LAKE CHAPTER 49 – SOS 4: SILENT STARES

Lake
Penulis: Mie Rebus
Sejenak, sepasang mata hitam milik Si Holy Chandra berpindah pada Faranell yang berdiri terengah, dan Gann yang tiduran sambil atur napas. Mengamati mereka lekat-lekat, lalu balik lagi ke gw tanpa mengucap sepatah kata. Ah, faak. Gw kenal sorot mata datar nan menyebalkan itu. Seakan minta penjelasan terhadap situasi yang kami hadapi. Kenapa bisa seorang Bellatean, dan dua Corite diserang Prajurit-Prajurit Kekaisaran? Hal ini tentu bakal jadi pertanyaan bagi siapapun yang liat.
Tapi tentu, jadi masalah yang lebih bikin repot kalo harus jelaskan secara detil.
Kaki gw berusaha berdiri, seimbangkan berat badan, “Gw tau apa yang lu pikirkan, Ro…” sebelum dia keluarkan kata-kata ngeselin, mending langsung cegah dulu, “… tapi gw bisa jelaskan.”
Rokai masih belum berkata apa-apa sambil mata kami tetap bertemu. Beberapa detik kemudian mulutnya mulai terbuka, berkata penuh ketenangan, “Apa gw keliatan kaya orang yang mau dengar penjelasan lu?” Astaga. Kenapa harus dia sih yang paham pesan acak darurat gw? Kalo aja ga ingat fakta tentang dia satu-satunya yang datang menolong… grrr! Udah gw tabok duluan kali!
“Coba tabiat lu ga kaya gitu, gw bakal senang bukan kepalang liat muka lu di sini,” ledek gw sekenanya.
“Manisnya,” dia membalas, “ngaku deh, lu beneran senang kan gw kemari, Tulang Flem?” woot!? Makin suwe aja ini bocah.
“Tsk,” sontak gw berdecih ga suka, “lu itu dokter kan ya?”
“Ya,” responnya, “kenapa?”
“Bukannya dokter itu punya tugas rawat luka Prajurit di garis belakang? Ngapain lu di sini?”
“Gw dokter militer,” setelah beberapa kali saling lempar pertanyaan, Rokai jawab enteng sambil menatap lurus ke depan.
“Jadi?”
“Jadi…” tapi ga berapa lama, sepasang mata hitam tersebut balik lagi bertemu mata ungu. Kedua tangannya memutar tongkat perak metalik dua kali, lalu mengetuk tanah dengan ujung bawah, “… gw bisa patahkan tiap tulang di badan lu sambil sebutkan nama-nama ilmiahnya.”
“U-ugh… jangan dong,” dengar omongan Rokai aja udah ngilu duluan. Soalnya mirip dengan omongan Bellatean wanita gila yang tadi kami lawan. Bikin gw agak bergidik, dan menyilangkan tangan di depan badan.
Haduh, banyak amat yang mau mematahkan tulang gw hari ini. Ga cukup satu apa?
Tetiba, akar-akar tanaman hijau muncul dari tanah. Menjalar dari bawah telapak kaki gw menuju luka tembak di paha. Setelah sampe panjang tertentu, langsung lepas dari tanah. Akar tersebut melilit. Ga terlalu kuat, tapi cukup terasa. Semerbak aroma tumbuhan hijau seketika menyeruak, dibarengi perih yang perlahan berkurang. Haaah… kadang gw lupa, biarpun sifat kami sering bertentangan, dia tetap seorang Kamerad yang sangat bisa diandalkan.
Tapi tetap aja… itu cuma satu poin plus diantara jutaan poin minus yang dimiliki Si Kampret satu ini.
Berkat mantra Force Alam dari Rokai, sel-sel di sekitar luka mulai beregenerasi lebih cepat. Ga instant sih, tapi lumayan buat redam nyeri. Cuman, mantra akar penyembuhan yang dimilikinya masih kalah jauh dibanding Sang Mentor, Conquest Rylit. Ya udahlah, daripada ga sama sekali. Gw ga berhak buat mengeluh. Masih syukur ada yang mau bantu.
“Kita harus pergi dari sini,” ujar Rokai tanpa bertatap mata, seraya melangkah menuju mobil tanpa atap yang dikemudikannya kemari, “gw ga akan sanggup lawan 3 Accretia sendirian.”
“Uhm… bukannya lu baru aja menghajar mereka… sendirian?” tanya gw sarkas.
“Ya,” langsung dijawab lugas oleh Si Holy Chandra, “gw punya prediksi kalo mereka akan bangkit sebentar lagi, dan siap balik menghajar lebih keras,” tambahnya sembari betulkan posisi kacamata dengan jari tengah kiri.
“Oke, oke. Sebentar ya, gw ajak mereka dulu,” kata gw sembari mengarahkan jempol pada Faranell dan Gann.
“Jangan,” tapi langsung dapat penolakan mentah-mentah dari Rokai. Hal itu jelas bikin mata gw melebar.
“A-apa? Apa maksud lu ‘jangan’?” gw mulai bingung, “kita ga bisa tinggalkan mereka di sini.”
“Tentu bisa. Mereka itu Corite,” dia balik badan, “dan gw kemari buat bantu lu, bukan mereka,” serta masih santai menanggapinya.
“Ga ada yang tau apa yang bakal dilakukan para Accretia itu bila mereka ditinggal begitu aja! Mereka bisa dibunuh! Apa-apaan ini, Ro!? Gw kira lu setuju-setuju aja!” nada bicara gw tertahan, biar ga terdengar oleh Faranell dan Gann.
Di belakang kemudi, Rokai menghela napas berat, “Ga mau dengar penjelasan apapun, bukan berarti gw setuju atas semua tindakan yang lu lakukan, Jenius. Sekarang naiklah, kita ga punya banyak waktu. Benteng Solus lagi siaga satu. Armada Udara Kekaisaran makin dekat.”
Solus… siaga satu!? Armada Udara Kekaisaran!? Berarti bukan Cuma Gabber dan dua kawannya yang bakal datang ke sini!? Apa tujuan mereka? Tu-tunggu… jangan bilang kalo… arrrgh! Masa iya gw sih!? Ga, ga, ga! Bukannya terlalu berlebihan kalo sampe menurunkan Armada Udara buat mengincar SATU Bellatean menyedihkan macam gw ini?
“Eyy,” sahutan Rokai buyarkan lamunan barusan, “kenapa mendadak diam kaya orang dungu? Buruan naik.”
“Gak,” tolak gw tegas, “gw mohon, Ro. Bantu mereka juga. Kondisi mereka sangat lemah.”
“… Dan bawa mereka ke mana?” tanya Rokai menusuk, “lu ga bisa minta gw antarkan mereka ke territorial Aliansi, itu sama aja bunuh diri.”
Sejenak gw terdiam, mulut tertutup rapat, menatap intens lawan bicara. Pertanyaan tersebut tepat banget. Kita harus bawa mereka ke mana!? Aih, kenapa baru kepikiran sekarang coba?
Setelah putar otak kilat, mulut ini akhirnya mengucap satu-satunya solusi yang lewat, “Kalo gitu, kita bawa mereka ke zona aman Federasi,” gw tau ini bukan jawaban terbaik. Sinting, tepatnya. Tapi patut dicoba. Layak buat liat gimana reaksi Rokai.
Si kampret malah langsung menyalakan mesin mobil, “Baiklah, gw pergi dari sini. Silahkan lakukan sendiri. Semoga beruntung.”
“Tu-tunggu! JANGAN!” gw langsung panik dan menerjang slot kunci kendaraan, “faak! sekarang lu mau tinggalkan gw sendirian!? Tega! Teman macam apa itu!?” terus gw matikan kembali mesinnya, dan cabut kunci tersebut.
“Kembalikan. Kuncinya,” perintah Rokai datar.
“… Silahkan lakukan sendiri, Dokter Sinting.”
Dia turun dari bangku kemudi, sedangkan gw mundur sambil tetap berhadapan dengannya. Percikan kilat putih kebiru-mudaan mulai terkumpul di telapak tangan kiri Si Holy Chandra, “Gw ga mau menambahkan luka di badan lu. Jadi-“
“Lu ga bakal bisa melakukannya,” potong gw sok berani padahal sambil telan ludah. Shite. Semoga dia ga benar-benar serius menanggapi omongan gw tadi. Jiper nih boss, liat Force Badai siaga.
Tatapan Rokai menajam, seolah sanggup mengiris-iris mata gw jadi puluhan bagian. Setengah menit dia melakukannya, lalu melangkah maju. Gw tau bakal sulit untuk yakinkan Si Dokter Sinting. Bahkan detik ini pun, gw yakin dia masih ogah kasih Faranell dan Gann tumpangan. Semoga dia berubah pikiran.
Si Holy Chandra masih maju dengan santai, otomatis gw mundur rada tegang. Ga dengar ada respon sama sekali, gw bicara lagi, “Lu dokter, kan? Udah jadi tugas lu menolong siapapun yang terluka, atau sakit.”
Dia berhenti.
Gw berhenti.
Kilat yang terkonsentrasi tadi perlahan padam. Dia tampak perlu waktu lebih buat mencerna perkataan tersebut. Sekejap Rokai pejamkan mata, sembari mengusap muka pake tangan kanan, “Gw akan menyesali keputusan ini,” gumamnya pada diri sendiri, “oke, naikkan mereka.”
“YESS!” gw berseru gembira, “makasih, Ro. Emang deh… lu yang terbaik!”
“Luar biasa, lu bisa menyeret gw ke dalam masalah ini.”
Kata-kata barusan lebih terdengar seperti keluhan bercampur sindiran, ketimbang pujian. Tapi gw ga menanggapi karena udah terlanjur jalan menuju Faranell. Khawatir juga padanya, liat gimana dia paksakan diri tadi, padahal kondisi Forcenya ga lagi prima.
“Hai,” sapa gw seraya melempar senyum begitu sampai di depan Si Grazier Wanita, “gimana keadaan lu?”
“Capek,” jawabnya cepat. Wajah tertunduk, tertutup helai poni ungu, dan napas Corite ini masih ga karuan. Ga heran. Peristiwa yang kita lalui sejauh ini emang termasuk kategori melelahkan.
“Bisa jalan?”
Paras wajah anggun di depan gw menampilkan segaris senyum di tengah peluh membanjir, disusul anggukan kepala. Satu-dua gores luka kini telah menghias beberapa bagian tubuh, serta wajahnya yang ayu. Tatapan mata kuning itu sepintas teralih pada Bellatean berambut hitam, “Dia…?”
Di benak gw langsung terbesit kata, “Bala bantuan,” tapi yang terucap dari mulut justru beda, “… orang asing yang cukup dekat.”
Untuk sesaat, Faranell keliatan ga paham. Tapi ga terlalu mempermasalahkan, “Dia… hebat,” satu pujian yang keluar dari mulutnya jelas bikin gw terhenyak.
Dan untuk kali ini, ga bisa dipungkiri. Gw setuju, “Ya, hebat,” sudut bibir gw sedikit tertarik ke atas, membentuk senyum tipis. Kemudian langsung ingat kalo kita ga bisa berlama-lama, “ayo, Faranell. Kita ga bisa di sini terus.”
“Ah!” mendadak, Faranell terlonjak bak ingat sesuatu, “Gannza!” dia memutar tubuh ke tempat di mana Gann tergeletak, “kita harus bantu dia!” walau terhuyung-huyung, dia tetap beranjak ke sana. Dan gw mengikuti.
Begitu masuk jarak pandang Si Grazier lelaki, dia berujar, “Kamu tau? Aku nyaris timpakan segala kutukan padamu saat Faranell ngotot cegah para kaleng karatan itu bawa kamu pergi.”
Ugh, diungkit lagi masalah itu. Dia ga tau aja, gw lah yang bakal paling terbebani kalo sampe Faranell celaka akibat tindakan nekat barusan. Secara ga langsung, dia kan terseret juga gegara gw. Tapi kayanya, Gann ga perlu tau. Mulut gw rada malas jawab panjang lebar, “Ya, gw tau. Maap.”
“Heyy… udah dong, Gann,” Si rambut ungu langsung menegur selagi melingkarkan lengan Gann di bahunya, bantu Gann berdiri, “jangan bahas yang ga penting.”
“Kamu juga, bikin cemas aja,” walau dari tadi kata-kata Gann berintonasi rendah, namun jelas terasa kesal, “aku tau kamu bisa panggil lebih dari satu Animus. Tapi tolong… jangan pernah lakukan itu lagi, Faranell. Apa kamu lupa pas terakhir kali kamu panggil Isis dan Inana dalam satu waktu? Dan tadi, kamu berniat panggil empat!? Apa kamu udah hilang akal sehat!?” E-empat Animus!? Faranell beneran bisa melakukannya!?
Jujur, gw terkesiap. Sebenarnya seberapa hebat kemampuan Faranell dalam bidang Spiritual? Di balik keluguan sikap, tindakan, serta pemikiran wanita ini, masih tersimpan misteri yang ga ada hentinya mengejutkan gw.
“A-ah… tapi… t-tapi, tapi kan… ga jadi,” bantah Si Grazier wanita terbata. Haish, ga tau diuntung amat ni curut. Faranell khawatir padanya, plus udah dipapah pula, dan liat apa yang didapat? Omelan. Cakep.
Gw mendekat pada mereka berdua, dan dengan sengaja sedikit menubrukkan lengan ke luka di perut kiri Gann. Faranell ikut kaget liat tindakan gw itu, “A-AAW!” harusnya sih ga terlalu sakit. Tapi mengingat tusukkan tombak Vednala lumayan parah, cukuplah bikin dia mencak-mencak, “apa maksudnya itu, Cebol!?”
Sambil dengan santai lingkarkan lengan kiri Gann di bahu, bantu Faranell memapahnya, gw berkata, “Untuk ukuran Prajurit yang luka parah, lidah lu masih jago silat ya.”
“Hah!?”
“Lu terlalu banyak ngomel, Bung. Faranell dari tadi mikirin lu terus. Ga berhak lu kesal padanya.”
“Cih, kamu berkata begitu karena ga tau apa-apa!” gigi Gann sedikit menggertak, tapi ga menolak bantuan dari gw, “memang apa yang kamu tau tentang Animus!? Apa kamu tau akibat bila seorang Grazier nekat panggil empat Animus sekaligus!?”
Bibir gw udah terbuka, siap melancarkan argumen balik. Tapi keduluan, “Cukup!” seru Faranell, otomatis bikin gw dan Gann tersentak. Lagi, dia mengucap. Pelan kali ini, “… cu-cukup,” cuma dengan satu kata dua kali ucap dari Grazier berambut ungu, perdebatan singkat kami berhenti.
Emang konyol sih kalo dipikir lagi. Bukan saatnya adu argumen di tengah kondisi ga aman begini. Biarpun beda bangsa, tapi saat ini, kami tengah berdiri untuk pertahankan hal yang sama. Napas kami. Gw paham akan hal itu. Namun, liat gimana ekspresi Faranell saat Gann ditembus tombak, saat dia buru-buru menghampiri Gann yang tergeletak, berusaha sekeras mungkin bantu temannya lewati ancaman kematian… gw ga bisa terima aja, setelah semua itu… dia malah kena bentak.
Ya, gw ga tau apa-apa tentang Animus. Tapi… setidaknya lu bisa berhenti jadi menyebalkan untuk sesaat di kala ada orang yang khawatir pada lu, kan?
…
Di perjalanan pulang, ga ada obrolan apapun terdengar. Sunyi. Keadaan jadi agak canggung sebenarnya. Faranell dan Gann langsung ga yakin begitu tau kalo mereka mau dibawa ke zona aman Federasi. Jelas mereka hendak menolak, dan bukan hal gampang untuk yakinkan mereka. Apalagi Si Grazier lelaki yang kepalanya macam dibuat dari batu.
Tapi gw jelaskan kabar terbaru tentang keadaan Sektor Solus, dan gimana mereka ga punya banyak pilihan. Tentu kita akan pikirkan solusi lebih lanjut, setidaknya setelah tiba di tempat yang sedikit lebih aman ketimbang di sini. Dan setelah lempar pendapat sana-sini selama 2 menit, akhirnya, mereka setuju.
Rokai sama sekali ga bilang apa-apa pada mereka. Padahal, Gann dan Faranell masih pake Jade Talk. Berarti, perkataan mereka harusnya juga bisa dimengerti oleh Si Holy Chandra. Namun dia benar-benar biarkan gw yang berkomunikasi dengan kedua makhluk dari Bangsa lain ini.
Bangku kemudi berada di sebelah kanan, gw lirik pemuda berambut hitam yang konsentrasi ke arah depan. Dia keliatan santai. Ga jauh beda kaya waktu dia datang dengan tangan kiri di kemudi, dan tangan satunya bertumpu pada pintu. Gw setengah berbisik, “Makasih.”
“Gw benci lu,” balasnya ketus seraya mata tetap tertuju ke depan.
Entah kenapa dengar respon begitu, gw malah ketawa kecil dan berujar, “Gw tau,” seolah tau kalo Rokai ga benar-benar serius mengucapkannya.
Yah, cuma sebatas itu apresiasi yang bisa gw berikan atas usahanya. Bukan masalah seberapa menyebalkan sikap yang dia miliki, namun dia udah datang membantu di saat gw terjepit situasi.
Tetiba ekspresi Rokai berubah begitu liat kaca spion, dan langsung banting stir ke kiri! Tindakannya benar-benar tanpa peringatan. Jelas bikin gw serta kedua penumpang lainnya kaget setengah mampus dan buru-buru pegangan! Sebuah ledakan di sisi kanan kendaraan ini langsung memekakkan telinga. Tepat di tanah, hamburkan debu serta kerikil.
Faranell memekik, “A-apa yang-“
Holy Chandra berambut hitam menyela, “Mereka siap balik menghajar lebih keras.”
Sontak kami bertiga, selain Rokai, tengok ke belakang. Di kejauhan, berdiri Accretia berarmor hijau yang sebelumnya menembak kaki gw, ganti senjata pake launcher. Masih tersisa asap keluar dari moncong senjata berat tersebut. Sedangkan Gabber, dan rekannya yang berzirah merah, udah meluncur menuju tempat kami dengan cepat!
Mesin booster di punggung kedua kaleng rombeng tersebut, menyala dan berderu. Si zirah merah ga pake perisai, melainkan cuma sebilah pedangnya kali ini supaya bisa bergerak lebih cepat. Sukar dipercaya, mereka keliatan masih dalam kondisi prima walau udah kena rentetan serangan Force Rokai tadi! Seolah cuma alami kerusakan minor.
“Ro, gimana nih!?” tanya gw setengah panik.
“Lu bisa nyetir?” dia malah balik nanya, tapi masih kalem.
“Hah!?”
Tanpa persetujuan, ataupun jawaban dari gw, dengan seenaknya dia lepas tangan! “Urus kemudinya,” lalu beranjak dari bangku kemudi menuju bagian belakang mobil!
“Wawawaa! Gila lu!” gw berusaha tahan kemudi sebelum berputar ga terkendali, “bilang-bilang dulu kek! Bikin jantungan, tau ga!?” masih untung ga sempat jungkir balik ini mobil!
Kemudian, gw berusaha pindah tempat duduk sembari tetap memegang kemudinya. Sedangkan Rokai menggapai tongkat perak metalik dengan tangan kanan, serta pijakkan kaki kiri ke tepian belakang kendaraan, tepat di tengah antara Gann dan Faranell, “Minggir sedikit,” ucapnya pelan namun tegas.
“Apa yang mau kamu lakukan, Bellatean?” tanya Gann.
Si Dokter Sinting ga langsung jawab, melainkan kambuh penyakit sok kerennya. Dia biarkan pendar oranye menyelimuti lengan kiri terlebih dulu. Di saat yang sama, ga alihkan pandangan dari kedua Prajurit mesin yang lagi meluncur penuh napsu, “… Daur ulang,” Force Api di lengan Rokai berkobar lebih intense, perlahan menggumpal di telapak tangan kiri, dan membentuk bola api cukup padat.
Accretia berzirah merah melaju lebih cepat daripada Gabber, efek bawa senjata lebih ringan. Otomatis membuatnya jadi paling dekat dari posisi kendaraan kami yang tengah bergerak. Liat Si Zirah Merah makin mengikis jarak, Rokai lempar bola api di telapak tangannya sedikit ke atas, dan langsung ayunkan tongkat sihir untuk memukul bola api tersebut sekuat tenaga! Persis gaya orang yang lagi main Baseball.
Bola Api kreasinya menghujam deras, dan hasilkan ledakan lumayan besar begitu berbenturan dengan Zirah Merah! Asap seketika mengepung sosok Prajurit besi tersebut. Namun jangan kira situasi udah aman terkendali.
Soalnya, dari balik kepulan asap, terlihat sinar matahari memantul dari bilah pedang satu tangan. Mercenary itu menebaskan senjatanya secara horizontal!
“Kalian butuh lebih dari api untuk hentikan kami,” ucap Mercenary berzirah merah.
“Cih,” Rokai tampak kesal liat fakta mantra apinya ga sanggup menghambat Prajurit Kekaisaran itu. Dia membentangkan tongkat sihir di sisi kiri, seketika tempratur udara terasa turun di sekitar kendaraan yang kami tumpangi. Si Holy Chandra sigap menyelimuti tongkat hingga sekujur lengan dengan lapisan es, bersiap menyambut serangan Si Zirah Merah.
Adu senjata jelas ga bisa dihindari. Bunyi pedang penuh hawa membunuh, dan tongkat sihir metalik dibalut es saling bertemu! Ayunan Prajurit besi itu sungguh kuat sampe bikin lapisan es yang dibuat Rokai hancur jadi serpihan, dan berserakan ke mana-mana.
Fokus gw terbagi jadi dua. Antara terus ke depan, dan sesekali memantau aksi yang terjadi di belakang dari spion dalam. Faak! Gw pengen bantu, tapi nanti siapa yang nyetir? Kayanya ga mungkin juga menyerahkan kemudi pada salah satu Corite ini. Yang ada langsung nyasar ke kuburan.
Jadi cuma satu yang bisa gw lakukan, tetap injak pedal gas dalam-dalam, dan berharap Si Dokter Sinting mampu menahan mereka.
Peraduan itu ga berlangsung lama. Faranell tampak sadar Rokai kesusahan meladeni dorongan kaleng merah, jadi dia langsung melakukan sesuatu. Dia angkat tangan kanan, dan melebarkan telapak. Lingkaran sihir hijau gelap muncul di sisi kiri atas Grazier berambut ungu, dan dari dalamnya, meluncur keluar kepalan tangan kiri besar dari Animus Paimon!
Suara nyaring kembali terdengar. Kali ini akibat pukulan Paimon bersinggungan dengan kepala logam Zirah Merah.
Kaget terima serangan dadakan, Accretia tersebut terjungkal ke tanah, muka duluan, dan guling-guling di belakang kendaraan ini. Lu mamam tuh! Emang enak digampar Paimon? Makan pasir pula.
“Hahh, hahh, hahh, hahh…” kami bisa dengar napas Faranell. Pertanda dia melakukan itu dengan sisa tenaga yang ada. Tangan kanannya masih terangkat, tapi wajahnya menunduk.
“Faranell, cukup! Jangan lagi kamu panggil Animus! Kondisimu Forcemu memburuk! U-Uukh!” omel Gann setelahnya. Tapi dia langsung meringis sambil menekan luka tusuk di rusuk kiri.
Rokai menatap Si Grazier wanita yang terlampau lelah. Kemudian, berpindah pada kawannya di sebelah. Dia hela napas berat sembari merogoh inventori 4 dimensi, “Lumayan,” di genggaman tangan kiri, ada biji-bijian. Pemuda berambut hitam menggenggam dengan dua tangan kali ini, lalu merapal mantra, “Plant Form; Nature’s Armor.”
Seperti yang pernah dilakukan mentornya, biji-bijian itu langsung tumbuh jadi tanaman rambat dan melilit Faranell dan Gann, “I-ini?” lenguh Faranell lemah.
“Jangan lakukan apapun,” ujarnya santai sambil lepas kacamata, dan bersihkan lensa, “karena ada seseorang yang mempertanyakan reputasi gw sebagai dokter,” gw melirik padanya melalui spion dalam, dan diapun melakukan hal yang sama, lalu kembali pake kacamata, pandangan kami bertemu via spion tersebut, “sekarang gw ga bisa biarkan ada yang mati di depan mata.”
Gw nyengir sembari kembali liat jalan di depan, sedikit meledek, “Ups, keceplosan.”
Tapi serius, gw sangat bersyukur dia ada diantara kami.
Dari spion samping, terlihat Prajurit berzirah hijau yang ternyata seorang Striker, udah pasang Siege kit! Mata gw membulat makin lebar pas liat pendar biru keindahan mulai terpusat di ujung launcher, perlahan makin membesar.
“Tulang Flem! Compound! Belok kanan!” mendadak seruan Rokai lantang terdengar. Kembali bikin gw sadar kalo kita masih dikejar.
Tentu gw langsung tersadar, dan telat bereaksi. Pikiran jadi agak kacau, “Uh, uhm, Faak! Kanan lu, atau kanan gw!?”
“Kanan lu lah, dungu!” bentaknya kesal.
SHITE! SHITE! SHITE! Sontak gw banting stir ke kanan, hindari tembakan dahsyat yang terpaut beberapa meter di sisi kiri! Ledakannya lagi-lagi menghamburkan tanah berkerikil.
Akibat hindaran tadi, Gabber jadi bisa mempersempit jarak! Padahal, harusnya dia ga bisa mengejar kami sambil bawa-bawa spadona sebesar itu.
Si Punisher melayang lebih tinggi, dan mengangkat Spadona di atas kepala. Rokai mendongak, ga sedikitpun lepas pengamatan dari Gabber, “Cari pegangan,” katanya pada kami bertiga.
Serta merta, gw merasakan benturan luar biasa keras dari belakang! Spadona Gabber menghantam bagian belakang kendaraan militer ini dari atas! Gaya tekan ke bawah yang ga main-main, bikin bagian depan terangkat untuk beberapa detik! Wuanjiiir! Sarap ini mah, saraaap! Ngetril gini macam di film Pas dan purius!
Sejenak gw tengok belakang, Faranell pejamkan mata kuat-kuat dan lingkarkan kedua lengan di bangku kemudi, “KYAA!”
Sementara gigi Gann menggertak penuh kegelisahan, “HRRGH!”
Cuma satu orang yang tetap buka mata, dan terlihat begitu tenang hadapi keadaan begini. Dan yang bisa gw liat hanya punggung Si Holy Chandra karena dia masih fokus pada para pengejar. Kedua kakinya begitu lihai cari pijakan. Tangan kiri pegangan kuat pada tulang chasis kendaraan, tangan kanan menodong tongkat sihir pada Gabber, dan diputar searah jarum jam, “Typhoon Bane.”
Satu sentakan kuat dari ujung tongkat sihirnya mengirim peluru angin ga kasat mata. Tenaga dorong ekstra besar langsung menerjang bahu kiri Gabber! Namun, itu belum cukup untuk bikin dia lepas dari kendaraan kami! Jadi, Rokai melakukannya sekali lagi.
Tembakan angin kedua sukses bikin pegangan Gabber pada spadonanya lepas! Dan mengembalikan posisi kendaraan seperti semula. Rokai langsung menyongkel spadona cyan yang tersangkut dengan tongkat sihir. Untunglah mobil ini cukup tahan banting. Serangan Gabber ga sampe membelahnya.
Gw liat Gabber udah balik berdiri, dan memungut Spadona. Lalu dihampiri kedua rekan yang berzirah dominan hijau dan merah. Tapi… gw dan Rokai dibuat terheran. Kami kira, mereka siap kembali main kejar-kejaran. Ternyata, perkiraan kami salah.
Kami bisa sedikit bernapas lega sekarang. Pasalnya, untuk suatu alasan yang ga kami ketahui, Gabber beserta kedua rekannya memutuskan untuk berhenti mengejar. Entahlah, padahal mereka masih keliatan fit. Dari kejauhan, ketiga Prajurit logam itu sekadar menatap kendaraan Federasi yang terus berlari.
Tapi sebentar lagi, kami akan tau penyebab mereka hentikan pengejaran. Karena jawaban itu ga jauh. Jaraknya cuma satu belokan.
Rokai kembali beranjak ke kursi depan. Mengatur napasnya sejenak, sebelum tarik napas panjang, lalu dibuang dari mulut, “Cukup menegangkan,” dia berujar.
Lagi-lagi kesunyian menemani perjalan pulang kami. Kendaraan berbelok ke kiri mengikuti jalan menuju zona aman. Suara jet-jet tempur Federasi telah memenuhi langit Solus yang kini sedikit dihias awan mendung. Apa sisa hari ini akan diisi tangisan langit? Siapa yang tau?
Kami melewati pohon besar dan tinggi. Namun lagi-lagi, kami disambut hal yang ga diinginkan. Dari langit, sebuah bongkahan besi berbalut kobaran api jatuh dan menabrak pohon tadi! Akibatnya pohon itu tumbang, dan terbakar dedaunannya, “Wow,” gumam gw. Jalan yang kami lalui agak menanjak, jadi ga ada yang tau kaya apa di atas sana.
Keringat mengalir dari kening gw, disertai kekhawatiran yang ga jelas sumbernya. Perasaan gw ga enak nih. Pasti bakal ketiban sial lagi.
Kendaraan militer ini telah sukses melalui tanjakan tanpa kesulitan berarti. Jalan kembali datar, tapi beberapa meter di depan… ada sesuatu yang membuat kami syok setengah mati. Jantung terasa skip satu detakan begitu liat potongan sayap pesawat… dengan lambang Federasi Bellato… melesat ke arah kami dengan cepat! Kondisinya sama kaya bongkahan besi sebelumnya, dibalut api, dan ekor asap hitam!
Reflek karena takut bercampur tegang dadakan, gw tutup mata sambil arahkan stir ke kiri! Gw liat ada sedikit celah di bagian ini. Entah apa kami bakal berhasil menghindari puing itu, gw ga mau tau! Harus berhasil pokoknya kalo ga mau modar!
Begitu gw kembali buka mata karena dengar desingan puing melewati kami, SHITE! Ternyata berhasil! Yeah!
Tapi seperti biasa, kalo gw terlalu cepat senang, biasanya bakal ada hal apes lain di belakangnya. Dan yapp, ga salah lagi. Kalo tadi cuma potongan sayap yang lewat, kali ini PESAWATNYA!
“Mampuslah,” bisik gw pada diri sendiri.
Pesawat tipe kargo yang biasa digunakan untuk transport suplai atau Prajurit melakukan pendaratan darurat tepat di depan kami! Badan pesawat terbang teramat rendah, lalu langsung bergesekan dengan tanah. Roda-roda pesawat tampak ga bisa dikeluarkan, dilengkapi banyak lubang tembakan. Bagian ekor pesawat terbakar, dan sayapnya tinggal yang kiri doang.
Gesekan antara badan pesawat dan permukaan tanah ga serta-merta bikin lajunya terhenti. Di darat, transportasi udara itu masih meluncur kencang. Kembang api hasil gesekan tersebut makin memercik dari bawah. Bunyi mesin jet pendorong dari pesawat makin menutupi bunyi-bunyi lain di sekitar.
Gw tercekat, cuma bisa pasrah menatap sisa-sisa perjuangan para kamerad. Ga bisa mikir karena jarak mobil ini dan bagian hidung pesawat udah terlalu dekat.
“… FLEM… TULANG FLEM!” sayup-sayup kuping gw menangkap suara pemuda yang ga asing diantara deru mesin jet, “SADARLAH, LAKE!” Rokai langsung menggapai stir dengan tangan kanan, dan banting ke kiri (lagi) sekuat tenaga. Bikin gw ikut goyah karena kedua tangan gw juga masih pegang kemudi.
Laju mobil sekitar 78 kilometer perjam, ditambah belok tiba-tiba, hasilkan momentum yang sulit terkendali. Ya, kami terhindar dari tabrakan mobil-pesawat… tapi mobil yang kami tumpangi jadi terjungkal. Apalagi, kontur tanah di area Solus yang ga begitu rata. Ya udah deh, mobil lompat, kami berempat terlempar dari kursi masing-masing.
Gw ga sempat mikirin hal lain karena udah terlanjur panik. Waktu sempat berjalan lebih lambat akibat detak jantung gw yang makin cepat. Tapi percuma, tubuh udah di udara, ga ada yang bisa dijadikan tempat berpijak.
Ahh, bajingan! Mau ga mau, usaha terakhir yang gw lakukan adalah melindungi kepala dengan kedua lengan supaya ga membentur tanah terlalu keras.
“Urrgh!” tubuh gw menghantam daratan, dan menyeret sampe terpisah beberapa meter dari kendaraan militer yang udah jungkir balik ga karuan. Gw mengerang, terengah, dan terasa nyeri di seluruh anggota badan. Kuping pengang, dan pandangan agak kabur. Kedua tangan gw coba semaksimal mungkin untuk menopang badan. Niatnya sih pengen berdiri, tapi ga bisa.
Gw pejamkan mata, geleng-geleng kepala, dan berkedip cepat supaya mata kembali fokus. Kemudian buka mata lagi. Hal pertama yang gw liat pas pandangan mulai agak pulih adalah… Rokai, Gann, dan Faranell… mereka semua tergeletak ga bergerak. J-jangan bilang kalo mereka…
Sekali lagi. Sekali lagi gw berusaha berdiri. Kali ini coba dorong lebih keras, dan 10 detik kemudian akhirnya berhasil. Kepala dongak. Keliatan beberapa jet tempur berlambang Kekaisaran menampakkan wujud dari mode siluman selagi terbang kecepatan penuh. Gw menatap langit dengan ratap kelelahan, berharap, berdoa, mengutuk, bertanya, kesal, kebingungan, heran. Setelah semua luka yang gw terima, semua perjuangan yang kami lalui untuk sampe rumah, apa semua justru baru dimulai?
“I’m a military doctor. So… I can break every single one of your bone while naming them.” – Rokai (Ch. 49)
CHAPTER 49 END.
Next Chapter > Read Chapter 50:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-50/
Previous Chapter > Read Chapter 48:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-48/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list
Catatan Author:
Anyway, saya putuskan untuk ganti nama keluarga Meinhalom, dari Karkas jadi Zildaz. Soalnya saya baru tau Karkas itu ada artinya, yakni daging yang lepas dari tulang. Lagian Meinhalom Karkas terdengar kurang oke. Bagi saya Meinhalom satu-satunya karakter yang paling susah buat ditemukan nama belakang yang pas berhubung nama depannya aja udah aneh.
Adapun Zildaz saya belum tau artinya. Itu lebih ke kombinasi dari nama Zaidan, dan Dias.
Regards,
Mie Rebus.