LAKE CHAPTER 54 – SOS 9: FACETS

Lake
Penulis: Mie Rebus
Pertempuran masih lanjut walau badan kami hampir semaput, sedangkan dua prajurit Accretia di hadapan kami seakan ga ada lelah buat terus bergelut. Kalo udah begini, siapa yang terlahir untuk perang? Grymnystre, atau para Accretia?
Faranell berusaha keras pusatkan Force di kedua telapak tangan yang bertemu di depan dada. Seraya Corite perempuan itu mengertakkan gigi, gumpalan aura ungu gelap pekat berkumpul dan keliatan bergejolak dari sana. Kalo aja ga liat pake mata kepala sendiri, mungkin ga bakal percaya. Soalnya, baru kali ini gw liat ada Grazier yang bisa panggil Animus sekaligus dua.
Keadaan kali ini berbalik, merekalah yang kalah jumlah gegara ada Isis dan Paimon yang bantu gw.
Pedang emas Isis lagi-lagi menebas udara. Lesatkan bilah-bilah pedang dari Force bak peluru, tertuju hanya pada sasaran yakni para Prajurit Accretia.
Tanpa takut, Si Zirah merah segera berlari kencang sambil hadapkan perisai ke depan, diikuti Gabber yang agak sedikit tertinggal. Bilah-bilah pedang Force cuma sanggup tinggalkan goresan kecil pada perisai Mercenary itu. Ga ada keraguan, begitu kokoh, dia terus maju.
Lumpur yang tutupi kedua sepatu bikin langkah terasa lebih berat, tapi hal itu ga bikin gw batalkan niat untuk hadapi terjangan mereka.
Tangan kanan Si Zirah merah ambil ancang-ancang buat tebaskan pedang ke tubuh gw. Namun, hal itu ga dibiarkan begitu aja karena terjangan perisai Si Mercenary bertabrakan keras lawan sepasang pedang emas milik Isis. Keduanya ga beranjak ke mana-mana akibat terlibat adu tenaga.
Pergerakan gw ga berhenti karena emang bukan dia yang gw incar. Melainkan Accretia bersenjatakan Spadona, prajurit rongsok kurang ajar yang udah bikin gw makan tanah 2 kali.
Rangka besi Gabber masih sedikit terbuka dan bersinar biru kehijauan, pertanda Accretia itu masih berada dalam mode Aggressor. Gerakannya jadi lebih cepat dari yang gw perkirakan.
Merasa bakal kalah cepat, gw berseru, “Faranell!”
Si Grazier berambut ungu tampak paham. Pasalnya, Paimon langsung tambah kecepatan dan tetap berada di belakang gw sembari angkat pedang lebarnya.
Ga buang waktu, gw langsung balik badan dan lari ke arah berlawanan. Mata mengunci seksama pedang hijau besar yang dibawa Animus itu. Gabber agak terheran liat tindakan gw, tapi ga berhenti sama sekali.
Dengan satu sentakan, gw lompat lalu menapakkan kedua kaki di pedang Paimon. Menekuk kedua lutut, berusaha kumpulkan momentum sekuat mungkin.
Seiring ayunan bertenaga dari Animus perkasa luncurkan tubuh mungil Bellatean yang bertengger di sisi pedangnya, mata gw pindah fokus pada Gabber. Kali gw yang bakal bikin lu makan tanah, Robot gedek!
Pasti dia ga duga bakal liat lawannya meluncur pake bantuan akselerasi dadakan. Sebelum Accretia itu sempat bereaksi, kedua pedang biru merah gw todongkan ke arahnya sambil berputar macam bor yang siap lubangi dinding beton.
Mampus! Ujung pedang kembar membentur dada bagian kanan Gabber tanpa ampun! Sangking kerasnya tenaga dorongan Paimon, terasa bilah pedang kembar di tangan sampe terbenam beberapa inci di antara celah rangka prajurit besi berzirah biru navy.
Dia sempat agak terdorong ke belakang, tapi kemudian … ga di sangka, siku logamnya menghantam perut gw dengan tenaga ga terukur!
“Ahagh!” Pukulan yang perihnya ga ada obat! Alhasil bikin gw berlutut dan muntahkan darah dari mulut.
Si-sialan! Masa iya serangan tadi ga bikin dia tumbang walau sesaat!? Dia masih berdiri gagah di depan gw. Gimana? Gimana caranya buat kalahkan Punisher yang satu ini? Otak gw bagai diperas buat pikirkan segala macam pilihan, tapi ga ada yang memungkinkan.
Gabber cabut kedua pedang gw yang bersarang di dadanya, dan buang gitu aja ke tanah.
Di saat yang sama, Isis Faranell kalah adu tenaga lawan Mercenary berzirah merah. Animus berwujud wanita itu terjungkal, dan Si Zirah merah langsung mengincar pemiliknya. Faranell sigap jaga jarak dengan lompat ke belakang.
“Switch!” Grazier itu mengubah posisi tangannya tanpa dilepas.
Seketika, lingkaran sihir tercipta di bawah dua Animus, dan mereka langsung tukar posisi.
Paimon gantian hadapi Accretia berzirah merah, menangkap perisai prajurit logam itu di tengah terjangannya supaya ga sampai pada Faranell. Sedangkan Isisnya yang jadi penolong saat spadona Gabber hendak menebas badan gw. Serangan Isis lebih lincah dan gesit dari Paimon sukses bikin Punisher itu sedikit kewalahan buat menangkis.
Rentetan mantra Faranell ga berhenti sampe situ. Aura ungu ga lagi cuma berada di kedua telapak tangan, tapi mulai muncul tipis dari mata kirinya, “Entangle!”
Dari bawah kaki dua prajurit Accretia yang lagi kami lawan, langsung muncul tanaman rambat yang bergerak liar membelah tanah sebelum menjerat Gabber dan kawannya.
“Bangun, cebol!” Seru perempuan itu, “kamu bilang mau kasih mereka neraka, kan!?”
Argh! Iya, gw tau! Tapi kan ga gampang! Haaah, aku dan mulut besarku.
Segenap tenaga tersisa gw kerahkan buat berdiri sembari remas perut. Shite! Masih terasa pedasnya sikutan Gabber.
Dua prajurit besi itu ga butuh waktu lama untuk bebaskan diri dari jeratan Force Alam milik Faranell. Ga sulit rupanya bagi mereka, ayunan senjata tajam penuh tenaga berhasil mengoyak tanaman rambat di sekeliling.
“Mana omong besar lu yang tadi, Liliput!? Kenyataannya, perlawanan lu bakal tetap sia-sia!” Gertak Gabber.
“Tapi dia ga melawan sendirian!” Sela Faranell di antara napas tersengal-sengal.
“Oh, ayolah Nona Penyihir, menyerah lebih baik ketimbang terus disakiti. Mantra penjeratmu aja udah gampang dipatahkan,” kali ini Si Zirah merah yang nyeletuk, “gw akui, kemampuan lu terbilang langka. Sanggup kendalikan dua Animus dengan sangat piawai. Tapi … pertanyaan yang lebih penting, ‘sampe kapan lu mampu’? “
Mata gw melirik pada Faranell yang keliatan makin pucat. Aura ungu tipis di mata kirinya memudar, pun begitu yang di tangan. Terus terkikis seiring dadanya naik-turun dengan cepat.
“Sampai Decem memberikan pertolongan-Nya,” balas Corite itu. Begitu teguh kalimat keluar dari mulutnya.
“HAHAHA!” Si Zirah merah tertawa keras dengar balasan tersebut, “Mesti berapa kali kami bilang?” Optik merah di kepalanya mengarah pada Faranell.
Pertanyaan itu dijawab oleh Gabber sambil buka serangan lagi, “Dewa lu ga ada apa-apanya di hadapan kami!”
“Kalian ga tau apapun tentang Dewa kami, ga tau seberapa luas kebesaran-Nya, dan berani kalian bicara begitu!” Urat wajah Faranell kembali menegang setelah kesekian kali Dewanya direndahkan. Dia genggam erat tongkat sihir yang tadi sempat disimpan, “Atas nama-Nya yang suci, aku bersumpah! Akan kukembalikan penghinaan itu pada kalian!”
Perempuan itu kini menerjang maju akibat dibalut kegeraman, “Jangan, Faranell!” Arhg! Ngapain coba ini anak!? Bakal bahaya kalo prajurit tipe Spiritualist masuk jarang serang mereka!
Isis langsung bergerak di depan Faranell dengan kecepatan di atas rata-rata. Fix, cuman modal nekat ini mah. Animus wanita itu merangsek di antara kedua prajurit Kekaisaran, dan lagi-lagi melancarkan bilah pedang dari Force.
“Aguaflick!” diiringi mantra dari mulut Si Grazier. Tekanan air hujan di sekelilingnya langsung terkompres di ujung tongkat, lalu dia menyentak tongkat itu sekuat tenaga.
Terjangan air ganas tertuju pada Gabber yang hendak menyerang, tapi malah sigap tancapkan spadona ke tanah dan pegangan kuat pada gagangnya agar ga terbawa arus.
“Mati lu, penyihir sok alim!” Kawannya yang satu lagi lebih milih menghindar dan langsung balas serangan. Dia lompat tinggi, dan berniat bikin Faranell gepeng.
Tapi lagi-lagi, Paimon begitu cekatan jadi pengawal setia. Hantaman pedang Si Mercenary tertahan pedang hijau besar.
“Cih, lagi-lagi makhluk jelek ini! Harus berapa kali gw dihalangi, hah!?”
Ga diduga, tangan Paimon yang bebas menggapai tubuh Si Mercenary, dan langsung diangkat! Tanpa kompromi, Animus perkasa itu membanting lawannya!
Gemuruh suara tubuh logam cukup membahana ketika bertemu permukaan tanah.
“Semoga Decem menerima jiwamu yang kotor,” ujar Faranell ketika Paimon mau tusukkan pedang besarnya untuk habisi Si Mecenary, “itupun kalo kamu masih punya!”
Namun sayang seribu sayang, belum juga ujung pedang Paimon bersentuhan dengan Zirah merah, Animus itu keburu hilang duluan.
“Uhuk!” Faranell terbatuk, dan tangan kiri menekan dadanya. Dia mimisan! Sosok Isis yang tadinya solid, juga mulai pudar perlahan.
Kini spadona Gabber bisa dengan leluasa mendarat di badannya, dan kemungkinan bakal kecil bagi dia buat bertahan!
Darah berdesir lebih deras untuk entah ke berapa kalinya hari ini. Adrenalin yang sempat turun intensitasnya, gw pacu lebih keras sekali lagi. Ga peduli kalo sebenarnya kemampuan ini bakal bikin badan rontok lebih parah, tapi cuma inilah yang gw punya.
Rintik hujan turun jadi agak melambat. Di antara tetesnya, gw berlari kencang sembari pungut kedua pedang yang geletak di tanah. Jejak air terpecah di belakang sangking cepatnya gerakan yang gw lakukan.
Dengan kepala penuh emosi membara, gw teriakkan satu nama, “GABBEEER!”
“MAJU! ITU YANG GW MAU,” balas Punisher tersebut ga kalah lantang, “GRYMNYSTRE!”
Pertukaran sayatan ga bisa dihindari. Gw serasa dibutakan frustrasi, menebas pedang ke sana kemari. Ga terhitung berapa kali ayunan pedang biru-merah menyayat zirah biru navy, gw berpindah-pindah supaya bisa terus menyerang sambil hindari serangannya. Ga peduli terhadap lingkungan sekitar, ga peduli pada Faranell yang terheran liat gerakan gw tetiba beringas.
Bedebah! Gw jadi kesal ama diri sendiri! Kenapa gw ga dilahirkan jadi orang kuat!? Kita ga perlu ada di situasi kayak gini kalo gw bisa kalahkan mereka dengan satu tebasan. Kalo aja gw punya kekuatan macam Ayah, atau kemampuan Force mengerikan kayak Ibu, gw bisa jadi pertolongan yang dimaksud Faranell!
Tangan gw mengepal penuh amarah. Arogansi yang mereka tunjukkan, di tengah nyawa yang telah berjatuhan serta keadaan kami yang selangkah lebih dekat dengan kematian. Itu yang agaknya ga bisa gw maapkan. Sikap itu yang pengen gw hancurkan!
“This is what you always desire,” (Ini yang selalu kamu inginkan) di tengah letupan darah mendidih, gw dengar suatu bisikan di belakang telinga, “ask, we shall give. Give, you shall be granted.” (Minta, maka kami akan beri. Beri, kamu akan dikabulkan.)
“Uh, lu lagi.“
Belum pernah jantung gw berdetak secepat ini.
“You wish for their destruction, we shall grant it to you.” (Kamu harapkan kehancuran mereka, kami akan kabulkan untukmu.)
Gw geleng kepala di tengah pertarungan, berusaha abaikan bisikan tersebut yang bahkan ga paham apa artinya.
“Give up your consciousness, and you’ll bear no more pain.” (Serahkan kesadaranmu, dan kamu tak ‘kan sakit lagi.)
Tenggorokan gw sesak, napas makin terhimpit.
Semua itu bikin gerakan gw terhenti sejenak.
“L-Lake … ? Kamu … ga apa-apa?” Faranell terbata dan khawatir, “mukamu … pendarahan.”
Darah tetiba mengalir deras dari mata dan hidung gw tanpa sebab yang jelas. Bahkan gw ga bakal sadar kalo aja ga dikasih tau, lalu gw muntahkan lebih banyak darah dari sebelumnya. Segumpal merah kental tercecer ke mana-mana!
“Apa … ini?” Gw mulai pegang kepala yang sakit bukan main, “… rasanya… sesuatu yang gelap… menggeliat dalam diri,” perasaan ini … kebencian, kemarahan , tertekan… “S-stop, jangan keluar …”
“A-astaga, kuatkan dirimu!” Faranell udah pasti terkejut bukan kepalang. Segera dia kumpulkan sisa tenaga untuk panggil Innana.
Dengan panik, gw cengkram lengan Faranell erat-erat, “To-Tolong, Faranell. Tolong! Se-sesuatu … ada sesuatu … dalam diri gw, mau maksa keluar … ahaargh!” Jantung gw terasa diremas di tengah perkataan, “gw mohon … cegah dia.”
Si Grazier berambut ungu tampak bingung ga karuan, “A-apa maksudmu? U-uhm … a-apa yang harus kulakukan?” Jelas kesempatan ini ga dibuang gitu aja oleh Gabber. Spadonanya melayang buas, dan Faranell langsung sadar kita dalam bahaya, “Awas!” Dia menerjang tubuh gw, hempaskan kami supaya terhindar dari lemparan spadona yang berpendar terang di tengah hujan itu.
Kami berdua terjatuh, tubuh gw bergetar ketakutan, “Gak … jangan…” darah segar masih ga bisa berhenti keluar dari mata, hidung, dan mulut gw secara bersamaan, “sensasi ini … sama kayak dulu. Kesadaran gw … digerogoti.”
“Jawab aku! Apa maksudmu ‘digerogoti’!?”
Di tengah tekanan kondisi, terdengar suara seorang prajurit Federasi dari perangkat komunikasi yang masih terpasang di telinga gw, “Maximus Gatan, pasukan Kekaisaran telah menembakkan mini nuklirnya! Estimasi tiga menit! Radius ledakan diperkirakan mencakup satu setengah kilometer!”
“Mundur! Cari perlindungan, menjauh secepat yang kalian bisa!” Perintah Sang Wakil Archon ga tenang. “Lalana! Di mana Lalana!?”
Samar antara kesadaran yang mulai pudar, sesosok Bellatean perlahan terbentuk di depan gw. Dia datang sambil berkata, “Fight.” (lawan)
.
.
Faranell ikut dilanda kepanikan liat wajah Lake tiba-tiba pendarahan. Masalahnya, pendarahannya sama sekali ga wajar. Dia seperti orang yang lagi nangis darah.
Hal-hal yang dibilang lelaki itu ga banyak bantu untuk cari tau, apa yang sebenarnya terjadi, “Apa yang harus kulakukan, apa yang harus kulakukan, apa yang harus kulakukan?” gumamnya berulang kali pada diri sendiri, “sesuatu dalam dirinya maksa keluar … kesadarannya digerogoti … sesuatu mengubah dirinya …“
“Mu-mungkinkah …” kalo sumber permasalahannya …
Si Grazier tampak sadar akan sesuatu. Meski dia masih ragu, apakah ini benar-benar perlu? Masalahnya, ini bukan mantra sembarangan yang bisa dia pake seenaknya.
Tapi dia ga ketemu cara lain, dan Lake sampe memohon padanya. Dia sekarat, dan ga bisa dibiarkan berlarut-larut. Maka Faranell tetapkan hati, teguhkan keputusan. Wanita Corite itu lepas kedua sarung tangan, pamerkan tangan berkulit putih nan halus tanpa cela.
Dia pejamkan mata dan pertemukan kedua telapak tangannya di depan dada, tarik napas sedalam-dalamnya lalu dihembus keseluruhan, coba semaksimal mungkin tenangkan diri.
“Maaf Lake, mungkin kamu ga akan suka. Tapi aku harus terjun ke dalam dirimu supaya bisa menolongmu,” Grazier itu kembali buka mata, ujung jemari tangannya yang terdapat force dalam jumlah kecil bersentuhan dengan pipi si Bellatean.
Sejenak dia sempat menelan ludah, dan terlihat gugup. Mukanya memerah, “O-ohhh, Decem yang Agung, maafkanlah perbuatan hamba. Hamba bukan ada maksud berbuat senonoh, melainkan hanya balas budi. Dialah yang telah menolong hamba dulu, sekarang giliran hamba telah tiba,” dia dekatkan bibirnya sedekat mungkin pada bibir Bellatean berambut kelabu itu yang setengah terbuka, “Force Projection.”
Waktu terasa langsung berhenti. Tinju gabber yang mengarah padanya bagai dibekukan. Air hujan pun seolah ga diizinkan menyentuh tanah.
Sepercik aliran Force ungu mulai keluar dari mulut Si Grazier, langsung masuk ke mulut Lake. Kesadarannya ikut berpindah melalui Force tersebut, dan langsung terjun bebas ke dalam diri Si Bellatean.
Proyeksi kesadaran Faranell menapakkan kaki di ruang yang sejauh mata memandang berwarna biru muda dengan corak putih. Seolah tanpa lantai, namun terasa bisa dipijak. Di depan proyeksi kesadaran wanita itu, terdapat pintu tertutup.
Ga buang waktu, Faranell buka pintu itu. Dia langsung disambut sesosok Bellatean pria yang sama sekali ga asing baginya, “Heyy, Faranell. Tau ga? Untuk sekarang, gw cuma pengen jadi lebih kuat supaya bisa terus bertahan hidup,” Ucap sosok Lake diiringi senyum lebar, “supaya bisa terus berada di sisi Elka,” Faranell ga hiraukan perkataannya.
Dia terus melangkah lewati sosok itu, dan tiba di pintu berikutnya, “Kita harus hargai hidup. Kesempatan kedua selalu ada buat mereka yang serius mencarinya.”
Lagi, Faranell ga merespon. Dia dengar dengan jelas tiap kata yang terucap dari sosok-sosok itu. Cuman, dia ga punya banyak waktu buat bercengkrama.
“Banyak orang emang jahat. Tapi ga sedikit juga yang sebenarnya baik. Dan kehadiran orang yang lu anggap baik … patut banget buat disyukuri.”
Semakin jauh dia melangkah, semakin banyak pintu yang dia buka, semakin banyak sosok Lake yang dia lewati. Tiap-tiap dari mereka selalu utarakan kepingan isi hati Si Bellatean. Ekspresi mereka pun berubah seiring makin dalam, makin pancarkan energi lebih negatif dari sebelumnya.
“Gw punya mimpi sederhana; jalani hidup datar dan membosankan layaknya orang normal yang lain.”
“Gw ga terlalu peduli apa yang akan terjadi pada Federasi. Bagi gw, semua itu terlalu muluk.”
“Gw ga peduli pada orang lain yang ga gw pedulikan. Selama mereka ga mengusik gw secara langsung, gw akan anggap mereka ga pernah ada.”
“Kadang gw lebih suka bikin orang berpikir mereka dapat perlakuan yang mereka mau, ketimbang harus adu argumen. Walau itu bisa dibilang muka dua, ya udahlah. Lebih baik daripada terlibat drama melulu.”
“Sakit itu bukan hal yang menyenangkan. Gw benci merasakan sakit, gw capek hadapi semua hal konyol ini.”
“Apa gw berjuang demi Federasi, atau demi diri sendiri? Gw ga cinta ama Federasi. Bisa dibilang gw cuma manfaatkan mereka buat nyambung hidup.”
“Gw bukan orang baik, bukan orang jahat. Gw ada di tengah-tengah. Kalo lu baik ke gw, gw pun akan baik ke elu. Kalo lu jahat, gw bakal tetap baik. Tapi kalo lu berani jahat kedua kalinya … gw ga peduli siapapun lu …” sosok itu kasih gestur menyayat leher sendiri pada Faranell.
“Bukan.”
…
“Bukan.”
…
“Bukan.”
…
“Bukan.”
Tiap pintu yang dilewati membuat Faranell kenal karakter Lake lebih baik. Tapi bukan yang dia cari, “Aku harus terjun … lebih jauh. Ke tempat yang lebih gelap,” maka makin jauh, jenis pintunya pun berganti jadi semacam pintu sel penjara, lengkap dengan kunci gembok. Faranell bahkan enggan untuk membukanya.
“Kita harus hargai hidup. Itulah yang gw percaya, tapi keberadaan orang-orang brengsek yang cuma bisa nilai gw berdasarkan kejahatan yang ga gw lakukan … kadang bikin gw pengen melakukan sebaliknya.”
“Heyy, Faranell. Izinkan gw meniduri lu … sekali juga gak apa,” ujar sosok Lake yang terbalik seraya pamerkan senyum sadis.
“Lu ga capek jadi palsu!? Di dunia yang penuh kebohongan, apa lu ga capek terus tertipu!?”
Di pintu berikutnya, ada sosok Lake lain dengan ekspresi lebih kacau dan gila dari yang tadi, “Ayolah, dengan keadaan dunia kayak gini, bukannya bakal lebih menyenangkan kalo gw perkosa lalu bunuh lu seenaknya!? Lagian, gw penasaran kenikmatan macam apa yang bisa didapat dari wanita Corite!”
Si Grazier coba tegar dan ga goyah akan tekanan dari pecahan kesadaran Lake, “Ini sisi yang dimiliki semua orang, ini sisi yang dimiliki semua orang,” dia terus jalan lebih jauh sambil yakinkan diri sendiri.
“GW GA PERNAH MINTA DILAHIRKAN SEBAGAI GRYMNYSTRE! GW GA PERNAH MINTA DILAHIRKAN JADI SETENGAH CORITE! GW GA MAU HIDUP DI NERAKA INI LAGI!”
“Setengah … Corite!? Dia … !?” Informasi yang bikin tersentak. Faranell sempat terhenti buat pastikan kalo dia ga salah dengar, sebelum lanjut jalan, “apa ini … maksud mimpi itu?” teringat mimpi tentang Lake yang dulu pernah dia alami pas di Ether.
“Semua salah gw …” kali ini, di balik satu pintu, Faranell bertemu sosok Lake yang lagi duduk meringkuk di pojokan. Satu-satunya pecahan kesadaran yang ga menatap Faranell. Kalimat dari mulutnya bernada sangat depresif, “Bukan masalah kalo mereka timpakan kebencian pada gw, bukan masalah kalo mereka mau sakiti atau bahkan gw yang harus diperkosa. Asal mereka ga nyentuh Elka, itu udah lebih dari cukup … tapi ternyata justru gw yang mengkhianati kepercayaannya. Gw yang tinggalkan dia sendirian. Gegara gw, Elka tersakiti. Gegara gw, kehormatannya terenggut … semua salah gw.”
Lagi-lagi Faranell dibuat kaget, bahkan sampe tutup mulut sangking ga kuat tahan pilu akan cerita tersebut.
Semua perkataan, dan paparan yang dia dengar adalah bagian dari diri Lake, tanpa terkecuali. Bahkan sisi yang bilang mau memerkosanya juga. Terdengar amat kontras bila dibandingkan dengan sifat Lake yang dia kenal selama ini. Namun itu justru bikin dada Faranell sesak dan hampir nangis. Bukan karena takut atau terancam, melainkan terharu dan iba.
Pintu-pintu ini, semua sisi gelap ini berada sangat jauh dari pintu pertama yang dia buka. Pertanda emang sengaja dikubur begitu dalam dan terkunci rapat di sudut hati.
Sisi yang ga mau dibicarakan Lake, ga mau ada yang tau. Dia bisa aja jadi pribadi yang ga baik, bisa aja liat dunia pake prespektif yang ga bakal dimengerti orang biasa, dan ga bermoral akibat terombang-ambing kerasnya kehidupan. Tapi Lake ga mau biarkan pecahan kesadaran yang ada di bawah sini menang. Selamanya akan dia tanggung beban itu sendiri.
“Oh, Decem. Seberapa gelap jalan yang pernah dia lalui? Seberapa besar sakit yang telah dipikulnya?”
Tapi perjalanan Si Grazier belum usai. Masih ada satu pintu lagi. Pintu besar dengan dua daun. Di depannya terdapat banyak tanda peringatan; jangan masuk! Bahaya! Menjauhlah! Ada celah yang sangat kecil akibat pintu itu sedikit terbuka.
Masih belum menemukan sumber masalah, maka Faranell buka pintu itu tanpa ragu dan mengira bakal hadapi kegilaan yang lebih parah.
Ga diduga, di dalamnya ada sosok yang agak lain dari Lake-Lake yang ditemuinya sedari tadi, lagi duduk tenang di satu bangku. Perbedaan paling menyolok terdapat di rambut. Sosok ini punya rambut coklat dengan beberapa helainya kekuningan.
“Ga ada pintu lagi. Berarti ini pasti … lubuk hati Lake.“
Dia menatap lekat mata Faranell, “Hallo, Faranell,” sapaan itu sanggup bikin Faranell bergidik ngeri. Suaranya agak pecah seperti beberapa orang bicara bersamaan, di punggungnya terdapat nyala api merah kebiruan yang ga terlalu besar, “senang berjumpa denganmu di sini.”
“Bahasa Cora,” itulah hal pertama yang terlintas di benak Faranell, “ini … esensi sejati Lake. Bagian Corite dari dirinya kah?“
“Ini pertama kalinya, kan? Kamu menjelajah hati kami?” Faranell ga langsung merespon, “kami tau kenapa kamu kemari. Kamu ingin tau kelainan apa yang membuat tubuh kami tersiksa.”
“Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan pada Lake?”
“… Apa kamu ga mengenali pria yang kamu sukai?” Sosok itu malah bertanya balik, “kami Lake. Versi yang lebih baik darinya,” jawab Lake berambut coklat kekuningan, “kami adalah kemarahannya, keputus-asaannya, depresi juga frustrasi, manifestasi dari … kegilaannya yang terpendam. Kami adalah orang yang menganggap kematian sebagai sahabat lama. Kami adalah … Chaos.“
Faranell menatap tajam sosok itu, terdiam sejenak. Dia ga tau apa sosok di hadapannya benar bagian dari pecahan kesadaran Lake, “… Apa yang terjadi pada tubuh Lake?”
“Kami hanya mau membuatnya … lebih baik.”
“Gak, kamu buat dia menderita.”
“Dialah yang buat dirinya sendiri menderita. Kamu tau kenapa? Karena dia lemah. Dialah yang berharap akan kehancuran, kami hanya bertugas sebagai penyedia,” ujarnya dengan nada dingin dan tenang, tapi kalimatnya justru lebih menusuk, “kami punya kekuatan. Kamu tau apa itu? Adrenalin yang memabukkan. Kenikmatan sejati. Kami senang bertarung, kami senang lumpuhkan lawan dan melumat mereka, kami senang liat mereka menjerit ketakutan.”
“Bukan, dia bukan cuma Lake,” pikir Faranell, “ada sesuatu lain yang ikut tercampur.“
“Minggir, kami harus keluar dari sini,” sosok itu mulai bangkit dan jalan ke arah Faranell, “kami harus makan mereka yang ada di balik pintu ini.”
Faranell langsung terhenyak. Dia rentangkan tangan selebar mungkin, dan menolak bergerak walau seinci.
“Gak akan. Aku ga akan biarkan kamu lewat.”
“… Kamu menghalangi kami? Kenapa? Kami adalah kekuatan yang diinginkan semua orang.”
Perkataannya ga bikin Faranell bergeming.
“Dengan kekuatan ini, kami akan hancurkan para Accretia sekali tebas, menyelamatkan orang … bahkan menyelamatkanmu. Apa ada yang salah?”
“Lake ga mau! Dia menolak apapun yang kamu punya! Dia sampe mohon padaku buat cegah kamu keluar! Itulah alasanku kemari!” Seru Faranell mengokohkan pendirian.
“… Apa yang kamu katakan? Kamilah Lake. Mereka yang berusaha mengunci kami adalah para pengecut yang berada di balik pintu ini.”
“Salah! Kamu bukan Lake yang jujur dan gentle tapi kadang ngeselin! Kamu itu sesuatu yang lain!”
“Ya, ada benarnya. Tapi pengecut itulah yang menerima keberadaan kami di hatinya,” sosok itu belum kehilangan ketenangannya, “seperti yang kami bilang, kami adalah manifestasi dari kegilaannya saat dia berada di keputus-asaan paling dalam. Yang kami lakukan cuma menawarkan jalan keluar, dan kabulkan permohonan pengecut itu.”
“… Lalu? Udah berapa lama kamu ada di sini?”
“Sejak dia lahir,” jawabnya enteng. Dan Faranell tampak belum bisa percaya, “awalnya kami hanya keberadaan kecil, dia bahkan ga sadar akan keberadaan kami. Tapi kami selalu ada di sisinya. Dan dia pertama kali menerima tawaran bantuan pada hari itu.“
“Hari … itu?”
“… Hari ketika dia cuma bisa menyaksikan dunia perempuan kesayangannya terbalik 180 derajat tanpa bisa berbuat apapun.”
Ga perlu dikasih tau secara jelas, Faranell udah tau apa maksudnya, “Jadi peristiwa itu ‘pemicunya’. “
“Sekarang…” Chaos Lake agak mendongak, “kita semua hutang nyawa … kami akan mengambilnya!” dan sosok itu langsung menerjang Faranell.
Si Grazier berusaha menahan terjangan Chaos dengan dua tangan, tapi karena dorongan yang terlalu kuat, proyeksi kesadarannya ikut terbawa menuju keluar pintu.
“U-Ukh! Dia menyerap Lake lain! Apa dia akan makan mereka semua?” terdengar jerit menyayat hati saat pecahan kesadaran Lake yang lain ikut terserap ke dalam tubuh Chaos, membuatnya makin besar.
“Dia sedang mengalami transformasi baik secara fisik dan mental yang sangat penting! Apa dia bakal hancur karena kekuatan ini, atau sanggup jadi wadahnya!?”
Faranell perkuat pijakannya. Setelah terseret lagi beberapa langkah, barulah dia bisa sepenuhnya menghentikan Chaos di entah pintu keberapa.
Si Grazier membanting pintu sambil berseru, “Aku ga akan biarkan kamu lewat lebih jauh! Kamu bukan Lake yang sebenarnya, kamu gak normal! Bahkan kamu makin keliatan kayak monster sekarang!”
“Pantaskah kamu bicara seperti itu!? Liatlah dirimu! Apa kamu pikir bisa masuk ke hati orang lain itu normal!?” Balas Chaos gak kalah lantang, “sebenarnya kekuatan kitapun ga jauh beda!”
Chaos masih coba mendobrak pintu yang ditahan Faranell. Tiap tabrakan yang dia lakukan, sedikit menyentak Faranell ke belakang. Tapi, satu tangan langsung ikut menahan pintu itu. Diikuti satu tangan lagi, dan lagi, dan lagi. Pecahan kesadaran Lake yang tersisa 7, membantu Faranell redam amukan Chaos.
“Tsk, ya sudahlah. Ini sudah cukup jauh,” Chaos akhirnya menyerah. Sebelum balik badan, dia kasih peringatan terakhir untuk Faranell, “ingatlah perkataan kami, dialah yang punya kunci untuk melepas kami. Dia sendiri yang nantinya akan membukakan pintu lebar-lebar dan menyambut kami sepenuhnya.”
Dijawab penuh ketegasan oleh Faranell, “Ga akan, selama ada aku di sisinya. Aku yang akan menghentikanmu, lagi.“
Dengan itu, maka berakhirlah penjelajahan spiritual singkat Faranell. Proyeksi kesadarannya langsung kembali ke realita. Waktu kembali berjalan, dan tinju Gabber masih mengarah padanya. Faranell ga sempat menghindar. Yang bisa dia lakukan cuma menatap tegang tangan dari logam itu.
.
.
Kesadaran gw langsung menyentak dan menangkap semua informasi yang perlu gw tau secepat kilat tentang keadaan saat ini. Faranell dalam keadaan terjepit! Jadi ga pake mikir, gw gendong tubuhnya dan berakselerasi sekejap. Alhasil pukulan Gabber cuma hamburkan tanah.
Faranell yang terperanjat gegara gerakan tiba-tiba itu, pegangan erat pada bahu gw, “L-La …”
“Terima kasih,” ujar gw padanya.
“Ha-hah?”
“Gw merasakan kehadiran lu jauh di dalam hati,” jejak darah yang masih tersisa di mata, hidung, serta mulut gw perlahan luntur berkat rintik hujan. Gw turunkan perempuan itu dari rangkulan lengan seraya lemparkan senyum lebar, “biar gw urus sisanya.”
Faranell balas menatap gw penuh makna, “O-okey …”
Badan gw udah terasa jauh lebih baik ketimbang tadi. Tanda-tanda Accel Walk masih aktip pun masih terasa. Tapi anehnya, ga ada rasa sakit. Bukan berarti luka di tubuh gw tiba-tiba sembuh secara ajaib kayak disembuhkan Mein, bukan.
Tiap gores luka yang gw terima masih ada di tempatnya, cuma semua sakit dan kelelahan yang sempat melanda badan seolah hilang ditelan Novus! Ga terasa sedikitpun nyeri! Apa ini? Baru kali ini Accel Walk ga terasa menyiksa.
Gw bilang pada Faranell sembari regangkan bahu, “Tetiba gw ingat kejadian pas pertama kali dia ikut campur. Gw bisa rasakan badan dialiri setengah kekuatan dari kejadian itu. Bedanya, kali ini gw benar-benar sadar,” dia sama sekali ga kasih respon. Tapi matanya masih terus menelaah dalam-dalam, “lawan dua robot rongsok harusnya ga sulit.”
“Untung lu ga mati, Liliput tengik. Gw pikir lu bakal membosankan seper-“
Belum selesai kalimat Gabber, gw bungkam prosesor suaranya pake bogem mentah yang mendarat telak di mukanya! “Banyak bacot lu bangke!” bikin robot kampret itu terhempas ke belakang.
Gerakan gw sangat cepat bahkan sampe dia ga sempat berkedip. Jangankan Gabber, Faranell pun dibuat kaget liat gerakan super kece ini.
Wuanjay, tingkat kegantengan fix meningkat.
Aura ungu tipis kayak milik Faranell merembes keluar dari kepalan tangan. Harusnya tangan gw sakit kalo dipake buat meninju logam, kan? Tapi ini enggak. Walaupun emang tetap terluka akibat tindakan itu, gw ga bisa rasakan sedikitpun sakitnya, atau ngilu, atau apapun menjalar pada reseptor kulit.
“Lu masih mau lanjutkan ini? Apa lu ga tau, misil nuklir Kekaisaran lagi dalam perjalanan kemari?” Kata Accretia berzirah merah, “waktu lu paling banyak ga sampe 3 menit.”
Tentu tau. Sebelum pingsan tadi, gw sempat dengar update laporan tentang situasi pertempuran dan juga instruksi Maximus Gatan. Gw keluarkan dua pedang kembar dan siagakan kuda-kuda, “Kalo gitu … semenit cukup.”
“We are his rage, his desperation, depression and also frustration, a manifestation of … his pent-up madness. We are one of those who consider death as an old friend. We are … Chaos.”
– Chaos Lake (Ch. 54)
CHAPTER 54 END.
Next Chapter > Read Chapter 55:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-55/
Previous Chapter > Read Chapter 53:
https://www.pejuangnovus.com/lake-chapter-53/
List of Lake Chapter:
https://www.pejuangnovus.com/lake-list