LAKE CHAPTER 5 – SERIES OF AN INOPPORTUNE

Lake
Penulis: Mie Rebus
“Diam di tempat, Ranger!” Kata salah satu dari mereka.
Hmm … 2 Berserker, 1 Holy Chandra, dan 1 Hidden Soldier. Ugh, kenapa nih? Kok tau-tau ditodong gini? Ga ada waktu lagi! Maximus Gatan harus dibawa secepatnya ke ruang perawatan! Tapi langkah gw dipaksa berhenti. Mereka menghalangi jalan. Ekspresi mereka penuh curiga, menatap gw dengan dingin. Keempat pasang mata itu, mengisyaratkan kalo mereka ga lagi liat Bellato, melainkan musuh yang mengancam keselamatan mereka.
Gw beranikan diri untuk ga gubris perintah sebelumnya. Sedikit-sedikit tetap melangkah menuju portal. Sepatu Ranger gw mulai terasa agak panas, mungkin akibat terlalu lama bergesekan dengan pasir gurun. Tangan gw yang cedera udah berasa lemas banget, ga tau berapa lama lagi kuat menopang berat badan Komandan di punggung ini. Di kepala, cuma kepikiran gimana caranya Maximus Gatan bisa sampe di ruang medis sebelum tenaga gw habis.
Liat perintah kawan Berserkernya ga dipedulikan, tanpa pikir panjang, Si Holy Chandra menembak segumpal bola api ke arah tanah tempat kaki gw akan berpijak selanjutnya. Bikin tanda gosong diantara pasir gurun yang udah panas dari sananya. Untung sempat angkat kaki kanan, kalo ga bakal ikutan gosong.
“Tolong jangan paksa kita pake kekerasan!” tegas si Holy Chandra, “ga mau kan, luka di tubuh lu bertambah!?” Judes amat mbak. Situ kan Holy Chandra, sembuhkanlah luka saya, jangan malah ditambahin.
Kayaknya ga ada pilihan lain, akhirnya batal beranjak dari titik gw berdiri. Ga ada sepatah kata pun keluar dari mulut, berusaha mengurai situasi nan aneh ini. Si Holy Chandra tetap pertahankan kuda-kuda, sementara 3 kawannya mendekati gw. Kedua Berserker itu minta gw serahkan Maximus Gatan, dari sini biar mereka yang bopong. Sedangkan Si Hidden Soldier udah di belakang, menodong pake senapan mesin yang ditopang kedua tangannya.
“Gerfaulker R-33 kaliber 25mm Triple Round Magz, fully automatic? Nais, Kakak,” ujar gw setelah mengidentifikasi senjata itu. Itung-itung coba cairkan ketegangan.
“Yaya, bakal lebih nais lagi kalo peluru-peluru gw bersarang di badan lu,” Kalimat gw dibalas sinis. Galak-galak amat sih mereka, “Jalan!” perintahnya sambil dorong dari belakang pake senapan yang menempel di punggung gw.
Sialan, kenapa dijadikan macam kriminal gini? Apa salah gw? Perasaan gw ga melanggar apapun. Malah, susah payah bawa Maximus Gatan dari sana kemari. Dikira gampang apa? Kalo gw egois, gw ga bakal ada di sini dari awal.
Semua pertanyaan berputar di kepala.
Penasaran sih, tapi memilih untuk ikut aturan main mereka. Ga nanya apapun, jalan aja ke portal, karena merasa ini tuh keadaan dimana mereka ga bakal jawab pertanyaan gw.
“Ga usah banyak tanya! jalan aja!” Pasti gitu deh respon yang gw terima nanti.
Sesampenya di markas, keadaan ga jadi lebih baik. Markas tadinya rame dengan obrolan-obrolan dan orang lalu lalang, mendadak sunyi begitu liat kita-kita melangkahkan kaki keluar portal. Wew, berasa di-silence. Satu-satu gw perhatikan mereka, semua pasang mata tertuju ke gw. Pamerkan kebingungan.
Kesal juga diperlakukan kayak gini. Okelah, gw ga butuh disambut bak pahlawan berkat menyelamatkan Komandan Resimen, tapi apa iya, gw pantas diarak kaya tukang perkosa nenek-nenek setelah semua usaha tersebut?
“Tahan Ranger itu! Masukkan ke penjara!” Terdengar perintah seorang wanita mendekat. Wanita itu pake jubah putih macam Maximus Gatan. Pas gw tengok, ternyata dia adalah Maximus Izcatzin. Armor Rider yang juga berperan jadi Wakil Archon Bellato. Pasukan pengawalnya langsung mendekat, dan megangin gw selepas dia memberi perintah.
Otomatis kaget dong dengar omongan begitu, “A-Apa!? Penjara!? Emang saya salah apa, Maximus!?” Tanya gw dengan nada tinggi. Bukan jawaban yang gw dapat, malah pukulan telak di perut, “Uhhukk!” Gw langsung jatuh diatas kedua lutut sambil pegang perut. Jidat menyentuh lantai markas dan merasakan dinginnya. E-edan, Armor Rider kok pukulannya pedas amat?
“Ga ada yang minta kamu bicara, Ranger.” Ucap Izcatzin dingin. Dia berdiri di depan gw, tegak dan anggun.
Armor orange bercorak hitam di bagian dada dan bergaris putih dari bahu sampe ke lengan, lindungi tiap jengkal tubuh bagian atas. Ada garis putih vertikal juga dari ketiak dan berakhir di pinggang. Ukurannya pas, makin mempertegas lekuk tubuhnya yang langsing. Hampir-hampir gw cium sepatu yang lagi dia pake. Sial, jadi dibikin sujud gini.
“Cepat bawa pengkhianat ini! Saya ga tahan liat dia.” Dafaak! Pengkhianat?! Yang benar aja! Gw udah benar-benar ga tahan diginiin. Jadi dari tadi tuh, gw dianggap pengkhianat? Kenapa? Jangan-jangan…
“Sa-saya bukan pengkhianat!” Teriak gw spontan sambil berusaha berdiri. “Saya ga melakukan apapun yang anda pikirkan!” Lengan gw dipegangi pasukan pengawalnya. Mau berontak, percuma. Udah ga ada tenaga.
“Kalo emang bukan, coba jelaskan itu!” Perintahnya, sambil menunjuk Maximus Gatan yang udah dibawa sepasukan Holy Chandra ke ruang perawatan. Dugaan gw benar. Mereka mikir, gw yang bikin Maximus Gatan sekarat?!
Gw terperanjat atas tuduhan ini. Yang benar aja, tadi gw bahayakan diri sendiri! Menolong Jizzkar! Bantu Maximus Gatan! Sesuatu yang jarang banget gw lakukan. Terus, ini balasannya!? Gila!
Dengan tegas gw berseru, “Saya berani sumpah, bukan saya yang melakukannya! Tapi-” belum selesai ngomong, udah dipotong duluan, “Ugghh!” Lagi-lagi pake pukulan di tempat yang sama. Alhasil, gw cium lantai kedua kalinya.
“Setelah dipikir lagi, saya ga butuh penjelasanmu.”
Aduuhh kampret, maunya apa sih? Tadi nyuruh jelaskan, udah dijelaskan malah begitu. Abis mukul, akhirnya dia balik badan dan berjalan menjauh. Sedangkan gw yang udah lemas, dipaksa bangun oleh ajudan-ajudannya. Ya udah deh, pasrah aja, capek. Kepala pusing dari tadi. Gw masih jadi tontonan menarik bagi yang ada di Markas Besar. Kadet akademi, pasukan penjaga portal, semua liat kejadian barusan.
Ga ada satupun dari mereka yang membela, cuma diam dan diam. Diantaranya ada juga yang saling berbisik. Bahkan Jizzkar ada di sana, iya, Jizzkar. Tapi dia cuma mager doang macam patung. Begitu gw tatap matanya, dia berpaling. Mungkin ga enak liat ratapan penuh rasa lelah gw. Weeee, habis manis sepah dibuang nih? Gilee sakitnya tuh di sini coyyy (megang hati). Haaahh.. tau gitu gw biarkan aja dia dijitak Isis tadi.
Mimpi apa ya semalam? Bisa apes banget hari ini. Hampir mati lawan Isis merah, eh balik-balik difitnah. Udah gitu dipukulin pula oleh tante super galak. Sungguh fitnah lebih bikin capek dari pada fitness.
“Lepaskan dia!” Tiba-tiba Archon Bellato muncul, kata-katanya memecah seluruh kesunyian markas besar.
“Archon Croiss…” kata salah seorang prajurit.
“Eh, eh, ada Archon Croiss.”
“Itu Maximus Croiss! Wah…”
Sayup-sayup bisikan namanya terdengar seraya Maximus Croiss berjalan ke arah portal. Seketika seluruh prajurit ambil sikap hormat. Ga terkecuali gw. Dahsyat emang seorang Archon. Auranya tuh beda, ada karisma tersendiri. Jalan ke mana-mana, ada aja yang kasih hormat. Kayak kata orang, lu bisa tau wibawa seseorang dari caranya berjalan.
Abis balas sikap hormat dari para prajuritnya, ia berkata, “Suruh ajudanmu untuk lepaskan Ranger itu, Izcatzin.” Suaranya tegas, agak berat. Tapi di telinga gw terdengar adem banget. Penuh kebijaksanaan di intonasinya.
“Croiss!” Panggil Izcatzin, “Lu tau apa yang udah dia lakukan?! Gatan-” tanya si tante berambut oranye kehitaman. Nadanya ketahan pas menyebut nama Gatan.
“Saya cukup tau apa yang perlu saya tau,” jawab Sang Archon. “Harusnya kamu berterima kasih, dia udah bawa balik Gatan dengan kondisi seperti ini.” Lanjutnya kalem.
“Tapi-“
Maximus Croiss kasih tatapan tajam begitu Maximus Izcatzin mengucap tapi. Tatapan menyiratkan “Berani bantah Archon lu?!”
Si Tante keliatan ga punya pilihan selain menurut. Secara, perintah langsung dari Archon. Bisa duduk di kursi pesakitan kalo membantah.
“Tsk… hey, lepaskan dia.” perintah Izcatzin kepada para pasukan pengawalnya.
Akhirnya, gw dilepas. Wakil Archon berambut oranye kehitaman itu, dan para ajudannya beranjak pergi dari hadapan kami tanpa basa-basi. Rambut berombaknya dibiarkan tergerai sebahu, tersibak begitu dia balik badan. Gw dan Maximus Croiss menatap kepergiannya.
“Kamu udah melakukan hal luar biasa. Saya sangat hargai itu, Ranger,” ucap Maximus Croiss. Wew, Archon… bilang hal keren… buat gw. Mungkin hari ini ga buruk-buruk amat. Ugh, sakit kepala dari tadi ga ada matinya menyerang. Rasa capek, luka yang telat dapat perawatan. Beuh, lengkap deh.
Gw duduk untuk istirahat sejenak. Tapi ga lama karena terlalu capek setelah semua ini. Tanpa peduli di mana gw berada, tanpa peduli ada Archon di samping gw, biarkan aja kantuk ambil alih tubuh ini, kedua mata mulai menutup perlahan. Pemandangan terakhir yang gw liat sebelum tidur, ada beberapa Holy Chandra menghampiri.
.
.
“Heyy, gimana nih? Kalo gini terus, dia ga bakal siap.” Kata sesosok bayangan Bellato. Ahh, mimpi ini datang lagi.
“Santai, kasih dia waktu. Aku yakin dia orang yang tepat,” Ini pasti bayangan si Bellato lelaki. Soalnya dia yang selalu bela si perempuan ga yakin pada diri gw.
Kayak biasa, gw tiduran di altar batu di suatu ruangan. Ga ada yang bisa gw lakukan selain dengarkan ocehan mereka. Ga bisa gerak, ga bisa ngomong. Biarpun udah tau mereka ga bisa dengar omongan gw, entah kenapa di mimpi ini, gw selalu nanya pada dua orang itu.
“Siapa kalian?! Sebenarnya apa yang selalu kalian bicarakan?” Tanya gw penasaran.
“Kasih waktu? Sampe kapan?” pertanyaan itu keluar dari si perempuan, intonasinya naik. “Udah ga ada waktu lagi! ‘Dia’ dan antek-anteknya udah mulai bergerak! Keselamatan Bellato dipertaruhkan!”
“Dia? Dia siapa? Siapa yang bergerak? Bergerak ke mana?”
“Iya, tau … pada akhirnya anak ini kok yang bakal mengalahkan dia. Percaya deh. Lagian, dia kan keturunanmu juga.”
“Mengalahkan siapa? Maksudnya, gw menanggung masa depan Bellato? Kalo gw gagal gimana?” Gw lontarkan semua pertanyaan yang ada di pikiran, tetap ga ada satupun yang didengar.
“Dia ga dilahirkan untuk gagal.”
.
.
Gw buka mata, tersadar dari mimpi yang sering banget mampir. Kenapa harus gw? Kan gw ga bisa apa-apa. Lagian, siapa sebenarnya mereka? Selalu nyebut gw sebagai ‘keturunan’ mereka. Orang tuakah? Ah, mana mungkin.
“Gimana keadaan lu?” Suara Elka memecah keheningan. “Tadi gw lagi patroli di Solus, mendadak perasaan gw ga enak terus. Akhirnya balik aja. Eh, dapat kabar lu dipukulin Wakil Archon.”
Sebelum balas, gw diam sejenak. Liat armor, udah ga di badan lagi. Menyisakan base layer hitam yang biasa dipake buat dalaman di balik armor. Dan celana Ranger gw… masih pada tempatnya.
“Iya, udah enakan.” Jawab gw.
“Boleh ga gw bunuh dia?” Tiba-tiba mukanya berubah, aura tukang jagal pun seketika memenuhi ruangan ini.
“Jangan! Lu gila kali …” seru gw panik, “dia itu Warchon, Warchoon, Wakil Archooon!”
“Ya gw kan cuma nanya. Sampe segitunya,” Ya iyalah, lu pasang muka sadis gitu, siapa juga yang ga bakal panik.
Gw pengen tepok jidat pake tangan kanan, sebelum sadar ternyata tangan kanan ga bisa ditekuk. Lagi dipakein tabung pemulihan mini. Hampir mirip kayak tabung pemulihan, isinya cairan merah healing potion untuk mempercepat pertumbuhan sel darah putih, jadi luka bisa cepat sembuh. Bedanya, ga ada tangan mekanik buat jahit luka, dan ukurannya lebih kecil aja. Nyeri masih terasa di paha gw yang sobek, terlilit perban pada bagian tersebut.
Elka masih duduk di sebelah kiri, menemani. Dia keluarkan majalah dari inventori 4 dimensi. Abis emang ga ada lagi yang bisa dilakukan.
Sejam kita terbalut diam ditemani ketukan jam dinding yang terus berlalu. Sebenarnya, gw pengen ngobrol, tapi kepala masih pusing. Malas mikir mau ngomong apaan. Perempuan ini tau kayaknya, gw lagi malas mikir bahan obrolan. Ya udah aja, kerjaannyaa bolak-balik halaman majalah itu.
“Di luar hujan?” Akhirnya, gw juga yang buka obrolan.
“Mendung,” jawab Elka.
“Tau dari mana?”
Dia dorong muka gw sampe tengok ke kanan, tanpa berpaling dari bacaannya, “Teknologi canggih Bellato yang disebut jendela,” Wakakak baru sadar ternyata ada jendela di ruangan ini.
Sejenak, gw terpaku pemandangan sore menjelang malam di luar. Mendung… identik dengan awan kelabu yang berdansa halangi sinar matahari. Umumnya mendung jadi simbol suasana hati ga menentu. Kata orang jaman sekarang mah galau. Kenapa begitu ya? Apa gara-gara didominasi warna abu-abu?
Kadang gw kasihan pada abu-abu. Bakal selalu terjebak diantara hitam dan putih. Dia terlalu putih untuk jadi hitam, terlalu hitam untuk jadi putih. Baik hitam atau putih ga ada yang mau menerima. Selamanya terjebak di persimpangan, padahal dia harus tentukan langkah berikutnya dalam kehidupan.
“Ka…”
“Mm?”
“Pernah ga sih lu merasa sendirian? Maksud gw, merasa seluruh dunia bersatu lawan lu. Sekeras apapun lu lawan balik, percuma. Karena lu cuma sendiri.”
“Mmm…” Elka bergumam panjang terima pertanyaan gw, “enggak tuh.”
“Oh … gitu,” sedikit kecewa sih dengar jawaban dia. Soalnya gw harap, dia bisa kasih masukan. Gw lagi merasakan itu sekarang.
“… Karena gw punya lu,” timpalnya sambil tetap baca majalah.
“Eh?”
“Lu selalu ada di sisi gw. Mau gw butuh atau gak, lu selalu hadir saat moment yang tepat. Gw yakin, biarpun dunia bersatu lawan gw, selama ada lu…” Dia menutup majalahnya dan dekatkan bibirnya ke pipi gw. Satu kecupan hangat mendarat di pipi, “… pasti lu akan berdiri disamping gw, dan bantu buat lawan dunia. Selama lu ga lupa janji yang dulu, gw ga akan merasa sendirian,” Dia tersenyum.
Sama sekali ga ada keraguan dari kata-katanya. Dia benar-benar pegang teguh apa yang dibilang barusan. Benar-benar yakin gw ga bakal pernah meninggalkan sisinya, apapun yang terjadi.
Manis deh senyumnya, kayak anak kecil. Begitu tulus terasa. Dan memberi rasa sejuk, mengalir dari mata gw yang menatap wajah senyumnya, ke seluruh tubuh. Senyumnya gw balas dengan senyum juga. Ciuman di pipi, seolah bisa menenangkan jiwa yang tadi sempat gelisah beberapa saat.
Dungu … kenapa juga gw harus merasa sendirian? Selama perempuan-yang-kadang-buas ini selalu di sekitar gw.
“Eyy, bukannya lu masih ada shift?” Gw ingatkan dia supaya ga kena sanksi lalai tugas tanpa ijin
“Oh, iya. Ya udah, gw pergi dulu. Ini obat…? Buang?” Kata Elka sembari meraih beragam pil di atas meja kecil di samping kasur.
“Buang. Lu tau gw, kan?”
“Iya, iya. Mau nitip apa? Atau mau gw masakin aja?”
“Hmm… terserah deh. Yang menurut lu enak aja.”
Janji itu ya … hehehe. Ga mungkin lah gw lupa.
Dia melangkah keluar, kembali laksanakan tugasnya di Benteng Solus yang tadi ditinggal. Setelah sendiri, gw teringat Maximus Gatan. Gimana keadaannya? Gw bergegas beranjak dari kasur dan cari ruang ICU.
Di sana berdiri Maximus Izcatzin, gelisah mondar-mandir sembari gigit-gigit kuku jempolnya. Sedangkan Maximus Croiss duduk tenang. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Kayaknya operasi masih berlangsung, dan kedua pejabat penting di depan gw lagi menunggu hasilnya.
Eh, tau-tau gw masuk jarak pandang si Tante. Target lock! Oh, demm.
“Kamu… ngapain lagi ke sini!? Masih kurang!?” Bentaknya galak sembari melangkah ke arah gw. Glekk! Salah waktu kayaknya nih. Dia merenggut kerah base layer gw yang mepet ke leher, dekatkan mukanya ke muka gw, lalu berkata dengan penuh amarah, “Belum puas bikin celaka Wakil Archon?!” Uggh.
Di sini gw baru tau pasti, kalo ternyata Maximus Gatan juga salah satu Wakil Archon. Sebenarnya, pas liat jubah Maximus Izcatzin dan Croiss, udah kepikiran sih. Asli dungu banget, sampe ga kenal Wakil Archon sendiri! Abis … Maximus Gatan benar-benar ga ada hawa-hawa pejabat.
“Cukup!” Bentak Archon Croiss, sebelum seorang Miller tiba-tiba muncul di hadapan kami semua.
“Lapor, Archon dan Wakil Archon.” Ucapnya, setelah beri hormat. “Barikade Benteng Anacade terancam ditembus oleh 7 grup pasukan Cora! Kami butuh bantuan secepatnya.”
“Apa?!” Izcatzin tersentak, dan lepas genggaman dari baju gw. “Gimana kondisi parimeter di sektor 3?”
“Luluh lantah.” Jawab si Miller. “Saat ini kami sedang menahan gempuran 500 meter dari pintu masuk.” Lanjutnya tegang.
Dengar jawaban Miller tersebut, Archon Croiss bangkit dari duduknya. Sikapnya berubah, tadi adem ayem, sekarang terlihat ekspresi siap tempur dari wajahnya. Tekanan forcenya pun perlahan menguat, dan makin pekat. Armor Berserker tersebut menyala merah kekuningan bak api seraya makin kuat force pemakainya.
“Bilang ke pasukan bantuan untuk ambil jalan memutar ke sektor 3, dan bangun ulang parimeter sejauh 2 kilometer.” Katanya. “Izcatzin, bawa Divisi 1 Artileri. Kita gilas mereka dari 2 arah!” Ia memerintah dengan tenang, tapi tegas. Apalagi pas dia bilang ‘gilas’, terasa napsu membunuh liar seperti mau meledak dari diri Maximus Croiss. “Kami akan tiba dalam 2 menit.” Lanjutnya lagi.
“Siap, Archon!” Miller itu bergegas pergi.
“Ayo… Mereka butuh kita.” Ajak Sang Archon pada Tante Izcatzin. Sebelum ikut langkah Croiss keluar dari ruang perawatan, dia sempat memandang dalam-dalam mata gw sejenak dengan tatapan jengkel. Risih akan hal itu, gw alihkan pandangan ke arah lain, berusaha terhindar dari mata kehijauannya.
“Lu tuh terlalu lembek ke dia!” Ujarnya pada Archon. Ia menurunkan volume, mungkin biar gw ga dengar. Sayangnya, pendengaran gw cukup tajam buat menangkap semua suara.
“Terus gw harus gimana!? Bertindak kasar macam lu?” Seru Croiss tertahan. “Ga perlu atur-atur gw! Gimana pun, gw tetap Archon lu! Ingat!” Itulah percakapan terakhir yang terdengar di kuping gw, sebelum mereka belok di persimpangan lorong 15 meter dari tempat gw berdiri.
“Fyyuuhh…” hembusan napas pertanda lega bersitegang dengan Tante berhasil terlalui. Kenapa ya, Maximus Izcatzin ga suka banget dengan gw? Kan ga enak dijutekin Wakil Archon. Gw nengok ke pintu kamar operasi. Pintu otomatis berlapis metal anti-rudal, anti-nuke, sebagai perlindungan bagi prajurit-prajurit ga siap tempur.
Mungkin Maximus Izcatzin benar kali ya, gw penyebabnya. Andai gw ga di sana, mungkin Gatan bisa lebih leluasa lawan Isis merah. Andai gw ga bantah perintahnya, mungkin dia ga harus lindungi gw yang lengah kala itu. Andai gw aja yang ditusuk, bukan dia. Aahhh, gw cuma bisa berandai-andai.
Tiba-tiba, pas lagi menerawang pintu metal itu, eh kebuka. Dari dalam muncul seorang petugas berseragam operasi; hijau terang, sarung tangan plastik putih bernoda merah akibat darah, masker, dan penutup rambut.
Dia menurunkan masker yang menutup hidung dan mulutnya, lalu tarik napas dalem-dalem. “Hhhh…” Gw terhenyak, wajah di balik masker tersebut ga asing, raut kelelahan terukir jelas di sana. Kita saling pandang begitu dia sadar, gw liat dia dari tadi.
“…”
“…”
“Luu!?” Kita ngomong barengan.
“Ngapain lu di sini?” Tanya gw.
“Buta ya? Lagi dinas lah.” jawabnya sinis.
“Lu… jadi Chandra?!” Gw ga percaya penglihatan sendiri. “Katanya mau jadi Wizard, kok ambil class Chandra?”
“Kata siapa? Seingat gw, ga pernah bilang gitu ke siapapun.” Sangkal si Chandra muda, dengan nada setengah nyeleneh dan pasang muka songong.
“…”
Beberapa saat, dia liat gw dari ujung rambut sampe ujung kaki, terus balik lagi ke ujung rambut. Terus celingukan ke keadaan sekeliling. Tanpa bilang sepatah kata pun. Woi… emang lu apaan? Scanner?
“… Keadaannya udah membaik.” Katanya tiba-tiba. “Operasi lancar, tapi dia butuh istirahat agak lama. Untung luka tusuknya ga kena organ vital.” Chandra muda ini menjelaskan gimana keadaan Gatan sekarang.
“Kenapa lu jelaskan itu, ke gw?”
“Cuma lu yang lagi nunggu di sini.” Jawabnya spontan sambil lepas kedua sarung tangan plastik itu, dan berjalan ke mesin minuman ga jauh dari sini. Setelah tekan-tekan tombol dan minuman kaleng keluar, dia lempar satu ke arah gw.
Liat ada kaleng melayang, otomatis gw tangkap, terpaksa pake tangan kiri soalnya yang kanan lagi ga luwes.
“Cora cola? Wah, tau aja minuman kesukaan gw.” Gumam gw dalam hati pas baca tulisan di kaleng merah yang baru aja dikasih. Ada beberapa hal yang mengganjal di batin gw, sebenarnya malas sih ngobrol ama orang ini. Tapi berhubung ga ada orang lain… “Hei… boleh gw tanya sesuatu?”
“Silakan,” Jawab si Chandra sambil buka kaleng, busa soda sedikit menyembul keluar, lalu bibirnya dimonyong-monyongin menyeruput busa yang tumpah-tumpah.
“Kenapa lu pilih jalan sebagai Chandra?”
“… Kepo banget.” Jawaban yang sungguh tiada berperasaan.
Grrr! Tuh kan benar ide buruk ngobrol ama dia. Ga jelas banget, tadi dia bilang ‘silakan’ padahal. Level ngeselinnya lebih parah dari Alecto. Tau ga sih, perasaan pengen menombak orang … dari jarak semeter … dari belakang? Nah itu. Sabar Lake, sabar. Bisa mati kalo nyari masalah ama dia dengan kondisi lu yang sekarang.
“Jadi…” Gumamnya, setelah menenggak minuman kedua kali. “… jawaban yang lu cari… udah ketemu?” Iiii kepooo. Gw pengen balas perbuatannya tadi, tapi entah kenapa, lagi malas nyari perkara.
Gw geleng-geleng perlahan, “Mungkin orang kaya gw lebih cocok jadi Ranger sekarat, persis macam kata lu.” Ujar gw tertunduk lesu. Senyum paksaan tersimpul di muka, berusaha menyangkal semua yang lagi gw rasakan. “Kalo gw boleh berharap sih, pengennya lahir dianugrahkan badan tahan banting, otak brilian, dan ga kenal takut. Lah ini? Macam tulang flem yang bisa ngomong.”
Dia terdiam. Barangkali lagi mikir, kalimat yang tepat buat diucapkan. Kembali menenggak minuman kalengnya, kali ini sampe abis. Sedangkan kaleng di tangan gw belum terbuka dari tadi, gw lagi ga haus. Abis itu dilempar kaleng merah kosong itu ke tempat sampah.
“Gw cuma pengen kayak kalian, punya sesuatu yang harus dikejar.”
Ini orang diajakin ngomong, kok diam aja ya? Tadi giliran gw diam, dia yang ngomong duluan. Sekalinya ngomong, bikin orang naik darah. Hadeeh.
“… Kebanyakan orang yang kena Implode, mengalami rontok organ dalam, otak miring 45°, paranoid extra berlebihan, kadang ada yang ingatan jangka panjangnya terganggu.” Katanya jeda panjang. “Ga kaya lu, abnormal.”
“Weyyy, weyyy, weeey, jangan-jangan lu beneran niat bikin gw modar, ya?!” Tanya gw panik, pas dengar efek samping mantra yang pernah dilemparnya ke gw taun lalu.
“… Nafsu, kebawa suasana,” Napsu si napsu boss, tapi ga gitu juga caranya, “ya udahlah, lu ga mati ini.” Lanjutnya enteng seakan-akan ga punya rasa bersalah. Aslee … tombak mana tombak?!
Abis ngomong begitu, dia berbalik. Menuju kembali ke ruang operasi di mana cuma petugas Spiritualist diizinkan masuk. Begitu pintu terbuka, langkahnya terhenti di depan pintu dan bilang,
“Kuat, lemah, itu pilihan. Intinya, stop coba terlalu keras buat jadi orang yang bukan lu.” gw perhatikan punggungnya, karena dia ngomong ga hadap gw, “coba sekali-kali hargai diri lu sendiri, Tulang Flem,” katanya, seraya melangkah masuk ke ruang operasi.
“Huh, dasar sok keren. Ga ada robahnya.” Sebelum pintu metal itu menutup, gw angkat tangan kiri yang lagi pegang kaleng Cora-cola dingin traktirannya, “Makasih ya, minumannya,” Ia cuma balas ucapan gw dengan anggukan kecil.
Pintu metal itu tertutup, dan menghadang pandangan gw. Hmm, biarpun belagu tingkat dewa, ternyata bisa sedikit baik juga dia.
Udahlah, gw mau pulang ke Mesh aja. Lagi room sick nih. Biarin deh luka-luka nanti sembuh sendiri. Di perjalanan, gw buka minuman pemberiannya, dan sekali tenggak langsung habis. Puaahhh… ternyata gw haus sangat!
.
.
Besoknya gw dapat cuti pemulihan dari atasan. Waktu senggang ini gw gunakan buat jenguk Maximus Gatan, soalnya kemarin belum sempat ketemu. Gw melangkah menuju ruang medis sambil menenteng sekeranjang buah yang baru aja dibeli. Tabung pemulihan mini di tangan kanan udah dilepas, lukanya sembuh dalam semalam.
Tapi luka di paha sih masih berasa. Seengaknya jalan ga sempoyongan kayak kemarin. Berhubung lagi off, gw pake pakaian santai hari ini. Kaos lengan buntung yang didobel jaket sporty Ranger corps berwarna dominan kuning dan ada garis berbentuk V hitam di bagian rusuk.
Aksen hitam juga dimunculkan di bagian pergelangan tangan, serta kerahnya, yang kalo diresleting sampe mentok, bisa tutupi mulut. Ga lupa celana pendek 3/4.
Sesampenya di sana, gw celingak-celinguk, cek sekitar lorong ruang medis. Tiap ada belokan, ga langsung belok. Mojok dulu dikit, terus ngintip dari balik tembok. Ada ancaman berarti apa enggak.
Berasa lagi menyusup ke markas musuh. Pas yakin aman, baru deh gw belok. Ancaman yang gw maksud, ga lain ga bukan adalah Maximus Izcatzin. Dia orang yang paling ga pengen gw temui, baik sengaja atau enggak. Bisa rempong urusannya.
Aman! Akhirnya sampe depan kamar tempat Gatan dirawat. Keadaan masih 50-50 nih. Siapa tau si Tante ada di dalam. Gw tempelkan aja kuping ke pintu, coba menangkap suara-suara iblis betina. Kayaknya ga ada tanda-tanda kehadirannya. Setelah pintu gw buka pelan-pelan, kepala gw nyelip ke dalam buat intip keadaan. Yess! Ga ada orang! Cuma ada Maximus Gatan doang lagi nonton tipi.
Akhirnya gw ketuk pintu dan buka lebar-lebar. Gatan tersadar akan hal itu, alihkan pandangannya dari tipi ke arah pintu.
“Pagi, Maximus.” Kata gw kasih salam. “Banyak orang makan buah sebagai pencuci mulut, tapi sebenarnya lebih bagus makan buah kalo perut kita kosong.” Jawab gw atas pertanyaan tempo hari seraya melangkah dan meletakkan keranjang buah di meja sebelah kirinya.
Dia keliatan baik-baik aja biarpun dari balik kaos medis yang lagi dia kenakan, perban masih melilit tubuh bagian atas sampe ke leher. Sedikit bercak merah menodai perban putih tersebut di bagian dada, bagian yang ditembus pedang Isis kemaren.
“Ahah! Sudah saya duga!” Balasnya terengah, “tau aja kalo perut saya lagi kosong. Makasih lho.” Dia terdengar senang gw bawakan buah, tangannya langsung memyambar pisang dan langsung dikupas kulitnya, langsung di sosor.
Gw tertunduk dengar kata makasih, satu kata sederhana yang belum terucap dari mulut ini kepada penyelamat sang penyelamat nyawa, 2 kali.
“Harusnya … saya yang bilang makasih, Maximus.” Ujar gw pelan. Dia masih asik ngunyah pisang. Pas udah abis, apel langsung dicomot. Ngunyah lagi.. krauss, krauss, krauss, “maap juga, gara-gara saya … anda luka parah begitu.” Lanjut gw.
“Udahlah, udah kejadian,” jawabnya tanpa beban, “biasanya pas tempur malah lebih parah.” Benar-benar ga ada penyesalan atau rasa kesal atau apa kek gitu dari nada bicaranya. Santai aja gitu, seolah emang udah jadi sarapan, luka begini tuh.
“Saya udah dengar tentang kamu dan Izcatzin.” Ia membelokkan topik obrolan. “Maafkan dia ya. Emang orangnya keras, tapi itu cara dia menunjukkan kasih sayangnya.” Yeah, right… kasih sayang gigi lu meledak! Yang ada gw merasa kaya pengen digilas pake MAU.
“Ingat pas saya bilang, ‘kamu harus lebih waspada’?”
Anggukan kecil gw kasih, pertanda ingat ucapannya di Sette kemarin.
“Saya curiga, ada yang mau mencelakakan kamu.” Ujarnya dengan nada serius… pake banget. Sedikit kaget. Itulah reaksi gw. Siapa? Buat apa celakakan gw? Apa untungnya?
“Serius? Anda yakin?” Tanya gw, guna menegaskan pernyataan tadi.
“Belum yakin banget sih,” Jawabnya. “tapi indikasinya udah keliatan. Memberi misi menangani Isis merah, yang jelas bagimu susah banget. Belum lagi isu pengkhianatan dituduhkan padamu.” Ia menambahkan, bikin gw ingat kejadian ga mengenakan itu. Uggh! Kesal rasanya, dituduh yang bukan-bukan oleh bangsa sendiri.
“Kalo masalah pengkhianatan itu, kayaknya Maximus Izcatzin terlibat deh.” Kalo diingat lagi, soalnya si Tante emang napsu banget nuduh gw sebagai pengkhianat. Sorot matanya … benar-benar merendahkan gw.
Maximus Gatan menggeleng, “Saya lama kenal dia. Dan saya yakin, dia ga bakal begitu. Kecuali ada yang mengompori. Itulah kelemahannya, kepala cepat panas. Apa lagi kalo udah bersangkutan dengan orang terdekatnya.” Jelas Gatan, seolah hapal banget sifat partner perangnya. “Untung Croiss ga gampang dibohongi. Yang jadi pertanyaan, siapa kompornya?”
Ga kebayang siapa yang bersedia repot-repot mencelakakan Ranger cupu macam gw. Ini baru sebatas asumsi, mungkin gw ga perlu khawatir. Paling ga, untuk sekarang.
Belum sempat semua terjawab, perhatian gw teralihkan oleh dua pedang yang bersandar di pojok ruangan ini. Tepatnya di bawah jendela yang letaknya di depan tempat gw duduk, atau dari sebelah kanan Maximus Gatan.
Gw bangkit dari kursi dan mendekat ke jendela. “Ini… pedang yang anda pake, Maximus?” Tanya gw keheranan.
“Yap!”
Gw heran. Karena pedang yang ada di depan mata, bentuknya beda banget dari yang pernah dipake Maximus Gatan. Kedua pedang ini keliatan kayak besi kusam. Bilahnya tipis dan agak melengkung. Luas permukaan dari pangkal pedang lebih besar daripada ujungnya. Mungkin gw bukan ahli senjata tajam, tapi gw tau mana mata pedang tajam, mana tumpul. Yang ini… tumpul.
Di sisi bilahnya ada semacam ukiran, gw pikir tulisan, ternyata gambar tribal dari ujung sampe pangkal. Ga ngerti fungsinya buat apa. Hiasan? Diliat gimana pun, pisau dapur masih lebih bagus kali. Satu-satunya bagian yang bagus cuman gagangnya doang. Dibalut bahan merah hitam gitu. Saling tumpang tindih hasilkan pola menyilang yang menarik perhatian gw.
“Pegang dong. Mereka ga akan kasih unjuk warna mereka, kalo ga digenggam benar-benar,” ujar Maximus Gatan yang sedari tadi mengobservasi gw yang lagi mengobservasi pedangnya.
Mungkin dia ga tahan liat tampang blo’on yang menyiratkan, “Busuk amat ni senjata.”
“Ahh… boleh nih? Saya ga enak pegang-pegang senjata Wakil Archon,” tanya gw ragu.
“Lebih ga enak lagi liat mukamu tadi,” celetuknya kesal, kayak bisa baca isi kepala gw lewat ekspresi. Err, iya, iya… maap. Tapi kan emang sesuai kenyataan. Kalo disuruh milih cangkir kopi atau pedang ini, gw lebih milih cangkir kopi deh.
Sesuai permintaan, tangan kanan gw ambil satu dengan hati-hati. Gagangnya terasa pas, nyaman digenggam. Diikuti tangan kiri pegang pedang satu lagi. Dan… zuumm… mendadak Force gw berasa mengalir dari tangan menuju kedua pedang ini.
“Woow… bersinar… indah,” gw tercengang liat perubahan signifikan. Force mengalir seolah mengisi kekosongan pada bilahnya, membuat ukiran tribalnya nyala, dan menyelimuti seluruh bagian pedang.
Membentuk punggung serta mata pedang super tajam. Besi kusam yang tadi gw liat, bertindak sebagai mediator Force, dan rangka inti berubah jadi biru dan merah. Sama warna dengan force yang mengalir tenang di sekelilingnya. Aliran Force pada punggung dan mata pedangnya bagus deh. Kayak air sungai. Ciptakan pola gerak air dari sirkulasinya. Ga kaya pedang-pedang Warrior, senjata Maximus Gatan beratnya di bawah rata-rata.
Selagi gw ga bisa berhenti kagum akan keindahannya, dia bilang, “Mereka dinamakan Twin Razer Blades. Kawan saya, seorang Mental Smith jenius, membuatnya untuk saya. Selama force mengalir dalam tubuhmu, pedang ini ga bisa patah lho.”
Begitukah? Hmm, soalnya rangka intinya diselubungi Force sih. Udah gitu, punggung dan mata pedangnya juga tercipta dari force. Pas beradu senjata, rangka inti tersebut benar-benar terlindung lapisan Force berpola gerak air.
“Pedang yang unik, Maximus. Tapi kemarin pas anda pake, warnanya kuning-hijau, ini kok biru-merah?” Gw bertanya tanpa hilangkan ekspresi kagum pada pedang di kedua tangan gw ini.
“Itulah. Saya ga ngerti gimana cara kawan saya menempanya,” Jawab Maximus Gatan langsung ke inti masalah. “Warnanya bakal beda-beda, tergantung siapa pemakainya.” Wakil Archon berambut hitam menambahkan. “Yang jelas, kedua pedang di tanganmu itu Mahakarya…” Dia diam sejenak. “… dan boleh buatmu, kalo mau,” kalimat terakhirnya bikin gw kaget.
“Eh?! Tapi- tapi- tapi…” Gw jadi terbata-bata. Inikan pedang yang dibuat kawannya, yang dia pake. Pasti berharga banget baginya. Kenapa malah dikasih ke gw?!
“Ga usah pake tapi. Anggap aja hadiah karena udah menyelamatkan saya. Lagian udah ga kepake. Hehehe.” Katanya sambil cengengesan, dan mempreteli anggur satu persatu dari tangkainya, “Katakan, jalan mana yang kamu pilih nanti?” Ia menimpali dengan pertanyaan.
“Umm, Sentinel. Tapi Maximus, saya ga mungkin menerima Mahakarya yang susah payah dibuat kawan anda untuk anda,” ucap gw ragu-ragu. Sebenarnya mau banget, cuma yang IQ-nya tengkurap yang ga mau dikasih pedang super keren oleh Wakil Archon, “Lagian saya jarang pake satu pedang, apalagi dua.”
“Oke… hmm iya, iya… okesip, makasih ya,” rupanya Gatan lagi menelpon seseorang pake Log-nya, “tadi kawan saya, dia bilang ga masalah kok,” jawab si Wakil Archon polos. Ja-jadi dia udah antisipasi jawaban gw bahkan sebelum gw bilang ke dia ya… huff, “Haa! Sentinel! Pilihan bagus,” serunya senang dengar pilihan gw, “gini deh, ga masalah sejarang apapun kamu pake pedang, kamu belum ada mentorkan? Saya bakal jadi mentormu. Akan saya ajarkan semua yang saya tau,” entah harus senang atau enggak, seorang Wakil Archon menawarkan diri jadi mentor gw.
CHAPTER 5 END.
Next Chapter > Read Chapter 6:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-6/
Previous Chapter > Read Chapter 4:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-4/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list
Catatan author,
Hierarki pangkat yang saya pake di cerita ini masih ngikutin dari gamenya:
Accretia: Hastati Principe Triarii Centurio Manipel Primpilus Cohort Legion
Bellato: Ensign Lieutenant Captain Major Caters Royal Conquest Maximus
Cora: Turgon Arien Feawen Taralom Aranel Anclaime Erlond Chamtalion
Chapter-chapter awal emang saya pengen nyeritain gimana perjuangan Lake untuk terus gali potensi, untuk kenal dirinya sendiri, tau batas kemampuannya, nentuin langkah krusial antara hidup dan mati. Tentunya cerita ini akan berkembang lebih dari sekedar pencarian jati diri. Dan saya akan biarkan imajinasi membawa saya kemanapun itu *cialilah*. Sebenernya udah ada beberapa kemungkinan di pikiran saya, tinggal milih aja dan mikir gimana cara nulisnya biar maknanya nyampe ke yang baca.
Kayanya ga juga sih. Beberapa sifat positif Lake jelas bukan saya, tapi lebih ke sifat yang saya harap ada di diri saya. Misalnya, Lake itu overthinking dan suka bimbang dalam hampir segala hal tapi ujung2nya dikerjain juga. Kalo saya, udah bimbang ragu galau akhirnya lebih milih ga dikerjain. Jadi ga maju-maju deh.
Tentunya saya ga bakal biarin cerita ini terbengkalai, sebisa mungkin akan saya selesaikan biarpun ga ada yang baca.
Regards,
Mie Rebus.