya kuanggap itu biasa aja. Ga mau dibingungkan antara cinta, atau sekedar kekaguman lain yang biasa datang. Tapi… makin lama aku kenal kamu, aku makin yakin, suara hati emang ga pernah berbohong.”
“Uhm… ma-makasih… tapi-“
“Kamu bukan idiot. Kamu Pria kedua yang pernah membelaku kaya tadi, selain Almarhum Ayahku,” kedua tangan Sirvat menyusur pelan di kedua pipi, bikin muka gw jadi panas mendadak, “kebanyakan dari mereka mengira, aku bisa melindungi diri sendiri mentang-mentang sifatku begini. Padahal, sebagai wanita, sesekali aku juga ingin dilindungi. Kadang aku mikir, ‘apa aku perlu berubah?’ “
Yup, Sirvat benar-benar ga jauh beda dari perempuan biasa. Ternyata itulah kenapa gw berani membelanya. Sebagaimana benci liat air mata Elka, gw juga ga tahan liat Sirvat berlinang air mata. Gw genggam satu tangannya yang ada di pipi, dan menurunkan sejenak, “Ga perlu. Menurutku, dirimu apa adanya udah luar biasa.” Kata gw sembari senyum selebar mungkin.
Sirvat tersipu malu, bikin gw ikut salah tingkah juga liat reaksinya, “Aaah… curang. kenapa kamu bisa bikin aku jatuh cinta berkali-kali, sedangkan aku ga bisa bikin kamu jatuh cinta walau cuma sekali?”
Jawab sebuah pertanyaan dengan diam, bukan hal sopan. Tapi sampe sekarang belum ketemu jawaban yang memuaskan. Senyum lebar di wajah gw, sedikit memudar.
Ya, pertanyaan bagus. Kenapa? Ada seorang wanita yang ga ada hentinya mengungkapkan perasaan ke gw, tanpa bisa terbalaskan. Apa masalahnya? Fisik? Sifat? Faak! Mungkin gw tipe Pria paling buruk sepanjang masa. Salahkah? Gw cuma ga mau terbuai napsu, sebelum benar-benar ketemu lawan jenis yang bisa bikin jatuh hati. Sekarang pun, kayanya perasaan gw belum berubah terhadapnya.
Sirvat tersenyum lagi, condongkan tubuhnya ke arah gw, sehingga wajah kami makin dekat. Perlahan, dia mulai menutup kelopak mata. Ugh, jantung berdebar, ludah tertelan, dan mulai berkeringat. Bukan pertama kalinya Si Berserker melakukan ini, tapi tetap bisa bikin deg-degan. Wanita berambut hijau pendek berhenti di tengah jalan menuju bibir ini, ga memaksa gw untuk melakukannya. Dia menunggu sebuah respon.
Udah diputuskan… sebagai permintaan maap terus menerus menolak perasaannya, untuk sekali ini, gw akan menerima. Mungkin gw ga bisa memberikan hati untuknya. Karena itulah, cuma bisa beri dia ciuman pertama gw dalam seumur hidup.
Gw memajukan kepala, serta perlahan tapi pasti mendaratkan bibir dengan lembut, di atas bibir wanita itu. Sirvat sempat tersentak, dan membuka mata. Kaget barangkali. Cuma sesaat, abis itu menutup kembali. Sama dengan mata gw, yang ikut menutup, serta larut dalam suasana.
Ciuman halus, dan ga terburu-buru. Napas Sirvat begitu dekat, menggelitik permukaan wajah gw. Mulut kami mulai agak membuka. Sehingga bibir atasnya mulai menyapu bibir bawah. Gw ga begitu tau apa yang harus dilakukan selanjutnya. Wajarlah, baru pertama. Rasa deg-degan di dada, terpacu lebih keras lagi. Bohong kalo gw bilang ga gugup. Sebagai wanita yang lebih berpengalaman, Sirvat tampak mengerti akan hal itu. Dia mengusap tangan kanan gw yang dari awal pasif, sebelum menggenggamnya. Mengisyaratkan kalo gw harus lebih santai.
Dia mencoba bikin gw nyaman.
Entah berapa lama ciuman kami berlangsung. Bah, mana sempat mikirin waktu, saat ada sensasi mendebarkan yang memenuhi kepala. Sirvat ga lewati batas. Seolah bisa baca pikiran gw yang ga mau kebablasan, dia berhenti. Membuat kegiatan ini murni sebatas base pertama. Napas kami jadi lebih cepat, begitu melepas pagutan pada bibir masing-masing. Biarpun bibir kami udah ga bertaut, namun Sirvat ga langsung menjauh. Malah sejenak menyandarkan dahinya, ke dahi gw. Memperpanjang moment kedekatan ini sedikit lebih lama.
Sepintas gw buka mata, guna memandang wanita yang baru aja jadi pengalaman pertama dalam berinteraksi intim. Gw bisa merasakan hangat tubuhnya dari jarak segini. Bersinggungan dengan suhu tubuh sendiri yang pastinya juga ikutan naik akibat aliran darah berdesir makin intens. Mata krem Sirvat kembali terbuka, dan menatap sayu. Sensualitas ga tertahan dari ekspresi wajah Si Berserker wanita. Ditambah lagi, semerbak aroma shampo dan minyak wangi, berbaur dengan aroma tubuhnya. Ga terlalu menyengat, tapi enak dan menenangkan.
“Aku ga akan menyerah…” Sirvat membisikkan kalimat tersebut.
Kalimat yang membuat rasa bersalah menyeruak. Resah. Resah kalo nanti dia malah kecewa karena lelaki yang disukai ga cukup dewasa untuk tetapkan jawaban. Sirvat adalah wanita mandiri yang hebat. Dan dia pantas bersama Pria yang lebih baik ketimbang gw. Pria yang benar-benar bisa melindunginya, ga cuma di mulut, tapi juga lewat aksi nyata.
“Maap, Sirvat. Tapi aku- umfft!” kata-kata gw terpotong karena dia kembali mengunci mulut gw dengan bibirnya. Ga mengizinkannya untuk selesai.
“Aku udah tau kamu mau bilang apa, jadi ga perlu dijawab. Ehehe…” ujar Sirvat, diiringi tawa renyah. Gw tertegun sebelum dia bertanya, “jadi, gimana rasanya?”
Alis gw sebelah kiri agak terangkat, “Rasanya?”
“Ciuman pertamamu.”
“Eeeehm,” ditanya rasa, baru deh mikir. Sirvat menanti penuh ingin tau, “hmm… becek?”
“Bffft! Ahahahahaa!” daaan… jawaban gw bikin dia ngakak, “becek!? Serius!? Dari semua kata di dunia ini, kamu pilih ‘becek’!? Hehheahaha!”
Muka gw jadi memerah gegara tahan malu, terus sewot sendiri, “Ke-kenapa!? Emang benar kan!?”
Lho, ga salah dong? Rasa bibir pas saling beradu… ya apalagi kalo bukan tawar… dan becek. Kecuali kalo lu oles selai kacang terlebih dulu.
.
.
Abis beli kue di toko yang sama, langsung balik ke Mesh, ogah ke mana-mana lagi. Capek. Di depan pintu kamar, sempat terpaku beberapa lama. Ga bakal heran kalo Si Infiltrator itu udah menginfiltrasi ruangan ini. Pasti.
Pintu terbuka, usai menerima verifikasi dari kartu kunci yang gw bawa. Wew, gelap. Lampu kamar ga nyala. Ga ada tanda Elka di dalamnya. Nah, ini baru ga sesuai ekspektasi.
Kaki gw melangkah ke dalam, pintu kamar pun tertutup otomatis. Kemudian tangan kiri gw meraba-raba dinding tempat saklar lampu berada. Begitu cahaya menerangi seisi ruangan, terasa hawa mencekam dari belakang.
Penasaran, gw lirik ke balik bahu. Sesosok perempuan dengan mata coklat menyala, bak malaikat kematian yang siap cabut nyawa, berdiri tepat di sebelah kanan pintu. Sangat baik dalam menyamarkan hawa keberadaan, sampe gw ga sadar sama sekali udah jalan melewatinya.
Dia berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, “Lake Grymnystre…” ah, gw dalam masalah besar. Selama ini, Elka jarang banget manggil gw pake nama lengkap. Kalo dia udah begini, tandanya keadaan baru aja naik jadi siaga satu, “jelaskan,” ucapnya pake suara setengah mengancam.
Sebenarnya, ga ada perasaan tegang sama sekali yang menghampiri. Karena, saat gw berbalik guna menghadap sosok Elka, ada bayangan lain yang tergambar di depan mata. Bayangan Elka kecil yang menangis tanpa suara. Kenangan itu terangkat lagi dari benak gw.
Sebelum bertindak lebih jauh, gw meletakkan kantung yang berisi kotak kue di atas kasur, lalu mendekat padanya. Ga pedulikan mood perempuan berambut coklat yang lagi ga baik, gw peluk tubuhnya erat-erat.
Dia masih belum bergeming, ga terpengaruh pelukan ini, sampe gw bilang, “Gw ga akan tinggalkan lu sendirian.”
“Hah?”
Sambil mendekap tubuh Elka, gw berkata di telinganya, “Gw akan berjalan di samping lu, selalu ada kapanpun supaya bisa selalu berbagi kesedihan, atau kebahagiaan. Gw akan habiskan selama mungkin sisa waktu yang ada bersama. Mulai sekarang, lu tawanan gw. Dan gw ga akan melepas pengawasan sedikitpun. Paham?”
“Lake… janji-janji itu…” kata Elka terbata.
“Lu ingat?”
“Mana mungkin gw lupa,” syukurlah kalo dia ingat, “sebenarnya ada apa sih? Tingkah lu aneh hari ini. Dan luka ini? Lu berantem?” Ahha, emang deh paling susah menyembunyikan sesuatu dari Infiltrator yang satu ini, “gw cemas, tau?”
“Cuma cekcok kecil,” hal-hal dari masa lalu, dan masa sekarang bergelut. Gimana ga pusing, coba? “dan… ya, tau. Gw minta maap. Lu bisa tidur di sini nanti malam.” Elka sedikit mendorong tubuh gw menjauh. Mukanya keheranan. Dia meletakkan tangan kanan di jidat gw, layaknya orang cek suhu badan, “ey… gw ga sakit.”
“Ya… lu kan suka ngomel kalo gw tidur di kamar lu. Sempitlah, panaslah,” kata perempuan berambut coklat menyelidik, “ini lebih dari aneh.”
“Boleh kan, gw aneh untuk sehari ini aja?”
Elka angkat kedua bahu, “Ya udah, terserah,” terus, tau-tau sorot matanya berubah tajam, “tapi ingat, kita akan bicarakan tentang ‘melewatkan 27 panggilan, dan ga balas satupun pesan’… nanti.”
Ah, faak. Masih belum lupa masalah itu ternyata, “Ahha, yaaa… tentang itu… uhm… gw beli kue buat lu!” tiba waktunya untuk menyogok raja terakhir.
Elka melongo kaya orang blo’on pas kotak kuenya gw buka, dan pamerkan 4 potong kue keju blueberi. Kaya baru liat malaikat turun dari surga. Gw bersorak kegirangan dalam hati, liat dia menelan ludah. Sogokan sukses!
“Ini semua buat gw, kan?”
“Tunggu, apa!? Engga! Lu dua, gw dua!”
“Gw ga akan kasih sedikitpun buat lu.”
“Serius!? Itu kue lumayan mahal, dan gw bahkan belum nyobain!”
“Kasian deh lu. Nih, gw bagi,” Elka memotong seperempat bagian salah satu potongan kuenya, lalu meletakkan di piring gw, “itu salah satu hukuman lu.”
Dasar pengidap sindrom maniak blueberi! Arrghh!
.
.
…Ruang Wakil Archon, Markas Besar Federasi…
Seorang Sentinel berambut spike hitam sedang duduk di ruangannya, asik mengutak-atik mainan rubik. Dua kaleng bir kosong ada di tempat sampah, penanda konsumsinya terhadap bir hari ini mulai berkurang. Sore ini, dia sedang menunggu kedatangan seseorang. Seseorang yang dirahasiakan.
Perhatian Sang Wakil Archon dari benda kubus dengan 6 warna tersebut teralih saat pintu ruangannya terbuka. Dari balik pintu itu, masuklah seorang pemuda berambut coklat agak panjang. Mata merahnya memindai ruangan Wakil Archonnya dengan cepat.
“Salam hormat, Maximus.”
“Salam, Royal. Silahkan duduk.” Ucap Si Sentinel.
“Anda punya ruangan yang bagus,” Puji Prajurit dengan pangkat lebih rendah, “jadi, apa anda ada perlu dengan saya?”
“Oh, terima kasih. Kamu adalah yang terbaik dalam urusan mengumpulkan informasi. Saya ingin kamu melakukan sesuatu untuk saya,” balas Sang Wakil Archon tanpa basa-basi.
“Melakukan apa, Maximus?”
Si Sentinel mengaktifkan layar komputer di atas mejanya, dan mengarahkan gambar yang ditampilkan pada Prajurit berpangkat Royal itu, “Saya mau kamu melakukan cek latar belakang. Saya ingin tau semua tentang Prajurit ini, dari hal terkecil, sampai terbesar. Masa lalunya, kehidupannya, apa yang dia suka, apa yang dia benci, apa aja yang udah dia lalui… semua.”
Si Prajurit Royal tercengang melihat sosok yang ada di layar tersebut, seorang perempuan dengan mata dan rambut potongan pendek berwarna coklat. Merasa pernah melihatnya, “Tunggu, bukannya dia ini-“
“Ya, tebakanmu ga salah.” Potong Sang Wakil Archon.
“Tapi… cek latar belakang? Apa profilnya kurang lengkap?”
“Saya cuma mau tau lebih dari apa yang bisa disajikan profil ini.”
Prajurit Royal itu diam sebentar. Menimbang keputusan apa yang akan dia ambil, “Baik, saya akan melakukannya, Maximus.”
“Saya tunggu laporan lengkapnya seminggu dari sekarang.” Sentinel senior itu kembali memainkan rubiknya.
“Maaf, Maximus. Seminggu terlalu cepat,” Tapi yang dikasih arahan, merasa keberatan, “saya butuh minimal sebulan untuk menyelesaikannya.”
“Oke, 3 minggu. Saya akan kasih kamu waktu 3 minggu. Kalo bisa kurang dari itu, malah lebih bagus. Gimana?”
“Dimengerti.” Prajurit itupun berdiri, dan memberi sikap hormat, “Mohon izin untuk meninggalkan ruangan.”
“Izin diberikan.” Kata Pria berambut spike hitam, “Oh, satu lagi, Royal. Jangan sampai ada yang tau tentang ini.”
Prajurit Royal itu ga sanggup menahan senyum, “Siap, Maximus. Rahasia anda aman. Lagi pula, dari awal saya emang ga pernah ada, kan?”
“Humph! Just because I don’t want to beat the shit out of you, doesn’t mean I can’t.” – Sirvat (Ch. 44)
CHAPTER 44 END.
Next Chapter > Read Chapter 45:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-45/
Previous Chapter > Read Chapter 43:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-43/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list