LAKE CHAPTER 46 – SOS 1: INITIATION

Lake
Penulis: Mie Rebus
Kepanikan di wajah Faranell sama sekali ga bisa disembunyikan begitu liat Elka mendekat. Pasalnya, Si Infiltrator berambut coklat menatap tajam Grazier wanita di hadapan gw, plus bilang kalimat yang cukup mengerikan bagi kedua Corite. Dari bahasa tubuh Elka, gw tau, dia ga lagi bercanda. Kalo dia bilang membinasakan dua Corite ga bakal makan waktu lama, ya berarti dia emang mampu melakukannya.
Grazier lelaki merasakan tekanan Force Si Infiltrator yang makin kuat, sehingga bikin dia makin waspada. Menyiapkan tongkat sihir, sedangkan Paimon miliknya masih siaga lindungi Faranell.
Suasana hutan yang sepi, bikin situasi terasa sedikit menyeramkan… bagi mereka. Bahkan serangga enggan mengorkestrakan paduan suara seperti biasa. Cuma terdengar gemerisik dedaunan terombang-ambing angin sepoi, dan suara sepatu Ranger Elka bertemu permadani rumput yang agak terdengar akibat bawa senapan runduk seberat 16.37 kilogram.
“Elka, stop.” Tapi gw berdiri diantara duo Grazier, dan Elka. Berusaha mencegah pikirannya terkontaminasi napsu buas lebih jauh, “Gw tau lu lebih baik dari ini. Tenangkan diri lu.”
“Gw ga pernah setenang ini…” Ucapnya datar, sembari kembali angkat senapan, “… minggir.”
Ugh, ini buruk. Dia lagi gelap mata. Elka pernah bilang, kadang kalo terlalu fokus, yang dia liat cuma target doang. Sedangkan, hal lain di sekelilingnya jadi hitam. Kaya sekarang, mata coklat dengan refleksi X itu ga lepas-lepas dari Faranell dan Gann. Dia masih dengar suara gw, tapi seolah ga liat keberadaan gw di depannya.
“Jangan, Ka. Lu ga mau melakukannya,” kata gw setenang mungkin. Padahal mah dalam hati udah deg-degan parah.
“Prajurit Aliansi Suci itu musuh kita. Dan musuh, harus dieliminasi di tempat.” Perempuan ini masih kukuh pada pendiriannya, “Jangan jadi penghalang.”
Mata ungu gw masih tertuju ke mata Elka yang dari tadi belum berpindah dari kedua Corite. Karena masih ada tanda X, kemampuan X-Struck masih dalam keadaan aktif. Berarti, dia masih tahan napas, “Gw ga akan minggir, sebelum lu ambil napas.”
Elka keliatan menurut. Satu hembusan napas keluar dari hidung, seraya menarik senjata ke belakang. Akhirnya, gw juga bisa sedikit bernapas lega karena semua ga harus pake kekerasan. Tingkat kewaspadaan pun jadi turun.
Tapi,
Agaknya gw terlalu cepat ambil kesimpulan! Untuk sesaat, kelengahan jadi musuh paling utama. Gw lupa kalo Elka menarik senjatanya ke belakang, itu berarti, dia bersiap buat tembak target tanpa mengenai penghalang yang ada di antara dia dan targetnya.
Dengan satu ayunan kuat dari lengan kanan Si Infiltrator, senapan runduk hitam itu bergerak ke depan dalam sudut lengkung. Tanda X kembali muncul di kedua matanya. Dia berniat membelokkan peluru!
Sesaat kemudian, gw baru bisa bereaksi terhadap tindakannya. Tanpa ragu Elka menarik pelatuk! Bunyi nyaring begitu memekakkan telinga ini karena moncong senjata dekat banget ama kuping. Bikin pengang, dan pusing. Begitu bunyi letusan senjata api terdengar, Gann dan Faranell reflek menunduk. Namun, tangan kiri gw sigap tangkap laras senapan di tengah ayunannya, sehingga muntahan peluru gagal mencapai sudut yang tepat.
Sekuat tenaga gw coba tahan gaya yang diberikan Elka. Gila emang ini anak, bisa-bisanya ngayun senjata berat gini!
“LU KENAPA SIH, KA!? SADAR!” Bentak gw padanya.
“LU SENDIRI SADAR GA, APA YANG LU LAKUKAN!?” Perempuan berambut coklat balik membentak, “KENAPA LU BELA MEREKA!? MEREKA ITULAH MUSUH LU, BUKAN GW!”
Mata gw melirik ke arah Faranell, usai dengar bentakan sahabat sendiri. Liat raut wajah Grazier berambut ungu yang tadinya lucu serta ceria, kini diselimuti ketakutan, dan penuh rasa khawatir dari mata kuning itu, “Bukan. Mereka bukan musuh…” Ujar gw yakin, “… mereka teman gw.”
Sepasang mata Elka melebar, seakan benar-benar ga percaya ama apa yang baru aja didengar sepasang telinga. Ekpresi mukanya pun ikut berubah dari marah, jadi bingung, “A-apa?”
“Ka-kami… cuma ingin bertemu Lake. Kami da-datang dengan… damai.” Ujar Faranell terbata. Justru bikin suasana makin keruh.
“Datang dengan damai…?” Malah bikin Elka mempertanyakan pernyataan Grazier berambut ungu, “Menyerang para Kadet muda, rusuh di daerah kami, itu yang kalian sebut datang… dengan damai!?” Nada bicaranya kembali mengeras.
“Elka!” Sekali lagi gw serukan namanya, serta menguatkan genggaman tangan kiri.
Dia balik lagi liat gw, setelah menatap Faranell dengan penuh kebencian.
“Ada sesuatu yang harus gw katakan pada lu,” Rasa bersalah datang berkunjung ke dada saat kami beradu pandang. Rasa bersalah karena udah sembunyikan satu fakta penting yang harusnya dia tau begitu gw pulang dari Ether, “dan sebelumnya, gw minta maap karena ga cerita lebih awal.” Genggaman tangan kiri gw di laras senapannya sedikit melonggar, “Kalo lu bisa tenangkan diri, gw bakal cerita semuanya.”
Elka masih pertimbangkan usulan damai tersebut. Tatapannya berpindah dari gw, ke duo Grazier, lalu balik lagi ke gw. Tapi ekspresi muka belum lepas sepenuhnya dari amarah, “Oke. Jelaskan.”
“Uhm… yaa… sebelum itu-” Emang sih, udah lebih tenang dari yang tadi. Tapi selama dia masih pegang senapan, gw merasa ga tenang. “… simpan dulu dong, senjata lu.” Elka menghela napas berat.
Setelah senapan hitam itu kembali masuk inventori, barulah gw tarik tangannya, dan berjalan menuju Faranell dan Gann, “Yuk, kenalan dengan mereka.”
Keliatan banget dari gelagat Faranell, kalo dia takut setengah mampus pada Elka. Sedangkan, kawannya masih belum turunkan kewaspadaan sedikitpun. Perkenalan ga berlangsung lama karena Elka udah meminta hal yang gw janjikan sebelumnya. Bahkan, dia ga sudi balas uluran tangan Faranell. Kasian. Ga tega liat muka Si Grazier wanita jadi murung tiba-tiba.
Kami ambil sejenak waktu untuk duduk bersama di bawah kanopi alam agar terlindung dari sengatan matahari yang makin panas. Gw mulai cerita semua pada Elka. Semua. Detail-detail kecil yang perlu dia tau tentang gw dan Faranell, serta Gabber. Juga fakta tentang peringatan dari Kakek Aethelflaud, tentang ada bahaya yang mengancam nyawa gw. Kali ini gw pastikan untuk ga melewatkan satupun hal penting.
Sampe-sampe cerita tentang kemampuan baru yang gw pelajari di sana. Kemampuan paling absurd yang jarang didengar kebanyakan orang, tapi percaya atau enggak, inilah kenyataan. Memotong ruang realitas guna buka celah dimensi. Dan juga gimana Faranell sangat membantu gw dalam melakukan hal tersebut.
Penjelasan gw tutup dengan peragaan cara kerja Dimensional Rift, “Sederhananya, ini kemampuan teleport jarak dekat,” seraya membelah ruang kosong di hadapan gw pake pedang berselimut Force putih, sekat realitas terbelah dari atas ke bawah, membuka dua celah dimensi secara bersamaan. Satu di tempat gw berdiri, dan satu lagi terpisah beberapa meter, “untuk sekarang, gw cuma bisa menempuh jarak 18.8 meter. Lebih dari itu, gw pasti bakal langsung diserang kantuk hebat akibat terlalu banyak melepas Force.”
Elka mengunci mata gw ga percaya, sambil menggeleng pelan. Gw pikir dia ga percaya masalah memotong ruang realitas, ternyata salah, “Bisa-bisanya lu sembunyikan semua ini dari gw…”
“Ah, i-itu…” Shite. Gw benar-benar enggan buat menatap sepasang mata coklat itu.
“Lu anggap gw ini… apa…?” Getir terselip diantara kata yang terucap makin bikin gw ga nyaman. Elka berdiri, “Gw ini sahabat lu dari kecil, keluarga lu! Yang paling mengerti diri lu, yang paling peduli pada lu! Tapi lu lebih pilih diam ketimbang bicara! Kenapa!?”
Luapan emosi tumpah dari lubuk hati paling dalam Bellatean perempuan ini. Tiap kata yang tertangkap telinga diliputi kecewa yang tersembunyi dibalik keras amarah.
Tapi emang dasar gw lelaki ga berguna, cuma bisa ulang satu kata tertentu buat balas argumen itu, “Maap.” tindakan gw jadi terasa repetitif, “… gw cuma ga mau lu ikut terancam bahaya. Lu mengerti diri gw, kaya gw mengerti diri lu. Dan gw tau, kalo lu tau tentang hal ini, lu akan berusaha mati-matian lindungi gw apapun yang terjadi. Gw ga mau itu terjadi, gw ga mau lu-“
Kata-kata gw terhenti karena… sebuah tamparan. Tepat di pipi kiri. Kejadian ini juga mengejutkan bagi Faranell dan Gann. Dua Corite itu tersentak, tapi ga tau harus gimana. Jadi mereka diam aja.
Elka sering mukul, atau banting, atau plintir-plintir, namun dia ga pernah menampar. Ini pertama kalinya. Tamparan yang dia beri ga terlalu keras, tapi entah kenapa, sakit. Terasa lebih pedih berkali lipat. Gw ga pernah nyangka, ditampar perempuan tuh bisa sakit. Padahal udah pernah kena tusuk, kena bacok, ditembak, dibakar, disetrum Force Badai sampe hampir mati, dan itu semua ga sebanding dengan sekarang. Bukan di pipi, bukan. Tepatnya menjalar sanubari.
Jujur, gw syok dan ga bisa bilang apa-apa. Goblok! Goblok! Goblok! Diam mana bisa selesaikan masalah! Seenggaknya bilang sesuatu kek! Ayolah, wahai mulut! Arrgh! Rasanya pengen jedotin kepala ke tembok baja biar pecah sekalian.
Setelah puncak kemarahan itu, Elka langsung balik badan dan beranjak tinggalkan kami tanpa sepatah katapun. Faak. Ini situasi di mana gw harus bersikap layaknya Pria, dan mencegah Elka pergi. Harusnya. Sayang, kaki gw menolak untuk ambil langkah berani. Seakan dijahit ke tanah pijakan.
Faranell menepuk bahu gw dari belakang, “Ma-maaf… aku… a-aku… ga tau kalo bakal gini jadinya…” terdengar menyesali keadaan.
“Ga apa. Ini bukan salah lu.” Ini terjadi karena gw lebih milih ga percaya pada sahabat yang selama ini selalu ada.
“Lebih baik kejar saudarimu itu, Bellatean. Sebelum terlalu jauh.” Kali ini Gann kasih saran.
Pandangan gw terpaku ke arah Elka melangkah, masih terlihat sosok mungil yang mengenakan Armor Infiltrator merah mulai aktifkan booster. Selama kepalanya masih panas, perkataan apapun ga bakal masuk akal baginya, “… Dia butuh waktu sendiri.” Lalu gw beralih pada Faranell, “Jadi, apa yang perlu dibicarakan?”
Raut muka Corite wanita itu berubah jadi penuh curiga, “Sssht…” justru mendapati dia lagi menempatkan jari telunjuk di depan bibir sambil liat ke arah lain, “… kamu dengar itu?” Bisiknya pada kami.
“Dengar apa?” Tanya Gann penasaran.
Gw coba untuk konsentrasi, dan fokus pada indra pendengaran. Apa ada yang ga beres? Kalo iya, gimana bisa gw ga sadar? Walau udah pusatkan fokus di telinga, ga ada suara aneh tertangkap, “Gw ga dengar apa-apa.”
“Tepat,” Faranell membenarkan, “terlalu sunyi.”
Benar juga! Kenapa ga kepikiran!? Keadaan mendadak jadi terlalu sepi di Hutan Crawler. Hewan-hewan liar yang biasa berkeliaran, ga menampakkan batang hidung sama sekali. Suara angin sepoi yang masih berhembus beberapa menit lalu, tiba-tiba berhenti.
DEGDEG!
Ugh! Perasaan apa nih? Jantung berdetak lebih cepat, seakan panca indra berusaha kasih peringatan tentang keberadaan misterius yang mengintai dari balik rimbun dedaunan. Gw langsung keluarkan senjata, diikuti Faranell dan Gann. Mata gw menyusuri tiap inci ruang yang masuk jarak pandang untuk cari sumber keresahan. Sesuatu, apapun.
Perhatian gw diinterupsi oleh suara ranting patah dari balik batang pohon beberapa meter di arah jam 2. Dari sana, melangkah keluar sosok pendek… yang ditutupi mantel hitam bertudung dari kepala hingga mencapai betis, “Ketakutan terhadap kematian, berasal dari kecintaan terhadap kehidupan. Makhluk yang hidup sepenuh hati, tentu siap untuk mati…” terdengar suara wanita, rendah… dan dingin. Bicara dengan aksen Bellatean jadul, “… kapan saja.”
“I-itu… ga-gawat.” Gajah makan kawat! Ekspresi Gann berubah kayak abis liat hantu. Apalagi setelah sosok misterius tersebut keluarkan tombak hitam… dengan corak tribal warna merah darah.
Ja-jangan bilang kalo dia… salah satu sosok bermantel hitam yang diceritakan Sirvat. Pembantai misterius pasukan Corite dan Bellato saat misi ekspedisi Ether!
“Lake…” Panggil Faranell diantara ketegangan.
Tampaknya, dia cuma sendiri. Kalo kami bertiga coba melawan, mungkin masih punya kesempatan! Namun tetap ga boleh gegabah. Meski ga pernah liat langsung dengan mata kepala, gw tau sosok misterius bermantel hitam ga boleh diremehkan. Mereka bisa dengan gampang bereskan pasukan Aliansi Suci dan Federasi. Kayaknya, sebisa mungkin pertarungan harus dihindari, ga peduli apapun yang terjadi!
Kami bertiga berhadapan dengan perempuan bermantel itu, guna observasi lebih jauh. Gw bisa liat semacam tato pola anyaman warna ungu gelap di pipi kirinya yang ga begitu tertutup tudung.
Perempuan itu menatap tepat di mata, dan berkata, “Aku bisa mencium darahmu… darah Grymnystre.” Gw tersentak dengarnya. Dafaak!? Mencium darah!? Mata kuning Faranell terlihat gelisah, “Ikutlah denganku, wahai kamu yang punya kekuatan untuk mengubah semesta.” Tangan kirinya menegakkan tombak, sedangkan telunjuk kanan menunjuk gw. Astaga. Apaan lagi nih? Orang gila lainnya?
Dengar perkataannya, bikin gw dapat kilas balik sesaat ke setahun lalu.
Kata-kata tersebut… pernah gw dengar… di salah satu mimpi waktu itu. Kalimat yang pernah diucapkan sosok Bellatean berambut pirang panjang, dengan mata semerah darah. Mengubah semesta? YAKALI!? GW!? Apa coba artinya? Apa dia ga salah orang?
“… Gimana kalo gw menolak?” Tanya gw.
“Kalau begitu…” Dia turunkan telunjuknya, dan sedikit menekuk lutut, bersiap menyerang! Gw, Faranell, dan Gann, makin erat genggam senjata.
Tanpa peringatan, perempuan bermantel hitam menerjang dengan kecepatan yang ga bisa dipercaya! Bikin kami ga siap antisipasi!
Langsung mengincar satu-satunya Bellatean yang berdiri ditengah kedua Grazier, ga pedulikan Isis Faranell, ataupun Paimon Gann. Ayunan pedang Isis emas menembus sosok tersebut bak menebas angin, sedangkan pergerakan Paimon lebih lamban, sama sekali ga bisa diharapkan buat jadi penghalang.
Telapak tangan kanannya membuka, dan menangkap muka gw. Ugh! Dorongan yang dia beri, terasa begitu kuat! Ya jelas aja. Karena dia emang niat banting kepala gw ke tanah! Tubuh gw ikut terjengkang ke belakang.
Bagian belakang kepala ketemu permukaan tanah dengan cara kurang baik, “Aagh!” Faak! Emang sih, sebelumnya gw pengen jedotin kepala ke tembok baja biar pecah sekalian, tapi… itu cuma kiasan!
Di antara sela jemari kurus namun kasar tersebut, kilas ratap penuh napsu membunuh sosok bermantel hitam, menusuk tepat ke mata ungu, “… aku akan patahkan semua tulang di tubuhmu tanpa terkecuali, dan menyeretmu kembali bersamaku.”
“Menjauh darinya, wanita gila!” Seru Faranell, sambil memukulkan tongkat sihirnya secara vertikal ke tubuh perempuan misterius.
Niat sih udah baik, mau menolong… tapi…
“UHUUGH!” Tiba-tiba si mantel hitam udah pindah cepat dari atas tubuh gw, berdiri ga jauh dari kami. Sehingga tongkat sihir keemasan Si Grazier berambut ungu sama sekali ga menyentuhnya, dan malah perut gw yang jadi sasaran! Aduuuh, apes benar yak. Tau sendiri tu tongkat hiasannya lebih parah dari tongkat rikudo semelekete, “Ke-kenapa gw…?” Kenapa harus gitu sih mukulnya!? Kenapa ga diayun mendatar aja!?
“E-eh!? Ma-maaf, maaf, maaf, maaf!” Pekiknya, kemudian langsung berlutut untuk cek keadaan korban tongkat sihir nyasar.
“Gerakan aneh itu…” Gann menatap horror, “dia benar-benar salah satu dari para mantel hitam biadab di Ether!”
Gw berusaha berdiri lagi sambil megangin perut malang, “Siapa lu sebenarnya!?” Teriak gw lantang.
Perempuan misterius itu diam sembari meregangkan tangan kanan. Kepala agak tertunduk, helai rambut hitam kebiruan menutupi mata. Dia berbahaya. Padahal tombak itu belum ikut beraksi tadi, tapi gw udah tau kalo kemampuan tempurnya jauh di atas rata-rata.
“Siapa… aku?” Usai meregangkan tangan, wajahnya sedikit diangkat, perlihatkan ekspresi kejam tanpa senyum, “Aku adalah keputus-asaan, aku adalah ketidak-pastian. Aku adalah kematianmu, aku…” Faak! Sesaat setelah mata berkedip, dia udah berada di depan gw! “… Vednala.” Tombaknya terayun sekuat tenaga, menghajar gw dari samping. Benturan yang dihasilkan benar-benar gila! Bikin tubuh gw melayang cepat. Di saat yang sama, dia juga menendang Faranell ke arah berlawanan.
“Uukh!” Si Grazier wanita tersungkur, berguling di atas permukaan tanah.
Satu-satunya yang menghentikan badan gw adalah batang pohon besar. Geblek! Padahal serangannya tadi udah ketahan pake dua pedang di tangan!
Wanita yang menyebut dirinya Vednala, belum niat berhenti menyerang. Sekali lagi, dia lancarkan serangan tombak, menyapu area di depannya dari kanan ke kiri. Gw menunduk supaya terhindar dari sabetan horizontal tersebut.
Alhasil, batang pohon di belakang gw yang jadi korbannya. Hancur jadi serbuk kayu. Kehilangan sebagian besar tubuh penopang, pohon tersebut pelan-pelan miring ke samping. Gw coba balas serangan dengan tusukan mengarah ke rusuk. Percuma, serangan balik gw ditepis tangan kirinya yang dilapis pelindung tangan dari logam.
Vednala cabut tombak yang masih menancap di batang pohon besar, lalu melakukan kombo tiga sayatan, dan diakhiri satu tusukan. Kali ini, gw dalam keadaan yang lebih siap buat menghindar sembari mundur sedikit demi sedikit. Elak kanan, elak kiri, berputar sekali. Jadi ga ada satupun yang kena.
Cukup sengit kami bertukar sayatan! Mana bisa biarkan dia terus nyerang dari awal!? Suara nyaring antara pedang dan tombak, ga mungkin terelakkan. Tapi gw tetap sadar, kekuatan orang ini jelas jauh berada di atas. Jadi, ga mau ambil risiko terlalu sering beradu senjata karena ujung-ujungnya, tangan gw yang ga bakal diuntungkan pas harus serap benturan.
Otot di sekujur lengan gw menegang buat imbangi kekuatan sang lawan. Gigi reflek merapat saat kerahkan seluruh tenaga. Aliran udara hasil dari pergerakan tombak yang begitu bahaya, terasa ikut berdansa.
Pas perempuan bermantel hitam lagi fokus ke gw, Gann beri bantuan dengan merapal mantra, “Terra Split!” Seketika, permukaan tanah retak dan keluarkan bebatuan kecil namun tajam. Mencuat, dan tembus dari bawah telapak kaki, bikin pergerakan Vednala terhenti.
Udah ga ada lagi Paimon, digantikan oleh Animus Wanita dengan busana merah bersenjatakan kipas, “Hujani dia dengan api suci Decem!” Sesuai instruksi, Animus Hecate mengibaskan kipas andalannya, munculkan proyektil panas dalam jumlah banyak!
Rentetan proyektil datang dari segala arah, mengurung wanita itu dengan balutan si jago merah! Namun Gann belum selesai. Grazier lelaki angkat tongkat, diputar dengan kedua tangan dua kali, lalu diarahkan pada sasaran.
“Barrage!” diiringi satu seruan mantra, dari ujung tongkat Gann menyala jingga makin terang, dan seolah berubah fungsi jadi senapan mesin! Soalnya, tongkat itu menembakkan peluru-peluru api tanpa jeda!
Selesai tongkat Gann keluarkan semua ‘amunisi’, kami pake kesempatan ini untuk ambil napas. Liat ke kobaran api, dan seka keringat di dahi. Wow, untung gw ga lawan wanita gila itu sendirian. Bisa modar, kapten. Gann bergegas menuju Faranell buat cek keadaan. Tampaknya baik-baik aja. Biarpun tendangan yang dia terima cukup keras.
Faranell bertanya penuh kecemasan, “Apa dia yang dimaksud Kakek Aethelflaud? Salah satu dari ‘Mereka’ yang mengancam nyawamu?”
Dinilai berdasarkan gelagat serta perkataan yang diucapkan Vednala, “Kemungkinan besar… ya.”
“Coba kalo kita ga kunci pergerakannya, jalang itu bakal terus menari ga karuan.” Ujar Gann.
“Ya.” Balas gw singkat, “Makasih buat bantuannya.”
Bola mata Gann melirik ke gw, “Musuh dari musuhku, adalah temanku.” Dia tersenyum tipis, “Sama-sama.”
“Uhm… Bapak-Bapak sekalian, kayanya urusan kita belum selesai.” Waktu santai kami diganggu perkataan Faranell yang masih liat kobaran api kreasi Gann. Kami berdua ikuti arah sepasang mata kuning itu tertuju, dan kaget bukan main begitu Vednala membelah selimut api dengan tombak hitam bercorak merah darah!
Wanita itu keluar dari tengah api yang mengelilingi area sekitar! Asap mengepul di sekujur tubuh. Susah dipercaya, kombinasi api dari Gann dan Hecate cuma tinggalkan luka bakar ringan! Tapi seenggaknya, serangan Force berhasil melukai.
Mantel bertudung hitamnya sebagian besar terbakar, pamerkan wajah bertato anyaman di pipi kiri, dengan rambut bob asimetris hitam kebiruan. Dia lemparkan sisa mantel hitam yang masih melekat di badan. Di baliknya, adalah armor kelabu gelap tipe Berserker yang… jarang gw liat.
“Masih minta jatah, rupanya.” Sindir Gann sarkas.
Vednala menatap kakinya sendiri beberapa saat. Amati cairan merah merembes keluar dari sela sepatu akibat ditembus batuan tajam, “Aku tidak punya urusan denganmu, Corite.” Tunjuk wanita itu pada Gann, “Tapi karena kamu sudah menumpahkan darahku…” Dia berdiri menyamping dengan ujung tombak terarah pada Gann. Posisi kuda-kudanya makin rendah seraya corak merah darah di tombak tersebut… bergerak?
Merasa intensitas keadaan kembali tinggi kaya tadi, gw betulkan kuda-kuda.
“Atas wahyu dari Decem, keluarlah…” Lagi-lagi Grazier lelaki ganti Animus. Kali ini dikeluarkan satu-satunya Animus paling kompeten dalam penyerangan. Salah satu yang tercepat juga, “… Isis!” Lingkaran sihir terbentuk di permukaan tanah, tepat di depan Pria itu. Dari sana keluar sesosok mbak-mbak lucu bertangan pedang, bawa-bawa kulkas raksasa di bahu… ehem… booster, tepatnya.
“Sun’s Drop Struck…” Desis Vednala. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba, wanita itu udah berada di belakang kami! Ceruk jejak kaki tercipta di permukaan tanah tempatnya berdiri tadi, hasil dari ledakan akselerasi spontan. Ada bercak merah tetinggal di sana, “… Blood Gram.”
Tubuh Isis milik Gann langsung hancur di bagian perut! Begitupun dengan perut Gann yang dapat luka tusuk dadakan! “UAAAGH!” Teriak Grazier lelaki penuh derita. Tombak itu ga cuma menembus Isis, dan Armor Spiritualist, tapi juga lapisan kulit serta otot dari Corite lelaki. Mulutnya muntahkan darah segar. Dia berlutut, sebelum akhirnya tersungkur ga berdaya. Pendarahan juga terjadi di sekitar diafragma. Animus miliknya langsung hilang akibat terlalu parah luka yang diterima.
Vednala berbalik pada korbannya, “… darah dibalas dengan darah.”
Tatapan Faranell, makin lama makin lebar liat darah Gann berceceran ke mana-mana. Gw juga cuma sanggup menatap horror gegara sangking kagetnya, “GANNZAAA!” Wanita berambut ungu histeris. Kemudian ga buang waktu, langsung membalik tubuh kawannya biar telentang, “Innana! Kumohon!” Buru-buru panggil Animus penyembuh supaya dia tertolong.
Permadani rumput tempat Gann berpijak, berikut tanah ternoda merah seketika. Cairan kental yang berasal dari diafragma Si Grazier terus mengalir keluar. Menggenang, belum sanggup terbendung.
“Bangke!” Umpat gw kesal. A-ah, Bellatean itu bahkan ga kasih gw kesempatan buat sekadar ungkapkan kekesalan. Dengan cepat, dia udah lompat ditambah menabrakkan badan buat jatuhkan gw. Twin Razer Blade lepas dari genggaman. Dua kali sudah dibuat tersungkur olehnya, tapi kali ini beda. Soalnya dia langsung keluarkan dua bilah pisau berukuran sedang, rentangkan kedua tangan gw, dan ga sungkan menikam telapaknya kuat-kuat! “AAARRRGH! FAAAAKK!”
Bayangkan aja, sangking kuatnya, kedua pisau itu menembus serat daging di telapak tangan sampe menancap begitu dalam di permukaan tanah! Memaku tangan gw seutuhnya. Nyeri! Terasa logam dingin diantara perih yang kian berdenyut dari tiap titik nadi. Sulit buat lepaskan diri. Pas coba berontak sedikit, sakit langsung datang bertubi-tubi.
Sarung tangan gw mulai agak basah, merah mulai isi kekosongan di sela-sela pisau dan luka.
“Tetap di sana,” Ucap Vednala dingin, “aku akan kembali… setelah selesai berurusan dengan para Corite.” Abis itu perlahan jalan menuju Faranell yang lagi susah payah pulihkan Gann.
“He-heyy, a-apa yang… apa yang mau lu lakukan…?” Panik mulai melanda kepala. Takut kalo bukan cuma Gann yang bakal jadi korban. Tapi perempuan bertato anyaman di pipi ga jawab, jadi gw teriak kali ini, “HEEY! GW NGOMONG SAMA LU, BANGSAT!”
Vednala berhenti sejenak, “… Menumpahkan lebih banyak darah.” kemudian kembali melangkah.
Mata gw melebar. Ternyata dugaan gw ga salah. Dia bakal bunuh Faranell juga! “GAK, JANGAN! GW KAN YANG LU MAU!? GW DI SINI! JANGAN SENTUH MEREKA LAGI!”
Perempuan keji itu ga peduli.
Liat usaha ga ada hasil, gw meronta. Berharap tekanan dari salah satu pisau ada yang mengendur. Sia-sia, yang ada sakit sendiri. Salah-salah, tangan gw bisa terbelah dua. Akhirnya, mulai paksakan tangan kanan buat terangkat agar pisau yang menancap tanah tercabut. Arrrrgh! Ngilu! Tapi mau gimana lagi!? Ga kepikiran cara selain paksa buat bebas!
Sebelum mulai angkat tangan kanan lagi, gw bernapas cepat untuk bersiap tahan sakit yang bakal menyerang pas melakukan ini.
“HEEERRHG!” Meringis satu-satunya hal yang bisa gw lakukan. Mata tertutup, gigi gertak, keringat banjir di mana-mana! Perempuan keparat, faak lu!
Gw coba pusatkan tenaga serta niat pada satu sentakan! Sentakan yang cukup buat cabut pisau dari cengkraman keras permukaan tanah! “UUUGH!”
Akhirnya usaha gw ga sia-sia, tangan kanan terbebas! Namun pisaunya masih tersangkut. Tangan gw gemetar, dan agak lemas.
“Apa kamu takut, Corite? Saat kematian perlahan berjalan menuju dirimu?” Suara perempuan itu terdengar. Gw tengok kiri, Faranell masih konsentrasi tangani luka Gann. Ga pedulikan pertanyaan barusan.
Ga buang waktu, gw gigit gagang pisau yang masih tersangkut di tangan kanan, saling tarik ke arah berlawanan! Pisau itu bertindak layaknya penyumbat. Begitu penyumbat tercabut dari lubang luka, mengucurlah darah dari situ.
Segera setelah tercabut, langsung gw tarik yang kiri ga pake mikir dua kali! Kali ini ga sesulit yang pertama.
“Kamu berusaha melukai Lake, kamu melukai Gannza…” Suara Faranell terdengar berat, dan dalam, “… semua kamu lakukan seakan itu hal paling benar di dunia ini…” Jemari lentiknya kembali melingkar di tongkat sihir keemasan. Dia berdiri menghadap Vednala, “… aku ga peduli kamu itu kematian, atau cuma orang kafir ga beradab. Saat ini, aku marah. Dan butuh pelampiasan.” Innana milik Faranell masih bertugas pulihkan Gann.
Force kegelapan terangkat dari bawah telapak kaki Grazier berambut ungu. Aura ungu kehitaman yang pekat. Diagram sihir ungu muncul di hadapan Corite itu. Vednala ga bergeming, menanti apa yang akan dilakukan calon korban selanjutnya.
Perempuan berambut hitam kebiruan menekuk lutut. Kuda-kuda sama persis kayak pas di awal dia buka serangan.
Sial! Gw harus gerak cepat! Buru-buru nyari pedang kembar andalan, dan bersiap untuk bantu Faranell. Ga peduli tangan yang masih keluarkan tetes darah. Soalnya sehebat apapun mantra Si Grazier, kalo ga bisa ikuti pergerakan Vednala yang cepat, tentu percuma! Jadi, gw berlari untuk persempit jarak diantara kami.
Vednala menerjang! Akh! Apa udah terlambat!? Gw siapkan mental buat hadapi kemungkinan harus mencabut satu lagi nyawa. Karena kalo perempuan gila ini ga dihentikan, keadaan bakal jadi buruk. Kalo orang bilang, ‘membunuh, atau dibunuh.’ Parahnya, secara ga langsung gw melibatkan Faranell, dan kawannya.
Lagi-lagi pilihan nista! Ini sih namanya menentang apa yang gw rasakan kemaren-kemaren.
Lebih cepat! Lebih cepat! Ayolah, lebih cepat! Denyut nadi yang lebih tegang bikin darah terpompa keluar lebih deras dari luka di tangan, tinggalkan bercak merah di atas hijau rumput selagi gw berlari. Kedua pedang terarah ke punggung Berserker yang masih melesat. Kami sama-sama bergerak dengan kecepatan tinggi.
Entah apa serangan gw bakal kena, atau bakal tembus kaya sebelumnya. Yang penting harus melakukan sesuatu buat lumpuhkan Bellatean misterius ini! Tapi karena kalah start, dia ga terkejar. Sialan!
“Semoga Decem masih menerima jiwamu yang kotor,” biarpun dihadapkan terjangan dengan kecepatan ga masuk akal, diluar dugaan, Faranell tetap tenang. Padahal, dia kan minus banget urusan pertarungan jarak dekat, “Umbra Trigger,” Faranell jentikkan jemari tangan kiri yang tertuju pada Vednala. Wow! Usai mengucap mantra, seketika… ga terjadi apa-apa.
Demm. Jujur, gw berharap sesuatu bakal keluar dari diagram sihir itu. Animus jenis baru, atau lubang hitam, atau naga, atau… apa kek gitu.
Satu-satunya yang terjadi adalah… Vednala… hentikan serangan! Tiba-tiba aja, tanpa sebab yang jelas. Di tengah akselerasi dia berhenti, dan berdiri dalam sikap tegak! Sepasang mata amber Si Berserker misterius, berubah jadi tertutup warna ungu kehitaman seluruhnya.
Kejadian itu mendadak banget, bikin gw ga bisa batalkan serangan! Momentum kecepatan yang udah gw bangun, ga bisa serta merta direm. Akibatnya, dua pedang biru dan merah menusuk punggung Vednala. Kali ini… pedang gw terasa benar udah kena sasaran. Ga lagi tusuk angin.
Gw cabut kedua pedang dari badannya, dan melangkah ke samping gegara liat Faranell ayunkan tongkat, “Hell Bless.” Aura ungu kehitaman membungkus sekujur tubuh Vednala. Mantra kutukan itu… yang cegah regenerasi sel dan menyiksa target di ambang kematian…
Perempuan berambut biru kehitaman masih ga bergerak sama sekali, ga ada suara, ga ada reaksi. Pendarahan yang dialami Vednala selama pertarungan, ga bisa berhenti. Malah keliatan makin parah.
A-apa kita berhasil? Apa kita membunuhnya?
Napas gw masih memburu abis lari-larian. Sama dengan Si Corite yang langsung lunglai usai merapal mantra, “Faranell!” Wanita ini melakukan semua itu, sambil bagi Force untuk pertahankan keberadaan Innana agar bisa terus rawat Gann.
Gw sigap papah badannya supaya ga jatuh, “A-aku ga apa-apa.”
“Ini bukan ‘ga apa-apa’ namanya.” Ucap gw, seraya nyuruh Faranell duduk perlahan.
Si Corite terpana sejenak dengar ucapan gw. Kaya baru sadar akan sesuatu, bibirnya merekah senyum manis, “Dasar.” Gw balas senyumnya. Mata kuning itu mengunci telapak tangan gw yang basah oleh darah, “Tanganmu pendarahan!” Pekiknya resah.
“O-oh, i-iya.”
Dia keluarkan perangkat medis, “Lepas sarung tanganmu. Biar bisa kujahit.”
“Ga perlu maksain diri, harusnya lu fokus ke Gann aja.”
“Hey, kamu meremehkanku, cebol. Jahit luka sekaligus membagi Force untuk Innana, terlalu gampang bagiku.” Ujarnya bangga. Sombong, tepatnya. Tapi entah kenapa, kesombongannya ga terasa nyebelin. Malah bikin gemas, “Lagian, izinkan aku balas budi buat yang waktu itu.”
Apa boleh buat. Ga ada yang bisa gw lakukan buat cegah dia.
Gw duduk bersila di depannya, “Iya, iya. Terserah anda, Tuan Putri.” Selagi lepas sarung tangan, Faranell terperangah liat gw. Kayak baru liat hal paling aneh sejagat raya, “Apa?”
“Ke-kke-kenapa… kamu panggil aku begitu?”
“Apa? Tuan Putri?”
Dia mengangguk cepat.
“Iseng aja.”
“Iiish!” Eh, dia malah cemberut sambil gembungkan pipi.
Ini anak kenapa sih?
Keterampilan Faranell sangat keliatan dalam bidang perawatan. Terbukti, beberapa menit jemarinya begitu cekatan menutup luka setelah sebelumnya diberi alkohol peredam sakit.
Dia mulai jahit dari tangan kanan dulu, “Gimana keadaan kawan lu?” Tanya gw.
“Kritis, tapi kemungkinan selamat udah meningkat. Untungnya, Isis yang kena sebagian besar serangan tombak itu.” Jawab Faranell. Mata kuningnya sempat melirik sebentar pada tubuh Gann yang masih tergolek lemah. “Siapa sebenarnya orang-orang yang mengincarmu? Kenapa mereka tega lakukan ini? Kenapa kemampuan mereka bisa begitu mengerikan?”
“Entah.” Gw sendiri pengen tau jawabannya, “Maap, Gann jadi terluka gegara bantu gw.”
“Kamu ga perlu minta maaf. Semua salahku. Gannza ikut kemari karena keegoisanku.” Mukanya sedikit tertunduk, “Andai aku ga bersikap kekanakkan, dan ga terus-terusan menyeretnya menuju masalah… dia ga perlu sekarat kayak gini.”
“Heyy, lu ga kekanakkan, okey? Uhm- mungkin sedikit. Tapi apapun yang lu lakukan tadi, itu keren.” Gw coba sedikit hibur dia biar ga murung terus, “Mantra apa yang lu pake, sampe dia ga gerak sama sekali?”
“Umbra trigger. Salah satu mantra kutukan Force kegelapan. Aku mengekang kesadarannya, dan matikan kelima indra wanita itu dengan membanjiri Force kegelapan ke otaknya secara tiba-tiba.” Wew. Terdengar jauh lebih menakutkan ternyata. Ogah dah nyari perkara dengan dia.
Selesai jahit yang kanan, Faranell mulai pindah ke tangan kiri. Kami bercengkrama, bercerita, coba untuk melepas rindu, bicara lebih jauh. Dia cerita tentang keluarganya, Trinyth, yang punya adat kental Spiritualisme di Planet Cora. Dan keluarga Gann, Khadara, yang ditakdirkan sebagai penjaga bagi keturunan Trinyth. Sebenarnya dia ga suka akan hal itu. Punya penjaga bukanlah salah satu hal keren, melainkan tekanan.
Karena itulah, Gann ga pernah ragu untuk terjun ke pertempuran, apalagi kalo pertempuran itu terkait dengan keselamatan Faranell. Dia bakal lakukan apapun untuk emban tugas seumur hidupnya. Ugh, kayaknya peradaban Cora punya sistem hierarki yang lebih rumit dan susah dipahami.
Faranell juga bilang, pas gw ditampar Elka, itu mengingatkannya pada diri sendiri. Dia pernah mengalaminya, ditampar sahabat dekat usai jelaskan kebenaran. Bedanya, Elka marah karena gw yang terkesan ga percaya pada sahabat sendiri, sedangkan Faranell ditampar karena dianggap ga kompeten jalankan tugas.
Perwira bernama Raharata, pacar dari Si Black Knight maniak Sada, pengen gw mati sampe segitunya. Astaga.
Faranell selesaikan pekerjaan di tangan kiri dengan balut perban dan diikat rada kuat, “Makasih, ya.”
Alih-alih balas ucapan terima kasih, Corite ini terus menelaah mata gw dalam-dalam. Bikin gw sempat salah tingkah diliatin perempuan yang manisnya melebihi gulali. Jadi mau ga mau, gw buang pandangan ke arah manapun selain depan. Duh, canggung nih.
“Lake, masih ada hal lain yang harus kubicarakan,” Faranell merogoh inventori, lalu keluarkan catatan, “belakangan, aku sering banget liat simbol-simbol ini.” di atas kertas tersebut, terdapat untaian kalimat yang ditulis pake karakter aneh dengan bentuk menyerupai m, n, dan u.
Gw agak kurang paham maksud perkataan Corite berambut ungu, “Liat… di mana?”
“Di kepalaku.” Karena makin bingung, gw angkat sebelah alis, “Ma-maksudku… abis sakit kepala menyiksa, simbol-simbol ini pasti muncul be-begitu aja di pandanganku. Terus, terus, kalo sakit kepalanya datang lagi, mereka langsung hilang!”
“Ya mungkin gegara sakit kepala, lu jadi liat hal-hal aneh. Udah coba periksa ke dokter?”
“Iiiissh! Ini bukan sakit kepala biasa!” Dengusnya sok galak, “Coba tebak, sejak kapan aku liat simbol-simbol ini?”
“Mana gw tau, kenapa malah nanya balik?” Emang gw Bapak lu?
“Sejak pulang dari Ether.” Etdah ni anak… nanya sendiri, jawab sendiri, “Sebelum misi ekspedisi Ether, aku emang pernah alami sakit kepala, tapi ga sampe liat simbol ga dikenal begini.”
Dengar penjelasannya, gw jadi teringat pas awal-awal kami terjebak di kediaman Kakek Aet.
“Mau tau apa yang gw pikirkan?” Tanya gw padanya, “Itu terjadi karena lu pegang pecahan Grymnystone.” Gw masih ingat gimana semacam kilatan listrik muncul ketika jemari Faranell bersentuhan dengan pecahan batu tersebut. Sempat menjalar di sekujur lengannya, sebelum hilang sama sekali.
Faranell menatap gw dengan seksama, sembari gumamkan kalimat Kaket Aet, “Batu yang merupakan energi mentah, menyimpan kekuatan, kejernihan, kebijaksanaan, pengetahuan…”
“… batu itu berbagi pengetahuan dengan lu, Faranell.” Gw lanjutkan potongan kutipan tersebut.
“Kalo gitu, aku harus tau makna ‘pengetahuan’ ini.” Ujar Faranell mantap, “Aku udah melakukan penelitian kecil untuk selidiki simbol-simbol ini. Kesimpulan awal yang bisa kutarik, ini bukan karakter Bahasa Cora kuno. Karena ga ada satupun buku, atau perkamen di Perpustakaan Numerus yang pake simbol ini,” Telunjuknya menunjuk kertas di permukaan tanah, “Grymnystone dibuat oleh para ilmuwan Grymnystre, klan asli dari Bellato. Keluargamu. Ini pasti Bahasa pendahulumu.”
“Itulah kenapa lu ngotot mau bicarakan ini ke gw…” Dia berharap siapa tau gw bisa identifikasi, “tapi… masalahnya, gw bahkan baru pertama kali liat huruf aneh begini.” Mata gw melirik ke atas pada Faranell buat liat reaksinya.
Si Grazier tampak kecewa, “Be-begitukah…?”
Duh, tolong… jangan pasang muka sendu begitu. Sifat buruk gw bisa terpicu, “Ehem… coba sini kasih salinannya, siapa tau gw bisa cari-cari info di Perpustakaan Federasi.” Tuhkan, bener.
“Jadi… kamu mau bantu aku pecahkan arti ‘pengetahuan’ ini!?” Serunya antusias. Mata kuning Faranell langsung berbinar.
“Eyy… gw ga bilang ‘bantu pecahkan’, gw bilang ‘cari-cari info’. Itupun ‘siapa tau’.”
“Makasih! Aaaa~ Akhirnya ada yang mau bantu. Tau ga? Ga ada yang anggap ini serius. Bahkan Gann juga. Katanya aku cuma terlalu lelah, atau apalah.” Kampret. Dia ga dengerin. Tsk, sepertinya lagi-lagi gw harus terlibat masalah tanpa punya niat libatkan diri.
Tapi ekspresi antusias Faranell tercekat begitu nengok buat pastikan, apa sosok Vednala masih di tempatnya. Gw juga kaget pas liat ke arah yang sama. Jelas kami syok. Karena Perempuan bertato di pipi tersebut… hilang! Se-sejak kapan!? Ada jejak darah menuju sisi hutan lebih dalam.
“Di-dia bisa bertahan dari kombinasi mantra kegelapan tingkat tinggiku!?” Faranell berusaha kembali berdiri, “Auhk!” namun kemudian jatuh terduduk lagi akibat penggunaan Umbra Trigger.
“Tenang, Faranell. Dia kena Hell Bless, kan? Gw rasa, dia ga bakal melawan lagi.” Gw coba yakinkan Si Grazier wanita supaya ga perlu ikuti jejak darah itu, “Yang penting, kita harus pindahkan Gann ke tempat yang lebih tersembunyi.” Bagi Corite, masuk wilayah Federasi aja udah bahaya, ini lagi pake sekarat.
Mendadak, ledakan besar terjadi dari Timur! Arah Benteng Solus! Kami berdua kaget bukan main liat bola api menggulung tinggi ke angkasa. Posisi kami masih cukup aman dari jangkauan ledakan, tapi efeknya tetap amat terasa! Dataran bergetar, burung-burung beterbangan dari persembunyian mereka, tinggalkan habitatnya di Hutan Crawler. Beberapa monster juga terlihat melarikan diri.
“A-apa yang…?” Gumam Faranell terheran.
“Ledakkan besar!” Belum ada laporan dari menara kontrol tentang ledakan barusan.
Gw mulai khawatir terhadap impact yang dihasilkan. Berusaha untuk hubungi Elka, namun sia-sia. Panggilan gw ga dijawab. Shite! Semoga dia baik-baik aja. Semoga semua yang di Solus baik-baik aja.
.
.
…Bellato HQ, Ruang Archon…
“CROISS!” Seru Gatan lantang tepat saat pintu ruang Archon terbuka, “Siaga satu! Solus diserang para Accretian!”
“APA!?” Croiss geram, langsung lompat dari belakang meja kerjanya.
“Mereka langsung meledakkan peringatan di zona aman. Mengancam penduduk sipil dan Kadet muda!”
Archon berambut merah tersebut merasakan darahnya makin mendidih, “Kalo begitu, ga ada waktu lagi! Berangkatkan Divisi Artileri ke sana sekarang juga!”
“Mereka udah diperjalanan, dipimpin Izcatzin.” Jawab Sang Wakil Archon berambut spike hitam.
“Gw akan tiba di sana dalam 3 menit!” Alangkah terkejutnya Croiss, saat melangkah, Gatan menghalangi satu-satunya pintu di ruangan Archon.
Si Sentinel ga tunjukkan tanda-tanda bakal kasih jalan. “Gak. Lu ga boleh tinggalkan ruangan ini.” Ujarnya serius.
“Hah?” Croiss terheran, matanya mengerjap, “apa maksud semua ini, Gatan?”
“Let me tell you something. The harder we’re looking for, the further we will be drifted away from true power itself. It’ll find it’s own way, when the time is right.” – Ironall (Ch. 34)
CHAPTER 46 END.
Next Chapter > Read Chapter 47:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-47/
Previous Chapter > Read Chapter 45:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-45/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list
Catatan Author:
SOS = SIEGE ON SOLUS