LAKE CHAPTER 52 – SOS 7: DRASTIC
Lake
Penulis: Mie Rebus
…Benteng Solus, Ruang Perawatan…
“Berhenti, Captain Elka!” seruan dari Infiltrator pria berambut coklat panjang tampak ga digubris oleh perempuan di depannya. Entah benar-benar ga dengar, atau enggan menurut. Lihai langkah kaki pria itu, berusaha imbangi individu yang tengah dikejar lalui liuk-liuk lorong ruang perawatan. Lewati kerumunan orang, serta pasien maupun perawat yang berseliweran hendak evakuasi.
Beberapa orang yang lagi jalan berselisih bahu dengan keduanya. Ada yang sampe terjungkal, ada yang langsung minggir. Tapi kedua Ranger ga begitu peduli, sama-sama ga turunkan kecepatan sama sekali.
Panas kejengkelan gegara kejadian itu bergemuruh dalam dada Lace saat ini. Tapi dia masih ga bisa pastikan, langkah apa yang paling tepat untuk diambil. Gimana enggak? Segera setelah siuman, perempuan berambut coklat pendek itu alami perubahan perilaku. Ditambah lagi, drama penyanderaan singkat yang dilakukannya, libatkan Lamia secara langsung.
“Napas perempuan ini ada di tanganku. Aku bisa mencabutnya kapanpun,” kata-kata tajam Elka kembali berdengung di benak Lace, bikin dia gertakkan gigi selagi lari. Dia ga suka keadaan itu. Dia ga suka saat Lamia terancam.
Dia ga bisa terima.
Pokoknya, apapun yang terjadi nanti, langkah pertama yang telah dia tetapkan; Infiltrator perempuan itu harus diamankan dulu.
Sedari tadi, di tangan kiri Si Infiltrator lelaki tergenggam busur hitam bercorak ungu, makin erat seraya berlari. Biarpun sempat terbesit niatan, namun tentu Lace enggan menggunakannya. Dia masih sadar lagi berada di area perawatan.
Sosok yang tengah dikejar Lace berbelok tajam ke kanan, tepat di pertigaan ujung lorong. Dia tau perempuan itu lagi cari jalan keluar lain selain pintu utama ruang perawatan.
Saat Lace berbelok ikuti ke mana targetnya lari, dia dikejutkan sekepal tangan terarah langsung ke muka. Reflek anggota Skuad Taktis Rahasia sekejap ambil alih kendali motorik tanpa diminta, sepersekian detik sebelum tinju tersebut bersarang telak di wajah, dia masih sempat lintangkan tangan buat antisipasi.
Akibat kecepatan lari Lace, tenaga hantaman tersebut justru bertambah. Dan semua itu diserap satu tangan Si Infiltrator lelaki, “U-uh…” sampe sanggup bikin dia merintih kecil, dan agak terdorong ke belakang.
Gagal lancarkan serangan kejutan ke muka, Elka ga biarkan seniornya pulih dari keadaan kaget. Mumpung kondisi berdiri lawannya masih goyah, sebelum pria itu terdorong lebih jauh ke belakang, Elka mencengkeram bahu dan lengan Lace, kemudian menarik kuat-kuat si infiltrator lelaki.
Alhasil tubuh Lace terayun ikuti tarikan yang dilakukan si perempuan. Lumayan keras punggungnya harus membentur dinding, “Gaah!” seru Lace kesakitan.
“A-apa-apaan… dia!?” Lace sama sekali ga nyangka tenaga yang dikeluarkan Elka bisa bikin dia tersudut, “jelas ga… normal!” Niat membunuh pekat dari tubuh Elka begitu terasa di udara, menjalar di sepanjang tulang punggung Si Infiltrator lelaki, timbulkan sepercik ngeri.
Semua terjadi begitu cepat, perempuan itu benar-benar ga kasih kesempatan bagi sang lawan perbaiki kuda-kuda. Reflek Lace yang tadi sempat muncul ke permukaan, kali ini menolak bekerja sama. Tubuhnya ga kuasa bergerak gegara terus ditekan.
Belum sempat pikirannya menyusun rangkaian gerakan yang dilakukan Elka barusan, tangan kanan perempuan berambut coklat udah pegang belati, dan lagi meluncur ke muka anggota Skuad Taktis Rahasia.
Jantungnya berdegup bak digebuk berulang kali dari dalam, dia hendak pasrah terima serangan itu telak-telak. Lace tau bila belati itu menikam wajahnya, bisa jadi luka yang kelewat fatal. Kemungkinan terburuk, bisa langsung mati di tempat.
“Lamia!“
Satu nama menampar kesadarannya kembali ke realita. Mana mungkin dia bakal pasrah pas nyawanya terancam.
Dengan segenap impulse yang terkumpul saat itu, sigap Lace menepis tusukan Elka. Logam perak dingin batal menembus mata, tapi malah terasa tinggalkan pahatan di pelipis sebelah kiri, sebelum tertancap mantap ke dinding. Ga makan waktu lama, perih diiringi cairan merah mengalir keluar dari luka sobek yang cukup panjang.
Usai gagalkan tusukan tadi, Lace segera renggut pucuk kepala Elka, lalu langsung ditarik menuju kepalanya sendiri. Di saat yang sama, dia dorong kepalanya kuat-kuat menuju kepala perempuan itu.
Benturan dahi terjadi di antara mereka, “HEGH!” seru si lelaki seraya tahan nyeri, seolah batok kepalanya retak seketika, “Faak! Sakit juga ternyata!”
Hal itu cukup buat bikin kuncian Elka terguncang sebelum akhirnya melonggar. Sekuat tenaga, lelaki itu lakukan satu sentakan buat dorong tubuh Elka sejauh mungkin.
Tetes darah warnai lantai putih ruang perawatan, dan juga tinggalkan bekas di dahi Elka.
Jarak antara mereka kini agak melebar, kasih sedikit ruang bagi Infiltrator bermata merah untuk ambil satu tarikan napas. Lace ga terlalu peduli sisi kepalanya berangsur terasa hangat karena mulai tertutup tirai merah, dia terlalu sibuk mengontrol desiran emosi diri sendiri.
“Captain Elka, saya pering-“
Namun, keadaan tersebut ga dibiarkan berlarut-larut. Elka ga beri kesempatan Lace selesaikan kalimat. Sigap atur ulang posisinya, dan langsung terjang lawan yang menghadang,
“Tsk!”
“Hati-hati, Royal. Dia bahaya,” tetiba, Lace teringat akan perkataan yang pernah dibilang Wakil Archonnya.
“… Bahaya? … Saya tau dia punya kemampuan hebat, tapi dia tetap prajurit baru. Kalo sampe dibilang-“
“Kamu tau sorot mata prajurit veteran? Sorot mata yang udah jadi saksi berbagai macam pertempuran, dan terus bertahan hidup?” kala itu, Lace ga salah dengar, “dia punya.”
Mata merah Si Infiltrator menelisik lebih dalam pada sepasang mata coklat sang lawan. Begitu dingin, dan bagai bilang ga akan beri ampun pada siapapun yang coba melawan, “Sekarang gw paham,” gumam Lace dalam hati sembari angkat kedua tangan dan perkuat otot lengan buat blok tendangan tinggi Elka.
Gempuran yang begitu kuat lagi-lagi harus diredam sepenuhnya. Deret gigi pria berambut coklat muda rapat beradu atas bawah. Yakin, kalo aja tendangan itu sukses kena kepala, dia bakal langsung hilang kesadaran.
Tenaga tendangan Elka yang ga main-main, bikin tubuh Lace kembali terpental. Kali ini ke sisi kanan, dan lagi-lagi menabrak dinding. Sekarang bahunya yang harus rasakan betapa keras serta dingin dinding ruang perawatan.
Sebenarnya Lace mau mengelak, cuma, ada satu masalah. Terbatasnya ruang gerak jadi salah satu alasan Si Infiltrator lelaki terpaksa lakukan blok. Berada di lorong selebar 3 langkah, dia ga bisa leluasa menghindar.
Elka udah kembali mengikis jarak, dan siap pojokkan Lace untuk kedua kalinya. Tangan kiri perempuan itu terkepal, hingga keliatan urat muncul di pergelangan.
Ga bisa dibiarkan. Lace tau lebih baik dari yang lain. Dia merasa dungu, dan memaki dirinya sendiri, kenapa dia harus gentar tadi? Padahal selama ini, apa yang udah dia lalui, ga kalah seram dari keadaan sekarang.
Siksaan Siluman Gunung, belum sebanding dengan ini semua.
“Setelah apa yang lu lakukan pada Lamia, gw ga akan biarkan lu pergi gitu aja!” ga seperti tadi, sekarang sama sekali ga terpikir buat pasrah. Dia udah muak dengan permainan ini. Kuat dia pukulkan busur untuk antisipasi tinju Elka yang terarah ke rahangnya, dilanjut dua serangan balik kilat.
Manfaatkan hantaman siku, dan disusul punggung tangan kanan menyentak cepat hidung Elka, belum selesai sampe di situ, tangan kanan Lace menggapai kerah armor Elka, dan hujamkan lutut tertuju ke ulu hati Si Infiltrator perempuan, “ga akan biarkan lu bunuh gw, perempuan edan!”
Lace berniat lancarkan satu lagi serangan lutut, tapi niat itu terbaca duluan oleh sang lawan. Elka udah menduga, dan sigap tangkap kaki Lace selagi melayang dengan seluruh kekuatan lengannya. Sambil jegal satu-satunya tumpuan berdiri lelaki bermata merah, tangan kanan perempuan tersebut kembali keluarkan belati lain yang lebih panjang beberapa inci dari inventori.
“Si-sialan!” kesekian kalinya Lace mengutuk diri saat tubuhnya terbanting ke lantai. Sempat terbuai gegara serangan baliknya sukses, bikin dia jadi lengah. Kini keadaan berbalik lagi menyudutkannya.
Dia benar-benar ga percaya semua gerakan Elka ga ada yang percuma. Semua saling berkesinambungan, dan dilakukan penuh perhitungan supaya bisa matikan pergerakan lawan dengan cara paling efisien.
“Lu… makhluk apa lu… sebenarnya?” Lace bertanya lirih dengan napas terhimpit.
Pasalnya, Elka udah kunci total semua anggota tubuh bagian atas lelaki itu. Tangan kanannya dicengkeram, ga kuasa bergerak. Lengan kirinya terinjak, ga bisa melawan lebih jauh. Dadanya ditekan dengan lutut, bikin napas agak sesak. Busur hitam bercorak ungu ga ada lagi di genggaman Lace, udah lepas ketika dia terpelanting tadi.
Elka sama sekali ga jawab. Masih fokuskan setengah berat badan pada lututnya supaya Lace ga berbuat macam-macam. Tatapan mata coklat itu teramat gelap, seakan ga ada perasaan di sana. Menjurus langsung ke mata merah Si Infiltrator lelaki. Tangan kanannya sedikit tertarik ke belakang, siap hujamkan belati ke tenggorokan lawan yang udah ga berdaya.
“Mati gw,” itulah yang ada di pikiran Lace saat liat Elka menusukkan belati kedua kalinya.
Di matanya jelas tergambar refleksi lempengan pipih logam perak, namun otaknya ga mampu lagi merancang gerakan pencegahan seperti apa supaya terhindar dari kematian kayak pas pertama.
Mungkin dia harus terima kenyataan, umurnya cuma sampe di sini. Berakhir di tangan bangsa yang dibela sekian lama, yang pernah dibencinya, tapi sekaligus ga bisa dia tinggalkan.
Saat semua keliatan bakal berakhir, satu lengan kokoh berkulit lebih gelap melingkar di bahu kanan Elka dari belakang, cegah belati itu menyentuh leher Si Infiltrator lelaki.
“Apa yang lu lakukan!?” seru seorang perempuan yang belum lama ini didengar Lace.
“Caters!?”
Berserker yang sebelumnya terdorong oleh tabrakan keras bahu Elka, akhirnya sukses menyusul untuk jadi penyelamat napas anggota Skuad Taktis Rahasia.
Menunda ajal Prajurit sebangsanya.
Sirvat harus keluarkan tenaga ekstra buat hentikan gerakan tangan Elka. Bila sedikit aja kunciannya melemah, belati tersebut bakal bikin leher seniornya berlubang, “Dia kamerad kita juga, Elka! Stop semua kegilaan ini!”
“Percuma, Caters! Sekarang dia ga kenal mana kawan mana lawan! Dia bahaya!” balas Lace lantang.
“Hah!? Gak-” Si Berserker berambut hijau terhenyak, “gak mungkin!” bentaknya ga percaya, “gw tau dia!”
Pikiran Sirvat agak kacau untuk mengolah rantai kejadian ini. Kalo aja dia ga liat dengan mata kepala sendiri apa yang udah dilakukan Elka di ruang perawatan tadi, dan juga… apa yang lagi dilakukannya, dia pasti bakal menolak percaya.
“Ga mungkin dia kayak begini tanpa alasan!”
Biarpun beda resimen, tapi Elka tetap anggota Satuan Tugas Gabungan. Mungkin mereka ga terlalu dekat, tapi Sirvat tau prajurit seperti apa juniornya ini. Dia kuat, punya proporsi tubuh sempurna, berpendirian dan punya dasar moral yang teguh.
Walau Elka punya kecenderungan untuk berontak, dan ga takut hadapi siapa aja, atasan sekalipun, namun semua itu bukan tindakan acak berdasar hasrat belaka. Semua itu dilakukannya atas dasar yang kuat.
Demi seseorang…
Atau…
Demi lindungi dirinya sendiri, demi tutupi kerapuhan di balik segala kapabilitas yang dia miliki.
“Dia…” satu kata akhirnya terucap dari mulut Elka, “… menyakitiku,” Lace dan Sirvat pun terdiam, “… Kamu… mereka… kalian…” napas Infiltrator perempuan itu jadi ga beraturan, diiringi dengan melemahnya dorongan lengan Elka yang dirasakan Sirvat, “KALIAN BERUSAHA MENYAKITIKU LAGI!” teriaknya histeris. Genggaman pada belatinya terlepas.
Sirvat yang dibuat kaget, segera lepas kuncian lengannya dari bahu Elka.
“Menyakiti… lagi?” tanya Sirvat yang dibikin makin bingung dengan keadaan ini. Dia sempat lirik Lace, minta penjelasan tanpa berkata-kata, tapi cuma dibalas gelengan kepala, “L-lu ngomong apa sih?”
“Pergi…” Elka pegangi sisi kepala sendiri, layaknya diselubungi kegelepan. Dia berdiri, ga lagi menindih badan Lace, lalu ambil beberapa langkah mundur sempoyongan. Tubuhnya bergetar hebat, “jangan sentuh aku!”
“Elka…” Meski dalam keraguan, ga tau apa yang menyebabkan juniornya gemetar seperti ini, tangan Sirvat berusaha gapai Elka yang keliatan ga stabil dari sisi emosi. Mata kremnya mengiba, sekaligus ga yakin. Ga nyangka bakal liat lulusan terbaik –perempuan paling penting bagi orang yang dia suka dengan keadaan begini, “… tenanglah. Ga perlu takut, lu a-“
Tapi dengan cepat Elka menepis tangan tersebut. Usahanya harus terhenti. Ga bisa disangkal, niat baik yang ditolak mentah-mentah cukup bikin Sirvat tersentak.
Belum juga pulih dari kejutan, udah disela oleh sesuatu yang lain.
“Wah, wah, wah, liat apa yang telah kalian lakukan. Kalian menakutinya,” yaitu perkataan seorang pria bermantel hitam yang tetiba udah ada di depan pintu keluar darurat.
“Lu!” Lace yang sadar siapa pemilik suara itu, langsung bangkit dan segera ambil busur hitam corak ungu yang tergeletak di lantai, “Gimana lu bisa ada di sini, hah!?” geramnya lagi.
Perhatian Sirvat serta-merta teralih pada sosok yang diteriaki Lace, dan seketika pupil kremnya melebar. Bulu kuduk di tengkuk terasa berdiri semua, tatap lekat pada mantel hitam sobek-sobek yang dikenakan Bellatean pria tersebut. Bangkitkan kembali ingatan Berserker itu pada kejadian pilu di Ether.
“Lho, apa kamu lupa satu hal penting, Phantom?” dia ladeni emosi Lace yang lagi tinggi dengan tenang, dan santai, “akupun… Bellatean.“
Respon meledek, bikin sorot mata merah Lace makin tajam.
Sirvat coba telisik sosok tersebut lebih seksama di tengah gelisah teramat sangat. Kalo dulu waktu di Ether dia ga bisa liat wajah ‘mereka’ dengan jelas gegara tertutup tudung mantel dan hujan salju, tapi kali ini, tudung mantel pria itu tersampir ke belakang. Wajahnya tunjukkan seringai kecil, dengan dua garis luka sabetan di mata kanan, serta rambut coklat tipis.
“Di-dia… apa…” Sirvat sama sekali ga mau berpikir kalo sosok lelaki di hadapannya adalah salah satu dari ‘mereka’ yang udah bantai para Corite, dan juga tewaskan beberapa kameradnya tempo hari, ditambah bikin dia harus pake aksesoris pendukung sebagai ganti kaki kanannya yang hilang, “bukan, bu-bukan… ‘mereka’ kan? I-iya… kan!?”
Dia lebih suka anggap itu sebagai kebetulan belaka. Kebetulan bahwa pria tersebut pake mantel yang sama dengan ‘mereka’. Sirvat jadi gentar akibat tekanan Force sama persis seperti yang pernah dia rasakan dari sosok bermantel hitam. Jahat, keji.
Pria itu julurkan tangan pada Elka, “Sudah kubilang, tempatmu bukan di sini, Yelana. Ikutlah denganku, ke tempat di mana tidak akan ada yang berani menyakitimu… lagi.”
Tatapan Sirvat kini berbalik pada Elka yang sedikit-sedikit turunkan kedua tangan, dan mulai tenang serta menatap hampa pada pria bermantel hitam tersebut, “Tidak ada… rasa sakit…” perempuan berambut coklat ambil langkah lewati Sirvat.
“E-Elka?” Sirvat masih coba panggil namanya.
Namun langkah itu dihadang Lace yang berdiri di antara Elka dan Eznik, menodong pria bermantel hitam dengan busurnya, “Dia ga bakal ke mana-mana!” Satu anak panah tercipta dari Force kegelapan saat jemarinya berada pada senar busur. Dari tadi dia udah gatal pengen melepas anak panah, “kalo lu mau bawa dia, lawan kami dulu!”
“Ultimatum? Eznik? Proyek Reaper? Yelana?”
Lace belum tau pasti tujuan utama pria ini, atau apa yang akan dilakukan Ultimatum pada Elka, tapi satu hal yang pasti; kalo mereka sampe berani menyusup ke Benteng Solus cuma buat jemput Elka… artinya dia termasuk asset penting.
“Oh, begitu?” tanya Eznik masih dengan senyum remeh. Tangan kanannya dengan cepat raih inventori.
Liat hal itu, Lace langsung lepaskan panah, udah ga peduli di mana dia lagi berada. Tapi dari belakang, Elka cepat dorong lengan Lace yang pegang busur ke atas sesaat sebelum panah Force meluncur deras. Jemari lepas dari senar busur, justru mengirim panah Force kegelapan lubangi langit-langit lorong ruang perawatan.
Usai gagalkan tembakan panah, Elka melantingkan tubuh Lace menuju Sirvat yang berdiri di belakang.
“Royal! Ufft!” Berserker berambut hijau dipaksa tahan tubuh prajurit yang berpangkat lebih tinggi dengan kondisi kurang siap.
Begitu Sirvat angkat wajah, moncong pelontar granat di tangan Eznik udah menanti. Pikirannya bilang ambil kapak dari inventori, dan pake sebagai perlindungan terakhir, tapi tangannya kayak mati rasa dan ga bisa digerakkan. Dikuasai kengerian untuk sekedar bertindak.
Eznik akhiri perlawanan singkat mereka dengan sebuah tembakan dari senjata di tangannya. Alih-alih kasih tembakan langsung, “Boom,” pria bermantel hitam itu hancurkan langit-langit lorong tepat di atas kepala Sirvat dan Lace.
Dentuman ledakan sanggup bikin pengang telinga pas peluru granat runtuhkan plafon langit-langit, menimpa dua sosok Bellatean di bawahnya. Biarpun bukan tembakan langsung, tetap aja Sirvat dan Lace masih bisa merasakan efek ledakan area dari granat tersebut.
Berserker itu cuma bisa meringkuk dan lindungi seniornya buat kurangi dampak timpaan bahan bangunan dari atas kepala.
“Ukh…” rambut hijau potongan pendek udah tertutup serpihan debu, dia menatap kepergian Elka dan pria itu dengan tanda tanya di seluruh wajah, “E-Elka … kenapa?”
Sesali dirinya yang ga bisa berbuat banyak akibat diselubungi bimbang dan gelisah, serta ingatan buruk yang tetiba menghampiri ketika berhadapan dengan mantel hitam.
.
.
…Benteng Solus, Zona Aman Internal…
Hal paling utama dalam benak Ish’Kandel saat ini adalah gimana supaya cepat sampe rumah Ibunya. Dia udah berusaha semaksimal mungkin, tapi misi evakuasi warga sipil juga ga bisa dikesampingkan gitu aja. Dalam perjalanannya menuju rumah sederhana di daerah internal zona aman tersebut, dia harus terhenti beberapa kali buat kasih arahan pada warga sipil untuk segera menuju teleport Benteng Solus.
Mereka yang hendak evakuasi diminta ga panik, dan ga banyak tanya. Walau tetap aja diantaranya masih ada yang bertanya-tanya, mereka diberi berbagai macam alasan. Informasi penyerangan pasukan Kekaisaran belum diumumkan pada publik supaya ga timbulkan kekacauan.
Ish’Kandel bukan satu-satunya prajurit yang ditugaskan di sini. Bersamanya, ada beberapa kadet-kadet muda Federasi, dan juga para prajurit senior dari Brigadir Support yang ikut bantu.
Napas Ish’Kandel terengah ketika sampe di depan pintu rumah. Tanpa ketuk dulu, dia langsung dobrak penghalang tersebut, “Ibu! Ibu di mana!?” panik bikin nada suaranya meninggi.
Di ruang tamu, ga ada tanda-tanda keberadaan Ibundanya. Jadi dia susuri tiap ruangan yang ada di rumah ga bertingkat ini, buka paksa tiap pintu yang terkunci sampe grendelnya rusak. Tiap sudut ga ada yang terlewat, tapi sosok Husaile Ilkash belum masuk radar penglihatan pria pirang itu.
Pikiran negatif mulai kembali racuni benak Ish’Kandel. Kekhawatiran yang ga enak dirasa. Dia keluarkan log misi buat hubungi saudari kembarnya lagi. Dia ragu-ragu, apa yang harus dia katakan?
Ga mungkin dia bilang kalo Ibu ga ada di rumah saat dia sampe. Hash’Kafil bakal menghajarnya habis-habisan begitu balik dari Solus.
Dilanda frustasi, Ish’Kandel meninju pintu kamar utama sampe jebol.
“Iska!” kata seorang perempuan berambut hitam panjang dari pintu depan. Ish’Kandel berbalik, mata kuningnya sontak melembut, “kamu ini! Pintu Ibu main jebol aja! Aduh, berantakan semua! Siapa yang mau perbaiki semua ini, Iska!? Hayo, pokoknya Ibu ga mau tau, tanggung jawab!”
Ish’Kandel ga kuasa tahan gejolak untuk peluk sosok wanita yang paling dia sayang, sekaligus hentikan semua keluhannya, “Ibu dari mana aja? Aku cari-cari ga ada.”
Biarpun volume suara Ish’Kandel ga terlalu rendah, tapi di baliknya Husaile tau, ada kecemasan dan tegang ga terkira.
Jadi dia putuskan berhenti ngomel, “Sayang,” ucapnya sembari belai halus rambut kuning acak-acakan Si Shield Miller dari belakang kepala, “Ibu lagi di rumah tetangga pas mereka bilang kita dianjurkan buat tetap di dalam rumah, jadi Ibu ga pulang ke sini. Sebenarnya ada apa?”
Ish’Kandel lepas pelukan sebelum jawab pertanyaan Ibunya, “Ada kebarakaran hutan parah di Bukit Bellato. Kita harus pergi dari sini.”
“Mana Aska? Kamu ga bareng dia?”
“Dia… lagi misi, Bu.”
“Misi apa?”
Rentetan pertanyaan itu bikin Ish’Kandel gusar. Makanya, sebisa mungkin dia enggan kasih informasi tentang apa yang lagi terjadi di Solus.
Terutama kata-kata saudarinya dari kontak terakhir di antara mereka, bahkan pada Ibunya sendiri, “Misi… penting.”
“… Iska, Ibu ga akan beranjak ke manapun sebelum tau apa yang bikin kamu tertekan.”
Ga peduli seberapa kuat anaknya telah tumbuh, dan coba sembunyikan ekspresi ga mengenakan, Husaile tetap bisa baca gelagat Ish’Kandel yang ga biasa. Atau, bisa jadi emang anaknya yang ga pandai samarkan perasaan.
“A-aku… aku pengen bantu dia,” ucap Ish’Kandel pelan, “Di luar sana, entah keadaan kayak apa yang dia hadapi… tapi… aku dan timku ga dapat izin dari Komandan,” tangan Ish’Kandel mengepal kuat penuh penyesalan, “aku harus gimana, Bu?”
Walau ga tau persis apa yang lagi terjadi, atau apa yang akan dihadapi anak-anaknya, sedikit banyak Husaile paham keadaan yang bikin Ish’Kandel uring-uringan.
Intuisi keibuannya langsung beraksi. Sambil mengusap pipi anaknya, dia berujar, “Sayang, kamu cuma harus lakukan satu hal; tanya dirimu sendiri, kamu saudara Aska atau bukan?”
Ish’Kandel terdiam beberapa saat. Pikirannya coba mencerna makna dari perkataan sang Ibu. Apa maksudnya? Udah tentu dia saudaranya. Mereka kembar, dan Ibunya sendiri yang melahirkan mereka ke dunia. Terus kenapa dia bilang demikian?
“Maksudnya? … ya iyalah. Ibu gimana sih?”
“Kalo gitu mestinya kamu tau harus gimana,” lanjut Husaile.
“Aku… saudaranya,” lelaki pirang itu terhenyak. Dengar kalimat tambahan itu, dia baru paham sepenuhnya makna pertanyaan tadi. Kali ini dengan nada mantap dia berkata, “ayo Bu, kita ga punya banyak waktu.”
Ish’Kandel mengawal Ibunya sampe ke Benteng Solus setelah Husaile mengemas beberapa barang keperluan pribadi. Tepat di depan mesin teleport udah berkumpul banyak warga sipil yang akan diberangkatkan menuju Markas Besar Federasi. Mereka tentu menghujani para prajurit pendukung tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi jawaban para prajurit itu cuma sebuah seruan, “Tetap tertib dan jangan panik, keadaan masih aman terkendali. Anak-anak dan wanita jadi prioritas utama, tolong didahulukan.”
“Iska, kebakaran hutan bisa sampe kaya gini?” Sang Ibu bertanya, sebelah alisnya terangkat liat keadaan tersebut.
“Uhm… ya, begitulah.”
Lalu terlihat beberapa anggota Satuan Tugas Gabungan dan Brigadir Support Federasi berlarian menuju area perawatan. Ish’Kandel menatap mereka, mau tanya ada apa, tapi ga jadi karena muka mereka serius betul.
Lagipula, setelah mengamankan Ibunya, dia punya hal lain lagi yang harus dikerjakan.
“Bu, aku pamit dulu ya. Ada satu hal penting lagi yang harus kulakukan. Ikuti aja arahan prajurit yang ada di sini, mereka akan bawa Ibu ke tempat yang aman.”
Husaile cuma tersenyum liat ekspresi teguh dari anaknya. Kini wanita itu sadar, betapa si pirang telah tumbuh jadi seorang pria, “Udah tau kamu harus gimana?”
Sebelum balik badan dan mulai lari, Ish’Kandel mengecup lembut pipi Ibunya, “Aku ga akan pernah berpaling dari keluargaku. Aku sayang Ibu.”
“Hati-hati, Iska!” serunya sambil terus menatap punggung Si Shield Miller yang kian menjauh.
“Ya!”
Mantapkan batin untuk langgar perintah atasan, Ish’Kandel harus cari cara tercepat supaya bisa sampe ke tempat di mana kembarannya berada.
Pantas pikirannya merasa risih dari tadi.
Mana mungkin bisa tenang di zona aman, dia ga akan puas cuma dengan instruksi ‘evakuasi warga sipil’ saat di luar sana ada satu lagi anggota keluarganya yang lagi berjuang hadapi terror pasukan Kekaisaran.
“Here’s the tip; if you fail on your first try, stand closer, then shoot again. If you make it, take a step back, then shoot again.”
– Elka (Ch. 36)
CHAPTER 52 END.
Next Chapter > Read Chapter 53:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-53/
Previous Chapter > Read Chapter 51:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-51/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list

