LAKE CHAPTER 48 – SOS 3: BELIEVE

Lake
Penulis: Mie Rebus


Sebelum Vednala Menyerang…

Marah, jengkel, gusar, gondok. Kira-kira demikianlah yang lagi dirasakan Elka. Dia ga percaya bisa-bisanya Lake sembunyikan fakta-fakta penting darinya. Ga ada hal lain di dunia ini yang lebih dia pedulikan dari keselamatan Si Uban ga tau diri. Tapi liatlah balasannya. Kebiasaan buruk Lake yang selalu memendam semua masalah sendirian, seolah ga percaya pada perempuan yang udah lama jadi orang terdekat.

Kenapa Lake malah melindungi kedua Corite itu? Kenapa Lake menyebut mereka sebagai ‘teman’? Dia ga tau jawabannya.

Booster masih aktif di balik punggung Si Infiltrator berambut coklat. Meluncur beberapa senti di atas permukaan tanah, menyusuri jalan yang tadi dilalui bersama Lake. Berniat untuk pulang ke Markas Besar, dan menjauh untuk beberapa hari dari Sentinel junior tersebut. Keinginan dari hati kecil Elka sebenarnya sederhana. Ga lebih dari Lake supaya percaya, dan berbagi beban dengannya. Biarpun harus melawan dunia, dia ingin agar bisa berdiri di samping Lake untuk membantu sekuat tenaga. Hanya itu.

Apa terlalu susah buat jadi nyata?

Yah, apa daya, lelaki itu selalu berpikir dengan cara yang aneh.

Di balik kekesalan yang sedang dia rasakan, ga bisa ditampik kalo masih tersisa kecemasan di sudut hatinya. Lake sedang diincar oleh pihak tertentu. Pihak yang belum jelas profilnya, berniat mengekstrak esensi tubuh Grymnystre guna menciptakan kembali Grymnystone.

Siapa? Siapa yang berniat melakukan hal tersebut? Kenapa hal ini ga diselidiki lebih lanjut?

Saat asik melancarkan pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri, baru sadar kalo jalannya dihadang oleh sesosok bermantel hitam dari kepala sampe bawah lutut. Elka tentu terkejut, dan langsung matikan booster. Kedua kakinya langsung menapak tanah lagi. Dua mata coklat menatap sosok itu penuh tanda tanya.

“Siapa?” Elka penasaran. Udah cukup tau dari berbagai film koleksinya, kalo ada sosok misterius pake mantel hitam bertudung muncul, pertanda akan terjadi sesuatu ga baik.

“Kamu telah tumbuh jadi wanita menawan, Yelana.” Ujar sosok tersebut. Bibirnya menyungging senyum berliku.

Mata Elka agak melebar, alisnya terangkat sebelah, kurang paham terhadap kalimat yang dilontarkan lelaki itu, “Siapa yang lu sebut ‘Yelana’?”

“Memang dengan siapa lagi aku bicara?” Dibalas dengan pertanyaan sindiran dari sosok bermantel hitam, “Ah, tampaknya kamu lupa. Izinkan aku mengenalkan diri,” Tangan kanan lelaki itu menyampirkan tudung dari mantel hitam yang ia kenakan, tampilkan wajah yang punya luka sabetan senjata tajam berupa dua garis diagonal di mata kanan, berambut coklat tipis, “namaku Eznik, Proyek Reaper dari Ultimatum. Dan kamu, Yelana, juga salah satu dari kami.”

“Ulti… matum?” Elka ga bisa percaya gitu aja dengan orang yang baru dia temui. Dia ga ingat pernah bergabung dengan organisasi tertentu, apalagi yang disebut Ultimatum. Ga ingat pernah bertemu orang ini, dan terutama, ga ingat ada yang pernah memanggilnya Yelana.

“Ya, dan aku di sini untuk bicara tentang rumahmu. Tempat asalmu… Yelana.” Lelaki itu mengeluarkan sebuah buku kusam dari balik mantel. Buku berwarna merah gelap, dengan gambar 3 bintang terbalik di tengah sampulnya.

“… Yelana, Yelana, Yelana. Gw ga tau omong kosong apa yang lu beberkan,” Perasaan ga suka mulai mencuat dari dada Si Infiltrator. Ditambah lagi, gelagat Pria ini mencurigakan sekali. Ga buang waktu, dia keluarkan pedang tipis Sinful Firefly, dan pistol Guilty Pain dari inventori, “nama gw Elkanafia Yeve Nordo… berhenti manggil-manggil gw dengan nama yang salah,” Ujar Elka dingin sembari mengarahkan moncong senjata pada lelaki itu. Ibu jari kanannya menekan kunci pengaman senjata api hingga bunyi ‘klik’ terdengar, “dan lu ga bakal tau apapun tentang rumah gw.”

“Ohh, yang kumaksud bukanlah Kota Yazpen, atau kediaman Rune-Bailot Nordo,” Pria itu tau tentang rumah Nenek Elka. Bikin Si Infiltrator mengernyitkan dahi, makin waspada, “melainkan… rumahmu yang lain.

“… Dari mana lu tau…?” Lagi-lagi Si Infiltrator dibuat terheran karena Pria asing ga dikenal ini tau kampung halamannya. Dia membentak, “Siapa lu!?” Muak dengarkan omongan Eznik yang makin ga jelas, Elka kuatkan genggaman, dan bersiap menyerang duluan.

Daybreak.” Tapi niat itu batal akibat telinganya menangkap kata-kata aneh keluar dari mulut Pria itu, “Sin.” Elka tersentak, dan seakan ga tau harus berbuat apa, “Nightfall.” Kata-kata itu… seolah menusuk indra pendengaran. Ada sesuatu… ada sesuatu yang berusaha berontak dari balik tengkorak Si Infiltrator.

“U-uuuggh! Aaaarkkh!” Dia menggeleng cepat, coba usir segala sensasi menekan dari dalam kepala, “S-stop… stop…” Sebelah tangan Elka menekan kening, namun permintaannya ga digubris. Eznik masih melanjutkan.

Focal.” Gendang telinga serasa terbakar. Ga tahan, Elka langsung menerjang. Pedang di tangan kiri, menebas tubuh Eznik. Tapi serangan itu mudah dihindari cuma dengan bergeser ke samping, “Initiation.” Perempuan itu merasa makin gelap mata. Penglihatan menghitam, sisakan beberapa obyek sejauh mata memandang. Napas jadi kian berat, dia merasa ga seperti biasanya. Ga lagi tenang, dan terkendali.

Serangan Elka makin membabi buta. Marah, gelisah, tertekan, berbaur jadi satu. Refleksi X dengan lingkaran tepi, muncul terang di lensa coklat, “Surge.” Bak hewan buas lepas dari rantai belenggu, menggeram, rapatkan gigi, dan menembakkan pistol di tangan kanan tanpa arah. Dia ga bisa kenai target sama sekali. “Derilium.” Padahal, Pria itu ga butuh usaha ekstra guna menghindar sambil terus merapal kata-kata asing.

Semua itu akibat serangannya banyak yang ga efisien, serta membuang gerakan percuma.

Visage.” Pada kata kedelapan, tetiba Elka berhenti sepenuhnya. Perubahan prilaku yang sangat mendadak. Refleksi X di mata perlahan hilang. Meski napas masih terengah, namun udah sedikit lebih tenang. Kesadaran ada di batas abu-abu. Alam bawah sadarnya memaksa untuk berhenti, dan menuruti perkataan Pria itu.

Tatapan Si Infiltrator berubah datar, dan seakan tanpa jiwa, tetap lurus ke depan. Dadanya sedikit naik turun atur napas, “Apa perintah anda?”

Eznik yang berada di sampingnya, menyeringai penuh kemenangan. Dia melangkah dekat ke telinga kiri Elka, dan berbisik, “Mission Code; one, nine, one… six, null, seven.

“Dimengerti.” Si infiltrator merespon datar tanpa menatap lawan bicara. Belum ada perubahan dari sikap berdiri.

“Untuk sekarang, segitu dulu, sayang. Release.” Begitu kata asing terucap lagi, Elka langsung jatuhkan kedua senjata di tangannya, sepasang kelopak mata spontan menutup, dan tersungkur lemas, hilang kesadaran. Eznik berlutut, lalu hendak kecup lembut kening perempuan yang pingsan tersebut seraya membisikkan salam perpisahan sementara, “Sampai ketemu lagi, Yelana.”

Belum sempat bibir Eznik mengecup kening Elka, sebuah panah diselimuti aura kehitaman meluncur deras. Pria bermantel hitam sadar akan hal itu, lalu segera menarik kepala guna terhindar dari tembakan tersebut. Kecupan gagal terjadi.

Dia menoleh ke kiri, arah datangnya panah tadi. Perlahan, sosok tubuh Prajurit Bellatean menampakkan diri dari kemampuan kamuflase. Diawali dari kaki, terus ke ujung rambut kecoklatan agak panjang. Mendapati todongan busur hitam dengan pahatan sayap di kedua sisi, berhias ornament biru gelap.

Mata merahnya keliatan begitu tajam, “Apa yang lu lakukan padanya?” tanya Lace dingin.

Prajurit anggota Skuad Taktis Rahasia ini sedang mengemban tugas dari Gatan, untuk cari info lebih jauh tentang Elka. Dia udah mengikuti perempuan ini semenjak pergi bersama Lake menuju Hutan Crawler.

Udah barang tentu dia liat semua aktifitas Lake dan Elka di sana. Gimana mereka bertemu dengan dua Corite, bertegur sapa, hingga cek-cok diantara mereka. Sedikit kaget, emang. Tapi Lace pun kerap melakukannya. Dia juga punya koneksi di Aliansi, dan menganggap hal itu bukan hal tabu. Jadi, dia memilih tutup mulut untuk sekarang, dan berpura-pura semua itu ga terjadi. Prioritasnya saat ini adalah kumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang Si Infiltrator yang sedang ga sadarkan diri.

Dengan mata kepala sendiri, Lace memerhatikan dari awal. Bukannya enggan menolong, tapi dia sekadar penasaran, apa yang bakal terjadi selanjutnya, usai rentetan kata aneh dari Pria itu terucap. Di saat semua dirasa udah terlalu ga beres, barulah dia putuskan untuk ambil tindakan preventif.

Meski masih ada satu hal yang dia khawatirkan… gimana kalo pencegahannya sedikit terlambat?

“Berbincang.” Jawab Eznik singkat. Seringai misterius masih terpatri di wajah, “Tak perlu pasang tampang menyeramkan begitu, Phantom. Dia baik-baik saja. Malah, lebih baik dari sebelumnya.”

“Jadi lu juga tau tentang gw?” Lace menyanggah cepat. Ga nyangka pria ini tau tentang nama kodenya. Biarpun begitu, Prajurit berpangkat Royal berusaha tetap terlihat tenang.

“Kamu cukup terkenal untuk ukuran Prajurit yang tak pernah ada.” Pria bermantel hitam ini masih terkesan santai. Sikapnya justru bikin Lace gusar. Kedua Pria Bellatean itu terdiam sejenak. Lalu Si mantel hitam berkata, “… Ingin sekali berbincang lebih lama denganmu, Phantom. Tapi sepertinya, aku harus pergi. Jadi, sampai jumpa lagi.”

Ga pake mikir dua kali, Lace keluarkan tiga panah sekaligus dari inventori, dan siagakan busur, “Jangan harap, bangsat!”

Tanpa ada aba-aba, jemari yang menahan senar busur hitam kebiruan tersebut lepas, mengirim tiga panah sekaligus pada Eznik. Namun, lesatan panah-panah itu mudah saja dihindari bak permainan anak-anak.

Pergerakan Eznik yang ga biasa, sempat membuat Lace terkejut. Namun, dia ga berhenti di situ. Tangan kanannya dengan cepat kembali keluarkan amunisi. Luncuran panah Force lepas lagi dari busur hitam berukiran sayap. Kali ini tembakan berturut-turut yang dikeluarkan, sambil mendekat ke posisi Elka, berusaha menjauhkan ancaman darinya.

Dan usaha tersebut berhasil. Sang lawan mulai ambil langkah mundur sedikit demi sedikit.

Musuh sama sekali ga keliatan niat untuk balas serangan. Yang dilakukannya murni menghindar. Bahkan, dari tadi ga juga keluarkan senjata, atau apapun. Dua panah yang dialiri Force sukses menyerempet sisi mantel hitam, ciptakan dua garis sobekan lumayan panjang. Namun ga lebih dari itu. Sisanya, sukses dihindari dengan mulus.

Panah bergelimpangan, menancap ga cuma di permukaan tanah, tapi juga batang pohon yang berada ga jauh dari lokasi perselisihan kecil ini.

Dua iris merah belum hilang ketajaman, sedikit melirik Elka di tengah gencar tembakan yang lagi dikerahkan. Cuma mau liat apa ada luka serius, atau engga. Pasalnya, Lace menyaksikan sendiri sepak terjang Juniornya saat Festival Olahraga tempo hari. Gimana dia bisa merebut 5 headband secara solo, cetak K.O beruntun saat dua kali berhadapan dengan Prajurit anggota Divisi Artileri di Raungan ketiga, sampe mengalahkan Meinhalom di Final… setelah Rokai dan Lake jatuh terlebih dahulu.

Karena itu dia ga percaya, betapa gampang orang misterius ini bikin Elka tumbang hanya dengan kata-kata. Tapi tetiba, Eznik udah ga ada di tempat begitu pandangan kembali ke depan. Sekedip mata pemuda berambut coklat mengalihkan perhatian, hilang sudah.

“Cih,” Kesal. Kenapa bisa perhatiannya teralihkan di tengah pertarungan? Ada hal lain yang mengganggu pikiran Lace saat ini. Sekali lagi ia melirik Prajurit yang masih tergeletak, lalu berlutut. Telunjuk serta jari tengahnya menekan sisi jakun Elka dengan lembut. Nadi perempuan ini masih berdenyut. Lace menggendong tubuhnya, berniat bawa Si Infiltrator perempuan kembali ke Benteng Solus sembari hubungi seseorang dari Log misi, “Lamia, kayanya gw butuh bantuan.”

.

.

Hutan Crawler, setelah ledakan + Vednala menyerang…

Faranell. Lugu-lugu ngeselin, kerap melibatkan diri dalam masalah yang seharusnya ga dia dekati, tapi… baiknya bukan main. Kadang gw lupa, kalo anak ini adalah Corite dewasa. Satu-satunya yang jadi pengingat, ya tampangnya itu yang rupawan tanpa cela. Plus Armornya yang… ehem… seksi.

Apalagi pas meditasi. Kalo kebanyakan orang duduk tertatai, beda dengan perempuan manis ini. Dari dulu senangnya bersimpuh. Kedua mata tertutup, tongkat sihir keemasan melintang di atas paha. Walau terdapat peluh, dan sedikit keringat, wajahnya tetap terlihat begitu anggun lagi menawan. Aura yang dikeluarkan mampu bikin orang-orang yang liat dia ikut larut dalam ketenangan. Ini bukan pertama kali gw liat Faranell meditasi. Dulu pernah, waktu kita terjebak di kediaman Kakek Aet. Perasaan tenang itu… kembali menghampiri.

Entah harus bilang beruntung, atau apes terjebak di mari bareng Si Grazier berambut ungu. Yaaaa… biarpun gw ga tau pasti apa yang lagi kita tunggu. Pasalnya, dibilang apes, tapi sekarang gw bisa liat penyebab utama kebanyakan Pria muntah pelangi. Dibilang beruntung, tapi kita udah kena serang oleh perempuan gila. Faranell bermeditasi guna kumpulkan kembali Force yang udah terbuang setelah pertarungan tadi, dan juga setelah pertahankan keberadaan Innana dalam kurun waktu cukup lama di dimensi ini.

Ya, bagi para Grazier, harga yang harus dibayar untuk pelayanan dari Animus mereka adalah Force.

Animus adalah Prajurit-Prajurit andalan Decem yang diutus untuk membantu para pengikut setianya dalam pertempuran. Mereka makhluk dari dimensi berbeda dengan kita, perwujudan asli dari Force kegelapan. Bentuk original mereka sebenarnya ga lebih dari gumpalan energi. Untuk pertahankan wujud di dimensi ini sebagaimana yang biasa kita liat, mereka butuh Force dari Masternya.” Itu kata Faranell.

Akibat penjelasan itu… jadi bikin gw mikir. Gimana dengan Isis merah yang dulu pernah dilawan oleh gw, Almarhum Jizzkar, dan Maximus Gatan? Kalo ga salah, ga ada tanda-tanda Master Si Isis terlihat di sekitar TKP. Tapi, Animus lepas tersebut ga hilang-hilang keberadaannya.

Sebelum dia meditasi, gw sempat iseng tanya-tanya tentang cara kerja Grazier dan Animus. Itung-itung sebagai bahan obrolan, daripada diem-dieman kaya kambing conge, “Heyy, gimana cara lu kasih perintah ke Animus? Apa cukup bicara biasa? Maksud gw… apa ga tertukar kalo dipanggil dengan nama yang sama?” Nanti bisa jadi judul sinetron.

Pfft… kamu kaya interogator.” Dia malah bilang gitu. Bikin gw bersungut-sungut sejenak. Tapi ujung-ujungnya dijelaskan juga sih, “Aku ga ‘memerintah’ mereka, melainkan ‘meminta’. Bagiku, Animus bukanlah bawahan, atau budak, atau bahkan senjata. Tanpa Animus, aku cuma kerikil di pegunungan. Kami berada di posisi yang sejajar. Kata-kata biasa ga akan membuat Animus melakukan permintaanku begitu aja. Kalimatku bisa didengar oleh Animus karena dibalik kalimat tersebut, disertai kontak batin. Keyakinan, kepercayaan, keteguhan, tanpa keraguan…

“… kami ga pernah takut Animus akan tertukar satu sama lain. Di mata orang, mereka boleh berpenampilan sama, tapi bagi para Grazier, tiap Animus punya karakter berbeda. Dan… ini rahasia diantara kita ya. Sebenarnya… se-sebenarnya… aku punya panggilan sendiri untuk Animusku. Ehehe.

Jadi… mereka bisa bicara? Gw kira-“

Tentu. Bisa dibilang kami bicara dengan kekuatan pikiran.” Jawab Faranell sambil menempatkan jari telunjuk dan tengah kedua tangannya di kedua sisi kepala, ditambah ekspresi muka polos nan lucu, “Mereka bisa dengar suara dari luar, tapi suara mereka cuma bisa didengar oleh Masternya.

Faranell keliatan begitu antusias menjelaskan apa yang dia tau tentang Animus. Padahal, gw ini kan Prajurit Federasi. Ya harusnya, dia lebih waspada dong. Kan bisa aja gw pake informasi ini untuk tujuan-tujuan lain. Tapi, engga. Ga ada sedikitpun kecemasan terpancar dari gelagat Si Grazier. Apa segitu besar kepercayaannya pada gw?

Sesaat mata gw menatap hampa pada dua telapak tangan yang diperban olehnya. Kenapa? Kenapa dari awal kita ketemu sampe sekarang, dia selalu begitu?

“U-uh…” Lenguhan Gann di tengah kesunyian, bikin Faranell buka mata, dan menghentikan kegiatan meditasi. Perhatian gw juga jadi teralihkan dari telapak tangan. Pemuda Corite ini akhirnya sadar dari keadaan kritis, “Faranell… Faranell…” Lirih suara terucap dari mulut.

“Gann!” Pekik Faranell, langsung tahan tubuh kawannya yang berusaha bangkit, “Aku di sini. Jangan berdiri dulu, lukamu masih-“

“Ka-kamu… kamu baik-baik aja…?” Dibantu Faranell, pemuda Corite itu mengangkat tubuhnya ke posisi duduk bersandar pada batang pohon. Gile juga ni orang. Masih sempat mikirin orang lain, padahal dia yang hampir mokat.

Tatapan mata kuning Faranell mengiba. Mungkin terselip getir liat kelakuan Gann lebih pentingkan dirinya ketimbang diri sendiri. Dia berusaha akhiri kekhawatiran dengan satu senyum tipis, “Ya, aku baik-baik aja. Kami berhasil atasi Bellatean wanita itu. Jadi… tenanglah.”

“Syukurlah…” Si Grazier lelaki hela napas teramat lega, “Syukurlah… Puji Decem, puji Decem…” sampe diulang gitu ucapan syukur pada dewa mereka.

Liat keadaannya masih lemas, gw keluarkan sebotol air mineral dari Inventori 4 dimensi di paha kanan, dan sodorkan botol ke dia, “Butuh minum?” tapi malah dibalas pandangan heran beberapa detik. Njir, masih untung ditawarin, “Tenang, ga pake sianida kok.” celetuk gw asal.

Tanpa berujar, tangan kanan Gann ambil botol di tangan gw. Langsung ditenggak airnya banyak-banyak hingga terbatuk. Nah kan, ga santai sih minumnya. Kaya dikejar MAU.

“Lake…” Panggil Gann usai menyeka air di sekitar mulut, “… seumur hidup, ga pernah terbayang di kepala… kalo aku akan bilang ini pada seorang Bellatean,” lanjutnya terengah, “terima kasih. Terima kasih udah… lindungi Faranell.” ucapan yang bikin gw garuk-garuk belakang kepala. Soalnya, hal itu kurang tepat.

Terkejut sih emang. Soalnya, ga nyangka bakal dapat makasih dari seorang Corite. Cuma bisa senyum dengar ungkapan dari Gann, “… Terima kasih lu salah sasaran,” Sanggah gw kemudian. Ogah terima pernyataan tulus, kalo kenyataannya bukan gw yang melakukan semua itu. Pandangan gw perlahan pindah ke wanita berambut ungu, diikuti juga oleh Si Grazier lelaki, “justru dia yang berperan besar, gw cuma bantu sedikit.”

Mata Gann melebar takjub, “Fa-Faranell…? Kamu yang…?”

“Ah, ehm… engga kok. I-itu… uhm,” Lah, malah senyum-senyum sendiri. Kedua ujung jari telunjuknya saling diadu, “itu… berkat perjuangan kalian juga. Mampu memberiku keberanian untuk-“

Omongan Faranell dipotong bunyi tembakan teramat nyaring. Untuk sesaat, rotasi Novus serasa berhenti di sumbunya. Stagnan. Atmosfir sunyi menyapu tengkuk seketika.

Rasa sakit baru datang sedetik kemudian. Penuh perasaan tegang, gw lirik ke paha kanan, “Ha-hah?” Ada bercak darah di satu titik. Cairan merah yang harusnya ada di dalam tubuh, mendadak keluar tanpa diminta. Paha kanan gw ditembus peluru! Mata gw seolah mau lompat keluar, “UUAGH!” Alamak! Tega betul, main tembak seenaknya! Spontan, tubuh langsung hilang keseimbangan, dan jatuh. Faak! Perih! Panas! Tersengat! Noda merah mulai tampak makin lebar.

“Oh, Decem! Lake!” Faranell panik. Dua Corite yang ada di dekat gw ini ga kalah kaget.

“Musuh! Keberadaan kita diketahui!” Timpal Gann seraya susah payah berdiri. Tangan kiri Grazier Pria itu masih menekan luka tusukan tombak di perut sebelah kiri, “Faranell, kita harus pergi dari sini!”

“T-tapi, gimana dengan dia!?” Ekspresi Grazier wanita diliputi kegelisahan mendadak. Sedangkan gw masih meringis kesakitan sambil coba hentikan pendarahan dengan menekan sekuat mungkin area sekitar luka tembak pake dua tangan, “kita ga bisa tinggalkan dia di sini…”

“U-ugh… ga apa, pergi sana. Gw… gw bisa panggil bantuan.” Peluru tersebut ga bersarang di antara serat otot, melainkan tembus. Ciptakan dua lubang kecil di bagian depan dan belakang paha.

“Ga! Kamu ga meninggalkan kami, kami ga akan meninggalkanmu!” Bantah Faranell tegas. Dia berlutut, dan keluarkan pisau kecil. Memotong bagian kanan celana Ranger yang gw kenakan dari lutut ke bawah. Agak panjang potongannya, dan langsung dililit kuat-kuat pada luka tembak.

Huff, untung ga jadi ditinggal.

Sial! Dari mana? Dari mana arah tembakannya!? Semua begitu mendadak, gw sempat ga bisa mikir. Benak kosong, dan ga tau harus gimana. Kaki adalah bagian tubuh paling penting untuk bertahan hidup. Ibarat kata, gimanapun caranya, penopang tubuh ini harus selalu kokoh. Harus selalu lebih kokoh dari yang lain supaya kita bisa terus melangkah, atau berlari hingga tujuan tercapai.

Kalo gini ceritanya, gw ga bisa berlari! Bajingan!

Primary target; Lake Grymnystre, engaged.” Suara parau terdengar menyebut nama gw di antara lebat semak yang berada di sekitar. Sinar lensa kehijauan seolah meremehkan, ga takut ekspos keberadaannya. Sosok Prajurit besar yang terbuat dari kaleng warna hijau terlihat arahkan senapan pada kami. Plis, jangan bilang kalo gw juga diincar Accretia, “There’re 2 Corites with him aswell. One of them is badly injured. Triari Scattershot awaits for further instruction.” Accretian itu bicara dengan bahasa asing sambil jalan mendekat. Bisa jadi kasih laporan dari alat komunikasinya.

Di belakang Prajurit Kekaisaran berzirah hijau safari itu, semak dan juga pepohonan terbelah. Dedaunan terhempas begitu saja ke segala arah. Dua-tiga pohon tumbang kaya digilas bulldozer. Ada dua Accretian lain sedang buka jalan! Yang satu mengenakan Armor Merah, bersenjatakan perisai dan pedang. Yang satu lagi… yang sa-satu lagi… Gabber?

Kami menatap mereka penuh keresahan. Faranell mengenali salah satu Accretian lain yang baru datang itu, dan langsung gigit bibir bawah agak keras, “Kkh…”

Hold your fire, Scattershot.” Ucap yang zirah merah sambil menurunkan laras senapan kawannya dengan pedang, “You’ve done well.

Thank you, Centurio Ironall.

Keseimbangan Gann bertumpu pada tongkat sihirnya, sedangkan gw coba berdiri agak goyah. Nyeri masih terasa banget dari luka tembak. Apalagi pas pusatkan berat badan di kaki kanan. Beuhh… perihnya ga ada obat.

Di antara kami bertiga, cuma Faranell yang ga alami cedera luar serius. Ga tau deh gimana keadaan Forcenya. Semoga aja udah lebih baik. Kalo harus bertarung lagi lawan musuh yang masih fit, bisa dipastikan, kami bakal mati konyol.

“Faranell, kita harus mundur, sekarang.” Sekali lagi, Gann berusaha mengajak Faranell. Kali ini sambil menarik lengan wanita berambut ungu.

Namun, Faranell belum bisa tergerak dari tempatnya berpijak, masih menimbang berbagai kemungkinan, “A-aku… tapi…”

Telunjuk besi dari Si Merah memijat sisi kepalanya, “Oke, begini kesepakatannya, lu ikut dengan kami…” kemudian menunjuk tepat ke gw. Wew, bisa tiba-tiba ganti bahasa gitu, “… dan kami ga akan macam-macam. Atau, kita bisa pake cara keras.”

Tuh kan, ah elah! Kenapa belakangan ini banyak yang ngejar-ngejar gw!? Dan ironisnya… gw masih aja jomblo.

Lagian, kenapa juga Accretia ikut-ikutan masalah ini? “Gw udah menolak ajakan wanita sebelum ini, tentu gw bakal menolak tawaran dari kaleng macam lu pada!”

“Kamu benar-benar terkenal, rupanya.” Celetuk Gann. Udah luka-luka, masih sempat aja meledek.

“Kampret! Siapa juga yang mau jadi target berbagai pihak begini!?” Gw ga pernah minta untuk terlibat konflik menyebalkan! Sumpah!

“Masih belum berubah, heyy Cebol?” Gabber yang sedari tadi belum bersuara, mulai bicara, “Apa lu masih lemah seperti saat terakhir kita duel?”

“Se-setidaknya… dia lebih kuat darimu.” Faranell menyela omongan Gabber setengah ketakutan.

Dan itu membuat Si Punisher naik dar- ehm… oli? Serta merta tarik keluar Spadona cyan andalan. Masih segar di ingatan gw, gimana Spadona itu terayun penuh napsu kala di Ether. Seolah itu baru terjadi kemarin. Sekarang, kembali kami saling berhadapan

Dengan Spadona teracung ke arah Faranell, dia membalas pake nada jengkel, “Ga ada yang bicara dengan lu, Penyihir cengeng. Pulang, dan berdoalah pada dewa yang kalian puja berlebihan itu.”

“Heyy! Jangan sekali-kali kamu menghina Decem, dan Faranell!” Bentak Gann dengan suara seraknya.

Namun Gabber keliatan ga peduli, “Kenapa? Gw benar, kan? Apa lu marah? Apa yang bisa lu lakukan? Minta pertolongan pada Dewa?” Si Punisher masih terus berkicau, “Percuma, Dewa kalian ga bisa berbuat apa-apa di hadapan superioritas Kekaisaran.”

Deret gigi kedua Corite ini makin rapat, menggertak penuh kejengkelan. Ya sedikit banyak gw paham sih perasaan mereka. Dasar robot ga berotak. Nyindir orang lain belum berubah, padahal sendirinya juga ga berubah. Masih aja belagu kaya dulu. Pandai provokasi pula. Kayanya, ga bisa bayangkan diri gw bertarung di sisinya untuk hadapi ancaman seperti yang pernah dibilang Kakek Aet. Gw masih ga suka gayanya.

Telapak tangan Gann terkepal keras, “Besi rongsok keparat… ga bisa dimaafkan…”

“Heyy, heyy. Udah, jangan saling hina,” Sela gw, sok-sokan meredam tensi yang makin tinggi, “kalian mau gw, kan? Gimana kalo coba bujuk gw dengan kata-kata manis,” Kedua tangan udah genggam dua pedang kembar andalan dari dalam inventori, “dan aksi yang memukau? Barangkali bisa bikin gw berubah pikiran.”

Para kaleng itu terdiam seketika. Sedangkan, Gann dan Faranell cengo.

“… Hoo? Jadi lu lebih memilih pake cara keras?” Tanya Accretia berzirah merah, “Entah apa lu udah gila, atau emang pasrah…”

Lagi-lagi dikatain gila. Salah gw apa coba? Kedua bahu terangkat, “Yah, banyak yang bilang gitu sih.”

Gw juga ga yakin, apa ini emang jalan keluar terbaik? Dengan kondisi kaki kaya gini, mustahil bisa andalkan kecepatan, dan kelincahan seperti biasa. Tapi… dari dasar hati terdalam, ada yang berbisik kalo gw harus melawan. Dia lagi, ya?

“Apa kamu serius…? Kamu baru aja kena tembak!” Seru Faranell, “Kumohon… berpikirlah sebelum bertindak.”

“… Yang mereka mau itu gw, bukan kalian.” Jawab gw sekenanya, “Dan gw udah pikirkan. Antara pasrah atau gila, gw pilih gila.”

Begitu gw maju dengan tergopoh, Faranell cengkram kuat bahu kiri, dan ga ada niat mau lepas. “Dungu.” bisiknya.

Sejenak, gw bungkam. Memilah rangkaian kalimat kaya gimana lagi yang bisa dipake buat meyakinkan perempuan ini. Dia ga akan biarkan gw melawan Gabber dan kawan-kawan. Mulut gw cuma bisa haturkan satu kata, “Lepaskan.”

“Kamu… udah pernah ampuni hidupku, menyelamatkanku, bawa aku kembali dari dimensi lain…” Gw sedikit menoleh ke belakang, mendapati kepala Faranell tertunduk, “aku… a-aku… ga bisa biarkan… kamu berjuang sendiri terus-terusan.”

Kembali kata yang sama terucap, “… Lepaskan.”

Faranell angkat wajah supaya mata kami beradu pandang. Pas liat keteguhan di mata ungu, dia terhenyak, dan mulai mengendurkan cengkraman. Sadar kalo ga ada lagi yang bisa dilakukannya untuk mengubah keputusan seorang Bellatean berambut kelabu.

“Ahh, kenapa kamu selalu begitu?” Tetiba, Faranell malah sejajarkan posisi di samping gw, lalu tawarkan sebotol cairan hijau, “Tapi… sisi itu yang kusuka darimu.” dia… tersenyum amat anggun. Ekspresi paling anggun yang belum pernah gw liat dari semua wanita selama ini. Kemudian, tatap mata kuningnya berpindah pada Prajurit Accretia, “Minumlah, ini ramuan penghilang sakit. Biarpun cuma sementara, tapi setidaknya bisa cukup membantu.”

Mata gw melebar saat dengar pernyataan Faranell. Satu kalimat yang bisa bikin tiap lelaki di sudut Novus paling gelap sekalipun terperanjat. Tanpa pikir dua kali, tangan gw meraih pemberiannya, “Ehm… uhm… Ma-makasih, gw tersanjung.” Kata gw sembari tersipu malu.

Sekali tenggak, efek ramuan itu langsung terasa. Sakit yang begitu menyengat tadi, perlahan… makin berkurang sampe ga ada lagi. Wow, manjur banget nih.

“Ternyata kamu benar-benar bawa pengaruh buruk untuk Faranell.” Suara serak Pemuda Corite terdengar dari sebelah kanan. Gann terkekeh pelan, “Boleh minta sedikit? Kayanya, aku butuh juga.” Dia habiskan sisa ramuan tersebut, menyeka cairan yang merembes dari sela bibinya, lalu berseru, “Dengar, cebol! Kalo sampe Faranell celaka, aku akan timpakan semua kesalahan padamu!” Oi, oi. Yang benar aja. Itu kan kemauannya sendiri. Kenapa jadi gw?

“Udah belum? Kami bisa karatan menunggu kalian.” Celetuk Accretian berzirah merah. Tampak siap dengan pedang dan perisainya.

“Maap menunggu lama…” detak jantung gw meningkat dengan cepat, ga berniat bicara lebih banyak, dan berharap semua segera terselesaikan, “… gw akan ladeni kalian pake tempo kilat.”

Saat Si Zirah merah hendak menerjang, Gabber menyilangkan Spadona di hadapannya, “Dia lawan gw.”

“Oke, oke. Terserah lu lah.” Respon kawannya santai.

Diantara kami berenam, gw jadi yang pertama maju. Gann dan Faranell juga ikut, tapi sambil tetap jaga jarak. Gabber juga ga mau kalah. Kecepatan gw udah di atas rata-rata. Jauh lebih cepat dari Si Punisher. Darah berdesir teramat deras, denyut nadi bak ga tertahan. Kinerja seluruh otot dibuat ekstra keras. Ramuan pemberian Faranell cukup ampuh untuk meredam sakit di paha kanan, sehingga sangat memudahkan gw saat berlari.

Begitu jarak kami kian terpangkas, Gabber menusukkan Spadona ke depan dengan penuh tekanan. Gerak lambat dari Spadona besar berwarna Cyan, sama sekali ga sulit dihindari. Cukup ambil selangkah ke kanan. Di mata gw, sampe keliatan aliran udara tipis bergerak di sekitar Spadona tersebut. Pertanda betapa besar tenaga yang digunakan kaleng satu ini.

Usai menghindar, gw ga berhenti. Malah makin cepat berlari menuju pinggangnya. Pedang biru dan merah langsung menyambar sisi kiri Gabber saat gw lewat. Hasilkan bunyi metal tergores. Posisi kami jadi saling memunggungi. Kaki gw menekan permukaan tanah dengan begitu keras guna matikan kecepatan.

“UGH!” Otot paha terasa berdenyut hebat akibat deselerasi mendadak. Duh! Katanya, efek ramuan ini bisa bertahan beberapa menit, kok baru berapa detik udah kerasa sakit? Apa gegara pengaruh Accel Walk juga?

“Awas! Dia tau!” Pekik Faranell.

Seolah ga peduli abis kena serang, tanpa menghadap lawan, Si Punisher berarmor biru navy langsung ayunkan Spadona ke belakang. Tepat ke titik dimana gw berpijak! Dia udah baca gerakan gw rupanya! Tapi, dari awal gw pun yakin, dia bukan kaleng tanpa isi. Gabber adalah Punisher dengan kemampuan tempur yang cukup berbahaya. Makanya, gw juga udah menduga dia sanggup prediksi tindakan tadi.

Ayunan penuh niat menghabisi, datang tanpa halangan. Ukuran Spadona yang besar dan panjang, bikin jangkauan serangnya jadi cukup luas. Membelah udara, dan ditujukan buat potong tubuh lawan dalam satu kali serang. Tentu gw ga tinggal diam. Dengan segera menekuk lutut buat kumpulkan momentum. Masih memunggungi lawan, satu sentakan kuat gw paksakan, sembari tahan rasa sakit yang kian menjadi. Membawa tubuh gw mengambang di udara dalam posisi rebah, serta terhindar dari ayunan maut Spadona Gabber.

Tanah sedikit terbelah saat Spadona tersebut gagal menyentuh target. Merasa serangannya meleset, Gabber menoleh ke belakang, tapi ga liat ada apapun di sana. Cuma debu, dan bebatuan kecil.

Jelas aja. Karena lompatan yang gw lakukan udah lebih tinggi dari badan Accretian itu! Di udara, gw memutar tubuh dalam posisi siap serang balik, “Shadow Turn!”

Seraya tubuh gw ditarik gravitasi, putaran cepat diiringi 3 sabetan vertikal sukses mengiris bagian bahu mekanik. Sebenarnya, gw incar kepala. Tapi Si Kaleng ini sempat gerakkan kepalanya sedikit sehingga serangan jadi agak melenceng dari tujuan awal. Dentingan besi, dan percikan api tercipta dari tubuh Gabber akibat teknik barusan. Tekanan yang diterima, bikin Si Punisher berlutut. Sedangkan kedua kaki gw kembali mendarat di permukaan tanah dengan cukup mulus.

Wew, keren juga ya gw. Biarpun kaki udah kena tembak, ternyata masih bisa lakukan gerakan akrobatik kaya tadi. Haha, jadi memuji diri sendiri.

Tapi… apa itu cukup? Ah, ga mungkinlah! Ancaman belum selesai! Gw ambil langkah mundur, kembali jaga jarak sambil amati lawan. Gabber masih berlutut, dan lensa optik merahnya masih fokus ke mata gw. Hah, sialan… dia beneran ga niat kalah di sini.

Gann dan Faranell juga sibuk. Saling bahu-membahu lawan dua kawan Gabber yang lain. Animus Isis Mereka tampak kesulitan ladeni pertahanan keras Mercenary. Belum lagi, serangan kritikal yang dimuntahkan senapan Accretia penembak jitu ga bisa dihiraukan sama sekali.

“Gerakan yang bagus, Cebol,” Ujar Gabber sembari berdiri perlahan, “tapi masih ga terasa.” Dia memanggul Spadona di bahu, serta berlagak sok kece. Yaiyalah ga berasa! Badannya kan mekanik gitu. “Menyerahlah, ga perlu buang-buang tenaga. Lu ga akan menang di pertarungan ini.”

Kampret. Ternyata benar, gw masih ga bersahabat kalo berurusan dengan mesin. Denyut nyeri yang terasa di paha berusaha gw tahan. Sebisa mungkin ga mau kasih liat kesakitan di hadapan lawan.

“… Prosesor suara lu itu harus diseting ulang biar ga banyak omong.” Masih ada harapan! Kami bisa pukul mundur mereka, “Lu tau? Gw ga pernah keberatan untuk lari dari masalah, atau udahan setelah ga bisa menggapai tujuan. Biarkan orang lain senantiasa selesaikan segala hal yang harusnya gw tangani sendiri. Benar kata lu, gw lemah. Individu tersesat yang ga punya tujuan hidup. Tapi, gw punya satu kebiasaan buruk. Kalo disuruh menyerah, gw justru bakal melakukan sebaliknya…” Tangan kiri gw angkat, menunjuk Gabber pake pedang merah, “… maju lu, biar gw kasih yang ada rasanya.”

Gw akan berjuang, dan bertahan hidup!

-Beberapa menit kemudian-

“Faak. Oke, gw nyerah.” Ah, suwe. Setelah kalimat super keren itu terucap… kenapa harus ini yang terjadi? Matilah awak.

Kondisi badan yang terlampau letih, ditambah efek ramuan penghilang sakit dari Faranell udah abis, bikin sekujur tubuh gw susah bermanuver. Alhasil, gw jadi bulan-bulanan Gabber. Usai terima serangan beruntun dari Spadona Cyan tersebut, gw geletak pasrah di atas permadani rumput. Menatap awan-awan di langit yang bergerak pelan.

“Apa lu tolol? Udah gw bilang, lu ga akan menang.” Pemandangan awan tertutup oleh sosok metal besar. Gabber berdiri gagah, menatap ke bawah. Dia meraih kaki gw, dan langsung memanggul gw di bahunya.

“L-Lake…” Rintihan Faranell terdengar beberapa meter di samping. Dia dan Gann dalam keadaan yang ga jauh beda, tersungkur ga berdaya di hadapan lawan masing-masing. Wajah ayu yang tadinya putih mulus, kini terdapat noda tanah, dan terukir segaris luka di pipi dengan sebercak merah.

Gw menatap sepasang mata kuning wanita itu. Berkaca-kaca, penuh kelelahan. Setitik peluh mengalir dari sisi kening Faranell, terus turun ke dagu. Tinggalkan jejak anak sungai di sana.

Lu ga akan menang.

Entah apa lu udah gila, atau emang pasrah.

Aku akan timpakan semua kesalahan padamu.

Shite. Lagi-lagi keputusan egois gw melibatkan orang yang ga seharusnya terlibat. Niat hati pengen mereka menjauh dari permasalahan ini, malah bikin mereka menghadapi konsekuensi karena bertarung di sisi gw. Inilah kenapa kadang gw lebih suka memendam berbagai hal.

Selama ini gw udah belajar gimana caranya untuk ga acuh terhadap apapun yang sifatnya terlalu mengusik diri sendiri. Berbagai hujatan, hinaan, cemoohan, pandangan menusuk batin dari orang-orang yang gw sebut ‘Satu Bangsa’. Ga peduli, bukan berarti terima gitu aja. Gw benci itu.

Tapi… di balik semua itu, gw pun belajar… gimana caranya untuk perjuangkan hal yang gw anggap penting, dan ga bisa digantikan sampe kapanpun. Segelintir orang yang percaya pada gw, dan gw percaya… pada mereka, sepenuh hati.

“Yah, gw udah usaha yang terbaik. Tapi usaha terbaik gw ga cukup baik.” Balas gw pasrah, pake kata-kata andalan Alecto. Ya udahlah, mau gimana lagi? Udah ga bisa melawan ini mah. Bawa dah, bawa.

Begitu Si Punisher baru ambil 3 langkah, dia berhenti. Gw penasaran, kenapa tiba-tiba berhenti? Eh ternyata… jalannya dihadang oleh… Faranell.

Napasnya terengah, dia berdiri sempoyongan. Kedua tangan direntangkan selebar mungkin, sedangkan tongkat sihirnya entah di mana, “Aku… aku… ga akan biarkan kalian… membawanya.” Terbata kalimat itu, di sela-sela tarikan napas. Sorot matanya menajam walau keliatan jelas abis stamina.

Jelas hal itu bikin gw terheran. Dia… sampe segitunya?

Teman Gabber yang berzirah merah melengos, “Haha, boleh juga tekad Corite ini.”

Sedangkan yang pegang senapan dari tadi ga banyak bicara. Sekadar mengamati seksama.

“Minggir, Cengeng. Jangan melakukan hal yang ga perlu.” Perintah Si Kaleng sembari lanjutkan langkah yang sempat terhenti. Gabber tau, gw juga tau, ga ada yang bisa dilakukan Faranell untuk mencegah langkahnya walau sesaat. Dari awal keadaan sama sekali ga memihak kami.

Saat jarak Gabber dan Faranell makin dekat, tangan dari logam tersebut terangkat, hendak mendorong kasar wanita berambut ungu supaya tersingkir dari jalannya. Faranell masih ga bergeming, kasih tatapan tegar, dan enggan beranjak. Sesaat sebelum tangan Gabber menyentuh Si Grazier, tetiba 4 lingkaran sihir dengan warna berbeda muncul dari tanah! Emas, merah, hijau gelap, dan hijau terang. Lingkaran sihir seperti yang biasa muncul pas Grazier memanggil Animus! Ja-jangan bilang kalo dia mau…

“Fa-Faranell! Jangan lakukan itu!” Seru Gann di sisa tenaga.

Faranell tersentak, bagai sadar akan sesuatu. 4 lingkaran sihir tersebut langsung hilang. Batal melakukan apa yang mau dia lakukan. Kini, dia cuma bisa silangkan kedua tangan di depan wajah seraya tutup mata, menunggu hempasan tangan Gabber.

*Mendadak, dentuman intro musik sangat keras mengganggu segala hal yang tengah kami lakukan. Gw kenal lagu ini… lagu Selamat Datang di Hutan, karya band legendaris Senjata dan Mawar. Diiringi deru mesin kendaraan roda empat yang menuju kemari.

Di belakang kemudi kendaraan ga beratap tersebut, keliatan ada sesosok Lelaki berambut hitam ga karuan akibat tertiup angin. Mengemudikan mobil militer dengan gaya songong tingkat Bellatean langit. Tangan kiri di kemudi, tangan kanan bertumpu ke pintu. Kacamata dengan frame hitam persegi panjang bertengger apik di batang hidung lelaki itu.

Kendaraan tersebut melaju kencang, ga ada tanda-tanda pengemudinya menginjak rem! Makin dekat, makin dekat, makin dekat! Buset! Apa dia niat menabrak Gabber!? Tapi kan gw juga ada di sini!

Liat sebongkah kendaraan ga berhenti, Gabber lompat mundur. Terhindar dari tabrakan. Sedangkan Faranell ga bergeming sama sekali, namun jarak dari terjangan mobil dan tubuhnya cuma terpisah beberapa inci.

Setelah itu, lelaki berkacamata lompat keluar dari mobil, mengenggam tongkat sihir di tangan kanan, dan langsung merapal mantra Force api! Dari sekujur lengan kirinya, segumpal warna oranye terkonsentrasi. Perlahan bergerak ke telapak tangan, “Ignite!”

KABOOM!

Ledakan spontan di depan Gabber ga bisa terhindarkan. Membuatnya jatuhkan tubuh gw supaya lebih mudah mengelak. “Aww! Auch! Auch!” Aseem! Seenaknya aja buang-buang badan orang! Mana gw juga sedikit kena mantra api itu pula!

Musik latar masih terdengar keras dari audio mobil militer yang tadi dinaikinya. Mengiringi tiap gerakan serta mantra yang ia gunakan.

Si Mercenary berarmor merah berniat bantu Gabber, namun hal itu dicegah oleh mantra berikutnya, “Death Gale!” Hembusan angin terlampau kuat, sukses bikin Accretia itu mental jauh ke belakang.

Dari titik buta Si Holy Chandra, dua peluru dimuntahkan laras senapan Prajurit Accretia berarmor hijau. Tapi sia-sia, serangan tersebut dihadang oleh 3 batuan berukuran sedang, yang langsung mengorbit di atas kepalanya setelah menghentikan laju peluru.

Mata hitam pemuda itu langsung menajam, tertuju pada penembak tadi. Percikan kilat perlahan tapi pasti, muncul di lengan kiri.

“Zip!” dia merentangkan tangan. Satu kilatan petir menyambar dari sana, menuju Kaleng Hijau, “Zap!” dilanjut dengan gerakan menarik sesuatu dari atas ke bawah. Sambaran petir lagi-lagi muncul, tapi kali ini dari langit! Kilatan putih terekam jelas di mata gw, dan betapa gw cengo liat dia lihai banget pake Force yang dulu begitu dibencinya, “Zipzap!” terakhir, secara bersamaan, petir menyambar dari tangan dan langit, tertuju ke satu titik!

Semua serangan Force Badai tersebut diterima mentah-mentah! Jelas, mana mungkin lu bisa menghindar dari petir!? Asap serta percikan akibat koslet langsung memercik dari tubuh Accretian pemegang senapan. Entah gimana keadaannya, tapi sinar kehijauan dari lensa optik itu belum keliatan redup.

Kali ini, giliran Gabber yang kembali menyerang. Dia melompat, Spadona cyan terangkat tinggi dengan kedua tangan besi itu. Berniat bikin gepeng lawan yang baru aja datang.

Lelaki itu tetap tenang, dan malah memukul tanah di tempatnya berpijak. Satu pilar tanah raksasa mencuat, dan balik menghantam tubuh logam Gabber dengan telak! Bunyi benturan yang dihasilkan ga bisa dibilang pelan. Karena cukup terdengar oleh tiap-tiap telinga kami.

Si Kacamata berlari di pilar tanah tegak lurus itu, manfaatkan tekanan angin topan kecil yang terbentuk di tangannya. Setelah sampe puncak, dia lompat menuju tubuh logam Gabber yang tengah melayang. “Ignite; Raze!” Bola-bola api langsung terbentuk di hadapannya, dan terlempar semua ke arah Si Punisher!

Gabber ga bisa berkutik di udara. Yang bisa dia lakukan hanya melindungi tubuh sebisa mungkin dengan kedua tangan… dan Spadona. Tapi hal itu ga banyak membantu. Ledakan berantai tetap tercipta! Hempaskan tubuh logam berzirah biru navy lumayan keras ke tanah.

Usai melancarkan serangan, Si Holy Chandra melirik ke gw yang masih tiduran. Tersisa lidah-lidah api di lengan serta ujung tongkat sihirnya, “Lain kali kalo minta tolong, kasih info yang jelas. Gw jadi telat gara-gara pesan lu cuma huruf asal, plus tag lokasi.” katanya ketus.

Sebenarnya, emang ga yakin kalo pesan yang gw kirim secara masal ke semua kontak Log misi yang gw punya, pas kaki kena tembak bisa dipahami banyak orang. Kalopun ada, ga nyangka orang tersebut adalah orang dengan tabiat paling nyebelin. Yah, seengganya usaha buat ulur waktu sampe bantuan datang… ternyata berhasil.

Gw acungkan jari tengah seraya senyum simpul sebagai balasan ucapan tadi, “Tokai lu, tukang pamer.”

Let me share some thoughts. Insanity is… wasting my life as nobody when I have the blood of killer flowing in my vein. Insanity is being shit on, beat down, coasting through empty life as a miserable existence when I have a caged beast inside me, and the key to unleash it. You think I’m insane, but for me it’s a choice, Khortenio. That each of us must face; to remain ordinary, pathetic, drifted away like sheep herded by fate, or… take control of our own fate. Unleashing the caged beast. This is the choice I made. Between sheep or beast, I chose beast.” – Oeufcoque/Qahazari – (Ch. 41)


CHAPTER 48 END.

Next Chapter > Read Chapter 49:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-49/

Previous Chapter > Read Chapter 47:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-47/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Catatan Author:

Ever wonder why Elka is so damn strong? 🙂
Ada dua tipe mantra Force kegelapan. Mantra kutukan, dan mantra penghancur. Faranell menguasai mantra kutukan seperti Hell Bless, dan Umbra Trigger. Mantra tipe ini kurang ampuh saat berhadapan dengan Prajurit Accretia. Itulah kenapa Faranell keok di hadapan mereka. Sedangkan tipe penghancur contohnya mantra Black Blast milik Q.
Rokai cuma bisa menggunakan Force badai dengan sisi dominan dari tubuhnya, yaitu lengan kiri. Hal ini disebabkan karena dia ga pernah melatih Force tersebut semenjak mempelajarinya bertahun-tahun lalu. Dan sebenarnya, dia mengidap rabun jauh. Lol.

Regards,
Mie Rebus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *