LAKE CHAPTER 53 – SOS 8: BATTLECRY

Lake
Penulis: Mie Rebus


Kobaran geram terbakar dari mata kami. Tubuh bermandikan peluh yang tercampur debu dan tanah menegang saat ini. Gw yang udah kehilangan banyak tenaga, serasa dapat sokongan tambahan kala berdiri di belakang Sang Wakil Archon. Mata gw ga henti tatap sosoknya yang keliatan lebih kecil dari personil pasukan yang dipimpin, namun hal itu ga bikin dia terlihat lemah. Justru sebaliknya, Maximus Gatan tampak keren ga ada obat!

Deru langkah Resimen 1 Satuan Tugas Gabungan bertabuh, gemakan bising yang sanggup bikin siapapun di hadapannya bergidik ngeri. Ganti keresahan di dada gw, jadi asupan steroid yang begitu membeludak.

Darah di tiap nadi kami mendidih, pasukan Bellatean menerjang kerumunan prajurit besi tanpa rasa takut barang setitik. Tiap senjata yang mereka bawa terangkat tinggi berbalut tekad, serta determinasi bela tanah territorial Federasi.

Di bawah komando Sang Wakil Archon, yakin bisa pukul mundur musuh!

Teriakan perang berkumandang memecah kesunyian langit. Getarkan jiwa-jiwa tersesat seolah minta mereka untuk gabung bersama kami. Tanpa ragu, ga ada gentar, maju dan siap ratakan pasukan Kekaisaran.

Langit seolah jawab teriakan perang kami dengan gemuruh petir, dan gumpalan awan kelabu yang bergulung-gulung di atas kepala. Rintik-rintik air mulai jatuh, turunkan suhu dataran Solus yang tadi sempat meninggi. Perlahan tapi pasti, langit menangis.

Ga mau kalah, pemimpin pasukan Accretia, prajurit besi berzirah hitam ikut menerkam ke arah Maximus Gatan, siagakan palu dalam mode menyerang!

Adu kekuatan antar dua perwakilan bangsa kembali terjadi. Dentingan kedua pedang Maximus Gatan begitu nyaring menyapu telinga, dan lagi-lagi ga kuasa redam keperkasaan yang ditunjukkan lawannya.

Wakil Archon kami harus terpental lagi! Tapi emang dasar pria tua yang gigih, dia tetap di atas kedua kaki. Mata biru gelap itu menajam, amati seksama tiap gerakan yang dilakukan sang lawan. Ga berikan sedikit celah buat kaleng itu remukkan tubuh mungilnya dengan gampang.

Maximus Gatan berputar cepat supaya terhindar hantaman susulan palu raksasa tersebut, terus langsung balas serangan dengan tiga tusukan cepat. Edan! Zirah hitam prajurit besi itu masih belum tembus, bahkan tergores pun enggak! Padahal udah sempat beberapa kali terima sayatan pedang Maximus.

Para Berserker yang lari dan teriak-teriak bak kesurupan di sekitar gw, udah saling bertabrakan dengan barisan pasukan Kekaisaran lainnya. Mata gw terpana sesaat liat mereka didominasi aliran adrenalin yang begitu tinggi.

Dentuman meriam dari kendaraan militer pasukan darat Kekaisaran, serta rentetan tembakan balasan dari para Hidden Soldier saling bersambut tanpa ampun, bombardir zona tempur yang makin menggila.

Selongsong-selongsong peluru kosong terbuang dari klip senapan serbu, menghias tanah Solus yang telah dibasahi air hujan.

Napas gw terengah. Keadaan ini bikin gw kalang kabut dan bingung, apa gw harus ikutan juga? Di satu sisi, pengen rasanya ikut lari dan acak-acak para kaleng karatan itu bareng mereka. Tapi di sisi lain, gw merasa capek banget. Tubuh gw berat, dan entah masih sanggup mengayun pedang atau enggak.

Tapi gw bersyukur hujan turun, dinginkan tubuh gw dari suhu panas yang terkumpul sejak tadi.

“Jangan dengarkan suara siapapun kecuali saya, Kamerad! Kuatkan kaki-kaki kalian, hentakkan tangan-tangan kalian. Kita berdiri dan melawan di sini,” suara Maximus Gatan terdengar jelas di alat komunikasi yang terpatri di telinga prajurit-prajuritnya, termasuk gw. Begitu tegas, sangat yakin biarpun ga teriak, “apa nanti kita mati atau tetap hidup, biar itu tetap jadi pertanyaan. Karena kita prajurit yang akan buat jalan kehancuran di hadapan mereka!”

“HAUU!” Sambut para Prajurit di bawah Komandonya.

Pria berambut spike hitam itu masih sempat kasih suntikkan semangat, padahal lagi sengit jalani pertarungan hidup dan mati. Hebat! Gw telan ludah, agak ga percaya kalo dia, Wakil Archon kece ga terkira, bersedia jadi mentor gw. Seorang pemimpin yang sanggup menaungi kameradnya, dan bikin gw percaya, kalo gw juga punya bagian dalam pertempuran ini.

ARRGH! Bukan waktunya bengong! Ini lagi perang, woi! Gw harus mikir cepat mau ngapain!

Sepersekian detik, gw kehilangan sensitifitas kelima panca indra akibat terlalu lelah dan sibuk sesuaikan diri dengan keadaan sekitar yang teramat intens. Akibatnya, gw dikejutkan sesosok Phantom Shadow yang udah siap gorok leher! FAAK!

Gw sempat lirik ke belakang buat liat sosok Phantom Shadow tersebut di detik-detik terakhir sebelum nyawa tercabut. Optik merah silau ciri khas bangsa robot tertangkap jelas di pupil ungu.

Got you now, little bitch,” ucapnya pelan.

Inikah akhirnya?

“RUAARRGH!” Seorang Prajurit kekar menabrak Phantom Shadow itu dari samping sambil meraung keras! Astaga, gw… gw… selamat?

Si Phantom Shadow yang terdorong akibat tabrakan tersebut, langsung sigap pasang kuda-kuda. Tapi pas liat Bellatean yang selamatkan gw tadi, dia langsung pake Cloaking Device dan hilang dari pandangan.

Gw terpaku sesaat liat kejadian itu. Seakan ga percaya kalo masih bernapas saat ini.

Pria kekar berkulit agak gelap itu mendengkus, dan berbalik ke gw. Di-dia… Si mata singa! Dengan gagah manggul pedang beraura kekuningan dibahunya. Rambut jingga agak panjang dibiarkan tergerai liar bak surai si raja hutan. Dua mata amber itu menatap lugas, ugh… ekspresinya bengis betul. Galak… asli.

Tangannya merenggut kerah armor gw, “Lu masih bisa tempur ga!? Kalo emang ga bisa, mundur sekarang!” bentaknya galak, “gw ga punya waktu buat jagain lu!”

Panas tatap mata itu, kayak bara api yang ga bisa dipadamkan walau udah kena guyuran air bah. Dijamin, siapapun bakal mundur selangkah kalo diliatin orang ini.

“Si-siap… bisa,” jawab gw agak tertekan.

Dengar jawaban tersebut, dia mendengkus lagi. Lalu langsung dorong badan gw menjauh.

“Ugh!” tenaga dorongannya lumayan berasa! Sampe bikin gw jatuh terduduk.

“Kalo gitu bangun dan angkat senjata lu, uban kusut! Maximus Gatan ga melatih lu buat duduk di tengah pertempuran!” serunya seraya beranjak pergi.

Nih orang kenapa sih? Gw menangkap nada kelewat sinis pada kalimatnya barusan. Ga tau cuma perasaan atau gimana, tapi kayaknya dia ga gitu suka dengan gw. Huff, salah gw apa lagi coba?

“Rev benci lu,” celetuk suara lain di sebelah gw.

Eh… hah? Kok dia kayak membenarkan apa yang gw pikirkan?

“Major Markoi Zal,” ujar Hidden Soldier yang sebelumnya datang lebih awal dengan Maximus Gatan. Dia ulurkan sebelah tangan buat bantu gw berdiri.

Gw sambut uluran tangannya, “Captain- duh!” Aseem! Dia langsung lepas tarikan pas gw mau diri! Alhasil, gw jatuh lagi.

“Grymnystre. Kalo boleh jujur, gw juga ga begitu suka dengan lu,” sambar Markoi lagi, “ups, maaf. Tangan gw licin,” abis itu dia juga pergi nyusul Si mata singa.

Buset dah, apa-apaan mereka!? Baru juga kenalan, udah begini amat kelakuannya! Heran, perasaan gw ga ngapa-ngapain.

Yah, bego juga sih kalo dipikir… setelah semua yang gw lalui, berharap perlakuan orang lain bisa berubah walau cuma sedikit. Kenyataannya, bakal tetap ada orang-orang kayak mereka di kehidupan sehari-hari. Bahkan saat lagi berjuang pertahankan hal yang sama.

Cakep banget, kan?

“Ga bisa dipercaya. Lu diam aja diperlakukan kayak gitu,” kata Rokai yang dari tadi bungkam sambil remas erat tangan kirinya sendiri. Dia tatap mata gw dengan mata hitam datar, berusaha ga kasih liat rasa sakit dari balik ekspresi.

“Abis mau bilang apa?” pandangan gw berpaling dari tatapannya, “toh omongan gw ga bakal langsung didengar.”

“Kalo gitu ga usah ngomong,” sahut Si Holy Chandra, “lakukan sesuatu.”

“Lu berharap gw lakukan apa, tepatnya?”

Rokai diam sejenak. Beberapa helai rambut hitamnya yang basah, kini turun dan sedikit tutupi mata kiri, “… Biasa, sesuatu yang dungu.”

Gantian sekarang gw yang angkat sebelah alis gegara ga percaya terhadap omongannya, “Lu mau dukung, apa jatohin sih? Omongan lu sama sekali ga membantu.”

Sedikit kekesalan terpancar kali ini dari wajahnya, “Lu berani berhadapan langsung dengan gw, kenapa ga bisa lakukan hal yang sama pada mereka?”

Jujur, reaksinya bikin gw agak terhenyak.

Gw paham. Ya, gw paham betul makna di balik tiap perkataan Si Holy Chandra. Di tengah guyuran hujan berintensitas cukup lebat, otak gw memutar kembali saat-saat di mana Rokai selalu jadi bajingan tengik tiap kali kita ketemu. Muka yang selalu minta digilas pake Red MAU, sampe omongan super merendahkan yang cuma bisa terucap dari mulutnya.

Apa yang bikin gw berani tetap berdiri di depannya, hadapi segala macam kemampuan ga biasa pemuda berambut hitam satu ini? Padahal gw bukan prajurit terkuat, bukan juga prajurit paling sempurna yang bisa lawan siapa aja.

Ga perlu tanya siapa-siapa, gw tau jawabannya.

“Karena lu ga pernah sekalipun bawa-bawa nama keluarga gw,” Rokai satu-satunya orang yang sering mencela, dan bertindak ngeselin tanpa pernah sekalipun mengaitkannya dengan nama ‘terkutuk’ yang melekat di belakang nama gw. Dia kayak gitu bukan karena kebencian pada keturunan Grymnystre, atau kejahatan yang ga pernah gw lakukan. Tapi karena diri gw, dan hal-hal yang gw lakukan padanya, “puas?”

Mungkin orang lain bakal mikir ini alasan aneh ga masuk akal. Tapi benar lho, itu jadi alasan lain kenapa gw menghormatinya sebagai kamerad yang bisa diandalkan. Ya udahlah, lagian hidup gw udah aneh dari awal.

Si Holy Chandra sekedar menyungging senyum tipis usai dengar jawaban tadi. Tangan kanan yang pegang tongkat Spiritualist mulai terbalut Force Api, “Buktikan kalo lu masih bisa tempur, Tulang Flem. Jangan sampe gw harus nyeret lu balik ke ruang perawatan.”

“… Kayak kuat aja,” ini anak lupa ya kalo tangannya patah satu?

Dengan itu, kami pun mulai berpencar untuk lakukan apa yang bisa kami lakukan. Rokai sesuaikan diri dengan kondisi tubuh saat ini. Hampir ga mungkin baginya turun terlalu jauh ke garis depan, dan jadi Spiritualist penyerang. Jadi kali ini, dia jalankan peran sebagaimana Holy Chandra waras lainnya. Lebih milih merapal mantra pendukung pada mereka yang lebih butuh.

Sedangkan gw berlari kecil menuju titik panas sembari waspada keadaan sekeliling.

Intensitas pertempuran sama sekali ga tunjukkan tanda-tanda bakal turun, yang ada malah makin tinggi. Daratan Solus yang tadinya ditutupi permadani hijau alami, kini mulai rusak akibat terus-terusan dihentak, serta jadi lebih licin dari sebelumnya. Para Berserker di garis depan tampak makin kewalahan digempur senjata berat terus-menerus. Banyak dari mereka yang ga lagi sekedar bermandikan lumpur, tapi dibaliknya, merah pilu menghias.

Figur kekar dan besar para Berserker jelas jadi sasaran mudah buat ditembus rentetan peluru, goresan pedang, maupun irisan spadona Kekaisaran. Ke mana para Shield Miller? Apa mereka ga melakukan tugas dengan baik?

Salah, justru sebaliknya, perisai-perisai besar mereka berusaha setengah mati jadi dinding perlindungan bagi para Prajurit jarak serang menengah dan jauh. Bagi para Hidden Soldier selagi mengisi peluru, dan juga Spiritualist saat mereka merapal mantra.

Pertempuran di daerah terbuka adalah mimpi paling buruk bagi personil darat. Apalagi di zaman perang modern kayak gini. Agak jauh di samping gw udah ada contoh paling paten. Satu saat seorang prajurit bisa berlarian sambil maki keras lawan pake seisi kebun binatang, terus sedetik kemudian tau-tau jadi korban ledakan roket nyasar!

Setengah tubuh Prajurit itu terpental jauh ke arah sebaliknya, dengan luka bakar tingkat akhir! Ugh! Pemandangan yang sama sekali ga mengenakan!

Udah berapa banyak Kaleng yang berhasil kami daur ulang? Berapa banyak Kamerad kita yang tewas, atau terluka? Entahlah. Yang jelas, tubuh-tubuh bersimbah darah dengan armor ga utuh terus berdatangan dari garis depan ke garis belakang.

Para Holy Chandra professional ga ada hentinya lakukan usaha maksimal untuk rawat luka prajurit-prajurit yang tumbang dengan cepat, ataupun merapal mantra penguat tubuh guna bantu pasukan kami yang dari awal udah kalah jumlah.

Tapi biarpun para Spiritualist udah bantu sekuat tenaga, tetap aja ada yang ga bisa diselamatkan.

Kamerad kami terus berteriak! Entah kesakitan, entah penuh keberingasan supaya moril yang lain terangkat, atau barangkali malah ketakutan. Semua telah diaduk jadi satu. Air hujan yang bergerak ke dataran lebih rendah, bawa serta aliran darah lewati sisi tempat sepatu gw berpijak.

Gw berhenti dan menunduk sejenak, biarkan mata menangkap gambaran sungai merah kecil di antara pekatnya coklat yang mendadak tercipta. Simpan baik-baik gambaran tersebut ke otak, dan jadikan itu sebagai pengingat betapa ga ada hal bagus yang bisa dihasilkan dari perang.

Liat cairan merah tumpah bagai ga berarti, bukan sesuatu yang bisa gw sepelekan gitu aja.

Ga ada yang tau siapa pemilik darah yang mengalir, atau gimana nasibnya. Bisa jadi dia udah ga bernyawa. Ga bisa pulang ke orang-orang terkasih yang menunggu sosoknya kembali dari zona tempur.

Terbesit gentar di hati, bayangkan gimana jadinya kalo gw yang selanjutnya bakal tewas di sini. Ekspresi penuh kesedihan Elka terlintas di benak, dan kalo diingat betapa kami ga berpisah dengan baik terakhir kali, perasaan takut ga bisa ketemu lagi dengannya malah makin mendominasi. Tangan gw cengkram gagang pedang makin erat. Terasa gemetar, tapi gw berusaha buat ga hanyut terbawa keraguan.

Jahitan Faranell di kedua telapak tangan kayaknya mulai terbuka lagi. Ngilu begitu terasa, dan dari sarung tangan gw kembali merembes bercak darah.

Tadi gw bilang masih bisa tempur. Tapi… apa iya, benar-benar masih bisa?

Beberapa meter di depan gw ada seorang prajurit Federasi yang keliatan seumuran dengan Maximus Gatan, tengah bertarung sendirian lawan 3 prajurit Accretia. Dia jelas ga mampu melawan, dan alhasil harus rela bahu kirinya terbelah cukup dalam oleh kapak besar yang diayun salah satu dari 3 Accretia itu.

Tapi dia ga serta-merta tumbang. Seolah ga peduli berapa liter darah yang keluar dari luka tersebut, Bellatean pria itu menebas habis satu kepala besi terdekat yang dia liat.

Kaki gw coba beranjak ke tempatnya secepat mungkin, tapi percuma. Gw udah ga cukup cepat untuk kasih bala bantuan.

Begitu tau masih ada sepercik api perjuangan dari prajurit Federasi sekarat, hujaman tombak kaleng keparat lainnya harus mendarat telak di perut pria bersenjatakan pedang panjang itu. Dan lagi… dan lagi… dan… lagi…

Mata gw melebar penuh horror liat kejadian tersebut. Tombak yang ukurannya lebih besar dari tubuh bangsa kami, berulang kali menembus rusuk serta perut Si Bellatean. Mengira lawannya udah ga bernapas, dua Accretia tadi langsung tinggalkan dia gitu aja, berpindah ke sisi lain pertempuran.

B-Brutal…

Kaki gw sempat terhenti. Ga percaya betapa gw ga mampu berbuat apa-apa selain liat dia dieksekusi.

Yang bikin makin ga percaya, dari tubuh prajurit Federasi itu… ada sedikit pergerakan! Dia… masih hidup! Langkah gw makin cepat, dan pengen pastikan sendiri. Gw balik tubuh pria itu dari bahu, dan ternyata benar! Dia masih napas walau dapat 4 lubang menganga area sekitar perut, serta sisi tubuh sebelah kiri yang hampir terbelah sepenuhnya.

Kolam merah pekat menggenang di balik punggungnya, bercampur dengan air hujan dan gumpalan tanah basah.

“Uhuk! Uhuk!” Dia terbatuk, seraya muntahkan lebih banyak darah.

Dengan hati-hati, gw sanggah kepalanya pake lengan kiri, “Bertahan, Pak! Saya akan bawa anda ke garis belakang! Holy Chandra kita pasti bisa rawat luka anda!”

“Jangan, … mus- mus… tahil…” responnya dengan napas tersengal-sengal di sela kalimat, “waktu saya… habis, nak…”

“Gak, Pak! Anda bakal selamat!” suara gw jadi agak bergetar tanpa sebab, “anda bakal … selamat.”

Mungkin, fakta bahwa gw pun sebenarnya tau, untuk bertahan dari luka-luka yang dia terima butuh keajaiban jadi penyebabnya. Pendarahan udah terjadi di mana-mana. Bahkan kalo boleh gw bilang, prajurit ini masih hidup adalah keajaiban itu sendiri.

Pas gw mau pindah posisi supaya bisa bawa dia di punggung, mendadak dia remas erat satu tangan gw dengan kedua tangannya, “Bi-bilang anak… saya, Kalua, saya selalu… sayang dia.”

Segera setelah itu, tangannya terkulai lemah, ga ada lagi tenaga. Sinar kehidupan udah hilang total dari kedua mata kelabu gelap prajurit ini bahkan sebelum dia mampu menutupnya. Dia… dia hembuskan napas terakhir dalam dekapan gw.

Kini di tangan gw ga cuma ternoda darah sendiri, tapi juga bercampur dengan darah orang lain.

Prajurit yang baru pertama kali gw temui, yang ga pernah gw liat mukanya sebelum hari ini, yang bahkan sampe ajalnya menjemput ga sanggup kasih tau siapa namanya… tewas… dalam rangkulan lengan gw. Dia lebih milih pake segenap Force kehidupan yang tersisa buat sampaikan pesan terakhir untuk anaknya tersayang ketimbang kenalkan diri.

Identitas baginya udah ga penting, yang lebih penting adalah nama sang anak. Meski dia tau, gw belum tentu peduli siapa itu Kalua.

Kami ga pernah punya hubungan apapun, tapi ga tau kenapa, dada gw tetap perih mengiringi kepergiannya.

Gw letakkan kembali kepala Prajurit itu sejajar dengan permukaan tanah, lalu menutup sepasang kelopak matanya pake sebelah tangan. Cuma sebatas ini yang bisa gw lakukan sebagai penghormatan terakhir. Dia gugur sebagai prajurit sejati, “Saya akan sampaikan pesan anda, Pak.”

Belum lepas dari duka dadakan, di tengah moment kelengahan, gw merasa ada yang hendak menyentuh bahu. Ya udah, gegara ogah kena sergap dua kali, ga pake mikir, gw balik badan dan ayunkan pedang ke belakang!

“A-akh!” pekiknya tinggi, liat pedang bersinar biru nyaris memenggal leher jenjang.

“Faranell!” Ah, sialan! Apa yang gw lakukan!? Buru-buru gw tarik senjata, “Ma-maap, gw cuma … kaget.”

“… Kamu keliatan pucat,” katanya, seolah ga terpengaruh atas tindakan gw barusan.

Gw meneliti wajahnya sebentar, “Sama kayak lu.”

“Iiish… kamu tuh ya.”

Sadar kalo ini bukan tempat aman buat diskusi, dan waktunya ga pas juga, gw tarik lengan Faranell, “Lu harus lanjut ke zona aman Federasi. Mana Gann?”

“Lake, kamu harus ikut dengan kami.”

“Federasi masih butuh gw di sini, Faranell.”

“Apa kamu belum paham juga!? Kamulah yang mereka incar! Berada di sini terlalu lama ga bakal jadi solusi terbaik.”

“Tapi itu artinya kalo gw mundur, mereka pun ga bakal berhenti sampe di sini, kan? Ujung-ujungnya mereka tetap bakal maju juga.”

“Seenggaknya mereka ga akan sampe ke kamu dengan gampang kalo kamu ga berada di tempat terbuka begini! Kamu sendiri yang bilang, ‘kita ga punya waktu’, ‘kita harus terus bergerak’. Ke mana perginya semua hal yang kamu bilang itu?”

“Ke sini!” jawab gw sambil menunjuk ke bawah pake pedang, “Ini territorial kami, pertempuran kami, dan saudara kami lagi sekarat di sini! Ga mungkin gw cari perlindungan ke zona aman sendirian!”

“Lagi-lagi kamu cuma bersikap egois! Coba pikirkan sedikit konsekuensi dari hal-hal yang kamu lakukan!”

“Seorang prajurit tewas di dekapan gw, Faranell! Di dekapan gw!” emosi yang dari tadi ditahan-tahan, akhirnya meluap juga, “gw udah pernah liat prajurit mati di pertempuran! Udah pernah liat mereka mengalami hal yang hampir bisa dibandingkan dengan neraka! Tapi baru kali ini… baru kali ini gw liat orang mati… begitu dekat,” kedua tangan gw sekarang malah remas bahu Faranell dengan keras. Gw tatap dalam-dalam sepasang mata kuningnya, penuh putus asa, “ga ada yang bisa gw lakukan… buat selamatkan dia.”

“…” keluhan Faranell terhenti. Tatapannya menelisik lebih jauh, namun lebih lunak dari sebelumnya. Dia genggam satu tangan gw yang ada di bahunya dengan penuh kelembutan, “… Kamu bukan Tuhan.”

Satu reaksi yang ga gw sangka sama sekali bakal keluar dari mulut Si Grazier. Kalimat yang cukup menohok sampe batin.

“Udah kuduga, selama ini kamu emang belum bisa lepas dari kejadian tewasnya Anclaime Sada.”

“Gw… gw…” otak gw berputar keras buat cari penyangkalan yang valid, tapi ga kunjung berhasil, “ini ga bisa disamakan… kayak waktu itu.”

“Aku bisa liat saat kamu tegar, aku bisa liat saat kamu putus asa, aku bisa liat saat kamu kuat, aku juga bisa liat saat kamu lemah. Bahkan sekarang pun aku bisa rasakan seberapa besar pilu hatimu,” volume suaranya turun seketika, “terlepas dari semua itu, kamu selalu berjuang atas dasar moral yang kamu yakini,” ujarnya amat tenang, “masih banyak yang bisa kamu lakukan selain menghukum diri sendiri.”

“Faranell…”

“Aku juga akan berjuang. Ga akan kubiarkan mereka dapatkan apa yang mereka mau,” biarpun keliatan kaya mau nangis, tapi justru gw rasakan ketegasan dari balik sorot mata Si Grazier.

Bayang spadona besar menutup figure kami, dan akal sehat gw langsung kembali ke fakta bahwa kita masih ada di zona merah! Dengan segenap daya dari lutut, gw menerjang tubuh Faranell supaya terhindar dari hantaman tanpa ampun spadona berwarna cyan yang sama sekali ga asing.

“Kyaa!” Si Grazier berambut ungu kaget karena emang ga ada aba-aba. Gw coba buat putar badan biar badan gw aja yang kena tanah. Mana bisa lelaki biarkan perempuan yang jadi bantalan, kan?

Begitu keras suara yang dihasilkan pas spadona tersebut hamburkan tanah basah, dan bikin rintik hujan bercampur lumpur untuk sesaat.

Posisi gw jadi berada di bawah tubuh Faranell yang masih meringis kesakitan, “Lu ga apa?”

Perempuan Corite ini ga langsung jawab, eh malah diam sejenak, menatap gw canggung, “… I-iya.”

Kalo aja ini bukan di medan tempur, dijamin, gw udah klepek-klepek. Argh!

Gw langsung bangkit dan menyiagakan pedang kembar, ga peduli pada noda lumpur yang menutupi tubuh. Soalnya, gw tau betul siapa pemilik spadona cyan itu.

“Betapa indah kalo gw bisa hancurkan tiap moment kemesraan kalian, iya kan?” di depan gw udah berdiri prajurit besi mengenakan armor khas Punisher biru navy.

“… lu lagi, lu lagi, robot gedek.”

“Dia ga sendiri lho, ada gw juga.” Sanggah kawannya yang berzirah merah. Jadi mereka masih belum menyerah buat ngejar gw, hah?

Masih segar di ingatan gw, gimana bangsa mereka bunuh prajurit kami dengan cara yang cukup kejam, bikin sorot mata gw kian menajam. Ada perasaan marah, tapi ada juga perasaan takut plus semburat kecemasan berkecamuk di dada gw saat ini.

Pengen balas perbuatan bangsa karatan tersebut, tapi kalo gw sampe gegabah, yang ada bukan cuma gw… tapi Faranell juga bakal mati konyol.

Dari sudut mata, terlihat Si Grazier eratkan genggaman pada tongkat sihir. Gw berbisik padanya, “Lu masih bisa tempur?”

“Sebagian Forceku udah kembali. Biarpun ga banyak, tapi cukup,” dia bilang.

“Kali ini lu ga akan bisa kabur lagi, liliput jabrik!” sentak Gabber tiba-tiba.

Shite! Sekarang mereka ga mau repot-repot satu lawan satu seperti sebelumnya! Kedua Accretia itu langsung buka serangan bersama!

“Gw ga ada niat buat kabur!” seru gw lantang pada besi rongsok itu. Walau Faranell bilang Forcenya udah balik, tetap aja ga bisa ambil resiko, “Faranell, gw bakal coba ulur waktu buat lu mundur. Akan gw lawan mereka berdua sekaligus!”

Gabber angkat tinggi spadonanya, dan hendak membelah tubuh gw dari atas ke bawah. Tapi ga akan gw biarkan itu terjadi! Gw berpindah ke belakangnya dengan guling ke depan, dan menyabet kuat-kuat bagian belakang lutut Si Punisher pake dua pedang berbarengan. Pas dia bertekuk sebelah lutut, dua sayatan lanjutan mendarat mulus di punggung berarmor biru navy tanpa bisa diblok.

Gw berniat lakukan satu tusukan tambahan ke punggungnya, tapi niatan itu batal gegara mata gw menangkap gambaran sebilah pedang terayun dari samping kanan!

Argh! Bangke! Ternyata emang masih belum bisa bagi fokus ke lebih dari satu lawan. Ga ada waktu buat menghindar ini mah! Mau ga mau harus gw tangkis!

Bunyi memekakkan telinga ketika 3 bilah senjata tajam beradu, ga bisa diredam derasnya hujan. Tenaga Si Zirah Merah jelas lebih besar, dan sukses pentalkan tubuh gw sesuai laju pedangnya!

Kesekian kali badan kecil Bellatean harus bergulingan di tanah hari ini. Tapi ga mungkin berlama-lama tiduran! Telapak kaki gw langsung kembali memijak daratan selagi masih tersisa momentum dorongan yang dihasilkan Si zirah merah, dan kembali siagakan kuda-kuda!

Gelombang serangan kembali datang! Si Zirah merah belum puas. Dia lancarkan satu sabetan pedang menyilang dari sudut tinggi, yang sukses gw belokkan lajunya dengan lintangkan kedua pedang ke sisi kiri. Accretia ini tampak udah siap betul buat langkah berikutnya. Satu tusukan cepat meluncur deras ke jantung, dan kali ini gw harus lompat sembari menebas pedangnya ke bawah pake tenaga ekstra

HAH! Tusukan tersebut melenceng, cuma menembus angin di antara kedua kaki mungil gw.

Selagi kaki masih berada beberapa senti di udara, gw berusaha melantingkan tubuh supaya bisa berputar pada sumbu vertikal, “HEAARGH!” mata pedang biru-merah udah sejajar dengan arah putaran tubuh, dan siap kirim paket besi ke pengepul buat dikiloin!

Si Zirah Merah ga tinggal diam. Liat gw nyerang balik, dia naikkan tameng yang tersemat di lengan kiri, dan pasang sikap bertahan. Faak! Tiga kali bunyi dentingan terdengar dengan interval cukup singkat, diikuti percikan kembang api. Jadi pertanda tiga tebasan berputar cepat gw berhasil dimentahkan tanpa kesulitan.

Seolah ga kenal kata istirahat, dia langsung keluar dari mode pertahanan, dan coba menebas bersih leher gw! Ayunan pedangnya teramat seram! Gw menunduk secekatan mungkin, dan keliatan jelas bulir-bulir air ikut terbelah seraya pedang itu lewat di atas kepala. Ajegile!

Apa para Accretia ga bisa lebih ngeri lagi!?

Coba tebak. Ternyata bisa! Manuver itu lagi-lagi terbaca! Ga pake ragu, lutut Si Mercenary langsung menyambut gw di bawah sini, “Ugh!” Edaaan! Kedua tulang hasta gw berasa langsung remuk gegara dipake buat hadang dengkulan besi maut pembelah cakrawala!

Badan gw harus terdorong agak jauh. Tapi bukan berarti udah lepas dari ancaman! Ingat, gw lagi digang-bang! Kali ini kembali Gabber, dengan spadonanya, sangat piawai mengikis jarak di antara kami.

Tiap ayunan yang datang amat bahaya. Cepat, dan nyaris bikin gw ga bisa menghindar. Fokus! Konsentrasikan tiap serat kehidupan di badan untuk maksimalkan maneuver hindaran. Ga akan gw biarkan dia mendaratkan serangan dengan mudah!

Tubuh gw meliuk-liuk di hadapan Gabber. Spadona cyan juga ikut menari bersama sesuai irama. Sakit! Tiap jengkal otot gw berdenyut hebat, aliran darah yang makin kencang malah bikin urat-urat gw bagai terbakar dari dalam. Panas! Pertanda emang udah harus istirahat. Tapi mana bisa istirahat saat di depan lu ada dua petarung Kekaisaran! Gw ga mau mati tanpa perlawanan!

Bahkan untuk lakukan serangan balasan pun ga memungkinkan. Kalo gw bagi fokus buat menghindar dan nyerang balik, yang ada malah ga maksimal.

Dada makin sesak, napas makin cepat, kepala makin berat. Perlahan tapi pasti, kaki melangkah mundur tanpa gw sadari.

Si Punisher berzirah biru navy masih gencar menebas. Tebasan spadona yang penuh dengan ancaman kematian terus datang seolah tanpa jeda. Area serangannya juga cukup luas, mengingat ukuran senjata yang dipake ga biasa. Sebuah pohon ukuran sedang langsung terpotong dua begitu kena satu serangan mulus yang sebenarnya ditujukan buat gw.

Lapisan logam di tubuh Gabber mulai sedikit terbuka, dan keluarkan cahaya biru-kehijauan di antara sela rangka robot. Tetiba, kecepatan gerak Si Accretia sedikit meningkat. Dia rendahkan posisi tubuh, sembari menarik spadonanya ke belakang, ancang-ancang sapuan rendah. Biarpun perubahan kecepatannya cuma sedikit, tapi itu udah cukup buat bikin ritme hindaran gw goyah.

Jarak kami tertutup dalam sekedip mata. Mau ga mau, gw tancapkan kuat-kuat kedua pedang di tangan ke tanah, dan siapkan mental serta fisik buat tahan laju spadona besar itu!

“UURGH!” erang gw di tengah peraduan. Berkat bantuan dari cengkraman permukaan daratan, gw sukses imbangi tenaga seonggok Punisher Kekaisaran!

Tapi,

Dari belakang, kawan Gabber yang berzirah merah ga cuma nonton! Ga tanggung-tanggung, dia membentur punggung gw pake perisai yang ukurannya ga kira-kira, “AHAGH!”

Ah, bajingan! Lagi-lagi gw kehilangan fokus pada lawan satu lagi. Tabrakan yang gw terima benar-benar gila terasa! Begitu nyeri, seakan ruas-ruas tulang punggung gw rontok sekali hentak.

Belum selesai sampe di situ, dingin telapak tangan dari logam langsung terasa di kepala gw. Astaga, belum juga pulih dari syok yang satu…

DUUAAAG!

Kepala gw dibanting ama si Gabber kampret, dengan muka menghadap ke bawah. Rasanya? Ga usah ditanya. Kalo ada yang mikir dibanting ke permukaan tanah basah itu ga sakit, gw saranin buat mikir lagi. Ini aja mau pingsan di tempat.

Untung, pelindung kepala gw masih berada di tempatnya. Biarpun sebenarnya ga banyak bantu redam benturan, tapi seenggaknya ga semua tenaga bantingan tadi harus ditanggung muka gw secara langsung.

“… Gw kecewa dengan lu,” tukas Si Punisher usai jatuhkan gw, “masih begitu lemah.”

Bangsat. Ga tau diri. Beraninya keroyokan! FAAK!

Dengan napas ngos-ngosan, plus muka berlumuran lulur alam, gw berusaha bangkit. Walau kaki ga mampu lagi dengar perintah, walau ngilu ga ada hentinya menjalar sekujur urat saraf. Sedikit-sedikit, dengan bertumpu dua tangan, badan gw mulai naik. Ekspresi muka gw menunjukkan seberapa keras gw coba buat tahan segala macam nyeri yang dari tadi menghampiri.

Tapi emang dasar Gabber kampret sekampret-kampretnya makhluk, enggan kasih gw kesempatan buat kembali berdiri.

Kedua kalinya tangan dingin itu dorong keras belakang kepala gw supaya balik mencium lumpur.

“Tetap di bawah, Liliput.”

Faak.

Jangan kira lu bisa semena-mena, woi!

Ga tahan ditekan terus, tangan kanan gw keluarkan belati pendek serbaguna dari inventori, lalu menusukkannya berkali-kali ke pergelangan tangan Gabber yang ada di atas kepala, berharap itu bisa melemahkan walau barang sedikit.

Ternyata usaha tersebut buahkan hasil! Pegangannya agak kendor! Kesempatan ini jelas ga bakal terbuang gitu aja. Cepat gw posisikan badan agar kedua kaki ini ketemu kakinya. Kemudian dengan sisa tenaga, ga hiraukan sengatan derita terasa di mana-mana, gw pake kaki Si Punisher sebagai tumpuan buat luncurkan tubuh jauh dari jangkauannya!

Berkat dataran Solus yang licin gegara hujan, badan gw meluncur cukup mulus.

Barulah kali ini, gw bisa berdiri tanpa ada penghalang, meski harus usaha setengah mampus dan sempoyongan dulu. Tangan kanan gw meraih pelindung kepala yang udah pecah sebagian, lalu putuskan buat lepas semuanya. Ganggu pandangan aja.

Darah mengalir deras dari mulut serta dahi gw yang sobek. Oh, dan banyak juga dari hidung. Mata kiri gw tertutup gegara kemasukan lumpur, yang langsung gw bersihkan dengan usapan lengan. Bahkan berapa helai rambut kelabu udah ada yang berganti warna jadi merah. Keadaan armor gw… hmm, udah ga karuan pokoknya. Kayak ganti warna. Dari perak-hitam, jadi coklat abu-abu ga jelas.

Hal lain yang patut disyukuri atas turunnya hujan… yaitu baunya yang berperan besar samarkan aroma anyir darah. Baik itu darah para Bellatean lain di sekitar, maupun darah gw sendiri.

“… Wow, liat tuh. Dia masih bisa berdiri,” Si zirah merah berkata.

Letusan senjata api, maupun meriam-meriam Kekaisaran masih setia jadi suara pengiring panggung pertarungan ini. Begitu jernih di balik suara hujan, desingan besi ketemu besi, dan juga ledakan-ledakan launcher milik para Striker.

Dengan lunglai, dua tangan gw meraih pedang kembar yang masih kokoh tertancap di tanah. Ga peduli terhadap apapun selain keinginan buat angkat senjata.

“Perlawanan yang sia-sia,” Gabber menimpali omongan si zirah merah, “mungkin gw terlalu banyak berharap. Keturunan klan yang dijuluki ‘terlahir untuk perang’? Tsk, jangan bercanda. Berdiri aja susah payah.”

Ga ada satupun kata balasan terlontar dari mulut gw. Terlalu capek. Energi gw ga bakal guna kalo dipake buat ladeni cemoohan perabot elektronik bekas satu ini. Dari dulu, gw emang ga pernah bersahabat kalo berurusan dengan mesin.

Jadi, seraya tangan masih pegang pedang, gw acungkan jari tengah pada robot bawel tersebut.

Bilang anak… saya…”

Masih banyak yang bisa kamu lakukan selain menghukum diri sendiri.

saya selalu… sayang dia.”

Gw belum habis.

Ah, ya. Kayaknya ada satu hal yang terlupa. Satu hal penting yang harusnya gw lakukan dari awal. Payah, gimana mau jadi prajurit sejati kalo kayak gini? Satu tarikan napas panjang, bikin udara terkumpul begitu banyak di relung paru-paru.

Pas dirasa udah penuh, “RRAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRGH!”

Gw dongak sambil teriak sekeras-kerasnya, luapkan segala kemarahan, dan rasa frustrasi yang menumpuk. Urat-urat di tenggorokan gw pasti sampe keliatan mencuat.

Ya, semua prajurit Federasi yang ada di Dataran Solus udah kumandangkan teriakan perang mereka. Semua, kecuali gw.

“KALO LU SEGITU PENGENNYA BAWA GW, MAJU! TUNJUKKAN KALO LU MAMPU!” masih banyak hal yang mau gw lakukan, masih ada yang harus gw lakukan, “GW BAKAL KASIH NERAKA SEBELUM LU MELAKUKANNYA!” seru gw sambil menumbuk dada sebelah kiri.

“Ohho… ternyata benar kata lu. Dia susah ditumbangkan.”

Omongan Si Zirah Merah sama sekali ga digubris Gabber, ataupun gw. Pasalnya, gw udah sibuk menebas udara di ruang kosong antara kami. Dua bilah mata pedang dari Force tercipta, dan langsung terlontar cepat ke arah Gabber dalam bentuk menyilang. Si Punisher terkejut, barangkali ga menduga gw bisa punya serangan berjarak. Serangan tersebut sukses menggores telak zirah biru navy dari depan.

Apa itu salah satu jurus sakti gw? Sayangnya, bukan.

Dari belakang, Si Accretia berzirah merah lompat tinggi, dan bersiap jadikan badan gw macam perkedel. Tapi gw ga berencana menghindar.

Karena gw tau, pedang besar berwarna hijau gelap milik sesosok makhluk gahar udah siap lindungi gw dari tebasan Si Mercenary.

Adalah Paimon, yang berjasa cegah badan gw berubah jadi perkedel. Bogem mentah Animus bertipe pertahanan itu melayang tanpa sanggup dihalau ke muka Si zirah merah. Bikin dia terpelanting ke belakang. Oh, terus pedang Force tadi? Tenang, itu cuma serangan jarak menengah dari Isis Emas.

Siapa pemilik kedua Animus itu? Apa ada dua Grazier yang bantu gw? Kurang tepat. Pemiliknya cuma satu, Grazier tertentu yang berambut ungu. Udah disuruh mundur, tapi kerjaannya ngeyel aja.

“Udah kubilang, aku juga akan berjuang.”

Never trust a certain author who said he’d update soon.” – Mie


CHAPTER 53 END.

Next Chapter > Read Chapter 54:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-54/

Previous Chapter > Read Chapter 52:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-52/

List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *