LAKE CHAPTER 45 – THIRD ENCOUNTER, REUNION

Lake
Penulis: Mie Rebus


Lewat tengah malam yang sunyi, mata gw ga kunjung menutup. Padahal, niatnya pengen tidur cepat. Tapi kenyataannya, usai main catur 5 ronde sampe jam segini, masih belum bisa pulas. Elka gw izinkan untuk tidur di sini sebagai permintaan maap udah melewatkan 27 panggilannya.

Posisi kami menyamping ke arah yang sama, sehingga gw memunggungi Elka. Jujur, kejadian hari ini masih bikin pikiran ga menentu. Bukan cuma tentang fakta kalo gw punya darah Corite mengalir di nadi, tapi juga… ehem… peristiwa yang terjadi di kamar Sirvat.

Haruskah dia tau? Selama ini, kami selalu terbuka dalam segala hal. Kalo salah satu diantara kami punya masalah, atau sekadar punya pikiran absurd yang tersangkut di kepala, kami ga akan segan untuk mengutarakannya pada satu sama lain.

Tapi, semenjak kembali dari Ether, gw sadar, belum benar-benar terbuka padanya. Gw belum cerita tentang pertemuan dengan Gabber, dan Faranell. Serta tentang ‘mereka’ yang katanya berniat mengekstrak esensi seorang Grymnystre. Gw ga mau menarik Elka ke dalam lingkaran bahaya. Bukan ga percaya dengan kemampuan yang dimilikinya, cuman ada rasa khawatir aja saat dia menerjang bahaya. Di lain pihak, gw yang paling tau, kalo ini mustahil buat diatasi sendirian.

“Ka…” Panggil gw, dengan volume rendah. Mau tau, apa anak ini beneran tidur.

Ga lama, terdengar gumaman, “Mm?” ternyata dia belum sepenuhnya terlelap.

“Belum tidur?” Gw bertanya tanpa ubah posisi.

“Lu sendiri?” Dia malah balik bertanya.

“Ga bisa tidur.”

“Sama.”

Akhirnya, gw bangkit dari kasur, dan kembali menyalakan lampu kamar. Elka sedikit mengucek mata, sembari duduk di pinggiran kasur. Dia mengenakan kaos longgar hijau dengan gambar emoji senyum besar warna kuning, dilengkapi celana olahraga pendek sebagai pengganti piyama. Rambut coklat pendeknya agak acak-acakkan, tapi ga bikin rupanya jelek.

Gw buka jendela kamar, supaya angin malam bisa mendinginkan ruangan. Karena malam ini, terasa suhu ga serendah biasanya. Tatapan gw kosong, ga tertuju pada objek tertentu yang ada di luar jendela.

“Ada yang mengganggu pikiran lu.” Sedari tadi, Elka sama sekali ga melepas pandangan dari individu lain di kamar ini.

Gw melirik ke dia, “Tau dari mana?”

Si Infiltrator menempatkan jari telunjuk kanannya, tepat di bawah kelopak mata kanan sendiri, “Mata lu.” Jawabnya yakin, “Gw kenal betul tatapan itu.” Dia berdiri, lalu menghampiri, “Gw di sini buat lu, Lake. Lu selalu bisa cerita tentang masalah apapun ke gw. Apapun. Dan gw ga akan pernah keberatan buat bantu…” Ujarnya dengan halus, “… tapi gw ga bakal bisa bantu, kalo lu terus menutup diri.”

Shite. Perkataannya emang ga salah. Mungkin gw yang terlalu keras kepala, jadilah terbesit setitik rasa ga percaya dengan orang terdekat dalam hidup. Apalagi, Elka emang udah merasa kelakuan gw aneh seharian ini. Ga ada alasan sama sekali untuk sembunyikan apapun darinya. Dia, diantara semua orang, paling berhak untuk tau.

Gw tatap dalam-dalam sepasang mata coklat itu, “Seandainya lu tau, kalo diri lu setengah Corite, apa yang akan lu lakukan?”

“Apa…?” Sesuai perkiraan, dia terlihat bingung, “Apa maksud… lu?”

“Yaah, gw baru tau hari ini dari Maximus Khortenio, kalo ternyata Ayah menikah dengan Corite. Ibu gw seorang Corite, Ka. Selama ini, semua cerita Paman Ren itu kebohongan belaka.” Mata Elka melotot selebar-lebarnya saat tatapan kami bertemu. Reaksi yang gampang ditebak, “Gw setengah Corite.” Perempuan ini ga bilang apa-apa. Belum sanggup berkata-kata, barangkali. “Fakta yang cukup gila, kan?” Ujar gw sambil kembali menatap keluar jendela, “Sekarang ga yakin, tentang apa yang harus gw lakukan.”

Beberapa saat, masih belum ada tanggapan dari lawan bicara. Ini gw lagi ngomong sendiri apa ya? Akhirnya, pas tengok ke belakang, mendapati sosok perempuan berambut coklat itu lagi genggam cutter yang gw taro di meja belajar, dengan tangan kanannya, “Uhm… Ka…?” Mata coklat tersebut ga berkedip, fokus ke depan, “Ka, hey… Elka.” Beberapa kali gw jentikkan jari di depan matanya.

Si Infiltrator berkedip cepat, sebelum geleng kepala, “Ya?”

“Ngapain lu pegang-pegang cutter?”

“Engga. Gw ga pegang cutter.”

Gw menunjuk tangan kanannya, tanpa bilang apa-apa.

Raut kebingungan muncul ga cuma di wajah gw, tapi juga di wajah Elka yang seraya angkat tangan kanan setinggi dada, menatap cutter terkait penuh curiga, “Kapan gw…? Kenapa bisa…?”

Kedua bahu gw terangkat, gestur ga tau apa-apa. Kenapa dia malah balik nanya? Mana mungkin benda tajam itu berpindah sendiri ke tangannya, kalo bukan gegara dia yang ambil. Dengan cepat, Elka mengembalikan cutter itu ke atas meja belajar. Biarpun masih dalam keadaan bingung.

Gw coba untuk anggap keanehan itu bukan masalah besar, dan kembali ke topik obrolan sebelumnya, “Lu dengar ga sih, ocehan gw tadi?”

“Iya, dengar. Kabar yang mengagetkan. Gw sempat ga bisa ngomong. Tapi… apa lu yakin, 100 %, kalo lu benar-benar punya darah Corite?”

“Sumbernya sih terpercaya.” Mata gw tertutup, mengingat lagi kenangan orang lain, tentang siapa orang tua gw sebenarnya, “Gw yakin, itu emang benar.”

Terasa sepasang telapak tangan bersentuhan dengan kulit leher gw. Begitu buka mata, gw agak tersentak liat Elka mendadak berdiri amat dekat. Kedua telapak tangannya udah melingkar di batang leher gw, meraba tanpa tenaga. Tatapan matanya persis kaya tadi, lurus ke depan tanpa kedip, “E-Elka? Lu baik-baik aja?”

Sekali lagi, Elka berkedip cepat beberapa kali, kemudian gelengkan kepala, “Ya, tentu…” Sorot mata Elka balik seperti semula, “… gw baik-baik aja.” Masih tersisa tanda tanya saat dia liat tangannya sendiri berada di leher gw. Tempo napasnya sedikit naik.

Apa dia berusaha…? Ahha… ga, ga. Mustahil.

Ga ada perubahan sama sekali dari tekanan Force perempuan ini. Kalo emang pengen melakukan sesuatu, biasanya Force tukang jagal bakal memenuhi udara. Tapi, dari tadi ga terasa apa-apa. Gw bahkan ga bisa merasakan pergerakan yang dia lakukan. Lagian, ngapain juga dia….

Elka melepas rabaan dari leher ini. Jadi, kedua kalinya gw coba abaikan tingkahnya tadi.

Punggung gw bersandar, kedua siku bertumpu di bingkai jendela, sembari dongak. Helaan napas panjang, keluar dari hidung, sebelum berujar, “Gw sampe pada masa dimana sering merasa tersesat. Bukan cuma karena ga punya pegangan dari awal, tapi sekaligus terlalu banyak kebohongan. Gw mau marah, Ka. Pada Paman Ren yang sembunyikan kebenaran. Mau kesal, pada Maximus Khortenio yang terlalu lama menyimpan kebenaran itu. Juga… mau meluapkan emosi seluruhnya… pada keputusan Ayah yang lebih milih tinggalkan gw, anak semata wayangnya, demi Federasi. Tapi, semua percuma. Mereka ga patut disalahkan. Dan ga bakal bikin keadaan lebih baik. Kadang, gw merasa satu-satunya jalan terbaik, ya… semua dipendam sendiri. Tapi… ujung-ujungnya, jadi terasa pahit.”

“Kalo lu mau salahkan orang lain, atau Federasi, silahkan. Gw ga akan bilang apapun untuk bikin lu berubah pikiran.” Tanggapannya cukup ga terduga. Mata coklat dan ungu, saling beradu, “Tapi jangan lupa, Lake. Gw ga peduli lu setengah Corite, atau bahkan setengah mesin, atau… setengah apalah. Gw cuma peduli pada seorang yang bernama Lake Grymnystre. Bagi gw, fakta kalo lu setengah Corite, ga bakal mengubah jati diri lu yang selama ini gw kenal. Lelaki dungu yang gw sayang, yang udah janji ga bakal tinggalkan gw apapun yang terjadi.” Elka berkata panjang lebar, “Cukuplah hal itu jadi pengingat, tapi jangan sampe mengubah lu yang sekarang. Jalani aja kehidupan seperti biasa.” Dia memindahkan pandangan ke lantai.

“Tapi… gimana seandainya gw ga bisa… cuma jadikan itu sebagai pengingat ? Gimana kalo gw ga bisa lagi jalani hidup seperti biasa?” Respon gw terhadap omongannya, “Ga bisa menyangkal kenyataan kalo… gw juga menumpahkan… darah Corite… yang jadi bagian dari diri gw, Ka.” Bahkan, kedua tangan ini udah pernah mencabut nyawa. Shite! Jadi ada pertentangan gini antara kewajiban sebagai Prajurit Federasi, dan suara hati sendiri!

Wajar sih. Waktu itu, pertama kalinya gw menghentikan napas seseorang. Ya, sebagai Prajurit, tentu kita udah kenyang menerima pelatihan untuk membunuh atas nama Bangsa yang kita bela. Mulai dari teori strategi, sampe ke simulasi pertempuran nyata. Tapi tetep aja, bagi gw pribadi, mencabut nyawa seseorang bukanlah pengalaman yang mengenakkan. Kita ga berhak tentukan siapa yang harus mati, dan kapan waktunya tiba.

“… Lu terlalu baik buat turun ke medan perang,” Kata Elka, menyungging senyum tipis, “berhenti salahkan diri lu sendiri atas kematian Corite itu. Lu melakukan apa yang harus lu lakukan untuk bertahan hidup, dan tepati janji pulang dalam keadaan utuh…” Walau bibirnya senyum, matanya menatap gw dengan sendu, sambil menepuk dada gw sekali, pake punggung tangan kanan, “… Entah gimana, lama-lama lu akan menemukannya. Keseimbangan antara jadi siapa yang lu harapkan, dan jadi siapa yang lu butuhkan. Tapi untuk sekarang, lu cuma harus menerima diri lu apa adanya.”

Yup. Ga mungkin dia berniat melakukan sesuatu yang ga masuk akal setelah liat gelagatnya lebih lanjut. Astaga, gw jadi merasa bersalah udah mikir aneh-aneh.

“Hey,” Gw tersenyum dengar ‘ceramah’ Elka. Sedikit lega. Membawa tangan gw usap-usap rambutnya yang masih acak-acakkan, “Gw ga akan berubah. Janji.”

Elka juga tersenyum kecil, terus langsung menguap, pertanda kantuk mulai menyerang, “Gw tidur duluan ya. Mendadak agak pusing nih.”

“Ka…” Panggilan gw, bikin dia melirik, “… gw juga sayang lu.”

“Uuu~” Elka berbalik, lalu mencubit kedua pipi gw, seraya ditarik ke arah berlawanan! “Manisnya.” Dia nyengir lebar, tanpa tau kalo gw lagi menderita. Pasalnya, cubitan itu lumayan keras!

“Adududuh! Pipi, pipi, PIPI!”

Puas nyiksa, Si Infiltrator menghempaskan tubuh ke atas kasur, langsung setting posisi biar dapat posisi enak. Gw masih memandang sosoknya yang mulai pejamkan mata, sambil mengelus-elus bekas cubitan. Memikirkan lagi perkataan Elka barusan. Benar juga sih. Bellato, Cora, apa bedanya? Apa pentingnya? Gw dibesarkan sebagai seorang Bellatean, untuk hidup sebagai Bellatean. Dan sebagian Corite dalam diri ini, ga akan mengubah jati diri gw yang sekarang. Ga bakal mengubah jalan yang udah gw pilih. Ga bakal mengubah apapun.

Gw tutup jendela kamar, lalu beranjak matikan lampu, dan ikut merangkak naik ke sisi kosong kasur dengan ati-ati. Kami saling berbaring berhadapan. Tanpa peringatan, gw kasih kecupan di dahi, buat pengantar tidur, “Selamat malam, selamat tidur.” Kemudian, gw langsung balik badan, kembali dengan tembok tersayang.

“… Makasih,” Gumam Elka dari balik punggung gw, “selamat malam juga.”

“Oh ya, satu hal lagi.” Gw berkata, masih pada posisi yang sama.

“Mm?”

“Lu pernah ciuman ga, Ka?”

“Barusan kan lu nyium gw.”

“Bukan, bukan ciuman macam itu. Maksud gw di bibir.”

“Belum. Kenapa emang?”

Gw berbalik, dan menatap wajahnya yang masih pejamkan mata. Jarak kami begitu dekat, kalo gw jahat, udah pasti ga akan buang kesempatan kaya gini, “Apa yang bakal lu lakukan, kalo gw cium lu sekarang?”

Elka terdiam, buka mata, dan kasih tatapan ga senang begitu pertanyaan tadi terlontar, “Gw hajar muka lu sampe jadi kue dadar.”

Buset dah ni anak, ganas bener. Kayanya lebih baik bicarakan lain kali aja, “Oke, gini deh. Anggap gw ga pernah nanya hal itu.”

.

.

Sektor Armory 213, waktu bersamaan…

Teritorial garis depan Accretia berada di tengah daratan berpasir, terlihat sibuk di antara kegelapan yang mengepung. Sesuai titah Archon, diturunkan lebih dari seminggu yang lalu, hari ini adalah hari yang ditetapkan, dimana mereka akan melakukan pendudukan di Sektor Solus.

Agendanya adalah tentang memberi tekanan lebih pada Pasukan Federasi di Sektor tersebut, dengan harapan Pasukan Kekaisaran mampu melebarkan sayap dari segi daerah kekuasaan. Tentu hal ini, bisa dipastikan ga bakal mudah. Negosiasi jelas bukan pilihan. Karena mereka tau, Federasi ga akan menyerahkan Sektor Solus tanpa perlawanan.

Pertempuran ga akan bisa terhindarkan. Oli mesin serta suku cadang akan berhamburan saat matahari berada tepat di atas daratan Solus. Tapi, Warwick, Sang Archon Kekaisaran, akan pastikan, bila akan ada juga darah yang mengalir dari pihak pasukan kurcaci.

Saat ini, Sang Archon tengah memastikan persiapan yang dilakukan oleh beberapa Satuan Tugas dari Pasukan Kekaisaran. Didampingi seonggok Ajudan yang berdiri di belakangnya, Cyborg berzirah hitam dengan strip hijau.

“Laporkan status saat ini, Darkmaul.” Ujar logam berzirah putih.

“Siap, Legion. Hingga saat ini, persiapan telah mencapai 85%. Armada Udara telah siap diluncurkan kapan saja. Unit Bombard Kekaisaran perlu melakukan maintenance ringan sebelum dapat beroperasi penuh. Sedangkan, Infantri Mobil tinggal jalani pengecekan ulang. Secara keseuruhan, semua sesuai jadwal, Legion Warwick.” Jelas Si Ajudan lugas.

“Bagus.” Balas Warwick, “Hari ini, akan jadi hari dimana Benteng Solus akan runtuh.”

Si Ajudan menganggukkan kepala logamnya sedikit, “Hidup Kekaisaran!” Menyuarakan sanjungan pada Kekaisaran sebagai bukti loyalitas.

Sorakan Darkmaul semata-mata karena ketidak-tauannya tentang agenda terselubung yang dimiliki Warwick di balik rencana penyerangan ini. Yaitu, apa lagi kalo bukan menangkap seorang Bellatean istimewa. Grymnystre terakhir. Tiap serat kehidupan pada tubuhnya adalah bahan penciptaan Grymnystone, yang merupakan kunci kebangkitan dari mesin mengerikan. Sebuah mesin yang sanggup menghancurkan bintang putih, Star Eater.

Warwick telah hidup cukup lama, untuk memahami seperti apa kengerian Star Eater. Mungkin Sang Archon luput ikut ambil bagian dalam Perang Suci Sette 215 tahun lalu. Karena kala perang itu pecah, dirinya baru keluar dari pabrik. Tapi, dari database informasi yang dimiliki Kekaisaran, dia sudah tau apa aja yang bisa dilakukan mesin itu. Satu hal yang ga diketahui, yaitu keberadaan dari mesin pemusnah bintang tersebut.

Ada kemungkinan, Star Eater terkubur di suatu tempat di Gurun Sette, tempat terakhirnya berada dulu. Terlupakan, berkarat, tertidur. Namun, hingga hari ini, teori tersebut belum terbukti. Mesin itu masih hilang tanpa bisa dilacak. Menurut hipotesis awal dari Sang Archon Kekaisaran, cuma pihak Ultimatum yang tau keberadaannya.

Mengingat organisasi tersebut bersikeras sempurnakan Grymnystone yang baru. Buat apa segitu ngototnya punya Grymnystone baru, tanpa Star Eater? Kecuali mereka tau di mana letak keberadaan dari objek terkait.

Bila Ultimatum berhasil meraih anak itu, bukan cuma Novus yang terancam, tapi juga Kekaisaran secara keseluruhan. Planet asal- bukan, bahkan gugus galaksi dimana Planet Novus, serta Accretia berada, akan ada di ambang kepunahan. Warwick ga bisa sekadar diam, dan jadi penonton. Kekaisaran wajib menyiapkan rencana antisipasi. Dan dialah yang akan jadi motor penggerak rencana tersebut.

Walaupun harus menyembunyikan secuil kebenaran kritikal dari sisa Pasukan Kekaisaran lainnya.

Dia telah hidup cukup lama, untuk melihat kehebatan para petarung Grymnystre yang melegenda. Para kurcaci buas berambut kelabu yang telah lama ditelan daratan Novus, kini yang tersisa telah kembali… menggelitik rasa penasaran Warwick lebih jauh.

“Legion Warwick.” Serta-merta, di pandangan optiknya, muncul kotak dialog, menampilkan sosok Accretia lain, memberi salam hormat di tengah pemikiran Warwick.

Sang Archon berzirah putih memberi gestur pada Darkmaul untuk meninggalkan tempat ini. Agar bisa bicara secara pribadi, “Linkbuster. Laporkan status.”

“Intel terakhir dari Scattershot, belum ada tanda-tanda Federasi bersiaga di Sektor Solus.” Jelas Linkbuster, “Dengan kata lain, mereka belum sadar apa yang akan menabrak gerbang utama Benteng Solus.”

“Sesuai ekspektasi kita, Linkbuster. Saya harap kamu bisa memimpin tim yang baru dibentuk, untuk melaksanakan objektif spesial ini.” Balas Sang Archon dengan nada rendah.

“Mereka kumpulan Prajurit yang agak susah diatur, dan liar. Tapi, saya yakin dengan kemampuan individu masing-masing anggota.”

“Harus,” Ujar Warwick, “Kemampuan individu belum cukup, kamu harus bisa buat mereka bekerja sama.”

Linkbuster terdiam, berpikir sejenak, menimbang perkataan Warwick, “Itu, akan saya lakukan semaksimal mungkin. Demi kejayaan Kekaisaran, akan saya buat mereka kerja sama, biarpun harus preteli onderdil yang mereka punya.”

“Sikap seperti itulah yang bisa mengukuhkan superioritas Kekaisaran di depan para musuhnya. Terima kasih atas laporanmu, Linkbuster. Kamu boleh mengakhiri komunikasi.”

Usai kasih sikap hormat, Linkbuster memutuskan video call. Warwick sendirian, kembali mengawasi persiapan perang yang tinggal di depan mata optik ciri khas Bangsa beranatomi logam.

Pada pandangan mata optik Warwick, di sisi kirinya, terpampang profil lengkap dengan foto Bellatean berambut kelabu, yang jadi target operasi kali ini. Perhatian Warwick tertuju pada statistik kemampuan yang terbilang standar.

Tenaga : 4/10
Kelincahan : 8/10
Kecepatan : 10/10
Force : 5/10
Ketenangan : 5/10
Kemampuan Tempur : 7/10
Kerja sama : 6/10
Stamina : 7/10
Ketahanan : 3/10
Signature Skill : Accel Walk

“Susah dipercaya, Prajurit ga berguna seperti ini adalah seorang Grymnystre, dan mampu merepotkan Gabber.” Gurau Warwick pada diri sendiri, sedikit melecehkan, “Saya pastikan, kamu ga akan bisa lari.”

.

.

Di tempat lain, tepatnya Bengkel Armor di Markas Besar, Gabber tengah melakukan pengisian ulang tenaga. Seharian ini dia berlatih pertajam kemampuan tempur yang dia miliki, berharap bisa mencapai level lebih tinggi. Bahkan, sampai ketika pengumuman tentang diwajibkannya tiap anggota Infantri Mobil untuk istirahat bergema, dia seolah menolak untuk patuh.

Otak organiknya terus ingatkan diri sendiri, ga ada waktu untuk istirahat. Prajurit berpangkat Centurio tau, si cebol berambut kelabu itu lebih hebat dari data statistik yang dia berikan untuk Archonnya.

Entah apa ada kesalahan sistem pada Battle Record, atau memang sistem tersebut ga bisa dipercaya dari awal. Tapi satu hal Gabber yakin, dialah yang pernah menghadapi Lake, dialah yang tau pasti seperti apa kapabilitas Sentinel muda itu.

“Baru isi ulang, eh?” Salah satu dari anggota tim barunya, menghampiri. Accretia berarmor merah, yang paling dekat dengannya. Atau… sok dekat. “Benar-benar pekerja keras.”

“Matikan prosesor suara lu, Ironall. Ga ada yang minta pendapat lu.” Balas Gabber ketus.

Ironall terheran, masih aja partnernya bersikap asing pada sesama, “Geez, bisa-bisanya Kekaisaran membangun mesin penggerutu.” Bikin Gabber mengunci optik padanya, namun Ironall tampak ga peduli, dan duduk bersila di sebelah Gabber. “Jadi, apa pendapat lu tentang tim baru kita? Gw ga suka dengan Crosshair, terlalu susah dikendalikan.”

“Gw ga suka kalian semua.”

“Entah kenapa, gw ga heran kata-kata itu bakal keluar dari prosesor suara lu.” Ujar Ironall sarkas, sembari pukul bahu Gabber yang lagi ga pake Armor biru navy, menghasilkan dentingan logam beradu, “Seberapa kuat Si Grymnystre itu, sampe bisa bikin lu terus terpikir untuk melampauinya?”

Lagi-lagi, Gabber menoleh, “Apa lu bisa baca pikiran?”

“Ah, ayolah. Ga perlu kemampuan omong kosong itu untuk cari tau.” Sanggah Si Partner berzirah merah, “Mungkin lebih tepat kalo disebut… intuisi.”

“…” Gabber terdiam sejenak, “… Dia lemah, tapi sulit dikalahkan. Dan itu benar-benar bikin gw kesal.” Tangan logam Si Punisher terkepal,

“Lemah tapi sulit dikalahkan? Apa sekarang logika lu mulai terkontaminasi virus?” Ledek kawan Mercenary, “Itu dua premis yang saling berlawanan.”

“Terserah.” Gabber ga tertarik berdebat, “Sebaiknya, jangan buang waktu lu buat istirahat, Ironall. Persiapkan diri lu untuk situasi ga terduga.”

Ironall berdiri, ingin beranjak dari situ karena liat kawannya sama sekali ga ada niat berbincang lebih jauh. Dia berkata, sebelum ambil langkah berat, “Istirahat juga salah satu bagian persiapkan diri untuk situasi ga terduga, Gabber.”

Logika tiap individu emang ga bisa dipaksakan. Bila ada individu lain yang berpikiran beda, itu adalah hal wajar. Asalkan tujuan akhir dari logika tersebut sama, hal itu bukanlah masalah besar. Dan Gabber, sama sekali ga permasalahkan perbedaan pemikiran yang dimiliki Ironall. Membiarkan kawan Mercenary tersebut berpikir apapun yang ia mau, selama ga mengganggu logikanya sendiri.

.

.

Ranger Mesh, Kamar Lake…

Terasa baru sebentar tidur, eh tau-tau sinar matahari mulai menyusup diantara celah tirai. Faak. Gw benci keadaan dimana harus menyesali waktu yang begitu cepat berlalu. Tumben, Elka masih terlelap. Biasanya, dia selalu bangun lebih pagi. Mungkin gegara pusing tadi malam.

Usai gw ngumpulin nyawa, cuci muka, buang air, dan sebagainya, barulah Elka terbangun. Duduk di atas kasur, sambil meregangkan tangan, “Pagi.” Ucapnya, sambil menguap.

“Pagi.” Balas gw singkat. Waktu di Log misi menampilkan angka 08.37.

Dari duduk, Elka kembali membenamkan wajah ke bantal kepala, “Masa gw telat bangun.”

Gw menanggapi sembari sikat gigi, “Baru jam segini.”

“Ini udah siang bagi gw. Uuh…” Haha dasar anak pagi.

“Mungkin lu terlalu lelah. Ngapain aja sih kemarin?”

“Ga ngapa-ngapain.” Jawabnya singkat.

Tetiba, Log misi gw berbunyi. Menampilkan notifikasi misi dari Satuan Tugas Gabungan terkait kerusuhan yang dilakukan segelintir pasukan Corite di Sektor Solus, “Apaan nih, Ka?”

“Mm?” Elka membuka sebelah kelopak matanya. Gw sodorkan aja bacaan yang tertera di layar Log misi, “Ooh, itu. Berapa hari belakangan, ada anggota Aliansi Suci yang melakukan tindakan berbahaya ke Kadet-Kadet kita yang lagi latihan di Sektor Solus.”

“… Korbannya?”

“Belum ada yang tewas. Cuma luka ringan, tapi tetap aja ganggu banget.” Jelas Elka. Matanya balik terpejam.

“Terus, udah ada tindakan lebih lanjut?”

“… Pelakunya jago melarikan diri. Gw aja sempat kehilangan jejak mereka.”

” ‘Mereka’?”

“Ya, dari petunjuk di tempat kejadian, gw berasumsi pelaku sedikitnya ada dua orang.”

Log misi bunyi kedua kalinya. Kali ini adalah instruksi bagi anggota Satuan Tugas Gabungan yang ga menjalankan misi, untuk patroli di daerah perkara. Supaya gampang jadi bala bantuan mengusir para perusuh Cora, “Kayanya, mereka bakal beraksi lagi. Gw ke sana deh.”

“Emang luka lu udah pulih sepenuhnya?”

Sejenak, pergelangan tangan kanan gw putar-putar. Luka luar emang udah sembuh, tapi untuk keretakkan tulang, sebenarnya masih butuh waktu lebih, “Sebagian besar sih udah, tinggal nyeri-nyeri unyu aja yang masih tersisa.”

“Boleh gw ikut?”

Pertanyaan itu sukses mengalihkan perhatian gw. Mata coklat itu ga lagi tertutup, dan dia ga lagi berbaring miring, melainkan udah berdiri. Ini nih. Pasti dia maksa pengen ikut. Tapi ya udahlah, udah lama juga ga jalani misi bareng Elka. Lagian, dia juga bagian dari Satuan Tugas Gabungan. Gw ga bisa melarang, “Tentu. Kenapa engga.”

Ga butuh waktu lama untuk menunggu Elka bersiap. Kurang dari 15 menit, Si Infiltrator udah balik ke kamar, mandi, mengenakan armor merah strip putih, lengkap dengan pelindung kepala dan sarung tangan, serta menyiapkan peralatan yang harus dibawa.

Kami tiba di teleport Solus melalui teleport utama di Markas Besar Federasi. Biarpun masih pagi, tapi keadaan udah cukup ramai. Para Kadet muda lalu lalang, berniat untuk melatih diri dan menyelesaikan misi. Distrik pertokoan biasanya udah mulai beroperasi sejak jam 7 pagi. Tapi masih tampak ada beberapa toko yang belum mulai cari rejeki.

Sebelum beranjak keluar Benteng, kita sarapan terlebih dulu. Lapar. Dari kemarin malam, perut gw belum diisi apa-apa, kecuali seperempat potong kue keju blueberi. Raut jengkel tergambar di wajah Elka, saat gw ambil satu kaleng soda. Dia diam aja, tapi udah cukup membuat gw batal beli, dan ganti sekotak susu stroberi.

Demmit.

Menurut laporan Log misi, tempat para perusuh itu beraksi ada di beberapa titik. Kata Elka, mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain tiap hari. Namun, ada satu daerah yang pasti mereka lewati. Yaitu, Hutan Crawler. Si Infiltrator sempat ditugaskan dua kali untuk mengevakuasi para Kadet ke zona aman, sekaligus menjauhkan perusuh Cora dari sana. Sayang, tukang santet tersebut belum berani menampakkan hidung di depan dia.

Belum diketahui apa tujuan mereka menyerang, tapi kali ini, kita yang akan sergap mereka sebelum sempat melakukan apa-apa!

“Menara Kontrol Solus di sini, kami telah menerima sinyal permintaan bantuan dari salah satu Kadet Ranger Corps di daerah Hutan Crawler. Ada indikasi, penyerangan kembali terjadi. Bagi Prajurit-Prajurit Senior yang berada di lokasi terdekat, harap merespon panggilan ini.” Log misi gw dan Elka, menerima instruksi yang sama. Gw memasang perangkat telinga supaya memudahkan komunikasi, juga berfungsi buat peredam suara.

Karena kebetulan kami lagi menuju ke Hutan Crawler, ya udah, gw jawab aja panggilan itu, “Di sini Captain Lake, dari Skuad pertama Resimen 18, Satuan Tugas Gabungan. Kami sedang dalam perjalanan.”

“Dimengerti. Saya akan kirimkan koordinat suar diluncurkan. Keselamatan Kadet jadi prioritas utamamu, Captain. Pastikan semua Kadet Ranger, Warrior, Spiritualist, maupun Specialist yang berada di Area sekitar bisa kembali ke zona aman. Siapa lagi yang pergi bersamamu?”

“Captain Elka Nordo, Skuad ketiga Resimen 22, Satuan Tugas Gabungan.” Jawab Elka sigap dari Lognya sendiri.

“Baiklah, lakukan yang terbaik, Captain. Kami percayakan para Kadet muda pada kalian.”

Kami membalas bersamaan, “Siap!”

Sesampainya di Hutan Crawler, keadaan ga seramai biasanya. Masih ada Kadet Warrior, ataupun Spiritualist sedang berlatih, dan ga tau tentang peristiwa serangan yang tengah terjadi. Kami kasih peringatan ke beberapa Kadet yang kami temui untuk menjauhi daerah ini.

Ga sedikit juga dari mereka yang menawarkan bantuan. Gw hargai keberanian mereka, tapi… sesuai instruksi, keselamatan Kadet muda Federasi harus diutamakan.

Ada satu Kadet Ranger lari-lari dengan napas tersengal, “To-tolong, Senior! Kami diserang dua Prajurit Aliansi Suci!”

“Tenangkan dirimu, Prajurit. Berapa temanmu yang masih di sana?” Kata Elka, ambil alih pembicaraan.

“Ti-ti-tiga… mereka… me-mereka…”

Gw ga sempat dengar kelanjutan kalimat Kadet Ranger itu. Soalnya, udah keburu aktifkan booster dengan settingan maksimal, dan meluncur secepat mungkin. Satu-satunya yang kedengeran… adalah teriakan Elka, “LAKE!”

Maap, Ka. Namanya ada yang butuh bantuan, mana sempat buang waktu dengar penjelasan terbata-bata begitu.

Bau bahan bakar booster, perlahan mulai memenuhi hidung. Diantara hijaunya pepohonan Hutan Crawler, gw menemukan mereka! 3 Kadet yang lagi disudutkan oleh dua Spiritualist Corite. Seorang Kadet Warrior, tampak di garis paling depan, berusaha sekuat tenaga jadi pelindung agar dua kawan Spiritualistnya leluasa merapal mantra balasan. Para Kadet itu kewalahan!

Kedua perusuh Corite tersebut ternyata pasangan Grazier pria-wanita. Salah satu diantara mereka mengendalikan Isis emas yang lagi beradu pedang dengan Kadet Warrior. Yang bikin gw ga percaya, adalah kenyataan kalo Si Grazier wanita punya rambut ungu dikuncir ponytail, dan wajah super lucu ga asing. Karena… dulu gw pernah ketemu dia… di Ether.

Faranell!? SERIUS!?

Dia menodongkan tongkat emas pada Kadet Warrior bersenjatakan Claymore yang udah kelelahan. Dua kawan Spiritualist di belakangnya keliatan panik, salah satu yang perempuan, meneriakkan nama Si Warrior, “DAGONET! MENGHINDAR!”

Flame…” Faranell mulai mengucap mantra. Secercah pendar kuning kemerahan, terbentuk di ujung tongkat sihir itu. Shite! Shite! Shite! Ga bakal tepat waktu nih! “… Burst.

“FARANELL!” Gw teriak, dengan harapan bisa bikin perhatiannya teralih.

Dan itu berhasil! Dia menoleh ke arah gw yang mendekat cepat, lalu tersentak gembira, “Lake!

Tapi… terlambat. Karena mantra yang diucapkannya, tetap membentuk bola api, dan masih mengancam nyawa Kadet bernama Dagonet. Arrgh! Apa boleh buat!

Serta merta, waktu berjalan lebih lambat, bikin otak gw mampu menyerap informasi lebih cepat. Mengamati lebih dalam keadaan sekitar, lalu ambil keputusan terbaik tentang apa yang harus dilakukan sebelum sampe sedetik. Kecepatan gerak gw meningkat drastis, dan mencabut keluar Twin Razer Blades.

Sukses persempit jarak sekejap, gw hantam tongkat sihir Faranell dari atas, pake dua pedang yang tergenggam di tangan secara bersamaan. Bola api tercipta dari udara tipis, meledakkan permukaan tanah di depan kami! Dataran hijau yang ditutupi rumput, seketika jadi gosong di titik itu.

“Lari!” Seru gw pada Kadet-Kadet itu, “Gw akan tahan mereka.”

Entah apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kenapa Faranell menyerang Kadet muda, yang bahkan belum lulus pelatihan, pake mantra api mematikan? Mata gw berpindah ke kawan lelaki Si Grazier wanita, ga jauh dari situ. Dia itu tempo hari pernah nyuruh Paimonnya nabrak gw. Ga tau deh siapa namanya. Faranell ga pernah kasih tau.

It’s him! Finally!” Ujar Grazier lelaki. Raut kelegaan terpapar di wajahnya.

Dagonet bangkit, dan kembali menyiagakan kuda-kuda di sebelah gw. Tanda belum mau mundur dari pertarungan. Boleh juga semangatnya. Tapi, ga bisa gw biarkan, “Ga perlu melawan, Kadet. Bawa kawan-kawan lu ke zona aman.” Dia balas menatap tajam, sembari geleng kepala satu kali. Cakep. Inilah yang gw butuhkan untuk selesaikan masalah. Kadet keras kepala, “Lu udah bertarung dengan baik. Tapi lu harus tau batas tubuh sendiri.” Mata kelabu Si Kadet, menatap permadani rumput.

“Dagonet, ayo!” Seruan kawan Spiritualist perempuannya.

Pandangan Si Warrior muda mengunci perempuan berambut merah kecoklatan tersebut, lalu sejenak balik lagi ke gw. Sadar akan hal itu, gw beri anggukan kecil, “Ga apa. Pergilah!”

Akhirnya, dia beranjak dari tempat itu. 3 Kadet tersebut lari ke arah Timur, arah gw datang barusan. Gw tunggu sampe mereka jauh, sebelum bertindak lebih lanjut.

Begitu Kadet-Kadet tersebut ga keliatan lagi, gw berujar pada duo Grazier, “Oke, bisa tolong jelaskan…” Nada gw sedikit tertahan, “… Apa-apaan ini!?” Mendadak jadi naik, ditambah raut muka kesal.

Faranell dan kawannya malah tersenyum, lalu mengeluarkan Jade Talk dari inventori mereka, “Tes, tes, satu dua, satu dua… ehem… apa alat ini berfungsi?” Ucap perempuan berambut ungu. Sebelah alis kelabu gw terangkat, “Tes, tes… heyy, cebol. Kamu paham ga sih? Gann, kayanya ini rusak deh.”

“Hmm, mungkin. Liat tuh mukanya, kebingungan gitu.” Kata lelaki yang dipanggil Gann.

Etdah, bisa-bisanya… udah lama ga ketemu, sekalinya ketemu langsung ngatain seenak jidat, “Uhm… lu kan termasuk cebol untuk ukuran Corite… jadi ga perlu ngatain orang lain cebol, okey?” Perlu diingat, tinggi gw sedagu Faranell. Sedagu! Ga beda jauh! Jadi ga pantes lah dia bilang gw ‘cebol’! Grrr!

“Eh, dia paham! Alatnya ga rusak! Hehehe!” Faranell ketawa begitu renyah. Ahha, suka deh liatnya. Dia masih kaya dulu, rupa senang yang bisa bikin pria manapun muntah pelangi.

“Ugh!” PLAAAK! Gw menampar pipi sendiri sekeras mungkin. Akibat sesaat terbuai oleh ekspresi wajah ‘paling berbahaya’ itu.

Faranell dan kawannya terlonjak liat tindakan gw, “Ke-kenapa… dia?” Tanya Si Grazier lelaki.

“Aku ga pernah paham dengan jalan pikirannya,” Sepasang mata kuning Faranell seakan ga bisa berkedip, seraya angkat kedua bahu, “dulu aja, dia pernah jedotin kepala ke lantai tanpa sebab yang jelas, waktu kami terjebak di dimensi lain.” KARENA WAKTU ITU, LU BANGUN SAMBIL MENDESAH! FAAK! DAN KENAPA JUGA LU HARUS INGAT BAGIAN ITU!?

“Oke, stop! Ga perlu dibahas! Yang penting, apa-apaan lu berdua!? Main terobos territorial Federasi dan menyerang Kadet-Kadet muda!?” Nah kan, jadi rada sewot, “Apa kerusuhan kemarin-kemarin, gegara kalian juga?”

Kedua Grazier Aliansi Suci di hadapan gw, saling pandang beberapa saat, sebelum Faranell berujar, “Ya. Udah 5 hari kami coba melakukan kontak denganmu, Lake.”

Kelopak mata gw melebar, “Tu-tunggu, apa!?”

“Faranell bersikeras untuk ketemu kamu buat bicarakan sesuatu. Tapi, kami ga tau gimana harus menghubungimu… jadi…” Kali ini, giliran Gann yang berkata.

“Jadi… kalian lebih memilih rusuh di wilayah Federasi, supaya gw mendatangi kalian…?” Tanya gw memastikan.

Liat mereka berdua mengangguk pake muka tanpa dosa, gw tepok jidat, sambil bergumam sendiri, “Dan gw kira, gw ini idiot…” Rencana macam apa itu!? Astaga! “Apa kalian ga kepikiran cara lain yang lebih baik, tanpa harus bikin celaka Prajurit lain, atau menarik perhatian Federasi!?”

“Rencana lain kaya apa, coba!? Dari tadi kesal terus! Coba kalo kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan!?” Balas Faranell, ikut-ikutan jengkel.

“Ya mungkin… entahlah, lu punya Jade Talk. Bicara, mungkin bisa jadi ide bagus.”

“A-ahh, euhhmm… i-iya juga sih.”

Kawan lelakinya menyela, “Kamu kira, bakal sesederhana itu? Ga semua Bellatean mau mendengar kami, Lake Grymnystre. Kami ga bisa ambil risiko tersebut.”

Ahh, benar. Perang antara ketiga Bangsa ini, emang menyulitkan sampe ke berbagai tingkat kehidupan, ya. Gw rasa, mereka juga ga mau repot-repot melakukan ini. Tapi, kalo segini niatnya, berarti apa yang mau dibicarakan Faranell, bisa jadi hal penting, “… Jadi, ada perlu apa dengan gw, sampe bikin kalian 5 hari rusuh di Sektor Solus?”

“Sebelum bicara lebih lanjut,” Faranell sekali lagi tersenyum, manis banget bak gulali, sembari mengulurkan tangan kanan, “senang ketemu denganmu, Lake. Udah cukup lama, ya? Aku suka potongan rambut barumu.” dan mengulang reuni dadakan ini dari awal.

Bikin gw terpaku sejenak, sebelum membalas uluran tangan itu sambil tersipu, “A-ah, ya… sama-sama. Rambut lu juga bagus.”

Mendadak, gw merasakan tekanan Force pekat! Grazier lelaki bernama Gann, menarik tubuh Faranell ke belakang, kemudian langsung panggil Paimon. Hmm, dia juga merasakannya. Suara senapan meletus bagai petir menyambar, terdengar dari jarak yang ga begitu jauh! Lengan Paimon yang melindungi Faranell, sampe tersentak kuat akibat kena Lightning Bullet. Gw kenal suara itu. Cuma ada satu senapan yang hasilkan suara seperti barusan, Pinvlad SVR-3, Lightning Strike.

Peristiwa itu terjadi amat cepat. Gw tengok arah datangnya tembakan, di sana Elka berdiri memegang senapan runduk hitam sepanjang 1550 milimeter yang masih berasap dari moncong. Di kedua mata coklatnya terefleksi tanda X dengan lingkaran tepi, “Membunuh dua Corite ga bakal makan waktu lama.” Ucapannya begitu menekan, sembari mengokang guna buang selongsong peluru.

“Liat, kan? Itulah kenapa kita ga bisa sekadar bicara dengan Bellatean lain.” Ujar Gann, memperjelas pernyataan yang tadi.

Tatapan Faranell berubah panik seketika. Mampus dah mereka. Ehem… gw juga sih… kayanya.

Holy shite! My Mom is crazy!” – Lake (Ch. 40)


CHAPTER 45 END.

Next Chapter > Read Chapter 46:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-46/

Previous Chapter > Read Chapter 44:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-44/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Catatan Author:
Elka punya 4 senjata yang biasa digunakan pada situasi berbeda. Senapan runduk (Sniper Rifle) bernama Lightning Strike, pelontar granat (Grenade Launcher) kaliber 50 mm; Ruth Redemption, sepucuk pistol (handgun); Guilty Pain, dan sebilah pedang tipis sepanjang 45 cm; Sinful Firefly. Adapun skill set yang dia miliki: X-Struck, Y-Trap, Zero/Z-Dive Resonance, Bullet Bending, Cloaked In Silence.
Sebagai pengingat, siapa-siapa aja anggota tim khusus bentukan Warwick: Linkbuster (LB-12), Cloudrake (CL-03), Crosshair (CS-271), Ironall (IL-01), Gabberwockie (GR-133), Scattershot (SS-101).
The next arc is underway! Shit is about to get real on Sector Solus!
Regards,
Mie Rebus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *