Lake
Penulis: Mie Rebus
…Bellato’s HQ, Ruang Kerja Archon…
Ketegangan memenuhi udara saat Gatan menghalangi jalan Croiss yang hendak turun ke medan pertempuran. Tajam mata biru gelap Sang Wakil Archon, menusuk tepat ke iris jingga milik Croiss. Sang Archon sempat dibuat bingung oleh tindakan Wakilnya sendiri.
Maka Croiss bertanya, sembari coba redam emosi panas, “Lu ingat kan, kalo gw adalah Archon Federasi?”
“Tentu,” Balas Gatan tenang, “dan itulah sebabnya, lu ga boleh tinggalkan ruangan ini.”
Si Berserker berambut merah melangkah lebih dekat ke hadapan Gatan. Kini, jarak diantara mereka cuma terpisah hitungan sentimeter. Belum juga ada tanda-tanda mengalah di antara peraduan dua pasang mata tersebut.
“Solus sedang diserang, Prajurit-Prajurit di bawah Komando gw tentu lagi bertempur untuk pertahankan wilayah kita,” Croiss mendorong dahinya pada dahi Gatan, dengan sedikit tenaga. Namun Si Sentinel tetap ga gentar, “sebagai Archon, ga mungkin gw tetap berada di sini, selagi mereka sekarat di luar sana.”
“Justru karena lu Archon, kita butuh lu di sini. Untuk tetap memberi Komando dari garis belakang.” Balas Gatan kemudian.
“Jangan bercanda. Gw ini Berserker. Lini depan ibarat rumah kedua bagi gw.” Walau perkataan dari mulut Croiss masih terdengar wajar, tapi tangan kanan udah keluarkan sebuah tombak bertongkat merah, dan tersemat baja kejinggaan di bagian kepalanya dari inventori. Tombak kebanggaan Berserker terkuat sefederasi, Infernova, “Kalo lu tetap bersikeras, gw ga tanggung atas apa yang akan terjadi dengan lu… dan ruangan ini.”
Kedua Pria dengan jabatan paling penting ini udah cukup lama saling kenal. Si Sentinel udah hapal banget tabiat kawannya, yang punya julukan sebagaimana nama tombak itu, Croiss ‘Infernova’ Kirxix. Bahkan Gatan sendirilah penyemat julukan itu. Bagi kebanyakan orang, Croiss emang sering terlihat lebih kalem dan tenang ketimbang kakaknya, Izcatzin. Berbeda bagi Pria berambut spike hitam. Selalu menganggap Si Kepala Merah bak bom waktu yang siap meledak tiap kali pecah pertempuran.
Gatan mundur satu langkah, sejenak melirik ke tombak Infernova yang tegak berdiri melebihi tinggi Sang Archon. Lalu balik menatap Croiss, “Inilah kenapa gw pernah bilang, lu dan kakak lu dasarnya adalah orang yang sama.”
“Gw ga sama dengan Izcatzin.” Bantah Croiss mentah-mentah, lalu memaksa lewat.
Biar gimanapun, Gatan tau, sulit baginya untuk cegah Croiss yang bertubuh lebih kekar dan tinggi. Perbandingan tenaga diantara mereka jelas terlalu jauh. Jadi dia bergeser sedikit buat kasih jalan.
“Lu selalu berusaha tetap terkendali, tapi sebenarnya ga jauh beda dengan Izcatzin. Sama-sama pemberang.” Ujar Gatan saat posisi mereka sejajar. Croiss sempat menghentikan langkahnya, “Gw tau lu kuat. Salah satu yang terkuat diantara yang pernah gw kenal,” Sementara Croiss tetap menatap ke depan, Gatan menoleh padanya, “tapi kita belum tau motif dibalik penyerangan ini, seberapa besar pasukan Accretia yang diterjunkan, atau keadaan lebih jauh di lapangan. Dan belum apa-apa, lu udah turun langsung ke garis depan.” Diiringi satu helaan napas, “kita ga bisa ambil risiko kehilangan Pemimpin paling dipercaya seluruh Rakyat Federasi.”
“… Lu lebih baik dari gw dalam urusan macam ini, Gatan. Dari dulu gw cuma hebat saat mengamuk di depan.” Ucap Croiss datar.
“… Salah. Anda sudah bukan lagi Berserker yang dulu.” Si Sentinel masih enggan mengalah dalam adu argument, “Biarkan Wakil-Wakil anda yang turun, tunjukkan kepercayaan anda pada kami, Archon.” Dia menekan intonasi pada kata terakhir.
Gantian Si Berserker berambut merah hembuskan napas berat. Dari segi tenaga, dia boleh unggul jauh di atas Gatan. Tapi kalo udah debat pendapat, harus diakui, Gatan sulit digoyahkan. Perkataan Wakil Archon satu ini ada benarnya.
“Kadang gw bingung, harus menyesal, atau bersyukur udah pilih lu buat jadi Wakil Archon.” Gerutu Croiss, sembari memasukan tombak kembali ke inventori, “Gw mau ke ruang kendali. Setidaknya, gw harus tau segala yang terjadi di sana.”
Reaksi Croiss menimbulkan segaris senyum tipis di bibir Gatan. Lega karena Croiss mau terima perkataannya.
Di situasi darurat yang belum usai, derap langkah tergesa, tertangkap telinga kedua Prajurit senior tersebut. Adalah Alecto, anggota Badan Intelijen Pusat, dengan napas cepat, berlari ke ruangan ini. Mukanya dihias ekspresi gelisah, seolah lagi dikejar hantu.
“Maximus Croiss!” Serunya tertahan. Tapi ketika liat Gatan juga berada di sana, dia agak terperanjat, “Ma-Maximus Gatan… kebetulan anda di sini juga!”
“Tarik napas dalam-dalam dulu, Captain Adastan.” Gatan kasih saran, “Katakan, ada apa?”
“Kami dapat sesuatu. Saya rasa, anda berdua harus liat.”
Kedua Pria berjubah putih di ruang kerja Archon saling pandang beberapa saat. Kemudian Gatan menggangguk pada Si Hidden Soldier muda, “Tunjukkan pada kami.”
Hal yang dikatakan Alecto, terdapat di ruang kendali. Pemuda itu membawa Croiss dan Gatan ke ruang kendali utama Markas Besar, di mana operasional untuk keadaan genting biasa berjalan. Aula besar dengan satu monitor raksasa, ditambah dengan puluhan monitor lebih kecil yang dioperasikan beberapa operator dalam satu waktu.
Di sana, Khortenio telah menunggu mereka. Tangannya terlipat di depan dada. Hal ini ga biasa, mengingat Pria paruh baya itu senang sekali mengurung diri di ruang kerja Divisi Sains dan Teknologi.
“Maximus Khortenio,” Panggil Croiss, “seberapa parah kerusakan sejauh ini?”
“Belum ada korban. Ledakan awal terjadi 2 kilometer dari zona aman. Diduga ini sebagai peringatan dari pasukan Accretia.” Jawab Khortenio lugas.
“Intel di lapangan menunjukkan adanya aktifitas Armada Udara Kekaisaran dalam jumlah cukup besar, datang 17 kilometer dari Utara.” Alecto melanjutkan laporan keadaan pada Sang Archon. Layar raksasa menampilkan gambar peta Sektor Solus, disertai beberapa titik merah berkedip sedang mendekat.
“Di mana pasukan darat para kaleng? Mustahil mereka menyerang tanpa pasukan darat.” Sela Gatan.
“Kami masih berusaha untuk melacak keberadaan mereka, Maximus.” Jawab Si Hidden Soldier muda.
Croiss menelisik lebih dalam pada layar raksasa, dan kasih instruksi, “Kalo begitu coba lebih keras, Captain Alecto. Intel seperti ini ga akan banyak membantu. Kita butuh lebih banyak informasi.”
“Ba-baik.” Ditegur langsung oleh Archon, udah cukup untuk bikin pemuda berambut denim agak resah, “A-ada satu hal lagi, Maximus.”
“Barusan, pihak Accretia berhasil meretas jalur komunikasi tersier, dan mengirim pesan pada kita. Berupa video langsung dari Archon Kekaisaran.” Sambung Khortenio, lalu menggestur ke salah satu operator untuk memutar video yang dimaksud.
Seketika, layar raksasa menampilkan sosok Prajurit mekanik berzirah putih, lengkap dengan jubah kebesaran Archon Kekaisaran, seolah menatap langsung pada mereka, “Salam, Kurcaci lembek.” Video itu dibuka dengan hinaan. Seonggok besi tersebut bicara dengan Bahasa Bellato, bikin tangan Croiss mengepal keras.
“Warwick…” Desis Si Berserker merah kesal.
Kualitas dari videonya sendiri ga terbilang bagus. Karena masih ada glitch dan garis-garis frekuensi. Namun, udah cukup jelas untuk menyampaikan pesan.
“Saya yakin kalian telah menyaksikan kapabilitas kami dalam hal ledakkan. Dan kami tau, kalian makhluk berdaging begitu menyedihkan, hingga harus sibuk melindungi sesama yang lebih lemah, ketika tiba saatnya berperang. Maka, kami memberi kalian opsi, untuk segera menyerah tanpa perlawanan, dan berikan Sektor Solus pada Kekaisaran. Atau, berikan anak ini sebagai ganti dari nyawa Rakyat kalian.” Seketika, layar raksasa itu menampilkan gambar seorang Bellatean berambut kelabu dengan berkedip-kedip, dan agak cepat, “Jangan lupa, kami mudah saja membantai penduduk sipil Federasi… bila memang harus.”
Tapi, itu udah cukup karena mereka mengenali siapa Bellatean itu. Gatan tampak agak tercengang menonton video itu, “Grym…?”
“Mereka mengincar Solus… dan anak itu?” tanya Croiss memastikan, “Tapi… kenapa?”
Liat tayangan tentang salah satu kawan dekatnya, Alecto menelan ludah. Mendadak, dia sadar sedang dipandangi oleh Komandan Divisi Sains dan Teknologi, “Apa kamu tau sesuatu, Captain Alecto?”
“Sa-saya…” Tenggorokan bagai tersumbat ketika fokus ketiga Pria yang jauh lebih superior tertuju padanya, “saya… ga tau. Dia… ga bi-bilang apapun terkait hal ini.”
Si Mental Smith berambut magenta bertukar pandang dengan Gatan, ” ‘Mereka’.”
“Siapa?” Sang Wakil Archon tampak bingung.
“Pernah dengar bahwa ada pihak tertentu yang memburu keturunan Grymnystre?” Lanjut Khortenio. Dapat reaksi beragam dari lawan bicaranya, “Sama seperti 15 tahun lalu…”
Bola mata Gatan melebar ga percaya, “Pengkhianatan terhadap Maximus Actassi…”
“Kasus yang dulu pernah melibatkan Izcatzin… maksud anda, para pengkhianat itu masih terus beraksi sampe hari ini!?” Tiba-tiba Croiss jadi geram gara-gara ingat kakaknya pernah jadi korban penyanderaan Pasukan Accretia, yang juga bekerja sama dengan pengkhianat Federasi.
“Sayangnya, ya. Ada kemungkinan. Satu kesalahan kita, ga mengusut kasus tersebut sampe ke akar karena menganggap semua petunjuk habis terbakar.” Khortenio menutup matanya sesaat. Benaknya memutar ulang kenangan saat kehilangan salah satu sahabat yang dia percaya.
Namun ada satu orang lagi yang terlibat langsung di lapangan kala kejadian itu, dan dia masih ingat betul, nama-nama para pengkhianat yang mengincar kepala mentornya, “Montago, Yehkur, Diggwar…” Gatan beralih pada Alecto, “Adastan, tolong bawakan berkas-berkas terkait tindak pengkhianatan 15 tahun lalu. Berikan pada Maximus Croiss untuk penyelidikan lebih lanjut. Kasus ini harus dibuka kembali.”
“Si-siap!”
“Dan? Gimana denganmu?” Tanya Khortenio pada Wakil Archon yang hendak angkat kaki.
“Mustahil pertimbangkan pilihan Accretia sebagai jalan keluar. Kita ga akan menyerahkan Sektor Solus, ataupun Grym. Jadi kita harus sapa mereka.” Ga ada keraguan sedikitpun terdengar dari kalimat barusan. Di saat seperti ini, Wakil Archon paling santai seantero Novus selalu menunjukkan sisi lain dirinya.
“Laporkan status terakhir dari Captain Lake Grymnystre.” Perintah Croiss pada salah satu operator ruang kendali.
“Sentinel, Captain Lake Grymnystre sedang menjalani misi bantuan mengusir perusuh di Area Hutan Crawler, Sektor Solus. Bersama dengannya, adalah Infiltrator, Captain Elkanafia Yeve Nordo.” Jawab Si Operator.
“Cakep. Saat gw pikir keadaan ga bisa lebih buruk, tu anak ada di zona tempur.” Keluh Gatan dalam hati, diiringi tepok jidat sendiri.
“Belum ada laporan lebih lanjut mengenai detail misi terkait dari yang bersangkutan. Suar tanda keadaan darurat dari Log misinya juga belum terpancar.”
Pikiran Gatan mengolah informasi tersebut dengan cepat, sambil berjalan keluar dari ruang kendali. Kesimpulan yang diambil, anak didiknya masih baik-baik aja. Dia siap. Sentinel senior ini siap turun membantu Izcatzin pertahankan Solus, serta anak didiknya.
Dia menghadap ke Croiss, dan minta izin, “Izin untuk meninggalkan ruangan.”
Yang segera dibalas, “Izin diberikan.” Sebelum Sentinel Senior itu melangkah keluar, Croiss memanggil, “Gatan…” Bikin Wakilnya sempat berbalik terakhir kali, “tolong… lindungi Penduduk Bellato…” Kata Croiss dengan tatapan agak melunak, “… dan Izcatzin.”
Pria berambut Spike hitam itu menepuk dada kiri dengan kepalan tangan kanan, “Dengan nyawa gw.” Balasnya mantap.
Dia rela mati demi sesama Bellatean.
Langkah kaki Gatan, diikuti pula oleh Khortenio yang mengantar sampe lewati pintu. Dia ingin pastikan sesuatu. Karena melihat sikap Gatan yang agak beda dari biasanya. Bisa jadi, akibat kemungkinan penyerangan ini ada kaitan dengan kejadian tewasnya Actassi.
Begitu mereka berada di luar ruang kendali utama, Khortenio berujar, ” Kamu begitu peduli pada Lake, ya?”
Tiba-tiba, Sang Wakil Archon terhenti. Dan sedikit menatap lantai. Dia berusaha mengelak, “… Saya peduli pada keselamatan semua Prajurit.”
“Ya, dari dulu saya juga tau itu. Tapi dia… lebih. Setidaknya sedikit, kan?”
Si Sentinel bungkam beberapa saat, “… Haha, benar.” Jawabnya getir. Pertanyaan dari Khortenio membawa kilas balik dari masa indah yang pernah dia rasakan, “Dia… bagai anak yang ga pernah saya miliki.”
Heyy, Madu. Kira-kira, nama apa yang akan kita beri untuknya kelak?
…
“Ah, iya… Kayanya lebih baik kamu yang kasih nama, Pyrra. Lagian, ide-idemu selalu luar biasa.”
Gatan bukanlah seorang perjaka tua seperti anggapan Lake. 10 tahun lalu, dia pernah punya keluarga. Seorang istri yang ramah, lagi sopan bertutur bahasa. Pyrra Miko, namanya. Satu-satunya alasan kenapa sampe saat ini dia selalu terlihat sendiri dan ga pernah menjalin hubungan spesial dengan wanita lain… karena hati Sang Wakil Archon belum sembuh dari luka ditinggal pergi selamanya.
“Tapi adalah kewajiban seorang Ayah untuk ambil bagian dalam penamaan Anaknya, kan?”
Menikah di usia muda, dan kehilangan seorang yang dicintai di usia muda juga, cukup jadi beban mental yang berat baginya. Apalagi, bila seorang yang dicintai tersebut, sedang mengandung hasil buah cinta mereka.
“Hmm iya, iya. kalo gitu… dia lelaki, gimana dengan Arsart?”
Hidup memang indah, tapi di saat yang sama, ga kenal ampun. Hal itu dirasakan sendiri oleh Gatan. Saat sedang menikmati waktu-waktu terindah bersama keluarga kecilnya, Istri tercinta mendadak terserang penyakit saraf langka nan mematikan, yang disebut GBS (Guillain Barre Syndrome).
“Arsart Valsynvis… nama yang terdengar kuat. Aku suka.”
Layaknya penyakit saraf kebanyakan, GBS menyebabkan tubuh melemah serta hilang kepekaan. Penyebabnya adalah daya tahan tubuh berlebih yang menyerang susunan saraf tepi. Tanda-tanda awal dari penyakit ini kesemutan, pegal-pegal, kehilangan kemampuan membedakan tempratur, pusing, muntah-muntah, hingga melemahnya kemampuan sistem saraf motorik.
Penyakit menular? Penyakit keturunan? Bukan. GBS bisa menyerang siapa aja, dan kapan aja. Baik tua, atau muda. Ga pandang bulu.
“Ya. Karena dia akan tumbuh jadi anak yang kuat.”
Penyakit menyebalkan yang senang meledek penderitanya. Karena gejala-gejala tersebut bisa hilang dalam beberapa minggu, dan penderita ga merasa perlu perawatan. Atau… sulit menjelaskannya pada Ahli Medis untuk minta perawatan lebih lanjut karena gejala akan hilang saat diperiksa.
“Kuat dan juga berbakti pada orang yang dia cintai. Seperti Ayahnya.”
Perawatan Pyrra ga sulit bila penyakit itu bisa dideteksi dari awal. Cuma… penyakit yang dideritanya… sulit dideteksi. Ketika udah positif terkena dampaknya, semua terlambat. Kelemahan yang menyerang otot, telah menjalar ke saluran pernapasan… merenggut hak Sang Istri untuk hirup udara kehidupan… untuk menatap anak dalam kandungannya menangis saat kelak disambut dunia… untuk tetap berada di sisi Gatan selama sisa usia.
…
“Maaf,” Lamunan Gatan buyar akibat sebuah tepukan di bahu, “saya bikin kamu ingat hal yang ga ingin kamu ingat.”
“Bukan, Maximus. Sebaliknya, saya menolak untuk lupa.” Jawab Sentinel senior, seraya angkat wajah, dan tersenyum, “Ada baiknya juga sesekali ingat masa kelam. Supaya kita bisa bersyukur atas masa-masa indah. Dan saya masih menunggu masa indah yang belum kunjung datang.”
Khortenio terhenyak.
Seolah ga percaya betapa cepat waktu berlalu. Pemuda kemarin sore di depannya udah tumbuh jadi Pria bijak dalam menyikapi cobaan hidup. Ranger ingusan kerempeng yang pertama kali datang padanya minta dibuatkan senjata anti macet, dan selalu bisa digunakan tanpa amunisi… Ranger ingusan yang selalu mengekor ke mana Actassi melaksanakan misi, kini lebih dari pantas berdiri di depan pasukannya sendiri. Memimpin mereka untuk melalui neraka kehidupan yang disebut peperangan.
Mental Smith berambut magenta balas senyum, masih menatap jubah putih berlambang Federasi Bellato yang tampak terlalu besar menutupi punggung kecil Gatan, lalu berkata, “… Cepatlah. Mereka butuh kamu.”
“Yaaa, kalo bukan gara-gara anda, saya udah berangkat dari tadi.” Sindir Gatan sembari kasih raut muka meledek.
Perubahan suasana yang tiba-tiba, bikin Khortenio bersungut-sungut, “Masih aja kurang ajar.”
Dengan itu, berlalulah Sang Wakil Archon menuju medan pertempuran.
.
.
…Suatu lembah…
Seorang wanita bersimbah darah, berjalan gontai di suatu lembah antah berantah. Sepi, tanpa ada orang lain untuk diminta pertolongan. Potongan rambut bob asimetris berwarna hitam kebiruan, tampak kusut, lengkap dengan dedaunan kering tersangkut di sana.
Napasnya begitu cepat, dan pendek. Akibat luka berat yang ia terima setelah melawan kombinasi dari Ranger Bellato, dan Spiritualist Cora. Tangan kanan menekan dua lubang di dadanya akibat ditembus pedang dari belakang, ga ada henti keluarkan darah. Mata nyaris ga bisa liat apapun, telinga serasa dibuat tuli. Bahkan, indra penciuman wanita itu udah ga bisa cium anyir darah sendiri. Ditambah lagi, regenerasi selnya masih diblok oleh mantra kutukan. Apapun yang dia lakukan buat hentikan pendarahan, sia-sia.
Vednala berjalan tanpa arah. Ke mana pun kakinya sanggup melangkah, ke sanalah dia akan berada. Rasa sakit di telapak kakinya makin menjadi. Padahal, saat bertarung tadi ga terasa apa-apa. Adalah keajaiban dia masih bisa bertahan. Kalo bukan karena kemampuan Purge yang ditanamkan ke alam bawah sadarnya, bisa dipastikan dia masih terkunci di hadapan Bellatean dan Corite itu. Tapi tetap aja, kemampuan Purge tersebut hanya sebatas mengurangi.
Dia merasakan suhu tubuhnya makin dingin. Pandangan berkunang-kunang, serta makin susah pertahankan keseimbangan.
Serangan fisik yang seolah ga bisa menyentuhnya, bukanlah apa-apa saat dihadapkan dengan serangan Force kegelapan. Dia ga pernah menyangka, mangsanya akan bekerja sama dengan pengguna Force kegelapan yang begitu mahir.
Membuat Sang Pemburu, malah berakhir jadi mangsa sekarat.
“Ke-ke… paa… rrr… at…” Sekadar mengumpat aja kesulitan. Tenggorokannya seakan terhimpit, sulit bernapas. Dia terbatuk, dan muntahkan darah kental. Efek Hell Bless yang datang dan pergi, saat ini sedang berkunjung ke tubuhnya. Vednala mendengus, “Gra… zier… kepa… rat.” Dia bersumpah, ga akan pernah lupa wajah Grazier berambut ungu yang udah bikin menderita.
Akhirnya, setelah bertahan selama yang dia bisa, Berserker wanita itu tumbang. Menanti ajal di tengah penderitaan mendalam, “Betapa ironis.” pikirnya.
Apa kamu takut, Corite? Saat kematian perlahan berjalan menuju dirimu?
Pertanyaan yang dilontarkan pada Grazier itu, Vednala ga menyadari, bahwa dialah yang sebenarnya sedang didekati perlahan oleh kematian. Ga pernah terbesit sekalipun dalam pikiran wanita itu, bahwa kematiannya akan mengambil wujud wanita Corite rupawan tanpa cela.
Keadaan semakin buruk saat sedang sekarat, malah dihampiri seekor Brutal Ace. Monster serangga hijau raksasa dengan dua lengan berbentuk sabit tersebut, tertarik pada sosok Bellatean ga berdaya di sisa masa hidupnya.
Panca indra Berserker wanita itu belum benar-benar pulih sehingga belum sadar akan keadaan sekitar. Bahkan telinganya belum bisa menangkap suara apapun. Samar-samar, pandangan Vednala mulai membentuk bayang Brutal Ace menaungi tubuh mungilnya.
Monster hijau berurat merah tersebut mengamati terlebih dulu sesosok tubuh yang diselimuti kehangatan tirai merah, sebelum memutuskan untuk merenggut kehidupan dari raga Vednala.
Wanita itu pasrah. Walau pandangannya buram, tapi dia tau kalo Brutal Ace tengah mengangkat sebelah sabitnya, dan hendak menghujam serangan.
Yah, paling engga, pikiran tentang kematiannya yang mengambil wujud wanita rupawan, ternyata salah.
Sabit dari Brutal Ace meluncur turun, berusaha membunuh Bellatean wanita itu. Ga ada yang bisa dia lakukan buat menghindar, atau menahan kali ini. Dia udah putuskan, ga akan melakukan apapun selain terima nasib.
Tiba-tiba, suara ledakan senjata begitu nyaring memenuhi udara. Sebuah ledakan dari pelontar granat langsung menghancurkan lengan sabit Si Brutal Ace, diiringi cairan hijau menyembur bak air mancur, “SHRIIEEK!” membuat monster serangga keluarkan suara aneh bak jeritan.
Di hadapan Monster itu, telah berdiri sosok bermantel hitam lainnya. Dengan pelontar granat terarah ke depan, dilengkapi asap yang keluar dari moncong senjata. Brutal Ace yang makin marah, mendesis padanya. Tapi sosok mantel hitam yang baru muncul, tampak ga terpengaruh.
“Boom.” Ucapnya santai, bersamaan dengan tembakkan kedua, ledakan granat memecahkan kepala Brutal Ace saat masih mendesis. Jadilah serpihan kepala serangga yang menjijikan.
Tubuh serangga hijau raksasa tanpa kepala tersebut langsung tumbang tanpa sempat melawan.
Si mantel hitam yang baru muncul, perlahan mendekati tubuh Vednala. Lemah, tergolek ga bergerak, tapi masih hembuskan napas. Dia mengamati Si Bellatean wanita, “Cih, kamu terlihat seperti setumpuk kotoran.” Terdengar suara lelaki dari mulut sosok itu. Postur tubuhnya pun ga terbilang tinggi, menandakan dia juga Bellatean.
Vednala berusaha sekeras mungkin fokuskan tatapan pada lelaki itu, tapi indra penglihatannya belum pulih benar. Sehingga cuma hasilkan bayang pudar. Dia berusaha bilang sesuatu. Menggerakkan bibir, tapi belum ada satupun kata terucap. Lehernya terasa begitu sakit setelah batuk-batuk tadi.
“E-Ez… nik…” Kata Vednala ga lancar, seraya coba rentangkan tangan kanan, seperti susah payah hendak gapai tubuh bermantel hitam yang berdiri di dekatnya.
“Force kegelapan. Maaf, sayang. Aku tak bisa menolong.” Lelaki itu mengembalikan pelontar granat ke inventori, kemudian mengangkat tubuh lemah Vednala ke bahunya, “Inilah akibat terlampau percaya diri, biarpun pertarunganmu tadi terbilang cukup menarik.” dia bawa pergi Bellatean wanita itu, entah kemana, “Berdoalah dia bisa melakukan sesuatu.” Lelaki itu bak bermonolog. Karena walau dia bicara pada Vednala, namun sebenarnya indra pendengaran si lawan bicara masih ga kuasa menangkap suara.
.
.
…Bellato’s HQ, Teleport Utama…
Hiruk pikuk di depan mesin teleport terlihat makin meningkat seiring diumumkannya kondisi Siaga Satu Solus. Gatan masih sibuk kasih instruksi pada beberapa anggota Resimen 1 Satuan Tugas Gabungan.
“Saya butuh 3 atau 4 skuad untuk prioritaskan keselamatan penduduk sipil. Terutama wanita, dan anak-anak. Berpencar, lalu cover area 2 kilometer sekitar Benteng. Pastikan jangan ada yang tertinggal. Selebihnya-“
“Maximus Gatan!” Tetiba sahutan dari suara seorang wanita menginterupsi. Sentinel senior itu menoleh, dan mendapati seorang wanita berambut hijau pendek berlari mendekat, ditemani pemuda berambut pirang acak-acakan. Dia mengenali mereka. Keduanya merupakan anggota Satuan Tugas Gabungan. Setelah kasih sikap hormat, Si Wanita berkata, “Izinkan kami ikut pertahankan Solus!”
Sekilas, Gatan menginspeksi keduanya. Dan kasih perhatian lebih pada Berserker itu dari atas sampe bawah. Dia udah mengenakan Armor kelas Warrior, dan pelindung kepala. Sejenak berhenti menatap kaki kanan mekanik wanita itu, Sang Wakil Archon berujar, “Maaf, Mess’Ennera. Saya ga bisa kasih kamu izin.”
“Ke-kenapa, Maximus!?” Sirvat tampak ga terima, “Saya siap kembali tempur!” Sorot keyakinan terpancar dari sepasang mata krem.
Gatan tau betul bahwa Prajurit wanita di hadapannya punya semangat ga kalah dari Prajurit-Prajurit Satuan Tugas Gabungan yang lain. Meski sempat mengalami kejadian pahit di Ether, tapi dia terus tunjukkan tekad kuat untuk kembali ke barisan terdepan. Sebenarnya, Gatan ga ingin menolak keyakinan yang diperlihatkan Sirvat.
“Kamu masih dalam masa rehabilitasi. Masih butuh waktu beberapa bulan kedepan sebelum fit untuk tempur.” Ujar Gatan tenang, “Lagian, timmu juga-“
“T-tapi… saya lebih dari siap, Maximus! Saya udah bisa melakukan banyak manuver dengan kaki mekanik ini… dan… dan… saya masih punya tim!”
“Mess’Ennera, perawatan yang dilakukan terhadap kakimu, ga akan beroperasi secara maksimal bila dipaksakan sebelum waktunya,” Balas Gatan teguh, “maaf, tapi keputusan saya ga berubah.”
Dengar hal itu, Sirvat masih ingin maksa. Namun kali ini lebih lesu dari sebelumnya, “Ma-Maximus Gatan, saya-“
“Maximus, saya mohon. Teman kami berada di sana,” Ish’Kandel langung gantian membujuk, “Ibu saya… juga… Jadi… saya mohon…”
“Heyy, Udahlah! Kalian ga dengar, kata Komandan!? Sekarang, pergilah! Kami ga punya waktu untuk dibuang-buang!” Celetuk salah seorang Prajurit Resimen 1. Kayanya jengkel gegara Sirvat dan Ish’Kandel menyela brifing mereka. Bikin Si Shield Miller dan Si Berserker makin tertunduk, hilang harapan.
Alih-alih merasa didukung, Gatan justru menatap dingin pada Prajurit Resimen 1 tersebut, “Jaga mulutmu, Prajurit. Mereka Kamerad kita juga. Hormatilah.”
Prajurit itu kaget, dan jadi gagap mendadak, “Si-siap… Maaf, Maximus.” Kelakuannya sukses disekak mat.
Biarpun berpangkat Maximus, namun Gatan ga pernah menganggap dirinya jauh di atas anak buah. Karena itu, dia paling ga bisa liat bila ada Prajurit terkesan merendahkan Prajurit lain cuma karena pangkat, berada di Resimen atau Satuan Tugas yang lebih elit.
Medan perang adalah tempat paling kejam, neraka kehidupan bagi siapa saja di dalamnya. Ga ada cara untuk melewati selain saling melindungi.
Ajaran Actassi berhasil terpahat abadi di dasar hati anak didiknya.
Bila liat kebulatan tekad layaknya Sirvat dan Ish’Kandel, sebenarnya Gatan selalu enggan cegah mereka dari kebebasan memilih. Pilihan untuk bela darah yang mengalir di urat nadi, demi Bangsa sendiri, adalah hak tiap Bellatean.
Tapi kembali lagi, gimanapun ga sukanya, seperti saat cegah Croiss… segala kemungkinan harus jadi pertimbangan.
Kondisi Prajurit yang prima, serta tim yang solid juga jadi penentu hasil maksimal. Bukan cuma dari segi pencapaian Federasi, tapi juga keselamatan Prajurit yang menjalani. Skuad pertama Resimen 18 cuma tersisa 3 orang pasca insiden ekspedisi Ether. Ditambah lagi, salah satu dari mereka tengah jadi incaran pasukan Accretia, dan lagi berada di zona merah.
“Oke, Mess’Ennera. Skuadmu bisa ikut ambil bagian dalam evakuasi penduduk sipil di Solus.” Ga diduga, ujung-ujungnya Si Komandan berubah pikiran. Serentak, Sirvat dan Ish’Kandel terhenyak, dan langsung tukar pandangan. Beberapa anggota Resimen 1 lainnya juga ga menyangka, “Tapi ingat, saya kasih izin untuk ikut mengevakuasi, bukan ikut bertempur. Paham?”
Sirvat mengangguk haru, “Paham!”
Dibalas senyum tulus dari Sentinel itu, “Dan ini bukan permintaan, tapi perintah.”
“Siap! Terima kasih banyak, Maximus!” Seru mereka serentak.
.
.
…Sektor Solus, Hutan Crawler…
Usai ledakkan besar yang terdengar dari arah Timur, gw dan Faranell segera menggotong Gann ke tempat yang lebih tertutup, di balik semak. Ga nyangka, ternyata Corite lelaki ini lumayan berat juga. Atau… emang gw aja yang kekecilan tenaga… dan badan? Ah bodo amatlah.
Ga bisa deh berhenti khawatir terhadap Elka. Karena dari tadi panggilan gw ga dijawab-jawab. Berkali-kali cek Log misi, siapa tau ada panggilan balasan, atau seengganya pesan, tapi nihil. Layar Log misi sama sekali ga menampilkan apapun kecuali pesan dari operator yang ngingetin tagihan listrik. Faak! Harus sekarang, ya!? Ga tau diri.
Perubahan raut muka dari resah ke jengah, rupanya menarik perhatian Faranell, “Kamu kenapa?”
“Ehem, ga. Ga apa-apa,” Gw coba sembunyikan fakta, “cuma agak khawatir dengan Elka.”
“O-oh…” Dengar kata ‘Elka’, Si Grazier agak tersentak. Menggigit kuku jempol sembari buang muka ke arah lain. Ah, iya. Pertarungan dengan Vednala bikin gw lupa dengan kejadian sebelum itu.
“Apa lu takut padanya?” Tanya gw.
“Ah, uhm… engg… ga-ga begitu… sih.” Bohong.
“Lu ga pandai berbohong, tau?”
Lagi-lagi Faranell tersentak ga percaya, mata kuningnya agak berair saat bertemu dengan tatapan gw, “A-abis… dia serem banget. Dari mata aja… aku tau kalo dia serius dengan ucapannya.”
Haha. Emang ga bisa disangkal. Gw aja yang ibaratnya paling dekat, masih suka dibuat geleng-geleng gegara insting tukang jagal Si Infiltrator.
“Yaaaah, sebenarnya dia baik kok…” Sanggah gw, coba memperbaiki imej Elka di mata Faranell, “… kalo lagi ga buas.”
“Bu-buas!?”
Benak gw memutar memori saat dulu dikejar Warbeast. Waktu itu kami masih jadi Kadet baru Ranger Corps. Tahun pertama menginjakkan kaki di Planet Novus yang penuh monster-monster buas ga karuan…
…
“WOII, KUYA! TOLONGIN DONG, BAJINGAN LU!” Teriak gw seraya lari pontang-panting dari kejaran seekor Warbeast, dilatar belakangi auman keras. Kami sedang jalani misi berburu Lunker akibat populasinya yang mulai meledak di sekitaran markas besar. Tapi tanpa alasan yang jelas, Alecto, si anak sableng malah mancing… iya, mancing. Mancing keributan dengan Warbeast, “ARRGH! FAAK, GW BENCI LU! GW BENCI LU!”
Keadaan diperparah dengan jumlah anak panah gw yang udah menipis usai berburu Lunker. Jadi… ini terpaksa gw lakukan. Yang bikin heran, kenapa dari 3 orang, cuma gw yang dikejar!? Kejar Elka kek sono, atau si kampret itu!
“Waduh, amunisi gw abis nih. Gimana dong?” Eh, tu anak malah kaya ga punya dosa. Minta dislengkat banget kan.
“GIMANA DONG PALA LU RENGAT! TUMBALIN BADAN LU LAH!” Akibat sibuk ngomel-ngomel, kaki gw keserimpet sendiri, dan tersungkur teramat ga elit. Muka duluan nyerempet tanah, “AAWHFFFAAAK! SHITE! FAAK! SHITE!”
Gw balik badan dalam keadaan masih terduduk, Warbeast itu seakan ga kenal kata menyerah. Masih berlari, dan mencoba yang terbaik buat menerkam. Kalo ga salah, itu pengalaman menakutkan pertama yang gw alami di Novus. Dan ngeselinnya lagi, pengalaman itu terjadi karena kelakuan seseorang yang gw sebut sahabat!
Di tengah terjangan makhluk buas yang makin dekat, tetiba Elka lompat, lalu mendarat di ruang kosong antara gw dan Warbeast. Waktu itu, rambut Elka masih panjang dikuncir ekor kuda, dengan poni turun sampe tutupi mata kiri. Dia menyibakkan poninya ke atas, kasih liat dua mata coklat. Hanya berdiri sambil menatap langsung ke mata monster tersebut.
Warbeast itu ga langsung berhenti, melainkan lanjut menerjang. Pas jarak diantara mereka terus terpangkas sampe amat dekat, sekitar satu langkah, barulah Si Warbeast seketika berhenti.
Ada kali semenit mereka dalam keadaan itu. Berhadapan, sekadar bertukar pandang. Ga ada satupun kata dari mulut Elka, ga ada satupun auman, cuma sebatas suara dengkuran dari mulut Si Warbeast. Mereka sama-sama diam.
Kepala Elka mengikuti ke mana kepala Warbeast itu bergerak tanpa melepas kuncian mata. Saat kepala Warbeast itu ke kiri, Elka akan ke kanan. Saat kepalanya ke kanan, Elka akan ke kiri. Bak refleksi cermin. Perempuan itu memastikan sepasang mata coklat jadi satu-satunya objek yang diliat oleh monster buas tersebut, terus berada di depannya selama semenit penuh.
“Apa yang dia lakukan?” Alecto berbisik, seraya jalan mendekat, hendak bantu gw diri.
Gw menggeleng tanpa alihkan perhatian, “Entah.”
Lalu, hal mengejutkan terjadi. Warbeast itu… dekatkan kepala ke dekapan Elka, dan… bermanja-manja!
“Gadis manis.” Perempuan berambut coklat itu tersenyum manis, kasih usapan-usapan lembut atas perilaku lucu monster yang disebut-sebut berbahaya.
Ajegile! Serius nih!? Gw dan Alecto dibuat ternganga. Penasaran gw tanya, “Wauw. Gi-gimana… gimana lu bisa…?”
“Yaaa, anggap aja sebagai perempuan, kami saling memahami.” Waktu itu, kami sama sekali ga paham dengan makna dibalik jawaban Elka. Satu hal yang kami mengerti, kalo ternyata itu Warbeast betina.
“Rupanya Warbeast bisa jadi lucu gini ya.” Kata Si Kuya. Abis bantu gw berdiri, dia menghampiri Elka dan teman barunya. Mau coba elus juga.
Tapi, pas Alecto mengulurkan tangan, Warbeast itu langsung menggeram. Disusul auman keras tanda enggan dipegang orang lain. Bikin gw dan Alecto syok setengah mampus, dan langsung ambil langkah seribu, “FAAK! JAUHKAN MONSTERS ITU DARI GW!” teriak pemuda berambut denim.
Tinggalkan Elka yang kembali menenangkan Warbeast pake usapan di kepalanya, “Dasar lelaki. Ga paham perempuan.”
…
“Yupp. Kalo lagi ga buas.” Kata gw pada Faranell, berusaha tersenyum maksa sembari manggut-manggut karena ga abis pikir bisa-bisanya Warbeast itu jinak di hadapan Elka.
“… Aku berharap bisa mengenalnya lebih dekat.” Balas Faranell, kali ini sambil menautkan jemari telunjuk kanan dan kirinya, “dia… orang yang penting bagimu, kan? Aku… aku… berharap dia bisa perlihatkan kebaikannya padaku juga.”
Dengar kalimat dari mulut Corite wanita ini, bikin gw agak terkejut. Kembali mengingatkan gw akan sifat Faranell yang cukup unik. Dari waktu pertama kali ketemu di Ether, dia selalu kaya gini. Dengan suara yang cenderung nyaring dan nyaris ga terkontrol, selalu kepo, dan ingin tau tentang diri lawan bicara lebih jauh. Baik, dan mudah aja memaapkan perbuatan ga mengenakan yang diterimanya beberapa saat lalu.
Kalo Elka pernah bilang gw terlalu baik buat jadi tentara, terus Faranell apa kabar? Gw malah merasa dia lebih parah. Tapi… kemampuan Force kegelapannya oke banget.
“Jangan cemas, Faranell.” Gw coba menenangkan kegusaran Corite ini, “Gw yakin dia akan membuka hatinya buat lu juga. Saat itu terjadi, lu bakal sayang banget ama dia.”
“Be-beneran?”
“Tapi butuh waktu yang lama,” sambung gw lagi, “bisa jadi… sangat, sangat lama.”
“Yaah! Kok gitu sih!?” Seru Faranell dadakan. Akibat suaranya, gw langsung tutup kedua lubang kuping sendiri.
“Astaga… ga usah teriak-teriak juga kali.”
Dia cuma garuk-garuk kepala, “Ehhe, maaf.”
“Oke. Gw harus pergi sekarang. Ledakan besar itu bisa jadi pertanda serangan.” Gw berdiri, dan balik badan setelah pamit.
Tapi ga bisa beranjak gegara pergelangan tangan kanan gw ditangkap tangan berkulit super halus, “E-eh!? Sekarang?” Tanya Si Grazier ga percaya, “Kamu mau tinggalkan aku di sini berdua dengan Gann?”
Pertanyaan yang bikin gw rada merasa bersalah juga sebenarnya. Tapi, percuma gw di sini ga bisa banyak bantu. Jari telunjuk, dan jempol gw memijit batang hidung sendiri. Berusaha nyari jalan keluar.
“Apa ga bisa panggil bantuan dari Aliansi Suci buat jemput kalian berdua?” mengingat kondisi Gann yang bahkan belum sadar.
“…” Si Grazier berambut ungu terdiam sesaat, “kamu gila, ya?” Ettdah, kasih masukkan malah dikatain gila, “Aku dan Gann ke mari tanpa persetujuan ataupun izin dari atasan kami. Tindakan yang kami lakukan… sebenarnya illegal. Ma-makanya… memanggil bantuan mungkin bukan ide bagus.”
“Ya itu namanya lu yang gila.” Gw balas celaannya tadi.
“Isshh! Bukannya bantuin cari solusi, malah menghina!”
“Heyy, bukan gw yang pertama mulai! Dan bukan gw juga yang pertama menyusup tanpa izin dari atasan, atau rencana cadangan untuk keluar dari territorial lawan!”
“Tapi kamu kan terlibat juga! Aku melakukan semua ini juga karena ada sangkut pautnya dengan nyawamu, tau? Liatlah lawan kita tadi, orang-orang yang mengincarmu bukan Prajurit biasa!”
“Oke, makasih sebelumnya karena udah melakukan semua itu untuk gw! Tapi seengganya kalo bisa terpikir buat masuk, pikirin juga buat keluar dong!”
“Sama-sama! Maaf kalo aku bukan orang jenius yang pandai merangkai rencana! Karena yang terpikir olehku cuma gimana bisa melakukan kontak denganmu! Lagian, aku khawatir, tau!? Gimana kalo misalnya masih banyak orang-orang bermantel hitam itu disekitar sini!? Dan kamu berkeliaran di luar sana seenak jidat tanpa mikirin keselamatanmu!”
“Lu ngomong apa sih!? Ya tentu gw peduli keselamatan diri sendiri! Lagian, liatlah keadaan! Siapa yang harus lebih dicemaskan di sini!? Teman lu sekarat, dan lu udah menguras banyak Force untuk pertahankan keberadaan Innana! Sekarang, kalian kesulitan cari cara pulang! Gw juga khawatir, makanya dari tadi belum pergi-pergi juga!”
“Jadi intinya kita sama-sama khawatir!? Terus kenapa harus berdebat sengit kaya gini!?”
“Mana gw tau!? Lu duluan yang mulai ga nyantai! Kenapa harus tinggikan suara sih!?”
“Ga tau! Haruskah kita berhenti!? Ini mulai ga jelas!”
“YA! Berhentilah!”
Napas kami sama-sama terengah akibat adu argumen yang cukup menguras tenaga dan pikiran. Tapi ujung-ujungnya… ga menghasilkan solusi berarti buat permasalahan yang lagi kita hadapi. Mata ungu dan kuning saling menatap. Sorot mata Faranell… benar-benar terasa menembus sanubari. Bikin gw bengong sesaat, sebelum buang muka usai sadar inti perdebatan kita tadi.
Dia… susah payah membahayakan diri sendiri… supaya kita bisa bertemu lagi. Dan… dia juga sukses memukul mundur Bellatean gila yang mengincar gw itu.
Gw melirik sedikit buat liat dia lagi, ternyata, dari tadi masih aja belum lepas tatapan 200% serius biarpun gw buang muka duluan. Setelah itu, gw langsung melirik lagi ke arah lain. Kenapa dia harus ngeliatin terus kaya gitu? Apa itu kebiasaan para Corite? Terus aja menatap lawan bicara, padahal lawan bicaranya udah enggan melanjutkan. Bikin salah tingkah aja.
“It is good to remember bad times once in a while. So that we can be grateful for the good times. And I’m still waiting that good times yet to come.” – Gatan (Ch. 47)
CHAPTER 47 END.
Next Chapter > Read Chapter 48:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-48/
Previous Chapter > Read Chapter 46:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-46/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list
Catatan Author:
Bagaimana mengucap nama mereka?
Actassi : Aktassi
Oeufcoque : Aufkoh
Grymnystre : Grimnistri
Izcatzin : Izkatzin
Kirxix : Kayersiks
Elkanafia Yeve : Elkanafaya Haiv
Walaupun punya gen Cora, Lake memiliki tubuh kecil karena lahir dan tumbuh di Bellator. Gravitasi Planet yang lebih besar, menekan pertumbuhan tulangnya, dan mencegahnya untuk tumbuh sebagaimana Cora pada umumnya (Cora dewasa bertinggi sekitar 180-195++ cm. Sedangkan Lake 162 cm). Tapi meski begitu, dia tetap terbilang tinggi untuk ukuran Bellatean. Biarpun posturnya emang rada kurus. Lake selalu kesulitan untuk naikin berat badan akibat penggunaan Accel Walk. Tiap kali berat badannya naik, pasti langsung turun lagi. Karena pas Accel Walk aktif, tubuh Lake membakar kalori dalam jumlah sangat besar.
Di sisi lain, Faranell termasuk pendek untuk ukuran Cora. Dengan tinggi 171 cm di usia yang udah menginjak 21 tahun. Seperti Rokai, Faranell juga menguasai semua Force inti. Bedanya, daya hancur dan kapasitas Forcenya jauh di bawah Rokai. Spesialisasi Faranell lebih kepada pengendalian Animus, dan Force kegelapan.
Regards,
Mie Rebus.