LAKE CHAPTER 51 – SOS 6: HECTIC
Lake
Penulis: Mie Rebus
“Paman… cerita sedikit dong, tentang Ayah dan Ibu. “
“Hmm, bukan perkara mudah, wahai keponakanku yang cakep dan ga sombong. Tapi okelah, duduk sini, Paman bakal mulai dari Ibumu.“
“Ahha, cakep dan ga sombong.“
“Bagus kan pujiannya?”
“Biasa aja sih.”
“Oke, kembali ke permintaan tadi. Ibumu bernama Qahazari, adik dari Pamanmu yang paling bersahaja sedunia, adalah wanita yang punya paras luar biasa tanpa cela. Paman sendiri heran dan kurang yakin, apa Paman benar-benar berbagi gen dengan dia. Senyumannya begitu cerah dan terang. Seakan sanggup menyinari sudut planet paling gelap. Tutur katanya selalu penuh santun. Ga pernah sekalipun terdengar omongan kasar keluar dari mulutnya, dan dia selalu disenangi banyak orang. Satu hal yang paling Paman suka, dia itu kalo masak ga pernah ga enak. Selalu lezat dan sanggup bikin lidah siapapun bergoyang. Wah, tipikal istri impian para lelaki deh pokoknya.”
“Wow, beneran?”
“Yup, beneran. Saat usianya menginjak 18 tahun, Qahazari mengambil langkah yang paling ditentang keluarga kita. Coba tebak, apa itu?“
“Uhm… jadi vokalis band metal?“
“BUAHAHA! Tentu bukan, keponakanku yang punya bakat melawak. Tapi ga kebayang juga sih kalo dia sampe benar-benar melakukannya.“
“Ya abis mana kutau? Kenapa juga Paman malah tanya aku?“
“Ini disebut pembicaraan dua arah, kawan kecil. Paman ga mau jadi satu-satunya yang ngomong panjang lebar.“
“Tapi emang harusnya begitu karena Paman kan lagi kuminta untuk cerita suatu hal yang ga kutau sama sekali.“
“Tsk. Kamu ini makin pintar balas omongan orang tua, ya. Siapa sih yang ngajarin?“
“Entah, pria tua tertentu yang selalu mengaku dirinya Paman paling sempurna sejagat raya, mungkin.“
“Okey… LANJUT! Jadi jawabanmu itu salah. Pake banget. Ibumu ga memutuskan buat jadi vokalis band metal, bisa terbalik ini Bellator. Melainkan… daftar jadi tentara untuk abdikan hidup pada Federasi.“
“Serius!? Ibu seorang tentara Federasi!?“
“Ya, seorang Wizard lebih spesifiknya. Kamu taulah, yang bisa mengendalikan 4 Force inti itu lho.“
“… Ava-“
“Bukan, bukan acara kartun yang suka kamu tonton pagi-pagi.“
“Ah.“
“Tapi dia pensiun dini, dan pulang ke Bellator pas hamil kamu. Sendirian.”
“Tanpa diantar Ayah!?”
“Tanpa diantar Ayah. Dia ga peduli gimana keadaan di atas sana, ga peduli permintaan Federasi yang masih butuh tenaganya. Rela kehilangan pangkat serta simbol keprajuritan yang udah melekat erat, serta dunia yang selama ini dikejar dan berusaha dia raih demi kelangsungan hidupmu di perutnya. Karena bagi Qahazari, kamulah dunia tak terhingga.“
“Ehehe. Kata-kata Paman selalu bikin semua lebih indah.“
“Ga ada satuan di semesta ini yang bisa dipake buat mengukur besarnya cinta Qahazari untukmu, Lakey.“
“… Syukurlah.”
“Syukurlah?”
“Biarpun cuma dari cerita, seenggaknya aku tau Ibu benar-benar… sayang padaku.”
“Ya iyalah. Namanya juga anak sendiri.”
“Kalo gitu, gimana dengan Ayah? Kenapa dia ga mau temani Ibu pulang? Apa dia ga sayang Ibu dan aku, Paman?”
“… Dia bukan ga mau temani Ibumu, tapi… ga bisa. Dia lebih dulu meninggalkan dunia ini sebelum kamu lahir.“
“Meninggalkan… dunia ini?“
“… Tewas, kawan kecil.“
“O-oh…“
“… Hmm, inilah bagian yang Paman bilang ‘bukan perkara mudah’. Paman sendiri belum pernah ketemu dia. Ibumu juga ga pernah cerita banyak tentang suaminya. Kalo ga salah, dia sama kaya Ibumu, tentara juga. Shield Miller yang lebih banyak bertugas di Novus ketimbang di sini. Kamu tau Shield Miller? Prajurit Federasi yang sering bawa-bawa perisai besar?“
“Oh, aku pernah liat di koran.“
“Yap, itulah profesi Ayahmu semasa hidup.“
“… Ayah dan ibu… prajurit… federasi…“
“… Dia punya nama yang aneh, tau. Actassi. Actassi Grymnystre. Reaksi Paman saat pertama kali dengar nama itu dari Ibumu; ‘Ribet amat itu nama,’ tapi Ibumu cuma ketawa kecil.”
“… Actassi.”
“Untung mereka kasih kamu nama sederhana yang ga bikin lidah keseleo.“
“Gampang diingat ya, Paman?“
“Ahaha… begitulah, Lakey.”
“Dari dulu aku penasaran, kenapa Paman selalu panggil aku begitu? Namaku kan Lake, bukan Lakey.“
“Biar akrab aja.“
“Hhmmmmm…”
“Apa? Ga suka Paman panggil Lakey?”
“Gak juga sih.”
“…”
“…”
“… Paman?”
“Hmm?”
“Apa Paman tau seperti apa Planet Novus?”
“…”
“Paman, kalo ditanya, jawab dong.”
“… Ga jauh bedalah dengan Bellator. Tapi lebih bersih aja, dan lebih banyak spesies berbahaya.”
“Benarkah? Paman pernah ke sana?”
“Belum. Cuma liat dari acara dokumenter di tv.”
“… Apa Paman pernah punya keinginan buat ke sana?”
“Ya enggaklah, Lakey. Buat apa Paman menukar semua kedamaian dan kebebasan ini untuk tinggal di daerah konflik berkepanjangan? Lagian, Paman masih punya titipan tanggung jawab paling berharga dari Ibumu.”
“Oh ya? Apa itu?”
“Mau tau aja. Kamu ini kaya wartawan ya, nanya terus dari tadi.”
“Ah, Paman ga seru nih.”
“Nanti juga tau kok… kalo kamu udah besar.”
Berapa banyak kebohongan yang harus Paman rangkai untuk belokkan banyak fakta dari hidupku, Paman Ren? Paman benar-benar punya bakat untuk jadi penulis skenario. Kenapa ga coba itu sebagai pilihan karir usai pensiun dari kemiliteran aja? Mungkin Paman ga harus selalu bergantung pada musim panen untuk terus bertahan dari rasa lapar.
Paman, apa Paman tau, seberapa besar kekagetanku saat tau Ibu sama sekali beda dari yang pernah Paman ceritakan? Seberapa kecewa aku ketika tau Ayah minta Paman untuk rahasiakan semuanya? Seberapa kesal aku begitu tau Paman dan Ayah ternyata bersaudara, punya hubungan yang cukup dekat, tapi ternyata Paman bilang belum pernah ketemu dia?
Terasa bak dikhianati, biarpun aku tau Paman melakukan semua itu demi tepati janji dengan Ayah, dan demi lindungi aku juga. Tapi tetap aja, pas aku sadar semua yang kutau tentang latar belakang keluarga adalah karangan belaka, ada getir di dada, Paman.
Dan itu semua cuma karena kebohongan kecilmu.
Paman, apa Paman tau, seberapa besar aku bersyukur… diantara sekian banyak hal yang Paman pelintir, ada satu fakta yang ga pernah Paman ubah sama sekali? Aku mau marah, tapi satu fakta itu yang seolah jadi penetralisir letupan rumit dan kompleks jauh di dasar hati. Fakta bahwa Ibu dan Ayah tulus sayang pada anak semata wayangnya. Terima kasih, Paman Ren. Mungkin benar, Paman adalah Paman paling sempurna sejagat raya.
“Gila itu, menyia-nyiakan hidup sebagai bukan siapa-siapa, saat aku punya darah pembunuh mengalir di nadi,” Ibu… kalo ibu bilang demikian, berarti… akupun punya darah pembunuh? Aku berasal dari darah dagingmu, kan? Tapi… aku ga bisa, Bu. Aku… ga mau.
“Saya prajurit, bukan pembunuh,” aku ga mau jadi pembunuh.
“Gila itu, dipecundangi, dihina, terdampar di kehidupan hampa sebagai keberadaan menyedihkan, padahal aku punya monster dalam diri, dan kunci untuk melepasnya,” tapi aku ga gila. Ya, mungkin aku udah terlalu sering dipecundangi, dihina, diinjak-injak oleh mereka yang seolah tertutup mata dan telinganya. Tapi aku ga gila.
Apa aku juga punya ‘monster’ yang Ibu maksud di dalam diri ini? Apa aku juga harus melepasnya supaya hidupku ga lagi disebut sia-sia? Apa ga ada cara lain?
“Saya ga akan pernah bunuh lawan yang udah ga bisa melawan.“
“Kamu pikir aku gila, tapi bagiku pilihan. Antara domba atau monster, aku memilih monster.“
“Untuk sekarang, saya ga mau dia jadi apa-apa. Untuk kedepannya, saya akan biarkan dia memilih jalan sendiri.“
Ayah, Ibu, kenapa kalian harus bertolak belakang begini sih? Aku sebagai anak, pusing sendiri kalo harus ikut prinsip hidup yang kalian pegang.
“Lama-lama lu akan menemukannya. Keseimbangan antara jadi siapa yang lu harapkan, dan jadi siapa yang lu butuhkan,” Elka… ahh… lagi-lagi lu yang selalu hadir melerai kusutnya benang pikiran yang ada di benak gw, “musuh harus dieliminasi di tempat,” tapi lu juga kadang suka sadis sih jadi orang. Kaya berkontradiksi gitu, tau ga sih? Konsisten kek dikit.
Pandangan gw masih menatap langit dengan penuh kelelahan. Agak sedikit kabur, dan berbayang akibat berbenturan keras dengan permukaan tanah. Sedikit-sedikit latar awan kelabu bergumul di atas sana mulai keliatan lebih jelas, pertanda mata gw kembali fokus. Di atas kedua kaki, gw masih berdiri. Seraya remas erat lengan kiri, atur napas sana-sini. Lemas, dan gemetar masih tersisa.
Asli, gw kaya orang dungu. Ga tau harus ngapain, dan ga tau kenapa kebiasaan buruk selalu kambuh; mikir yang bukan-bukan pas keadaan genting.
Mata gw kedip berulang kali, sembari cepat tengok kanan-kiri. Setelah itu baru perhatian teralih gegara lenguhan sakit wanita Corite yang masih tergeletak beberapa meter dari kendaraan militer yang udah remuk dan terbalik, “Fa-Faranell…”
Lengan Si Grazier perempuan bergerak, sekeras mungkin coba jadi penyanggah buat tegakkan batang tubuh- dan kalo bisa segera bangkit. Tapi kayaknya upaya itu percuma, dia kembali tersungkur. Sementara Gann diam telentang dengan kedua mata terpejam. Sulur-sulur tanaman hijau hasil mantra Rokai yang melilit tubuh keduanya mulai layu dan rontok satu persatu.
Hal yang sama juga terjadi dengan tanaman yang melilit luka tembak gw di paha kanan. Ga lagi keluarkan aroma khas tanaman hijau, dan udah lepas dari beberapa menit lalu.
Perlahan tapi pasti, gw berusaha jalan ke arah Faranell. Ditemani nyeri, dan sakit yang setia menyengat tiap jengkal jaringan syaraf.
“Faranell, Faranell,” panggil gw. Lunglai tatap mata kuning itu, kayak setengah sadar. Gw tau, gegara kecelakaan barusan, Faranell pasti juga alami luka-luka yang ga bisa dibilang ringan. Udah kehilangan sebagian besar stamina dan kekuatan fisiknya, apalagi ditambah tekanan Force yang terus melemah.
“L-Lake… s-sa-sakit…” rasa syok masih selimuti respon perempuan berambut ungu. Miris dengarnya. Dua kata yang sukses bikin gw mengiba sesaat begitu retakan terdengar dari intonasi suara tersebut.
Gw langsung berlutut seraya genggam tangan kanannya dengan lembut, dan berujar pendek, “… Ya, gw tau,” entah untaian kata penenang seperti apa yang harusnya keluar dari mulut gw buat meredakan sakit perempuan Corite ini. Dengan lembut, gw bantu dia untuk ubah posisi jadi duduk seraya mengusap punggungnya, “kuatkan diri lu, Faranell.”
“Mi-minum,” pinta Faranell lirih, “apa… airmu masih ada?”
“Ah… ya,” gw merogoh inventori 4 dimensi untuk ambil botol minum. Air yang ada di dalamnya ga terlalu banyak setelah diminum Gann sebelum ini, “sisa sedikit.”
Tangan kanan Si Grazier lemas meraih botol minum gw, dan ditenggak airnya sampai habis.
Keliatannya, mantra Armor tanaman Rokai berperan besar kurangi dampak luka yang mereka terima akibat terhempas dari kendaraan. Mengingat pas kecelakaan terjadi, tanaman Rokai masih kasih efek penyembuhan serta perlindungan pada tubuh Faranell dan Gannza. Oh, bicara soal Si Holy Chandra, gw hampir lupa ama dia.
“Maap ya, Faranell. Gegara gw, kalian harus kena getahnya,” ujar gw agak menyesal.
Faranell menatap mata gw sejenak dengan penuh ketidak-sukaan, “Kenapa…?” tanya dia. Ke-kenapa… apanya? Gw yang jadi bingung sendiri, malah sekedar diam keheranan, “kenapa… selalu bilang semua gara-gara kamu? Selalu bebani diri seakan cuma kamu yang boleh menanggung semua ini?” Lanjut Faranell lagi, “persis seperti dulu di kediaman Kakek Aet, dan pas tadi Gannza terluka, terus waktu kita diserang Accretia.”
“A-ah… itu… soalnya-“
“Aku di sini untuk berjuang sama kamu, tau.” Si Grazier wanita masih memaksa untuk senyum meski gw tau, energi yang dia miliki mungkin ga cukup untuk melakukan itu.
Bahkan, dia masih ingat obrolan kita yang udah lama di Ether waktu itu? Gw agak terperangah. Kayaknya Elka juga pernah ngomel gegara hal yang sama. Dasar wanita. Ga Corite, ga Bellato, sama aja. Bikin gw sedikit hela napas, merasa kalah dari argumen Faranell dan ga tau mau jawab apa, “Kalo gitu, boleh gw tanya juga?”
“Mm?”
“Lu wanita yang sangat manis, Faranell. Terlalu manis, sampe gw ga pernah sanggup beradu mata terlalu lama dengan lu. Selalu bikin gw salah… tingkah kalo l-lu… liatin mata gw dalam-dalam… kayak sekarang,” ya, gw ga pernah bisa balas tatapan sepasang mata kuning itu yang selalu terasa menembus jiwa, selalu tanpa ragu menelaah lawan bicara lebih seksama, “dan lu juga baik, walau kadang kayak anak kecil. Gw rasa… jiwa lu terlalu murni untuk jadi prajurit,” bahkan saat ini pun, gw berusaha sesekali hindari kontak mata, “tapi di balik semua itu, lu seorang Spiritualist Aliansi yang amat berbakat. Gw udah liat pake mata kepala sendiri. Bukannya ga bersyukur, tapi… kenapa orang kayak lu rela melangkah sejauh ini cuma demi gw, seorang prajurit Bellatean urakan ga jelas?”
“… Karena cuma pada prajurit Bellatean urakan ga jelas itulah, aku…” pas Faranell berujar, gw beranikan diri liat wajahnya. Awalnya sih dia ngomong penuh percaya diri dan kelembutan, terus, “aku… a-aku… ahm, u-uhm…” lah? Lah? Kok mendadak jadi terbata plus muka memerah gitu? Sebelah alis gw terangkat liat perubahan gelagat perempuan berambut ungu ini.
Aku… apa?
Belum sempat dengar lanjutan dari kalimat Faranell, eh disela duluan ama Corite lain, “Udah kuduga, ikut denganmu benar-benar… ide buruk, cebol!” celetuk Si Grazier lelaki yang tetiba siuman, “ini bukan perjalanan menuju zona aman, tapi menuju pelukan Decem!”
Agak kesal juga dibuatnya. Udah motong pembicaraan seenaknya, dan lagi, ga sadar apa, bukan cuma dia yang menderita di sini? Coba pikir, gimana rasanya jadi gw yang diincar berbagai pihak tertentu? Gw balas nyeletuk juga, “Ey, lu masih hidup. Ga usah ngeluh.”
Celah ini dipake Faranell buat geleng-geleng cepat guna hilangkan rona merah di muka serta kegelisahannya, “Ah, i-iya! Gimana keadaan temanmu?” dan mengubah topik yang tadi kita bicarakan.
Entah kebetulan atau apa, usai Faranell nanya, perhatian kami teralih oleh panggilan lirih Rokai, “Tu-tulang Flem…” sekali dia panggil, tapi masih belum gw gubris.
“Ga akan mati,” jawab gw santai tanpa alihkan mata dari wajah Faranell, “jadi, tadi lu mau bilang apa?” masih penasaran lanjutan kalimat tadi.
“Hey, bajingan!” kali ini Rokai menghentak.
Tsk. Ada aja sih gangguan yang masuk. Agak enggan, gw tengok ke arahnya, “Apa sih?”
“Kemari, gw butuh… bantuan…” suaranya terdengar ga stabil, masih ada rasa syok akibat terlempar dari mobil yang lagi melaju kencang. Wajar sih, gw juga soalnya. Siapa juga yang ga bakal deg-degan nyaris ditabrak pesawat kargo plus tau-tau mental begitu? “… buruan.”
Kampret itu orang. Udah nyuruh, pake ‘buruan’ lagi. Dikira bisa jalan gampang, mentang-mentang cuma gw yang sanggup berdiri di antara mereka?
Seluruh badan gw sebenarnya agak susah digerakkan. Sakit, dan nyeri menusuk di mana-mana. Terutama bagian paha kanan. Serasa disobek. Tapi semua itu coba gw enyahkan, berusaha sekeras mungkin buat hampiri Rokai walau terpincang-pincang.
Emang sih dia sering bikin gw kesal, dan… ehem… sebaliknya. Tapi tetap aja, dia orang yang udah datang saat gw butuh bantuan. Sekarang, saat dia memanggil, gw harus balas. Biarpun ga yakin bantuan kayak gimana yang bisa gw beri dengan kondisi begini.
“Hey, Dokter Sinting,” sapa gw sambil agak terengah ketika udah di dekatnya. Dada Rokai terlihat naik turun, sibuk atur aliran pernapasan. Mata hitamnya menatap lemas tepat ke mata ungu, “apa yang lu butuhkan?”
Dengan tangan kanan, dia mengangkat tangan kiri yang… agak aneh kondisinya. Tulang lengan kiri atas agak menyembul ke bagian dalam jadi keliatan kaya bengkak ga normal , “Pegangin.”
“Tangan lu… patah?” Tanya gw agak terhenyak.
“Ya. Gara-gara lu,” jawabnya ketus. Buset dah. Kondisi badan lagi acakadut, masih aja minta ditabok, “sekarang, pegangin,” entah apa yang hendak dilakukan Si Holy Chandra, tapi mau ga mau ya lakukan perintahnya. Dengan ekstra hati-hati, biar dia ga banyak gerutu lagi, gw pegang tangan kirinya pake dua tangan. Dia berujar kembali, “kuat-kuat.”
Sekali anggukkan kepala gw beri sebagai tanda paham.
Beberapa saat, dia menarik napas sedalam mungkin, lalu dibuang lewat mulut. Lalu sekali lagi tarik napas, dan kemudian ditahan. Force hijau kebiruan perlahan tertuju ke telapak tangan kanan Si Holy Chandra. Serta-merta, Rokai memukul tulang lengan kiri atasnya sendiri sekuat tenaga! Tepat di titik vital patahannya! Bunyi tulang yang tergerak balik ke posisi seharusnya, “Auch,” dijamin sanggup bikin siapa aja ngilu.
“UURRRGGGH!” Si Holy Chandra meringis panjang dengan mata terpejam, menahan rasa sakit ga terkira. Giginya merapat keras-keras, coba nikmati nyeri paling pedas yang menyambar secepat kilat. Aliran napas Rokai jadi kian ga teratur.
Kemudian sekali lagi, dia memukulnya dengan keras. Dilanjut pijatan agak bertenaga.
“HHHFFFFT! Haaah… haah…”
“Auch,” liat apa yang dilakukan Rokai, gw juga jadi ikutan ngilu. Gw tau persis kaya apa sakitnya. Ga peduli seberapa sering gw mengalami patah tulang, tetap aja hal ini sama sekali ga menyenangkan buat diliat. Apalagi dialami, “udah enakan?” tanya gw sembari longgarkan pegangan.
“Belumlah, dungu,” yang langsung dapat balasan bernada datar, “tangan gw baru aja patah, gimana bisa ‘udah enakan’?”
“Ga usah gerutu mulu, kali.”
“Kalo gitu diam. Gw capek dengar ocehan lu,” ujar Rokai sembari keluarkan biji-bijian lagi dari inventori. Kaya yang sebelumnya mengikat Faranell, tangan kanannya genggam biji-bijian itu dengan sedikit gemetar, “Plant Form; Nature’s… Armor,” tanaman rambat langsung tumbuh menjalar dari telapak tangan kanan Si Holy Chandra, menuju ke lengan kiri lalu melilitnya kuat-kuat.
“Iya deh. Gw diam,” tanaman rambat tersebut kini juga menjalar ke tubuh gw. Melilit di sekitar rusuk kiri, lengan kiri, serta paha kanan.
Rokai berusaha berdiri. Sebisa mungkin ga gerakkan tangan kiri. Sedangkan, tanaman rambat dari mantranya kini udah kembali menjerat halus tubuh Faranell dan Gannza.
Kita harus terus bergerak. Suka ga suka, tetap di tempat terbuka kaya gini bisa bikin keadaan lebih buruk. Kami paham akan hal itu, makanya yang lain pun udah maksa buat berdiri dan lanjutkan perjalanan. Pasukan pengintai serta udara Accretia udah sampe di tanah Solus, itu artinya, ga lama lagi pasukan utama mereka bakal berada di sini.
Entah berapa lama waktu yang kami punya, tapi yang pasti, semenit pun ga boleh terbuang.
Dan saat itulah… deru mesin pesawat kembali terdengar. 2 pesawat tipe transport… ditambah banyak pesawat tempur yang mengawal disekitarnya… dengan lambang Kekaisaran Accretia… sukses bikin mata kami terbelalak selebar mungkin.
Tanah mulai bergetar. Tadinya gw kira gempa, tapi semua lebih parah dari perkiraan. Beberapa puluh meter di depan kami, permukaan tanah mencuat ke atas. Menampakkan kendaraan penjelajah segala medan milik Kekaisaran. Cukup besar ukurannya, terbuat dari bahan metal secara keseluruhan, dilengkapi alat bor di bagian depan. 1, 2… lebih banyak lagi… bermunculan satu persatu.
Serius nih!? Bukan cuma dari udara, tapi mereka juga datang dari bawah tanah!?
Pesawat tipe transport Kekaisaran mulai sedikit terbuka bagian palkanya, dari sana, prajurit-prajurit besi bersenjata berat lompat ke luar. Salah satu diantara mereka adalah sesosok Accretia dengan zirah hitam keseluruhan, dilengkapi aksen strip hijau terang, membawa palu hitam legam raksasa di pundaknya.
Tanah langsung retak diiringi bunyi dentuman kecil begitu Accretia hitam tersebut mendarat dengan kedua kaki logam nan berat, terkesan begitu perkasa, dan lensa optik hijau sangat mengintimidasi kami, “All hail Empire,” ucapnya parau.
Disusul oleh Prajurit-prajurit besi lain, mendarat di puing pesawat transport Federasi, sekalian membelah badan pesawat itu jadi dua bagian. Meski udah ditembak jatuh, tapi akibat dibelah mendadak begitu, turbin pesawat Federasi meledak seketika. Bola api cukup besar bergumul, diiringi kepulan asap hitam membumbung ke langit. Ada siluet-siluet prajurit kekaisaran tergambar pada bola api besar tersebut.
Ah, kampret. Kenapa selalu kayak gini ya? Di saat gw pikir berhasil lolos dari kandang harimau, eh ternyata mulut buaya udah kebuka lebar. Makin ke sini makin terasa repetitif. Kehidupan yang luar biasa.
Gw udah hilang hitungan akibat gelisah ga karuan liat jumlah Accretia yang berada di sekeliling kami. Kacau ini! Benar-benar kacau!
Si Accretia berzirah hitam arahkan lensa optik hijaunya pada kami, dan perlahan mulai jalan kemari seraya turunkan palu ke sisi tubuhnya. Jalan, jalan, lama-lama lari kencang!
Force di ujung tongkat metalik Si Holy Chandra mulai terkonsentrasi, dia angkat sejenak tongkat tersebut pake tangan kanan, lalu dihantamkan ujungnya ke tanah kuat-kuat! “Terratectonic!”
Retakan cukup luas dalam area kerucut langsung muncul di hadapan Rokai, mengguncang tanah di bawah pijakan Si Accretia berzirah hitam, dan beberapa saat kemudian langsung meledak ke dalam! Menghambat laju Accretia tersebut.
“Lari,” ujar Rokai pelan pada kami. Raut wajahnya keliatan sedikit menekuk, pertanda lagi diliputi ketegangan namun coba buat ditutupi, “jangan liat belakang.”
Gw, Gann, dan Faranell mulai balik badan serta berusaha lari sekuat tenaga. Meski susahnya bukan main. Faak! Ini sih bakalan percuma! Dengan kondisi badan kaya gini, kalopun berhasil lari, paling ga bakal bisa jauh! Tapi daripada ga dicoba, lebih baik dipaksa.
Pas baru berapa langkah lari, gw baru sadar satu hal; Rokai masih di belakang! Gw tengok belakang, dia masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, “RO!”
Satu kaleng terhambat, yang lain belum tentu. Prajurit-prajurit besi lain pun mulai bergerak. Hal ini ga luput dari perhatian Rokai. Sontak, dia langsung merapal mantra pertahanan lainnya, “Frost Guard,” kali ini tongkatnya bergerak kokoh dari bawah ke atas, mantra Force Es digunakan buat membentang dinding es tebal dan lebar dengan harapan bisa ulur sedikit waktu.
Usai merapal mantra tersebut, sebagian tubuh Rokai mulai tertutup kristal es.
Gw benar-benar ragu buat lanjut melangkah, dan tinggalkan Si Dokter Sinting. Apa coba yang ada di benaknya!? Mau berlaga sok keren lagi!? Padahal tangan kirinya sama sekali ga bisa dipake!
Liat gw berhenti, Faranell berhenti juga. Seolah tau apa yang ada di kepala gw, “Lake…”
Mata ungu beralih pada Si Grazier wanita untuk sesaat, “Jangan berhenti.”
“Enggak! Jangan!” yap, Faranell pasti udah tau maksud dari reaksi yang gw berikan. Sigap, dia coba menangkap tangan kanan ini, buat cegah gw lakukan tindakan nekat lainnya. Tapi jelas gw lebih cekatan, sukses hindari sergapan Faranell tanpa kesulitan berarti.
Saat gw putar badan, dan mulai berlari ke arah sebaliknya, Faranell berusaha keras buat menyusul, tapi gagal gegara tubuhnya ditahan oleh Gannza, “Faranell! Kamu dengar apa yang dia bilang! Jangan berhenti!”
“Dia mau lakukan hal gila lagi! Dia bisa beneran mati kali ini!” Seruan Faranell masih sampe di telinga gw.
“Kamu juga bisa mati! Semua bisa mati!” Balas Gann tegas, “dan aku udah bersumpah demi Decem, ga akan biarkan itu terjadi!”
“Gann, kumohon-“
Sontak, Gann memotong kalimat Faranell, “Aku yang harusnya memohon, Faranell! Sekali ini aja, dengarkan kata-kataku. Aku ga bisa kehilangan kamu lagi. Kalo kamu segitu peduli padanya, ga apa. Tapi kumohon, turuti si cebol itu.”
“…” Omongan Gann sukses membungkam Faranell. Ga ada kata-kata lain yang keluar dari mulut Si Grazier perempuan, dan akhirnya mereka lanjut jalan cepat.
Mendadak terdengar suara ledakan dari dinding es yang dibuat Rokai! Ketika pandangan gw balik ke sana, dinding yang keliatan solid dan kokoh itu udah hancur sebagian dihias lubang setengah lingkaran! Di balik lubang itu, terlihat jelas sepasang siege kit Accretia masih pancarkan sisa-sisa tembakan dari ujung larasnya.
Asap putih tercipta akibat dinding es bersuhu rendah dihantam peluru ekstra panas dari launcher Accretia. Sosok Punisher selain yang zirah hitam tadi, manfaatkan kepulan asap itu buat pangkas jarak! Dia layangkan gada berukuran lebih besar dari tubuh Rokai!
Si Holy Chandra lepas pengawasan untuk sedetik. Sialan! Ga biasanya dia kayak begini! Biasanya ini anak kan intuisinya tajam, kenapa harus tumpulnya sekarang!?
Faak! Gw tarik keluar kedua pedang dari inventori secara bersamaan, dan lari secepat yang gw bisa ke jalur laju gada tersebut. Gigi gw merapat, bersiap lawan gaya benturan luar biasa yang akan diberi Punisher bersenjata gada satu ini pake kedua pedang di tangan.
Ga punya nyali buat tahan kepala gada itu secara langsung, soalnya jelas banget tangan gw bakal remuk yang ada. Jadi, gw tebas bagian gagangnya dari bawah ke atas. Tapi tetap aja, tenaga yang dihasilkan ini kaleng masih superior!
“HEEGH!” kedua tangan gw terasa gemetar, dan menegang keras gegara dikasih tekanan melebihi kapasitasnya begitu dua bilah pedang biru-merah ketemu gagang gada di satu titik.
Ga kuat pertahankan posisi terlalu lama, langsung gw miringkan pedang dalam sudut 45 derajat dengan maksud alirkan gaya tekan gada itu menuju sisi kanan. Yah, seenggaknya upaya gw membuahkan hasil. Biarpun ga bisa bikin laju gada itu berhenti, tapi berhasil berbelok dari sasaran.
Rokai yang keliatan agak terkejut usai gada itu membentur daratan, cuma cengo liatin gw dan Prajurit kaleng itu adu tenaga! Bangke! Gw bentak aja, “Woi, bantu dong! Gw ga kuat!”
Sontak, ekspresi kagetnya hilang, dan mata hitam kembali menajam. Dia mengetuk pelan bagian dada Accretia itu dengan ujung tongkat perak metaliknya sembari merapal mantra, “Typhoon Bane.”
Hentakan angin deras menghantam dada Punisher itu, dan bikin badan besinya mental jauuuh banget.
Jeda sejenak usai atasi Punisher tadi, kami pake buat atur napas. Wew, ga nyangka kerjasama kita oke juga, biarpun harus pake bentak dulu.
“Ngapain lu balik lagi? Udah gw bilang jangan liat belakang,” Rokai agak ga suka.
“Apa yang bikin lu mikir gw bakal patuh sama lu?” respon gw sekenanya.
Si Holy Chandra sedikit tercengang, tapi masih pasang raut muka kesal, “… brengsek.”
“Stop bertingkah sok keren, Sinting. Tangan lu baru aja patah, ga mungkin lu bisa selamat tadi,” gw bilang, coba ingatkan keadaannya, “oh ya, sama-sama lho,” lanjut gw sarkas.
“Gw ga minta bantuan lu,” ketusnya lagi.
Tsk! gw menghadap padanya, dan renggut kerah Armor Spiritualist yang dia kenakan. Masih terasa dingin karena di beberapa bagian masih tertutup kristal es, “Apa kepala lu kebentur sesuatu!? Ga tau untung banget sih, udah bagus gw tolongin!”
Rokai ga tinggal diam, dia balik renggut Armor gw di bagian dada, “Gw bakal minta bantuan saat butuh. Kalo ga butuh, gw ga akan minta. Dan terutama, gw ga pernah minta untuk terlibat kekacauan ini. Dari awal gw ga akan ada di sini kalo bukan karena lu. Jadi, siapa yang ga tau di untung?”
“Mungkin harusnya gw biarin aja lu gepeng tadi, hah? Supaya sikap arogan lu itu ikut rata sekalian,” balas gw gondok.
“Kalo otak lu masih berfungsi, ya, mungkin harusnya begitu.”
Bersitegang di antara kita harus terpotong gegara satu hal; bunyi launcher Accretia. Bukan sembarang bunyi, tapi bunyi khas launcher prajurit Kekaisaran yang lagi bersiap melakukan Doom Blast! Kami berdua sama-sama menatap ke arah datangnya suara itu dengan mata bulat melebar. Soalnya satu launcher dalam mode siege lagi mengarah kemari.
“Uhm… kayaknya ini bukan waktu yang pas buat debat,” kata gw.
“Bravo, jenius.”
Begitu launcher itu muntahkan muatannya, gw dan Rokai langsung saling dorong bersamaan. Peluru launcher bertekanan tinggi tersebut lewat di tengah kami dengan sangat cepat! Mata gw berusaha mengikuti lajunya, dan saat sadar apa yang terjadi, gw teriak, “FARANELL, GANN! AWAS!”
Yup, peluru itu emang lewati kami, tapi bukan berarti bebas dari ancaman. Karena sekarang peluru launcher itu malah mengarah pada sepasang Grazier!
Faranell dan Gann yang bahkan untuk lari aja kesusahan, kini dihadapkan situasi lebih buruk. Ga ada tempat untuk berlindung dari radiasi ledakan Doom Blast, ga ada tenaga untuk panggil Animus. Kalopun ada, entah Animus apa yang sanggup lindungi mereka dari Doom Blast. Kedua Grazier itu tampak pasrah, cuma bisa berpelukan erat menanti takdir ga terelakkan.
Tapi kejutan demi kejutan ga ada henti datang pada kami hari ini. Angin yang tadinya tenang, kini tetiba berhembus lebih kencang. Kalo sebelumnya para Accretia yang datang dari udara, kini gw liat ada sesosok Bellatean wanita duduk menyamping di atas tongkatnya, terbang melintas langit menuju Faranell dan Gann bak penyihir.
Bellatean wanita itu menukik tajam, sebelum mendarat halus di depan Faranell dan Gannza. Rambut coklat kemerahan panjang terkepang samping, ikut menari seraya alunan angin senantiasa temani kehadirannya. Bola mata sehijau hutan tropis terlindungi oleh kacamata debu besar berlensa transparan yang menutupi hampir setengah bagian atas wajah. Bibir tersenyum lebar penuh percaya diri, menatap peluru Doom Blast tanpa keraguan.
Dia buka kedua telapak tangan, dan diarahkan ke depan. Angin di sekitarnya mulai berputar, dan membentuk pusaran berukuran sedang di telapak tangan wanita itu. Pas peluru itu makin dekat, dan bertemu dengan pusaran angin, wanita itu memutar poros tubuhnya searah jarum jam! Kedua tangan yang tadinya menghadap depan, pusaran angin, plus peluru Doom Blast pun mengikuti putaran wanita itu!
“Makan senjata kalian sendiri!” peluru Doom Blast akhirnya berbalik arah seiring seruan terlontar dari mulut wanita itu!
Ebuset! Peluru itu kembali lewat di antara gw dan Rokai! Bedanya, sekarang dari arah berlawanan!
Berkat apa yang dilakukan Bellatean wanita itu, ledakan justru terjadi di kubu Accretia! Hal itu cukup bikin kacau formasi para kaleng untuk beberapa saat.
Siapa wanita itu?
Setelah gw cermati, di bagian armor lengan kiri wanita itu terdapat simbol Satuan Tugas Gabungan; sebuah tongkat sihir berdiri tegak lurus, ditemani senapan serbu, dan pedang yang membentang saling silang berada dalam bidang datar bentuk perisai, dengan satu strip emas di atasnya… Resimen… 1!?
“Jadi, kalian Corite, ya? Pilih mana? Diterbangkan tinggi-tinggi lalu dibiarkan jatuh, atau dicabik-cabik angin sampe jadi serpihan?” tanyanya dengan nada riang seraya balik badan pada Faranell dan Gann yang bukannya merasa lega selamat dari Doom Blast, tapi malah tambah gelisah.
Sayang, tampaknya ga ada prajurit besi yang alami kerusakan berat karena mereka bisa bereaksi tepat waktu.
Justru sebaliknya, para kaleng rombeng itu seolah ga peduli akan radiasi ledakan Doom Blast mereka sendiri! Gw segera berdiri, dan genggam lebih kuat dua pedang di tangan. Soalnya, Prajurit zirah hitam itu lompat keluar dari area ledakan berbentuk kubah yang terlihat mengerikan! Palunya diangkat ke bahu, ambil ancang-ancang buat lancarkan serangan bertenaga penuh!
Belum lagi mereka semua kini mulai bergerak serentak! Berat langkah para Accretia, seolah tiap langkahnya sanggup ciptakan gempa. Inti motorik yang dimiliki tiap-tiap prajurit Kekaisaran berderu bak genderang perang, bertabuh saling sahut.
“Cukup, Lalana. Kita ga bisa sembarangan bunuh mereka tanpa tau apa-apa,” terdengar suara pria yang sama sekali ga asing membantah keinginan wanita itu. Seorang pria berarmor biru gelap yang dibalut jubah putih berlambang Federasi di bagian punggung, lewat di celah kosong antara gw dan Rokai. Dia berkata santai sambil lirik gw, “banyak yang harus mereka jelaskan. Termasuk kamu, Grym.”
“Iya, iya. Saya cuma bercanda, Maximus,” wanita itu kasih tanggapan nyeleneh, “abis mereka keliatan butuh guyonan sih.”
Maximus… Gatan! Dia segera keluarkan dua bilah pedang logam yang berbeda panjangnya. Itu kan… pedang latian?
“Itu ga bisa disebut guyonan. Lebih tepat ancaman,” celetuk Bellatean pria yang ga gw kenal. Wajahnya ga terlalu keliatan karena dia pake helm plus pelindung mata dengan lensa gelap. Diliat dari armor yang dia kenakan, kayaknya dia ini Ranger. Tebakan gw, mungkin Hidden Soldier karena biasanya Hidden Soldier yang selalu pake senapan serbu.
“Selera humor lu emang kelewat jelek, Havva,” timpal prajurit pria lain, dukung pendapat si pembawa senapan. Kali ini seorang Berserker bersenjatakan pedang besar dan panjang dengan aura kekuningan tipis menyelimutinya. Pria itu tampak amat gagah, dan tampangnya sangar macem tukang batu. Berambut biru gelap kehitaman dengan 3 gores luka horizontal di leher. Mata Ambernya punya pupil lembing kayak mata singa, makin menambah kesan buas.
Sama seperti wanita itu, di lengan kiri armor mereka juga terdapat simbol yang sama.
“Ah, mungkin kalian yang terlalu tolol sampe ga paham candaan tingkat tinggiku,” wanita itu malah meledek balik sembari tersenyum remeh serta lidah terjulur pada dua kameradnya.
Maximus Gatan ga kasih gw kesempatan untuk teliti lebih jauh, atau respon omongannya yang tadi karena dia udah keburu berakselerasi tiba-tiba! Ce-cepat! Tinggalkan hembusan angin di belakang jalur lajunya!
Liat Maximus Gatan bergerak, wanita itu juga segera berlari sebelum kembali naik tongkatnya, dan terbang ke angkasa! Kedua rekannya yang tadi juga enggan ketinggalan, ikut maju ke tengah pertempuran! Seolah udah paham betul apa yang harus dilakukan walau tanpa aba-aba, tanpa peringatan.
Dari tubuh Accretia berzirah hitam tersebut terdengar dentingan logam saling beradu, sebelum keluar percikan listrik saat Maximus Gatan muncul di belakang Si Accretia, bikin si pembawa palu itu batal menerjang gw. Ga buang waktu barang sedetik, kedua kalinya, Maximus Gatan melakukan akselerasi! Kali ini menyabet tubuh zirah hitam dari belakang!
Percikan listrik kembali keluar begitu kedua kaki Maximus Gatan menyusur tanah guna matikan kecepatan sendiri. Satu pedangnya yang panjang patah setengah seketika, sedangkan yang pendek retak ga beraturan, “Hmm… keras juga,” dia bilang.
“Blood Raider,” ucap Si Zirah hitam pendek.
“Darkmaul,” balas Maximus Gatan sembari balik badan, “some armor upgrade you got there,” dia buang dua pedang yang pertama dipake, lalu keluarkan dua pedang latian baru.
“You dare challenge me with those toothpicks?“
“Well, these ‘toothpicks’ are more than enough to deal with you,” gw ga paham perbincangan apa yang terjadi di antara mereka, tapi Maximus memutar-mutar kedua pedang di tangan sambil tersenyum sinis pada sang lawan.
Si Zirah hitam eratkan tangan pada palunya. Apa dia geram? Entahlah. Emang mesin bisa marah?
Keduanya langsung maju bersamaan. Maximus Gatan jauh lebih unggul dari segi kecepatan. Mungkin efek dari senjata yang lebih ringan juga. Satu ayunan berat dari palu si zirah hitam, bukanlah kesulitan buat dihindari. Sang Wakil Archon Federasi lihai melakukan side step, disusul tiga tebasan kilat ke pangkal lengan kanan zirah hitam. Palu yang sukses dihindari tadi, menghujam tanah dan tinggalkan kawah dangkal, serta hamburkan bebatuan.
Daya hancur yang ga main-main!
Liat Maximus kembali menyerang, Si zirah hitam lepaskan kedua tangan dari senjatanya, dan meninju arah datangnya terjangan Sang Wakil Archon.
Momentum yang terlalu besar bikin Maximus ga kuasa ganti arah. Maka, mau ga mau dia blok tinju besi sang lawan pake dua pedang. Bunyi metal beradu kembali menggaduh, saling dorong untuk buktikan siapa yang lebih hebat.
Jelas Maximus kalah adu kuat. Dia sendiri pernah bilang, dia itu lemah. Jadi Maximus Gatan terpental ke belakang akibat benturan yang dihasilkan tinju Si Accretia. Tapi ga gentar gegara kalah sekali, dia berakselerasi lagi! Belum puas menyerang, kayaknya.
Celah waktu ini dimanfaatkan si zirah hitam untuk ambil palunya, dan diayunkan secara horizontal.
Maximus Gatan lompat begitu ringan ke udara seiring datangnya serangan palu, dan malah naik di kepala palu yang lagi terayun! Hal itu membawa tubuh kecil Si Sentinel berarmor biru gelap melayang ke belakang si zirah hitam, dia balik dua pedang di tangan, dan menusukkan keduanya bersamaan ke celah yang terdapat bagian bahu kiri dan kanan sang lawan.
Si Kaleng mengguncang tubuh sendiri untuk jatuhkan Maximus Gatan dari punggungnya. Kedua tangannya berusaha keras gapai tubuh kecil Bellatean berjubah putih yang tengah menusukkan pedang latian di tangan kanan berulang kali ke bagian bahunya sembari berpegangan pada pedang di tangan kiri yang masih tertanam kuat.
Tapi seperti sebelumnya, pedang di tangan kanan Maximus patah setelah tusukan berulang-ulang, “Cih,” tangan kiri Si Accretia akhirnya berhasil meraih jubah putih Maximus Gatan! Seketika, dia tarik sekuat tenaga, bikin pegangan tangan kiri Maximus terlepas dari pedang, dan banting tubuh kecil Bellatean itu ke hadapannya! “ugh!”
Si Accretia angkat kaki kanan, berniat pecahkan kepala Sang Wakil Archon! Tapi Maximus ga tinggal diam, dia segera menghindar dengan berguling ke kiri! Kaki logam itu tinggalkan ceruk jejak kaki tepat di tempat kepala Maximus berada sebelumnya.
“MAXIMUS!” teriak gw. Pasalnya, 5 prajurit besi lain bersenjatakan pedang dan tombak siap bunuh dari belakang saat Maximus Gatan masih dalam posisi berlutut!
“BOM ASAP SIAP!” teriak si Hidden Soldier sembari lempar sebuah silinder kecil pada Maximus Gatan. Silinder itu langsung meletup dan keluarkan asap kelabu tebal sebagai perlindungan! Ga berhenti sampe situ, Pria itu angkat senapan serbu yang dia bawa, dan langsung memberondong para prajurit besi! Dia ga tetapkan satu target, melainkan berusaha pukul mundur mereka semua. Itulah kenapa tembakannya terkesan membabi buta.
Sedangkan si mata singa yang lagi lari, lakukan lompatan tinggi, lalu ambil ancang-ancang bak pelempar lembing pas mengambang di udara. Tapi yang mau dilempar bukan lembing, melainkan pedang beraura kekuningan! Dia keliatan pusatkan sejumlah Force pada pedang itu, soalnya aura kekuningan tadi jadi keliatan lebih pekat.
“RRAAARRRRGH!” satu raungan keras jadi suara latar lemparan yang dilakukannya menuju 5 prajurit besi sekaligus!
Pedang itu meledakkan daratan, dan tertancap kuat setelah benturan. Aura kekuningan berbentuk rantai menyebar lewat tanah, mengikat kelima prajurit Kekaisaran yang berdiri berdekatan. Hal itu kasih lebih banyak waktu buat Maximus Gatan kembali atur posisi.
Di bagian lain, wanita berambut kepang samping itu terbang ke arah berbeda dari dua kawannya.
“Wahooo!” seru wanita yang dipanggil Lalana, dia ga ragu mendarat dari sapu- ehem, tongkat terbangnya di tengah kumpulan prajurit Kekaisaran di bagian sayap kanan, “okey, kalian harus mundur! Shock Pulse!” ucapnya dengan senyum lebar. Kedua telapak tangannya ditepuk keras satu kali.
Akibatnya, tekanan angin langsung meningkat drastis dan serentak menyebar luas ke area sekitar wanita itu! Mendorong kuat para kaleng dari kuda-kuda mereka.
Ga cuma 4 Bellatean tadi, kendaraan-kendaraan militer Federasi mulai berdatangan, para prajurit lain mulai turun dari sana lengkap dengan berbagai persenjataan serta peralatan. Beberapa dari mereka ada yang memilih jelajah area ini dengan booster ketimbang naik mobil. Jumlah mereka ga sedikit, biarpun belum sampe sama jumlah Accretia yang menyerbu dataran ini, tapi seenggaknya hampir mengimbangi.
Tiap-tiap lengan kiri mereka, simbol yang sama terpatri penuh kebanggaan. Resimen 1 Satuan Tugas Gabungan, datang sebagai bala bantuan! Dan gw ada di antara dua pasukan besar yang siap saling bacok… runyam, Kapten.
“Oh ya, saya mau tau, kira-kira kenapa angin bisa tercipta ya?” tanya Maximus Gatan yang udah berada di dekat gw dan Rokai sembari menepuk-nepuk armornya, “gimana menurut kalian?” Jubahnya ga lagi putih bersih, melainkan udah ternoda coklat tanah, dan debu gegara tadi guling-gulingan.
Ah, ini nih… kelakuan absurd Maximus, selalu lontarkan pertanyaan aneh bin ga nyambung di medan pertempuran.
Belum sempat kami berkata-kata, wanita yang dipanggil Lalana udah berjingkat penuh energi menuju sisi Maximus Gatan sambil angkat tangan teramat antusias, “OH! OH! OH! Saya! Saya! Saya tauuu!” bu-bukannya tadi dia ada di sayap kanan?
Liat reaksi anak buahnya, Maximus Gatan hela napas diiringi gelengan kepala, “Saya ga tanya ka-“
“Angin, pada dasarnya dihasilkan oleh matahari! Tercipta karena redistribusi panas yang ga merata! Udara hangat akan naik, dan udara dingin turun untuk mengisi celah yang tercipta di antaranya!” namun perkataan Maximus Gatan sama sekali ga didengar wanita hiperaktif ini.
Sukses bikin Maximus Gatan tepok jidat, “Okey, terima kasih atas penjelasannya, Lalana.”
“Sama-sama, Maximus.”
“Kembali ke tempatmu.”
“Negatif!” tolak wanita itu tegas dalam sikap siap.
“Negatif? Apa kamu baru aja bantah perintah komandanmu?”
“Tempat saya adalah di sisimu, Maximus!” kok kayaknya, sikapnya itu dibuat-buat tegas. Namun ga lama, pecah juga sikap itu, “Pffft- hhaha! Astaga, saya ga pernah cocok ama yang beginian.”
Sekali lagi, sukses bikin Maximus Gatan tepok jidat, “Zal, Rovanik.”
“Siap!” Si Hidden Soldier, dan Berserker mata singa yang jawab bersamaan, segera hampiri Lalana dan menarik paksa wanita itu kembali ke formasi.
“Sini lu! Bikin kerjaan aja!” ujar Si Berserker kesal.
“Ah! Aaahh! Jangan perkosa aku! Toloong!”
Ini apa dah? Kok yang begitu bisa jadi anggota Resimen 1?
“What make you think I’m gonna listen to you?” – Lake (Ch. 51)
CHAPTER 51 END.
Next Chapter > Read Chapter 52:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-52/
Previous Chapter > Read Chapter 50:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-50/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list
Catatan Author:
Perlu diingat, kayak Actassi, Gatan punya kebiasaan manggil orang (bukan Accretia) dengan nama belakang. Jadi nama-nama yang disebut olehnya di chapter ini, adalah nama belakang para prajuritnya.
Regards,
Mie Rebus.

