LAKE CHAPTER 50 – SOS 5: PROBLEMATIC
 
                Lake 
Penulis: Mie Rebus 
…Benteng Solus, Area Perawatan…
-Sebelum jatuhnya pesawat kargo Armada Udara Federasi-
“Tau ga? Harusnya lu ga perlu mukul gw sekeras itu,” ujar seorang pria berambut coklat kemerahan agak panjang. Di pipinya tercetak tanda kepalan tangan yang masih segar, alias berasap. Hasil luapan emosi dari Wizard wanita yang lagi bersamanya, “gw berasa jadi korban kekerasan rumah tangga di sini.”
“Lagian sih salah sendiri! Tau-tau bilang butuh bantuan ternyata dengan muka mesum lu asik gendong perempuan itu kaya pengantin baru di depan mata gw! Siapa coba yang ga bakal sewot!? Tau diri kek dikit! Udah minta bantuan kelakuan lu malah begitu! Minta banget dianiaya kan namanya!” Si Wizard pirang itu nyerocos ga pake titik koma. Mata hijaunya menajam, ekspresikan kekesalan yang coba ditahan.
“Mu… mesum!? Demi sempak Accretia, muka gw emang kaya gini dari dulu!” balas si Infiltrator. Dia jadi ga kalah sewot usai mukanya dihina.
“Iya, emang! Udah sadar, kan!? Bagus deh kalo sadar dari dulu muka lu tuh mirip om-om pedofil yang lagi berburu loli!” pedas perkataan tersebut merambat dari telinga si pemuda, langsung ke hati.
Biarpun udah sering hadapi omongan tanpa filter dari kawan sejak kecilnya, tapi kali ini, sukses bikin pemuda itu berlutut sambil remas jantung, dan merasa ditikam lembing dari depan. Sama sekali ga berniat adu argumen. Karena dia tau, baru sekali bicara, bakal dibalas 100 kali, “K-kalo ngomong… lu tuh ya, kalo ngomong kaya ga punya tenggorokan.”
“Humph! Bodo!” masih tersisa kekesalan di garis wajah Si Wizard. Dia buang muka ke arah lain, enggan menatap lawan bicara. Namun seketika, ekspresinya berubah serius, “jadi, bantuan apa yang lu butuhkan?” Intonasi pun langsung menurun begitu wanita itu memutar badannya, dan amati sosok perempuan berambut coklat pendek yang ga sadarkan diri di atas kasur bersprei putih ruang perawatan, “siapa dia?”
“Elka Nordo,” pemuda berambut coklat kemerahan itu bangkit dari lantai, dan melangkah ke samping Si Wizard wanita, “gw yakin lu pernah dengar nama itu, sekali atau dua kali.”
“Oh, ya. Lulusan terbaik Ranger Corps taun lalu, kan? Kadet yang kabarnya ga pernah meleset pas latian menembak?”
Si Pemuda merespon dengan satu anggukan, sebelum jelaskan situasi, “Pingsan abis lawan orang ga dikenal berjubah hitam. Tapi anehnya, dia pingsan tanpa terima serangan. Bahkan, lawannya sama sekali ga keluarkan senjata.”
“Apa? Kok bisa?” alis pirang kiri Wizard wanita itu sedikit terangkat.
“Dia tumbang usai dengar rentetan kata dalam bahasa asing yang diucapkan sosok berjubah hitam. Takutnya, itu mantra kutukan,” jawab si pemuda lugas, “gw mau tau apa yang sebenarnya terjadi. Lu ahli dalam hal macam ini, Lamia.”
“Intinya, lu minta gw pulihkan dia?” kali ini wanita itu menghadap pada si pemuda, kedua tangan terlipat di depan dada, dan menatap sepasang mata merah secara langsung, “gw ini Wizard, ingat? Bukan Holy Chandra.”
“Tentu gw ingat. Dan bukan, gw ga minta lu pulihkan dia,” Lace membantah pernyataan kawan masa kecilnya. Mata merah balas tatapan mata hijau, “gw tau lu punya indra spiritual yang sensitif, dan bisa deteksi aktifitas Force sekecil apapun. Gw butuh bantuan lu untuk cari tau, mantra macam apa yang dirapal bangsat berjubah hitam itu,” raut mukanya berubah 180 derajat. Ga ada lagi yang tadi dibilang mirip om-om pedofil berburu loli.
Lace yakin, kalo emang benar mantra adalah penyebab Elka tumbang, berarti harusnya masih ada aktifitas Force tertentu di tubuh Si Infiltrator perempuan. Efek apa yang diberikan mantra itu, gimana cara antisipasinya, berapa lama masa efektif, dan lain-lain. Informasi-informasi semacam itu bisa jadi penting. Karena saat ini, dia sama sekali ga tau apa yang sedang dihadapi.
Tatapan Lace dan Lamia saling bertemu di satu titik untuk beberapa lama. Kemudian Lamia hela napas. Dia lebih dari paham tabiat lelaki ini. Liat keseriusan, serta determinasi lelaki yang secara diam-diam disukainya, mana mungkin wanita pirang itu sanggup bilang ‘tidak’, “Oke, gw mengerti. Tapi sebelumnya… boleh tanya satu hal?”
“… Boleh.”
“Ke-kenapa,” Lamia tampak ragu lancarkan pertanyaan, “kenapa lu… bersamanya?” lagi, wanita pirang itu buang muka ke samping.
Lace berkedip cepat liat reaksi imut wanita di depannya, lalu tetiba jadi sumringah, “Ahha, lu cemburu ya?”
“Enggak! Jawab aja sih, dungu!” Muka Lamia merona semerah tomat, jadi tambah lucu. Kekesalan yang sempat memudar, balik lagi akibat ledekan lelaki berambut coklat kemerahan. Si Pirang layangkan kepalan tangan kiri ke muka Lace untuk kedua kalinya.
Tapi kali ini, tinju perempuan itu sukses ditangkap tangan kanan Lace tanpa kesulitan berarti. Pemuda itu menyimpul senyum tipis, “Maaf, Lamia. Gw ga bisa kasih tau.”
Mata hijau Lamia melebar, sesaat tanpa sadar napas tertahan. Dia sadar, kalo Lace lagi kaya gini, ini pasti misi rahasia lain yang diemban sebagai bagian dari Skuad Taktis Rahasia.
Skuad Taktis Rahasia adalah skuad yang dirahasiakan keberadaannya. Otomatis para anggota pun dirahasiakan identitasnya. Lace misalnya, mungkin orang boleh tau siapa itu Royal Lace Lachrymose. Seorang Infiltrator biasa aja yang menajamkan kemampuan melalui tempaan Badan Intelijen Pusat. Namun cuma segelintir orang, bisa dihitung dengan jari, yang tau bahwa Lace punya nama kode saat bertugas sebagai anggota Skuad Taktis Rahasia, Phantom Lifethief. Dan Lamia salah satu dari segelintir orang tersebut.
“Rahasia lagi?” Si Wizard mau memastikan. Dan Lace sekedar angguk kepala guna jawab pertanyaan tersebut, masih belum lepas genggaman pada tangan Lamia, “Selalu. Selalu, tiap saat ada aja misi berbahaya, dan lu dilarang untuk bicara apa-apa,” ucapnya lirih seraya tertunduk lesu, “gw benci mereka.”
“Lamia, jangan bilang begi-“
“Sejak lu jadi anggota Skuad itu, gw merasa lu makin jauh, tau?”
“Oi, lu ngomong apa sih? Gw di sini, di depan lu. Sama sekali ga jauh.”
“Iya, tapi terasa jauh. Sampe gw ga bisa meraih lu lagi.”
Lace tertegun dengar ungkapan perasaan Lamia. Pemuda itu selalu tau, rahasiakan sekian banyak hal dari orang terdekatnya ga pernah jadi solusi utama. Tapi ga ada yang bisa dilakukan Si Infiltrator. Ceritakan semua pada Lamia bukanlah pilihan. Dia di bawah sumpah untuk mengemban misi dalam bayang, tanpa diketahui, tanpa terdeteksi. Semua itu harga yang harus dibayar begitu dia setuju direkrut jadi anggota Skuad Taktis Rahasia.
“Lu sadar kan, kita masih pegangan tangan?” jadi dia berusaha cari jalan keluar lain untuk tenangkan gelisah kawan masa kecil, “maaf, mungkin gw jarang cerita ini-itu, dan main rahasia-rahasian juga bukan keinginan gw,” katanya. Lalu telunjuk kiri pemuda itu menunjuk pada kepalan tangan Lamia yang masih bersarang di telapak tangan kanannya, “liat ini? Ini bukti, kalo gw ga pernah jauh. Lu selalu bisa meraih gw kapanpun lu mau. Dan gw janji, ga akan pernah jauh dari lu, Siluman Gunung.”
Lamia angkat wajah, sejenak melirik dua tangan mereka yang masih pegangan. Terus lanjut telusuri senyum Lace lebih seksama. Senyum yang selalu jadi pengingat, kenapa dia bisa suka pada lelaki ga jelas macam ini.
Lalu dengan tenaga ekstra, perempuan pirang itu dorong tangan kirinya. Bikin telapak tangan kanan Lace ikut terdorong, dan hantam bibir sendiri, “Ufft!”
“Ga usah ngatain segala, Kutil Anabola!”
.
.
…Sektor Solus…
-Di waktu yang sama-
Sementara itu di daerah perbukitan hijau sektor Solus, terlihat sebuah MAU tipe Catapult merah gelap terparkir gagah. Pada sisi lengan kiri Catapult yang merupakan senapan mesin terdapat cat putih bertuliskan ‘Razoreniye’, sedangkan di lengan kanan terpampang ejaan ‘Desastre’ dengan gaya huruf ga terlalu rapih. Ciri khas paling menonjol dari mesin perang salah satu Wakil Archon Federasi. Dan jajaran komando, baik Aliansi Suci, ataupun Kekaisaran udah tau, mereka wajib waspada bila Armor Unit merah gelap bertanda itu terjun ke lapangan.
Pilotnya ga lain ga bukan, adalah seorang wanita berambut oranye bergelombang. Jubah putih berlambang Federasi tersemat di punggungnya. Tampak beberapa MAU Goliath, dan Catapult hitam berada ga jauh di sekeliling unit merah gelap. Total ada 16 unit termasuk milik Sang Wakil Archon.
Para Armor Rider lain sedang berada di luar unit masing-masing, berbaris rapih dengan sikap istirahat di tempat di hadapan Maximus Izcatzin.
Total mereka berjumlah 30 personil. Ga semua anggota merupakan Armor Rider. Terlihat juga personil-personil Hidden Soldier, Infiltrator, Shield Miller, bahkan Wizard. Prajurit-Prajurit terpilih Federasi yang tergabung dalam Divisi Artileri Bellato.
Bicara soal Wizard, tentu kehadiran seorang Spiritualist terasa agak janggal di tengah para pengguna senjata api kelas berat. Tapi tunggu dulu. Bila bicara soal api, maka Wizard yang satu ini ga bisa ditinggal, atau dibuang ke tim lain.
Wizard perempuan berambut pink panjang yang dikuncir dua, berdiri di sebelah Armor Rider dengan rambut cepak warna burgundy. Gelagatnya tampak gelisah, dan kelewat ga tenang berada di tengah keramaian begini. Tengok kanan, tengok kiri, kedua telapak tangan saling bertaut dan agak gemetar.
Kini di tengah sinar mentari yang sedikit demi sedikit mulai tertutup gumpalan awan, Sang Maximus tengah memberi instruksi singkat pada seluruh anggota tim guna menanggulangi pasukan Accretia yang kian mengancam wilayah pendudukan para Bellatean.
“Dengarkan saya baik-baik! Infiltrator, saya mau daerah ini jadi ladang ranjau! Pasang semua trap yang kalian punya, hadang rute pelarian bagi pasukan darat Kekaisaran yang mundur. Untuk para Armor Rider, saya akan bagi kalian dalam 2 tim! Tim pertama, sebagai garis depan penahan gempuran para kaleng tanpa otak. Kita akan koordinasi dengan Resimen 1, Satuan Tugas Gabungan!” perintah Izcatzin lantang, “dan tim kedua, tim sergap. Seperti yang kalian tau, potensi kerusakan garis belakang para kaleng ga bisa dipandang sebelah mata!” Wakil Archon wanita ini masih keliatan membara, begitu bernapsu dari tiap kalimat yang keluar dari mulutnya, “tapi ini daerah kita! Tanah kita! Tentu kita jauh lebih kenal daerah ini ketimbang mereka!”
Patriot-Patriot elit yang berbaris begitu serius pasang telinga. Garis wajah mereka didominasi determinasi kuat, dan ketegasan. Biarpun ga bisa dipungkiri, sedikit ketegangan juga pasti ada di sudut hati, tapi mereka ga bisa tunjukkan keraguan kalo ga mau kena semprot Wakil Archon wanita yang terkenal keras.
“Karena itu, dirikan parimeter di sini. Saat kita bisa tahan pasukan garis depan sejauh area 5 kilometer dari benteng, saat itulah Kekaisaran akan coba memajukan pasukan artileri. Mereka pikir dengan cara itu, bisa memaksa kita mundur. Tapi salah! Kita akan lakukan serangan dadakan ketika pasukan artileri kaleng mulai masuk jarak serang! Hidden Soldier, dan Shield Miller, tugas kalian sebisa mungkin backup unit-unit yang mengalami kerusakan!” semangat para Prajurit di bawah komandonya ikut terbakar. Izcatzin memang tipikal komandan yang ganas, serta eksplosif, “dan jangan lupa, hancurkan semua Striker pengecut yang kalian liat! Hujani besi-besi rongsok itu dengan peluru dan ledakan! Jangan biarkan mereka lari! Preteli baut-baut yang mereka punya! Jangan sisakan satupun! Kalo mereka pikir bisa melawan kita di Sektor Solus, kita akan buktikan, seberapa fatal kesalahan mereka!”
Dan kata-katanya, meski sering tergolong kasar, namun selalu berhasil menyulut kobaran tekad di dalam dada, “SIAP, MAXIMUS!” teriak tiap-tiap anggota, kecuali satu orang.
Ya, di antara barisan Prajurit yang menjawab seruan perang Izcatzin, ada satu orang yang menutup mulut. Dan malah menatap ke arah lain, bukan tertuju pada Komandan di depan. Seolah ada hal lain yang lalu lalang di pikiran.
Hal itu ga luput dari mata hijau giok Izcatzin. Maka, dia memanggil prajurit itu, satu-satunya Sentinel di antara mereka, perempuan berambut hitam dicepol, “Captain Hash’Kafil!” nadanya agak membentak, bikin keadaan hening seketika. Pandangan Hash’Kafil jadi teralih pada wanita oranye, “Maju!”
Dengan enggan, Sentinel muda itu keluar dari barisan, dan ambil langkah ke depan. Mata hitam agak sayu menatap langsung ke mata hijau giok Sang Komandan, tanpa ada rasa takut, atau gelisah. Dia istirahat di tempat, menanti apa yang akan diucapkan Izcatzin selanjutnya.
“Ga ada yang menyuruhmu istirahat, Captain,” kata Izcatzin datar.
Lalu Hash’Kafil ganti sikap berdiri jadi siap, masih dengan keengganan yang terpancar dari raut wajahnya.
“Dari tadi saya perhatikan, kamu ga fokus terhadap arahan saya. Semoga kamu ga keberatan untuk jelaskan, hal menarik apa yang ada di kepalamu pada kami semua,” biarpun nada bicara Izcatzin ga naik, tapi tetap terdengar penuh tekanan bagi Prajurit lain. Ditambah tatapan galak si tante, mereka lega, dan bersyukur ga harus berdiri di tempat Hash’Kafil.
“… Ga ada, Maximus,” jelas perempuan ini menolak untuk ungkapkan apa yang lagi dipikirkannya.
“Kalo begitu jelaskan, kenapa kamu keliatan ga dengarkan instruksi dari saya?”
“Tanpa mengurangi rasa hormat, itu cara saya supaya lebih konsentrasi,” jawab Hash’Kafil ga kalah datar, “maaf, tapi saya dengar dan ingat tiap kata yang anda ucapkan.”
“Ho, yang benar?”
“… Ya.”
“Tiap kata?”
“Keras dan jelas, Maximus.”
Sentinel junior, dan Armor Rider senior lanjut berbalas tatapan lebih lama. Belum ada lagi perkataan yang keluar dari mulut keduanya. Ketegangan sunyi yang terjadi antara dua perempuan itu berhasil bikin anggota lain menelan ludah. Padahal, Sang Wakil Archon sama sekali ga marah-marah.
Sebenarnya, Izcatzin hendak perintahkan Hash’Kafil untuk ulangi apa aja instruksi yang udah dia beri. Tapi, seketika benaknya berkata itu bakal percuma. Dia ingat Hash’Kafil, seorang Kadet Ranger yang berotak ga kalah encer dari lulusan terbaik taun lalu. Dia tau, percuma juga marah-marah pada perempuan muda di depannya. Lagipula, sorot mata hitam itu sama sekali ga tunjukkan gentar dari tiap kalimat terucap. Seolah ga terpengaruh segala macam tekanan.
Kalo Izcatzin disuruh memilih apa kekurangan paling fatal yang dimiliki bawahannya yang satu ini, maka dia akan bilang, sikap. Tante rambut oranye kurang suka sikapnya yang tampak ga menaruh perhatian saat orang bicara, “Lain kali gunakan cara lain untuk lebih konsentrasi, Captain. Kembali ke barisan.”
“Siap, Maximus,” Hash’Kafil beri sikap hormat. Begitu dapat balasan dari Izcatzin, dia balik badan, dan kembali ke tempat dia berdiri sebelumnya.
Hal itu cukup mengejutkan bagi Prajurit lain. Mengingat komandan mereka punya hobi ga ragu luapkan emosi pada suatu hal yang ga disukai, mereka ga menyangka Hash’Kafil bisa lolos dari bom waktu nyaris meledak.
“Oke, persiapkan semua yang kalian butuhkan. Tim 2 akan dipimpin oleh Conquest Gillard,” kata Izcatzin.
Yang ditunjuk menjawab, “Siap, Maximus,” seorang pria bertubuh tegap, dan berisi untuk ukuran Armor Rider. Dia punya potongan rambut tipis pendek, dan bertekstur kasar. Rambutnya biru gelap, dengan sepasang mata coklat kehitaman.
Sang Wakil Archon beranjak dari hadapan anggotanya, “Bubar!”
Dengan satu kata tersebut, maka buyarlah barisan rapih tadi. Masing-masing personil mulai bersiap, dan pastikan semua peralatan berfungsi optimal. Ga terkecuali Hash’Kafil, yah, biarpun dia memilih tempat agak jauh dari timnya. Perempuan itu memeriksa 4 Crossbow yang biasa digunakan, sambil sesekali cek Log misi yang dia bawa.
Sebenarnya, dia udah bohong pada atasan. Tentu Si Sentinel junior punya sesuatu yang terus dipikirkannya sedari tadi. Ga liat ada satupun pesan, atau panggilan, dia putuskan untuk hubungi duluan. Ditinggalkan sejenak kegiatan cek peralatan tersebut.
Beberapa saat menanti jawaban dari seberang sana. Ga sampe setengah menit, panggilannya diangkat, “Hey, sis.“
“Buruk rupa, gimana keadaan Ibu?” dia bertanya.
“Kami belum tiba di sana. Tapi gw yakin Ibu baik-baik aja,” jawab kembarannya di tempat lain.
“… Gw harap begitu,” Hash’Kafil ga bisa memungkiri, hal yang paling menyita fokusnya sampe-sampe dia ditegur adalah keselamatan sang Bunda tercinta. Tapi dia menolak untuk utarakan hal itu di depan khalayak ramai, “ingat, Ibu harus jadi prioritas utama lu.”
“Lu ga perlu bilang, gw udah tau,” suara Ish’Kandel terdengar serius dan berat. Jarang-jarang kembaran lelakinya keluarkan nada demikian, “hey, sis. Gimana keadaan di sana?“
“… Ga buruk,” tukas Hash’Kafil singkat. Tetiba, angin berhembus sepoi. Seolah ingin menenangkan kecamuk batin Si Sentinel. Biarpun dari luar senantiasa keliatan sinis dan acuh ga acuh, tapi hati orang, ga da yang bisa memetakan. Dia tutup mata sejenak, nikmati pergerakan udara di wajah serta rambutnya. Lalu berkata, “buruk rupa, tolong bilang Ibu… gw sayang dia.”
“Hah!? Apa lu bilang!?” respon kaget dari Ish’Kandel bikin Hash’Kafil seketika jauhkan Log misi dari telinga, “hey, hey! Kenapa lu bilang begitu!? Asal lu tau ya, kalo di cerita-cerita perang, tokoh yang ngomong begitu, udah pasti bakal tewas!“
“Geez… tenanglah. Gw ga niat mati muda,” tapi Hash’Kafil menanggapinya kalem, dan santai, “cuma jaga-jaga aja. Udah cukup lama… sejak terakhir kali gw bilang itu padanya.”
“Maaf, sis. Gw ga bisa,” ucap Ish’Kandel lugas.
Mata hitam Hash’Kafil sedikit melebar, dan melirik ke Log misi di telinga kanan. Dahinya bergerut, “Apa?”
“Gw ga akan sampaikan sepatah katapun! Lu harus bilang sendiri ke Ibu! Lu bakal kembali, dan bilang langsung bahwa lu sayang padanya!“
Lagi-lagi Hash’Kafil terdiam beberapa detik, kali ini wajahnya ditundukkan, “… Buruk rupa, tolong, berhenti jadi brengsek sekali ini aja.”
“Gw ga peduli!” kembarannya menyentak, “gw ga peduli… seberapa parah lu bisa jadi menyebalkan. Gw… cuma pengen lu tetap hidup,” kali ini suara Ish’Kandel sedikit lirih. Jelas kalo lagi dibalut rasa khawatir. Hash’Kafil belum bilang apa-apa. Ga dengar ada jawaban, Ish’Kandel menyahut lagi, “lu dengar gw, sis!? Berjanjilah lu akan bertahan di luar sana!“
“Tutup mulut lu,” kalimat penutup terlontar dari mulut, “bro,” sebelum ibu jari Hash’Kafil akhiri panggilan singkat itu. Layar Log misi yang telah menghitam, masih ditatapnya sembari pikirkan kata demi kata yang diucapkan si saudara kembar.
Sentinel perempuan itu simpan kembali Log, dan lanjut cek peralatan tertunda.
Terbesit di ingatan, satu kalimat yang pernah terucap dari salah satu rekan semasa jalani pendidikan Ranger Corps terdahulu. Kadet lulusan seangkatan yang juga memilih jalan sebagai Sentinel. Satu kalimat yang bikin dia selalu kesal padanya karena udah berlagak sok tau, padahal orang itu ga bisa jawab pas ditanya tentang tujuan waktu itu, “Ada hal lain, selain tujuan yang lu kejar.“
“Mungkin lu ada benarnya,” bibir sensual Hash’Kafil menyimpul senyum tipis setelah sadar bahwa dia masih punya hal lain. Hal lain yang bisa dijadikan bukti nyata kalo dia masih semangat, dan terus berjuang jalani hidup.
.
.
…Markas Besar Bellato, Teleport Utama…
“Kenapa, Ish?” tanya seorang Berserker perempuan berambut hijau pada satu-satunya anggota skuad pertama. Sedari tadi, wanita berkulit lebih gelap ini memerhatikan Ish’Kandel yang keliatan emosi saat terima panggilan dari Log misi. Muka pemuda berambut pirang itupun ga bisa dibilang baik seperti biasa.
Mata kuning Ish’Kandel masih belum lepas dari layar Log misi usai disuruh ‘tutup mulut’ oleh Hash’Kafil. Umumnya, orang akan marah, atau kesal, atau jengkel bila dapat balasan seperti itu setelah utarakan perasaan mereka. Tapi Ish’Kandel enggak, “… Saudari gw bilang hal-hal aneh.”
Karena dia sadar akan sesuatu. Hash’Kafil menyebutnya ‘bro’ sesaat sebelum tutup panggilan. Entah harus senang, atau makin khawatir. Senang karena baru kali ini Hash’Kafil berhenti memanggilnya ‘buruk rupa’, tapi sekaligus khawatir, dan sisakan pertanyaan di benak kepala kuning, angin apa yang bikin dia bertingkah kaya begitu?
Ish’Kandel dan Hash’Kafil memang bukan kembar identik. Wajah mereka teramat mirip, namun berbeda. Beda warna mata, beda warna rambut, beda gaya bertarung, beda sifat, beda kelamin. Ditambah lagi dari kecil, Sang Ibu, Husaile Ilkash, membesarkan mereka dengan cara yang unik. Husaile selalu menanamkan di pikiran anak-anaknya, bahwa walaupun terlahir kembar, bukan berarti mereka harus selalu sama.
Kalo biasanya anak-anak kembar lain akan pake baju dengan corak, motif yang sama, punya mainan serupa, atau satu kesukaan, atau pendapat ga jauh beda, maka Ish’Kandel dan Hash’Kafil ga punya hal semacam itu. Mereka diajari untuk jadi berbeda, dan ga terikat dengan status ‘kembar’. Husaile ingin mereka menganggap diri mereka tetaplah individu terpisah yang punya hak untuk berekspresi sesuai keinginan, punya prespektif masing-masing, serta memilih kehidupan sendiri.
Hasilnya, walau ujung-ujungnya mereka berdua memilih jadi tentara, Ish’Kandel tumbuh jadi individu periang, dan suka bercanda, biar kata candaannya sering garing. Senang berkenalan dengan orang-orang baru, dan antusias dalam ilmu beladiri menggunakan pedang dan perisai.
Sedangkan Hash’Kafil seorang wanita sinis nan jutek yang punya mulut setajam belati, ga segan lempar celaan. Ga pernah senang bersosialisasi, dan lebih memilih asingkan keberadaan. Ga peduli biarpun dunia ketiban asteroid, perempuan itu tetap akan berjalan di jalur yang telah dia tetapkan.
Tapi di balik sederet perbedaan tersebut, mereka tetaplah bersaudara. Berbagi darah yang sama. Ish’Kandel lebih dari tau betapa sulit untuk jalin hubungan akrab dengan saudari kembarnya. Berusaha tolerir segala sikap minus yang dimiliki Hash’Kafil bukan suatu hal mudah.
Ga pernah suka mulut Hash’Kafil yang kerap kali bilang dia jelek, buruk rupa, brengsek, tampang blo’on, mulut baskom, rambut feses, dan celaan-celaan lain yang ga kalah menyakiti hati. Namun ga peduli seberapa besar ketidak-sukaan itu, Ish’Kandel ga pernah menyangkal bahwa dia tetap sayang, dan amat peduli pada Hash’Kafil.
“Emang dia bilang apa?” Sirvat bertanya lagi.
“… Dia nyuruh gw buat bilang ke Ibu, bahwa dia sayang padanya,” Ish’Kandel menatap lantai saat jawab, sembari simpan kembali log misi, “gw cuma… cemas. Bisa aja itu pertanda… sesuatu bakal terjadi.”
Sirvat paham, masalah seputar keselamatan Sang Bunda tercinta yang bikin ish’Kandel memaksa untuk ikut ambil bagian buat pertahankan Benteng Solus. Meski pada akhirnya cuma dapat izin untuk ikut evakuasi warga sipil, tapi bagi Ish’Kandel, itu udah lebih dari cukup.
Benar kata Ish’Kandel, kata-kata semacam itu emang bisa jadi pertanda kejadian buruk akan menimpa Hash’Kafil. Dan Sirvat juga merasakan hal yang sama, sebenarnya. Tapi di saat begini, ada baiknya pikiran negatif dibuang dulu jauh-jauh.
Liat anak buahnya murung, tentu ga bisa dibiarkan. Sirvat meninju pelan bahu Ish’Kandel, “Hey,” bikin Ish’Kandel menoleh ke arah wanita berpangkat Caters, “ga perlu cemas berlebihan. Mungkin gw ga begitu kenal saudari lu, tapi dia termasuk anggota pasukan elit, kan?” satu senyum tersimpul di bibir pemimpin skuad pertama resimen 18, tangan kanannya diangkat setinggi dada, dan mengepal keras, “dia bakal meratakan para kaleng sampe akar, dan pulang hidup-hidup!”
Sejenak, Ish’Kandel mengamati reaksi yang diberikan Sirvat. Dia sadar, Berserker wanita ini berusaha menghibur. Dan bersyukur dalam hati, betapa beruntung dia punya skuad leader yang suportif. Peduli, ga sungkan bikin moril anak buahnya bangkit lagi.
Dalam benak kepala berambut kuning, dia ingat-ingat lagi tiap kata yang terucap dari mulut Hash’Kafil barusan. Di antara sekian banyak orang di Novus, Ish’Kandel lebih kenal Hash’Kafil ketimbang orang lain. Dan kalo Hash’Kafil bilang, “Ga niat mati muda,” maka saudarinya akan berpegang teguh pada kata-katanya.
Si Shield Miller percaya akan hal itu.
Alhasil, Ish’Kandel menampar keras kedua pipi dengan kedua tangan sendiri. Begitu nyaring bunyinya. Mengutuk diri, betapa tololnya dia, bisa biarkan hal seperti itu mengalihkan konsentrasi, “Ya, lu benar. Mungkin gw aja yang terlalu mikir berlebihan.”
“Dia akan laksanakan tugas dengan baik, Ish,” Sirvat langkahkan kaki menuju teleport utama. Begitu lewat di samping Ish’Kandel, punggung tangan kanan wanita itu menepuk dada Si Shield Miller yang terlindung plat armor cukup tebal, “fokus. Karena gw butuh lu untuk lakukan hal yang sama.”
“Siap, Caters!”
Dengan itu, bersama resimen lain dari Satuan Tugas Gabungan, mereka berangkat menuju Benteng Solus.
.
.
…Benteng Solus, Area Perawatan…
Telapak tangan kanan dari seorang Wizard pirang keluarkan Force tipis hijau kebiruan, lagi menyusuri tubuh Elka dari ujung rambut hingga kaki dengan perlahan. Memastikan ga ada spot yang luput dari jangkauan Forcenya. Di belakang, Lace sekadar nonton cara kerja Lamia. Udah beberapa menit dia melakukan hal ini, dan belum ada tanda bakal berhenti.
“Jadi, gimana?” Tanya Lace singkat.
“… Ga terasa adanya anomali,” jawab Lamia, tanpa hentikan kegiatannya.
“Serius? Ga satupun?”
Usai pertanyaan ketiga, Lamia menurunkan telapak tangan seraya geleng kepala, “Ga ada yang salah dengannya. Dia baik-baik aja.”
Mata merah Lace sedikit melebar ga percaya, “Lu yakin? Mungkin lu harus coba lagi.”
“Dari awal masuk ruangan ini, gw ga merasakan sesuatu yang ganjil. Tadinya, gw juga kurang yakin. Terus gw dengar penjelasan lu, dan putuskan buat teliti lebih jauh. Tapi setelah gw periksa, ga salah lagi… semua benar-benar normal,” Wizard itu menghadap pada lawan bicara. Dua tangan terlipat di depan dada, “dia baik-baik aja,” dan mengulang poin utama dari diagnosa.
“Tapi… gimana bisa? Gw liat dengan mata kepala sendiri, dia pingsan gegara ucapan pria berjubah hitam,” Si Infiltrator lelaki masih ga bisa terima pernyataan dari kawannya.
“Gw harap bisa menjelaskannya, tapi… gw ga bisa. Gw juga ga tau kenapa bisa begitu,” Lamia menjawab. Mata hijaunya kembali menelisik tubuh wanita yang terbaring di kasur, “yang jelas, mantra Force bukan penyebab dia ga sadarkan diri.”
Lace beranjak menuju sebuah kursi di ruangan ini, lalu duduk di situ. Tubuh agak membungkuk seraya kedua tangannya mengusap wajah sendiri, seakan begitu lelah cari jawaban, “Ga bisa dipercaya.”
Masih banyak kepingan puzzle yang belum berada di tempatnya. Ditambah lagi, keadaan Solus yang lagi siaga satu, bikin pikiran Si Infiltrator terpecah juga. Riuh di luar area perawatan terdengar makin meningkat. Beberapa skuad dari Satuan Tugas Gabungan tampaknya telah tiba, dan langsung memulai tugasnya. Para penduduk sipil yang bermukim di Benteng, dan sekitarnya mulai dievakuasi menuju Markas Besar.
Otak Lace lagi merangkai beragam kemungkinan tentang siapa musuh sebenarnya yang harus lebih diwaspadai Federasi saat ini. Apakah Kekaisaran Accretia, atau organisasi yang disebut pria bernama Eznik, Ultimatum? Apa hubungan Elka dengan mereka?
Tapi diliat dari keadaan serta gelagat pria bermantel hitam yang terkesan enggan melawan, mungkin mereka belum bisa dibilang ancaman.
.
.
Sebuah ingatan bak dua sisi koin yang berbeda. Bisa jadi pengingat tentang betapa indah kehidupan yang terlalui, tapi di lain sisi, juga bisa jadi pengingat bagaimana pahitnya ketika menapaki jalan menuju dunia tanpa arah.
Kelebatan tentang rasa paling pahit yang pernah dialami Elka saat usianya baru menginjak angka 12, seolah bangkit lagi dari dasar memori paling dalam. Perempuan itu terus berusaha menguburnya jauh-jauh. Melupakannya, menimpanya dengan ingatan lain, namun ga peduli apapun yang dia lakukan, ingatan itu ga akan pernah hilang.
“Heyy, lu lapar?” tanya seorang anak berambut kelabu.
Elka menatap anak itu, wajahnya ga terlihat. Hitam, seperti kena sensor. Sekedar mengangguk padanya seraya rapatkan selimut kusam yang udah sobek-sobek, Dia kedinginan malam itu. Pertengahan musim gugur di Kota Yazpen bikin suhu udara lebih rendah dari biasanya.
Mereka berdua sedang mencoba tidur di salah satu sudut Kota, tepatnya gang lembab tanpa penerangan. Kedua anak itu telah memutuskan untuk hidup bersama setelah kehilangan anggota keluarga masing-masing.
“Gw mau cari sesuatu dulu buat dimakan,” ujar anak lelaki itu sambil bangkit, dan kasih selimutnya pada Elka.
Tapi tangan halus Elka meraih tangan anak lelaki itu, “Jangan,” mencegahnya pergi, “jangan tinggalkan gw sendiri.”
“Ga akan,” anak lelaki itu berbalik, dan mengusap rambut coklatnya, “cuma sebentar kok. Ya?”
Pegangan Elka perlahan melemah. Usapan anak lelaki itu bisa sedikit jadi obat penenang, rupanya. Walau masih ada sedikit penolakan, tapi kepala bermahkota coklat ga kuasa untuk menggeleng. Malah mengangguk pelan.
Dengan itu, si anak lelaki pergi entah ke mana. Elka cuma terpaku menatap ujung gang. Suhu dingin kian menggelitik kulit halusnya, sukses bikin dia kembali rapatkan selimut. Kali ini dua lapis. Si gadis remaja berusaha pejamkan mata, berharap terjun bebas ke alam lelap sembari menunggu anak lelaki itu kembali.
Setelah beberapa menit, akhirnya Elka setengah terlelap. Namun hal itu ga lama. Sepertinya keadaan hendak cegah gadis itu dapat istirahat yang cukup. Di tengah malam yang sunyi, telinganya menangkap bising sirine petugas keamanan, dan juga derap langkah kaki. Lebih dari satu orang menuju gang tempatnya bermalam.
Elka buka sedikit kelopak mata, dan mengintip dari balik selimut. Ada 4 Bellato dewasa tampak bersembunyi di ujung gang sana. Napas mereka memburu, dan terengah. Pertanda habis lari dari kejaran. Ada dua yang memakai penutup mulut berwarna hitam, yang satu bahkan memakai penutup wajah, waspada pada keadaan di luar gang, dan ga sadar akan keberadaan individu lain di gang ini.
Tentu hal ini bikin gadis berambut coklat gelisah. Karena Elka liat di salah satu tangan mereka memegang pisau. Ga butuh seorang jenius untuk tau siapa orang-orang ini. Kalo ga maling, ya rampok. Tapi kayanya pilihan kedua lebih tepat.
Tubuh gadis itu mulai gemetar, bukan cuma gegara kedinginan, tapi juga takut. Dia berdoa dalam hati semoga si anak lelaki cepat kembali. Semoga empat orang itu ga sadar dia di sini. Semoga petugas keamanan sadar bahwa yang mereka cari ga jauh bersembunyi.
Tapi 2 dari 3 doanya bak ga didengar. Si anak lelaki belum kunjung kembali, dan sirine petugas keamanan baru aja melewati gang ini. Keempat orang itu melepas penutup mulut, serta wajah yang mereka kenakan, dan bernapas lega sembari menertawakan betapa tololnya kemampuan para petugas keamanan. Satu diantara mereka paling tua, usia paruh baya. 3 sisanya terlihat seperti remaja dewasa.
Dan doa terakhir Elka… lagi-lagi ga terkabul. Salah satu dari mereka sadar akan sosok lain di gang ini. Elka terkejut tau-tau dilirik, dan langsung tarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.
Pria itu kasih tau tiga kawannya yang lain, dan berjalan mendekat pada gadis itu. Jantung Elka berdegup keras, berusaha minimalisir suara napas agar ga terdengar.
Selimut yang menutupi tubuhnya ditarik paksa oleh salah satu pria, memperlihatkan tubuh gadis yang mulai berbentuk, menginjak masa remaja.
Elka menatap keempat pria itu penuh ketakutan, sedangkan mereka ga peduli. Wajah mereka sama seperti si anak lelaki, hitam, bak disensor. Namun ada satu yang jelas terpampang di sana. Seringai menjijikan penuh hawa napsu.
Hal yang ga akan pernah bisa dicabut dari ingatan gadis itu. Dia menolak untuk ingat seperti apa rupa mereka, hanya ekspresi. Dan dia membencinya.
Mulut keempat pria itu bergerak, dan keliatan melempar kata satu sama lain, tapi ga ada satu suara pun keluar. Dia ga ingin mengingat perkataan mereka. Dia berusaha menghapusnya.
“Ja-jangan… tolong…” kata terbata di tengah campuran antara takut, dan gelisah. Elka belum mau mati, dan juga ga mau ‘miliknya’ yang paling berharga direnggut sekarang, direnggut di sini, gang gelap tanpa arti.
Tapi apa daya, dia ga kuasa melawan. Tubuh gadis itu ditekan ke tanah, dia berontak, meronta, hendak teriak, “HMPFTT! HMPFFTT!” namun satu tangan kasar sigap membekap mulutnya.
Air mata mulai mengalir dari sudut mata Elka. Dia benar-benar ga tau harus berbuat apa. Bingung, panik, dan ga berhenti coba lepaskan diri dari cengkraman 4 orang itu. Tangannya berkali-kali coba mendorong tubuh salah satu dari mereka kuat-kuat, terus memukul, melayangkan tangan ke sana ke mari, kakinya menendang-nendang.
Percuma.
Tenaga seorang gadis 12 tahun ga akan sanggup berbuat apa-apa.
Satu tamparan keras dari tangan kasar pria paruh baya yang berada di atas tubuhnya, mendarat di pipi. Dilanjut dengan seorang lainnya yang menahan kedua tangan Elka supaya diam di tempat, dan melepas paksa celana yang melekat di tubuh gadis itu. Tubuh Elka masih terus meronta, menolak keberadaan mereka. Lalu… satu kali lagi… tamparan. Telak. Dia ingin teriak, tapi ga bisa akibat masih dibekap. Aroma tangan pria-pria ini sungguh ga enak tercium.
Jadi, dia gigit sekuat tenaga tangan yang berada di mulut, ga pedulikan semerbak bau ga sedap itu. Pria yang menghimpitnya serta-merta kaget, dan menarik tangan dari mulut Elka.
“TOLO- UMMFT!” namun belum sempat teriakannya selesai, pria lain menyumpal mulut Elka dengan saputangan. Ditambah satu tamparan lagi sebagai hadiah atas apa yang dilakukannya barusan.
Ekpsresi pria paruh baya itu terlihat marah, jengkel, dia langsung turunkan celana. Mata Elka melotot selebar-lebarnya, dan mulai terisak. Napasnya cepat. Dia menangis saat tau ‘mahkotanya’ akan hilang di tangan orang ga dikenal, serta ga bertanggung jawab. Elka tutup mata, dan pasrah terima kenyataan.
“ELKAAA!” satu teriakan dari si anak lelaki berambut kelabu, sontak bikin Elka buka mata. Secercah harapan. Pandangan mereka semua teralih pada anak lelaki yang berada di ujung gang.
Ga pake lama, anak itu menjatuhkan makanan yang dibawa, dan berlari secepat yang dia bisa menuju gerombolan pria yang jelas lebih tinggi, dan kuat darinya.
“BAJINGAN LU SEMUA! LEPASKAN DIA, GOBLOK!” teriak anak berambut kelabu. Siapapun bisa liat jelas, kalo dia lagi kalap.
Tapi… lagi… apa yang bisa dilakukan anak usia 11 taun? Sekelompok orang dewasa jelas bukan lawan seimbang. Dengan mudah, salah satu dari mereka menendang anak lelaki itu. Keras, sampe bikin dia tersungkur sambil memegang perut.
Dua orang beralih pada anak lelaki, dan menginjak-injak badannya yang terbilang kurus, sedangkan dua orang lagi ingin ‘bermain’ lebih dulu dengan Elka. Gadis itu terbelalak liat si anak lelaki dihajar terus biarpun ga bisa melawan balik.
“S-stop… jangan…” dia memohon begitu pilu dalam hati, “dia bisa mati, dia bisa mati, dia bisa mati,” kemungkinan terburuk itu yang terus terucap di pikirannya.
Si anak lelaki menatap lesu pada Elka. Dan gadis itu membalas dengan tatapan yang sama.
Salah seorang dari mereka menjambak rambut kelabu, menghantamkan kepala anak itu sekali ke tanah, lalu arahkan pandangan mata ungu ke Elka yang sedang ditindih pria paruh baya.
“Kalo lu berani melakukannya…” anak lelaki itu berkata, masih tergeletak, “gw bunuh lu… gw akan hancurkan sampe ga bersisa… gw bunuh lu…”
Tentu gerombolan perampok tau kalo itu cuma gertak sambal. Ancaman kosong. Secara, anak itu aja udah berdarah-darah mukanya. Jadi, bukannya takut, mereka menggelak tawa.
Dan pria yang berada di atas Elka seakan menantang omongan anak lelaki itu. Malah mendorong pinggulnya… dengan kasar. Merebut hal… yang paling berharga… bagi perempuan. Yang harusnya dijaga sampai ikatan pernikahan tercipta.
Ga perlu ditanya apa yang dirasakan Elka. Sakit. Perih. Begitu menusuk. Kotor. Isakannya makin menjadi. Tapi saputangan masih terikat di mulutnya, sehingga cuma erangan serta rintih penolakan yang terdengar. Dia merasakannya. Sesuatu masuk dari bawah sana. Sensasi paling buruk yang pernah terasa. Dia membenci sensasi itu. Mengecam dengan tiap serat kehidupan di tubuhnya.
Pria itu sama sekali ga menggubris apapun yang dirasakan si gadis. Raut wajah paling memuakkan yang pernah tergambar di benak Elka. Sedangkan dua pria lain yang mengurus si anak lelaki, memaksanya jadi saksi kejahatan laknat ini. Sorot mata anak lelaki itu geram bukan main, penuh amarah. Tapi tubuhnya makin lemas karena terus-terusan dipukul, ditendang, diinjak.
Mereka tertawa, mengejek keputus-asaan korban dari penderitaan yang mereka ciptakan.
Merasa ternoda. Ga lagi suci. Elka menutup mata. Gelap, hampa. Ingin mati saat itu juga. Dunia serasa kehilangan rotasi untuk sesaat. Kenapa? Kenapa harus terjadi pada dirinya? Kalo aja tadi dia ga ditinggal sendiri, tentu semua ga akan jadi begini.
Dia ingin mati, dia ingin mati, bunuh dia di sini. Ketimbang terus hidup menanggung semua ingatan pilu nan perih.
DUAAK!
Sebuah suara benturan yang begitu nyaring menggema di sepanjang lorong. Elka buka mata, dan betapa kaget begitu liat anak lelaki berambut kelabu lompat, dan pipa besi udah melintang horizontal mengenai kepala pria yang menindihnya, seketika mengucurkan darah, lalu tubuhnya terhempas ke samping dari atas tubuh Elka.
Pria cabul itu dipukul dari belakang.
Kaki si rambut kelabu mendarat mulus usai melakukan lompatan. Bercak darah si pria cabul tertinggal di pipa besi berukuran sedang, sebelum menetes ke tanah. Dua pria yang tadi menginjak-injak si anak lelaki keliatan terjatuh, tapi masih sadarkan diri. Mereka pun bangkit diiringi syok ringan. Sedangkan yang satu lagi, yang menahan tangan Elka, tercengang ga percaya.
Elka menatap wajah anak itu. Sukar dipercaya, kalo tadi mukanya kaya disensor, kini blok hitam yang menutupi muka perlahan hilang. Menampakkan wajah tanpa ekspresi, berhias merah darah akibat luka-luka yang dia terima, “Lake?“
Bola mata ungu itu… begitu berbeda. Ga seperti yang Elka kenal. Ga ada sinar secuil pun di sana. Ga ada perasaan. Membuatnya ragu, apakah dia orang yang sama?
Anak itu menghunus pipa besi di tangan kanan ke langit, “We all owe a life,” lalu ditodongkan ke orang yang tadi menahan tangan Elka, “i’ll take yours,” suara yang terucap juga amat beda. Bak 3 orang atau lebih, bicara bersamaan pake bahasa asing.
1 tumbang, sisa 3.
Ketiga pria yang masih berdiri menggerakkan mulut mereka, saling bicara, namun masih tanpa suara. Serentak, mereka maju untuk keroyok anak berambut kelabu itu.
Elka menatap horror dengan matanya yang sembab gegara terlalu banyak menangis. Anak lelaki itu sanggup mengimbangi 3 orang dewasa. Gerakannya cepat, dan sangat gesit menghindari pukulan serta tendangan mereka.
Entah Force dari mana yang bikin si rambut kelabu jadi beringas. Tapi liat temannya seperti itu, Elka justru tambah takut. Hantaman demi hantaman dari pipa besi mendarat di tubuh para perampok laknat tersebut. Satu di antara mereka terjerembab ke tanah, dan si anak lelaki langsung menginjak mukanya sekuat tenaga, dilanjut ayunan pipa besi berkali-kali di wajah pria ga berdaya.
2 tumbang, sisa 2.
Dia benar-benar ingin menghancurkan mereka.
Sekujur bulu kuduk Elka merinding. Lake yang dia kenal itu gentle, ga pernah kasar dalam bertindak, dan punya mata yang ga pernah redup sinarnya. Yang begini… ga mungkin dia bisa melakukan… sesuatu seperti ini.
Dua orang lainnya yang liat hal itu, merasa ngeri dan langsung keluarkan pisau. Ketakutan terpancar dari ekspresi mereka. Tangannya gemetar walau pegang pisau. Satu maju, berbarengan dengan langkah Lake, dan menusuk ke arah depan. Tanpa keraguan sedikitpun, si anak lelaki merentangkan telapak tangan kiri, biarkan tangannya tertembus pisau, lalu genggam erat tangan pria itu.
Ga ada rasa sakit yang ditunjukkan Lake. Sama sekali ga ada. Seolah tubuhnya ga merasa apa-apa. Padahal, cairan merah kental keluar banyak dari telapak tangan kiri yang sobek ditembus pisau.
Lawannya ga bisa beranjak ke mana-mana. Kesempatan ini jelas ga di sia-siakan olehnya. Berkali-kali ayunan pipa besi di tangan kanan menghantam kepala, dan lutut orang itu bergantian. Keras. Sampe bunyi tulang retak terdengar ngilu. Tapi itu… ga bikin si rambut kelabu berhenti.
Akibat tempurung lutut yang udah hancur, pria itu nyaris tumbang. Namun sesaat sebelum tumbang, anak lelaki itu buang pisau yang menancap di tangan kiri, dan membanting kepala pria itu ke bawah. Persis seperti yang dilakukan pria itu padanya tadi.
3 tumbang, sisa 1.
Darah yang keluar dari telapaknya, singgah dulu ke ujung jemari, lalu menetes tanpa bisa berhenti. Namun, Lake masih ga acuh terhadap luka yang diderita.
“Cu-cukup… hentikan, Lake…” bisik Elka. Tubuhnya lemas, serasa ga bisa digerakkan. Kata-kata pun begitu lemah terdengar.
Yang terakhir hendak lari. Tapi sama, kakinya lemas, dan ga berhenti gemetar. Mungkin terguncang liat partnernya tumbang satu per satu oleh seorang anak kecil. Pria itu berbalik, Lake ga berniat dengarkan bisikan Elka. Jadi dia segera mengejar, dan menjegal kaki pria itu dari belakang.
Perampok itu terjungkal, sedangkan Lake masih terus berlari kencang. Begitu kepala pria itu berada dalam jangkauan, sambil terus berlari, si rambut kelabu mengayunkan pipa besi dari bawah ke atas. Bikin rahang bawah pria itu pindah seketika .
Selesai menumbangkan pria terakhir, Lake berbalik, buang pipa besi, dan berjalan menuju pria paruh baya yang telah ukir luka paling dalam bagi Elka. Dentingan pipa besi yang udah didominasi merah, bertemu permukaan beton, jadi pengiring langkah kakinya.
Si rambut kelabu merenggut kerah baju pria paruh baya yang masih tersungkur. Pendarahan masih terjadi di kepalanya akibat hantaman pertama. Dia membuat pria itu duduk bersandar tembok bangunan.
Tampak mulut si pria cabul itu komat-kamit mohon ampun. Minta maaf berkali-kali. Tapi semua terlambat. ‘Mahkota’ Elka ga bakal kembali cuma dengan penyesalan semata.
“We will kill you…” satu dengkulan Lake menghantam muka pria itu, “we will pulverize you…” lagi, anak lelaki itu melakukan hal yang sama, “we will kill you…” terus, dan terus. Impact yang diterima depan dan belakang. Karena kepala pria itu dihimpit dengkulan Lake, dan tembok di belakangnya.
“U-udah, Lake… tolong… berhenti…” pinta Elka diselubungi ngeri. Dia ga tahan liat pemandangan di depan mata. Ya, dia memang benci pria yang udah melakukan hal keji ini. Tapi dia lebih benci liat Lake kehilangan dirinya.
Permintaan itu masih bagai masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Si rambut kelabu belum berhenti mengubah struktur wajah pria paruh baya dengan lututnya. Padahal si cabul udah ga bergerak.
Suara pertemuan antara lutut, dan wajah si cabul sangat mengusik telinga siapapun yang dengar.
Elka berusaha menghimpun keberanian, serta tenaga untuk berdiri. Gontai, dia melangkah menuju kawannya. Rasa sakit di daerah sensitifnya makin menjadi. Saat Lake ancang-ancang melakukan dengkulan sekali lagi, Elka peluk tubuhnya. Menghentikan anak berambut kelabu dari entah apa yang udah dia lakukan.
Gadis itu terisak, menangis, dan meminta halus, “Cukup… gw mohon… cukup…” pelukannya ga bisa dibilang erat. Lemah, malah. Wajar, dia lapar, kedinginan. Setelah semua yang terjadi… syok dan sebagainya, masih untung kuat berdiri.
Lake batal melakukan dengkulan selanjutnya. Mata ungu tanpa sinar itu melirik pada Elka di belakang. Kesunyian malam jadi saksi bisu bahwa dia masih dengar permintaan anak perempuan itu. Wajah si pria cabul kini udah penuh darah. Hidung hancur, kepala bocor, bibir sobek, gigi nyaris rontok semua.
Beberapa saat kemudian, mata ungu tersebut tertutup. Sontak, dia langsung tumbang. Karena Elka juga lemas, ga kuasa tahan berat badan Lake, maka mereka jatuh berdua.
“Uuuhk! Arrgh! Ssshh! Ahhg!” Lake langsung meringis kesakitan. Napasnya ga terkendali, dan pelan-pelan buka mata. Pupil ungu dengan sinar yang dikenal Elka udah kembali, “E-elka… maap… maap,” katanya. Ga lagi pake bahasa asing, “gw ga bisa melindungi lu… ga ada di saat lu butuh… maap.”
Hati Elka makin hancur jadi serpihan. Air mata mengalir lagi, makin banyak kali ini. Lengannya memeluk tubuh penuh luka Lake lebih erat, mendekap penuh kehangatan, “Lu udah melakukan lebih dari yang seharusnya.”
“Kuatkan diri lu, Ka,” tangan kanan Lake mengusap air mata di pipi perempuan itu. Dia tau, luka serta ngilu-ngilu di tubuhnya ga sebanding dengan apa yang dialami Elka, “tolong… jangan nangis. Gw benci… liat air mata kesedihan lu.”
Elka terdiam. Sekuat mungkin menahan isak tangisnya supaya berhenti. Ini semua terjadi karena dia terus handalkan Lake. Membiarkan Lake terbebani tanggung jawab untuk lindungi dia. Malam itu, Elka memutuskan, ga akan pernah mau liat Lake kaya gitu lagi. Malam itu, dia mengucap sumpah untuk berubah.
.
.
…Benteng Solus, Area Perawatan…
Sepasang mata coklat Infiltrator wanita di ruang perawatan mendadak terbuka. Dia abis liat kembali trauma paling mengerikan seumur hidup. Keringat membanjir, tegang, dada terasa sesak. Lace dan Lamia yang masih berada di ruangan ini jelas kaget, tau-tau Elka buka mata.
Elka bangkitkan tubuh, sehingga duduk di kasur. Menatap sekeliling dengan panik, dan ga tenang. Lalu sigap berdiri, dan pengen buru-buru keluar.
Tapi dicegah oleh Lamia, “Captain Elka, kamu mau ke mana!?”
Pertanyaan Si Wizard berhasil mengalihkan perhatian Si Infiltrator perempuan. Mata coklat itu menatap Lamia, tapi masih dengan ketegangan, dan gelisah yang ga bisa disembunyikan.
“Siapa kamu?” tanya Elka hati-hati.
“Tenangkan dirimu, Captain. Kamu ada di tempat yang aman,” kali ini Lace berdiri, dan menghampiri.
Tapi lagi-lagi, Elka pasang sikap waspada. Dan ga diduga, dia keluarkan sebilah belati dari inventori 4 dimensi, lalu langsung menyergap Lamia yang lengah. Tangan kiri Elka mengunci kepala Lamia dengan kuat, “KYAA!” pekik Si Wizard.
“Lamia!” seru Lace.
“Siapa kamu!? Siapa kalian!?” tanya Elka sembari menodong belati ke leher Lamia dari belakang, “Jawab!”
“Captain Elka, apa maksudnya ini!? Lepaskan dia sekarang juga!” bentak Infiltrator yang lebih senior.
“Kamu ga jawab pertanyaanku,” ujung belati Elka udah menyentuh leher Lamia, tapi belum sampe melukai.
Liat ancaman itu, jelas Lace putar otak. Dia ga ingin Lamia dalam bahaya. Saat ini, dia tau Elka lagi ga main-main. Semua kata yang terucap serius 100%, “Oke, oke… saya Infiltrator, Royal Lace Lachrymose dari Badan Intelijen Pusat. Apa kamu lupa? Saya lawan pertama Lake saat duel Festival Olahraga tempo hari.”
“Bohong,” bantah Elka singkat.
“A-apa? Saya ga bohong,” balas Lace.
“kamu mau menyakitiku, kan!? Iya, kan!?”
“L-Lace…” Lamia merintih gegara merasakan logam dingin makin menekan kulit lehernya.
“Gak! Jangan! Saya sama sekali ga mau menyakitimu, Captain! Ga ada yang berniat menyakitimu!” Panik meter Si Infiltrator mulai naik sedikit demi sedikit. Dia ga boleh melibatkan Lamia dalam hal ini. Kalo sampe terjadi apa-apa… dia ga akan bisa terima.
“Kalo begitu, hentikan apapun yang coba kamu lakukan sekarang ini,” kalimat Elka bikin mata merah Lace melebar. Karena saat ini, dia sedang berusaha menjerat pikiran Elka dengan Mind Snare. Dan Lace ga menyangka, Elka tau. Rupanya ini ga bakal berjalan mulus.
Mind Snare adalah skill penjerat pikiran yang bekerja bila keadaan target tertekan. Kondisi psikologis yang sedang lemah, merupakan santapan empuk. Tapi, diliat dari keadaan ini, yang tertekan justru si pengguna.
Lace ga berani merogoh inventori untuk ambil busur, atau ambil apapun yang ada di dalamnya. Satu gerakan tiba-tiba yang gegabah, bisa berakibat fatal bagi Lamia. Risikonya terlalu besar.
“Jatuhkan pisaumu, Captain. Tolong, semua ini tindakan yang ga perlu,” sekali lagi Lace yakinkan Elka untuk tenang, “kita bisa bicara baik-baik.”
“Diam,” mata tajam Elka ga lepas-lepas dari sosok Infiltrator lelaki, “napas perempuan ini ada di tanganku. Aku bisa mencabutnya kapanpun,” tangan kanannya memberi tekanan lebih pada belati. Ujung lancip yang bersentuhan dengan kulit Lamia, mulai menggores setitik luka, “berhenti coba menjerat pikiranku, atau dia mati! Pilihanmu, bajingan!”
Mata hijau Lamia berair. Dia takut. Kuncian Elka begitu kuat, ga kasih kesempatan bagi Lamia untuk lepaskan diri.
Lace meneguk ludah sendiri. Ketegangan ini harus diakhiri tanpa ada yang terluka, gimana pun caranya. Jadi, dia hentikan percobaan, “Baiklah, kamu menang, Captain. Saya ga akan melakukannya. Sekarang, tolong lepaskan Lamia.”
Elka belum sepenuhnya percaya pada perkataan Lace. Dia begitu yakin, ada niatan buruk dari lelaki ini. Masih ada trik lain yang disiapkan untuk menyakitinya. Si Infiltrator perempuan tetap siaga.
Mendadak, pintu ruang perawatan terbuka. Dari luar, seorang Berserker wanita berambut hijau dengan kaki kanan mekanik berseru, “Permisi! Apa ada yang perlu-” kalimatnya terhenti saat liat sosok perempuan berambut coklat yang dia kenal, lagi menyandera Bellatean perempuan lain, “-dievakuasi?”
Celah sepersekian detik ini ga di sia-siakan oleh Lace. Dia langsung menerjang Elka ketika perhatiannya teralih pada Sirvat.
Tapi Elka ga kalah licik. Dia memukul tengkuk Lamia dengan gagang belati, membuatnya pingsan, lalu langsung menghempaskannya ke arah berlawanan. Perempuan berambut coklat pendek berlari menuju pintu keluar yang dihalangi Sirvat.
Lace yang liat hal itu, terpaksa ganti arah. Dia ga mau kepala Lamia sampai terbentur lantai. Pemuda itu menahan tubuh Si Wizard pirang supaya jatuhnya ga terlalu keras.
Sirvat yang belum paham situasi, terpaku dan berusaha mengurai rangkaian kejadian di ruangan ini. Kenapa Elka menyandera sesama Bellatean, kenapa dia seolah bersalah dan mau kabur, juga pertanyaan-pertanyaan lain yang ga sempat ditanyakan. Tapi begitu liat Elka berlari ke arahnya, dia tau apa yang harus dilakukan; ga boleh biarkan Elka keluar dari sini.
Ga pake mikir dua kali, Elka menabrakkan bahu ke dada Sirvat guna menerobos hadangannya. Upaya itu berhasil. Tabrakan Elka sanggup membuat Berserker sekaliber Sirvat terdorong ke belakang, hingga punggungnya membentur dinding, “UGH!”
Infiltrator berpangkat Captain tersebut terus berlari menyusuri lorong, dan keluar dari area perawatan dengan cepat.
Setelah angkat Lamia ke kasur ruang perawatan, Lace keluarkan busurnya, dan melangkah keluar ruangan, “Kamu ga apa-apa, Caters?” sembari ulurkan tangan bantu Si Berserker berdiri.
“Ga apa, Royal. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Sirvat penasaran.
“Saya juga pengen tau,” jawab Lace datar, “Wizard yang di dalam butuh evakuasi. Saya titip dia, ya?”
“Siap, Royal!” Jawab Sirvat lantang, diiringi anggukan kepala.
Ga buang waktu, Si Infiltrator bermata merah lari mengikuti jejak Elka. Berharap dia masih bisa melacak perempuan itu. Perubahan sikap yang terlalu mendadak, dirasa terlalu aneh. Apa pertemuan dengan pria berjubah hitam itu pemicunya? Gerak-geriknya, kestabilan emosi, cara dia bicara, kenapa bisa begitu drastis?
“More shield will always make things better.” – Ish’Kandel (Ch. 12)
CHAPTER 50 END.
Next Chapter > Read Chapter 51:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-51/
Previous Chapter > Read Chapter 49:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-49/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list
Catatan Author:
Senjata kesayangan Elka, Pinvlad SVR-3 Lightning strike terinspirasi dari senjata yang benar-benar ada di dunia nyata, yakni Pindad SPR-2. Salah satu senapan runduk anti-materil tercanggih di dunia buatan Tanah Air kita.
Sekedar pengingat, Elka lebih tua 1 tahun 4 bulan dari Lake. Oh, and Lake didn’t kill those guys. He just hurt them… really, really… bad.
Razoreniye (Russia) = kehancuran, Desastre (Catalan) = Bencana.
Regards,
Mie Rebus.

